BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut United Nations (2005), Non Govermental Organization (NGO) adalah: “any non-profit, voluntary citizens' group which is organized on a local, national or international level. Task-oriented and driven by people with a common interest, NGOs perform a variety of services and humanitarian functions, bring citizens' concerns to Governments, monitor policies and encourage political participation at the community level. They provide analysis and expertise, serve as early warning mechanisms and help monitor and implement international agreements. Some are organized around specific issues, such as human rights, the environment or health.” Selanjutnya, Teegen dkk. (2004) secara lebih ringkas mendefinisikan NGO sebagai organisasi nirlaba yang bertujuan untuk melayani kepentingan sosial khusus dengan fokus advokasi dan/atau usaha operasional pada tujuan sosial, politik dan ekonomi, termasuk kesetaraan, pendidikan, kesehatan, penyelamatan lingkungan dan hak asasi manusia. Sedangkan Unerman dan O’Dwyer (2006) mengemukakan bahwa NGO adalah bukan organisasi pemerintahan (seperti pemerintahan pusat atau daerah atau rumah sakit pemerintah, sekolah atau universitas), bukan organisasi komersil (mencari laba), seperti perusahaan lokal dan transnational. Dari beberapa penjelasan dia atas dapat disimpulkan bahwa NGO adalah sebuah lembaga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat umum, tidak berorientasi profit, bukan merupakan organisasi pemerintahan dan menjadi lembaga penyeimbang pemerintah. 1
Sejarah perkembangan NGO di mulai sejak abad ke-17 di Inggris yang merupakan tradisi untuk membangun organisasi masyarakat dalam membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agamawan dan pihak swasta profesional. Tradisi ini menguat pada perang dunia ke satu dan ke dua di awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai NGO internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsian, pelarian politik, dan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat (Korten, 1993). NGO di Indonesia atau yang dikenal dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) muncul dari kelahiran beberapa organisasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat pada tahun 1970-an (Malik, 2004). Sejarah yang melatar belakangi kemunculan NGO di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran NGO internasional, yaitu kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik dan kekerasan oleh negara. Pada tahun 1970-an, pembangunan di Indonesia terus melaju dengan cepat, dan dampak positifnya adalah perkembangan ekonomi pun menjadi meningkat. Namun, pembangunan ternyata juga menimbulkan dampak negatif, yaitu kemiskinan atau ketidakadilan ekonomi, represi terhadap hakhak asasi manusia (HAM), dan perusakan lingkungan hidup. Langkah dan upaya untuk menanggulangi dampak negatif itulah yang kemudian melahirkan NGO di Indonesia (SMERU, 2000). Lebih lanjut, menurut Fakih 2
(2000) pada tahun 1970 juga terjadi perkembangan dan peningkatan NGO yang sangat mengesankan bila ditinjau dari segi jumlah, keragaman, dan letak geografinya. Sejak tahun 1990-an, perkembangan NGO di Indonesia sangat luar biasa, bak jamur di musim hujan. Malik (2004) mencatat bahwa pada awal 1990-an, NGO di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang mencapai 13.500. Data yang sama juga dinyatakan oleh Departemen Dalam Negeri Indonesia pada tahun 2002 bahwa terdapat 13.500 NGO di Indonesia. Angka tersebut belum termasuk lembaga yang tidak tercatat. Harian Kompas (2003) juga mencatat bahwa dari jumlah tersebut, 90 persen NGO yang ada di Indonesia didanai oleh pihak asing. Menurut Ibrahim, dkk. (2004), keruntuhan rezim otoriter dan represif orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Mei 1998 sebagai dampak dari terjadinya krisis ekonomi yang sangat parah telah menumbuhkan organisasi dan kelompok masyarakat yaitu NGO. Jumlah NGO yang awalnya hanya seribuan di masa orde baru kemudian meningkat menjadi puluhan ribu. Menurut Halim (2000), menjamurnya NGO merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah tersebut bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis ataupun dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara (pemerintah) terhadap pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat.
3
Tumbuh dan menjamurnya NGO di era reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Menurut Abidin (2004), pertumbuhan NGO itu di satu sisi bisa dianggap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat sudah mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara. Lebih lanjut, tumbuh dan menjamurnya NGO di era reformasi merupakan
fenomena
yang
menarik
dan
menggembirakan
bagi
perkembangan organisasi sektor publik di Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO, maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya. Hasil
dari
beberapa
penelitian
melaporkan
adanya
berbagai
penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di Zambia yang awalnya sukses namun karena 4
membuka cabang dan lemah pengawasan sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal
yang
sangat
penting
dan
perlu
untuk
diterapkan.
Dengan
diimplementasikannnya tata kelola yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance, organisasi non pemerintah seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good non-govermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya. Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif
dalam
beberapa
tahun
terakhir.
NGO
berusaha
untuk
menyeimbangkan kinerja terhadap berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee, 2009). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan pendanaan dari mereka. Namun, adanya competing accountability requirement dan beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat pendirian standar tunggal dan 5
menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen (Brown, Moore, & Honan,
2001;
Greenlee,
1998;
Kanter &
Summers,
1987),
serta
mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002). Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan daripada yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim & Lee, 2009). Competing accountability requirement telah diuji secara intensif di organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek, 1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990). Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi organisasi. Dengan
menggunakan
analisis
kualitatif,
studi-studi
tersebut
menyatakan bahwa efektivitas dalam suatu organisasi dapat terancam oleh tekanan berlebihan terhadap salah satu tipe keharusan akuntabilitas atas yang lain.
Hasil
penelitian
Kim
(2005)
menyatakan
bahwa
competing
accountability requirement itu sendiri mungkin tidak menjadi permasalahan bagi kinerja aktor akuntabilitas. Tekanan antar hubungan akuntabilitas yang berbeda bertindak sebagai sistem penyeimbang (check and balances) apabila tidak terjadi penekanan berlebihan pada salah satu tipe akuntabilitas, karena 6
dapat menyebabkan tipe akuntabilitas lain yang sama pentingnya menjadi rapuh. Pada penelitian ini competing accountability requirement didefinisikan sebagai kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Dalam konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2009) mengemukakan bahwa kinerja dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi. Menurut Kim dan Lee (2009) diskusi tentang dinamika akuntabilitas selama ini masih lebih banyak berbentuk kualitatif, masih sedikit bukti kuantitatif yang dapat menjelaskan sejauh mana tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja individu atau aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang belum kokoh untuk
menjelaskan
dampak
competing
accountability
requirement terhadap kinerja aktor akuntabilitas. Oleh karena itu, sangat penting untuk kembali menguji secara empiris pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja dengan memasukkan konsep lain yang menghubungkannya. Mencermati fenomena yang terjadi dan untuk menguji lebih dalam adanya tekanan akuntabilitas di NGO, khususnya di Indonesia, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas dengan memasukan konsep konteks kerja dengan persepsian negatif melalui beban kerja dan tekanan kerja. Model 7
penelitian yang digunakan berdasarkan pengembangan model Kim & Lee (2009) dengan menggunakan tipe-tipe akuntabilitas berdasarkan Johnston & Romzek
(1999),
yaitu
akuntabilitas
hirarkikal,
akuntabilitas
legal,
akuntabilitas profesional, dan akuntabilitas politikal. Adapun judul penelitian yang diangkat adalah “Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia”. Pengembangan
hipotesis
untuk
melihat
pengaruh
competing
accountability requirement terhadap kinerja kerja NGO dan interpretasi hasil penelitian ini akan dilihat dari teori institusional berdasarkan konsep isomorfisme di NGO dengan harapan bahwa competing accountability requirement berpengaruh terhadap kinerja kerja NGO yang bergantung pada persepsi terhadap konteks kerja. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method), yaitu metode penelitian yang mengharuskan peneliti menggabungkan teknik penelitian, metode, pendekatan, konsep atau bahasa kuantitatif dan bahasa kualitatif ke dalam suatu bentuk studi tunggal (Johnson & Onwuegbuzie, 2004). Strategi yang digunakan adalah eksplanatori sekuensial (Cresswell & Clark, 2011; 57), yang merupakan desain metode penelitian yang di dalamnya peneliti memulai dengan menjalankan tahap kuantitatif dan diikuti dengan tahap kualitatif. Penggunaan langkah kualitatif ditempuh untuk tujuan menjelaskan hasil awal secara lebih mendalam (Cresswell & Clark, 2011; 81-82). Strategi penelitian eksplanatori sekuensial dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis kuantitatif secara lebih mendalam 8
dan juga untuk menangkap fenomena teori institusional yang sesuai dengan praktik NGO. Selain itu, melalui pendekatan integratif diharapkan adanya pemahaman yang lebih baik terhadap fenomena yang terjadi serta dapat menguji hasil penelitian dari pendekatan yang berbeda (Cresswell & Clark, 2011; 81-82) dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Lebih lanjut, eksplanatori sekuensial dapat juga mengeksplorasi hasil yang outlier dan ekstrim ketika menganalisis data kuantitatif pada tahap pertama, kemudian dapat ditindaklanjuti dengan wawancara kualitatif tentang kasuskasus outlier tersebut agar diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam berdasarkan hasil olah data kuantitatif (Cresswell & Clark, 2011; 71). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan penelitian ini adalah: apakah competing accountability requirement berpengaruh terhadap kinerja kerja aktor
akuntabilitas,
apabila
competing
accountability
requirement
dipersepsikan sebagai beban kerja dan tekanan kerja? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bukti dan menguji secara empiris tentang pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas, apabila competing accountability requirement dipersepsikan sebagai beban kerja dan tekanan kerja. 1.4. Kontribusi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 9
1.
Dalam kaitannya dengan teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori, terutama dalam bidang akuntansi sektor publik. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi dunia akademisi akuntansi, khususnya di bidang akuntansi sektor publik tentang pengaruh keharusan akuntabilitas melalui konteks kerja negatif yaitu tekanan kerja dan beban kerja terhadap kinerja kerja di organisasi sektor publik khususnya di NGO.
2.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi atau penggiat masyarakat dalam memberikan masukan dan bahan pertimbangan akan manfaat dan pentingnya memahami tipetipe keharusan akuntabilitas dan pengaruhnya terhadap kinerja kerja NGO.
1.5. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan dalam lima bab sebagai berikut: Bab 1: Pendahuluan Bab
ini
menyajikan
dilaksanakannya
gambaran
umum
yang
mendasari
penelitian yang meliputi: latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2: Landasan Teori dan Penyusunan Hipotesis Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan teoritis dari beberapa konsep yang berkaitan dengan akuntabilitas, tipe-tipe 10
keharusan akuntabilitas, beban kerja, tekanan kerja dan kinerja kerja dalam konteks NGO dengan menggunakan pertimbangan teori sebagai landasan dalam penyusunan hipotesis. Selanjutnya dalam bab ini juga disajikan kerangka pemikiran teoritis penelitian. Bab 3: Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Metode penelitian ini berisi rincian mengenai desain penelitian, populasi, sampel, besarnya sampel dan teknik pengambilan sampel, variabel dan definisi operasional variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab 4: Analisis Data dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai data penelitian, hasil pengolahan data penelitian dan pembahasannya. Bab 5: Kesimpulan, Keterbatasan, Implikasi, Diskusi, dan Saran Penelitian Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan penelitian ini yang berisi kesimpulan, keterbatasan, implikasi, diskusi, dan saran penelitian yang ditujukan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang tertarik untuk menguji dan mengembangkan penelitian ini ataupun pihak-pihak lain yang terkait. 11