PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA PABRIK GULA NGADIREJO KABUPATEN KEDIRI
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian syarat-syarat syarat syarat memperoleh Gelar Kesarjanaan dalam Ilmu Hukum
Oleh : ABDUL KHAKIM NPM. 09.1200.00018
UNIVERSITAS ISLAM KADIRI FAKULTAS HUKUM
73
74
2013 PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA PABRIK GULA NGADIREJO KABUPATEN KEDIRI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri
Oleh : ABDUL KHAKIM NPM. 09.1200.00018
Telah disetuji Pembimbing untuk diujikan : Kediri,
2013
a. HJ EMY PUASA HANDAYANI,.SH,.M.H Pembimbing I
b. H.KHAYATUDIN,.SH,.M.Hum Pembimbing II
(………………….)
(………………….)
75
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA PABRIK GULA NGADIREJO KABUPATEN KEDIRI
Oleh : ABDUL KHAKIM NPM. 09.1200.00018
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji dan dinyatakan lulus pada ujian skripsi Program Studi Ilmu Hukum Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri Kediri Pada Tanggal : 26 Juli 2013
Tim Penguji, Ketua
:
Hj. Emy Puasa Handayani,.SH,.MH
……………………
Anggota : 1. H.Khayatudin,.SH,.M.Hum
……………………
2. Nur Chasanah,.SH,.MH
……………………
Disahkan Oleh : Ketua Jurusan
Mengetahui : Dekan Fakultas Hukum
76
H.Imam Makhali, SH,.MH
Hj.
Emy
Puasa
Handayani,.SH,.MH NIK.040.1.87.028
NIK.040.1.03.093
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan program studi Strata Satu Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Pada penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada: 1. Dr. Ir.H. Abu Talkah,.MM,
Rektor Universitas Islam Kadiri, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Strata; 2. Hj. Emy Puasa Handayani,.SH,.MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Strata Satu pada Universitas Islam Kadiri; dan juga selaku Pembimbing utama atau pembimbing I yang telah memberi arahan dan membantu Penulis dalam penyempurnaan skripsi ini
77
3. Imam Makhali, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri 4. H.Khayatudin SH.M.Hum, selaku komisi pembimbing II dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini; 5. Seluruh Guru Besar serta dosen pada Program Studi Strata Satu Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri yang telah banyak memberikan bantuan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Strata Satu Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri 6. Rekan-rekan dan Staf Pegawai dari Universitas Islam Kadiri, yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan pada Penulis untuk kelancaran menyelesaikan studi di Universitas Islam Kadiri 7. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri, Vendy Trilaksono,Galih Anggara Mukti, Andika Putra Pratama , Indriayu, Amelia Puspitasari, Dyah Aviel, Agus Sentot, Jawala Prawana, Muhammmad Ihwan Yusuf, Lelly Herlina, Misa Aliamsyah, Bagus Lenggang Permadha, Wahyu Hepri, Ahmad sodik, Assabiq, Imam Sutaryono, Amat Khoirudin, Wijianto, Herry Kusni, Sinta Dewi 8. Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan nama dan jabatannya satu persatu. Terima kasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada Istri tercinta, dan anak tercinta, karena atas kasih sayangnya, perhatian, dorongan dan doa yang diberikannya kepada penulis, yang tidak dapat dibayar dengan apapun itu nilainya, sehingga penulis dapat mengecap pendidikan Universitas Islam Kadiri
Kediri, Juli 2013 Hormat saya,
78
ABDUL KHAKIM
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
1
I.2 Rumusan Masalah
6
I.3 Tujuan Penelitian
7
I.4 Manfaat Penelitian
7
I.5 Metode Penelitian
8
79
I.6 Pertanggungjawaban Sistematika
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Hukum Lingkungan 13 2.2 Tinjauan Umum Lingkungan 16 2.3 Permasalahan Lingkungan 18 2.4 Tinjauan Umum Pencemaran Lingkungan 20 2.5 Tinjauan Umum Unsur-Unsur Pencemaran 21
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pencemaran Di Pabrik Gula Ngadiredjo 3.1.1 Gambaran Umum Pabrik Gula Ngadiredjo 29 3.1.2 Proses Produksi Di Dalam Pabrik Gula Ngadiredjo 31 3.1.3 Limbah yang dihasilkan pabrik gula 34 3.1.4 Deskripsi Kasus Pembuangan Limbah oleh PG Ngadiredjo 36
80
3.2 Upaya Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan 3.2.1 Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan Berdasarkan UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 39 3.2.2 Penyelesaian Kasus Pembuangan Limbah PG Ngadiredjo Dilihat Dari Pendekatan Budaya Hukum dan Hubungan Kemitraan. 53 3.2.3 Pengolahan Dan Pemanfaatan Kembali Limbah Pabrik Gula Berdasarkan Kajian Pendirian Pabrik Gula Dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan)
61
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
73
4.2 Saran
75
DAFTAR PUSTAKA 76
81
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta pemanasan global yang semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim dan hal ini akan memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam konstitusi. Secara berturutturut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
82
Pasal 28H ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 33 ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Berdasarkan kedua Pasal tersebut di atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan
berkembang.
Perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
83
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pengendalian dampak lingkungan hidup merupakan upaya untuk melakukan tindakan pengawasan terhadap suatu aktivitas yang dilakukan oleh setiap orang terutama perusahaan-perusahaan
yang
menimbulkan
dampak
besar
tehadap
lingkungan. Dalam hal ini dampak lingkungan hidup diartikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Oleh karena itu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan local dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup
84
Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan.1 Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya. Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.2 Perkembangan dan pertumbuhan sektor industri di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Kemajuan disektor industri di satu sisi telah mendatangkan manfaat positif seperti : semakin
terbukanya
lapangan
pekerjaan,
meningkatnya
pendapatan
masyarakat dan lain sebagainya. Disisi lain ternyata kemajuan di sektor 1 2
id.Wikipedia.org di akses tanggal 17 Februari 2013 Ibid
85
industri membawa dampak negatif terutama terhadap lingkugan hidup yaitu dengan maraknya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan. Pencemaran atau perusakan lingkungan hidup di sektor dunia usaha merupakan akibat dari penerapan teknologi modern hasil rekayasa manusia yang terlalu eksploitatif tanpa memperhatikan keseimbangan dengan alam lingkungan. Bagi pelaku dunia usaha hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghasilkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya, mengingat modal yang ditanamkan pelaku usaha juga sangat besar. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UU PPLH ) memberikan regulasi seputar pengelolaan lingkungan hidup termasuk didalamnya mengatur tentang masalah pencemaran lingkungan hidup. Dalam Pasal 1 angka 14 UU PPLH disebutkan bahwa yang dimaksud pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pencemaran lingkungan dalam bentuk pembuangan limbah sisa hasil produksi saat ini benar-benar menuntut perhatian yang lebih dari banyak pihak baik pemerintah, pelaku dunia usaha dan masyarakat. Pembuangan limbah apalagi limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) harus mengacu pada prosedur yang telah ditentukan yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah
86
Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 disamping harus mengantongi ijin untuk melakukan pembuangan limbah.3 Banyak kasus pembuangan limbah industri yang pada akhirnya berpotensi
menimbulkan
terjadinya
pencemaran
lingkungan
hidup.
Pencemaran lingkungan hidup akibat pembuangan limbah produksi terjadi hampir setiap saat diberbagai tempat. Salah satu kasus yang hendak dikaji melaui tulisan ini adalah Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Studi kasus pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah padat oleh Perusahaan Gula (PG) Ngadirejo. Kasus tersebut telah memicu persoalan yang melibatkan unsur pemerintah yaitu Pemerintah Kabupaten, PG Ngadirejo dan masyarakat desa Ngadirejo, kecamatan Ngadiluwih. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan dapat mengatur serta memberikan solusi atau jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang dewasa ini marak terjadi di Indonesia. Salah satu kasus lingkungan hidup ialah terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berujung sengketa lingkungan hidup. 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Sengketa apa yang ditimbulkan akibat dari pencemaran lingkungan (Studi kasus PG. Ngadirejo)? 3
Journal Unsri Tentang Penyelesaian Pencemaran Lingkungan Hidup Melalui Pendekatan Budaya Hukum Dan Hubungan Kemitraan hal 63
87
2.
Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi kasus PG. Ngadirejo)?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui sengketa yang ditimbulkan akibat dari pencemaranm lingkungan (studi kasus PG. Ngadirejo)
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (studi kasus PG. Ngadirejo)
1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Diharapakan dari penulisan skripsi ini dapat menambah konstribusi pengetahuan tentang pelaksanaan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap pencemaran lingkungan yang menimbulkan sengketa. 2. Manfaat Praktis Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh masyarakat pada umumnya untuk penyelesaian masalah pencemaran lingkungan hidup yang menimbulkan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
88
1.5 Metode Penelitian Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan. Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Metode pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan masalah dengan menelaah kejadian yang ada dalam masyarakat yang kemudian dikaji dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar untuk memecahkan masalah serta berusaha menelaah kaedah-kaedah hukum yang berlaku di masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan yang berlaku 2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif , yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala lainya. Metode deksriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data
89
tentang obyek yang diteliti. Dalam hal ini untuk mendikripsikan pelaksanaan penyelesaian pencemaran lingkungan yang menimbulkan sengketa berdasarkan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup 3. Lokasi Penelitian Dalam penyusunan penelitian ini berstudi kasus di lingkungan PG Ngadirejo, dengan pertimbangan lokasi yang mudah dijangkau dan sebagai salah satu tempat usaha yang mengeluarkan limbah sebagai akibat dari kegiatan produksi pabrik yang dimana pencemaran tersebut dapat menimbulkan sengketa dengan masyarakat maupun pemerintah. 4. Bahan Hukum a.
Data Primer Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai gejala lainya yang ada di lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada obyek yang diteliti.
b. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang berumber dari UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, buku literatur, Yursiprudensi dan yang ada hubunganya dengan materi yang di bahas.
90
5. Metode Pengumpulan Data a. Penelitian kepustakaan Yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara membaca atau mempelajari buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainya yang berhubungan dengan obyek penelitian Metode ini di gunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai permasalahan yang ada relavansinya dengan obyek yang di teliti, dengan cara menelaah atau membaca, buku-buku, peraturan perundang-undangan,
maupun
kumpulan
literatur
yang
ada
hubunganya dengan masalah yang di bahas. b.
Penelitian Lapangan Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek penelitian.dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan yaitu: 1. Observasi Merupakan metode pengumpulan data dengan pengamatan langsung terhadap tempat yang dijadikan obyek penelitian yaitu lingkungan PG Ngadirejo. 2.
Wawancara Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan
untuk
memperoleh
informasi.
Disini
penulis
mengumpulkan data dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden terutama informan yang banyak
91
mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dengan ini penulis mengadakan wawancara dengan pihak PG.Ngadiredjo dan masyarakat. 6. Metode Analisa Data Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk, menjawab persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Setelah jenis data yang dikumpulkan maka analisa data dalam penuilsan ini bersifat kualitatif 1.6 Pertanggungjawaban Sistematika Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar skripsi, sehingga didalamnya diuraikan gambaran secara umum. Sub bab pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan,Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Pertanggungjawaban Sistematika Bab II : Tinjauan Pustaka. Bab ini diuraikan secara teoritis sebagai dasar pembahasan masalah pada
bab
berikutnya.
Sub
babnya
terdiri
atas
perkembangan hukum lingkungan, pencemaran lingkungan
Pengertian
92
Bab III : Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini membahas tentang masalah yang berkaitan dengan hukum
sengketa-sengketa
yang
diakibatkan
oleh
pencemaran
lingkungan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Bab IV : Penutup Yang pada hakikatnya merupakan suatu kajian yang beranjak dari masalah dan diakhiri dengan suatu konklusi yang merupakan jawaban atas masalah yang dikaji. Sub babnya terdiri dari Simpulan, dan Saran sebagai alternatif pemecahan masalah.
93
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Hukum Lingkungan Lintas sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diuraikan menjadi tiga babak, yakni masa tumbuhnya Arus Global 1972, munculnya Komitmen Internasional, dan Komitmen Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, serta Pasca Reformasi.4 Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH).5 Menurut para akademisi, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan perdata. UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang 4
5
www.menlh.go.id di akses tanggal 17 Februari 2013 www.mahkamahagung.go.id di akses tanggal 17 Februari 2013
94
sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat normanorma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum baru yang akan diuraikan. Pertama, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Dalam perubahan pengaturan ini, maka terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: ”hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai
95
negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi. Keempat, dalam UUPPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir – yang lazim disebut dengan istilah ”ultimum remedium” untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi negara tidak efektif. Dalam UUPPLH 2009, ”ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu Pasal saja, yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan: (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1000.000.000. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.” Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika saknis administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir. Kelima, UUPPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran
96
atau perusakan lingkungan hidup. Dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu: 1. badan usaha itu sendiri; 2. orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; 3. pengurus. Hukum
lingkungan
Indonesia
berkembang
selain
karena
perkembangan legislasi seperti melalui pengundangan UULH 1982, UULH 1997 dan UUPPLH 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan pengadilan. Dua putusan Pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusanputusan penting (landmark decisions) adalah putusan Pengadilan Negara 2.2 Tinjauan Umum Lingkungan Lingkungan adalah istilah yang mencakup segala mahluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di bumi atau bagian dari bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang belebihan.6 Lawan dari lingukungan hidup adalah lingkungan buatan, yang mencakup wilayah dan komponen – komponen yang banyak dipengaruhi oleh manusia.7 Dalam lingkungan terdapat ekositem yaitu berupa unsur – unsur lingkungan hidup merupakan sesuatu yang terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu system. Ilmu yang mempelajari tentang ekosistem 6 7
id.wikipedia.org di akses tanggal 17 Februari 2013 Ibid
97
adalah Ekologi, ekologi terdiri dari dua kata yaitu Oikos = rumah, Logos = ilmu, ekologi adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya. Disamping itu pula terdapat pendekatan ekosistem, pendekatan ekosistem terbagi 3 meliputi : a.
Antroposentrisme, Teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Alam hanya sebagai objek dan manusia digambarkan bersifat egoistis.
b.
Biosentrisme, Teori yang menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga hanya pada dirinya sendiri.
c.
Ekosentrisme, Teori yang memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak.8
Dalam Penjelasan Umum UU No.32 Tahun 2009 ,” Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Menurut Prof.Emil Salim: “ secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan kita tempati dan mempengaruhi hal yang tidak termasuk kehidupan manusia”. ( Abdurrahman,1990:7)
8
www. rezacnc.blogspot.com diakses 17 februari 2013
98
Menurut Prof.Otto Soemarwoto: “ Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita”. (Abdurrahman,1990:8)9 2.3 Permasalahan Lingkungan Konsekuensi Negara hukum sebagai yang dianut pula oleh Indonesia mewajibakan baik pemerintah maupun masyarakat untuk menempatkan hukum di atas segala-galanya. Salah satu indikatornya adalah berfungsinya badan-badan
judicial
termasuk
kekuasaan
kehakiman
dan
lembaga
peradilannya yang bebas dan mandiri. Sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan, maka urgensi kearah kemandirian dan kebebasan peradilan sudah seharusnya kian mempertegas posisi peradilan, sebab tidak ada pilihan pada badan-badan lain untuk mencari penegakan hukum dan keadilan terkait munculnya sengketa atau pelanggaran hukum include sengketa lingkungan hidup. Untuk itu salah satu cara untuk meruduksi kasus sengketa lingkungan adalah dengan jalan menghilangkan akar permasalahannya, paling tidak dengan melakukan pencegahan terhadap setiap bentuk kegiatan yang (diduga) dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan hal ini terkait dengan kejelasan kejelasan makna pencemaran lingkungan. Berdasarkan penelitian dan penilaian hasil-hasil pembangunan, maka ditemukan beragam sumber permasalahan yang dapat dikelompokkan menjadi 4, yang lazim disebut K4 atau P4: a. Kemiskinan , (poverty )
9
www. http://cutbanganeukmeutuah-emo.blogspot.com diakses 17 februari 2013
99
b. Kependudukan (population) c. Kekotoran dan kerusakan (pollution) d. Kebijakan ( politics)10 Adapun
Permasalahan
lingkungan
dalam
beberapa
literature
dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran, pemanfaatan lahan secara salah dan habisnya SDA,11. Meski tetap terdapat karakteristik yang berbeda yang biasanya ditentukan oleh berbagai factor, misalnya faktor iklim, geografis dan demografi. Akan tetapi permasalahan lingkungan ini adalah permasalah yang nyaris sama dihadapi oleh setiap Negara, yang lebih sering terdengar berupa pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk ukuran Indonesia, dapat dibaca dalam salah satu paparan yang dijelaskan di dalam naskah yuridis RUU Lingkungan, bahwa baik iklim maupun kerentangan geografis merupakan fakta-fakta empiris yang turut mempengaruhi laju degradasi lingkungan hidup Indonesia di samping fakta-fakta yuridis. Akan tetapi fakta empris ini bukan alasan untuk melepaskan tanggungjawab bahwa segala bentuk kerusakan alam (bencana alam) terjadi akibat kerentanan secara geografis. Justru sebaliknya, kerentanan ini menghendaki kehati-hatian dan kearifan dalam setiap usaha maupun kegiatan di dalam pengelolaan lingkungan yang dimulai sejak awal perencanaan sampai pada tahap pelaksanaannya, bahwa sifat unpredictable atau uncertainity terhadap adanya
10
St. Munajat Danusaputro “Hukum Lingkungan – Buku I Umum” (Bandung: Binacipta, 1980), h. 26-27 11 Takdir Rahmadi, Lingkungan Hidup di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) h. 1.
100
kerusakan dan pencemaran lingkungan pada setiap kegiatan dan usaha hendaknya menjadi pegangan dan sudah semestinya dikedepankan12 2.4 Tinjauan Umum Pencemaran Lingkungan Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, cemar dapat diartikan sebagai kotor, ternoda , sedangkan pencemaran adalah hal mencemarkan, yaitu menjadikan “sesuatu” cemar, kotor rusak dan lain-lain13 senada pula dengan kata polusi dan kontaminasi.14 Pencemaran secara umum diklasifikasikan menjadi15: a. Pencemaran udara. b. Pencemaran air. c. Pencemaran tanah. d. Pencemaran kebudayaan. Sedangkan untuk bahan pencemarnya diklasifikasikan menjadi; a. Pencemar fisik. b. Pencemar biologis. c. Pencemar kimiawi. d. Sosial budaya. Pengklasifikasian tersebut di atas untuk sebagian besarnya termasuk ke dalam bentuk pencemaran lingkungan, terkecuali pencemaran social budaya.
12
Asas kehati-hatian sebagai yang termuat dalam UUPPLH 2009 Pasal 2 hurus f Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (elektronik) 14 http://www.artikata.com/arti-361346-pencemaran.html. diakses tgl. 14 Nov 2012 15 Fuad Amsyari, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986), h. 52 13
101
2.5 Tinjauan Umum Unsur-Unsur Pencemaran Sebagai perbandingan diturunkan pengertian pencemaran lingkungan sebagai yang termuat dalam Kepmen Kementrian Lingkungan Hidup yaitu : “Pencemaran adalah masuk atau di masukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya”16 Pencemaran Lingkungan sesuai muatan Pasal 1 butur 12 UULH 1997 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Mengurai pengertian dari pasal tersebut di atas, maka akan didapati rentetan sebab merangkai hubungan kausalitas yang harus terpenuhi untuk sampai pada makna “pencemaran”, yaitu : a. Adanya kegiatan manusia, yang menyebabkan b. Masuk atau dimasukkannya komponen lain, yang menyebabkan c. Turunnya kualitas lingkungan sampai ke tingkat tertentu, hingga (akhirnya) menyebabkan d. Lingkungan tidak berfungsi sesuai peruntukannya 16
Keputusan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup RI Keputusan Menteri Kependudukan Lingkungan Hidup No 02/MENKLH/1988
102
Dapat dikatakan bahwa intinya terletak pada “tidak berfungsinya lingkungan sesuai peruntukannya”, seuatu yang seharusnya dikategorikan sebagai “rusak”. sebab sesuatu yang tidak berfungsi sesuai peruntukannya menjadi indikasi adanya kerusakan. Di samping itu terdapat rumusan turunnya kualitas lingkungan yang menjadi penyebab ketidak berfungsian lingkungan yang disebabkan oleh masuk atau dimasukkannya komponen lain ke dalam lingkungan yang disebabkan oleh suatu kegiatan. Berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh UULH 1997, pencemaran sebagai yang termuat di dalam Pasal 1 butir 14 UUPPLH 2009 dirumuskan sebagai : “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Rumusan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Adanya kegiatan manusia, yang menyebabkan b. Masuk atau dimasukkannya komponen lain, yang menyebabkan c. Baku mutu lingkungan terlampaui Dengan demikian berdasarkan rumusan ini, untuk dapat dikategorikan sebagai pencemaran, maka uji akhirnya terletak pada “terlampauinya baku mutu lingkungan”. Perbedaannya dengan UULH 1997 adalah mengenai fungsi-fungsi lingkungan yang dipakai sebagai ukuran terjadinya pencemaran digantikan oleh “terlampauinya baku mutu lingkungan”, yang pada dasarnya semakna dengan “menurunnya kualitas lingkungan sampai batas tertentu”, karena sama-sama menggunakan kriteria ukuran. Disamping itu pula, terkait
103
kasus sengketa lingkungan, tampaknya rumusan pasal-pasal tersebut di atas mengeliminir “pencemaran” lingkungan yang terjadi akibat proses-proses di luar kegiatan manusia, semisal proses kimiawi dan biologis, atau proses fisik sesuatu yang memang tampak mustahil untuk dijadikan dasar sengketa lingkungan, terlebih jika dampak dari pencemaran tersebut baru terasa berpuluh tahun kemudian. Sebagai yang telah diketahui menurut kriteria ilmiah, penyebab terjadinya pencemaran tidak selamanya timbul akibat adanya satu usaha atau kegiatan. Sebab pencemaran dapat saja terjadi akibat proses biologis, proses fisika maupun secara kimiawi yang membentuk dan menkonsentrasikan zatzat tertentu yang pada akhirnya menyebabkan lingkungan tidak berfungsi sebagai mestinya, dalam pengertian lain bahwa pencemaran dapat saja terjadi akibat proses proses tersebut di atas tanpa adanya campur tangan (usaha) manusia. Masalahnya kemudian terdapat proses- proses biologis dan kimiawi yang berproses dan berjalan sangat lambat terhadap masuk atau dimasukkannya komponen lain oleh satu kegiatan, sehingga dampak yang ditimbulkannya baru tampak beberapa tahun kemudian bahkan berpuluh tahun, seperti halnya yang terjadi pada tragedi Bhopal di India. Tanggal 3 Desember 1984 terjadi kebocoran gas beracun ke udara pada sebuah pabrik pestisida yang berlokasi di sekitar wilayah padat penduduk di Bhopal India, hal ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa 8000 orang hanya dalam waktu 3 hari.
104
Ternyata masalahnya tidak berhenti sampai disitu, sebab Lebih dari 20 tahun kemudian, sekira 20.000 orang meninggal akibat racun yang sudah terserap di dalam tubuh mereka Banyak orang yang mengindap penyakitpenyakit mengerikan,. Anak-anak dan cucu-cucu dari mereka yang selamat banyak yang menderita cacat lahir, termasuk lumpuh layu, pertumbuhan yang lambat, dan banyak masalah kelainan reproduksi dan kelainan sistem syaraf . Lebih dari 150 000 orang menderita akibat gas beracun yang bocor malam itu di Bhopal. Unsur penting selanjutnya dari istilah pencemaran lingkungan yang sama termuat dalam UUPLH 1997 dan UUPPLH 2009 adalah “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup” . Kalimat ini juga terpakai dalam materi UU. No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kriterianya pencemaran lingkungan terdapat
setiap komponen lain yang
dapat menyebabkan : a.
Lingkungan tidak berfungsi sesuai peruntukannya (UUPLH 1997 dan UU Pesisir 2007)
b.
Baku mutu lingkungan terlampaui (UUPPLH 2009)
Untuk sampai pada kriteria tersebut di atas, maka terdapat batasan mengenai cara masuknya komponen lain ke dalam kompartemen lingkungan, yaitu (hanya) hasil kegiatan manusia. Oleh sebab itu tercemarnya udara oleh debu vulkanik akibat letusan gunung berapi stutusnya tidak sama dengan tercemarnya udara oleh asap-asap industri, dikarenakan masuknya komponen lain tersebut harus didahului oleh adanya kegiatan yang dilakukan manusia.
105
Permasalan keberadaan komponen lain dalam media lingkungan ini dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu : a.
Perbedaan komponen (bersifat asing) tersebut dengan komponen asli media lingkungan
b.
Diukur berdasarkan Baku mutu lingkungan
c.
Diihat dari terjadinya perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
d.
Unsur perbuatan manusia (bencana alam atau karena hasil kegiatan manusia)
Untuk poin-poin tersebut di atas dapat dijelaskan melalui kasus dan bencana fenomenal yang saat ini belum selasai yaitu “lumpur Lapindo”. Sebagai yang telah diketahui bahwa rentetan putusan pengadilan akhirnya sampai pada keputusan bahwa Lapindo Brantas, Inc. “ tidak bersalah”17. Meskipun dalam berbagai kesaksian dan keterangan ahli di pengadilan menunujukkan bahwa peristiwa tersebut adalah akibat dari kegiatan manusia. Seperti yang diungkapkan Ahli Geologi RP Koesoemadinata saat bersaksi sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 18 UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang APBN-P 2012 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta,18 , bahwa , bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo mutlak karena kesalahan operasional pengeboran PT Lapindo Brantas. Belum lagi pertemuan yang diadakan American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan seperti yang dilaporkan oleh BBC London bahwa ketika diadakan vote , 42
17
Putusan PN Jaksel 27 Desember 2007, Putusan PT Jakarta 27 Oktober 2008, Putusan Kasasi MA 3 April 2009, Sidang putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010, No: 07/PRAPER/2010/PN.SBY 18 http://www.metrotvnews.com diakses tanggal 5 Maret 2013
106
dari 74 ilmuwan meyakini bahwa pengeboran merupakan pemicu dari letusan. Hanya tiga suara untuk gempa. Selain itu, 16 ilmuwan percaya bukti itu tidak meyakinkan, dan 13 sisanya merasa bahwa kombinasi gempa dan pengeboran yang harus disalahkan.19 Akan tetapi tetap saja, dengan alasan “tidak terdapat pelanggaran” , “bencana alam”, “tidak ada unsur perbuatan manusia” dan “kecendrungan gejala alam”, maka sengketa lingkungan ini ditutup dengan keptusan tidak bersalah dan hal ini diikuti pula oleh penegasan pemerintah. Terlepas dari polemik sebab-akibat tersebut, apakah akiabat pengeboran maupun bencana alam, menarik untuk disimak pendapat ahli geologi RP Koesoemadinata terkait adanya komponen lain dalam media lingkungan : “…masalahnya adalah jumlah cairan yang konon terdiri dari 70% air dan 30 zat padat yang membanjiri daerah Sidoarjo dan mengancam pemukiman serta melumpuhkan perekonomian, khususnya industri dan transportasi di daerah sekitarnya… Kalau limbah kimia atau limbah industri ataupun dari aktivitas manusia yang bersifat asing, maka saya sangat sangat setuju untuk dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang harus dicegah sekuat tenaga. Tetapi dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat atau bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk. Kekhawatiran akan rusaknya biota dsb adalah sangat berlebihan dan boleh
19
http://hotmudflow.wordpress.com diakses tanggal 5 Maret 2013
107
dikatakan merupakan paranoid yang sedang melanda kita semua, khususnya para ahli lingkungan. Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?)... apakah ini yang dikatakan pencemara ?... Saya kira air sungai dan air tanah di sekitar Sidoarjo itu sudah lebih tercemar oleh limbah industri daripada lumpur dari semburan yang masih murni …20 Lebih lanjut dinyatakan bahwa, dalam hal semburan lumpur Lapindo gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi. Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur ini dengan gejala alam yang disebut “mudvolcano”, sehingga Koesoemadinata sampai pada kesimpulan bahwa permasalah sebenarnya terletak pada definisi “pencemaran” yang perlu dikaji ulang.21 Oleh sebab itu standar-standar maupun kriteria baku kompenen “asing” ke media lingkungan perlu diketahui dan diperjelas dan hal ini tentunya memerlukan kajian yang lebih intens. Adanya komponen asing (Limbah B3) yang bersifat toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity semisal Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya, mungkin masih lebih mudah 20 21
http://hotmudflow.wordpress.com diakses tanggal 5 Maret 2013 Ibid
108
untuk diketahui melalui sifat dan dampaknya yang seketika dan jelas dapat dikategorikan sebagai bahan/zat/komponen pencemar/pollutan, akan tetapi “zat-zat”
lain
yang
pada
asalnya
tidak
berbahaya
namun
berinteraksi/berproses dengan zat lainnya yang memerlukan waktu, maka ini yang menjadi sulit untuk diprediksi. Terlebih jika “komponen” lain tersebut pada asalnya sama dengan komponen alami media lingkungan yang dimasukinya (semisal lumpur Lapindo dan abu vulkanik dll), dapatkan disebut sebagai pencemaran ?. Pernyataan dan pertanyaan tersebut di atas patut menjadi renungan dan pertimbangan, bahwa ukuran, maupun batas batas toleransi interaktif lingkungan bersifat fluktuatif, berubah-ubah, tak dapat diprediksi, berjalan lambat, tiba-tiba dan sebagainya. Perlu kearifan visioner untuk menilai dan mengkategorisasi pencemaran maupun kerusakan yang terumuskan ke dalam pasal-pasal berbagai peraturan. Beberapa kasus telah memberi pengajaran berharga bahwa perbedaan antara bencana alam dan hasil kegiatan manusia sangat sulit dibedakan. Bahkan pengadilanpun memerlukan waktu bertahuntahun untuk sampai pada satu kesimpulan/keputusan antara “perbuatan manusia” dan “perbuatan alam” sementara bencana pencemaran dan kerusakan lingkungan berjalan tanpa henti.
109
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pencemaran Di Pabrik Gula Ngadiredjo 3.1.1 Gambaran Umum Pabrik Gula Ngadiredjo Pabrik Gula Ngadiredjo merupakan salah satu Unit Usaha dari PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) yang bergerak dibidang usaha mengelola bahan baku tebu menjadi produksi utama gula pasir dengan hasil samping tetes yang digunakan sebagai baha baku Alkohol, Spirtus untuk keperluan medis. Pabrik Gula Ngadiredjo didirikan pada tahun 1912 oleh Perusahaan Swasta Belanda yaitu NV HVA (Handels Verniging Amsterdam). Perjalanan perkembangan pengelola dan kondisinya sebagai berikut :22 a. Tahun 1912,
Pabrik Gula Ngadiredjo didirikan oleh Perusahaan
Swasta Belanda NV HVA. b. Tahun 1941, Penjajah Jepang masuk Indonesia, operasional di ambil alih jepang hingga tahun 1945 c. Tahun 1945-1957, Saat Agresi militer Belanda II, dikembalikan kepemilikan semula yaitu VN HVA d. Tahun 1957, Diambil alih oleh Pemerintahan Indonesia (Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Asing) e. Tahun 1963, PP. No 1 dan 2 Mengadakan reorgnisasi dibentuk BPU. PPN_GULA
22
Sumber Data Dari Pabrik Gula Ngadiredjo tanggal 5 Juni 2013
110
f. Tahun 1968, PP. No. 14, BPU. PPN-GULA dibubarkan, dibentuk Direksi PN. Perkebunan (PNP) g. Tahun 1973, PP. No 23, penggabungan PNP. XXI dengan PNP. XXII menjadi PT. Perkebunan XXI-XXII (Persero) dimaa PG. Ngadiredjo didalamnya. h. Tahun 1996, Restrukturisasi BUMN melalui Kep. Men. Kehakiman No. 52.8338 HT. 01.01. tgl 11-3-1996. PT. Perkebunan XXI-XXII (Persero) digabung dengan PT. Perkebunan XXVII, Pabrik karung Pecangakan, Perkebunan Tembakau Klaten dan Jember menjadi PT. PERKEBUNAN NUSANTARA X (PERSERO). Yang memiliki Unit Usaha : Unit Pabrik Gula, Unit perkebunan tembakau cerutu (eksport) beserta pabrik cerutunya, Unit Rumah sakit (untuk karyawan & umum), dan Unit Pabrik karung i. Tahun 2008, PG NGadiredjo melaksanakan Kerjasama Operasional (KSO Perj. No. XX-KONTR/08.112 tgl 24 April 2008) dengan PT. Kencana Gula Manis (KGM) yang berkantor pusat di : Plaza Asia (ABDA) Lt. 7D, Jln Jendral Sudirman Kav. 59 Jakarta 12190 – Indonesia , Phone : +62-21-5152929 (hunting), Fax : +62-2151401250, Email :
[email protected] KSO direncanakan akan berjalan selama 25 tahun yang penandatangan perjanjian Kerja Sama Operasional tgl 24 April 2008. j. Tahun 2009, KSO dinyatakan batal, PG. ngadiredjo kembali dibawah Direksi PT. Perkebunanan Nusantara X (persero)
111
Lokasi PG Ngadiredjo, PG Ngadiredjo terletak di dua desa yaitu Ds. Jambean. Kec. Kras dan Ds Tales Kec. Ngadiluwih Kabupaten Kediri. Alamat Pos : “Desa Jambean, Kec. Kras Kediri – 64102 Tromol Pos No. 5 Tilp (0354) 479700. Wilayah kerjanya meliputi dua kabupaten yaitu Kab. Kediri dan Kab. Blitar. Pembagian wilayah kerja dibagi menjadi tiga wilayah yaitu :23 1. Kabupaten Kediri Bagian Timur meliputi : Kec. Onggoboyo, HGU Sumber Lumbu I, HGU Sumber Lumbu II, HGU Galuhan. 2. Kabupaten Kediri Bagian Barat meliputi : Kec. Ngancar, Wates, Kandat, Ringinrejo, Ngadiluwih, Kras 3. Kabupaten Blitar meliputi : Kec. Udanawu, wonodadi, Kesamben, Binangun, Sutojayan, Ponggok, Nglegok, Talun dan Gandusari. 3.1.2 Proses Produksi Di Dalam Pabrik Gula Ngadiredjo Pabrik Gula Ngadiredjo yang terletak di Kabupaten Kediri .Pabrik yang kini telah berusia satu abad lebih itu didirikan pada tahun 1912 oleh perusahaan swasta Belanda dan dinasionalisasi oleh Presiden Soekarno di tahun 1958. Dengan kapasitas giling mencapai 6000 ton tebu perhari, salah satu pabrik gula terbesar Indonesia ini mampu memproduksi hingga 80.000 ton gula setiap harinya. Sebelum melakukan proses produksi, hal pertama yang dilakukan adalah proses pemllihan bahan baku. Bahan baku salah satunya diperoleh melalui perkebunan sendiri yang dikelola oleh perusahaan dengan bekerjasama dengan masyarakat. Perkebunan tersebut diawasi mulai
23
Sumber Data Dari Pabrik Gula Ngadiredjo tanggal 5 Juni 2013
112
dari proses penanaman, pemanenan, serta pengolahannya sebelum diolah menjadi gula. Adapun cara pemilihan bahan baku yang baik adalah tebu yang layak dijadikan bahan produksi , persyaratannya antara lain: 24 a. Tebu yang tua b. Rasanya Manis c. Mempunyai kadar gula yang tinggi, yaitu maksimal 9% dan minimal 7%, Ada beberapa tahapan dalam proses produksi gula, yaitu 25 1. Ekstraksi Tahap pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Pada proses ini, tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang berukuran besar. Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya digunakan di mesin pemanas (boiler). 2. Pengendapan (liming) kotoran dengan kapur Liming adalah proses pembersihan jus hasil ekstraksi dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan. 3. Penguapan/ evaporasi Setelah mengulami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap pangs dalarn suatu proses yang dinamakan evaporasi. 24
Sumber Data Dari Pabrik Gula Ngadiredjo dan Wawancara dengan Perwakilan dari PG.Ngadiredjo tanggal 5 Juni 2013 25 Ibid
113
4. Pendidihan/ kristalisasi Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar untuk dididihkan. Di dalarn panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. 5. Penyimpanan Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selarna penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya
sudah
dapat
digunakan,
tetapi
karena
kotor
dalarn
penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula ini dimurnikan lebih lanjut. 6. Atinasi Tahap pertarna pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan Kristal. 7. Karbonatasi Tahap ini bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Karbonatasi dapat diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, Ca(OH)2] 8. Penghilangan warna/ Decolorization Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi granular activated carbon, (GAC) yang mampu menghilangkan hampir seluruh zat warna.
114
9. Pendidihan Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal gula. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum dikemas dan atau disimpan siap untuk didistribusikan. 10. Pengolahan sisa/ Recovery Proses ini bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara dengan gula kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Proses ini menghasilkan Produk yang biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan temak atau dikirlin ke pabrik fermentasi seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol. 3.1.3 Limbah yang dihasilkan pabrik gula Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di dacrah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal + 232 ribu hektar, yang tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tanaman ini merupakan sumber bahan baku perusahaan gula. Dalam suatu produksi barang, pastilah didapat hasil samping (limbah).Begitu pula halnya dengan produksi pada pabrik gula. Berikut adalah limbah yang dihasilkan dari produksi gula yang berasal dati tanaman tebu: 26
26
Sumber Data Dari Pabrik Gula Ngadiredjo dan Wawancara dengan Perwakilan dari PG.Ngadiredjo tanggal 5 Juni 2013
115
1. Pucuk Tebu Pucuk tebu adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu giling ataupun bibit. Diperkirakan dari 100 ton tebu dapat diperoleh sekitar 14 Ton pucuk tebu segar. Pucuk tebu segar maupun dalam bentuk awetan, sebagai silase atau jerami dapat menggantikan rumput gajah yang merupakan pakan ternak yang sudah umum digunakan di Indonesia. 2. Ampas Tebu Tebu diekstrak di stasiun gilingan menghasilkan nira dan bahan bersabut yang disebut ampas.Ampas terdiri dari air, sabut dan padatan terlarut. Komposisi ampas rata-rata terdiri dari kadar air : 46 - 52 %; Sabut 43 - 52 %; padatan terlarut 2 - 6 %. Umumnya ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk pemenuhan kebutuhan energi pabrik.Pabrik gula yang efisien dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar boilernya dari ampas, bahkan berlebih. Ampas yang berlebih dapat dimallfhatkan untuk pembuatan briket, partikel board, bahan baku pulp dan bahan kimia seperti furfural, xylitol, methanol, metana, dll. 3. Blotong Pada proses pemurnian nira yang diendapkan di clarifier akan menghasilkan nira kotor yang kemudian diolah di rotary vacuum filter. Di alat ini akan dihasilkan nira tapis dan endapan yang biasanya disebut "blotong" (filter cake). Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67 %, kadar pol 3 %,, sedangkan dari PG. Karbonatasi kadar airnya 5 % dan
116
kadar pol 2 %.
Blotong dapat dimanfaatkan antara lain untuk pakan
ternak, pupuk dan pabrik wax. Penggunaan yang paling menguntungkan saat ini adalah sebagai pupuk di lahan tebu. 4. Tetes Tetes (molasses) adalah sisa sirup terakhir dari masakan (massecuite) yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan gula dengan kristalisasi konvensional. Penggunaan tetes antara lain sebagai pupuk dan pakan ternak dan pupuk. Selain itu juga sebagai bahan baku fermentasi yang dapat rnenghasilkan etanol, asarn asetat, asarn sitrat, MSG, asarn laktat dll. 5. Asap Telah disebutkan di atas hasil sampingan (limbah) pabrik gula cukup beragam. Agar limbah ini tidak menjadi masalah bagi lingkungan sekitar, maka diperlukan suatu pengelolaan terhadap limbah tersebut. Cara-cara yang bisa digunakan dalm pengolahan limbah yaitu menetralkan limbah sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan , dan dengan merubah limbah menjadi baring lain yang lebih bernilai tinggi. 3.1.4 Deskripsi Kasus Pembuangan Limbah oleh PG Ngadiredjo Pabrik Gula ( PG ) Ngadiredjo merupakan salah satu pabrik gula yang terletak di Kabupaten Kediri. PG Ngadiredjo dalam menjalankan usahanya mengolah tanaman tebu menjadi gula dan dari produksi yang dijalankan menghasilkan limbah baik berupa limbah padat dan limbah
117
cair. Limbah yang dihasilkan oleh PG Ngadiredjo terutama limbah padat merupakan limbah sisa hasil produksi gula sehingga bisa disebut limbah organik. Limbah padat tersebut berupa blotongan dan abu ketel yang biasa dimanfaatkan untuk pupuk kompos, campuran batu bata maupun uruk pekarangan. Limbah padat tersebut termasuk limbah yang aman karena tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan B3. Penyimpanan limbah padat oleh PG Ngadiredjo dilakukan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang berlokasi di sekitar wilayah pabrik. Selama ini pengolahan limbah padat ditangani oleh pihak lain di luar perusahaan (PG Ngadiredjo), namun demikian dari pihak perusahaan terdapat sebuah tim yaitu Tim Penanganan Limbah Pabrik Gula yang menjalankan tugas berkaitan dengan permintaan limbah padat berupa blotongan maupun abu ketel yang biasa dilakukan oleh warga masyarakat, kontraktor atau pihak ketiga lainnya. Sementara untuk pengolahan limbah cair dilakukan oleh
pihak perusahaan (PG Ngadiredjo) dengan
menggunakan prasarana IPAL (Instalasi Pembuangan Limbah). Prasarana IPAL didesain sedemikian rupa dengan tujuan untuk merekondisi air limbah standar air limbah berada dibawah baku mutu lingkungan sehingga bisa langsung dimanfaatkan petani dalam kondisi jernih untuk mengairi sawah.
118
Pembuangan limbah padat yang berasal dari PG Ngadiredjo dilakukan oleh perusahaan rekanan PG Ngadiredjo atas pesanan seseorang yang tinggal di Surabaya untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos. Sebelum dibawa ke Surabaya, limbah padat berupa sepah tebu berwarna hitam tersebut diangkut ke Desa sekitar Pabrik Gula dan ditempatkan pada areal tanah kosong seluas 600 m2.27 Keberadaan limbah padat tersebut telah merugikan warga desa karena akibat adanya limbah tersebut maka udara pada malam hari dan siang hari terasa tidak enak, disamping itu debu limbah tersebut menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Warga masyarakat Desa sekitar Pabrik Gula mengadukan hal tersebut kepada Pemerintah melalui Kepala Desa dan Kepala Kecamatan setempat untuk diteruskan kepada BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kediri.28 Guna penanganan lebih lanjut , akhirnya Badan Lingkungan Hidup Kediri melakukan koordinasi dengan BLH Kediri dan PG Ngadiredjo. Mencermati deskripsi terjadinya kasus diatas, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembuangan limbah yang mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, yaitu :29 a. PG Ngadiredjo dalam hal penanganan limbah baik limbah padat maupun limbah cair dilakukan oleh tim khusus yaitu Tim Penanganan Limbah Pabrik Gula serta telah pula dilengkapi dengan prasarana IPAL (Instalasi Pembuangan Limbah). 27
Wawancara dengan warga sekitar PG.Ngadiredjo Pada tanggal 7 juni 2013 Wawancara dengan warga sekitar PG.Ngadiredjo Pada tanggal 7 juni 2013 29 Wawancara dengan warga sekitar PG.Ngadiredjo Pada tanggal 7 juni 2013 28
119
b. Khusus pengelolaan limbah padat berupa blotongan dan abu ketel dilakukan oleh perusahaan rekanan PG Ngadiredjo melalui koordinasi dengan Tim Penanganan Limbah Pabrik Gula. c. Limbah padat dari PG Ngadiredjo begitu diangkut keluar dari PG Ngadiredjo atas permintaan seseorang untuk dijadikan bahan baku pembuatan pupuk kompos ternyata telah menimbulkan masalah. Masalah timbul karena limbah padat tersebut ditempatkan di areal pemukiman penduduk di Desa sebelum diangkut ke tempat pembuatan pupuk kompos. d. Limbah padat berupa sepah tebu berwarna hitam yang berasal dari PG Ngadiredjo bukan termasuk limbah yang mengandung B3 berdasarkan PP Nomor 85 Tahun 1999. e. Warga masyarakat Desa merasa terganggu dengan keberadaan limbah sepah tebu tersebut karena telah mengakibatkan terjadinya polusi udara dan rasa gatal-gatal pada kulit. 3.2 Upaya Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan 3.2.1 Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan Berdasarkan UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penegakan Hukum Lingkungan ialah pengawasan dan penerapan atau dengan ancaman, penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penaatan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual . “Penegakan Hukum Lingkungan berkaitan erat dengan
120
kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administratif, pidana dan perdata”. Dalam upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual,
melalui
pengawasan
dan
penerapan
sanksi
administrasi,
kepidanaan dan keperdataan, Penegakan Hukum Lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pejabat berwenang, telah diatur dalam Pasal 71 UUPLH, yaitu: a) Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan
dalam
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya pejabat/instansi
dalam teknis
melakukan yang
pengawasan
bertanggung
jawab
kepada di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; c) dalam
melaksanakan
pengawasan,
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
121
Penegakan Hukum Lingkungan terbagi menjadi 3 (tiga) aspek yaitu: 1) Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Upaya penegakan Hukum Lingkungan yang diterapkan kepada kegiatan dan/atau usaha yang ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut diterapkan melalui sanksi administratif seperti yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH, yang terdiri dari: a) terguran tertulis; b) paksaan pemerintah; c) pembekuan izin lingkungan; atau d) pencabutan izin lingkungan. 2) Penegakan Hukum Lingkungan Perdata Upaya penegakan hukum ini dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bentuk dari penegakan hukum ini adalah sanksi perdata berupa pembayaran ganti rugi bagi masyarakat dan pemulihan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 3) Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Penegakan Hukum Pidana Lingkungan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi salah satu persyaratan berikut: a) sanksi administratif, sanksi perdata, penyelesaian sengketa alternatif
melalui
negosiasi,
mediasi,
musyawarah
diluar
pengadilan setelah diupayakan tidak efektif atau diperkirakan tidak akan efektif.
122
b) tingkat kesalahan pelaku relatif berat; c) akibat perbuatan pelaku relatif besar; dan d) perbuatan pelaku menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Hal ini berkaitan bahwa penerapan sanksi pidana lingkungan tetap memerhatikan asas ultimum remedium, yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif, sanksi perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Upaya penegakan hukum ini di wujudkan dalam bentuk sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda seperti yang diatur dalam Pasal 98 s/d Pasal 120 UUPPLH. Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1).Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai : a. Bentuk dan besar nya ganti rugi; b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan; c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
123
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep Alternative Dispute Resolution (ADR),yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi. Dan pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam pelaksanaan mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan. Bentuk bentuk Alternative Dispute Resolution yang dilaksanakan di sistem hukum Negara Indonesia adalah sebagai berikut : (a) Negosiasi Negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang bersengketa berhadapan
langsung
secara
seksama
dalam
mendiskusikan
permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan negosiasi bisa saja unsur-unsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan proses negosiasi tersebut mampu diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
124
(b) Mediasi Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut mediator. “Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, apabila antara kedua pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri sengketa yang mereka hadapi, mereka dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka mencapai persetujuan atau kesepakatan. Mediasi sendiri diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, medaitor berperan pasif. Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah, mengarahkan penyelesaian sengketa, dsb. Kedua, mediator berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian
seorang
mediator
diharapkan
dapat
menyelesaikan
permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa bersifat menunggu.
125
(c) Arbitrase Dalam arbitrase para pihak menyerahkan sengketa mereka kepada pihak ketiga yang netral yang berwenang mengambil keputusan dan keputusannya itu mengikat pihak yang bersengketa dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Ketentuan mengenai arbitrase itu sendiri diatur dalam pasal 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase ini lebih bersifat formil dan terstruktur daripada mediasi dan negosiasi. Para pihak yang bersengketa tidak merumuskan sendiri keputusan mereka namun bergantung kepada arbiter. Ciri- ciri arbitrase antara lain : (1) Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang atau panel dari arbiter. (2) Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti. (3) Keputusan arbutrase bersifat mengikat (d) Konsiliasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara
126
negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa. (e) Pencarian fakta (fact finder) Pencarian
fakta sangat diperlukan dalam
penyelesaian
sengketa lingkungan hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Secara umum, ada beberapa keuntungan menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup dengan menggunakan metode ADR yaitu : (1) Keputusan yang hemat, jika dibandingkan dengan jalur pengadilan yang membutuhkan biaya yang besar. (2) Penyelesaian secara cepat, jika dibandingkan dengan jalur pengadilan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. (3) Hasil dapat memuaskan semua pihak. (4) Kesepakatan yang timbul bersifat komprehensif dan customized, yaitu penyelesaian masalah lingkungan hidup bisa menyelesaikan masalah baik yang diatur dalam hukum maupun yang berada di luar jangkauan hukum.
127
(5) Tingkat kepercayaan yang tinggi dari pihak yang bersengketa. (6) Tingkat pengendalian yang lebih besar dan hasilnya bisa diduga. (7) Kesepakatan yang terbentuk bersiat win-win solution. Penyelesaian
sengketa
lingkungan
hidup
merupakan
suatu
penyelesaian sengketa yang unik, karena dalam sengketa tersebut tidak bisa serta merta diterapkan jalur melalui pengadilan. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu faktor ekonomi, sosial bahkan sampai pada faktor politik. Sebagai contoh, apabila terjadi sengketa lingkungan hidup antara sebuah perusahaan dengan masyarakat, demi kepentingan penyidikan aparat penegak hukum tidak bisa serta merta menghentikan kegiatan perusahaan tersebut karena aparat penegak hukum harus memperhatikan juga hajat hidup orang banyak yang menjadi karyawan pada perusahaan tersebut. Apabila aparat penegak hukum tetap bersikeras, kemungkinan masalah sengketa lingkungan hidup tersebut bisa berkembang menjadi masalah sosial yang serius. Apabila menghadapi persoalan tersebut tentunya metode penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan menjadi lebih efektif. Peranan instansi pemerintah dan juga non pemerintah (LSM Lingkungan hidup) yang berkaitan dengan lingkungan hidup tentunya sangat berperan penting dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup sekaligus melakukan kontrol terhadap pihak-pihak tertentu dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kepada perusahaan/pihak-pihak yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup harus dibebani oleh hakim untuk :
128
(1) Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan. (2) Memulihkan fungsi lingkungan hidup. (3) Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari : 1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Hal ini termuat dan diatur lebih lanjut pada Pasal 87 UU No.32 Tahun 2009, ganti kerugian dikenakan terhadap setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum
berupa
pencemaran
atau
perusakan
lingkungan
yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum/dan atau kewajiban badan usaha tersebut. Dalam hal ini pengadilan dapat mengenakan uang paksa terhadap keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan, dimana uang paksa ini didasarkan pada peraturan peraturan perundangundangan. 2. Tanggung Jawab Mutlak Terhadap setiap orang yang tindakannya atau usahanya dan kegiatannya yang menggunakan B3( Bahan Berbahaya Beracun),
129
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. 3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah Dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, berwenang untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.(Pasal 90 Ayat 2) 4. Hak Gugat Masyarakat Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok (Class Action) untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terjadi kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Ketentuan mengenai hak gugat ini masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
130
hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memnuhi persyaratan sebagai berikut: a. Berbentuk badan hukum b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan
untuk
kepentingan
pelestarian
fungsi
lingkungan hidup. c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 tahun. 6. Gugatan Administratif Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal. b. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL c. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
131
Akan tetapi dibalik ini semua, UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.Yang mana penerapan asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,emisi,dan gangguan. Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata, Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal standing. Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya. Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan, pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini. Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif, misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,baik
perseorangan,korporasi,maupun pejabat. Contoh yang paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL. Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai AMDAL, tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri
132
berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya ”dampak besar”. Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada undangundang terbaru ini antara lain: a. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; c. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi AMDAL; d. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan; e. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai kewenangannya. Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU No 32 Tahun 2009 ini, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL.Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa : a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan; b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi; c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL
133
3.2.2 Penyelesaian Kasus Pembuangan Limbah PG Ngadiredjo Dilihat Dari Pendekatan Budaya Hukum dan Hubungan Kemitraan. Penyelesaian terhadap kasus pembuangan limbah oleh PG Ngadiredjo di Kabupaten Kediri dilakukan melalui jalur komunikasi antara pihak-pihak yaitu :30 a. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kediri. b. Camat. c. Kepala Desa d. Sejumlah warga Desa. Komunikasi yang terjalin melalui pertemuan oleh pihak-pihak tersebut diatas yang bertempat di Kantor Badan lingkungan Hidup (BLH) Kediri. Dalam pertemuan tersebut tercapai suatu kesepakatan bahwa Pabrik Gula (PG) Ngadiredjo di-deadline untuk membersihkan limbah di Desa dalam tenggat waktu 3 (tiga) hari. Kesepakatan tersebut dicapai setelah masingmasing pihak bertemu dan saling mengungkapkan fakta-fakta seputar pembuangan limbah oleh PG Ngadiredjo. Pihak Pabrik Gula (PG) Ngadiredjo yang diwakili oleh Koordinator Tim Penanganan Limbah PG Ngadiredjo menyatakan bahwa kasus pembuangan limbah PG Ngadiredjo di Desa diluar sepengetahuan PG Ngadiredjo dan bukan berada dibawah tanggung jawab PG Ngadiredjo melainkan melalui rekanan. Bahwa limbah berupa blotongan dan abu ketel tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti yang
30
Wawancara dengan warga sekitar PG.Ngadiredjo Pada tanggal 7 juni 2013
134
dikhawatirkan masyarakat selama ini. Berdasarkan kasus tersebut maka PG Ngadiredjo akan lebih berhati-hati kalau ada permintaan limbah untuk keperluan apapun. PG Ngadiredjo akan mensyaratkan bagi pihak ketiga yang hendak meminta limbah dari PG Ngadiredjo untuk melampirkan persetujuan dari lingkungan atau aparat desa yang dituju. Pihak PG Ngadiredjo juga akan menanyakan kepada pihak ketiga yang meminta limbah dari PG Ngadiredjo mengenai kemana tujuan limbah akan dibawa atau diangkut. Sebenarnya PG Ngadiredjo sudah memiliki prasarana IPAL untuk menampung dan mengolah limbah, namun saat ini IPAL sedang mengulami perbaikan desain dengan tujuan agar limbah yang dihasilkan oleh PG Ngadiredjo berstandar dibawah baku mutu lingkungan sehingga limbah yang dihasilkan dapat langsung dimanfaatkan oleh warga masyarakat sekitar. Pihak BLH Kediri menyampaikan apapun alasannya, BLH Kediri tidak mengijinkan pembuangan limbah di pemukiman penduduk. Berkaitan dengan pelaksanaan pembuangan limbah yang harus dilaksanakan dalam tenggat waktu tiga (3) hari maka BLH Kediri akan lebih intensif melakukan pengawasan terhadap pelaksana pembuangan limbah dengan melakukan koordinasi dengan pihak Satpol PP. Meskipun pembuangan limbah sudah memenuhi syarat akan tetapi ketika dilakukan pengecekan ternyata terjadi overload sehingga BLH Kediri merekomendasikan kepada Pabrik untuk segera membuang kelebihan limbah karena sangat mengganggu dengan bau yang ditimbulkan. Pihak BLH Kediri atas terjadinya kasus pembuangan limbah PG Ngadiredjo meminta maaf dan berkomitmen untuk memgharuskan PG
135
Ngadiredjo membuang limbah dari Kediri. Lebih baik masalah ini diselesaikan secara damai dari pada harus dibawa ke ranah hukum. Sejumlah warga masyarakat Desa menyampaikan bahwa meskipun keberadaan limbah selama ini telah merugikan warga masyarakatdi wilayahannya lantaran mengakibatkan polusi dan rasa gatal-gatal, tetapi warga masyarakat mengaku tidak akan menuntut ganti rugi. Masyarakat hanya berharap permasalahan pembuangan limbah di wilayahnya tidak akan terulang lagi. Dengan demikian penyelesaian atas kasus tersebut dilakukan melalui komunikasi yang melibatkan pihak BLH Kediri, PG Ngadiredjo, Camat, Kades dan sejumlah warga masyarakat Desa. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa PG Ngadiredjo dalam jangka waktu 3(tiga) harus segera membersihkan limbah tersebut untuk diangkut kembali ke PG Ngadiredjo. Mencermati cara penyelesaian kasus pembuangan limbah PG Ngadiredjo di desa dimana lebih menonjolkan kekeluargaan dengan cara musyawarah merupakan suatu hal yang banyak terjadi pada masyarakat yang sederhana. Pada masyarakat yang sederhana , menurut Chambliss dan Seidman hanya sedikit mengenal konflik. Keberadaan masyarakat dan pembuatan hukumnya lebih banyak bertumpu pada kesepakatan diantara para warganya mengenai apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan diantara warga masyarakat. Dalam masyarakat yang sederhana sudah menjadi kebiasaan menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan untuk menghindari permusuhan. Hal yang demikian merupakan kekuatan sosial yang disebut
136
dengan istilah budaya hukum yang dianggap sebagai alasan yang mendorong masyarakat dalam menggunakan media penyelesaian sengketa.31 Dalam menghadapi persoalan hukum berupa sengketa atau konflik masyarakat sebenarnya memiliki suatu kekuatan yang bersifat otonom. Kekuatan ini eksis dan dating secara serta merta dari dalam masyarakat dan tidak diturunkan dari sumber lain, kecuali masyarakat itu sendiri dan karena itu disebut sebagai kekuatan otonom atau asli (oerkracht, original power). Kekuatan ini hadir secara alami mendahului kekuatan-kekuatan lain yang dibandingkan dengan kekuatan otonom tersebut lebih bersifat artifisial. Tanpa melalui macammacam prosedur dan persyaratan, kekuatan otonom tersebut mengaksentualisasikan dirinya spontan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai suatu bentuk kehidupan bersama. Salah satu persyaratan bagi adanya kehidupan bersama adalah suasana keteraturan dalam hubungan antara anggota masyarakat . Kalau masyarakat membutuhkan keteraturan dan ketertiban, kekuatan otonom tersebut akan menampilkan dirinya dalam bentuk kekuatan untuk mengatur (sendiri) masyarakat dan akan melahirkan sendiri berbagai kaidah dalam hubungan sesame anggota masyarakat.32 Menurut Satjipto Raharjo, dalam masyarakat yang sederhana, sengketa lingkungan dalam skala terbatas yang melibatkan masyarakat dengan dunia usaha berskala kecil/menengah dapat diatasi oleh kekuatan otonomi masyarakat secara mandiri. Kekuatan otonomi masyarakat tersebut hadir dalam bentuk tampilnya tokoh masyarakat setempat berupa tokoh 31 32
Raharjo,Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Indonesia. Raharjo,Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Indonesia.
137
formal maupun tokoh informal untuk menjadi media penyelesaian sengketa lingkungan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari persepsi para pihak yang yang mudah intuk dipahamkan dalam menghadapi sengketa lingkungan. Kondisi seperti itu dipengaruhi adanya kesadaran yang tinggi dari para pihak akan hak dan tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan terhadap lingkungan. Penyelesaian sengketa atau konflik lingkungan dengan menggunakan lembaga yang mendasarkan pada asas kekeluargaan menunjukkan adanya kepatuhan masyarakat pada norma-norma ideal yang hidup dalam masyarakat. Fenomena semacam itu dilihat dari teori structural-fungsional mengandung makna bahwa tindakan seseorang akan dipengaruhi oleh nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam perspektif ini peranan budaya merupakan penentu perilaku seseorang termasuk dalam menggunakan forum untuk menyelesaiakan sengketa yang dihadapi. Tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku yang berorientasi pada nilai-nilai, yaitu berkaitan dengan standar normative yang mengendalikan pilihan-pilihan individu33. Pilihan
untuk
menyelesaikan
sengketa
lingkungan
dengan
menggunakan ketentuan hukum nonformal di tengah derasnya pemerintah memperkenalkan
dan
mengkampanyekan
pentingnya
menggunakan
hukumformal sebagai bagian dari kesetiaan masyarakat untuk melaksanakan konsekuensi
dari
negara
hokum,
sesungguhnya
merupakan
bentuk
strukturisasi dari struktur yang sudah ada, yang dilakukan masyarakat tidak 33
Ritzer,George,1988,Contemporary Sociological Theory,Elfred A. Knop,New York hal 114-115
138
lain dalam rangka mencari keadilan yang substandif, bukan artifisial. Fenomena seperti tersebut diatas dilihat dari perspektif hukum modern dapat dikatakan sebagai praktek aneh. Satjipto Raharjo menggambarkan bahwa praktek aneh dalam mengoperasionalkan hukumdapat dilihat dari adanya institusi “musyawarah”, yang tidak jarang menimbulkan distorsi dalam dunia kehidupan hukummodern yang cenderung menunjuk pada peraturan yang sudah jelas.34 Pilihan penyelesaian dengan pendekatan budaya sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dalam menyelesaikan sengketa sejak dahulu kala. Namun begitu model penyelesaian dengan pendekatan budaya yang menekankan musyawarah berdasarkan prinsip kekeluargaan tersebut dalam perkembangannya kurang dapat didayagunakan sehingga dalam berbagai praktek penyelesaian sengketa, model penyelesaian semacam ini dikalangan warga masyarakat menjadi kurang dikenal. Seolaholah bukan menjadi bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Penyelesaian terhadap kasus pembuangan limbah PG Ngadiredjo dapat dicermati sebagai langkah menuju masyarakat sipil yang didambakan sebagaimana yang dimaksud oleh Emil Salim. Pada masyarakat sipil yang yang demikian akan ditandai dengan adanya keseimbangan diantara tiga (3) kekuatan yang ada pada masyarakat yaitu : pemerintah, pengusaha dan
34
Raharjo,Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Indonesia.
139
masyarakat sipil. Agar ketiga kekuatan dapat berfungsi seimbang diperlukan norma dan pengaturan yang memuat prinsip pokok yaitu : 35 1. Aturan hukum yang memungkinkan keterlibatan dan ketermasukan seluas
mungkin
anggota
masyarakat
berperan
serta
dalam
pembangunan. 2. Aturan hukum yang memungkinkan pasar berfungsi sebaik-baiknya membimbing masyarakat ke tingkat efisiensi tinggi. 3. Aturan
hukum
(pemerintah,pelaku
yang
mengembangkan
good
governance
bisnis
dan
untuk
mengoreksi
masyarakat)
kelemahan pasar. 4. Aturan hukum yang mengelola mediasi dan konflik. 5. Aturan hukum yang mengembangkan transparansi sebagai perangkat ampuh mendorong keterbukaan untuk mencegah korupsi,kolusi dan nepotisme. Menggulang kemitraan antara pemerintah,dunia usaha dan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan dapat diibaratkan membentuk suatu kelompok kerjasama yang besar. Kelompok tersebut merupakan suatu sistem sosial yang kompleks, terdiri dari sub-sub sistem yang masing-masing memiliki orientasi yang khas berupa perspektif,tujuan,nilai,pengulaman,gaya hidup dan motivasi. Namun demikian keseluruhan sub sistem dan komponen memiliki tujuan,misi dan visi yang sama terutama dalam pengelolaan lingkungan. 35
Salim,Emil,”Agenda Bangsa”Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,BadanPembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Nasional (BPHN), Hal 3-4
140
Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota-anggota melalui proses komunikasi. Kemitraan dibentuk untuk melayani berbagai maksud dan tujuan. Oleh karena itu kemitraan akan terwujud apabila berbagai orientasi dari semua sub bab dapat dikoordinasikan, disalurkan dan atau difokuskan.
Kondisi
ini
akan
mempertajam
identifikasi
jawaban
permasalahan diikuti strategi yang akan ditempuh. Keberhasilan dalam menggulang kemitraan dapat dilihat dari dua dimensi yaitu : produktivitas dan moral/etika. Dari segi produktivitas, kemitraan akan berhasil jika tujuan kemitraan tersebut secara umum tercapai. Dari segi moral, kemitraan tersebut dinilai berhasil bila tumbuh sikap positif dalam sistem, serta setiap anggota terdorong untuk berpartisipasi penuh dalam mencapai sasaran bersama yaitu kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mitra sejajar antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat perlu dikembangkan dan diterapkan melalui kegiatan-kegiatan yang terarah dan terpadu di tingkat pusat dan terutama di lapangan. Oleh karena itu prinsip kemitraan mencakup aspekaspek dasar manusia termasuk perubahan nilai,norma,perilaku,etika,politik dan budaya. Maka untuk pengembangan sistem kemitraan adalah merupakan suatu proses yang berjalan secara simultan dan berkesinambungan. Upaya tersebut membutuhkan adanya dukungan mekanisme pengembangan system kemitraan yang pada intinya meliputi : a. Penyamaan persepsi tentang pengelolaan lingkungan.
141
b. melakukan analisis dan kajian terhadap permasalahan lapangan secara bersama. c. pengembangan teknologi alternatif. d. pengembangan sistem jaringan informasi. e. kelembagaan yang mendukung. 3.2.3 Pengolahan Dan Pemanfaatan Kembali Limbah Pabrik Gula Berdasarkan Kajian Pendirian Pabrik Gula Dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) Berdasarkan kajian pendirian pabrik gula dan amdal (analisis dampak lingkungan) upaya untuk mengurangi resiko pencemaran yang disebabkan oleh pabrik gula dapat dilakukan dengan pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah pabrik gula tersebut.
Secara umum pengelolaan limbah
seperti limbah cair, yang dikeluarkan pabrik gula merupakan limbah organik dan bukan Limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua tahapan, yaitu: 36 Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem lni dilakukan dengan cam mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) Berta pembuatan bak penangkap abu bagasse (ash trap). Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8 ha, terdiri dari 1-3 kolam dengan kedalaman bervariasi dari 2 m (kolam aerasi) sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya tamping lebih dari 240.000 m3, 36
Journal Ilmiah Kajian Pendiriian Pabrik Gula Dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) hal 5
142
sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari. Sedangkan pengelolaan limbah dengan cara pemanfaatan limbah dari pabrik tebu dapat memberikan nilai lebih. Pemanfaatan limbah pabrik tebu bisa berupa pembuatan bioetanol, pemanfaatan pucuk tebu sebagai bahan pakan ternak, ampas tebu untuk pakan ternak dan pembuatan senyawa furfural besrta turunannya, Berta pembuatan pupuk kompos dari blotong. Sedangkan untuk limbah berupa asap dapat dikelola dengan jalan menekan pengeluaranya diudara bebas. Berikut adalah sejumlah hal tentang pemanfaatan dan pengelolaan basil samping pabrik gula yang dapat digunkan untuk menekan tingkat pencemaran: 37 1. Pembuatan Bioetanol Pada dasarnya unit pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4 bagian, yaitu: 1) Unit gilingan 2) Unit preparasi bahan baku 3) Unit fermentasi 4) Unit destilasi. Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu. Komponen unit gilingan terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan. Sebelum masuk gilingan, tebu dipotong-potong terlebih dulu dengan pisau pencacah.Cacahan tebu selanjutnya masuk kedalam tandem gilingan 3 rol
37
Ibid hal 5
143
yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan yang disusun secara seri. Pada unit gilingan pertama, tebu diperah menghasilkan nira perahan pertama (npp). Ampas tebu yang dihasilkan diberi imbibisi, kemudian digiling oleh unit gilingan kedua. Nira yang terperah ditampung, ampasnya kembali ditambah air imbibisi dan digiling lebih lanjut oleh unit gilingan ketiga, dan demikian seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap unit gilingan dijadikan sate dan disebut nira mentah. Unit preparasi bertungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nlra mentah yang dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi. Klaritikasi terutama bertujuan
untuk
menghilangkan
beberapa
impurities
yang
bisa
mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih. Selanjutnya tahap ini dilanjutkan untuk memproduksi gula dan sisanya berupa molase bisa dilanjutkan masuk ke tahapan pembuatan etanol. Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah molase menjadi etanol, Inelalui aktivitas fermentasi ragi.Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa Ilutrisi ditambahkan untuk optirnalisasi proses. Etanol yang terbentukdibawa ke dalam unit destilasi. Unit destilasi berf ngsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolam destilasi.Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kernurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan
144
menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol anhydrous),
yang biasanya digunakan sebagai campuran unleaded
gasoline menjadi gasohol. Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menarnbah unit pretreatment dan sakarifikasi. Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalarn unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula
(glukosa) yang akan menjadi bahan
baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol. Pembuatan etanol selain dari molase juga dari ampas tebu. Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Bahan lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk memproduksi bioetanol. Berikut contoh skerna ideal pemanfaatan bahan lignoselulosa untuk memproduksi bioetanol: a) Limbah dari pabrik gula yaitu tetes, dapat dipakai sebagai bahan baku pabrik alcohol. b) Limbah cair yang dikeluarkan pabrik merupakan limbah organik dan bukan c) Limbah B3 (bahan beracu dan berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua tahapan. Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem illi dilakukan dengan cara mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta pembuatan bak penangkap abu bagasse (ash trap). Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi
145
Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8 ha, terdiri dari 13 kolam dengan kedalaman bervariasi dari 2 in (kolam aerasi) sampai 7 in (kolam anaerob). Total daya tampung lebih dari 240.000 m3, sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari. 2. Pemanfaatan Ampas Tebu Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) dapat dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, particle board, bioetanol, dan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) sehingga mengurangi konsumsi bahanbakar minyak oleh pabrik. Selain itu semua, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses produksi sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu adalah pentosan, dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi Furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas dalanl beberapa industri dan juga dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti : Furfuril Alkohol, Furan, dan lain-lain. Kebutuhan (demand) Furfural dan turunannya di dalam negeri meski tidak terlalu besar namun jumlahnya terus mcningkat. Hingga saat ini seluruh kebutuhan Furfural untuk dalaln negeri diperoleh melalui impor. Impor terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini rnenguasai 72% pasar Furfural dunia. Furfural (C5H402) atau
146
Bering disebut dengan 2-furankarboksaldehid, furaldehid, furanaldehid, 2-Furfuraldehid, merupakan senyawa organik turunan dari golongan furan. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas terutama untuk mensintesis senyawa-senyawa turunannya. Di dunia hanya 13% raja yang langsung menggunakan Furfural sebagai aplikasi, selebihnya disintesis menjadi produk turunannya. Furfural dihasilkan dari biornassa (ampas tebu) lewat 2 tahap reaksi, yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Untuk itu digunakan bantuan katalis asam, misalnya: asam sulfat, dan lain-lain. Furan merupakan contoh lain senyawa yang dapat dihasilkan dengan bahan baku Furfural. Furan yang biasa disebut juga Furfuran atau oxole, memiliki rurnus molekul C4H40. Furan diproduksi dengan proses dekarbonilasi Furfural dengan kehadiran katalis logarn mulia. Furan dimanfaatkan sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan sebagai bahan bake dalam pembuatan senyawa turunan clan furan. Salah satu senyawa yang diproduksi dengan bahan baku Furan adalah Tetrahidrofuran (tetrametilen oksida atau oxolane). Senyawa yang dihasilkan melalui hidrogenasi katalitik dari Furan ini digunakan sebagai pelarut untuk polivinil klorida (PVC), polivinilidene klorida, beberapa serat poliuretan yang diaplikasikan pada proses pelapisan dan perekat. 3. Pemanfaatan Blotong untuk pembuatan kompos Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku anal limbah pabrik gula, antara lain : serasah, blotong dan abu ketel, serta
147
menambahkan bahan aktivator berupa mikroorganisme, yang terdiri dari campuran bakteri, fungi, aktinomisetes, kotoran ayarn dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan secara biologis karena memanfaatkan mikroorganislne sebagai agen pengurai limbah. 4. Pcngclolaan asap dan debu Senyawa pencemar udara itu sendiri digolongkan menjadi: a. senyawa pencemar primer , Senyawnya pencemar primer adalah senyawa pencemar yang langsung dibebaskan dari sumber. b. Senyawa pencemar sekunder. sedangkan senyawa pencernar sekunder Wall senyawa pencemar yang baru terbentuk akibat antaraksi dua atau lebih senyawa primer selama berada di atmosfer. Dari sekian banyak senyawa pencemar yang ada, lima senyawa yang
paling
sering
dikaitkan
karbonmonoksida (CO), oksida
dengan
pencemaran
udara
ialah:
nitrogen (NOx), oksida sulfur (SOx),
hidrokarbon (HC), dan partikulat (debu). Pencemaran udara dari pada pabrik gula berupa asap dan debu, yang dapat menyebabkan sejumlah penyakit pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan pada manusia disekitar
pabrik
menanggulanginya
tersebut, dibutuhkan
iritasi
mata
pengendalian
dan
lain-lain.
pencemaran
Untuk udara.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian pada sumber pencernar dan pengenceran limbah gas. Pengendalian pada sumber pencemar merupakan metode yang lebih efektif karena hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan limbah gas yang akan diproses dan yang pada
148
akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam sebuah pabrik kimia, pengendalian
pencemaran
udara
terdiri
dari
dua
bagian
yaitu
penanggulangan emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pence mar. Idea lnya demikian pula yang harus dilakukan oleh pabrik tebu. Guna menekan tingkat pencemaran udara, pabrik tebu dapat mengelola asap dan debu tersebut dengan jalan memisahkan partikel padatanya yang berada di asap. Nantinya partikel-partikel ini dalam jumlah yang cukup, bisa diolah menjadi pupuk. Karenanya suatu pabrik gula seharusnya dilengkapai dengan alat-alat pemisah debu untuk memisahkan debu dari alirah gas buang. Debu dapat ditemui dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia, densitas, daya kohesi, dan sifat higroskopik yang berbeda. Maka dari itu, pemilihan alat pemisah debu yang tepat berkaitan dengan tujuan akhir pengolahan dan juga aspek ekonomis. Secara umum alat pemisah debu dapat diklasifikasikan menurut prinsip kerjanya: 38 a. Pemisah Brown Alat pemisah debu yang bekerja dengan prinsip ini menerapkan prinsip gerak partikel menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran
0,01-0,05
mikron.Alat yang dipatenkan dibentuk olch susunan filamen gelas dengan jarak antar filament yang lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel. 38
Journal Ilmiah Kajian Pendiriian Pabrik Gula Dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) hal 9
149
b. Penapisan Deretan penapis atau filter bag akan dapat menghilangkan dcbu hingga
0,1 mikron. Susunan penapis ini dapat digunakan
untuk gas buang yang mengandung minyak atau debu higroskopik. c. Electrostatic Precipitator / Pengendap elektrostatik Alat ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas yang berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara beraturan dengan cara getaran. Keuntungan
yang diperolch
dari
penggunaan pengendap
elektrostatik ini ialah didapatkannya debu yang kering dengan ukuran rentang 0,2- 0,5 mikron. Secara teoritik seharusnya partikel yang terkumpulkan tidak merniliki batas minimum. d. Pengumpul sentrifugal Pemisahan debu dari aliran gas didasarkan pada gaya sentrifugal yang dibangkitkan olch bentuk saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel ke dinding dan gas berputar (vortex) sehingga debu akan menempel di dinding serta terkumpul pada dasar alat. Alat yang menggunakan prinsip ini digunakan untuk pemisahan partikel dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron lebih. e. Pemisah inersia Pemisah ini bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel dalam aliran gas. Pernisah ini menggunakan susunan
150
penyekat sehingga partikel akan bertumbukan dengan penyekat dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Alat yang bekerja berdasarkan prinsip inersia ini bekerja dengan baik untuk partikel yang berukuran hingga 5 mikron. f. Pengendapan dengan gravitasi Alat yang bekerja dengan prinsip ini memanfaatkan perbedaan gaya gravitasi dan kecepatan yang dialarni oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk partikel dengan ukuran yang lebih besar dari 40 mikron dan tidak digunakan sebagi pernisah debu tingkat akhir. Pada industri, yang lebih maju terdapat juga beberapa alat yang dapat memisahkan debu dan gas secara bersamaan (simultan).Alat-alat tersebut memanfaatkan sifat-sifat fisik debu sekaligus sifat gas yang dapat terlarut dalam cairan. Beberapa metoda umum yang dapat digunakan untuk pemisahan secara simultan ialah: g. Irrigated Cyclone Scrubber/ Menara percik Prinsip kerja menara percik ialah mengkontakkan aliran gas yang berkecepatan rendah dengan aliran air yang bertekanan tinggi dalam bentuk butiran.Alat ini merupakan alat yang relatif sederhana
dengan
kemampuan
penghilangan
sedang
(moderate).Menara percik mampu mengurangi kandungan debu dengan rentang ukuran diameter 10-20 rnikron dan gas yang larut dalam air.
151
h. Siklon basah Modifikasi dari siklon ini dapat menangani gas yang berputar lewat percikan air. Butiran air yang mendandung partikel dan gas yang terlarut akan dipisahkan dengan aliran gas utama atas dasar gaya centrifugal. Slurry dikumpulkan di bagian bawah siklon.Siklon jenis ini lebih baik daripada menara percik. Rentang ukuran debu yang dapat dipisahkan ialah antara 3 - 5 mikron. i. Pemisah venture Metode pemisahan venturi didasarkan atas kecepatan gas yang tinggi pada bagian yang disernpitkan dan kemudan gas akan bersentuhan dengan butir air yang dirnasukkan di daerah sempit tersebut. Alat ini dapat memisahakan partikel hingga ukuran 0, 1 mikron dan gas yang larut di dalam air. j. Tumbukan orifice plate Alat ini disusun oleh piringan yang berlubang dan gas yang lewat orifis ini membentur lapisan air hingga membentuk percikan air. Percikan ini akan bertumbukkan dengan penyekat dan air akan menyerap gas serta mengikat debu. Ukuran partikel paling kecil yang dapat diserap ialah 1 mikron. k.
Menara dengan packing Prinsip
penyerapan
gas
dilakukan
dengan
cara
mengkontakkan cairan dan gas di antara packing. Aliran gas dan cairan dapat mengalir secara co-current, counter-current, ataupun
152
crosscurrent.Ukuran debu yang dapat diserap ialah debu yang berdiameter lebih dari 10 mikron. l. Pencuci dengan pengintian Prinsip yang diterapkan adalah pertumbuhan inti dengan kondensasi dan partikel yang dapat ditangani ialah partikel yang berdiameter hingga
0,01
mikron
serta
dikumpulkan
pada
permnukaan tilamen. m. Pembentur turbulen Pembentur turben pada dasarnya ialah penyerapan partikel dengan cam mengalirkan aliran gas lewat cairan yang berisi bolabola pejal. Partikel dapat dipisahan dari aliran gas karena bertumbukkan dengan bola-bola tersebut.Etisiensi penyerapan gas bergantung piada jumlah tahap yang digunakan.
153
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa PG Ngadiredjo dalam menjalankan usahanya mengolah tanaman tebu menjadi gula dan dari produksi yang dijalankan menghasilkan limbah baik berupa limbah padat dan limbah cair. Keberadaan limbah tersebut telah
menyebabkan
pencemaran
terhadap
lingkungan
sehingga
menimbulkan sengketa dengan warga sekitar karena limbah padat tersebut telah merugikan warga desa karena akibat adanya limbah tersebut maka udara pada malam hari dan siang hari terasa tidak enak, disamping itu debu limbah tersebut menyebabkan gatal-gatal pada kulit.Warga masyarakat Desa merasa terganggu dengan keberadaan limbah sepah tebu tersebut karena telah mengakibatkan terjadinya polusi udara dan rasa gatal-gatal pada kulit 2. Upaya penyelesaian pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan penegakan hukum lingkungan yang berupa penegakan hukum lingkungan administrasi, perdata dan pidana, yang dimana hal tersebut dapat di tempuh untuk penyelesaian sengketa lingkungan. Upaya penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan oleh PG.Ngadiredjo dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
154
a. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui jalur Pengadilan dan jalur diluar pengadilan melalui asas Alternative Dispute Resolution yaitu berupa Negosiasi, Mediasi, Arbitrase dan konsiliasi b. Penyelesaian Kasus Pembuangan Limbah PG Ngadiredjo ditinjau Dari Pendekatan Budaya Hukum dan Hubungan Kemitraan. Penyelesaian terhadap kasus pembuangan limbah oleh PG Ngadiredjo di Kabupaten Kediri dilakukan melalui jalur komunikasi antara pihak-pihak yaitu : Badan Lingkungan Hidup (BLH), Camat, Kepala Desa, Sejumlah warga Desa Penyelesaian permasalahan lingkungan secara musyawarah dengan menggunakan pendekatan budaya hukum bahwa pada masyarakat sederhana seperti halnya masyarakat pedesaan lebih memilih penyelesaian konflik secara musyawarah untuk menghindari permusuhan yang sesungguhnya guna mencapai keadilan yang bersifat substansial. budaya hukum yang ada serta membangun kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, cara ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. c. Pengolahan Dan Pemanfaatan Kembali Limbah Pabrik Gula berdasarkan Kajian Pendirian Pabrik Gula Dan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) upaya untuk mengurangi resiko pencemaran yang disebabkan oleh pabrik gula dapat dilakukan dengan pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah pabrik gula tersebut dengan menggunakan beberapa teknologi dan tempat serta tenaga, dan biaya yang lebih yang harus dikeluarkan Pabrik.
155
4.2 Saran 1. Untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan di sekitar wilayah PG. Ngadiredjo sebaiknya pabrik gula melakukan pemaksimalan terhadap pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah pabrik gula tersebut dan perlu dioptimalkan peran pemerintah dalam memfasilitasi dan ikut mendorong para pihak yang terlibat dalam sengketa lingkungan untuk penyelesaian yang ideal. Mengingat motivasi dan urgensi pemerintah sangat mempengaruhi serta menentukan tingkat keterlibatan para pihak. 2. Apabila mempunyai kesamaan kepentingan (interest) yang dirugikan atas suatu persoalan hukum, yang diwakili oleh seorang atau sekelompok untuk bertindak atas diri mereka dan mewakili kepentingan dari kelompok masyarakat lainnya (class members). Class actions lebih meringankan penggugat karena dilakukan bersama dan berkaitan dengan penegakkan hukum, pengajuan tuntutan hak merupakan salah satu sarana kontrol atas pencemaran dan kerusakan lingkungan. Namun demikian, tidak semua anggota masyarakat memahami tentang proses penyelesaian sengketa lingkungan baik litigasi (melalui pengadilan) maupun non litigasi (di luar pengadilan). Oleh karena itu, akademisi dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan kepada mayarakat. Pengetahuan masyarakat akan sengketa lingkungan dan proses penyelesaiannya dapat digunakan sebagai fungsi kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang merugikan lingkungan.