PENYELESAIAN SENGKETA AGRARIA DAN MODEL-MODEL PENYELESAIANNYA Setyo Utomo, SH, M.Hum Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak Abstract Land is a very important element for everybody how want to full fill the human needs. It has been changed rapidly because of the people population. When people population still less then these days, land was not a problem for our own society. However, there are many problems have been already exist in a society which are based on land conflict. That’s why how to solve this problem is very important. Keywords: Lance; agrarian law, conflict, population, problem A. PENDAHULUAN 1. Konsep-konsep mengenai hak milik Dalam perkembangan mengenai hak milik, telah lahir beberapa konsep atau paham diantaranya adalah ; Pertama, paham liberalisme yang sangat menghargai kebebasan individu dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga apabila kita kaitkan dengan masalah hak milik, maka dalam hal ini setiap orang diberikan kebebasan untuk memiliki suatu barang atau benda dalam jumlah yang tidak terbatas asalkan benda atau barang yang diperoleh tersebut dengan cara yang diperkenankan dan pemanfaatannya tidak mengganggu kepentingan orang lain. Paham liberal diilhami oleh pemikiran John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Rosseau. Locke semula sangat memperhatikan kebebasan politik dan ekonomi terutama dalam menghadapi pembatasan yang diberlakukan oleh struktur feodal lama serta kekuasaan politik bangsawan, demikian menurut Macpherson (Macpherson, C.B, 1989). Kedua, paham sosialis yang menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat bukan kepada kepentingan individu, dan hak milik menurut konsep sosialis dapat dibedakan menjadi state property (staatseigendom), private property (privaateigendom) dan personal property (persoonlijk eigendom). Privat property adalah sejenis milik yang terdiri dari peralatan untuk kebutuhan konsumtif bukan peralatan yang dipakai untuk mendatangkan penghasilan. Personal Property adalah merupakan bentuk pemikkan yang tidak termasuk socialisty property. Pada prinsipnya paham sosialis mendasarkan diri pada dua hal, yaitu : Pertama kebaikan keseluruhan itu lebih bagus daripada kebaikan individual. Dengan kata lain bahwa individu pada hakekatnya mempunyai nilai dalam dirinya sendiri yang selanjutnya ia hanya merupakan bagian dari keseluruhan. Kedua, pemerintah (negara) dan juga hukum, didasarkan pada kebijaksanaan, adalah lebih baik daripada “the rule of law”, artinya bahwa dalam hal upaya mengejar tercapainya cita-cita sosialis, tidak boleh dihambat oleh hak-hak individual. Ketiga, paham atau ajaran Islam yang mengakui dengan tegas mengenai milik pada orang perorang. Menurut ajaran Islam pemilikan terhadap benda adalah merupakan pemilikan yang terendah. Di dalam Al-Quran kata-kata al-dunnya telah menunjukkan realitus kebendaan itu sendiri yang rendah, yang secara harfiah mempunyai arti rendah. Karena itu dengan kata lain bahwa pemilikan benda tidak menjadi ukuran bahwa seseorang itu memiliki derajat ketakwaan
yang tinggi kepada Tuhan (Allah) melainkan apakah seseorang itu mampu tidak menggunakan benda yang dititipkan oleh Allah tersebut untuk melaksanakan misi sebagai khalifah dimuka bumi (Masdar F. Mas’udi, 1997). Oleh karena itu di dalam fiqih pertanahan (fiqh al arudli) Islam menyebutkan bahwa ada dua kategori tanah, yaitu : 1. Tanah yang dimiliki (aradl mamlukah), dan dibedakan menjadi dua macam Tanah yang didayagunakan atau tanah produktif (aradl amirah), seperti untuk pertanian, perkebunan atau fasilitas umum. 2. Tanah kosong, belum diolah (aradl ghomiroh), dengan sebab apapun seperti tanah yang kesulitan irigasi atau belum ada jalur transportasi. Tanah yang bebas (aradl muhabah), yang belum ada pemiliknya atau penggarapnya. Jenis tanah bebas ini ada dua macam yaitu : a. Tanah yang berada disekitar pemukiman, yang diperlukan oleh penduduk untuk kepentingan bersama, seperti lahan untuk pembuangan sampah, lahan untuk kuburan, lahan untuk penggembalaan ternak, dan lain sebagainya. b. Tanah yang belum digarap oleh siapapun dan tidak menjadi penyangga pemukiman, dan barangkali dapat disebut sebagai tanah negara (amlak addaulah al’ammah). Keempat, menurut konsep hukum adat, penguasaan atau pemilikan terhadap tanah mendasarkan diri pada hak ulayat yakni hak masyarakat hukum sebagai satu kesatuan yang mempunyai wewenang keluar dan kedalam. Untuk itu agar dapat memahami hak ulayat secara lebih mendalam, maka konsep beschikkingsrecht (hak pertuanan atau hak ulayat) sebagaimana yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven sangatlah membantu. Dua unsur utama yang memberikan ciri khas jenis hak ini adalah pertama, tiadanya kekuasaan untuk memindahtangankan tanah. Kedua terdapat interaksi antara hak komunial dan hak individual. Kelima, menurut konsep Agrarisch Wet bahwa pemilikan atas tanah berlaku Teori Domein yang berarti semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan berlakunya teori tersebut memungkinkan negara memiliki hak milik atas tanah, sehingga dapat memberikan hakhak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erpach, hak opstal, dan sebagainya. Dalam hal pembuktian pemilikan atas tanah, berdasarkan Pasal 1 Agrarisch Besluit 1870, negara tidak harus membuktikannya, sebaliknya rakyatlah yang harus membuktikan tanah yang mereka miliki. Menurut Notonegoro bahwa perolehan hak atas tanah dapat secara derivatif, artinya berdasarkan dari ketentuan undang-undang/peraturan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, juga bisa secara original seperti mendaku sesuatu hak atas tanah dan mengklaim atau menguasai untuk waktu tertentu dan melalui “uitwijzingprocedure “ (Notonegoro, 1984: 158). Keenam, menurut UUPA bahwa konsep penguasaan atau pemilikan sumber-sumber agraria atau tanah mendasarkan diri pada konsep hukum adat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 UUPA. Selanjutnya kalau UUPA dikaji lebih mendalam akan ditemukan sejumlah prinsip-prinsip yang berkenaan dengan hak milik atas tanah, walaupun sebenarnya untuk beberapa hal apa yang dikatakan prinsip tersebut sudah merupakan kaidah hukum yang operasional. 2. Permasalahan Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan tersebut diatas, permasalahan yang akan dibahas selanjutnya adalah . “Bagaimana Model Penyelesaian Konflik Penguasaan Dan Pemilikan Hak Atas Tanah Pada Masyarakat ?
B. PEMBAHASAN 08122811494 1. Perkembangan Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah Berbicara mengenai perkembangan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah tentu berkaitan erat dengan politik hukum agraria yang berlaku dari masing-masing periode. Berbicara tentang politik hukum agraria maka akan membicarakan hukum agraria dalam tataran praktisnya di dalam kehidupan sehari-hari, yakni mengenai bagaimana strategi atau mekanisme untuk mengimplementasikan suatu aturan hukum agraria dalam mewujudkan pemanfaatan sumbersumber agraria, model penguasaan dan mekanisme penguasaannya. Karena setiap politik hukum agraria yang berlaku tentu membawa dampak yang berlaku tentu membawa dampak yang berbeda-beda sesuai dengan sistuasi dan kondisinya. Pada masa prakolonial, secara detail tidak cukup tersedia mengenai bagaimana bentuk dan watak tata agraria maupun politik hukum agraria pada masa itu, terutama bentuk dukungan data yang akurat mengenai penguasaan tanah dan kelas-kelas sosial desa. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Rajagukguk bahwa di berbagai tempat pada masa prakolonial, pola penguasaan tanah tersentralisasi oleh kerajaan (kaum bangsawan), dimana raja merupakan pusat pemerintahan sekaligus sebagai penguasa tanah (Erman Rajagukguk, 1995: 9). Walaupun pada masa prakolonial penguasaan tanah terpusat pada raja atau kaum bangsawan, akan tetapi pada masa itu juga sudah ada penguasaan secara individual maupun penguasaan secara kolektif. Menurut Van Stten van deer Meer sebagaimana dikutip Wiradi menyatakan bahwa : Hak kepemilikan individual diberlakukan terhadap seorang petani pioner, apabila ia sudah membuka tanah baru, maka ia diberi waktu tiga tahun untuk membangun dan mencetak sawah sebelum dianggap pantas untuk dikenakan pajak. Pembukaan tanah dan percetakan sawah yang dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama menjadikan tanah tersebut milik gabungan, jikalau penduduk desa bekerjasama membuka tanah bagi kepentingan semua orang maka tanah tersebut menjadi milik kolektif sebagai sawah desa (Gunawan Wiradi, 1999). LebiH lanjut menurut Wiradi, bahwa penguasaan tanah oleh raja atau penguasa bukan dalam artian “dimiliki”, melainkan penguasaan dalam artian politik yakni mempunyai hak yurisdiksi atas tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku (Gunawan Wiradi, 1999: 3). Menurut Kartodirjo dan Suryo, bahwa pada masa kolonial politik agraria yang dikembangkan adalah politik agraria kolonial yang menempatkan tanah jajahan sebagai tempat mengeruk sumber kekayaan untuk memenuhi kebutuhan negara penjajah. Ciri pokok politik kolonial adalah dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1994: 5). Pada masa awal kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, Belanda menjalankan politik monopoli dan pungutan paksa terhadap daerah-daerah yang telah jatuh dalam kekuasaannya, baik melalui penaklukan maupun perjanjian yang diadakan antara VOC (Verenigde Oastlndische Compagnie) dengan raja. Selain monopoli dan pungutan paksa sejak tahun 1620, menurut Mubyarto, bahwa : VOC juga memberikan tanah yang dikuasainya kepada orang-orang asing dengan imbalan harus menyetorkan sebagian hasil kepada VOC, dan kemudian karena terdesak oleh alasan keuangan di negeri Belanda VOC mulai menjual tanah kepada orang partikelir (swasta) (Mubyarto, 1992: 30).
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 karena bangkrut, maka penguasaannya digantikan oleh Pemerintan Kerajaan Belanda, dan Daendels ditugaskan sebagai Gubernur Jenderal (1908-1811) di Hindia Belanda. Pada saat pemerintahan Daendels, dilakukan perubahan-perubahan administrasi untuk menciptakan kekuasaan politik agraria yang lebih sistematis. Akan tetapi sejauh itu masalah penguasaan tanah secara formal belum memperoleh perhatian sepenuhnya. Barulah setelah kolonial Inggris menggantikan Belanda di Indonesia, dimana Thomas Stamford Raffles (1811-81.6) sebagai Gubernur Jenderal Raffles melakukan berbagai perubahan dibidang pemerintahan maupun dibidang pertanahan. Pada masa pernerintahan Raffles inilah mulai diperkenalkan “Domein Theory”. Menurut teori ini, semua tanah adalah milik raja dan penduduk yang mengerjakan tanah tersebut dianggap sebagai penyewa saja dengan kewajiban menyerahkan sewa berupa uang atau berupa basil dari tanah itu dan juga tenaganya tanpa dibayar. Karena raja telah ditaklukkan, maka jatuh pulalah kekuasaannya ketangan penguasa (Gubernur Jenderal). Pada prinsipnya Domein Theory ini adalah sebagai dasar dalam menetapkan peraturan Landrente (pajak tanah). Menurut Mubyarto, besarnya pajak ditetapkan menurut tingkat kesuburan tanah, yaitu : pertama untuk tanah sawah ½ , 2/5, atau 1/3 hasil panen. Kedua, untuk tanah kering/tegalan 2/5, 1/3, atau ¼ hasil panen (Mubyarto, 1992: 32). Setelah kekuasaan kembali ke tangan pemerintah kolonial Belanda, kebijaksanaan sewa tanah atas dasar prinsip Domein Theory dari Raffles diteruskan oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Pada waktu Van Den Bosch memulai tugasnya sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, Pemerintah Belanda sedang mengalami kesulitas keuangan, baik karena peperangan dalam rangka memperluas daerah jajahan di Indonesia maupun peperangan dengan Belgia. Untuk mengatasi masalah keuangan tersebut, Van Den Bosch menerapkan sejumlah aturan pendukung diantaranya yang terkenal dengan Tanam Paksa atau Cultuure Stelsel. Pada prinsipnya kebijakan ini mengharuskan kepada setiap pemilik tanah untuk menanami 115 dari tanahnya dengan tanaman tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah, seperti : kopi, nila, tembakau, teh, tebu, dan sebagainya yang kemudian harus diserahkan kepada pemerintah untuk diekspor ke Eropa. Dan hasil politik tanam paksa ini telah mendatangkan keuntungan yang berlimpah dan kesulitan keuangan pemerintah Belanda dapat teratasi. Namun sebaliknya bagi rakyat Indonesia, pelaksanaan cultuur stelsel atau tanam paksa telah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan. Sehubungan dengan tersebut, menyebabkan pemerintah kolonial Belanda banyak mendapatkan kecaman yang akhirnya mendorong dikeluarkannya Regering Reglement (RR) pada tahun 1854 (Stb. 1854-2). Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan perkebunan agar tetap memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Belanda. Selain itu juga melmdungi hak-hak rakyat petani daam usaha pertaniannya. Sejalan dengan berkembangnya liberalisme, maka para pengusaha swasta di Negeri Belanda yang merasa usahanya dibidang perkebunan besar mendapat rintangan selama pelaksanaan Cultuur Stelsel atau tanam paksa, mulai menuntut kesempatan yang lebih besar untuk membuka perkebunan di Indonesia, terlebih lagi dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam sistem Cultuur Stelsel atau tanam paksa tuntutan itu semakin keras disuarakan. Proses tuntutan itu memakan waktu bertahun-tahun sampai pemerintah Belanda menemukan jalan keluar pada tahun 1870 dengan lahirnya Agrarisch Wet (Undang-undang Agraria). Agrarisch Wet ditetapkan pada tanggal 9 April 1870. Dengan dikeluarkannya undangundang ini merupakan momentum yang paling penting dan menjadi tonggak sejarah bagi
perkembangan agraria di Indonesia Melalui undang-undang ini para pemilik modal asing, bangsa Belanda maupun orang-orang Eropa lainnya mendapatkan kesempatan yang luas untuk berusaha di bidang perkebunan. Dan keuntungan yang diperoleh oleh para pemilik modal swasta sangat besar dari ekspor hasil perkebunan, meskipun sebaliknya harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia dengan penderitaan yang sangat berat. Aturan pelaksanaan dari undang-undang agraria (Agrarisch Wet) adalah Agrarisch Besluit atau Keputusan Agraria yang diundangkan dalani Stb. 1870-118. Dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit memuat suatu ketentuan yang kemudian terkenal dengan nama Domein Verklaring atau pernyataan umum tanah negara yang berbunyi : “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan kedua dan ketiga dari wet itu (yang dimaksud Agrarisch Wet Stb. 1870 No. 55, ayat 5 dan 6 pasal 5 1 IS), tetap dipegang asas, bahwa semua tanah yang tidak dibuktikan ada hak eigendom atasnya oleh orangorang lain adalah domein negara” (Ardiwilaga, 1962: 147). Dari ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit tersebut diatas, menurut Harsono berarti semua tanah rakyat Indonesia adalah tanah negara karena tanah-tanah itu dimiliki berdasarkan hukum adat. Pernyataan negara sebagai pemilik semua tanah ini, sangat diperlukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dasar legitimasi untuk mendapatkan tanah dengan hak-hak barat guna kepentingan para pemilik modal di Indonesia (Boedi Harsono, 1999: 43). Lebih lanjut Juliantara mengemukakan bahwa kandungan penting dari Agrarisch Wet 1870 adalah: a. Memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah-tanah terlantar yang tidak/belum tergarap; b. Memberikan dasar kewenangan kepada negara untuk melepaskan hak penguasaannya atas tanah-tanah tersebut dan memberikan kepada pengusaha perkebunan erpach dengan jangka waktu 75 tahun; c. Memberikan kesempatan kepada pribumi untuk menguasai tanah menjadi tanah eigendom (menurut hukum Hopa); d. Melarang pemindahan hak kepada golongan rakyat (Dadang Juliantara, 1998). Dengan kebijakan ini, pengusaha swasta dimungkinkan untuk menantunkan modalnya di Indonesia dan mengadakan transaksi dengan masyarakat jika memang diperlukan. Pada masa pemerintahan Jepang, umumnya tidak ada perubahan dalam politik Agraria. Akan tetapi usaha yang menonjol dilakukan oleh pemerintah Jepang saat itu adalah usaha peningkatan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang Jepang. Penanaman bahan makanan dikaitkan dengan kewajiban rakyat mempergunakan syarat-syarat dalam pembangunan pertanian yang baru. Adapun usaha yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang untuk meningkatkan hasil bumi di Indonesia adalah dengan membatasi tanah-tanah perkebunan, dan penggunaan lahan lebih diutamakan untuk tanaman padi dan tanaman lainnya. Selain itu juga dilakukan pembabatanpembabatan hutan dan tanah-tanah onderneming wrtuk dijadikan lahan tanaman pangan, sehingga pada saat itu terjadi perusakan-perusakan tanah onderneming yang menyebabkan menurunnya produksi perkebunan. Pada masa pemerintahan Jepang tanah-tanah partikelir dimasukkan dalam urusan pemerintah dengan membentuk kantor urusan tanah partikelir dan seolah-olah tanah partikelir itu dikuasai oleh pemerintah, sedangkan tuan-tuan tanah tidak berkuasa lagi. Dan gambaran jaman pendudukan Jepang diatas, dapatlah dikatakan bahwa pendudukan pemerintah Jepang yang kurang lebih tiga setengah tahun telah membawa rakyat Indonesia ke
penderitaan yang sangat berat terutama terhadap rakyat tani. Selain itu juga tanah-tanah perkebunan menjadi rusak, sehingga menurunkan taraf kehidupan ekonomi rakyat. Pada masa kemerdekaan sampai tahun 1965, setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dimulailah babak baru. Dimana rakyat Indonesia sangat mengharapkan dan mendambakan hidup yang lebih layak karena selama masa penjajahan kurang lebih 350 tahun telah menyebabkan rakyat Indonesia hidup penuh penderitaan. Oleh karena itu, pengaturan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (termasuk tanah) yang berpihak kepada rakyat kecil sangatlah diperlukan, karena mengingat Agrarisch Wet yang masih diberlakukan sangat tidak sesuai dengan semangat dan watak konstitusi kita yakni sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sedangkan dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan, bahwa “demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah penilai anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang.” Selanjutnya dikatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokokpokok kemakmuran rakyat, sebab itu harusnya digunakan oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945, maka peraturan perundang-undangan yang lama dalam bidang keagrariaan dihapus, kecuali peraturanperaturan yang sifatnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh UUPA tersebut. Sedangkan Agrarisch Wet 1870 yang berwatak liberal kapitalis dan eksploitasi dinyatakan dicabut. Asas Domein yang dulunya memberi peluang bagi pemerintah untuk mengklaim lahan-lahan yang tak bertuan atau yang tidak dapat dibuktikan sebagai eigendom dihapus. Dengan tidak berlakunya konsep Domein seperti yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian menggantinya dengan konsep Hak Menguasai Negara. Pengertian menguasai bukan sebagai pemilik tanah (sumber agraria) seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa : “atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, din ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Dari perspektif hukum, konsep Hak Menguasai Negara mengandung pengertian menempatkan negara sebagai sentral yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara tersebut dijabarkan dalam rumusan Undang-Undang untuk pertama kalinya secara forma dalam UUPA yakni dalam Pasal 2 yang memberi wewenang kepada negara untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. 2. Tanah Scbagai Sumber Konflik Atau Sengketa
Sejak dahulu tanah sudah menjadi konflik atau sengketa dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Menurut Wiradi, sebagai suatu gejala sosial, konflik agraria (tanah) adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau keompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah (Wiradi Gunawan, 2000: 85). Namun Konflik atau sengketa tanah yang terjadi sangat tergantung kepada kondisi hubungan agraris yang ada, serta sistem dan kebijakan yang berlaku pada kurun waktu tersebut. Pada masa prakolonial, bentuk konflik atau sengketa pertanahan yang muncul dipengaruhi oleh pola-pola hubungan kekuasaan dalam masyarakat, yaitu feodal. Dalam hubungan ini, ada tiga pihak yang berkepentingan terhadap penguasaan tanah, yaitu raja, priyayi (bangsawan), dan petani (wong cilik). Walaupun demikian, kekuasaan raja dalam penguasaan tanah sangat dominan karena dalam sistem ini tanah adalah milik raja sementara petani hanyalah merupakan penggarap tanah yang metniliki banyak kewajiban. Dalam konteks demikian, penggunaan tanah harus dilakukan untuk kemakmuran raja dan kaum bangsawan. Raja dapat mengalihkan hak penguasaan kepada siapapun yang ia kehendaki. Demikian juga dalam upaya memperbesar pengaruhnya, raja dapat mengambi alih tanah yang semula dikuasai oleh petani untuk diberikan kepada pihak lain. Tindakan raja yang demikian menimbulkan konflik dikalangan pihak-pihak yang terkena pancasan yaitu pemegang sikap lama dengan sikap baru, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik antar desa. Juga pada masa ini konflik tanah bahkan terjadi antar kerajaan, terutama dalam konteks perebutan kekuasaan yang pada akhirnya disertai dengan penguasaan sumber agraria, demikian menurut Suhendar dan Winarni (Suhendar dan Winarni, 1998: 62). Pada masa kolonial, konflik atau sengketa tidak hanya terjadi dalam satu struktur kekuasaan feodal, tetapi juga terjadi dalam suatu pertentangan antara kekuasaan feodal yang masih berlaku dalarn masyarakat dan kekuasaan pemerintah kolonial yang bercorak kapitalisme. Dalam satu kasus, konflik atau sengketa tanah bisa terjadi antara dalam konteks feodalisme, misalnya antara rakyat dengan penguasa feodal. Sementara itu dalam kasus lain konflik atau sengketa tanah dapat terjadi dalam konteks kolonialisme-kapitalisme, misalnya antara rakyat dengan penguasa kolonial sebagai akibat dari kebijakan agraria yang dikeluarkan. Namun pada kasus lain lagi, konflik tanah dapat terjadi dalam konteks pertentangan antara feodalisme dengan kolonialisme-kapitalisme. Pada kasus yang terakhir, kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang mengganggu kekuasaan feodalisme, misalnya mengurangi kekuasaan-kekuasaan bupati, menyebabkan terjadinya bentrokan yang dilakukan oleh bupati termasuk juga rakyatnya dalam menentang pemerintah kolonial. Pada masa pasca kemerdekaan, kondisi konflik atau sengketa pertanahan pada zaman ini diwarnai dengan adanya pendudukan tanah-tanah bekas perkebunan asing oleh rakyat, bagi mereka kemerdekaan merupakan momentum yang tepat untuk merebut kembali tanah-tanah yang banyak dikuasai oleh perkebunan asing. Pendudukan tersebut di banyak tempat menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah terutama antara rakyat dan pihak perkebunan. Begitu juga pada waktu pelaksanaan land reform konflik atau sengketa tanah yang terjadi pada waktu itu berhubungan erat dengan proses pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah. Menurut Lyon, diluar pertimbangan ekonomi, implikasi pelaksanaan land reform dalam bidang sosial, ideologi, dan agama ternyata mengakibatkan perubahan dan ketegangan yang sangat fundamental dan berpotensi sebagai saluran untuk mengekspresikan bermacam-macam konflik, khususnya konflik tanah (Margo L. Lyon, 1984: 195).
Sedangkan pada masa orde baru, konflik atau sengketa yang terjadi terkait denga kebijakan pemerintah yang memberikan keleluasaan kepada pemilik modal dalam melakukan berbagai investasi dengan maksud meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-keijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menempatkan pemerintah dan swasta sebagai sektor dominan dalam proses pembangunan yang akhirnya menyebabkan menuculnya konflik. Isu-isu yang berkaitan dengan kemunculan konflik atau sengketa tanah terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang memberikan begitu banyak peluang kepada pihak swasta dalam proses akumulasi modal. Konflik bisa muncul karena disebabkan oleh banyak hal, akan tetapi yang paling mengedepan akhir-akhir ini disebabkan oleh perebutan sumber daya agraria yang dikuasai oleh masyarakat maupun yang belum kelihatan dikuasai oleh masyarakat, tetapi sudah ada dalam penguasaan masyarakat serta berbagai sebab lain yang melibatkan negara atau tidak. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dari berbagai konflik agraria yang selalu muncul yakni perlawanan dari masyarakat petani. Gerakan perlawanan masyarakat, tampaknya sudah lama menjadi perhatian para ahli. Menurut Siahaan, bahwa perlawanan dan protes sosial masyarakat tani dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam, hal ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh para ahli, yaitu pendekatan moral ekonomi, pendekatan historis dan pendekatan ekonomi politik (Hotma M. Siahaan, 1996: 25-73). Pendekatan moral ekonomi, bahwa kehidupan masyarakat petani ditandai oleh hubungan moral yang melahirkan suatu oral ekonomi yang lebih “mendahulukan selamat” (Safety Firt) dan menjauhkan diri dari garis bahaya (danger line) etika subsistensi dan sosiologi subsistensi dikalangan masyarakat petani merupakan suatu hal yang khas di dalam kehidupan masyarakat petani-petani Asia. Selain itu para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian membagikan secara sama rata apa yang terdapat di desa, karena rnereka percaya pada hak moral para masyarakat petani untuk dapat hidup secara cukup. Oleh karena itu dikenallah sistem bagi hasil, hubungan patron klien, selamatan yang dilakukan oleh petani kaya sebagai tanda membagi rezeki dengan komunitas desa. Intensifikasi pertanian, komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap ancaman oleh para petani. Pendekatan ini berlangsung dalain fenomena etika subsistensi yang lebih meminimalkan resiko data memaksimalkan profit, dimana petani dengan lahan relatif sempit merupakan tumpuan harapan satu-satunya dalam memenuhi subsistensi. Pendekatan Historis, lebih menitikberatkan perhatiannya pada komunitas kesejaratan yang terdapat pada suatu masyarakat. Berkaitan dengan perlawanan masyarakat, dalam hal ini dipahami sebagai konsekuensi terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma tradisi atau kepercayaan yang mereka miliki. Sementara pendekatan ekonomi politik, lebih menitikberatkan pada perlawanan masyarakat petani yang didasarkan pada pertimbangan individual rasional petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akin merugikan dan bahkan mengancani mereka, atau sekurangkurangnya, perubahan ini telah dinilai menghalang-halangi usaha yang mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup (dengan demikian pendekatan ini berasumsi bahwa petani juga berorientasi kemasa depan). Menurut teori interaksionisme simbolik, bahwa konflik itu muncul karena ada perbedaan persepsi atas makna objek. Dengan meminjam logika teori interaksionisme simbolik, maka penggunaan tanah memiliki makna nilai-nilai tertentu dan memiliki daya kerja yang luas tergantung dari sudut pandang penggunaan atau pemanfaatannya, yaitu : pertama, untuk kepentingan bangsa atau negara, kedua, untuk kepentingan rakyat bersama, ketiga, untuk kepentingan rakyat sebagai kesatuan.
Pada penggunaan tanah untuk kepentingan bangsa atau negara terdapat keperluan tertentu yag berhubungan dengan pertanahan dan keamanan seperti instalasi militer. Penggunaan tanpa untuk keperluan demikian tidak memerlukan pemberian pelayanan langsung dari masyarakat. Malahan masyarakat umum sama sekali tidak dapat secara bebas memasukinya, kecuali menyangkul pelayanan kepada masyarakat. Pada penggunaan tanah untuk kepentingan rakyat bersama, sifat penggunaan tanah dapat ditentukan menurut batasan-batasan tertentu. Penggunaan untuk keperluan pendirian bangunan perbadatan, taman pemakaman umum, dan lain-lain hanya dimanfaatkan menurut syarat-syarat tertentu antara lain keperluan yang bertolak dari nilai-nilai tertentu yang sama dari masingmasing kelompok yang ada dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menggunakan atau memanfaatkan kecuali berada dalam lingkup nilai-nilai yang sama. Sebagai misal, seseorang tidak dapat menggunakan fasilitas untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kecuali almarhum adalah pahlawan atau anggota TNI/Polri. Penggunaan tanah yang demikian tidak mengandung nilai ekonomis, tetapi penghargaan tertentu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Penggunaan tanah untuk kepentingan rakyat sebagai kesatuan menyangkut juga pelayanan terhadap keperluan masyarakat tetapi cenderung dinilai ekonomis. Pelabuhan, bandar udara, terminal kendaraan, pasar dan berbagai tempat umum lainnya merupakan tempat-tempat yang dapat dipergunakan oleh siapa saja secara langsung asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu yang biasanya mengandung nilai-nilai ekonomis. Disebut cenderung atau biasanya oleh karena tidak semua penggunaan atau pemanfaatan itu harus memenuhi syarat-syarat ekonomis. 3. Model-model Penyelesaian Konflik Atau Sengketa Pada Masyarakat Konflik atau sengketa adalah merupakan fenomena hukum yang bersifat universal yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, karena sengketa itu tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sebagai fenomena hukum, setiap konflik atau sengketa memerlukan tindakan penyelesaian dan tidak ada satu sengketa tanpa adanya penyelesaian. Konflik seringkali disamakan dengan sengketa, tetapi menurut Nader dan Todd inembedakan pengertian conflict (perselisihan) dan dispute (sengketa), conflict kemudian dapat dibedakan lagi menjadi preconflict (praperselisihan) dan conflict. Menurut Nader dan Todd, konflik adalah perselisihan yang hanya melibatkan dua pihak (diadik), sedangkan sengketa merupakan perselisihan antar dua pihak atau lebih yang bersifat terbuka dan penyelesaiannya melibatkan tiga pihak (Nader, L & Todd, H.F, 1978: 1415). Lebih lanjut Nader dan Todd menjelaskan bahwa konflik atau sengketa yang terjadi didalam masyarakat mengalami suatu proses atau tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Pada tahap pertama, konflik berawal dari munculnya keluhan-keluhan (grievance) dari salah satu pihak terhadap pihak lain (individu atau kelompok) karena pihak yang mengeluh merasa hak-haknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal ini disebut sebagai tahapan pra konflik (preconflict stage) yang cenderung mengara kepaa konfrontasi yang bersifat monadik (monadic). b. Pada tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan reaksi negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan dari pihak yang pertama, maka kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage) sehingga konfrontasi berlangsung secara diadik (diadic). c. Pada tahap ketiga, apabila konflik atau pihak-pihak tersebut ditunjukkan dan dibawa ke arena publik (masyarakat) dan kemudian proses menjadi kasus perselisihan dalam institusi
penyelesaian sengketa, maka situasinya telah meningkatmenjadi sengketa (dispute stage) dan kondisi konfrontasi antar pihak-pihak yang berselisihan menjadi triadik (triadic) yang bersengketa (Nader, L & Todd, H.F, 1978: 14-15). Penyelesaian konflik atau sengketa pada kondisi masyarakat yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat; maka pilihan institusi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan (folk institutions), karena institusi penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat. Sedangkan konflik-konflik atau sengketa-sengketa yang terjadi alam masyarakat modern, dimana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada perekonomian pasar, cenderung diselesaikan melalui institusi penyelesaian sengketa yang mengacu pada hukum negara yang bersifat legalistik. Dengan melihat gambaran diatas, maka dikalangan para ahli telali terjadi perbedaan pendapat mengenai faktor penyebab terjadi pilihan tindakan yang dilakukan oleh para aktor atau pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya. Adapun faktor tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : berkaitan dengan faktor yang menentukan suatu tindakan, berdasarkan makna, dan berdasarkan tujuan. Pertama, pilihan tindakan yang berkaitan dengan faktor yang menentukan suatu tindakan. Parson dengan teori fungsionalisme strukturalnya menyatakan baha faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang adalah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Teori tersebut bertitik tolak dari pemikiran bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian yang menyatu dalam keseimbangan. Sistem sosial terbentuk dari tindakan-tindakan individu yang bergerak ke arah keseimbangan dan stabilitas. Alam situasi masyarakat yang demikian, manusia tidak sepenuhnya berada dalam keadaan bebas untuk melakukan tindakannya. Pilihan tindakan yang dilakukan oleh manusia secara normatif diatur dan dikendalikan oleh nilai-nilai dan standar normatif bersama. Kedua, pilihan tindakan yang berkaitan dengan makna atas objek. Teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa tindakan mausia tidak dipengaruhi oleh budaya termasuk sistem sosial dan stratafikasi sosial Akan tetapi teori ini mengakui bahwa budaya itu bersifat membentuk kondisi-kondisi bagi tindakan manusia. Walaupun demikian, individu mempunyai otonomi dalam proes interaksi sosial yang dengan otonomi tersebut seorang aktor mampu membuat pilihan tindakan yang bersifat independen. Ketiga, pilihan tindakan yang berkaitan dengan tujuan manusia. Menurut Giddens bahwa tindakan manusia tidak selalu berhubungan dengan norma-norma, nilai-nilai, dan kebiasaankebiasaan tertentu, melainkan berkaitan dengan masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari. Jadi disamping memperhatikan norma-norma, nilai-nilai, dan kebiasaan (struktur) juga ada kebebasan untuk melakukan penyimpangan dari norma, nilai, dan kebiasaan tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. C. PENUTUP Dan teori diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyelesaian konflik atau sengketa yang dilakukan oleh aktor-aktor atau pihak-pihak yang bersengketa tidaklah tunggal. Karena ketiga faktor yang mempengaruhi pilihan tindakan penyelesaian konflik atau sengketa yakni prilaku, makna, dan tujuan mempunyai kaitan satu dengan lainnya, yang pada batas-batas tertentu mengharuskannya untuk menjatuhkan pilihan. Jadi dengan demikian pilihan tindakan yang
dilakukan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tergantung dari aktoraktor atau pihakpihak yang terlibat didalamnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Arief Budiman Barbara Hartley Damein Kingsbury, Harapan dan Kecemasan, Menatap Arh Reformasi Di Indonesia (terjemahan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2000. Faqih Mansour, Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Forum LSM/LPSM DIY, Yogyakarta, 1995. Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris, Mimeo, Makalah pada Seminar Agraria FSPI, 21 September 1998, Bandar Lampung, 1998. Hotma M. Siahaan, Pembangkangan Terselubung Petani Dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi, Disertasi Doktor, UNAIR, 1996. Maria Rita Ruwiastuti, “Menuju Pluralisme Hukum Agraria Analisis dan Kritik Terhadap Marjinalisasi Posisi Hukum-Hukum dan Hak-Hak Adat Penduduk Asli Atas SumberSumberAgraria Oleh UUPA 1960” dalam Usulan Revisi UUPA, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria, KRHN-KPA, 1998. ____________, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Hak Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, Insist Press-KPA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Nader, L & Todd, H.F, The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press, New York, 1978. Noer Fauzi, “Anatomi Politik Agraria Orde Baru” dalam Tanah dan Pembangunan, Sinar Harapan, Jakarta, 1997. Noer Fauzi & Dianto Bachriadi, “Hak Menguasai Negara (HMN) Persoalan Sejarah Yang Harus Diselesaikan” dalam Usulan Revisi UUPA, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria, KRHN-KPA, 1998. Sutandyo Wignyosoebroto, “Pembaruan Agraria : Apa yang Perlu Diagendakan” dalam Usulan Revisi UUPA, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria, KRHN-KPA, 1998. 2. Undang-undang Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.