KATA PENGANTAR Rencana Stratejik Departemen Kehutanan Tahun 2001-2005 (Penyempurnaan) seterusnya dalam uraian lebih lanjut ditulis RENSTRA Dephut, merupakan bagian integral dari Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) serta merupakan revisi/ perubahan dari Rencana Stratejik Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001 – 2005 yang ditetapkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan 213/Kpts-VIII/2000 tanggal 24 Juli 2000. Landasan pemikiran peninjauan/penyempurnaan kembali RENSTRA tersebut adalah sebagai berikut : 1. Terbitnya UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang mengamanatkan bahwa setiap lembaga tinggi negara, departemen dan lembaga pemerintah non-departemen menyusun RENSTRA. 2.
Perubahan struktur departemen, berdasarkan Keppres No. 234/M tahun 2000 tentang Pengangkatan Kabinet Masa Jabatan 1999-2004, jo Keppres No. 289/M tahun 2000, Departemen Pertanian dan Kehutanan dipisahkan menjadi Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan.
3. Pencermatan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan kehutanan selama tahun 2000 s/d 2002. 4. Penyusunan Penyempurnaan Renstra ini mengacu pada Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. RENSTRA Dephut memuat perencanaan makro bidang kehutanan, dimana berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, penyusunannya menjadi kewenangan pemerintah pusat. RENSTRA Dephut diharapkan merupakan acuan umum (guidance) rencana dan kegiatan lingkup Departemen Kehutanan, instansi daerah bidang kehutanan, serta dapat dijadikan bahan rujukan bagi instansi terkait lintas sektoral pemerintah maupun nonpemerintah yang terkait dan para pihak pemerhati pembangunan kehutanan. Dengan demikian diharapkan semua pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan terdapat kesepahaman dalam mewujudkan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Semoga RENSTRA Dephut ini bermanfaat bagi kita semua. Jakarta,
Oktober 2003
MENTERI MUHAMMAD PRAKOSA
KEHUTANAN, ttd.
1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis yang besar di dunia, dan mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta dianggap signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu hutan Indonesia sebagai sumber keragaman hayati telah menjadi perhatian dunia untuk dapat dipertahankan keberadaan dan tingkat mega-biodiversitinya yang menjadi sangat penting dikemudian hari. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian dinamika pembangunan masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang ditunjukkan dengan kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari sesuai sistem pengelolaan hutan saat ini. Kerusakan hutan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu. Kondisi tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan yang menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan secara lestari. Laju deforestasi hutan selama sepuluh tahun terakhir (s/d 2002) diperkirakan sebesar 1,6 juta hektar per tahun bahkan selama 3 tahun terakhir diperkirakan angkanya lebih besar. Degradasi tersebut disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting dan illegal logging, penjarahan, perambahan, okupasi lahan, kebakaran hutan, dan ekses kapasitas industri pengolahan kayu di atas kemampuan supply bahan baku lestari. Pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai, apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan tersebut adalah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumberdaya (resources-based management), pengelolaan yang sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumberdaya yang lebih berkeadilan. Upaya-upaya untuk memperbaiki permasalahan pengelolaan hutan dalam kurun waktu jangka menengah telah dituangkan dalam Rencana Stratejik Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Renstra Dephutbun) 2001-2005 (sesuai SK Menhutbun No. 213/KptsVIII/2000 tanggal 24 Juli 2000). Namun dengan terbitnya Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program pembangunan Nasional (PROPENAS), perubahan struktur Departemen (Departemen Kehutanan dan Perkebunan menjadi Departemen Kehutanan), serta perubahanperubahan kebijakan sesuai dengan perkembangan yang ada (al: SK Menhut No. 7501/Kpts-II/2002 tentang kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional), maka Renstra tersebut perlu disempurnakan, melalui penyusunan Rencana Stratejik Departemen Kehutanan tahun 2001-2005 (Penyempurnaan) atau RENSTRA Dephut Dengan demikian perencanaan jangka menengah yang disusun dapat aplikatif dan diacu untuk perencanaan jangka pendek dan menjadi landasan perencanaan operasional oleh Unit-unit di lingkungan Departemen Kehutanan Pusat maupun Daerah.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud penyusunan RENSTRA Dephut adalah menyempurnakan Renstra Dephutbun 2001-2005 (SK. Menhutbun No. 213/Kpts-VIII/2000 tanggal 24 Juli 2000) serta untuk mencapai harmonisasi perencanaan pembangunan kehutanan yang holistik, terintegrasi dengan sektor lain guna meningkatkan efisiensi pembangunan nasional. Sedangkan Tujuan penyusunan RENSTRA Dephut adalah sebagai arahan kebijakan dan strategi pembangunan kehutanan dalam menyusun program dan kegiatan s/d tahun 2005. 1.3. RUANG LINGKUP Ruang Lingkup RENSTRA Dephut ini mencakup hal-hal antara lain sebagai berikut: a. Berlaku efektif tahun 2003 - 2005. b. Gambaran kondisi sampai dengan saat ini (data terakhir yang tersedia) yang memvisualisasikan data/ informasi hutan dan kehutanan Indonesia. Gambaran ini dimaksudkan untuk membantu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang terjadi. c. Gambaran kondisi yang diinginkan dengan mengacu pada permasalahan yang ada serta ketersediaan Sarana-prasarana, SDM, peraturan perundangan yang ada. Kondisi ini diidentifikasi melalui analisa terhadap kekuatan, peluang, kendala dan tantangan yang ada. d. Landasan menuju peningkatan pembangunan kehutanan melalui penetapan kebijakan umum antara lain: 1) Arah kedepan pembangunan kehutanan yaitu memasuki era "Rehabilitasi dan Konservasi"; 2) Lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan (Kepmenhut No. 7501/Kpts-II/2002) yang dipayungi melalui pendekatan "Social Forestry"; 3) Penurunan jatah tebangan melalui "Soft Landing". e. Penetapan program-program utama Departemen Kehutanan yang menjadi payung bagi penentuan program-program masing-masing Eselon I dalam penyusunan Renstra Eselon I lingkup Dephut.
2. KONDISI SAAT INI Dalam konteks penyusunan rencana kehutanan jangka menengah pembangunan kehutanan yang telah dilaksanakan saat ini perlu diidentifikasi untuk memperoleh gambaran terakhir kondisi kehutanan yang ada. Gambaran ini diharapkan dapat memberikan dasar bagi penetapan tujuan-sasaran-program-kegiatan, sehingga rencana kehutanan yang tersusun dapat bersifat komprehensif dan realistik. Kondisi yang digambarkan meliputi aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. 2.1. EKOLOGI Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati berupa flora, fauna dan tipe ekosistem yang sangat tinggi. Sebagian di antaranya merupakan jenis dan tipe ekosistem yang bersifat endemik, hanya terdapat di bumi Indonesia. BAPPENAS (1993) dan World Conservation Monitoring Committee (1994) mencatat bahwa kekayaan bumi Indonesia mencakup 27.500 species tumbuhan berbunga (10% dari seluruh species tumbuhan berbunga dunia), 1539 species reptilia dan amphibi (16% dari seluruh species reptilia dunia), 12% mamalia dunia, 25% jenis ikan dunia dan 17% jenis burung dunia.
Kekayaan tersebut sebagian besar terdapat dalam kawasan hutan. Namun kekayaan tersebut saat ini sedang mengalami tekanan keberadaannya sebagai akibat dari aksiaksi al: penyelundupan satwa, pencurian plasma nutfah, perambahan hutan, perburuan liar, perdagangan flora/fauna dilindungi. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan dan perairan serta hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) kawasan hutan indonesia seluas 120,35 juta ha (sekitar 63% luas daratan Indonesia). Kawasan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 20,5 juta ha, hutan lindung seluas 33,52 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 23,06 juta ha, hutan produksi seluas 35,2 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,07 juta ha. Khusus kawasan konservasi yang meliputi kawasan suaka alam (CA/Cagar Alam dan SM/Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (TN/Taman Nasional, Tahura/Taman Hutan Raya, TWA/Taman Wisata Alam) dan Taman Buru telah ditetapkan dalam: 41 unit Taman Nasional, 89 unit Taman Wisata Alam, 13 unit Taman Hutan Raya, 15 unit Taman Buru, 179 unit Cagar Alam dan 51 unit Suaka Margasatwa. Kawasan hutan yang ada tersebut sampai dengan saat ini masih terus mendapat tekanan dari berbagai kepentingan sehingga terancam keberadaannya. Tekanantekanan tersebut al: klaim masyarakat adat, kurangnya pengakuan masyarakat terhadap batas-batas kawasan hutan, keinginan kuat sektor lain untuk mengkonversi kawasan hutan, rumitnya sinkronisasi penatagunaan hutan dalam proses review penataan ruang (RTRWP, RTRWK). Data di bawah ini memperlihatkan besarnya tekanan terhadap kawasan hutan. Reassesement sumber daya hutan yang dilakukan pada 70% dari hutan produksi (sekitar 66,33 Juta hektar) serta pada 55,16% dari hutan lindung dan konservasi (sekitar 54,02 juta hektar), menunjukkan kondisi penutupan vegetasi (forest cover) hutan primer 47,5%, hutan sekunder 26,2% dan tidak berhutan 26,2%. Terlihat bahwa kawasan hutan yang perlu direhabilitasi mencapai seluas 20,1 juta ha. Dampak kerusakan akibat kondisi hutan yang terus mengalami degradasi tersebut ditunjukkan oleh kejadian-kejadian antara lain: sering terjadinya bencana tanah longsor, banjir, polusi, kekeringan, perubahan iklim mikro. Kerusakan-kerusakan yang terjadi tersebut menunjukkan kerugian yang sangat besar dari sisi ekologi dan ekonomi, sekaligus sangat mempengaruhi kondisi keseluruhan bangsa Indonesia dari segala aspek kehidupan. Upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan (al: reboisasi, penghijauan, rehabilitasi lahan) yang telah dilaksanakan selama beberapa tahun belum bisa mengimbangi laju kerusakan/degradasi hutan. 2.2. SOSIAL Sektor kehutanan pada dasarnya mempunyai manfaat sosial yang sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang sangat tergantung pada keberadaan hutan. Ketergantungan tersebut dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat sosial langsung ditunjukkan oleh banyaknya produk-produk hutan baik kayu maupun non kayu (rotan, damar, gaharu, lebah madu dsb) yang menjadi gantungan hidup sebagian besar masyarakat sekitar hutan. Sedangkan manfaat sosial tidak langsung ditunjukkan oleh adanya keseimbangan lingkungan keberadaan hutan yang berdampak sosial antara lain: terjaganya sumber air, mencegah terjadinya bencana alam (banjir, longsor).
Selain itu keberadaan sektor kehutanan (dari hilir ke hulu) telah membuka kesempatan/lapangan kerja bagi penduduk Indonesia. Jumlah jiwa yang tergantung pada sektor kehutanan baik langsung maupun tidak langsung diperkirakan mencapai 30 juta orang. Tahun 1997 jumlah tenaga kerja pada kegiatan pengusahaan hutan tercatat sebanyak 183 ribu orang. Keberadaan hak ulayat dan hukum adat pada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan menggambarkan pula manfaat sosial yang sangat besar dari keberadaan hutan. Masyarakat tersebut diprediksi telah menempati kawasan hutan dalam kurun waktu beberapa generasi. Dengan demikian terjadi saling keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat hukum adat dan kawasan hutan. Padahal sampai dengan saat ini keberadaan masyarakat hukum adat belum terakomodasi dengan jelas dalam peraturan perundangan yang ada. Dampak krisis multi dimensi yang dialami oleh Indonesia mengakibatkan kondisi-kondisi sosial yang memprihatinkan, dalam kejadian al : terjadinya kesenjangan sosial, kebutuhan lahan yang sangat besar (lapar lahan), konflik lahan, masih lemahnya akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan, kecenderungan memperoleh hasil cepat melalui kegiatan illegal (over cutting, penebangan liar, penyelundupan kayu, perambahan hutan dsb). Kondisi semakin menurunnya potensi kayu hutan alam terutama wilayah Asia Tenggara dengan kecenderungan permintaan pasar akan hasil hutan kayu yang meningkat juga menambah kritisnya kondisi sosial tersebut. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan pemerintah telah mengharuskan para pengusaha HPH untuk melaksanakan kegiatan HPH Bina Desa yang kemudian disempurnakan menjadi program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Demikian pula pada hutan produksi di Jawa telah banyak dilaksanakan kegiatan yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti PMDH, agroforestry, PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan bentuk-bentuk hutan kemasyarakatan lainnya (Perhutanan Sosial). Namun upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang nyata. 2.3. EKONOMI Pemanfaatan hutan secara komersial yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor log, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Sejak tahun 1995 terlihat kecenderungan yang menurun yang antara lain disebabkan tidak seimbangnya laju pemanfaatan dengan laju rehabilitasi. Dalam rangka pemanfaatan/pengelolaan hutan perlu didukung adanya pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan baik itu di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (KHPK, KPHL, KPHP). KPH tersebut merupakan kesatuan unit pengelolaan yang lestari. Namun sampai saat ini KPH-KPH tersebut belum terbentuk. Pengusahaan/ pemanfaatan hutan yang digambarkan di bawah ini belum didasari oleh KPH-KPH tersebut.
Dari sisi pemanfaatan hutan, data sampai dengan bulan Desember 2002, menunjukkan jumlah HPH/IUPHHK yang SK HPH-nya masih berlaku sebanyak 270 unit dengan luas areal kerja 28 juta Ha, dengan rincian: • • •
Swasta sebanyak 182 unit (22,5 juta Ha) BUMN sebanyak 5 unit ( 339.240 Ha) Patungan/BUMN disertakan sebagai pemegang saham HPH sebanyak 83 unit (5,2 juta Ha).
Dalam upaya pemenuhan bahan baku kayu serta rehabilitasi hutan telah dilaksanakan program pembangunan hutan tanaman melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dengan tiga pola pendekatan yaitu HTI Pulp, HTI Kayu Pertukangan, dan HTI Trans. Perkembangan pembangunan hutan tanaman dari tahun 1990/1991 sampai tahun 2002 tercatat seluas 2.867.221 hektar, Sedangkan produksi kayu bulat dari hutan tanaman sejak tahun 1999/2000 s/d 2002 telah mencapai 16.101.614 m3. Selain pengusahaan hutan yang berbasis pada kayu, telah dikembangkan pula Hak Pengusahaan Wisata Alam (HP-WA), sampai dengan saat ini telah ada 19 HP-WA. Pengusahaan hutan semacam ini dirasa belum dikelola dan dikemas dengan baik sehingga belum menonjol untuk ikut mengembangkan perekonomian Nasional. Khusus pengelolaan hutan produksi di Jawa dilaksanakan oleh PT. Perhutani (dulu Perum Perhutani) sesuai PP No. 36 tahun 1986 yang disempurnakan melalui PP No. 53 tahun 1999 dan selanjutnya dirubah dengan PP 14 Tahun 2000. Industri kehutanan yang mengiringi berkembangnya pemanfaatan hutan sampai saat ini telah mencapai 1.881 unit (sawmill dan wood working, plywoodmill, pulpmill, dll). Namun kondisi industri tersebut sebagian besar memprihatinkan karena al: mesin tua, tidak efisien/boros bahan baku, produk kurang kompetitif. Di samping itu industri tersebut sebagian besar bertumpu pada bahan baku kayu dari hutan alam. Sedangkan penerimaan pemerintah dari pungutan Dana Reboisasi, IHPH/PSDH dan IHPH selama lima tahun terakhir (1998/1999 s/d 2002) keseluruhan mencapai Rp. 13,5 trilyun. Berkembangnya permintaan pasar berdampak kepada tidak sinkronnya kebijakan pengembangan industri pengolahan hasil hutan (sektor hilir) dengan kemampuan produksi bahan baku berupa kayu bulat (sektor hulu) yang menyebabkan terjadinya kesenjangan bahan baku yang diperkirakan sebesar 26,12 juta m3 per tahun. Hal ini diindikasikan oleh kapasitas terpasang industri pengolahan kayu sebesar 44,77 juta m3 per tahun yang jauh melebihi kemampuan penyediaan bahan baku sebesar 18,60 juta m3. Kesenjangan antara produksi dan pemanfaatan sebagaimana dikemukakan, disebabkan antara lain oleh pengembangan industri primer yang melampaui jatah tebangan (AAC). Kesenjangan bahan baku selanjutnya menyebabkan maraknya penebangan illegal yang terorganisir untuk "memenuhi" permintaan industri. Di samping itu, efisiensi pembalakan dan industri masih sangat rendah. Oleh karena itu untuk upaya mengembalikan potensi hutan serta penyeimbangan supply-demand kayu, pada tahun 2003 Departemen Kehutanan telah menetapkan kebijakan bahwa potensi kayu yang dapat dimanfaatkan dari areal hutan alam produksi seluruh Indonesia maksimal ±6,892 juta m3 per tahun.
Sedangkan produksi non kayu belum menunjukkan kontribusi yang besar bagi perkembangan perekonomian, sebagai contoh produksi hasil hutan non kayu pada 5 tahun terakhir masih relatif kecil. Di sisi lain produk jasa yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan (seperti air, udara bersih, keindahan alam dan kapasitas asimilasi lingkungan) mempunyai manfaat yang besar sebagai penyangga kehidupan dan mampu mendukung sektor ekonomi lainnya. Sebagian besar produk jasa tersebut tergolong kedalam manfaat yang intangible. Berdasarkan hasil penelitian, nilai ekonomi jasa jauh lebih besar dari nilai produk kayu. Namun produksi ini di Indonesia belum berkembang seperti yang diharapkan. Data pemanfaatan jasa seperti wisata alam, memperlihatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Taman Nasional pada tahun 2001 sebanyak 741.220 orang sedangkan pengunjung ke kawasan konservasi tercatat sebanyak lebih dari 3.344.696 orang pada tahun yang sama. Walaupun ada peningkatan permintaan terhadap produk non kayu dan jasa seperti air, wisata dan lain-lain, namun sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum diupayakan secara maksimal. Hal tersebut antara lain disebabkan masih terfokusnya sistem pemanfaatan hutan pada produk kayu. Pemanfaatan di Hutan Lindung juga belum dilakukan secara nyata, yang dilakukan sebatas pada kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan dengan sumber dana dalam dan luar negeri. Sedangkan kegiatan di luar kawasan HL yang dapat mendukung kelestarian HL antara lain dilaksanakan melalui program penghijauan, HKM, HR, dan pengendalian perladangan berpindah. 2.4. KELEMBAGAAN Dalam tataran organisasi penerapan otonomi daerah menyebabkan organisasi Departemen Kehutanan mengalami banyak perubahan baik dari sisi tata hubungan kerja pusat-daerah serta terputusnya komunikasi pusat-daerah dengan ditiadakannya dekonsentrasi. Penitik-beratan otonomi daerah di tingkat Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan menjadi Pusat-Propinsi-Kab/Kota dalam proses pengurusan hutan. Perbedaan persepsi dalam penerapan otonomi daerah telah menimbulkan kerancuan-kerancuan khususnya yang berkaitan dengan kewenangan Pusat-Propinsi-Kab/Kota. Kerancuan tersebut telah menimbulkan terjadinya tumpang tindih dan atau kevakuman pelaksanaan tugas dan fungsi antara Pusat-Propinsi-Kab/Kota. Contoh kasus, antara lain: tidak berjalannya fungsi penatagunaan dan pemanfaatan hutan serta penyuluhan kehutanan, lemahnya pengendalian peredaran hasil hutan, pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Daerah yang tugas pokok fungsinya mirip UPT Pusat. Saat ini Departemen Kehutanan hanya mempunyai tangan langsung di daerah berupa UPT yaitu: Balai Pengelolaan DAS (31); Balai Pemantapan Kawasan Hutan (11); Balai Konservasi Sumberdaya Alam (32), Balai Taman Nasional (33), Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (17), Balai LitbangTeknologi DAS (2), Balai Litbang Hutan Tanaman (2), Balai Litbang Kehutanan (8), Balai Persuteraan Alam (1), Balai Teknologi Perbenihan (1), Balai Diklat Kehutanan (7), Balai Perbenihan dan Tanaman Hutan (6). Sumberdaya manusia di Departemen Kehutanan (Pusat dan Daerah) berjumlah 47.993 personil. Ditinjau dari latar belakang pendidikannya, 66,8% berlatar belakang pendidikan SLTA. Dari jumlah total personil kehutanan hanya 34% yang berpendidikan teknis, dimana 32 % diantaranya berpendidikan sarjana kehutanan, sedangkan strata 2 dan 3 tercatat sebesar 1,8%. Selain itu terjadi pula ketimpangan alokasi sumberdaya
manusia yang umumnya terkonsentrasi di pusat. Dari statistik SDM di atas, dan jika dibandingkan dengan luas kawasan yang dikelola serta kompleksnya fungsi yang diemban, maka jumlah dan kualitas SDM perlu ditingkatkan. Ketersediaan SDM yang ada masih disertai dengan tingkat pelayanan aparat kehutanan kepada masyarakat yang rendah, hal ini ditunjukkan dengan belum tertanganinya pelayanan dan tuntutan masyarakat diselesaikan secara tepat waktu. Pada tahun 2002 tercatat bahwa pengusahaan hutan oleh swasta di Indonesia menyerap tenaga kerja swasta sebanyak sekitar 50 ribu orang, BUMN sekitar 20 ribu orang (PT. Perhutani 16 ribu orang, Inhutani I s/d V 4 ribu orang), dan jumlah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya secara langsung dari sektor kehutanan diperkirakan sekitar 30 juta orang. Upaya-upaya penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat yang selama ini dilakukan belum memberikan dampak positif yang diharapkan, sehingga walaupun disadari banyak masyarakat tergantung pada keberadaan hutan, namun dirasakan tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya-upaya mendukung pembangunan kehutanan belum terlihat nyata. Dalam hal peraturan pendukung pelaksanaan pembangunan kehutanan, sektor kehutanan bergerak dipayungi oleh peraturan perundangan antara lain: UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (yang merupakan penyempurnaan UU No. 5 tahun 1967), UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta berbagai peraturan pendukung lainnya termasuk instrumen pengelolaan sumberdaya hutan. Hingga saat ini Departemen Kehutanan telah menerbitkan beberapa peraturan perundangan sebagai penjabaran UU No. 41 tahun 1999, yaitu antara lain: • • • •
PP.No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunanaan Kawasan Hutan PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, PP No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota PP No.63 tahun 2002 tentang Hutan Kota Selain itu telah terbit beberapa Kepmenhut untuk mendukung Pelaksanaan PP tersebut. Selain itu saat ini sedang diproses beberapa RPP lain sebagai penjabaran dari UU No. 41 tersebut antara lain: RPP Perencanaan Kehutanan, RPP tentang Hutan Adat, RPP tentang Rehabilitasi Hutan.
Dari sisi implementasi peraturan perundangan telah dilakukan penegakan hukum antara lain melalui upaya-upaya pengawasan dan pengendalian yang dilakukan secara reguler maupun khusus, namun belum menunjukkan hasil penegakan hukum yang nyata. Disamping peraturan perundangan, dukungan rencana-rencana kehutanan sangat diperlukan untuk mensinkronkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan yang akan dirancang. Sampai saat ini proses penyusunan rencana kehutanan masih belum berjalan sebagimana yang diharapkan, antara lain ditunjukkan dengan: tersendatnya penyelenggaraan proses NFP, belum adanya sistem perencanaan yang diacu bersama, belum adanya rencana kehutanan jangka panjang, dll.
Di bidang IPTEK, sampai saat ini IPTEK belum sepenuhnya dapat berperan atau dimanfaatkan dalam pembangunan kehutanan. Banyak pihak masih belum merasakan manfaat dari produk kegiatan Litbang, meskipun berbagai teknologi dan kebijakan kehutanan telah dihasilkan. Dalam hubungan internasional, Indonesia mempunyai komitmen sehubungan dengan pengelolaan hutan, antara lain hasil-hasil KTT Bumi seperti Konvensi Perubahan Iklim (beserta Kyoto Protokol), Konvensi Penggurunan, Deklarasi Rio, Agenda 21, dan Principles on Forests, maupun perjanjian lainnya seperti Konvensi Perdagangan Flora dan Fauna Langka Dunia (CITES), Konvensi Lahan Basah (Ramsar), kesepakatan perdagangan internasional (WTO), Ecolabelling dan sertifikasi dan sebagainya untuk diacu dalam melaksanakan pembangunan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut berpengaruh terhadap praktek pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam kaitannya dengan nota kesepahaman dengan lembaga Moneter Internasional (IMF), serta Consultative Group on Indonesia (CGI) perlu dicatat pula adanya komitmen pemerintah Indonesia (cq. Depertemen Kehutanan) yang menyangkut pembangunan kehutanan.
3. KONDISI YANG DIINGINKAN Pembangunan kehutanan ke depan ditujukan untuk dapat menanggulangi persoalan yang telah dikemukakan di atas dengan mempertimbangkan pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan hidup, sehingga terwujud pengelolaan hutan lestari yang memberikan kesejahteraan masyarakat yang tercermin pada kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Dengan memperhatikan kondisi sumberdaya hutan saat ini, maka kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan ditujukan pada upaya: 1. Mengelola sumberdaya hutan secara optimal melalui sistem pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan daya dukungnya; 2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumberdaya hutan; 3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara bertahap; 4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; 5. Meninjau dan menyempurnakan sistem pengelolaan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi dengan indikator-indikator keberhasilan yang jelas; 6. Memelihara kawasan konservasi untuk berbagai keperluan; serta 7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan kerusakan sumberdaya hutan. 3.1. EKOLOGI Terpeliharanya sistem penyangga kehidupan melalui pengelolaan setiap fungsi hutan dimana setiap fungsi pokok dan fungsi penunjang dapat berjalan secara seimbang. Terpeliharanya sistem tersebut terindikasi pada kesehatan lingkungan (antara lain: kemantapan tata air, rendahnya tingkat erosi dan polusi, berkembangnya kegiatan ekoturisme, dan termanfaatkannya potensi keragaman hayati) bagi kesejahteraan masyarakat.
Untuk mencapai kondisi ekologi yang diinginkan tersebut, dalam perencanaan jangka menengah perlu ditetapkan target kondisi ekologi sebagai berikut: a. Penanganan yang nyata dalam pelaksanaan perlindungan keaneka-ragaman hayati terhadap hal-hal antara lain: penyelundupan satwa liar, hilangnya plasma nutfah, perburuan liar. Di samping itu diharapkan meningkatnya pengembangan satwa yang dilindungi secara in situ dan eks situ. Termasuk meningkatkan penataan dan pengelolaan kawasan konservasi. b. Penanganan yang nyata dalam upaya pemberantasan penebangan liar dan pengendalian kebakaran hutan. c. Berkurangnya laju degradasi hutan yang diiringi dengan upaya perbaikan kondisi hutan, sehingga kawasan hutan yang kondisinya baik dan seimbang luasannya bertambah. d. Sinkronisasi proses penatagunaan hutan dengan review penataan ruang (RTRWP, RTRWK) melalui komunikasi dan koordinasi antara Pusat-PropinsiKabupaten/Kota. e. Selesainya proses penunjukan kawasan hutan di seluruh Indonesia, dengan demikian penunjukan kawasan hutan tersebut dapat menjadi acuan yang pasti bagi pengelolaan hutan lestari. f. Selesainya proses penetapan kawasan hutan pada kawasan-kawasan hutan yang telah ditata batas temu gelang sehingga keberadaan kawasan hutan tersebut diakui oleh semua pihak. 3.2. SOSIAL Terdistribusikannya aneka manfaat sumberdaya hutan untuk seluruh masyarakat dengan titik berat pada masyarakat di dan sekitar hutan secara berkelanjutan. Alokasi manfaat tersebut dapat dilakukan melalui upaya perbaikan akses oleh masyarakat terhadap sumberdaya hutan, pelibatan masyarakat dalam kegiatan kehutanan sebagai stakeholder, serta pemberdayaan masyarakat untuk menangkap peluang usaha di bidang kehutanan. Untuk mencapai kondisi sosial yang diinginkan tersebut, dalam perencanaan jangka menengah perlu ditetapkan target kondisi sosial sebagai berikut: a. Terwujudnya konsep konkret dari pola-pola pendekatan "social forestry" yang dapat diterima semua pihak dan aplikatif di lapangan. Sehingga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi kesenjangan sosial, menambah penghasilan masyarakat, sekaligus dapat meingkatkan kesejahteraan masyarakat. b. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam proses pengelolaan hutan, sehingga timbul kesadaran masyarakat dalam menjaga keberadaan kawasan hutan. c. Meningkatnya kualitas proses penyuluhan kehutanan sehingga dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan kawasan hutan. d. Tertanganinya secara tegas permasalahan-permasalahan kemantapan kawasan hutan (al: konflik lahan, konversi kawasan hutan, klaim-klaim adat) sehingga tercapainya penurunan jumlah permasalahan kasus-kasus kawasan hutan. 3.3. EKONOMI Berkembang dan meningkatnya daya saing sektor kehutanan baik sebagai sektor hulu penggerak ekonomi dalam negeri maupun sebagai pemain dalam forum perdagangan internasional. Kemampuan tersebut dapat dilakukan melalui upaya pengembangan
keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, kelembagaan dan sumberdaya manusia, serta teknologi. Untuk mencapai kondisi ekonomi yang diinginkan tersebut, dalam perencanaan jangka menengah perlu ditetapkan target kondisi ekonomi sebagai berikut: a. Terbentuknya KPHK, KPHL, KPHP diseluruh Indonesia. b. Mantapnya pengelolaan hutan alam (kayu maupun non kayu), terbangunnya hutan tanaman unggulan, dan termanfaatkannya jasa hutan (ekowisata, jasa lingkungan yang lain). c. Ekonomi sektor kehutanan dikategorikan kepada dua kelompok yaitu kelompok dengan skala usaha besar (skala industri) dan kelompok usaha rakyat (menengah dan kecil). Oleh karena itu target yang diinginkan : 1) Untuk kelompok usaha besar adalah termanfaatkannya peluang pasar terutama pasar internasional dengan keunggulan kompetitif hutan Indonesia yang cukup luas dan kondisi alam yang menunjang. 2) Untuk kelompok usaha rakyat adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat di dan sekitar hutan dengan secara langsung ikut berpartisipasi dalam pengelolaan hutan sesuai dengan kemampuannya secara tersendiri maupun sebagai bagian dari kelompok usaha besar. d. Menciptakan iklim usaha yang kondusif baik usaha besar maupun usaha rakyat melalui perbaikan dan peninjauan kembali sistem pengelolaan hutan produksi, sistem pengelolaan hutan lindung, serta sistem pengelolaan hutan konservasi beserta aturan dan kelembagaannya. e. Penerapan "soft landing" (penurunan jatah tebangan) untuk memberi kesempatan hutan memperbaiki kondisinya. Sehingga tercapai keseimbangan supply dan demand kayu bagi kelestarian pengelolaan hutan di Indonesia. f. Tercapainya optimalisasi pengelolaan hutan produksi, melalui : • Standarisasi dan penilaian kinerja pelaksanaan pengelolaan hutan produksi lestari. • Penataan (redesign) dan pengembangan kelembagaan usaha pemanfaatan hutan produksi. • Peningkatan pembangunan hutan tanaman. • Seleksi pelaku usaha bidang kehutanan yang memenuhi standar pengelolaan hutan lestari. g. Restrukturisasi/evaluasi industri primer hasil hutan kayu. Turunnya permasalahan "illegal logging" dan "illegal trading" melalui antara lain: penegakan hukum yang konsisten, peningkatan operasi-operasi pengamanan hutan dengan pihak-pihak terkait Pusat dan Daerah, kampanye pemberantasan penebangan liar. h. Meningkatnya pengelolaan dan pemanfaatan multi-fungsi hutan sebagai alternatif sumber devisa dan pendapatan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. 3.4. KELEMBAGAAN Kelembagaan akan menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pembangunan kehutanan. Kelembagaan ini menyangkut hal-hal antara lain: organisasi, sumberdaya manusia (SDM), peraturan perundangan, sarana prasarana. Oleh karena itu aspek kelembagaan ini perlu juga selalu ditingkatkan sehingga dapat mendukung kelestarian pengelolaan hutan secara keseluruhan. Untuk mencapai kondisi kelembagaan yang diinginkan tersebut, dalam perencanaan jangka menengah perlu ditetapkan target kondisi kelembagaan sebagai berikut:
a. Terbentuknya penataan organisasi yang dapat memperjelas tata hubungan kerja Pusat-Propinsi-Kab/Kota, sehingga dapat dihindari terjadinya tumpang tindih dan atau kevakuman pelaksanaan tugas dan fungsi. b. Terbentuknya organisasi lingkup Dephut (Pusat dan UPT) serta daerah yang efisien dan efektif untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari. c. Mendorong restrukturisasi BUMN sektor kehutanan, untuk mendukung era rehabilitasi dan konservasi. d. Tersusunnya seluruh perangkat peraturan perundangan sebagai penjabaran dari UU No. 41 tahun 1999, antara lain: PP tentang Perencanaan Hutan, PP tentang Hutan Adat. Termasuk turunan dari PP berupa Kepmenhut mengenai beberapa kriteria dan standar yang dapat dijadikan dasar/pedoman bagi implementasi kegiatan di lapangan yang diselaraskan dengan desentralisasi sektor kehutanan. e. Terwujudnya penyusunan rencana-rencana kehutanan yang komprehensif yang dapat dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. f. Dilaksanakannya Litbang kehutanan yang mendukung program-program pembangunan kehutanan melalui kerjasama yang aktif antara peneliti calon pengguna hasil litbang, serta intensifnya dukungan terhadap penyebarluasan dan pengembangan jejaring IPTEK. g. Termanfaatkannya skema-skema kerjasama internasional, sehingga pendanaan internasional dapat benar-benar mendukung proses pembangunan kehutanan. h. Terselenggaranya pengembangan pendidikan/pelatihan serta penyuluhan di lingkungan Dephut maupun masyarakat. Serta penyebaran SDM kehutanan yang proporsional. i. Meningkatkan upaya penegakan hukum dengan mengefektifkan pengawasan dan pengendalian. j. Tersedianya data/informasi yang memadai dan selalu up to date.
4. PERMASALAHAN Berdasarkan gambaran kondisi saat ini serta kondisi yang diinginkan perlu diidentifikasi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal untuk mendukung justifikasi penetapan tujuan-sasaran-program sesuai dengan visi-misi yang ingin diwujudkan. Disamping itu untuk langkah kajian dan analisisnya diidentifikasi pula faktor-faktor kekuatan-kendala-tantangan-peluang. 4.1. FAKTOR INTERNAL •
•
•
•
Dalam rangka penyiapan pra kondisi, penunjukan kawasan hutan sangat penting, sampai saat ini telah diselesaikan 27 propinsi (sudah termasuk Propinsi-propinsi baru yang telah terbentuk yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo dan Maluku Utara), namun tiga propinsi (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) belum dapat diselesaikan. Pelaksanaan tata batas kawasan hutan terealisir sepanjang 216.346,78 km yang meliputi batas luar kawasan hutan 165.293,62 km dan batas fungsi 51.053,16 km. Perkembangan penetapan batas kawasan hutan (temu gelang) meliputi 615 unit atau seluas 12.003.114,72 hektar, sehingga status hukum kawasan hutan sebagai dasar alokasi lahan belum sepenuhnya mantap. Kebijakan pengalokasian sumberdaya hutan belum sepenuhnya mendukung pembangunan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Demikian pula dengan hak adat/ulayat yang belum terakomodasikan secara jelas dalam sistem pengelolaan hutan selama ini. Kondisi tersebut di atas menambah masalah perambahan kawasan hutan, pencurian kayu dan ancaman kebakaran hutan dan lahan. Sistem penilaian economic rent dari sumberdaya hutan belum didasarkan atas analisis ekonomi yang tepat sehingga belum mencerminkan nilai produk hutan yang sesungguhnya (under valued). Oleh sebab itu negara telah kehilangan
•
• • •
•
pemasukan yang seharusnya dapat ditarik dan dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembangunan berikutnya. Pada saat ini IPTEK kehutanan belum sepenuhnya menjadi kekuatan pembangunan kehutanan, karena kurangnya apresiasi terhadap inovasi IPTEK yang telah dihasilkan. Namun disadari juga bahwa masih terdapat litbang kehutanan yang belum secara optimal mendukung program-program pembangunan kehutanan. Rendahnya SDM sektor kehutanan sangat memberatkan pembangunan kehutanan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Peraturan perundangan bidang kehutanan yang ada belum sepenuhnya dapat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang berkembang di lapangan. Kelembagaan pengelolaan hutan belum didasari oleh multi-fungsi hutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi tidak terkelola dengan baik. Sedangkan pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung masih bersifat parsial belum terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Kelangkaan dana pembangunan kehutanan, budaya kerja yang rendah, disiplin dan pelayanan publik yang lambat. Termasuk keterbatasan sarana dan prasarananya.
4.2. FAKTOR EKSTERNAL •
• • •
• •
•
•
Banyaknya konflik sosial dalam pengelolaan sumber daya hutan sebagaimana terindikasi oleh banyaknya perambahan/okupasi lahan hutan. Kesenjangan sosial dan kemiskinan yang menonjol pada masyarakat di sekitar hutan, demikian pula manfaat pembangunan yang kurang dirasakan oleh daerah yang memiliki sumberdaya hutan. Perubahan sosial-politik-ekonomi yang telah mengakibatkan kecenderungan peningkatan kemiskinan dan pengangguran. Kecenderungan Pemerintah Daerah (Propinsi/Kab/Kota) untuk merubah kawasan hutan dalam proses penataan ruang penyusunan RTRWP dan RTRWK. Pengelolaan hutan belum berjalan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari kesadaran akan pentingnya prinsip kelestarian yang belum membudaya, orientasi pada keuntungan jangka pendek, telah menyebabkan timbulnya degradasi sumber daya hutan pada tingkat yang mengkhawatirkan serta menurunnya kualitas lingkungan karena pengelolaan kawasan konservasi, hutan lindung dan rehabilitasi kawasan hutan serta pengamanan hutan kurang mendapat porsi yang memadai. Kebakaran hutan merupakan masalah besar yang secara nyata mengancam pula kelestarian sumberdaya hutan, sementara penanganannya belum berjalan baik. Kesenjangan bahan baku sebagai akibat kesenjangan antara kapasitas terpasang industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) yang jauh melebihi kemampuan hutan untuk menyediakan bahan baku secara lestari (over capacity). Kekurangan bahan baku untuk industri primer hasil hutan kayu telah mendorong banyaknya penebangan melebihi ketentuan (overcuting) maupun penebangan liar. Sementara itu upaya pengembangan sumber bahan baku melalui pembangunan hutan tanaman belum mampu memenuhi target yang ditetapkan, sehingga belum mampu menggantikan peran hutan alam sebagai sumber bahan baku. Secara umum kondisi kelembagaan pemerintahan di masa lalu, termasuk kehutanan belum mendukung proses partisipatif yang transparan. Hal tersebut cenderung telah menimbulkan usaha yang bersifat monopolistik dan didukung oleh praktek KKN. Pada sisi lain, pemberdayaan potensi dan kelembagaan ekonomi masyarakat dalam penyelenggaraan kehutanan belum berjalan dengan baik. Perubahan tatanan politik dari kebijakan yang sentralistik selama 32 tahun ke arah desentralistik, telah menimbulkan euphoria reformasi dan tuntutan yang menimbulkan ekses di berbagai bidang termasuk pembangunan kehutanan.
•
•
Ekses tersebut antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya radikalisasi dan anarki seperti perambahan, penebangan liar, okupasi lahan, penjarahan hasil hutan yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Peran Bupati terhadap pengeluaran perijinan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan telah menimbulkan terjadinya tumpang tindih dengan perijinan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Dengan kondisi tersebut di atas maka akan mempercepat terjadinya degradasi sumberdaya hutan. Perubahan-perubahan kondisi ekonomi global (WTO, AFTAA, APEC dll), akan sangat berpengaruh proses pembangunan kehutanan dan praktek pengelolaan hutan pada masa yang akan datang.
4.3. IDENTIFIKASI FAKTOR KEKUATAN, KENDALA, TANTANGAN DAN PELUANG Dalam rangka memformulasikan Visi dan Misi Departemen Kehutanan serta penetapan tujuan dan sasaran jangka menengah untuk mendukung visi dan misi yang telah ditetapkan perlu mempelajari beberapa kekuatan, kendala, tantangan dan peluang yang ada, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran yang akan ditetapkan bersifat realistik dan aplikatif sesuai dengan kondisi yang ada. Beberapa Kekuatan yang perlu diperhatikan antara lain: • • • • •
Hasil-hasil pembangunan kehutanan yang selama ini telah dilaksanakan. Komitmen pemerintah bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Eksistensi Departemen Kehutanan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Adanya peraturan perundangan terbaru sebagai reformasi peraturan peundangan bidang kehutanan (UU. No. 41 tahun 1999, PP 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Kepmenhut-kepmenhut pendukung lainnya). Komitmen-komitmen negara maju untuk mendukung kelestarian dan keberadaan hutan tropis di Indonesia.
Beberapa kendala yang perlu diperhatikan antara lain: • • • • • • •
Kondisi lapangan yang cukup berat, aksesibilitas yang rendah. Pengalaman yang hanya tertumpu pengelolaan hutan yang sentralistik selama tiga dekade. Penegakan hukum di bidang kehutanan yang belum berjalan efektif. Terjadinya konflik sosial di berbagai daerah. Kemampuan penguasaan IPTEK yang belum memadai dan belum merata di antara pusat dan daerah. Terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan pembangunan kehutanan. Gangguan alam seperti bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, perubahan iklim secara radikal dsb.
Beberapa tantangan yang perlu diantisipasi antara lain: • • • •
Perambahan, pencurian kayu dan penebangan liar yang belum dapat dihentikan menyebabkan ketidak-seimbangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu bulat. Kebakaran hutan yang belum mampu diatasi dengan baik. Belum terselesaikannya penunjukan kawasan hutan dan perairan sebagai tindak lanjut paduserasi TGHK dan RTRWP. Banyaknya penduduk miskin yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
• • • • • • • • • •
Kesulitan memperoleh benih atau bahan tanaman yang bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup pada beberapa lokasi pengembangan hutan tanaman. Kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang belum memadai. Masih rendahnya keberhasilan pengembangan hutan tanaman. Kurang optimalnya pemanfaatan Litbang kehutanan. Kurang sinkronnya antara rencana litbang dengan program pembangunan kehutanan yang ada. Adanya kecenderungan liberalisasi perdagangan internasional. Sistem pendanaan tahunan rutin dan pembangunan mengakibatkan terpotongnya kegiatan kehutanan. Sistem dan aturan pendanaan kurang mendukung investasi di sektor kehutanan. Kurang menariknya investasi pada pembangunan hutan tanaman. Kurangnya sosialisasi skim kredit perbankan kepada masyarakat.
Sedangkan beberapa peluang yang tersedia dan dapat dimanfaatkan, antara lain: • •
• •
Tersedianya sumberdaya hutan yang memiliki potensi yang belum termanfaatkan dan tersebar secara geografis. Kecenderungan masyarakat dunia yang semakin sadar akan pentingnya kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistemnya akan menyebabkan antara lain meningkatnya permintaan akan jasa hutan. Hal ini terlihat dari upaya dunia dalam menyelesaikan masalah polusi dan mempertahankan keberadaan hutan melalui pembahasan konsep-konsep antara lain Clean Development Mechanism (CDM), Debt for Nature Swap (DNS) dan sebagainya. Adanya permintaan pasar akan hasil hutan di dalam maupun di luar negeri yang cenderung meningkat. Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang potensial dalam mendukung pembangunan kehutanan melalui keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
5. VISI DAN MISI 5.1. V I S I Visi Departemen Kehutanan ditetapkan: Terwujudnya kelestarian hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penetapan Visi Departemen Kehutanan ini dilandasi : • • •
Bahwa kelestarian hutan harus menjadi prinsip bagi penyelenggaraan pembangunan kehutanan serta pengurusan hutan, hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang diacu secara global yaitu "Sustainble Development". Bahwa keberadaan hutan yang terjaga kelestariannya mutlak harus ada karena merupakan salah satu sistem penyangga/penopang kehidupan. Bahwa kesejahteraan mayarakat harus diwujudkan, karena faktor kesejahteraan sangat berkaitan mutlak dengan eksistensi hutan. Kesejahteraan masyarakat yang diperoleh sebagai akibat dari keberadaan hutan yang lestari akan mendorong masyarakat untuk ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hutan (sense of belonging dan sense of responsibility).
5.2. M I S I
Misi yang ditetapkan dalam kurun waktu jangka menengah dalam rangka mencapai visi adalah sebagai berikut: •
•
•
Menjamin keberadaan hutan. Misi ini bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum/status kawasan hutan serta mempertahankan hutan sesuai dengan fungsinya (konservasi, lindung, produksi). Terjaminnya keberadaan kawasan hutan akan mendukung pengelolaan kawasan hutan untuk pencapaian kelestarian hutan. Mengoptimalkan manfaat hutan. Misi ini bertujuan untuk 1) memulihkan kondisi hutan yang telah rusak, 2) meningkatkan manfaat sosial hutan, 3) meningkatkan upaya konservasi SDH dan 4) mengoptimalkan manfaat hasil hutan (kayu, non kayu, wisata, jasa lingkungan dsb) pada kawasan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi serta hutan diluar kawasan hutan. Dengan demikian diharapkan dalam kurun jangka menengah terwujud kawasan hutan yang baik kondisinya serta dapat mendukung pengelolaan hutan lestari dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu misi ini menggambarkan integrasi dan sinergitas kegiatan pembangunan dalam era rehabilitasi dan konservasi. Menguatkan kelembagaan kehutanan. Misi ini bertujuan untuk memperkuat landasan serta dukungan bagi pencapaian misi menjamin keberadaan hutan dan mengoptimalkan manfaat hutan. Kuatnya kelembagaan akan memperlancar pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Penguatan ini meliputi al: profesionalisme organisasi & SDM Dephut, IPTEK, perencanaan dan peraturan perundangan kehutanan, kemitraan dan kerjasama DN/LN, penyiapan data/informasi, pengawasan/pengendalian.
6. TUJUAN DAN SASARAN Setelah memperhatikan kondisi kehutanan saat ini, kondisi yang diinginkan kemudian mengkaji permasalahan serta kekuatan, kendala, tantangan dan peluang yang ada, dan mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan, maka perlu ditetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, sehingga dapat memperjelas penetapan program dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan. a. Misi : Menjamin keberadaan hutan Tujuan 1 : Mewujudkan kepastian hukum dan status kawasan hutan, sasaran : • • • • • • •
Terselesaikannya penunjukan kawasan hutan di 4 propinsi dan beberapa review beberapa penunjukan kawasan hutan propinsi Terwujudnya kelanjutan proses penetapan kawasan hutan Terwujudnya penataan batas kawasan konservasi Terbentuknya KPHK, KPHL, KPHP Terselesaikannya permasalahan perubahan peruntukan kawasan hutan Terselesaikannya permasalahan proses penggunaan kawasan hutan Terkendalikannya proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
Tujuan 2 : Mempertahankan fungsi hutan, sasaran : • •
Terwujudnya penegakan hukum dalam kasus pemberantasan penebangan liar Terwujudnya pengendalian/penanganan kebakaran hutan yang komprehensif
b. Misi : Mengoptimalkan manfaat hutan Tujuan 1 : Memulihkan kondisi hutan, sasaran : • • • • • • •
Tersedianya MP-RHL Nasional dan Daerah Tersusunnya sistem pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Tersedianya Litbang peningkatan efektivitas rehabilitasi dan pencegahan degradasi SDH Terlaksananya reboisasi pada areal seluas ±927.000 Ha dan penghijauan seluas ± 1 juta Ha. Tersedianya Litbang untuk peningkatan produktivitas dan kualitas produk. Terlaksananya pengembangan dan pembangunan sumber benih dan pembibitan serta tersedianya benih-benih tanaman hutan yang terjamin kualitasnya Terlaksananya pembangunan hutan tanaman seluas 200.000 hektar dan terlaksananya penataan kembali, pengawasan dan pengamanan areal eks HPH seluas 9 juta hektar (131 unit)
Tujuan 2 : Meningkatkan konservasi SDH, sasaran : • • •
Terkelolanya kawasan konservasi serta keterwakilan ekosistem di dalam kawasan lindung lainnya dan kawasan budidaya secara terpadu Terpeliharanya tingkat populasi jenis dipertahankan diatas ambang batas minimum kemampuan hidup alami secara berkelanjutan serta tingkat keragaman dan kemurnian biologis serta produktivitasnya Tersedianya Litbang pengelolaan dan pelestarian keaneka ragaman hayati
Tujuan 3 : Mengoptimalkankan manfaat hasil hutan, sasaran : • • • • • • • • • • •
Tersedianya informasi dan Litbang pemanfaatan dan pemasaran HHPK dan jasa hutan serta diversifikasi produk hasil hutan Tersedianya informasi dan Litbang mendukung sistem pengelolaan hutan lestari Tersedianya standarisasi pengelolaan hutan lestari Tertata dan terselenggaranya pengelolaan hutan lestari Tertata dan terselenggaranya pemanfaatan hutan produksi secara optimal Terwujudnya optimalisasi multi fungsi hutan (eko wisata, jasa lingkungan dsb) Terwujudnya skema pendanaan pembangunan/pengelolaan hutan melalui CDM, DNS dll Terwujudnya industri primer hasil hutan kayu yang tangguh dan ramah lingkungan Terselenggaranya penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan (415 unit) dan evaluasi industri primer hasil hutan (47 unit ) Terlaksananya penyeimbangan secara bertahap "supply-demand" kayu Terwujudnya peningkatan pemanfaatan hasil hutan non kayu
Tujuan 4 : Meningkatkan manfaat sosial hutan, sasaran :
• • • • • •
Terwujudnya peran serta masyarakat dan perlindungan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan Tersedianya informasi dan Litbang untuk peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kelestarian SDH sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat Terwujudnya pengembangan "Social Forestry" Terbangunnya pengembangan aneka usaha kehutanan Terbangunnya HKM, Hutan Rakyat serta kegiatan perhutanan sosial lainnya Berkembangnya unit-unit usaha/koperasi masyarakat disekitar hutan produksi (usaha budidaya HHBK, pengolahan/pemasaran hasil hutan bukan kayu dan limbah kayu) sebanyak 65 unit.
c. Misi : Menguatkan kelembagaan kehutanan Tujuan 1 : Meningkatkan profesionalisme Organisasi dan SDM Departemen Kehutanan, sasaran : • • • • •
Terbentuknya pola karir pegawai Terwujudnya Diklat kehutanan yang memadai Terwujudnya institusi/organisasi kehutanan yang efektif dan efisien Tersedianya sarpras pendukung pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebutuhan organisasi Terwujudnya peningkatan pelayanan kepada masyarakat
Tujuan 2 : Meningkatkan peran IPTEK Kehutanan, sasaran : • •
Tercapainya diseminasi yang efektif serta pemanfaatan Litbang dalam pembangunan kehutanan Terwujudnya sistem informasi Litbang dan jejaring IPTEK Kehutanan
Tujuan 3 : Memantapkan perencanaan dan peraturan perundangan bidang kehutanan, sasaran : • • • • •
Terselenggaranya proses NFP Tersedianya Sisperhut, RUJP, Renstra dan REPETA Kehutanan Terkendalikannya pelaksanaan kebijakan dan rencana kehutanan Tersusunnya rencana yang komprehensif untuk pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan Terwujudnya peraturan perundangan turunan UU. No. 41 tahun 1999 yang mendukung desentralisasi/otonomi daerah
Tujuan 4 : Meningkatkan kemitraan dan kerjasama DN/LN dalam pengurusan hutan, sasaran : • •
Terwujudnya pola-pola kemitraan dalam pengelolaan hutan Terwujudnya optimalisasi kerjasama DN/LN dalam mendukung pengurusan hutan
Tujuan 5 : Mengintensifkan pengawasan dan pengendalian pembangunan kehutanan, sasaran : •
Terwujudnya upaya penegakan hukum sektor kehutanan
Tujuan 6 : Menyediakan data/informasi yang up to date dan akurat, sasaran : • •
Tersedianya data/informasi spatial dan non spatial Tersedianya NSDH Nasional dan Daerah
7. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM 7.1. KEBIJAKAN Berdasarkan kondisi yang ada Departemen Kehutanan telah menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas (sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7501/Kpts-II/2002) yang harus menjadi landasan utama bagi penyusunan program dan rencana pelaksanaan kegiatan lingkup Dephut, lima kebijakan tersebut adalah: • • • • •
Pemberantasan Penebangan Liar; Penanggulangan Kebakaran Hutan; Restrukturisasi Sektor Kehutanan; Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan; Desentralisasi Sektor Kehutanan.
Disamping itu terdapat kebijakan pendukung untuk pencapaian kebijakan 5 kebijakan prioritas tersebut antara lain: Penerapan social forestry yang menjiwai lima kebijakan tersebut; Penyiapan prakondisi pengelolaan hutan; Pemanfaatan hutan harus memperhatikan fungsi dan daya dukungnya; Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan; Penguatan kelembagaan kehutanan. 7.2. STRATEGI Untuk mendukung kebijakan prioritas yang telah ditetapkan maka dipilih strategistrategi antara lain sebagai berikut: a. Pemberantasan penebangan liar, strateginya : • Penerapan prinsip social forestry pada wilayah rawan penebangan liar • Tegaknya law enforcement bidang kehutanan serta peningkatan upaya penegakan hukumnya • Pengembangan kelembagaan pengamanan hutan b. Penanggulangan/pengendalian kebakaran hutan, strateginya : • Penerapan prinsip "social forestry" pada wilayah rawan kebakaran hutan • Tegaknya law enforcement bidang kehutanan c. Restrukturisasi sektor kehutanan, strateginya: • Paradigma yang digunakan dalam pembangunan kehutanan di masa yang akan datang adalah "resources based management" • Penerapan "soft landing" untuk memberi kesempatan hutan memperbaiki kondisinya • Restrukturisasi industri kehutanan • Penyeimbangan supply-demand kayu untuk memperoleh kelestarian hasil • Peningkatan pemanfaatan hasil hutan non kayu • Peningkatan pemanfaatan eko-wisata, jasa lingkungan dll • Pendekatan-pendekatan pengelolaan hutan (konservasi, lindung dan produksi) harus berprinsip pada "social forestry" d. Rehabilitasi dan Konservasi SDH, strateginya: • Pembangunan di era mendatang mengacu pada era rehabilitasi dan konservasi
• •
Pengembangan kolaborasi managemen pada pengelolaan TN Pengembangan dan peningkatan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi SDH. • Pendekatan prinsip "social forestry" pada upaya rehabilitasi dan konservasi. e. Desentralisasi sektor kehutanan, strateginya: • Peningkatan transparansi kebijakan melalui keterlibatan multi stake holder dalam proses pengambilan keputusan • Menfasilitasi proses desentralisasi dalam pengelolaan hutan yang bertanggung jawab. f. Kebijakan Pendukung, strateginya: • Penerapan pendekatan keterpaduan dan sinergitas kegiatan pendukung untuk mencapai kesuksesan lima kebijakan prioritas. • Peningkatan hasil litbang kehutanan dalam proses pengambilan kebijakan 7.3. PROGRAM Dalam PROPENAS 2001-2004 pembangunan bidang kehutanan terdapat di bidang: Pembangunan Ekonomi (5 program), Pembangunan Politik (3 Program), Pembangunan Pendidikan (1 Program), Pembangunan Sosial Budaya (1 Program), Pembangunan Daerah (6 program) dan Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (5 program). Program-program tersebut menjadi acuan Departemen Kehutanan dalam menetapkan program-program utama lingkup Dephut, yang selanjutnya akan dijabarkan lebih lanjut dalam program-program Eselon I Dephut. Namun demikian mengingat bahwa penetapan program-program di Propenas merupakan program lintas sektor yang tidak dapat secara mutlak bisa menggambarkan cerminan rencana kegiatan dari masing-masing sektor, maka dalam RENSTRA Dephut, ditetapkan program tersendiri. Walaupun demikian keterkaitan antar program di PROPENAS dan RENSTRA dapat ditelusuri melalui keterkaitannya (cross matriks). Disadari bahwa pembangunan kehutanan sangat dinamis serta sangat dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) khususnya perubahan dan perkembangan ekonomi dan politik global maupun nasional, oleh karena itu dapat dimungkinkan munculnya kegiatankegiatan tambahan pada tahun berjalan asalkan kegiatan-kegiatan tersebut tidak menyimpang dari Visi-Misi-Tujuan dan Sasaran yang telah ditetapkan dan atau dilandasi oleh justifikasi yang jelas (misal: komitmen Pemerintah dengan DPR, Keppres, Inpres, Komitmen Pemerintah dengan Lembaga Internasional yang terbit pada tahun berjalan). Perubahan tersebut dapat ditempuh melalui proses review/penyesuaian tahunan. Berdasarkan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran yang telah ditetapkan, kemudian mengacu pada kebijakan dan strategi yang dipilih serta memperhatikan PROPENAS, maka ditetapkan 5 program utama, yang menjadi dasar penetapan kegiatan s/d 2005, yaitu sebagai berikut: 1. Program Pemantapan Kawasan Hutan. Program ini didasari pada kebijakan pendukung dalam mempersiapkan prakondisi bagi pengelolaan hutan lestari serta untuk mewujudkan tujuan tercapainya kepastian hukum/status kawasan hutan, sehingga misi "menjamin keberadaan kawasan hutan" akan terlaksana. 2. Program Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Program ini didasari oleh kebijakan prioritas untuk memberantas penebangan liar dan menanggulangi/mengendalikan kebakaran hutan, dengan demikian diharapkan dapat mendukung misi "Menjamin keberadaan kawasan hutan" 3. Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Serta Konservasi SDH Program ini didasari oleh kebijakan prioritas melakukan upaya rehabilitasi dan konservasi SDH bagi pencapaian tujuan memulihkan kondisi hutan dan meningkatkan konservasi SDH. Sehingga misi "Mengoptimalkan manfaat hutan" dapat diwujudkan. 4. Program Pengembangan Pengelolaan Hutan Lestari Program ini didasari oleh kebijakan "social forestry", penyeimbangan supply-demand melalui soft landing, restrukturisasi industri kehutanan, pemanfaatan hutan sesuai fungsi (konservasi, lindung dan produksi) dan daya dukungnya serta peningkatan peran serta masyarakat. Disamping itu program ini dapat juga menampung inovasi alternatif penerapan skema-skema pengelolaan, pengawasan dan pendanaan penanganan kehutanan yang diterapkan di beberapa negara, Sehingga misi "Mengoptimalkan manfaat hutan" dapat diwujudkan. 5. Program Pengembangan Kelembagaan Kehutanan Pada dasarnya program ini merupakan program komplemen, dimana penetapannya didasari oleh kebijakan-kebijakan 1) peningkatan profesionalisme SDM kehutanan, 2) penataan organisasi bidang kehutanan, 3) peningkatan peran IPTEK, 4) kemitraan dan kerjasama DN/LN, 5) pembuatan perencanaan yang komprehensif, 6) penyusunan peraturan perundangan yang selaras dengan desentralisasi sektor kehutanan, 7) pengawasan/pengendalian, 8) penyusunan dan penataan data/informasi. Target dari penetapan program ini untuk mencapai terwujudnya misi "Penguatan kelembagaan kehutanan", dengan terbentuknya kelembagaan kehutanan yang kuat dapat menopang dan mendukung pencapaian dua misi yang lain.