1
PENYAJIAN TEMA KEKERASAN (AGRESI) DALAM TIGA NOVEL TALES OF THE OTORI KARYA LIAN HEARN Oleh Kiki Muhammad Hakim H1D 050077 Abstract This article entitled ‘The Theme Presentation of Violence (Aggression) in Three Novels of Tales of the Otori by Lian Hearn’ is analizing the narrative modes used by novels Across the Nightingale Floor, Grass for His Pillow and Brilliance of the Moon in presenting aggression theme through two narrators and three major point of views. The object of this study is to find some texts related to aggression according to the Psychoanalysis theory of Sigmund Freud in Beyond the Pleasure Principle which are analyzed through their narrative elements by Seymour Chatman’s narrative theory in ‘Story and Discourse Narrative Structure in Fiction and Film’ and are then related to the fantasy theory of Tzvetan Todorov in ‘The Fantastic’. This study ends when the modes in presenting aggression theme are found. Kata kunci: Agresi, supernatural, simpati covert narrator, narratee, tindak penceritaan
Pendahuluan Novel Across the Nightingale Floor, Grass for His Pillow dan Brilliance of the Moon yang tergabung dalam Tales of the Otori karya Lian Hearn secara umum mengangkat tema kekerasan (agresi) yang dihadirkan melalui tuturan para tokoh di ranah mimesis dan tuturan overt dan covert narator di ranah diegesis. Tema agresi juga memiliki kaitan dengan latar tempat dan latar waktu yang digunakan oleh ketiga novel, yakni negeri Pseudo-Japan pada masa feodal. Dua jenis latar Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Juli 2012
ini juga merupakan escape Tales of the Otori dalam menghindari pertanyaan seputar keobjektifan penghadiran tema agresi. Latar semacam ini memunculkan kesan bahwa agresi yang dihadirkan negeri khayalan pada masa feodal oleh Tales of the Otori merupakan metafora agresi yang terjadi di dunia nyata pada masa sekarang. Beberapa tokoh anti agresi yang dihadirkan menjadi bukti bahwa Tales of the Otori ingin menampilkan diri sebagai pihak anti agresi di hadapan pembaca. Untuk memenangkan tokoh-tokoh tersebut Tales of the Otori menyiasati hal itu dengan melekatkan beberapa unsur supernatural kepada mereka. Penggunaan unsur supernatural, latar tempat khayali dan latar waktu yang ‘meloncat’ ini merupakan dua jenis remove yang membuat Tales of the Otori, merujuk kepada teori karya fantasi Tzvetan Todorov, tergolong sebagai karya fantasi. Identifikasi masalah yang pertama dalam penelitian ini adalah keterkaitan tema agresi dengan perwatakan (characterization), peristiwa (event), latar (setting) dan unsur supernatural. Identifikasi masalah yang kedua berkaitan dengan pengaruh penggunaan narrator, order, frequency, duration dan point of view (sudut pandang) dalam menghadirkan dua jenis pandangan tokoh tentang agresi, yakni ‘harus dilakukan’ atau ‘harus dihindari’. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pola ketiga novel Tales of the Otori dalam menyampaikan tema agresi melalui elemen-elemen naratif dan unsur fantasinya.
Lian Hearn Sebagai Penulis Karya Fantasi Hearn dikenal sebagai penulis karya fantasi anak dan remaja bertemakan petualangan yang banyak dibumbui oleh unsur keajaiban. Karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh mitos dan legenda Yunani, Roma, Skandinavia dan tradisi Jepang. Sedari kecil Hearn sudah menyukai tulisan-tulisan yang memuat kisahkisah dramatis dan penuh petualangan: “I like books that were dramatic and had a great deal of adventure in
3
them. One of my all time favorite was ‘Treasure Island’. I loved Violet Needham’s books, especially ‘The Black Riders’. Maybe they were an influence on the sort of books I write now.” (www.gillianrubinstein.com) Hearn menulis novel pertama, Across the Nightingale Floor, pada September 2001 hingga April 2002 (www.lianhearn.com). Novel ini diterbitkan untuk kali pertama oleh Macmillan pada 2002 dan kemudian oleh Picador pada 2003. Setelah itu ia menulis novel kedua, Grass for His Pillow, yang diterbitkan oleh Riverhead Books yang merupakan anak perusahaan Penguin Group New York pada Agustus 2003 dan Juni 2004. Novel ketiga, Brilliance of the Moon, juga diterbitkan oleh Riverhead Books pada Juni 2004 dan Juni 2005.
Konsep Agresi Freudian Melalui Beyond the Pleasure Principle (1920) Freud menyatakan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan besar yang merupakan sifat manusiawinya yaitu eros dan thanatos. Sementara eros mendorong manusia ke arah kesenangan dan pemenuhan keinginan diri, thanatos melakukan hal sebaliknya dengan mendorong manusia melakukan destruksi-diri sehingga memunculkan konflik internal yang berkelanjutan yang hanya bisa diatasi dengan penglepasan dua kekuatan tersebut dari orang yang bersangkutan kepada orang lain. Dengan demikian agresi dianggap sebagai sebuah cara penglepasan energi destruktif ini untuk melindungi stabilitas pelakunya.
Unsur Penceritaan dalam Novel Fantasi Teori-teori naratologi Chatman dan Genette merupakan landasan utama yang digunakan untuk menemukan dan membahas pola penyajian tema agresi oleh Tales of the Otori terutama melalui pembahasan konsep characterization (perwatakan), event (peristiwa), setting (latar) dan point of view (sudut pandang) yang tersirat di ranah mimesis dan diegesis di dalam novel yang dibahas dengan
konsep narrator, order, duration dan frequency yang menjadi jembatan antara ranah story (cerita) dan discourse (wacana). Selanjutnya berkaitan dengan kefantasian Tales of the Otori saya merujuk teori Todorov dalam the Fantastic (1975) tentang karya sastra fantasi: Which brings us to the very heart of the fantastic. In a world which is indeed our world, the one we know, a world without devils, sylphides, or vampires, there occurs an event which cannot be explained by the laws of this same familiar world. The person who experiences the event must opt for one of two possible solutions: either he is the victim of an illusion of the senses, of a product of imagination, - and laws of the world then remain what they are; or the event has indeed taken place, it is an integral part of reality – but then this reality is controlled by laws unknown to us (Todorov, 1975: 25). Intinya ada dua kemungkinan mengenai ‘event which cannot be explained by the laws of this same familiar world’ tersebut di dalam novel fantasi. Pertama, kejadian itu bisa merupakan ‘a product of imagination’ kita, yang berarti bahwa kita ‘tertipu’oleh ‘an illusion of the senses’. Kemungkinan kedua adalah bahwa kejadian tersebut benar-benar terjadi sehingga merupakan ‘an integral part of reality’ karena adanya ‘laws unknown to us’ yang memungkinkan terjadinya peristiwa tersebut. Tales of the Otori menghadirkan beberapa hal yang menjadi bukti kefantasiannya; kemampuan untuk berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan (omnipresence), kemampuan menghilang (invisibility), kemampuan menghipnotis (Kikuta sleep) dan pendengaran yang sangat tajam (acute hearing).
Metode Penelitian Metode penelitian dalam skripsi ini meliputi beberapa hal diantaranya pembahasan tema agresi melalui penokohan, latar dan peristiwa. Selain itu, metode penelitian ini juga akan berupa pembahasan tema agresi melalui penggunaan unsur fantasi dan simpati covert narrator terhadap tokoh-tokoh perempuan. Metode terakhir adalah pembahasan tema agresi yang dihadirkan
5
melalui pandangan-pandangan tokoh-tokoh utama terhadap agresi.
Pembahasan Signifikansi Kemampuan Supernatural Tokoh Utama Laki-Laki dan Simpati Covert Narrator Terhadap Tokoh Utama Perempuan Kemampuan supernatural Takeo sebagai tokoh utama laki-laki merupakan alat tokoh laki-laki ini untuk melawan dan melakukan agresi sekaligus menjadi alat ketiga novel dalam menyajikan tema agresi. Bagi kaum ksatria kemampuan supernatural seperti yang dimiliki Takeo dianggap sihir sehingga tidak layak digunakan karena akan membuat pemakainya dianggap sebagai pengecut. Hal ini membuat Takeo tidak nyaman dan cenderung gamang dalam memandang kemampuan tersebut: I felt the darkness of my Tribe nature rise within me. I said nothing and waited (Hearn, 2003: 155). Dilema Takeo ini tersirat ketika ‘[He] felt the darkness of [his] Tribe nature rise within [him]’. Ia menilai buruk kekuatan tersebut melalui kata ‘darkness’ namun alih-alih menolaknya ia malah menyerahkan diri kepadanya ‘[he] said nothing and waited.’(Hearn, 2003: 155). Hal ini menimbulkan kesan bahwa Takeo tidak berusaha menghilangkan kekuatan tersebut atau paling tidak mempertanyakannya. Ia akhirnya tercitrakan sebagai tokoh yang lalai dalam mencegah tindakan agresi yang muncul karena kekuatan supernatural tersebut padahal Takeo sendiri menilainya sebagai hal yang tidak baik. Tindak penceritaan ini yang jelas merugikan Takeo dan karenanya bisa saja merupakan upaya novel untuk membuat narratee tidak bersimpati kepadanya sebagai tokoh laki-laki. Selanjutnya, Takeo digambarkan malah cenderung menyalahkan kemampuan supernaturalnya ketika ia digambarkan ‘could hardly believe what [he] had done’ setelah membunuh beberapa orang Hidden sehingga terkesan bahwa agresi tersebut dilakukan di luar kesadarannya (Hearn, 2003: 174). Pandangan Takeo ini makin diperkuat ketika ia menganggap agresi terhadap para tawanan itu dilakukan ‘as though [he] had acted in a trance’. Pembunuhan
pertama sebagai sebuah puncak agresi tidak membebani pikirannya sama sekali ketika ia mengatakan bahwa ‘[he] did not think about the previous night’ dan ‘had no clear memory of it’ sehingga masih bisa tidur dengan ‘rested and peaceful’ (Hearn, 2003: 176). Teks ini membuat Takeo tercitrakan sebagai tokoh yang tidak konsisten dalam memandang agresi. Ketika ia melakukan agresi, ia digambarkan dengan leluasa menggunakan kemampuan supernaturalnya. Namun ketika agresi itu sudah dilakukan ia digambarkan menyalahkan kemampuan tersebut sehingga apa pun agresi yang ia lakukan murni di luar kesadarannya. Tindak penceritaan seperti ini kembali membuat citra Takeo di hadapan narratee menjadi buruk sehingga akhirnya tidak mendapatkan simpati apa pun. Sikap dan pandangan Takeo atas kekuatan supernatural ini selanjutnya digambarkan semakin tidak jelas karena ia malah semakin mengasahnya: ...I had been born with dark talents I did not ask for, yet I could not resist honing and testing them, and they had brought me to the place I was now. Without them I would surely be dead. With them I was drawn everyday further into this world of lies, secrecy, and revenge. ...(Hearn, 2003:185-6) Ia memang tidak pernah meminta untuk‘[had] been born with dark talents’ yang membuatnya ‘drawn everyday further into this world of lies, secrecy, and revenge’. Meskipun demikian ‘[he] could not resist honing and testing them’ karena ia menyadari bahwa ‘without them [he] would surely be dead’ (Hearn, 2003:185-186). Teks seperti ini semakin memperburuk citra Takeo di hadapn narratee karena sebagai tokoh laki-laki ia digambarkan tidak bersikap tegas dalam memandang kekuatan supernatural yang membantunya melakukan agresi. Di satu sisi ia digambarkan memandang buruk kekuatan tersebut dengan menyebutnya ‘dark talents’ yang membuatnya menjadi orang jahat (‘drawn everyday further into this world of lies, secrecy, and revenge’) namun di sisi lain ia malah semakin mempertajam kekuatan tersebut karena mnyadari besar manfaat yang didapatkan darinya. Di ranah cerita ia digambarkan sebagai tokoh yang tidak konsisten sehingga di ranah wacana kecil kemungkinan untuk mendapatkan citra yang baik di hadapan narratee. Tindak penceritaan seperti ini bisa saja merupakan upaya manipulasi novel dalam memunculkan kesan bahwa tokoh laki-laki cenderung
7
tidak konsisten dalam bersikap. Kesadaran Takeo akan pentingnya kekuatan ini digambarkan semakin terbukti ketika mengalahkan Jin-Emon dengan kekuatan supernaturalnya itu ketika ia mengatakan [Jin-Emon’s] chain went harmlessly through [his] second self’ dan ketika ‘[he] went invisible for a moment as the chain howled again.’ Ia memang sempat kesulitan menghadapi bandit ini ketika mengatakan ‘Ordinarily [Jato] would have taken off the hand, but [that] adversary had bones of stone’dan ‘and for a moment [he] feared [his] sword would lodge in his arm like an ax in a tree’ sehingga [he] briefly considered to retreat to the river, wondering where on earth [his] men were when [he] needed them.’ (Hearn, 2004: 37) Takeo digambarkan sangat terbantu dengan kekuatan supernatural tersebut dalam melawan agresi Jin-Emon sehingga sampai tahap ini ia memandangnya sebagai hal yang baik. Dalam menceritakan event ini Takeo juga mengajak narratee untuk ‘melihat lebih dekat’ adegan perkelahian ini melalui klausa ‘not splashing as you would expect’. Pengalamatan pronomina ‘you’ ini jelas tidak ditujukan kepada tokoh di dalam cerita. Cara seperti ini biasa digunakan narator untuk meyakinkan narratee sehingga kadar keterpercayaan narator menjadi bertambah sebagaimana terdapat dalam La Chute karya Camus yang dirujuk oleh Chatman; But let me leave you, Monsieur, happy to have obliged. I thank you, and I would accept if I were sure of not being a bother. I’ll move my glass next to yours (Chatman, 1980: 257). Tindak penceritaan seperti itu menunjukkan kesan bahwa Takeo digambarkan merasa perlu memberitahu narratee tentang Jin-Emon sebagai lawan yang tangguh baginya karena terbukti ‘[Jin-Emon’s] blood was oozing from his right hand, dark blacksih-red in color’ meskipun akhirnya bisa dikalahkan dengan kekuatan supernaturalnya. Gejala pengulangan tindak penceritaan seperti ini bisa dianggap sebagai sebuah frequency yang menunjukkan kesan bahwa novel berkepentingan untuk memperlihatkan kegamangan sikap Takeo dalam memandang kekuatan supernaturalnya. Hal ini menunjukkan bahwa Takeo sendiri, yang diharapkan bisa
melawan agresi dengan kekuatan supernaturalnya, tidak bisa melepaskan diri dari perasaan tertindasnya oleh kekuatan ‘jahat’ tersebut. Novel bisa saja berusaha menampilkan citra Takeo yang tidak konsisten dalam memandang agresi. Namun demikian, tindak-tindak penceritaan seperti ini juga memunculkan kesan bahwa pelekatan unsur supernatural ini oleh novel terkesan dipaksakan karena terbukti di ranah cerita Takeo digambarkan gamang dengan kehadiran kekuatan ajaib itu. Novel seolah hendak menunjukkan bahwa Takeo yang tokoh laki-laki bisa lebih berpeluang melawan dan menghidari agresi daripada tokoh-tokoh perempuan. Pelekatan unsur keajaiban kepada Takeo juga jauh lebih banyak dibandingkan kepada tokoh–tokoh lain terutama Kaede. Satu-satunya kekuatan yang bisa dianggap (semi) supernatural yang dilekatkan kepada Kaede adalah bayangan dan mimpi tentang pertemuannya dengan ‘the White Goddess’ yang memberikannya kekuatan untuk bangkit ketika ia menjadi korban agresi ketika ‘[She had] seen the White Goddesss.’ (Hearn, 2004: 4). Pelekatan unsur semi supernatural ini juga tidak banyak membantunya sehingga novel menghadirkan cara lain untuk membantunya yakni melalui penghadiran covert narrator yang terbukti berpihak kepada Kaede, tercermin dalam beberapa teks yang memuat simpati dan pembelaan narator terhadapnya yang muncul melalui pause dan commentary on the discourse. Dalam pause discourse-time menjadi lebih panjang karena story-time tidak berjalan (nol) sehingga teks yang dihadirkan memiliki lebih banyak kecenderungan untuk dipengaruhi narator. Sementara itu, dalam commentary on the discourse narator menyatakan pandangan pribadinya atas teks yang diceritakannya. Pembelaan narator ini misalnya muncul ketika novel menggambarkan keadaan Kaede sebagai tawanan di istana Noguchi: Lord Shirakawa’s eldest daughter, Kaede, went to Noguchi Castle as a hostage when she had just changed her shash of childhood for a girl’s, and she had now lived there for half her life-long enough to think of a thousand things she detested about it. At night when she was too tired to sleep and did not dare even toss and turn in case one of the girls reached over and slapped her, she made lists of them inside her head. She had learned early to keep her thoughts to herself. At least no one could reach inside and slap her mind, although she knew more than one of them longed to. Which was why they slapped her so often on her body or face
9
(Hearn, 2003: 35-36). Simpati narator atas penderitaan Kaede jelas terlihat pada bagian ‘and she had now lived there for half her life-long enough to think of a thousand things she detested about it’. Narator menampilkan gambaran Kaede sebagai tokoh perempuan yang menjadi objek agresi dari semenjak muda (‘when she had just changed her sash of childhood for a girl’s’), dari kaumnya sendiri (‘in case one of the girls reached over and slapped her’) dan tidak hanya secara fisik namun juga pikiran(‘At least no one could reach inside and slap her mind, although she knew more than one of them longed to’). Datangnya agresi terhadap Kaede ini berasal dari tiga arah tersebut sehingga dari sisi frequency dan duration penceritaan penderitaan Kaede ini lebih memakan waktu sehingga Kaede mendapatkan citra positif di hadapan pembaca. Selanjutnya pembelaan narator melalui commentary on the discourse muncul ketika novel pertama menceritakan peristiwa pembunuhan Iida oleh Kaede, meskipun kedudukan Kaede saat itu sebagai pelaku agresi: Iida lay slumped on the matress, face down. She said, ‘It’s best to kill a man and take his sword. That’s what Shizuka said,’ Her eyes were dillated with shock, and she was trembling. There was almost something supernatural about the scene: the girl, so young and frail; the man, massive and powerful, even in death (Hearn, 2003: 270). Kaede digambarkan tengah berada dalam keadaan tanpa sadar (‘There was almost something supernatural about the scene’) ketika ia melakukan pembunuhan itu. Commentary on the discourse (Chatman, 1980: 248) narrator atas event tersebut menghadirkan kesan bahwa ia meminta narratee untuk memaklumi keadaan Kaede saat ia melakukan agresi itu. Kaede juga digambarkan sebagai tokoh yang tidak terbiasa melakukan agresi ketika kedua matanya ‘dilated with shock’ dan keadaan tubuhnya yang ‘trembling’ sesaat setelah melakukan pembunuhan tersebut. Penggunaan unsur frequency muncul melalui kalimat ‘It’s best to kill a man and take his sword. That’s what Shizuka said,’ yang merupakan ucapan Shizuka yang diulang oleh Kaede dan karenanya dari segi duration teks tersebut
menjadi lebih memakan waktu. Melalui kalimat tersebut tersebut, narator seolah ingin menunjukkan bahwa pembunuhan yang dilakukan Kaede tidak hanya didasarkan alasan keharusan membela diri namun juga karena doktrin Shizuka kepadanya sehingga Shizuka juga layak disalahkan. Ketika narrator mengatakan ‘the girl, so young and frail; the man, massive and powerful, even in death’ tersirat kesan bahwa Kaede yang ‘menang’ atas Iida dengan melakukan agresi masih tetap digambarkan sebagai pihak yang lemah dan karenanya ‘kalah’. Sebaliknya, Iida digambarkan masih mempunyai kemungkinan untuk melakukan agresi karena masih dipandang ‘massive’ dan ‘powerful’. Penggunaan frequency dan karenanya duration yang lama, commentary on the discourse dan kalimat yang bermuatan simpati tersebut jelas merupakan bentuk pembelaan narator atas Kaede karena teks tersebut akan lebih mendapatkan perhatian dari narratee sehingga kemungkinan besar Kaede akan mendapatkan simpati narratee. Pembelaan covert narrator atas keadaan Kaede sebagai korban agresi terus berlanjut ketika ia menyaksikan sang ayah yang tidak sanggup melakukan bunuh diri yang menjadi aturan kelas ksatria: Honor and revulsion swept over her, followed by fury. She had been prepared to die, in accordance with the harsh code of her class, to salvage her family’s honor. But her father, who had instructed her so rigidly in that code, who had taught her assiduously about the superiority of his sex, had surrendered to madness, revealing what lay beneath the strict rules of conduct of the warrior class; the lust and selfishness of men. The fury brought to life the power that she knew lay within her, and she remembered how she had slept in ice. She called to the White Goddess: Help me! (Hearn, 2004: 123). Kaede yang tadinya hendak melakukan bunuh diri ‘in accordance with the harsh code of [the warrior] class’ akhirnya sadar bahwa aturan tersebut semata merupakan alat kaum laki-laki untuk mempertahankan ‘[their] lust and selfishness’. Terlebih lagi ketika ia melihat bahwa bahkan sang ayah yang ‘diwajibkan’ untuk melakukan bunuh diri tidak mampu melakukannya. Kaede tengah berada dalam keadaan bingung ketika ia memanggil ‘the White Goddess’ karena bagi Kaede sosok supernatural ini memang ada dan bisa hadir untuk membantunya ketika ia dihadapkan agresi (Todorov, 1975: 25).
11
Penggunaan kata ‘goddess’ yang berarti sang dewi memunculkan kesan bahwa ketika Kaede dihadapkan dengan agresi tidak ada pihak yang bisa membantunya selain ‘the White Goddes’. Sosok ini dicitrakan menghadirkan solusi melalui klausa ‘help me’ yang menunjukkan bahwa Kaede sudah sedemikian ‘terhimpit’ sehingga benar-benar membutuhkan pertolongan. Tindak penceritaan semacam ini memunculkan beberapa kemungkinan. Pertama, narator ingin menggambarkan Kaede yang tokoh perempuan sebagai anti agresi, berlawanan dengan kaum laki-laki sebagaimana terlihat melalui ayahnya sehingga memunculkan kesan bahwa agresi merupakan bagian dari kelelakian. Penghadiran unsur ajaib kepada Kaede berupa sosok ‘the White Goddess’ mempertegas dugaan tersebut karena sosok ini berjenis kelamin perempuan dan digambarkan sebagai sosok anti agresi. Penggambaran sosok Kaede sebagai tokoh perempuan yang layak ditolong juga terlihat dalam teks lain ketika ia menceritakan penyesalan Kaede atas kematian ayahnya: Kaede did not reply. She never spoke of her father and tried not to think about him. Indeed, she could no longer clearly distinguish between what had actually happened when he died and the feverish imaginings of her illness. She did not question Shizuka and Kondo, afraid of their replies. She had been to the temple, performed the rites of mourning, and ordered a fine stone to be carved for his grave, but she still feared his ghost, which had hovered at the edge of the redness of her fever. Though she clung to the thought I have done nothing wrong, she could not remember him without a twinge of shame, which she masked with anger (Hearn, 2004: 245). Narator menyematkan unsur ajaib kepada Kaede melalui klausa ‘she could no longer clearly distinguish between what had actually happened when he died and the feverish imaginings of her illness’ dan klausa ‘but she still feared his ghost, which had hovered at the edge of the redness of her fever’. Merujuk kepada teori sastra fantasi Todorov(1975: 25), kejadian yang dialami Kaede menunjukkan keheranannya dan sekaligus penerimaannya akan sisi ajaib di luar dunianya. Klausa pertama menunjukkan ketidakmampuan Kaede dalam membedakan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang hanya bayangan. Ia sendiri mempertanyakan kejadian-kejadian yang dialami ketika ayahnya meninggal yakni
statusnya sebagai kenyataan atau khayalannya saja. Kondisi tubuhnya yang sedemikian parah memungkinkannya untuk menjadi ‘victim of the illusions of the senses’(Todorov, 1975: 25). Dugaan itu juga diperkuat dengan klausa ‘but she still feared his ghost, which had hovered at the edge of the redness of her fever’ yang juga menunjukkan bahwa datangnya his ghost tepat pada saat Kaede tengah sakit parah. Melalui klausa ‘but she still feared his ghost, which had hovered at the edge of the redness of her fever’ tersirat bahwa Kaede sekarang menjadi objek agresi ketakutannya sendiri yang ‘memunculkan’ hantu ayahnya. Penyematan unsur ajaib kepada Kaede sama sekali tidak dimaksudkan untuk membantu Kaede melawan agresi namun untuk membantunya keluar dari tekanan perasaan bersalah atas pembunuhan ayahnya tersebut. Meskipun Kaede digambarkan membela diri melalui klausa ‘I have done nothing wrong’ ia tetap digambarkan merasa bersalah atas kematiannya (‘she could not remember him without a twinge of shame’). Perasaan bersalah Kaede ini dihadirkan novel untuk memunculkan kesan bahwa Kaede yang tokoh perempuan tidak terbiasa melakukan agresi sehingga citra Kaede di hadapan narratee menjadi baik.
Simpulan Tiga novel karya Lian Hearn yang merangkai Tales of the Otori ini terbukti menyajikan tema agresi melalui beberapa pola yang menjadi narrative discoursenya. Pertama, ketiga novel tersebut menghadirkan tema agresi melalui penggunaan elemen-elemen naratif latar, peristiwa dan perwatakan yang digambarkan terkait dengan agresi dan dua narator (overt dan covert narrator) serta tiga sudut pandang utama milik satu tokoh utama laki-laki dan dua tokoh utama perempuan. Kedua, ia menghadirkan signifikansi kemampuan supernatural dan peristiwa ajaib sebagai alat beberapa tokoh untuk melawan dan melakukan agresi. Ketiga, ia menyajikan beragam pandangan mengenai agresi baik dari pihak yang dianggap sebagai pelaku agresi maupun dari pihak yang dianggap anti
13
agresi dengan pandangan yang digambarkan cenderung berubah-ubah, yakni ‘harus dihindari’ dan ‘harus dilakukan’. Ketiga pola Tales of the Otori tersebut berkaitan erat dengan tiga jenis remove (perpindahan) yang menjadi bukti kefantasiannya sebagai penguat tema agresi. Pertama, remove latar tempat dan waktu, yakni dari dunia nyata masa kini ke dunia khayalan (pseudo-Japan) masa feodal sehingga agresi yang dihadirkan bisa dianggap metafora agresi yang terjadi di dunia nyata pada masa sekarang yang memunculkan kesan bahwa agresi secara umum digambarkan tidak berbatas ruang dan waktu. Kedua, remove dari keadaan natural ke supernatural yang berupa penghadiran beberapa tokoh yang mempunyai kekuatan melebihi manusia biasa dan event yang memuat unsur keajaiban yang hanya benar-benar berguna bagi tokoh-tokoh laki-laki. Ketiga, remove overt narrator laki-laki ke covert narrator yang memusatkan perhatian pada kisah dua tokoh utama perempuan sehingga tokoh-tokoh perempuan tidak bisa menyampaikan ceritanya secara langsung. Dua remove terakhir berkaitan erat dengan sistem male-dominated masyarakat di dalam kisah yang menciptakan tokoh-tokoh laki-laki yang cenderung menjadi pelaku agresi dan tokoh-tokoh perempuan yang sebaliknya.
Daftar Sumber Chatman, Seymour Benjamin. 1980. Story and Discourse Narrative Structure in Fiction and Film. USA: Cornell Paperbacks Freud, Sigmund. 1920. Beyond the Pleasure Principle. Hearn, Lian. 2003. Across the Nightingale Floor. London: Picador Hearn, Lian. 2004. Grass for His Pillow. New York: Riverhead Books Hearn, Lian. 2005. Brilliance of the Moon. New York: Riverhead Books Todorov, Tzvetan. 1975. The Fantastic. Diterjemahkan oleh Richard Howard. New York: Cornell Paperbacks
www.austlit.edu.au/run/html/2010 www.gillianrubinstein.com/childhood/html/2010 www.lianhearn.com/tales of the otori/html/2010