PENYELENGGARAAN MAKANAN, KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KEBUGARAN ATLET SEPAK TAKRAW PADA PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN PELAJAR (PPLP) PROVINSI RIAU
MOHD LUTFI ADRIAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan dan Tingkat Kebugaran Atlet Sepak Takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016 Mohd Lutfi Adrian NIM I14120065
ABSTRAK MOHD LUTFI ADRIAN. Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan dan Tingkat Kebugaran Atlet Sepak Takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau. Dibimbing oleh M. RIZAL M DAMANIK dan TIURMA SINAGA. Penelitian bertujuan menganalisis penyelenggaraan makanan, konsumsi pangan dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau. Desain penelitian adalah cross sectional study dengan subjek 23 orang atlet. Penelitian dilaksanakan pada Mei – Juni 2016. Data primer meliputi: karakteristik subjek, karakteristik keluarga, dan status gizi dikumpulkan dengan wawancara. Data konsumsi pangan dikumpulkan dengan recall 2 x 24 jam. Data sekunder yang digunakan hasil bleep test. Penyelenggaraaan makanan sebagian besar belum memenuhi standar. Sebagian besar atlet memiliki nilai VO2max yang baik (43.5%) dan sangat baik (47.8%). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara usia (p=0.002), jenis kelamin (p=0.037 ), tingkat pendidikan (p=0.004), dan tinggi badan (p=0.015) dengan tingkat kebugaran. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan, status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C dengan tingkat kebugaran (p> 0.05). Kata kunci: penyelenggaraan makanan, konsumsi makanan,tingkat kebugaran, sepak takraw
ABSTRACT MOHD LUTFI ADRIAN. Food Service System, Food Consumption and Fitness Level of Sepak Takraw Athletes in Student Sport Centre of Riau Province. Supervised by M. RIZAL M. DAMANIK dan TIURMA SINAGA. The objective of this study was to analyze food service, food consumption, and nutritional status with fitness level of sepak takraw athletes in Student Sport Centre of Riau Province. This research used cross sectional design with 23 adolescents athletes as subjects. This research was conducted on May – June 2016. Primary data consisted of subjects characteristics, family characteristics, and nutritional status getting from interview. Data of food consumption getting from recall 2 x 24 hours. Secondary data was bleep test result. The food service system mostly was not in compliance with standard. Most of study participants was categorized VO2max as good (43.5%) and very good (47.8%). Based on the results collected from the study there were significant correlation between age (p=0.004), gender (p=0.037 ), education level (p=0.004), and height (p=0.015) with fitness level. There were no significant correlations between weight, nutritional status, adequacy level of energy, protein, fat, carbohydrates, calcium, iron, vitamin A, vitamin B1, and vitamin C with level fitness (p> 0.05). Keywords: food service, food consumption, level fitness, sepak takraw.
PENYELENGGARAAN MAKANAN, KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KEBUGARAN ATLET SEPAK TAKRAW PADA PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN PELAJAR (PPLP) PROVINSI RIAU
MOHD LUTFI ADRIAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi
Nama NIM
: Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan dan Tingkat Kebugaran Atlet Sepak Takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau : Mohd Lutfi Adrian : I14120065
Disetujui oleh
Prof. drh. M Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
Dr. Tiurma Sinaga, MFSA Pembimbing II
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan dan Tingkat Kebugaran Atlet Sepak Takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Allah SWT yang senantiasa selalu memberikan kenikmatan, kelancaran, dan kemudahan hingga saat ini. 2. Bapak Prof. drh. M. Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD dan Ibu Dr. Tiurma Sinaga, MFSA selaku pembimbing yang selalu membantu dan telah sabar memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi serta Bapak Dr. Rimbawan selaku ketua Departemen. 3. Ibu Leily Amalia Furkon S TP, M Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan ulasan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Edi Yusti MH selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau serta tim pelatih PPLP Sepak takraw bapak Supardi Hutabarat, Edi Isnanto M.Pd, dan Iwan Patria SE yang telah memberikan ijin kepada penulis dan memberikan dukungan untuk dapat melakukan pengumpulan data penelitian. 5. Ayah (Ir. H. Syamsuddin), Ibu (Dra. Hj. Syafwanis), Adik (Viona Aprila) dan keluarga besar lainnya atas kasih sayang yang luar biasa, dukungan dan doa yang tak ada hentinya kepada penulis di setiap perjalanan kehidupan 6. Para sahabat Mesa Shelviani, Andi Hakim Jodi Saputro, Agus Mahendra Yasa, Fahrul Rozi, Trisno Azharman, Kafa Haqqo, Kevin Arthur atas bantuan, dukungan dan saran kepada penulis. 7. Seluruh teman-teman seperjuangan Gizi Masyarakat IPB Angkatan 49, seluruh kakak dan adik tingkat, HIMAGIZI, Pondok Pemuda Gizi serta seluruh teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu atas kebersamaan dan semangat yang diberikan. 8. Dinas Pendidikan Provinsi Riau selaku penyandang dana Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang telah membantu selama perkualiahan berlangsung. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan ataupun kekhilafan yang penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat. Bogor, Agustus 2016 Mohd Lutfi Adrian
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Subjek Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penyelenggaraan Makanan Karakteristik Subjek Status Gizi Konsumsi Pangan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat Kebugaran Hubungan Antar Variabel SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix x xi xi 1 1 2 2 3 5 5 5 5 7 9 10 10 11 17 20 21 25 31 32 35 37 42
x
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Jenis dan cara pengumpulan data Jenis dan kategori variable pengolahan data Normatif nilai VO2Max Formulir catatan lari multi tahap Karakteristik subsistem input penyelenggaraan makanan asrama PPLP Sepak takraw Perencanaan menu di Asrama PPLP Sepak takraw Pembelian bahan pangan di Asrama PPLP Sepak takraw Penyimpanan bahan pangan di Asrama PPLP Sepak Takraw Pengolahan bahan pangan di Asrama PPLP Sepak Takraw Penyajian menu di Asrama PPLP Sepak Takraw Pengolahan menu di Asrama PPLP Kategori penyelenggaraan makanan Porsi yang disediakan pada menu di Asrama PPLP Sepak Takraw Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek Sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga Sebaran subjek berdasarkan berat badan dan tinggi badan Sebaran subjek berdasarkan status gizi (IMT/U) Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum selama pertandingan Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan besi Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C Sebaran subjek berdasarkan VO2Max Hasil uji korelasi antar variable
6 7 8 9 11 13 13 14 14 15 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 28 29 29 30 30 31 31 32
xi
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka pemikiran penyelenggaran makanan, konsumsi pangan dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau
4
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Penilaian VO2max lari multi tahap Sanitasi Penyelenggaraan Makanan Asrama PPLP Sepak takraw Uji Spearman umur dengan tingkat kebugaran Uji Spearman tingkat pendidikan dengan tingkat kebugaran Uji Spearman jenis kelamin dengan tingkat kebugaran Uji Pearson tinggi badan dengan tingkat kebugaran
42 43 44 44 44 45
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan prestasi olahraga nasional masih sangat rendah. Peningkatan prestasi dapat dicapai dengan berbagai cara diantaranya sistem pembinaan dan kepelatihan, manajemen atlet dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta olahraga termasuk gizi olahraga (Hinton et al. 2004) (Petrie et al. 2004). Gizi merupakan salah satu faktor utama bagi atlet dalam mencapai kesuksesan, selain faktor genetik dan tingkat latihan (Salarkia, Kimiagar & Aminpour 2004). Hal serupa juga dijelaskan oleh Bar-Or & Hebestreit (2008), bahwa asupan zat gizi yang cukup merupakan salah satu dari beberapa faktor yang mendukung penampilan atlet remaja saat bertanding dan menghasilkan kondisi fisik yang optimal serta memberikan energi yang cukup bagi atlet. Atlet remaja memiliki kebutuhan gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja lain karena aktivitas fisik dan perkembangan fisik, terutama atlet yang membutuhkan daya tahan tubuh selama berolahraga (Rosenbloom et al. 2006) (Papadopoulou et al. 2002). Kebiasaan makan yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan memberikan pengaruh yang baik terhadap kebugaran seorang atlet. Menurut Fatmah & Ruhayati (2011) kebugaran didefinisikan secara umum sebagai rangkaian kemampuan seseorang untuk mengerjakan aktifitas fisik secara spesifik. Kebugaran berperan penting bagi olahragawan untuk peningkatan prestasi. Kebugaran berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kerja bagi siapapun yang memilikinya sehingga dapat melakukan tugas-tugasnya secara optimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik (Wiarto 2013). Beberapa penelitian mengenai kebugaran atlet remaja di Indoneisa menunjukkan bahwa tingkat kebugaran atlet remaja Indonesia masih berada dibawah standar. Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa kebugaran atlet di Indonesia masih rendah dan menjadi masalah besar. Pengukuran kebugaran dapat dilakukan pada komponen daya tahan kardiorespirasi (VO2max), komposisi tubuh, kekuatan, daya tahan otot, dan kelentukan (Fatmah & Ruhayati 2011). Salah satu cabang olahraga yang memerlukan kebugaran tubuh yang optimal dan fisik yang prima adalah olahraga sepak takraw. Sepak takraw adalah permainan yang dimainkan oleh dua regu/tim yang masing-masing tim terdiri dari tiga pemain, dimainkan di atas lapangan seluas lapangan bulutangkis menggunakan net dan bola yang terbuat dari rotan dengan gerakan menyepak atau dengan menggunakan seluruh anggota tubuh kecuali tangan. Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) cabang Sepak takraw Provinsi Riau merupakan salah satu cabang yang memiliki prestasi di tingkat nasional dan merupakan cabang unggulan. Sepak takraw merupakan cabang olahraga yang membutuhan gerakan-gerakan yang sangat komplek, kemampuan fisik atau ketahanan kardiorespirasi yang tinggi dalam permainannya, sehingga kadar VO2max seorang atlet sangat berpengaruh terhadap kebugaran seseorang (Yusuf 2001). Kebugaran dapat ditingkatkan melalui berbagai cara salah satunya dengan pola konsumsi yang baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wareham et al. (2000) dan Wilborn et al. (2005) yang menyatakan bahwa tingkat kebugaran berhubungan dengan beberapa faktor seperti aktivitas
2
fisik, dan konsumsi pangan. Pola konsumsi yang baik dapat dilakukan melalui penyediaan makanan bergizi selama pelatihan. Penyediaan makanan dalam pemusatan latihan merupakan salah satu bagian yang harus ditangani secara benar, baik dari segi kualitas maupun kuantitas makanan (Woro 2005). Salah satu institusi yang melakukan penyediaan makanan selama pembinaan dan pelatihan adalah Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) cabang sepak takraw Provinsi Riau. PPLP merupakan wadah untuk pembinaan dan pelatihan atlet sepak takraw Provinsi Riau yang akan mengikuti beberapa pertandingan tingkat pelajar daerah maupun nasional. Penyelenggaraan makanan yang dilakukan untuk atlet sangat penting. Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam proses manajemen penyelenggaraan makanan untuk para atlet, konsumsi pangan dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw pada PPLP Provinsi Riau. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti penyelenggaraan makanan, konsumsi pangan, dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau.
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyelenggaraan makanan, konsumsi pangan, status gizi dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis proses penyelenggaraan makanan di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau 2. Mengidentifikasi karakteristik subjek dan keluarga subjek (usia, jenis kelamin, besar keluarga, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua) 3. Menganalisis konsumsi pangan dan tingkat kecukupan gizi atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau. 4. Menganalisis tingkat kebugaran atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau 5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau 6. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran penyelenggaraan makanan yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau serta gambaran mengenai kecukupan gizi dan pentingnya gizi yang baik bagi setiap atlet, dan diharapkan dapat memberikan masukan dan
3
diaplikasikan untuk peningkatan performa dan prestasi atlet. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini selanjutnya dapat menjadi masukan bagi pihak PPLP dalam melakukan penyediaan makanan terhadap atlet. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta berguna bagi literatur penelitian selanjutnya.
KERANGKA PEMIKIRAN Penyelenggaraan makanan di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau termasuk dalam kategori penyelenggaraan makanan institusi. Penyelenggaraan makanan suatu institusi terdiri dari input, proses, dan output. Input dari penyelenggaraan makanan meliputi penjamah makanan, sarana fisik dan peralatan, serta dana. Proses dalam penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan menu, penerimaan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan/ produksi, pendistribusian, dan pengawasan sanitasi serta higiene makanan. Sedangkan output penyelenggaraan makanan meliputi konsumsi dan tingkat konsumsi atlet, daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan zat gizi) yang selanjutnya akan menghasilkan aspan energi dan zat gizi lain. Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau melakukan penyelenggaraan makanan dalam pemusatan latihan selama masa pendidikan dan pelatihan. Penyelenggaraan makanan menjadi fokus penting karena kecukupan gizi yang merupakan salah satu yang harus dipenuhi atlet. Hal ini bertujuan untuk mendukung aktivitas belajar dan aktivitas fisik baik di sekolah, lapangan ataupun asrama. Penyelenggaraan makanan yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing atlet. Konsumsi pangan memiliki peranan dalam menciptakan status gizi yang baik dan seimbang pada remaja. Setiap atlet memerlukan zat gizi yang seimbang sesuai dengan kebutuhan atlet untuk melakukan aktifitas pada saat pendidikan, latihan dan bertanding. Tujuan penyelenggaran makanan adalah memenuhi kebutuhan para atlet sehingga mampu menjaga kebugaran dan mempertahankan status gizi. Kebugaran fisik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor usia, jenis kelamin, keturunan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi dan status gizi individu (Fatmah & Ruhayati 2011). Kebugaran seorang atlet dapat dilakukan dengan serangkaian tes untuk mengukur komponen kebugaran. Salah satu indikator kebugaran fisik individu adalah jumlah rata-rata konsumsi oksigen maksimal oleh tubuh atau VO2max yang dapat diukur dengan bleep test. Kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
4
Karakteristik subjek: Jenis kelamin Usia Tinggi badan Berat badan Tingkat pendidikan Karakteristik Keluarga
Konsumsi pangan
Status Gizi (IMT/U)
Sistem penyelenggaraan makanan
Tingkat Kecukupan Gizi
Tingkat Kebugaran
Prestasi
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran penyelenggaraan makanan, konsumsi pangan, status gizi dan tingkat kebugaran atlet sepak takraw di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau.
5
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau cabang sepak takraw, dengan menggunakan desain cross sectional study. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena pusat pendidikan dan latihan pelajar merupakan wadah untuk pembinaan dan pelatihan atlet sepak takraw Provinsi Riau yang akan mengikuti beberapa pertandingan tingkat pelajar daerah maupun nasional. Atlet sepak takraw tersebut mendapatkan beberapa fasilitas seperti asrama dan terdapat tempat penyelenggaraan makanan pada pusat pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2016.
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek Subjek pada penelitian ini adalah anggota populasi (atlet sepak takraw) sebanyak 23 orang. Pemilihan atlet sepak takraw dilakukan secara purposive sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi yang telah ditetapkan untuk penelitian ini yaitu terdaftar sebagai atlet sepak takraw PPLP Provinsi Riau, dan bersedia berpatisipasi. Adapun yang termasuk dalam kriteria eksklusi penelitian ini antara lain tidak berada di pemusatan latihan ketika pengambilan data, dalam keadaan cedera, tidak mendapatkan izin dari pelatih, dan tidak bersedia berpartisipasi.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara dengan kuisioner serta penyebaran kuisioner. Data primer yang akan dikumpulkan antara lain data karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan dilakukan dengan menggunakan kuisioner, data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan yang dikumpulkan dengan mengukur langsung responden, data konsumsi pangan melalui kuisioner dan metode food recall 2 x 24 jam (weekdays dan weekend), serta sistem penyelenggaraan makanan yang meliputi input, proses dan output yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data sekunder meliputi data hasil multistage fitness test atau bleep test yang telah dilakukan oleh pihak PPLP cabang sepak takraw dan pihak Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) untuk mengetahui nilai VO2max subjek, sehingga tingkat kebugaran subjek dapat diketahui. Selain itu data sekunder juga didapat dari data administrasi Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau yang meliputi data lokasi, jumlah atlet, keadaan umum, fasilitas latihan, dan susunan keorganisasian. Jenis data dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran antropometri dilakukan untuk mengetaui status gizi dengan menentukan IMT (Indeks Massa Tubuh). Untuk menentukan IMT diperlukan data
6
usia, berat badan dan tinggi badan atlet dengan parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Jenis dan cara pengumpulan data secara umum dapat dilihat pada tabel berikut ini.
1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Data Jenis Data Cara Pengumpulan Karakteristik subjek Primer Kuesioner - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan Karakteristik keluarga Primer Kuesioner - Besar keluarga - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua Sistem penyelenggaraan Primer Wawancara dan makanan (input) observasi - Sumber daya manusia - Biaya - Bahan - Metode - Peralatan Sistem penyelenggraan Wawancara dan makanan (proses) observasi - Perencanaan menu - Pembelian bahan pangan - Penerimaan bahan pangan - Penyimpanan bahan pangan - Pengolahan bahan pangan - Penyajian bahan pangan Sistem penyelenggaraan makanan (output) Wawancara dan - Ketersediaan makanan observasi Antropometri dan status gizi Primer Diukur dengan - Berat badan (kg) menggunakan - Tinggi badan (cm) timbangan injak, - IMT/U microtoise dan dihitung menggunakan WHO anthroplus 2007 Konsumsi pangan Primer Food recall 2 x 24 jam (weekdays dan weekend). Kebiasaan makan Primer Kuisioner Keadaan umum Pusat Sekunder Wawancara dan arsip Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau
8. Hasil test kebugaran
Sekunder
Wawancara dengan pelatih
7
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan proses pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dari data yang terkumpul dilapangan hingga data siap untuk dianalisis. Pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan pengkategorian data. Tahap pengkodean dimulai dengan cara menyusun kode-kode tertentu untuk setiap variabel sebagai panduan dalam melakukan entri dan pengolahan data. Data yang sudah diberikan kode kemudian dimasukan ke dalam tabel yang sudah ada. Setelah itu dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pemasukan data. Tahapan akhir adalah analisis data yang diolah dengan program Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0 for windows. Data karakteristik individu, dan konsumsi pangan dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel. Uji korelasi atau uji hubungan dianalisis menggunakan korelasi spearman, dan uji korelasi pearson. Sebelum dilakukan uji korelasi, dilakukan dulu uji normalitas Shapiro-Wilk untuk melihat kenormalan data yang didapat. Proses penyelenggaraan makanan yang meliputi perencanaan menu, pembelian, penyimpanan, pengolahan dan penyajian dianalisis secara deskriptif, sedangkan penilaian higiene dan sanitasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengamatan dengan persyaratan dalam Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011. Semua komponen yang berkaitan dengan input dan proses penyelenggaraan makanan terdiri dari pertanyaan terbuka dengan dua pilihan jawaban yaitu sudah diterapkan atau belum diterapkan. Jika jawaban yang sudah diterapkan maka akan mendapat skor 1 dan jika jawaban yang belum diterapkan maka akan mendapat skor 0. Jenis dan kategori variabel pengolahan data disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan kategori variabel pengolahan data No Variabel 1 Usia Atlet (tahun)
2 3
4 5
6
Kategori pengukuran <13 13 – 15 >15 Tingkat Pendidikan Atlet SMP SMA Status Gizi (WHO 2007) Sangat kurus (≤ -3 SD), Kurus (-3 SD ≤ z-score < -2), Normal (-2 SD < z-score < +1 SD), Gemuk (+1 SD ≤ z-score < +2 SD), Obese (> +2 SD). Proses Penyelenggaraan makanan Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011 Komponen Penyelenggaraan Kurang (<60%) makanan (Pratomo 2012) Cukup (60-79%) Baik (≥80%) Tingkat kecukupan energi, protein, Defisit berat (<70% AKG) lemak, dan karbohidrat (Gibson Defisit sedang (70-80% AKG) 2005) Defisit ringan (80-90% AKG)
8
Tabel 2 Jenis dan Kategori variabel pengolahan data (lanjutan) No Variabel Kategori pengukuran
7
Tingkat konsumsi vitamin mineral (Gibson 2005)
Normal (90-120% AKG) Lebih (>120% AKG) dan Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG)
Konsumsi pangan diolah dengan menggunakan data jenis dan jumlah pangan. Kemudian dikonversikan kedalam kandungan gizi, yaitu energi, protein, lemak dan karbohidrat, zat besi dan vitamin C. Rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan gizi makanan yang dikonsumsi adalah (Hardinsyah & Briawan 1996): KGij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100) Keterangan: KGij = Kandungan zat gizi i dalam pangan j yang dikonsumsi Bj = Berat bahan pangan j yang dikonsumsi (gram) Gij = Kandungan zat gizi i dalam 100 gram bahan pangan j BDD = Persen bahan pangan j yang dapat dimakan (% BDD) Kemudian dihitung tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya dengan menggunakan rumus Tingkat kecukupan gizi = konsumsi zat gizi aktual x 100 % AKG aktual AKG individu dapat ditetentukan dengan cara melakukan koreksi terhadap berat badan, dengan menggunakan rumus AKG aktual = berat badan aktual x AKG berat badan ideal Penilaian status gizi responden menggunakan metode antropometri dengan mengukur berat badan dan tinggi badan yang berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Secara sederhana IMT dihitung dengan menggunakan rumus: IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 Data kebugaran subjek diukur dengan melakukan bleep test yang bertujuan mengukur fungsi jantung yang merupakan salah satu indikator kebugaran seseorang. Bleep test atau tes lari multi tahap merupakan jenis tes kebugaran cardiovaskuler yang dilakukan dengan cara berlari secara bertahap dengan instruksi dari kaset yang diputar dengan jarak lintasan lari sepnjang 20 meter. Setelah melakukan tes, dapat dicatat jumlah oksigen maksimum yang digunakan selama berlari sesuai dengan nomor tahapan dan nomor balikan (Mackanzie 1999). Kategori nilai VO2max dan Formulir catatan lari multi tahap (bleep test) disajikan pada Tabel 3 . Tabel 3 Kategori nilai VO2max VO2max (ml/kg/min) Kategori VO2max Umur Laki-laki Perempuan Poor <35 <30 Fair 35-42 30-35 13-19 tahun Good 43-51 36-42 Very good >51 >42 Sumber: Ramsbottom (1988)
9
Tabel 4 Formulir catatan lari multi tahap Nomor Tahap Nomor Balikan 1 1234567 2 12345678 3 12345678 4 123456789 5 123456789 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 19 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 21 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Definisi Operasional Subjek adalah Atlet sepak takraw Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau yang bertempat tinggal di Asrama serta tenaga penyelenggaraan makanan di asrama. Asrama adalah tempat tinggal yang disediakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau. Karakteristik Atlet adalah data-data atlet yang meliputi umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan. Kebugaran adalah kemampuan tubuh untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti yang ditentukan melalui nilai VO2max dan dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu : kurang (laki-laki <35, perempuan <30), sedang (laki-laki 35-42, perempuan 30-35), baik (laki-laki 43-51, perempuan 36-42), dan sangat baik (laki-laki >51, perempuan >42). Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh atlet yang diperoleh melalui metode food recall 2x24 jam, yaitu 1 hari pendidikan dan 1 hari libur. Konsumsi energi dan zat gizi adalah jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi atlet dari makanan yang disediakan oleh asrama
10
Penyelenggaraan makanan adalah pelaksanaaan penyediaan makanan bagi atlet di asrama yang meliputi perencanaan menu, pembelian, penyimpanan, pengolahan, penyajian makanan, serta higiene dan sanitasi. Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C) dengan AKG yang dinyatakan dalam persen (%) dan dikelompookan menjadi 5 kategori berdasarkan Gibson (2005): defisit berat (>70% AKG), defisit sedang (70-80% AKG), defisit ringan (80-90% AKG), normal (90-120% AKG), dan lebih (> 120% AKG). Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh santri yang diakibatkan konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat gizi yang ditentukan melalui indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dan dikelompokkan menjadi 5 kategori berdasarkan WHO (2007): sangat kurus (Z ˂ -3), kurus (-3 ≤ Z ≤ -2), normal (-2 ≤ Z ≤ 1), overweight (1 ≤ Z ≤ 2), dan obese (Z ˃ 2). VO2max adalah kemampuan tubuh dalam mengonsumsi oksigen yang merupakan suatu indikator untuk menentukan kebugran dalam melakukan aktivitas. .
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pusat pendidikan dan latihan pelajar (PPLP) merupakan suatu wadah untuk melakukan pendidikan, pembinaan dan pengembangan atlet pelajar yang memiliki bakat dan minat yang tinggi dibidang olahraga untuk mencapai atlet yang berprestasi. Pembentukan Pusat pendidikan dan latihan pelajar (PPLP) ini bertujuan agar atlet pelajar yang berpotensi dan berprestasi dapat dibina secara terpusat sehingga proses pelatihan bagi atlet akan lebih intensif dan pembinaan pendidikan akademiknya tidak tertinggal Sebagai wadah pelaksanaan pembinaan secara berkesinambungan pada tahun 1991/1992 dibentuk wadah pembinaan ditingkat provinsi dengan nama pusat pendidikan dan latihan pelajar sebanyak 15 buah hingga tahun 2002 telah tedapat 60 PPLP yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu provinsi yang saat ini melakukan pembinaan pada pelajarnya untuk lebih meningkatkan prestasi olahraga adalah Provinsi Riau. PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Riau merupakan wadah pembinaan atlet pada tingkat pelajar yang ditempatkan di Kota Pekanbaru. Cabang olahraga yang dikembangkan setiap tahun bertambah, sampai sekarang terdapat 19 cabang olahraga, yakni bola voli, bulutangkis, tenis meja, bola basket, sepak takraw, sepakbola, gulat, atletik, tinju, angkat berat, pencak silat, taekwondo, karate, renang, panahan, judo, dayung, golf, dan senam. Salah satu cabang yaitu sepak takraw. PPLP cabang Sepak takraw Provinsi Riau merupakan salah satu cabang unggulan. Berbagai prestasi telah dicapai oleh PPLP cabang Sepak takraw Provinsi Riau, terakhir meraih posisi ke 4 dengan perolehan satu emas dan satu perak pada Kejuaraan Nasional (kejurnas) sepak takraw antara PPLP 2015 di Provinsi Gorontalo. Keberadaan Pusat Pembinaan dan Latihan pelajar (PPLP) menjadi sangat penting untuk peningkatan prestasi olahraga yang memang di dambakan
11
oleh masyarakat, tetapi juga tidak mengabaikan prestasi akademik sebagai upaya mempersiapkan atlet masa depan Provinsi Riau. Penyelenggaraan Makanan Asrama Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) cabang sepak takraw Provinsi Riau berada dibawah naugan Dinas Pemuda dan Olahraga (DISPORA) Provinsi Riau. Pengelolaan penyediaan makan atlet dilaksanakan oleh jasa boga (catering) pemenang lelang yang dilakukan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau. Setiap harinya, pihak penyelenggara makanan menyediakan 23 porsi makanan atlet untuk tiga kali waktu makan setiap harinya yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam. Pihak penyelenggara melakukan pengelolaan bahan mentah menjadi makanan siap saji sampai penyajiannya. Penyelenggaraan makanan dilakukan untuk melakukan pengawasan makan atlet. Sistem penyelenggaraan makanan terdiri dari tiga tahapan yaitu input, proses dan output. Input Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan di Asrama PPLP sepak takraw Riau merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan makanan untuk institusi. Penyelenggaraan makanan menyediakan makan utama tiga kali dan satu kali selingan disore hari. Waktu makan pagi antara pukul 06.30 sampai 07.30 WIB, waktu makan siang antara pukul 12.30 sampai 13.30 WIB, sedangkan waktu makan malam antara pukul 19.00 sampai 20.00 WIB. Penyelenggaraan makanan di asrama PPLP Sepak Takraw Riau tidak menggunakan siklus menu. Komposisi menu yang disediakan oleh dapur asrama PPLP Sepak takraw secara umum terdiri dari nasi, mie, lauk (daging ayam, ikan, telur), sayuran, dan buah-buahan. Input penyelenggaraan makanan meliputi sumber daya manusia, bahan, biaya/ anggaran, metode, dan peralatan/ ruangan. Penjelasan mengenai input penyelenggaraan makanan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik subsistem input penyelenggaraan makanan asrama PPLP Sepak Takraw No
Aspek
1
Sumber daya manusia
Penjelasan Belum mempekerjakan ahli gizi. Terdiri dari 4 (empat) orang sebagai juru masak. Tidak ada tenaga penjamah makanan yang memiliki jenjang pendidikan terkait jasa boga, ataupun pendidikan gizi, mereka hanya berdasarkan keahlian memasak. Kurangnya spesifikasi tugas untuk masingmasing petugas dapur juga ditemukan yang ditandai dengan tidak adanya struktur kepegawaian. Tenaga kerja belum memiliki sertifikat higiene dan sanitasi serta belum mengikuti pelatihan.
12
Tabel 5 Karakteristik subsistem input penyelenggaraan makanan asrama PPLP Sepak Takraw (lanjutan) No
Aspek
2
Bahan Pangan
3
Biaya
4
Metode
5
Peralatan/ Ruangan
Penjelasan Pemilihan bahan pangan mengacu kepada ketersediaan bahan pangan di pasar terdekat dan pembelian bahan makanan dilakukan secara mandiri dan langsung disiapkan untuk disajikan kepada atlet (on-site food service). Anggaran dana yang disediakan bersumber dari Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau dan dilaksanakan oleh jasa boga pemenang lelang. Metode konvensional (Palacio & Theis 2009). Metode konvensional adalah metode penyelenggaraan makan di mana makanan yang diolah untuk segera disajikan, sehingga tempat pengolahan dan penyajian berada pada satu tempat. Peralatan belum tersusun rapi antara alat bersih dan kotor masih berdekatan dan belum add dokumentasi mengenai kelengkapan alat. Talenan yang digunakan masih terbuat dari kayu. Belum ada pemisahan antar ruang tiap proses Ruang pengolahan memiliki luas sekitar 3 m x 3 m, jumlah karyawan yang bekerja di dapur berjumlah 4 orang, maka setiap pekerja mendapat luas ruangan 9/4 = 2.25 m2. Dengan demikian dapur penyelenggaraan makanan Asrama PPLP Sepak takraw sudah memenuhi persyaratan. Permenkes RI Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 yang menyatakan bahwa luas area pengolahan yang bebas dari peralatan untuk setiap orang bekerja yaitu minimal 2 m2. Penghawaan seharusnya dilengkapi cerobong asap Ventilasi dan pencahayaan masih kurang memadai Lantai dan dinding tidak terdapat sudut yang melengkung yang lebih mudah untuk dibersihkan Sumber air bersih berasal dari sumur yang didapat dari mesin pompa dan pencucian peralatan menggunakan wastafel
13
Proses Penyelenggaraan Makanan Perencanaan menu Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah unttuk memenuhi selera konsumen dan kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang (Depkes 2003). Perencanaan menu dan siklus menu belum dilakukan oleh pihak penyelenggara. Perencanaan menu belum menghitung kebutuhan zat gizi berdasarkan angka kecukupan gizi karena menu yang disediakan berlaku untuk semua atlet yang tinggal di asrama. Proses perencanaan menu di Asrama PPLP sepak takraw dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Perencanaan menu di Asrama PPLP Sepak Takraw No 1 2 3 4 5
Perencanaan Menu Memperhatikan siklus menu Menu disusun sesuai dengan biaya yang tersedia Merencanakan menu memperhatikan bahan pangan yang digunakan Menu yang direncanakan memperhatikan kebutuhan gizi Memperhatikan evaluasi menu
Penilaian Ya Tidak 0 1 1
1 0 0
0
1
0
1
Pembelian bahan pangan Pembelian bahan pangan sebagai suatu proses pembelian atau pengadaan suatu produk pada waktu yang tepat dengan jumlah, kualitas, dan harga yang sesuai. Penyelenggaraan makanan asrama PPLP sepak takraw melakukan pengadaan bahan makanan dengan metode informal or open-market buying, yaitu membeli sendiri bahan makanan di pasar (Palacio & Theis 2009). Pembelian dilakukan harian maupun bulanan, tergantung dengan jenis bahan pangannya. Bahan pangan seperti ayam, telur, ikan, dan bahan makanan kering pembelian dilakukan harian, sedangkan untuk pembelian beras, minyak goreng, gas, bumbu, dan rempah dilakukan bulanan. Proses pembelian bahan pangan di Asrama PPLP Sepak takraw dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Pembelian bahan pangan di Asrama PPLP Sepak Takraw No 1 2 3
Pembelian Bahan Pangan Pembelian bahan pangan sudah sesuai dengan menu yang terdapat dalam siklus menu Mempertimbangkan kualitas dan kuantitas bahan pangan Bahan pangan yang dibeli mempertimbangkan zat gizi
Penilaian Ya Tidak 0 1 1
0
0
1
Penyimpanan bahan pangan Penyimpanan bahan makanan adalah suatu cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan makanan kering dan basah serta pencatatan dan
14
pelaporannya. Tujuannya untuk tersedianya bahan makanan siap pakai dengan kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai dengan perencanaan (Depkes 2006). Bahan makanan kering dan basah disimpan dalam ruangan yang berbeda. Sayuran, tahu, buah-buahan, dan lain-lain disimpan di dalam chiller. Bahan makanan untuk ayam, daging, ikan dan lain-lain disimpan di dalam freezer. Bahan makanan kering (beras, gula pasir, susu, minyak goreng, bumbu penyedap dan teh) diletakkan di dalam ruang penyimpanan (dry store). Penyimpanan bahan pangan terdapat tiga tempat dengan suhu yang berbeda, yaitu chiller 10-15ºC, freezer 0-(-5) ºC dan dry store 25-30º C. Penyimpanan bahan-bahan kering disimpan didalam kardus dan karung yang tertutup agar terhindar dari kontaminasi bakteri, tikus, dan hewan lainnya. Penyelenggaraan makanan catering untuk Asrama PPLP Sepak takraw sudah menerapkan komponen tahap penyimpanan bahan pangan dengan baik. Penyimpanan bahan pangan di catering Asrama PPLP Sepak takraw dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Penyimpanan bahan pangan di Asrama PPLP cabang Sepak Takraw No 1 2 3 4 5
Penyimpanan Bahan Pangan Menerapkan sistem First In First Out (FIFO) Penyimpanan bahan kering dengan bahan basah sudah dipisahkan Suhu Penyimpanan diperhatikan Jarak rak penyimpanan diperhatikan Tempat penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kemungkinan kontaminasi baik oleh bakteri, serangga, tikus dan hewan lainnya
Penilaian Ya Tidak 1 0 1 0 1 0 1
0 1 0
Pengolahan bahan pangan Proses pengolahan makanan di dapur dimulai dari pukul 04.00 WIB untuk persiapan makan pagi, pukul 08.00 WIB untuk persiapan makan siang dan pukul 16.00 WIB untuk persiapan makan malam. Persiapan bahan makanan yang dilakukan meliputi pembersihan, pengupasan, penyiangan, pemotongan, pencucian, pengirisan, penumbukan, dan pemblenderan bumbu. Proses pengolahan bahan pangan di Asrama sepak takraw dapat dilihat pada Tabel 9.
No 1 2 3 4 5
Tabel 9 Pengolahan bahan pangan di Asrama PPLP Sepak Takraw Penilaian Pengolahan Bahan Pangan Ya Tidak Dilakukan tahap persiapan sebelum pengolahan 1 0 bahan pangan Standarisari resep, standarisasi bumbu, standarisasi 0 1 prosedur pengolahan dan standarisasi waktu Standar porsi dalam proses pengolahan bahan 1 0 pangan Diperhatikan penggunaan bahan tambahan pangan 0 0 (penyedap rasa) Diperhatikan cara memotong dan pengolahan bahan 0 1 pangan
15
Dalam praktiknya di dapur, saat persiapan bahan makanan masih belum sesuai karena bahan makanan seperti sayur di potong terlebih dahulu lalu di cuci. Pencucian sayur dilakukan menggunakan air bersih yang mengalir yang terdapat pada westafel. Pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan di dapur Asrama PPLP sepak takraw Riau adalah menggoreng, menumis, merebus, dan mengukus. Pengolahan nasi dan lauk dilakukan di tempat bersamaan. Hal ini dilakukan karena alasan keterbatasan alat. Pengolahan bahan makanan resep masakan dan jumlah bahan yang dibutuhkan didasarkan pada pengalaman memasak para petugas tanpa menggunakan keahlian maupun perhitungan khusus. Penyajian makanan Palacio dan Theis (2009) menyatakan terdapat dua metode distribusi makanan, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Metode distribusi yang dilakukan oleh penyelenggara makanan di asrama PPLP cabang sepak takraw adalah desentralisasi. Pendistribusian dilakukan dengan membagikan makanan secara langsung makanan dalam jumlah besar pada alat-alat khusus ke ruang makan dan atlet mengambil sendiri makanan tersebut. Pengambilan nasi tidak ada batasan sedangkan lauk pauk diporsikan tiap orang mendapatkan satu potong makanan. Distribusi makanan dimulai pukul 06.30 untuk makan pagi, pukul 13.00 untuk makan siang, dan pukul 19.30 untuk makan malam. Beberapa komponen penyajian makanan masih belum sesuai. Proses penyajian menu dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10 Penyajian menu di Asrama PPLP Sepak Takraw No 1 2 3 4
Penyajian makanan Perhatikan jarak dan waktu tempuh dari tempat pengolahan makanan ke tempat penyajian Perhatikan wadah yang digunakan pada saat penyajian (alat hiding diberi tutup) Pelaksanaan penyajian makanan harus tepat waktu sesuai dengan yang telah ditentukan Memperhatikan penggunaan garnsih dan menu yang disajikan diperhatikan dari segi warna
Penilaian Ya Tidak 0 1 1
0
1
0
0
1
Higiene dan Sanitasi Tabel 11 Higiene perorangan di Asrama PPLP Sepak Takraw No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Higiene Perorangan Menggunakan penjepit makanan Memakai sarung tangan Mengganti pakaian setiap hari Memakai pelindung kepala Memakai pakaian yang nyaman di badan Menggunakan alas kaki yang tidak licin Menggunakan celemen Tidak merokok selama pengolahan Tidak mengunyah selama pengolahan Tidak memakai aksesories
Penilaian Ya Tidak 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
16
Tabel 11 Higiene perorangan di Asrama PPLP Sepak Takraw (Lanjutan) Penilaian No Higiene Perorangan Ya Tidak 11 Berkuku pendek 1 0 12 Tenaga pengolahan bebas dari penyakit infeksi, 1 0 penyakit kulit, bisul, luka terbuka, dan infeksi saluran pernafasan atas Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes 2004). Sanitasi di penyelenggaraan makanan Asrama PPLP Sepak takraw terdapat beberapa hal yang belum dilaksanakan. Data dapat dilihat pada lampiran 2. Berdasarkan hasil dari komponen penyelenggaraan makanan 62.5% sudah diterapkan cukup baik. Masih terdapat komponen yang belum diterapkan diantaranya belum dilakukannya perencanaan menu, standarisasi resep, standarisasi bumbu, penggunaan garnish, dan kategori higiene perorangan dimana penjamah makanan belum menggunakan sarung tangan dan pelindung kepala. Kategori penyelenggaraan makanan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kategori penyelenggaraan makanan No
1 2 3 4 5 6 7
Kategori Penyelenggaraan Makanan Komponen Perencanaan menu Komponen Pembelian Bahan Pangan Komponen Penyimpanan Bahan Pangan Komponen Pengolahan Bahan Pangan Komponen Penyajian Makanan Komponen Higiene Perorangan Komponen Sanitasi Total
Standar
5 3
Penilaian Sudah diterapkan 2 1
%
3.9 1.9
5
3
5.8
5
2
3.9
4 12 17 51
2 10 12 32
3.9 19.6 23.5 62.5
Output Penyelenggaraan Makanan Makanan yang telah selesai dimasak akan didistribusikan langsung ke ruang makan. Makanan akan disajikan kepada atlet dengan metode buffet / prasmanan. Atlet dipersilahkan mengambil nasi dan lauk sendiri, untuk nasi tidak ada batasan, sedangkan lauk pauk diporsikan tiap orang mendapatkan satu potong makanan. Makanan yang telah selesai diolah akan segera disimpan dalam wadah berupa termos nasi dan stainless steel untuk lauk yang kemudian akan didistribusikan ke ruang makan yang jaraknya tidak jauh dari lokasi. Makanan yang disajikan oleh penyelenggara makanan terdiri dari makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayuran, dan buah-buahan.
17
Pedoman gizi seimbang yang dianjurkan Kemenkes (2014) menyatakan bahwa porsi untuk makan pokok yang baik adalah 3-4 porsi atau sekitar 300-400 gram, porsi untuk protein hewani adalah 2-4 porsi sehari (setara dengan 70-140 gram/2-4 potong daging sapi ukuran sedang atau 80-160 gram/2-4 potong daging ayam ukuran sedang atau 80-160 gram/2-4 potong ikan ukuran sedang), porsi untuk protein nabati adalah 2-4 porsi sehari (setara dengan 100-200 gram/4-8 potong tempe ukuran sedang atau 200-400 gram/4-8 potong tahu ukuran sedang), porsi buah-buahan adalah 150 gram buah (setara dengan 3 buah pisang ambon ukuran sedang atau 1 ½ potong pepaya ukuran sedang atau 3 buah jeruk ukuran sedang), porsi sayuran adalah 250 gram (setara 2 ½ porsi atau 2 ½ gelas sayur setelah dimasak dan ditiriskan). Namun kenyataannya beberapa porsi masih belum sesuai dengan yang dianjurkan Kemenkes (2014). Tabel berikut merupakan porsi yang disediakan penyelenggaraan makanan untuk konsumsi makanan santri. Tabel 13 Porsi yang disediakan pada menu di Asrama PPLP Sepak Takraw Jenis Makanan
Porsi yang disediakan (gram) 600
Standar porsi (gram) (Kemenkes 2014) 300 - 400
Lauk Hewani
140
70 – 160
Lauk Nabati
100
100 – 400
Buah-buahan
50
150
Sayuran
150
250
Makanan Pokok
Ketersediaan energi dan zat gizi dari makanaan yang disediakan oleh catering secara umum masih kurang memenuhi kebutuhan gizi atlet. Hal ini disebabkan perencanaan menu belum dilakukan oleh penyelenggara makanan. Menurut Palacio dan Theis (2009) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan menu, salah satunya adalah harus mempertimbangkan kebutuhan gizi konsumen sehingga asupan utama energi dan zat gizi dari makanan terpenuhi. Daya terima menu yang ada di asrama PPLP sepak takraw Riau dirasa kurang maksimal. Tidak terdapatnya siklus menu membuat atlet telah hapal dengan menu yang disajikan dan atlet mengalami kebosanan. Karakteristik Subjek Karakteristik subjek penelitian ini merupakan atlet sepak takraw di pusat pendidikan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Riau. Total populasi yang ada keseluruhan subjek berjumlah 23 orang. Karakteristik merupakan suatu gambaran mengenai subjek meliputi sifat maupun ciri-ciri baik secara fisik maupun sosial. Karakteristik ini dibutuhkan untuk mengetahui lebih jelas mengenai gambaran subjek dalam penelitian. Karakteristik yang diteliti meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, tingkat dan tingkat pendidikan subjek. Jumlah subjek yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 73.9% dan jumlah subjek perempuan, yaitu sebanyak 26.1% perempuan. Usia subjek berkisar antara 13-18 tahun dan rata-rata usia subjek adalah 17±1.68 tahun. Sebagian besar subjek (43.5%) berusia 16-18 tahun. Menurut Hardinsyah & Tambunan (2004)
18
berdasarkan usia tersebut dapat diketahui bahwa subjek tergolong ke dalam usia remaja. Masa remaja dibedakan dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (10-13 tahun), masa remaja tengah (14-16 tahun), dan masa remaja akhir (17-19 tahun) (Depkes 2005). Subjek pada penelitian ini berada pada kategori remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Sebaran tingkat pendidikan subjek dibagi menjadi dua kategori yaitu SMP dan SMA. Sebagian besar subjek memiliki tingkat pendidikan SMA sebanyak 17 orang dengan persentase 73.9% dan sebanyak 6 orang dengan persentase 26.1% memiliki tingkat pendidkan SMP. Menurut Rifai & Manurung (2003), tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku, perilaku dalam konsumsi pangan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang cenderung memilki pola pikir dan pengaturan konsumsi pangan yang lebih baik. Saat latihan dan bertanding subjek tidak dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan baik SMP maupun SMA. Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek Karakteristik N Persentase (%) Jenis Kelamin Perempuan 17 73.9 Laki-laki 6 26.1 23 100.0 Total Usia (tahun) 13-15 6 26.1 16-18 10 43.5 > 18 7 30.4 23 100.0 Total Tingkat Pendidikan SMA 17 73.9 SMP 6 26.1 23 100.0 Total Karakteristik Keluarga Karakterisitik keluarga subjek terdiri dari besar keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, dan pekerjaan ibu. Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama (BKKBN 2009). Besar keluarga menurut BKKBN (2009) merupakan banyaknya anggota keluarga lain yang hidup dalam pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang). keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (>7 orang). Sebagian besar subjek yaitu sebanyak 65.2% tergolong ke dalam keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Karakteristik keluarga subjek menunjukkan tingkat pendidikan orang tua subjek berkisar antara tamat SD sampai Perguruan Tinggi. Secara keseluruhan subjek memiliki ayah dengan tingkat pendidikan yaitu SMA dengan persentase 39.1%. Sedangkan pendidikan ibu paling banyak yaitu berada pada SMP dengan persentase 34.8%. Menurut Rahmawati (2006) tingkat pendidikan ibu sangat berperan penting dalam mendidik dan pola asuh anak. Semakin tinggi tingkat
19
pendidikan seseorang maka diasumsikan bahwa kemampuannya akan semakin baik dalam mengakses dan meyerap informasi demi memenuhi kebutuhannya. Selain tingkat pendidikan, pekerjaan orang tua merupakan indikator status sosial ekonomi karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima untuk memenuhi kebutuhan (Attorp et al. 2014). Secara umum, sebagian besar subjek (34.8%) memiliki ayah yang bekerja sebagai wiraswasta/ pedagang. Selain itu, sebagian besar subjek (82.6%) memiliki ibu yang tergolong sebagai ibu rumah tangga. Beikur sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga Karakteristik n Besar Keluarga (orang) Kecil (≤ 4) 7 Sedang (5-6) 15 Besar (≥ 7) 1 23 Total 5 ± 1.2 Rata-rata±SD Pendidikan Ayah SD 4 SMP 7 SMA 9 Sarjana 3 23 Total Pendidikan Ibu SD 6 SMP 8 SMA 6 Sarjana 3 23 Total Pekerjaan Ayah PNS/Polisi/ABRI 3 Karyawan Swasta 1 Buruh 6 Wiraswasta 8 Lainnya 5 23 Total Pekerjaan Ibu Ibu rumah tangga 19 PNS/Polisi/ABRI 1 Buruh 1 Wiraswasta 2 23 Total
% 30.4 65.2 4.3 100.0
17.4 30.4 39.1 13 100.0 26.1 34.8 26.1 13 100.0 26.7 32.6 3.5 24.4 3.5 100.0 82.6 4.3 4.3 8.7 100.0
Berat badan dan Tinggi badan Pengukuran antropometri yang dilakukan adalah pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pengukuran ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan timbangan injak digital. Hasil pengukuran berat badan subjek didapat data yang sangat beragam, sehingga untuk memudahkan analisis data dibagi
20
menjadi beberapa kategori. Kategori berat badan dibagi menjadi <50 kg, 51-60 kg, 61-70 kg, 71-80 kg, dan > 80 kg. Pengukuran tinggi badan dilakukan secara langsung dengan menggunakan stature meter. Hasil pengukuran tinggi badan subjek didapat data yang sangat beragam, sehingga untuk memudahkan analisis data dibagi menjadi beberapa kategori. Kategori berat badan dibagi menjadi < 155 cm, 156-160 cm, 161- 165 cm, 166-170 cm, 171- 180 cm dan > 180 cm. Sebaran subjek berdasarkan berat badan dan tinggi badan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan berat badan dan tinggi badan Karakteristik Berat badan (kg) < 50 51-60 61-70 71-80 Total Rata-rata±SD Tinggi badan (cm) < 155 156-160 161-165 166-170 171-180 > 180 Total Rata-rata±SD
N
Persentase (%)
10 9 2 2 23 53.5 ± 11.1
43.5 39.1 8.7 8.7 100.0
5 3 7 3 4 1 23 163.5 ± 10.8
21.7 13 30.4 13 17.4 4.3 100.0
Sebagian besar subjek memiliki berat badan < 50 kg yaitu sebanyak 10 orang dengan persentase 43.5%. Subjek laki-laki memiliki rata-rata berat badan 53 ± 12.1 dan rata-rata berat badan subjek perempuan 48.5 ± 8.1 kg. Menurut Angka Kecukupan Gizi (2013) rata-rata standar berat badan untuk remaja yaitu 55 kg, sehingga rata-rata berat badan subjek secara keseluruhan belum memenuhi rata-rata berat badan standar (Hardinsyah et al. 2013). Secara keseluruhan diketahui ratarata tinggi badan subjek keseluruhan subjek 163.5 ± 10.8 cm. Subjek laki-laki memiliki rata-rata tinggi badan 165 ± 11 cm dan rata-rata berat badan subjek perempuan 155.5 ± 8.1 cm. Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2002). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan konsumsi makanan, biokimia atau laboratorium, antropometri dan secara klinis. Indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi pada usia 5 sampai 19 tahun yaitu Indeks Massa Tubuh berdasarkan Umur (IMT/U) mengacu kepada referensi WHO (2007). Status gizi tersebut dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu sangat kurus (≤ -3 SD), kurus (-3 SD ≤ z-score < -2), normal (-2 SD < z-score < +1 SD), gemuk (+1 SD ≤ z-score < +2 SD), dan obese
21
(> +2 SD). Sebaran subjek berdasarkan status gizi (IMT/U) disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan status gizi (IMT/U) Kategori n Sangat Kurus (<-3 SD) 0 Kurus (-3 SD s/d <-2 SD) 0 Normal (-2 SD s/d 1 SD) 22 Gemuk (>1 SD s/d 2 SD) 1 Obesitas (>2 SD) 0 23 Total
% 0 0 95.7 4.3 0 100.0
Berdasarkan Tabel 9, sebagian besar status gizi subjek berada pada kategori normal dengan persentase 95.7% dan hanya 4.3% yang memiliki status gizi gemuk. Hal yang sama didapatkan dari penelitian pada subjek atlet sepak takraw di PPLP Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki status gizi normal. Menurut Irianto (2007) status gizi yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan, membantu pertumbuhan serta menunjang pembinaan prestasi atlet. dan dapat mencerminkan cara belajar anak. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan tunggal atau beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu yaitu untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh akan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Kelebihan konsumsi pangan yang tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang mencukupi dapat mengakibatkan timbulnya gizi lebih. Oleh karena itu, setiap orang harus mengonsumsi sejumlah makanan yang sesuai dengan kecukupannya berdasarkan usia, ukuran tubuh, serta aktivitasnya (Hardinsyah & Martianto 1992). Kebiasaan Makan dan Minum Atlet diharapkan memiliki kondisi fisik yang optimal selama menjalani latihan yang intensif. Untuk mencapai kondisi yang optimal tersebut dibutuhkan kebiasaan makan yang baik untuk mencapai gizi yang optimal dan akan menghasilkan kondisi fisik yang prima bagi atlet. Menurut Soehardjo (1989), kebiasaan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, sosial, dan budaya. Selain kebiasaan makan, kebiasaan minum/ konsumsi cairan juga penting bagi seorang atlet. Bagi seorang atlet sangat diperlukan untuk bertujuan mencegah dehidrasi dan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Selain itu, pemberian cairan yang adekuat ditujukan untuk mencegah cedera akibat panas tubuh yang berlebihan. Kebiasaan makan dan minum terdiri dari frekuensi makan utama (kali/hari), kebiasaan sarapan, menu sarapan, susunan menu siang hari, susunan menu malam hari, konsumsi fastfood, konsumsi air putih, konsumsi sport drink dan konsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan makan adan
22
minum atlet diperoleh dengan cara wawancara langsung ke atlet. Berikut adalah tabel sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan dan minum. Tabel 18 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum Kebiasaan makan dan minum n Frekuensi makan utama (kali/hari) 2 1 3 22 Kebiasaan sarapan Selalu 23 Menu sarapan Mie 6 Nasi + lauk 17 Susunan menu siang hari Nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah 20 Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur 3 Susunan menu malam hari Nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah 16 Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur 7 Konsumsi fastfood Kadang-kadang 14 Jarang 8 Tidak Pernah 1 Konsumsi air putih (kali/hari) 5 gelas 1 6 gelas 2 7 gelas 4 ≥ 8 gelas 16 Konsumsi sport drink Ya 15 Tidak 8 Konsumsi minuman beralkohol Tidak 23
% 4.3 95.7 100 26.1 73.9 87 13
69.6 30.4 60.8 34.8 4.4 4.3 6.7 17.4 69.5 60.9 39.1 100
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa subjek memiliki frekuensi makan utama 2 kali/hari, dan 3 kali/hari. Sebagian besar frekuensi makan utama (95.6%) yaitu 3 kali/hari dan sebesar 4.3% memiliki frekuensi makan utama 2 kali/hari. Kebiasaan makan pada subjek menunjukkan bahwa sebagian besar subjek selalu (100%) membiasakan diri untuk sarapan. Menu sarapan yang biasa dikonsumsi oleh sebagian besar subjek (73.9%) berupa nasi dan lauk pauk. Makan siang subjek sebagian besar diisi dengan menu berupa nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah (86.9%). Sedangkan makan malam subjek sebagian besar diisi dengan menu nasi, lauk hewani atau lauk nabati serta sayur (69.6%). Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu konsumsi pangan, preferensi (kesukaan atau ketidaksukaan) makan, ideologi terhadap makanan, dan faktor sosial budaya seorang individu. Untuk konsumsi makanan cepat saji (fast food) sebagian besar subjek (60.8%) menyatakan kadang-kadang
23
mengkonsumsi fast food), sedangkan sisaya jarang mengonsumsi fast food (34.8%) dan tidak pernah mengonsumsi fast food (4.4%). Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui sebagian besar subjek (69.5%) memiliki kebiasaan minum air putih yang baik yaitu ≥ 8 gelas/ hari dan terdapat 6.7% dan 17.4% yang memilki kebiasaan minum 6 gelas dan 7 gelas secara berurutan. Hal ini tidak sejalan dengan sebuah penelitian di Brazil yang menyatakan bahwa sebanyak 22% atlet remaja masih kurang dalam mengonsumsi air (Sousa et al. 2007) Menurut Irianto (2007), untuk mempertahankan status hidrasi, setiap individu memerlukan 2500 ml air setiap harinya. Subjek memiliki tingkat aktivitas yang lebih tinggi sehingga kehilangan cairan tubuh akan lebih banyak terjadi dan mengakibatkan kebutuhan cairan yang lebih banyak untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang selama latihan. Seluruh subjek tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Konsumsi sport drink diketahui bahwa 60.9% subjek mengonsumsi sport drink. Kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Berikut adalah tabel sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan dan minum. Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Kebiasaan makan dan minum sebelum n % pertandingan Konsumsi makan dan minum sebelum pertandingan Ada 23 100 Tidak 0 0 Rentang waktu konsumsi makanan lengkap sebelum pertandingan 1-2 jam 18 78.3 2-3 jam 4 17.4 3-4 jam 1 4.3 Makanan dan minum yang dihindari sebelum pertandingan Ada 8 34.8 Tidak 15 65.2 Semua subjek sebelum pertandingan mengkonsumsi makanan lengkap namun dengan rentang yang bervariasi. Sebanyak 78.3% subjek mengkonsumsi makanan lengkap 1-2 jam sebelum bertanding. 17.4% subjek mengkonsumsi makanan lengkap 2-3 jam sebelum bertanding dan sisanya yaitu 4.3% subjek mengkonsumsi makanan lengkap 3-4 jam sebelum bertanding. Makanan/minuman yang biasa dikonsumsi oleh subjek sebelum pertandingan antara lain makanan lengkap, cemilan, sport drink., air mineral, buah-buahan, coklat, dan roti. Sebagian besar (65.2%) subjek tidak memiliki makanan dan minuman yang dihindari saat sebelum pertandingan. Namun 34.8% subjek memiliki makanan/ minuman yang dihindari sebelum pertandingan yaitu makanan pedas, minuman soda, dan es. Menurut Depkes (1993) waktu makan yang dapat diterapkan oleh atlet pada 3-4
24
jam sebelum bertanding yaitu makanan utama yang terdiri dari nasi, sayur, lauk pauk dan buah. Pada 2-3 jam sebelum bertanding, makanan yang dapat dikonsumsi oleh seorang atlet adalah makanan kecil seperti crackers, roti, dan lain-lain. Pada 12 jam sebelum bertanding makanan yang dikonsumsi oleh atlet dapat terdiri dari makanan cair/minuman seperti juice buah, teh, dan lain-lain. Sedangkan waktu < 1 jam sebelum bertanding atlet disarankan untuk mengonsumsi cairan atau minuman. Mengkonsumsi cairan secara cukup untuk menjaga agar status hidrasi atlet tetap dalam kondisi baik, menghindari diet yang tinggi serat untuk menghindari terjadinya masalah pencernaan selama pada saat pertandingan (Brouns 1993). Kebiasaan makan dan minum selama pertandingan Kebiasaan makan dan minum selama pertandingan penting untuk diperhatikan atlet selama bertanding. Makan dan minum selama pertandingan diperlukan untuk memenuhi energi dan zat gizi agar cadangan glikogen dan status hidrasi tetap terpelihara. Berikut tabel sebaran subjek berdasarkan kebiasan makan dan minum selama pertandingan. Berikut tabel sebaran subjek berdasarkan kebiasan makan dan minum selama pertandingan. Tabel 20 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan dan minum selama pertandingan Kebiasaan makan dan minum n % Konsumsi makan dan minum selama pertandingan Ada 22 95.7 Tidak 1 4.3 Makanan dan minum yang dihindari sebelum pertandingan Ada 8 34.8 Tidak 15 65.2 Berdasakan tabel 20 dapat diketahui sebagian besar (95.7%) subjek memiliki kebiasaan untuk mengonsumsi makanan atau minuman selama pertandingan berupa sport drink, air mineral, dan buah pisang. Konsumsi buah pisang sangat disarankan pada saat pertandingan, hal ini dikarenakan pisang merupakan buah yang mengandung kadar pati yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai makanan sumber karbohidrat pada saat pertandingan. Selama pertandingan sebagian besar subjek (34.8%) menyatakan memiliki makanan dan minuman yang dihindari selama pertandingan yaitu makanan asam, pedas, dan gorengan dan sisanya (65.2%) menyatakan tidak mempunyai makanan atau minuman yang dihindari pada saat pertandingan. Menurut Irawan (2007) konsumsi karbohidrat sebanyak 30-50 gram setiap jamnya dan konsumsi cairan 600- 1500 ml dapat menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yang hilang saat bertanding. Kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan Keadaan atlet setelah pertandingan akan berbeda dengan keadaan biasanya, oleh karena itu makanan atlet setelah pertandingan tetap perlu diperhatikan. Makanan yang disajikan setelah pertandingan sebaiknya mengandung cukup energi, tinggi karbohidrat, vitamin dan mineral, cukup protein, rendah lemak, dan
25
banyak cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang selama pertandingan berlangsung (Irianto 2007). Berikut tabel sebaran atlet berdasarkan kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan. Tabel 21 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan pertandingan Kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Konsumsi makan dan minum setelah pertandingan Air mineral Sari buah Rentang waktu konsumsi makanan lengkap sebelum pertandingan 1-2 jam 2-3 jam Makanan dan minum yang dihindari sebelum pertandingan Ada Tidak
makan dan minum setelah n
%
20 3
87 13
20 3
87 13
8 15
34.8 65.2
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui subjek mengkonsumsi makanan /minuman segera setelah bertanding berupa air dingin (87%). dan sari buah (13%). Tujuan dari pemberian air dingin setelah bertanding adalah karena pada saat pertandingan terjadi peningkatan pengeluaran energi yang besar, sehingga terjadi pengosongan lambung. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan air dingin yang bersuhu 5-10oC untuk mengatasi kekosongan lambung, karena air dingin lebih cepat diserap oleh usus. Selain itu, pemberian sari buah ditujukan karena dapat mengganti sebagian kalium dan natrium yang hilang melalui keringat. Dalam sari buah selain terdapat karbohidrat juga mengandung vitamin C, mineral seperti kalium dan natrium (Depkes 1993). Sebanyak 65.2% subjek tidak memiliki makanan dan minuman yang dihindari setelah pertandingan. Sebanyak 34.8% subjek memiliki makanan atau minuman yang dihindari yaitu minuman soda dan makanan pedas untuk tidak dikonsumsi setelah pertandingan. Menurut Irianto (2007) setengah jam setelah bertanding, atlet dapat diberikan jus buah sebanyak 1 gelas. Satu jam setelah bertanding, atlet diberikan jus buah 1 gelas dan snack ringan atau makanan cair yang mengandung karbohidrat sebanyak 300 kkal. Dua jam setelah bertanding, makan lengkap dengan porsi kecil. Sebaiknya diberikan lauk yang tidak digoreng, tidak bersantan dan diberikan banyak sayuran dan buah. Setelah 4 jam bertanding., atlet akan merasakan rasa lapar. Oleh karena itu, penyediaan makan pada malam hari menjelang tidur mutlak diperlukan bagi atlet yang bertanding malam hari.
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi Energi dan tenaga dapat diperoleh dari makanan sumber karbohidrat, lemak,dan protein. Energi dibutuhkan untuk metabolisme dasar dan untuk aktivitas
26
sehari-hari. Kelebihan energi dapat menjadikan tubuh obesitas (kegemukan) dan kekurangan energi dapat menyebabkan kekurangan gizi (Hartono 2006). Konsumsi energi contoh diperoleh dengan menggunakan metode food recall 2x24 jam yaitu satu hari libur dan satu hari sekolah. Tujuan dari metode food recall 2x24 jam ini adalah untuk dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal. Dari hasil recall kemudian diperoleh data konsumsi contoh yang kemudian dengan angka kecukupan angka kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Angka kecukupan energi diperoleh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 yang sudah di sesuaikan dengan kondisi tubuh orang indonesia. Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dibagi ke dalam lima kategori, yaitu defisit berat (< 70%), defisit sedang (70-79%), defisit ringan (80-89%), normal (90-119%), dan lebih (≥120%). Berikut sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi. Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi Kategori tingkat kecukupan energi Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 7 41.2 5 29.4 2 11.8 3 17.6 17 100 75.3 ± 16
n 1 4 0 1 6
Perempuan % 16.7 66.7 0 16.7 100 76.9 ± 14.2
Total n % 8 34.8 9 39.1 2 8.7 4 17.4 23 100 75.7 ± 15.3
Berdasarkan tabel 22 dapat diketahui bahwa tingkat kecukupan energi lakilaki (41.18%) terdapat pada kategori defisit berat sedangkan pada subjek perempuan (66.67%) tingkat kecukupan energinya berada pada kategori defisit sedang. Hal ini dikarenakan oleh sistem pendistribusian makanan yang menggunakan sistem prasmanan yaitu atlet dapat mengambil makanan berdasarkan kesukaan masing-masing individu bukan berdasarkakn pada kebutuhannya sehingga pemasukan energi ada yang mengalami kekurangan dan kelebihan. Padahal dengan aktivitas berat dan pengeluaran energi yang besar harus diimbangi dengan pemasukan makanan yang seimbang stamina tubuh tetap stabil. Rata-rata tingkat kecukupan energi subjek adalah sebesar 75.7 ± 15.3 %. Rata-rata asupan energi laki-laki (1862.3 ± 203.1 kkal) lebih tinggi dibandingkan asupan energi perempuan (1748.7 ± 125.7 kkal). Asupan energi laki-laki lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan perempuan dikarenakan tingkat aktivitas fisik laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Konsumsi energi yang rendah (mengalami defisit) sangat tidak cocok bagi subjek karena dapat mengganggu performa subjek. Oleh karena itu, menurut Mihardja (2007) peranan energi dalam olahraga penting diperhatikan, misalnya kelelahan (tidak bugar) dapat terjadi akibat tidak cukupnya ketersediaan energi yang diperlukan dari glikogen otot atau glukosa darah. Konsumsi makanan secara baik dan optimal mampu memelihara ketersediaan yang cukup sehingga menghasilkan kemampuan beraktivitas dan waktu pemulihan yang baik. Protein Protein merupakan bahan pembentuk energi di samping karbohidrat dan lemak. Protein dapat bersumber dari pangan hewani maupun nabati. Pangan sumber protein hewani antara lain susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang. Pangan sumber protein nabati antara lain kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu,
27
dan kacang-kacangan lainnya (Hardinsyah & Tambunan 2004). Rata-rata tingkat kecukupan protein subjek adalah sebesar 70 ± 19.4 %. Nilai rata-rata ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kecukupan protein normal. Rata-rata asupan protein laki-laki sebesar 47.5 ± 12.1 g per hari dan rata-rata asupan protein perempuan 38.3 ± 7.7 g per hari. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan pada tabel 23. Tabel 23 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein Kategori tingkat kecukupan protein Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 9 52.9 3 17.6 3 17.6 1 5.9 1 5.9 17 100 73.8 ± 20.1
Perempuan n % 5 83.3 1 16.7 0 0 0 0 0 0 6 100 59.5 ± 13.4
Total N % 14 60.9 4 17.4 3 13 1 4.3 1 4.3 23 100 70 ± 19.4
Berdasarkan tabel 23 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan protein laki-laki (52.9%) dan perempuan (83.3%) berada pada kategori defisit berat. Hal ini dikarenakan makanan yang disediakan kurang beravariasi. Peningkatkan kebutuhan protein bagi atlet ini disebabkan oleh karena atlet lebih berisiko untuk mengalami kerusakan jaringan otot terutama saat menjalani latihan/pertandingan olahraga yang berat. Selain itu pada olahraga yang bersifat ketahanan (endurance) dengan durasi panjang sebagian kecil asam amino dari protein juga akan digunakan sebagai sumber energi terutama saat simpanan glikogen sudah semakin berkurang. Oleh karena hal-hal tersebut diatas maka kebutuhan konsumsi protein seorang atlet dalam kesehariannya akan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan non-atlet. Menurut Irawan (2007) kebutuhan protein atlet disebutkan berada berada pada rentang 1.2-1.6 gr/kg berat badan per-harinya dan nilai ini berada diatas kebutuhan protein bagi non-atlet yaitu sebesar 0.6-0.8 gr/kg berat badan. Lemak Lemak merupakan zat gizi kedua yang digunakan tubuh sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi. Fungsi utama lemak adalah sumber dan cadangan energi yang dapat menghasilkan 9 kkal untuk tiap gram, yaitu 2.5 kali besar energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama. Fungsi lain lemak yaitu sebagai isolator, pelindung organ dan menyediakan asam-asam lemak esensial (Mahan & Escott-Stump 2008). Lemak sangat dibutuhkan oleh atlet yang melakukan olahraga dalam intensitas waktu yang lama, namun konsumsi lemak yang berlebihan tidak dianjurkan bagi seorang atlet karena dapat mengakibatkan peningakatan trigliserida, kolesterol total dan LDL kolesterol. Risiko kesehatan seperti aterosklerosis, penyakit jantung, penyakit kanker dapat timbul pada seorang atlet akibat konsumsi lemak yang tinggi (Primana 2000). Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak disajikan pada tabel 24.
28
Tabel 24 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak Kategori tingkat kecukupan lemak Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 12 70.6 2 11.8 1 5.9 2 11.8 17 100 67.4 ± 17.4
Perempuan n % 5 83.3 0 0 1 16.7 0 0 6 100 60.1 ± 14.2
Total n % 17 73.9 2 8.7 2 8.7 2 8.7 23 100 65.5 ± 16.6
Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan lemak laki-laki (70.6%) berada pada kategori defisit berat sedangkan tingkat kecukupan lemak subjek perempuan (83.3%) berada pada kategori defisit berat. Hal tersebut dapat terjadi karena kekhawatiran atlet mengalami kegemukan sehingga mengurangi makanan yang berlemak. Rata-rata asupan lemak laki-laki 55.4 ± 9.2 gr dan rata-rata asupan lemak perempuan 45.5 ± 5.5 gr perempuan. Ratarata tingkat kecukupan lemak subjek sebesar 65.5 ± 16.6%. Karbohidrat Karbohidrat merupakan gizi sumber energi, selain itu berfungsi untuk mendukung aktivitas fisik seperti berolahraga. Di dalam tubuh, karbohidrat yang dikonsumsi oleh manusia dapat tersimpan di dalam hati dan otot sebagai simpanan energi dalam bentuk glikogen. Sekitar 80% dari karbohidrat ini akan tersimpan sebagai glikogen di dalam otot, 18-22% akan tersimpan sebagai glikogen di dalam hati dan sisanya akan bersirkulasi di dalam aliran darah dalam bentuk glukosa (Irawan 2007). Tingkat kecukupan karbohidrat laki-laki maupun perempuan berada pada ketegori normal dan defisit ringan yaitu 30.4% dan 30.4% secara berurutan. Hal ini disebabkan karena makanan yang tersedia di asrama kurang bervariasi dan atlet mengaku bosan dengan makanan yang disediakan oleh pihak asrama. Rata-rata asupan karbohidrat subjek laki-laki adalah 291.1 ± 209.3 gram dan rata-rata asupan karbohidrat subjek perempuan adalah 279.4 ± 44.3 gram. Rata-rata tingkat kecukupan secara keseluruhan yaitu 82.1 ± 49.9 gr. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak disajikan pada tabel 25. Tabel 25 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat Kategori tingkat Laki-laki Perempuan Total kecukupan karbohidrat n % n % n % Defisit berat 4 23.5 0 0 4 17.4 Defisit sedang 2 11.8 1 16.7 3 13 Defisit ringan 5 29.4 2 33.3 7 30.4 Normal 4 23.5 3 50 7 30.4 Lebih 2 11.8 0 0 2 8.7 17 100 6 100 23 100 Total 81.4 ± 57.8 94.7 ± 14.6 82.1 ± 49.9 Rata-rata ± SD Kalsium Kalsium di dalam tubuh adalah memiliki peran dalam pembentukan tulang dan gigi. Kini banyak disorot bahwa kekurangan kalsium dapat meningkatkan
29
risiko osteoporosis yaitu gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap dan jumlah kekuatan jaringan tulang. Hal ini disebabkan karena tubuh yang kekurangan asupan kalsium akan mengambil kalsium dari tubuh. Rata-rata asupan kalsium laki-laki yaitu 291.8 ± 1045.5 mg sedangkan rata-rata asupan kalsium perempuan yaitu 233.3 ± 111.6 mg. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium disajikan pada tabel 26. Tabel 26 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium Laki-laki Perempuan Total Kategori tingkat kecukupan kalsium n % n % n % Kurang 16 94.1 6 100 22 95.7 Normal 1 5.9 0 0 1 4.3 17 100 6 100 23 100 Total 23.1 ± 79.9 6.8 ± 6.1 19.1 ± 70 Rata-rata ± SD Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan kalsium subjek laki-laki dan perempuan berada pada kategori kurang dengan persentase masing-masing kelompok yaitu 94.12% dan 100%. Hal ini disebabkan karena kurangnya konsumsi pangan sumber kalsium seperti susu atlet. Kekurangan kalsium pada masa remaja akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan tulang sehingga tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh (Almatsier 2004). Zat Besi Zat besi merupakan mineral yang sangat diperlukan tubuh dalam membantu sel darah merah mengangkut okseigen ke seluruh tubuh juga sebgai enzim yang diperlukan dalam metabolisme. Zat besi berperan dalam pembentukan hemoglobin, dan mioglobin. Kekurangan zat besi terutama pada remaja dapat menyebabkan kurangnya hemoglobin yang dapat menyebabkan anemia gizi besi,penurunan nafsu makan juga menurunkan kemampuan fisik, hambatan perkembangan, dan menurunkan kemampuan kognitif. Rata-rata asupan besi laki-laki yaitu 11.2 ± 4.6 mg sedangkan rata-rata asupan besi perempuan yaitu 10 ± 2.4 mg. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan besi disajikan pada tabel 27. Tabel 27 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan besi Laki-laki Perempuan Total Kategori tingkat kecukupan Besi n % n % n % Kurang 12 70.6 6 100 18 78.3 Normal 5 29.4 0 0 5 21.7 17 100 6 100 23 100 Total 63.8 ± 29 41.7 ± 10.4 63.8 ± 29 Rata-rata ± SD Berdasarkan Tabel 27 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan besi subjek laki-laki dan perempuan berada pada kategori kurang dengan persentase masing-masing kelompok yaitu 70.6% dan 100% secara berurutan. Kurangnya konsumsi zat besi pada atlet disebabkan oleh kurangnya konsumsi pangan sumber zat besi, Selain zat besi, atlet juga membutuhkan mineral lain seperti seng, selenium, magnesium, fosfor, iodium, mangan, dan fluor. Semua mineral tersebut diperlukan oleh atlet dalam pertumbuhan, perkembangan dan proses metabolisme tubuh.
30
Vitamin A Vitamin A berperan dalam sintesis protein dalam pertumbuhan sel dan berperan dalam kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, dan pencegahan penyakit kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (Almatsier 2004). Rata-rata asupan vitamin A laki-laki yaitu 1372 ± 604 mg sedangkan rata-rata asupan vitamin A perempuan yaitu 1176.6 ± 128.7 mg. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A disajikan pada tabel 28. Tabel 28 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A Kategori tingkat kecukupan Vitamin A Kurang Normal Total Rata-rata ± SD
Laki-laki N % 0 0 17 100 17 100 248.5 ± 106.7
Perempuan n % 0 0 6 100 6 100 195.5 ± 27.7
Total n % 0 0 23 100 23 100 216.4 ± 98
Berdasarkan Tabel 28 dapat diketahui bahwa seluruh (100%) tingkat kecukupan vitamin A subjek laki-laki dan perempuan berada pada kategori normal. Hal ini dikarenakan bahan pangan yang dikonsumsi subjek banyak yang mengandung sumber vitamin A seperti telur ayam, wortel, sayur dan buah. Bagi atlet yang berada dalam usia remaja, vitamin A sangat berperan penting dalam differensiasi sel, oleh sebab itu asupan vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam peningkatan performa atlet dan pemulihan latihan. Vitamin B1 Vitamin B1 atau tiamin di dalam tubuh berfungsi sebagai koenzim yang penting dalam metabolisme energi dari karbohidrat. Peningkatan konsumsi tiamin bagi seorang atlet sangat dianjurkan. Hal ini dikarenakan tiamin dapat membantu metabolisme energi dari karbohidrat yang dapat meningkatkan kinerja atlet dan juga berperan dalam transportasi oksigen dalam darah yang penting dalam olahraga yang memerlukan intensitas dan durasi yang cukup lama. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 disajikan pada tabel 29. Tabel 29 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 Kategori tingkat kecukupan Vitamin B1 Kurang Normal Total Rata-rata ± SD
Laki-laki N % 0 0 17 100 17 100 210.8 ± 106.7
Perempuan n % 0 0 6 100 6 100 195.5 ± 27.7
Total n % 0 0 23 100 23 100 216.4 ± 98
Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui bahwa seluruh (100%) tingkat kecukupan vitamin B1 subjek laki-laki dan perempuan berada pada kategori normal. Rata-rata asupan vitamin B1 laki-laki yaitu 3 ± 86.3 mg sedangkan ratarata asupan vitamin B1 perempuan yaitu 39.6 ± 41 mg.
31
Vitamin C Vitamin C merupakan antioksidan yang sangat kurat, selain itu juga vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun, mengurangi keleahan dan kelemahan otot, meningkatkan performa dan melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Berdasarkan Tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan vitamin C subjek laki-laki dan perempuan berada pada kategori normal dengan persentase masing-masing kelompok yaitu 70.6% dan 83.3%. Hal ini disebabkan karena atlet sering diberikan buah-buahn seperti jeruk, semangka, dan pisang yang merupakan bahan pangan sumber vitamin C. Rata-rata asupan vitamin C laki-laki yaitu 79.5 ± 30.9 mg sedangkan rata-rata asupan vitamin C perempuan yaitu 76.3 ± 33.9 mg. Tabel 30 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1 Kategori tingkat kecukupan Vitamin C Kurang Normal Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 5 29.4 12 70.6 17 100 97.6 ± 46
Perempuan n % 1 16.7 5 83.3 6 100 98 ± 45
Total n % 6 26.1 17 73.9 23 100 97.7 ± 44.7
Tingkat Kebugaran Kebugaran merupakan kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari, kegiatan rekreasi atau kegiatan lainnya yang bersifat mendadak tanpa mengalami kelelahan yang berarti (Riyadi 2007). Nilai kebugaran jasmani setiap orang berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Ciri-ciri kebugaran yang baik yaitu tahan jika bekerja dalam waktu yabg lama, tidak mudah lelah, tidak terserang penyakit, dan produkstivitas kerja yang tinggi (Riyadi 2007). Tingkat kebugaran kardiorespiratori dapat dihitung dengan menggunakan Volume Oksigen Maksimum (VO2max). VO2max merupakan jumlah maksimum oksigen dalam mililiter yang dapat digunakan seseorang dalam satu menit per kilogram berat badan. Estimasi VO2max dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan bleep test yang dilakukan oleh pelatih cabang olahraga sepak takraw di PPLP Provinsi Riau. Sebaran subjek berdasarkan VO2max disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran subjek berdasarkan kategori VO2max Laki-laki Perempuan Total Kategori VO2max n % n % N % Poor 0 0 0 0 0 0 Fair 0 0 2 33.3 2 8.7 Good 9 52.9 1 16.7 10 43.5 Very good 8 47.1 3 50 11 47.8 17 100 6 100 23 100 Total 50.6 ± 4.7 40.1 ± 6.9 47.8 ± 7 Rata-rata ± SD Berdasarkan Tabel 31 diketahui sebagian besar subjek sebanyak 10 orang dengan persentase 43.5% memiliki kebugaran tubuh baik dan sebanyak 11 orang dengan persentase 47.8% memiliki kebugaran tubuh sangat baik. Rata-rata subjek memiliki nilai VO2max 47.8 ± 7 ml/kg/min. Rata-rata nilai VO2max subjek yang
32
berjenis kelamin laki-laki 50.6 ± 4.7 ml/kg/min, sedangkan rata-rata nilai VO2max subjek yang berjenis kelamin perempuan 40.1 ± 6.9 ml/kg/min. Rata-rata nilai VO2max subjek laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan subjek perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Imaduddin (2012) bahwa atlet laki-laki memiliki nilai VO2max lebih tinggi dibandingkan perempuan pada cabang olahraga taekwondo. Menurut Malina et al. (2004) rata-rata nilai VO2max lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan pada seluruh tingkatan usia. Hal ini sejalan dengan penelitian Sumarni (2012), yang menyatakan bahwa atlet sepak takraw PPLP Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar memiliki kebugaran tubuh yang tergolong baik. Kebiasaan olahraga yang dilakukan oleh atlet akan mempengaruhi tingkat kebugaran. Tingginya intensitas latihan atau aktifitas fisik yang dilakukan subjek dapat meningkatkan nilai VO2max. Hasil penelitian European Youth Heart Study menunjukkan bahwa remaja yang aktivitas fisiknya tergolong aktif memiliki kapasitas kardiovaskuler yang baik juga (Vizcaino dan Lopez 2008). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Watulingas et al. (2013) latihan fisik dapat meningkatkan nilai VO2max. Selain itu, kebiasaan olahraga yang cukup dapat bermanfaat untuk memelihara kesehatan dan tingkat kebugaran (Demura et al. 2011). The American College of Sports Medicine merekomendasikan olahraga selama 30 menit selama 5 hari dalam seminggu untuk menjaga kesehatan (Haskell et al. 2007). Uji Hubungan antar Variabel Uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam penelitian ini terdiri dari uji korelasi Pearson dan Spearman. Hubungan antar variabel yang diuji yaitu hubungan antar karakteristik atlet, hubungan status gizi dan hubungan antara tingkat kecukupan gizi degan tingkat kebugaran. Hasil uji korelasi antar variabel disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Hasil uji korelasi antar variabel Kebugaran (VO2max) Variabel Signifikansi Koefisien (p) korelasi (r) Karakteristik - Usia 0.004* 0.576 - Berat badan 0.279 0.236 - Tinggi badan 0.015* 0.499 - Jenis kelamin 0.002* -0.621 - Tingkat pendidikan 0.004* -0.577 Status gizi (IMT/U) 0.269 -0.240 TKE 0.915 -0.024 TKP 0.643 0.102 TKL 0.280 -0.235 TK KH 0.754 0.069 *Signifikansi bermakna (p<0.05) Hubungan Usia dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Spearman antara usia atlet dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw (VO2 max) menunjukkan hubungan positif yang signifikan (p=0.004,
33
r=0.576). Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini semakin tinggi usia atlet hingga usia 19 tahun, maka tingkat kebugaran juga akan berada pada kategori yang baik. Hasil penelitian Bongard et al. (2007) menunjukkan perbedaan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat kebugaran. Nilai VO2max akan secara normal menurun sejalan dengan bertambahnya usia yang disebabkan karena terjadinya perubahan pada komposisi lemak tubuh dan gaya hidup orang dewasa yang tidak aktif (Mcmurray dan Ondrak 2008). Daya tahan kardiorespiratori akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur, namun penurunan ini dapat berkurang, bila seseorang berolahraga teratur sejak dini. Kebugaran meningkat sampai mencapai maksimal pada usia 20 — 30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0.8 — 1 % per tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya (Karim 2002). Hubungan Berat badan dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara berat badan dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw (VO2 max) menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05, r= 0.236). Hal ini menunjukkan bahwa berat badan atlet tidak berpengaruh terhadap tingkat kebugaran atlet. Atlet sepak takraw yang memiliki berat badan yang rendah belum tentu memiliki tingkat kebugaran yang rendah, begitupun sebaliknya. Menurut Macmurray dan Ondrak (2008) tingkat kebugaran (VO2 max) tidak hanya dipengaruhi oleh berat badan, namun juga dipengaruhi oleh massa otot, dan massa lemak. Hal ini sejalan dengan penelitian Ruiz et al. (2006) yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki daya tahan respiratori yang tinggi memiliki total massa lemak yang rendah. Hubungan Tinggi Badan dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara berat badan dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw (VO2 max) menunjukkan hubungan yang positif signifikan (p<0.05, r= 0.499). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi seorang atlet maka akan semakin bugar atlet tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan Karim (2002) yang mengatakan bahwa tinggi badan tidak berpengaruh terhadap tingkat kebugaran, yang berpengaruh terhadap tingkat kebugaran adalah usia, jenis kelamin, keturunan, dan komposisi tubuh. Hubungan Jenis kelamin dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Spearman antara jenis kelamin dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw (VO2 max) menunjukkan hubungan negatif yang signifikan (p= 0.002, r= -0.621). Hal ini menujukkan bahwa subjek laki-laki memiliki tingkat kebugaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian Rauner et al. (2013) menunjukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan tingkat kebugaran. Menurut Riyadi (2007), salah satu faktor yang mempengaruhi kebugaran fisik adalah jenis kelamin Perbedaan kebugaran tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan komposisi tubuh. Menurut Ferreira (2013) laki-laki memiliki kepadatan otot yang lebih besar dan lemak tubuh yang lebih sedikit dibandingkan perempuan sehingga mengakibatkan tingkat kebugaran lakilaki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
34
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan dengan tingkat kebugaran atlet sepak takraw (VO2 max) menunjukkan hubungan negatif yang signifikan (p<0.05, r= -0.577). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat kebugaran, begitupun sebaliknya. Atlet yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tentu memiliki tingkat kebugaran yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Spearman antara status gizi dengan tingkat kebugaran subjek menunjukkan hubungan negatif yang tidak signifikan antara status gizi dengan tingkat kebugaran (p= 0.269, r= -0.24). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi tidak berhubungan dengan tingkat kebugaran, begitupun sebaliknya. Atlet yang memiliki status gizi rendah belum tentu memiliki tingkat kebugaran yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Hasil ini sejalan hasil penelitian Aires et al. (2010) yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara IMT dengan kebugaran. Jika dibandingkan dengan penelitian Kovac et al. (2013) menunjukkan bahwa status gizi memiliki pengaruh penting pada kebugaran fisik, karena dengan status gizi lebih tinggi akan berpengaruh buruk terhadap beberapa hasil test kebugaran. Hasil penelitian Bovet et al. (2007) pada remaja usia 12-15 tahun juga mengungkap hubungan yang tidak linear antara IMT dan hasil tes kebugaran jasmani atau performa motorik. Hasil penelitian Nikolai dan Ingebrigtsen (2013) juga menunjukkan hubungan negatif antara IMT dengan tingkat kebugaran pada remaja. Selain itu, hasil penelitian Kiflu et al. (2012) menunjukkan bahwa subjek dengan status gizi lebih memiliki tingkat kebugaran yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang memiliki status gizi normal. Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011) kebugaran tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi namun juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, genetik, aktifitas fisik serta kebiasaan merokok. Selain itu komposisi tubuh juga erat kaitannya dengan kebugaran, karena status gizi seseorang bergantung kepada indeks massa tubuh (IMT) yang akan menentukan komposisi tubuh individu (Kusumaningrum 2009). Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, zat besi, maupun vitamin C dengan tingkat kebugaran atlet (VO2 max, flexibility dan daya tahan otot) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A dan maupun vitamin B1 dengan tingkat kebugaran atlet (VO2 max) menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat gizi yang dikumpulkan dengan cara recall 2 x 24 jam belum dapat menentukan tingkat kebugaran baik VO2 max. Menurut Kartika (2006) kebugaran jasmani dapat ditingkatkan dengan memperoleh tingkat konsumsi yang cukup. Konsumsi zat gizi yang baik sesuai dengan kebutuhan gizi akan membuat kebugaran atlet menjadi baik sehingga menjadi tidak cepat lelah dan mampu melakukan aktifitasnya dengan baik pula sehingga mampu mencapai prestasi olahraga yang maksimal. Berdasarkan penelitian Fox et al. (2011) seringkali atlet tidak memperhatikan tingkat kebutuhan gizi yang disarankan sehingga performanya menjadi tidak optimal. Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011)
35
menyatakan bahwa ketersediaan zat gizi dalam tubuh berpengaruh terhadap kemampuan otot berkontraksi dan daya tahan kardiovaskuler.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penyelenggaraan makanan di asrama PPLP cabang sepak takraw Provinsi Riau dikelola oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau yang dilaksanakan oleh jaga boga pemenang lelang. Penyelenggaraan makanan dilakukan dengan menggunakan metode konvensional. Berdasarkan hasil dari komponen penyelenggaraan makanan 62.5% sudah diterapkan cukup baik. Masih terdapat komponen yang belum diterapkan diantaranya belum dilakukannya perencanaan menu, standarisasi resep, standarisasi bumbu, penggunaan garnish, dan kategori higiene perorangan dimana penjamah makanan belum menggunakan sarung tangan dan pelindung kepala. Subjek terdiri dari laki-laki (73.9%) dan perempuan (26.1%). Rata-rata pada penelitian ini memiliki usia 17±1.7 tahun. Tingkat pendidikan subjek terdiri dari SMA (73.9%) dan SMP (26.1%). Rata-rata besar keluarga subjek sebesar 5 ± 1.19 atau berada pada kategori keluarga sedang (5-7 orang). Pendidikan terakhir orang tua subjek pada penelitian ini didominasi oleh SMA (39.1%) pada tingkat pendidikan ayah, sedangkan pendidikan ibu sebagian besar berada pada SMP (34.8%). Pekerjaan orang tua terdiri dari pekerjaan ayah dan ibu. Sebagian besar pekerjaan ayah subjek adalah wiraswasta/ pedagang (34.8%), sedangkan pekerjaan ibu subjek yang terbanyak adalah Ibu rumah tangga (82.6%). Rata-rata berat badan subjek yaitu 53.5 ± 11.1 kg dan rata-rata tinggi badan subjek yaitu 163.1 ± 10.8 cm. Status gizi subjek sebagian besar berada pada kategori normal (95.7%) dan hanya 4.3% yang trermasuk kategori gemuk. Subjek memiliki kebiasaan makan lengkap tiga kali dalam sehari (95.7%). Seluruh subjek mengonsumsi sarapan setiap pagi. Sebagian besar subjek mengonsumsi air putih lebih dari delapan gelas per hari (69.5%), mengonsumsi sport drink (60.9%), mengonsumsi fast food kadang-kadang (60.8%), dan seluruh subjek tidak mengonsumsi alkohol. Kebiasaan makan periode sebelum pertandingan sebagian besar (78.2%) subjek mengonsumsi makanan lengkap 1-2 jam sebelum bertanding dan menghindari makanan berupa makanan pedas, minuman soda dan es. Selama bertanding sebagian besar (95.6%) mengonsumsi air mineral, sport drink, dan buah pisang. Setelah pertandingan sebagian besar subjek mengonsumsi air mineral/ air dingin (87%) dan sari buah (3%). Sebagian besar subjek (87%) mengonsumsi makanan lengkap 1-2 jam setelah bertanding. Tingkat kecukupan energi subjek secara umum tergolong defisit sedang (39.1%), tingkat kecukupan protein subjek tergolong defisit berat (60.9%), tingkat kecukupan lemak subjek tergolong defisit berat (73.9%), dan tingkat kecukupan karbohidrat subjek tergolong defisit ringan dan normal (30.4%). Tingkat kecukupan kalsium dan besi subjek tergolong kurang, sedangkan tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B, dan vitamin C tergolong cukup/ normal.
36
Rata-rata subjek memiliki nilai VO2max 47.8 ± 7 ml/kg/min. Rata-rata nilai VO2max subjek yang berjenis kelamin laki-laki 50.6 ± 4.7 ml/kg/min, sedangkan rata-rata nilai VO2max subjek yang berjenis kelamin perempuan 40.1 ± 6.9 ml/kg/min. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kebugaran yang baik (43.5%) dan sangat baik (47.8%). Berdasarkan uji korelasi terdapat hubungan yang signifikan antara usia (p= 0.004), tinggi badan (p= 0.015), jenis kelamin (p= 0.002), dan tingkat pendidikan (p= 0.004) dengan tingkat kebugaran. Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara berat badan, status gizi, dan tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C dengan tingkat kebugaran (p> 0.05).
Saran Sebaiknya pelatih bekerja sama dengan ahli gizi memantau konsumsi makanan atlet untuk memperhatikan konsumsi makanan sehari-hari yang memerlukan asupan gizi yang lebih karena tingkat aktivitas fisik yang lebih berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan gizi yang masih kurang. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan asupan zat gizi remaja yaitu dengan menerapkan keberagaman konsumsi pangan setiap harinya sehingga kebutuhan zat gizi dapat tercukupi baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas. Penyelenggaraan makanan atlet sebaiknya berkonsultasi dengan ahli gizi terkait pengaturan pola makan. Pengaturan pola makan atlet digunakan untuk mencapai asupan gizi yang tepat dan optimal pada periode latihan maupun periode pertandingan. Asupan gizi yang tepat dan optimal dapat berpengaruh terhadap kebugaran atlet dalam berolahraga. Selain itu intensitas latihan dan riwayat kesehatan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kebugaran seorang atlet. Oleh sebab itu perlu penelitian lanjutan tentang riwayat kesehatan, kebugaran seorang atlet dan pengaruhnya terhadap prestasi atlet serta dengan subjek yang lebih banyak kemudian adanya edukasi yang diberikan secara detail mengenai pola konsumsi sebelum pertandingan, selama pertandingan dan setelah pertandingan.
37
DAFTAR PUSTAKA Aires L, Silva P, Silva G, Santos MP, Ribeiro C, Mota J. 2010. Intensity of physical activity, cardiorespiratory fitness, and body mass index in youth. Journal of Physical Activity and Health. 7:54-59. Almatsier S. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta (ID) : PT Gramedia Pustaka Utama. Attorp A, Scott JE, Yew AC, Rhodes RE, Barr SI, Naylor P. 2014. Associations between sosioeconomic, parental, and home environment factors and fruit and vegetable consumption of children in grades five and six in British Columbia, Canada. BMC Pub Health. 14:150-158.doi:10.1186/1471-245814-150. Bar-Or O, Hebestreit H. 2008. The Young Athlete. USA (US): Blackwell Publishing. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Modul keluarga berencana [Internet]. [diunduh 2016 Mei 02] tersedia pada: http://www.bkkbn.go.id Bongard V, McDermott AY, Dallal GE, & Schaefer EJ. 2007. Effects of age and gender on physical performance. NCBI. 29:77-85. Bovet P, Auguste R, Burdette H. 2007. Strong inverse association between physical fitness and overweight in adolescents: a large school-based survey. Int J of Behavioral Nutrition and Physical Activity 4: 1-8. Brouns F. 1993. Essential of Sport Nutrition. England (UK): John Wiley & Sons, Ltd. Chen J. 2000. Vitamin: Effect of Exercise on Requirements. Oxford (UA): Blackwell Science, Ltd. Demura S, Yamada T, Shimada S, Uchiyama M. 2011. Influence of exercise habits and physical fitness on subjective fatigue symptoms in adolescent students. J Health. doi:10.4236/health.2011.31004 Fatmah, Ruhayati Y. 2011. Gizi Kebugaran dan Olahraga. Jawa Barat (ID): Lubuk Agung. Ferreira FS.2013. Relationship between Physical Fitness and Nutritional Status in a Portuguese Sample of School Adolescents. J Obes Weight Loss Ther. 3: 190.doi:10.4172/2165-7904.1000190 Fox EA, McDaniel JL, Breitbach AP, Weiss EP. 2011. Perceived protein needs and measured protein intake in collegiate male athletes: an observational study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 8:9 Gibson. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Oxford (GB): Oxford University Perss. Hardiansyah, Martianto D. 1992. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Konsumsi Pangan. Jakarta (ID): Wirasari.
38
, Tambunan V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Jakarta (ID): Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. , Briawan D. 1996. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. , Riyadi H, Napitupulu V. 2013. Kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Jakarta (ID): Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Hartono A. 2006. Terapi Gizi & Diet Rumah Sakit. Ed ke-2. Jakarta (ID): EGC Haskell WL, Lee IM, Pate RR, Powell KE, Blair SN, Franklin BA, Heath GW, Thomson PD, Bauman A. 2007. Physical activity and public health updated recommendation for adults from the American College of Sports Medicine and The American Heart Association. Circulation AHA Journal. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185649 Hinton PS, Sanford TC, Davidson MM, Yakushko OF, Beck NC. 2004. Nutrient intakes and dietary behaviors of male and female collegiate athletes. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 14:389–405. Irawan MA. 2007. Nutrisi, Energi, dan Performa Olahraga. Polton Sport Science & Performance Lab. Sport Science Brief Vol. 1 No. 4.
Irianto DP. 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta (ID): Andi Offset Karim F. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga bagi Petugas Kesehatan. Jakarta (ID): Program Studi Ilmu Kedokteran Olahraga FKUI. Kartika E. 2006. Hubungan Tingkat Konsumsi Gizi (Energi, Protein, Besi) dan Status Gizi (Indeks Massa Tubuh, Kadar Hemoglobin) dengan Ketahanan Fisik pada Atlet Sepak Bola di PSIS Semarang Tahun 2006 [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Kiflu AA, Reddy RC, Syam BM. 2012. Relationship of body fat percentage and selected physical fitness performance between overweight and normal weight sedentary young male adults. Research Journal of Recent Science. 1(12):15-20. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 1993. Pedoman Pengaturan Makanan Atlet. Jakarta (ID): Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. . Kementrian Kesehatan RI. 1996. Pedoman Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes. . Kementerian Kesehatan RI. 1997. Gizi Olahraga Untuk Prestasi. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan . Kementrian Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI Jakarta. . Kementrian Kesehatan RI. 2005. Petunjuk Teknis Pengukuran Kebugaran Jasmani. Jakarta (ID): Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Jakarta.
39
. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta (ID): Kemenkes RI. . Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Gizi Olahraga Prestasi. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. . Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Kemenkes RI. Kovac M, Strel J, Leskosek B, Dremelj S, Kovac P, Durakovic M, Soric M, Starc G. 2013. Physical activity, physical fitness levels, daily energy intake and some eating habits of 11-year-old children. Croatian Journal of Education. 15: 127-139. Kusumaningrum R. 2009. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Ambilan Oksigen Maksimal pada Orang Sehat [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Mackanzie B. 1999. Multi-Stage Fitness Test. [internet]. [diunduh 2016 Januari 6]. Tersedia pada: http://www.brianmac.co.uk/beep.html Mahan K. Escott-Stump S. 2008. Krause’s Food & Nutrition Theraphy 12th Edition. New York (US): Saunders Elsevier. Malina RM, Bouchard C, Bar-Or O. 2004. Growth, Maturation, and Physical Activity, 2th Edition. Campaign, IL, USA: Human Kinetics. McMurray R, Ondrak K. 2008. Energy Expenditure of Athletes. Di dalam Wollinsky I, Driskell J, editor. Sport Nutrition Energy Metabolism and Exercise. Boca Raton (US): CRC Press. Mihardja L. 2007. Sistem Energi dan Zat Gizi yang Diperlukan pada Olahraga Aerobik dan Anaerobik. Jakarta (ID) Pusat Pengembangan dan Pemberantasan Penyakit Badan Litbang Depkes RI. Nikolai PT, Ingebrigtsen J. 2013. The relationship between body mass index and physical fitness in adolescent and adult male team handball players. Indian Journal Physiol Pharmacol. 57 (4):361-371. Nosa AS. 2013. Survei Tingkat Kebugaran Jasmani pada Pemain Persatuan Sepakbola Indonesia Lumajang [skrispi]. Surabaya (ID): Universitas Negeri Surabaya. Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makan di sekolah dan kualitas menu bagi siswa sekolah dasar di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Palacio JP, Theis M. 2009. Introduction to Foodservice 11th ed. New Jersey (US): Pearson Education Papadopoulou SK, Papadopoulou SD, Gallos GK. Macro- and micro-nutrient intake of adolescent Greek female volleyball players. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 2002;12:73–80. Petrie HJ, Stover EA, Horswill CA. Nutritional concerns for the child and adolescent competitor.Nutrition. 2004;20:620–31.
40
Pratomo SW. 2012. Penyelenggaraan dan kontribusinya terhadap tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa pondok pesantren al Falak di Kota Bogor [skrispi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Primana D. 2000. Pemenuhan Energi pada Olahraga. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Rahmawati. 2006. Status gizi dan perkembangan anak usia dini di TamanPendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramsbottom et al.1988. A progressive shuttle run test to estimate maximal oxygen uptake. British Journal of Sports Medicine 22: 141-5. Rauner A, Mess F, & Woll A. 2013. The relationship between physical activity, physical fitness and overweight in adolescents: a systematic review of studiess published in or after 2000. BMC Pediatrics. 13(19):1-9. Rifai A, Manurung GME. 2003. Identifikasi Tingkat Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Pelalawan [internet]. Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru (ID). SAGU, Maret 2003, Vol. 2 No. 3: 34-44 ISSN 1412-4424 [diunduh 2016 Juni 21]. Tersedia pada: http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JSG/article/view/695/688 Riyadi H. 2007. Diktat Mata Kuliah Gizi Olahraga. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rosenbloom CA, Loucks AB, Ekblom B. Special populations: The female player and the youth player. J Sports Sci. 2006;24:783–93. Ruiz JR, Rizzo NS, Hurtig-Wenlo FA, Ortega FB, Warnberg J, Sjostrom M. 2006. Relations of total physical activity and intensity to fitness and fatness in children. Am J Clin Nutr. 84:298-302. Salarkia N, Kimiagar M, Aminpour A. 2004. Food Intake, Body Composition and Endurance Capacitty of National Basketball Team Players in I.R. of Iran. Medical Journal of The Islamic Republic of Iran. Volume 18 Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sousa EF, Costa THM, Nogueira JAD, Vivaldi LJ. 2008. Assesment of nutrient and water intake among adolescemts from federation in the district, Brazil.British Journal of Nutrition (2008), 99, 1275-1283 Sumarni A. 2012. Gambaran pola konsumsi, status gizi dan tingkat kebugaran atlet olahraga permainan dan bela diri di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Vizcaino VM, Lopez MS. 2008. Relationship between physical activity and physical fitness in children and adolescents. Revista Espanola De Cardiologia. 61(2):108-111.
41
Wareham NJ, Man-Yu W, Nicholas ED. Glucose intolerance and physical inactivity: the relative importance of low habitual energy expenditure and cardiorespiratory fitness. Am J Epidemiol . 2000. 152(2):132-139. Watulingas I, Rampengan JJV, Polii H. 2013. Pengaruh latihan fisik aerobik terhadap VO2max pada mahasiswa pria dengan berat badan lebih (overweight). Jurnal e-Biomedik. 1(2). [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 20]. Tersedia pada: http:// www.who.int/growthref/who2007bmiforage/en/index.html Wiarto G. 2013. Fisiologi Olahraga. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Wilborn C, Jacquelline B, Bill C, Travis H, Melyn G, Paul LB, Erika N, Jennifer W, Richard K. Obesity: prevalence, theories, medical consequences, management, and research directions. JISSN. 2005. 2:4-31. doi:10.1186/1550-2783-2-2-4. Woro O. Sistem Pengelolaan Makanan di Tempat Pemusatan Latihan Atlet. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2005; 1 (1): 8-13. Yusuf. 2001. Pembelajaran Permainan Sepak Takraw. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Olahraga.
42
LAMPIRAN Lampiran 1 Penilaian VO2max lari multi tahap Tahap 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 7 7 7 7 8 8 8 8 9 9 9 9 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12
Balikan 2 4 6 9 2 4 6 9 2 5 8 10 2 5 8 10 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 9 12 2 5 9 12
Sumber: Ramsbottom (1988)
VO2max 26.8 27.6 28.3 29.5 30.2 31.0 31.8 32.9 33.6 34.6 35.7 36.4 37.1 38.1 39.2 39.9 40.5 41.4 42.4 43.3 43.9 44.8 45.9 46.8 47.4 48.5 49.3 50.2 50.4 51.6 52.9 53.9 54.3 55.1 56.2 57.3
Tahap 13 13 13 13 14 14 14 14 15 15 15 15 16 16 16 16 17 17 17 17 18 18 18 18 19 19 19 19 20 20 20 20 21 21 21 21
Balikan 2 6 10 13 2 6 10 13 2 6 10 13 2 6 10 14 2 6 10 14 2 6 10 15 2 6 10 15 2 6 11 16 2 6 11 16
VO2max 57.6 58.7 59.8 60.8 61.1 62.2 63.3 64.2 64.6 65.6 66.7 67.6 68.0 69.0 70.0 70.9 71.4 72.4 73.4 74.3 74.8 75.8 76.7 77.9 78.3 79.2 80.2 81.3 81.8 82.6 83.7 84.8 85.2 86.1 87.2 88.2
43
Lampiran 2 Sanitasi Penyelenggaraan Makanan Asrama PPLP Sepak takraw No
Sanitasi Penyelenggaraan Makanan
Penilaian Ya Tidak
LOKASI, BANGUNAN DAN FASILITAS 1
2
3 4
Halaman bersih, rapih, kering dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat/ tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih, dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa Lantai rapat, air kering, terpelihara dan mudah dibersihkan Dinding, langit-langit dan perlengkapannya dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu
0
1
0
1
1 0
0 1
1
0
0
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
1 1
0 0
1
0
1
0
1
0
1
0
PENCAHAYAAN DAN PENGHAWAAN 5
Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. 6 Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi dengan ventilasi yang baik sehingga diperoleh kenyamanan dan sirkulasi udara AIR BERSIH DAN AIR KOTOR 7 Sumber air bersih yang aman, jumlahnya cukup dan air bertekanan. 8 Pembuangan air kotor dari dapur, kamar mandi, WC dan air hujan lancer, baik dan kering sekitar. FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET 9 Tersedia bak/tong sampah yang cukup untuk menampung sampah, dibuat anti lalat, tikus, dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh RUANG PENGOLAHAN MAKANAN, MAKANAN, PERLINDUNGAN MAKANAN, PERALATAN MAKANAN, DAN MEMASAK 10 Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan yang terpisah dari tempat tidur atau tempat mencuci pakaian. 11 Keadaan ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. Barang tersebut disimpan rapih di gudang. 12 Sumber makanan yang digunakan utuh dan tidak rusak 13 Bahan yang terolah dalam wadah/ kemasan asli, terdaftar, berlabel tidak kadaluarsa 14 Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta proses thawing 15 Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan, dan pemeliharaannya. 16 Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang 17 Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian, dan pembilasan.
44
Lampiran 3 Uji Spearman usia dengan tingkat kebugaran Correlations Tingkat Kebugaran
Usia Spearman's rho
Usia
Correlation Coefficient 1.000
.576**
Sig. (2-tailed)
.
.004
N
23
TingkatKebugaran Correlation Coefficient .576
23 **
1.000
Sig. (2-tailed)
.004
.
N
23
23
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Lampiran 4 Uji Spearman tingkat pendidikan dengan tingkat kebugaran Correlations Tingkat Pendidikan Spearman's rho
Tingkat Kebugaran -.577**
TingkatPendidikan Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed)
.
N
23
TingkatKebugaran Correlation Coefficient -.577 Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.004 23 **
1.000
.004
.
23
23
Lampiran 5 Uji Spearman jenis kelamin dengan tingkat kebugaran Correlations Tingkat Kebugaran
JK Spearman's rho
JK
Correlation Coefficient 1.000
-.621**
Sig. (2-tailed)
.
.002
N
23
23
TingkatKebugaran Correlation Coefficient -.621** Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1.000
.002
.
23
23
45
Lampiran 6 Uji Pearson tinggi badan dengan tingkat kebugaran Correlations Tingkat Kebugaran
TB TB
Pearson Correlation 1
.499*
Sig. (2-tailed)
.015
N TingkatKebugaran
23
Pearson Correlation .499* Sig. (2-tailed)
23 1
.015
N 23 23 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
46
RIWAYAT HIDUP Mohd Lutfi Adrian merupakan anak pertama dari Ir. H. Syamsuddin dan Dra. Hj. Syafwanis yang dilahirkan di Pekanbaru, Riau 29 Mei 1994. Tahun 2012 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Tembilahan Hulu dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Riau dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Gizi Olahraga dan asisten praktikum Manajemen Gizi dan Jasa Makanan pada tahun tahun ajaran 2015/2016. Penulis juga aktif dalam organisasi tingkat kampus maupun departemen seperti Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor sebagai anggota, Ikatan Mahasiswa Kuantan Singingi (IMAKUSI) Bogor sebagai sekretaris, Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) tahun 2014 sebagai anggota divisi hubungan masyarakat dan tahun 2015 sebagai anggota divisi kewirausahaan, serta mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM) softball Oryza. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan seperti Nutrition Fair 2014 dan Nutrition Fair 2015, Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) ILMAGI tahun 2013, Liga Gizi Masyarakat (LIGIMA) tahun 2013 dan 2014. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) didanai DIKTI pada tahun 2014 yaitu PKM bidang Penelitian dengan judul Canned Egg White : Pangan Darurat Tinggi Protein dengan Fortifikasi Vitamin C untuk Meningkatkan Imunitas Pengungsi Akibat Bencana Alam. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Profesi (KKN-P) di Desa Sukamaju, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor dan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan di Kelurahan Teluk Belitung, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Selain itu, penulis juga pernah menjalani Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor.