jds
Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan Pengadilan : Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia Institute for Criminal Justice Reform, American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI)
Penulis: Anggara Asep Komarudin Supriyadi Widodo Eddyono Erasmus A.T. Napitupulu Bintang Wicaksono Ajie Ajeng Gandini Kamilah Desain Sampul : Antyo Rentjoko Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License Diterbitkan oleh: Institute for Criminal Justice Reform Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12510 Phone/Fax : 021 7945455 Email :
[email protected] http://icjr.or.id | @icjrid Dipublikasikan pertama kali pada : Februari 2016
ii
Kata Pengantar Sejak pertama kali diperkenalkan pada 1988, perkembangan dan pertumbuhan internet terjadi sangat cepat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta dan dengan jumlah pengguna aktif internet sebanyak 88, 1 juta , Indonesia tumbuh menjadi pengguna internet terbesar di ASEAN. Meski dari sisi persentase sebaran dan penetrasi internet, sebenarnya Indonesia masih cukup rendah. Pertumbuhan yang besar ini ternyata juga membuat para pembuat kebijakan di Indonesia mulai melirik cara-cara mengatur internet, terutama dengan melakukan rekriminalisasi terhadap perbuatan – perbuatan yang telah diatur didalam KUHP. Pengaturan dan Rekriminalisasi ini terwujud dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Khusus dalam UU ITE, salah satu yang menjadi masalah, khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, adalah pengaturan yang ada dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Sejak UU ITE disahkan, kasus - kasus pidana penghinaan yang melibatkan pengguna internet di Indonesia mulai naik secara signifikan. Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dianggap sebagai ketentuan duplikasi dengan perumusannya yang karet. Tidak hanya itu, ancaman pidana yang sangat tinggi, diperburuk kondisi pengacara dan pengadilan yang tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam kasuskasus dasar internet freedom, serta secara spesifik kasus-kasus yang berhubungan dengan ITE. Buku ini merupakan hasil studi atas 8 putusan pengadilan yang berhubungan dengan praktik peadilan yang baik untuk kasus-kasus UU ITE, khususnya yang berhubungan dengan Internet freedom, lebih spesifik dalam penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Studi dilakukan dengan melihat pertimbanganpertimbangan yang dianggap baik, dan dilanjutkan dengan analisis berdasarkan standar hukum dan hak asasi manusia universal. Selain itu, lebih awal, studi ini juga melakukan kajian terhadap unusr-unsur yang adalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan prinsip dasar internet freedom. Tujuan dari studi ini adalah pertama, mendorong penyebarluasan pengetahuan khususnya pengetahuan yang berbasis pada putusan - putusan pengadilan yang dipandang penting untuk mendorong perlindungan kebebasan berekspresi khususnya bagi para pengguna internet. Kedua, tersedianya dokumen landmark desicion atau kumpulan pertimbangan-pertimbangan putusan pengadilan Pasal 27 (3) UU ITE dapat digunakan dalam pembelaan, penanganan kasus, atau sebagai pertimbangan Hakim dalam kasus internet freedom dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selamat Membaca, Institute for Criminal Justice Reform
iii
Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................................................................. iii Daftar Isi .......................................................................................................................................... iv Daftar Putusan Pengadilan ................................................................................................................ vi Bab I
Pendahuluan .......................................................................................................................1
1.1.
Latar Belakang ............................................................................................................................... 1
1.2.
Tujuan ............................................................................................................................................ 2
Bab II
Jaminan dan Pembatasan Hak Atas Kebebasan Berekspresi ..................................................3
Bab III
Kemunduran Politik Kriminal dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ................................................8
3.1.
Sifat/Hakekat dan Fungsi Hukum Pidana: ..................................................................................... 8
3.2.
Sifat/Fungsi Pemidanaan ............................................................................................................... 8
3.3.
Dilihat dari Jenis Sanksi.................................................................................................................. 9
Bab IV
Putusan Pengadilan Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE ........................................................... 15
4.1. Ragam Putusan Pengadilan .............................................................................................................. 15 4.2. Kasus-kasus Relevan dan Pertimbangan Terpilih............................................................................ 18 a.
Kasus Ervani, Yogyakarta ............................................................................................................. 18
b.
Kasus Fajriska Mirza, Jakarta ....................................................................................................... 19
c.
Kasus Arsyad, Makasar ................................................................................................................ 20
d.
Kasus Herrybertus Johan Julius Calame, Singaraja ...................................................................... 21
e.
Kasus Diki Candra, Tangerang ..................................................................................................... 21
f.
Kasus Prita Mulyasari, Tangerang................................................................................................ 22
g.
Kasus Khairudin M. Ali, Bima ....................................................................................................... 24
h.
Kasus Wisni Yetti Binti H. Jasran .................................................................................................. 24 iv
Bab V
Pertimbangan Penting Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ..................................................... 26
5.1. Mengenai Status Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan Delik Aduan Absolut ................................. 26 5.2. Mengenai Hukum Acara dan Pembuktian (Pembuktian dalam “Bukti” Elektronik) ...................... 27 5.3. Mengenai Alasan Pembenar ............................................................................................................ 33 Bab VI
Penutup ............................................................................................................................ 37
Daftar Pustaka ................................................................................................................................. 39 Profil Penulis.................................................................................................................................... 41 Profil ICJR ........................................................................................................................................ 42 Profil ABAROLI ................................................................................................................................. 43
v
Daftar Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Bantul Nomor : 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL Putusan Pengadilan Negeri Raba Bima Nomor : 292/Pid.B/ 2014/PN.Rbi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel Putusan Pengadilan Negeri Makassar No 390/Pid.B/ 2014/PN. Mks Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No 178/Pid.Sus-ITE/2015/PT.Bdg Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1269/PID.B/2009/PN.TNG Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor : 1190/PID.B /2010/PN.TNG Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor : 116 /PID/2011/PT.DPS
vi
BAB I Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang
Perkembangan teknologi memungkinkan keterhubungan dalam bentuk baru terjadi. Setiap orang saat ini, secara teoritik, sudah terhubung dengan bagian lain atau masyarakat lain yang berada di luar jangkauan yang ada pada dirinya sendiri. Proses komunikasi juga menggunakan medium baru dengan model yang efektif dan efisien yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam peradaban manusia. Perkembangan mobile communication juga mempercepat konektivitas antar manusia danjuga menumbuhkan berbagai bentuk teknologi baru yang membuka ruang baru bagi pasar dan juga investasi bagi perkembangan aplikasi di ponsel seluler. Pertumbuhan yang besar ini telah menjadikan Indonesia sebagai pasar yang terbuka bagi setiap kalangan untuk turut meramaikan pasar yang sedang tumbuh ini. Sejak pertama kali diperkenalkan pada 1988, perkembangan dan pertumbuhan internet terjadi sangat cepat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta1 dan dengan jumlah pengguna aktif internet sebanyak 88, 1 juta2, Indonesia tumbuh menjadi pengguna internet terbesar di ASEAN. Meski dari sisi persentase sebaran dan penetrasi internet, sebenarnya Indonesia masih cukup rendah. Indonesia juga tercatat sebagai pioneer penggunaan internet untuk mempromosikan demokrasi. Majalah Tempo menggunakan internet sebagai media penyebaran informasi setelah pemerintah Soeharto membreidel peredaran Majalah Tempo pada 1994. Partai Rakyat Demokratik, pada 1996, juga menjadi partai politik pertama di Indonesia yang menggunakan internet sebagai sarana penyebaran informasi mengenai sepak terjang partai ini. Pertumbuhan yang besar ini ternyata juga membuat para pembuat kebijakan di Indonesia mulai melirik cara-cara mengatur internet, terutama dengan melakukan rekriminalisasi terhadap perbuatan – perbuatan yang telah diatur didalam KUHP. Pengaturan dan Rekriminalisasi ini terwujud dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Khusus dalam UU ITE, salah satu yang menjadi masalah, khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, adalah pengaturan yang ada dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Ketentuan ini dianggap sebagai ketentuan duplikasi dan perumusannya jauh lebih karet dibandingkan dengan ketentuan yang serupa dalam KUHP. Sejak UU ITE disahkan, kasus - kasus pidana penghinaan yang melibatkan pengguna internet di Indonesia mulai naik secara signifikan. Persoalannya, Indonesia memiliki kondisi geografis yang menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan akses keadilan terhadap para tersangka/terdakwa. Selain persoalan kondisi geografis tersebut ketersediaan advokat/pengacara yang memahami persoalan - persoalan 1 2
Penduduk Indonesia, Lihat http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67 Digital in Southeast Asia, Simon Kemp, Lihat http://wearesocial.sg/blog/2015/11/digital-southeast-asia-q4-2015/
1
internet juga tidak cukup banyak khususnya pengacara yang memberikan nuansa hak asasi manusia dalam kasus - kasus pidana tersebut. 1.2.
Tujuan
Karena itu laporan yang disusun oleh ICJR ini berupaya mendorong penyebarluasan pengetahuan khususnya pengetahuan yang berbasis pada putusan - putusan pengadilan yang dipandang penting untuk mendorong perlindungan kebebasan berekspresi khususnya bagi para pengguna internet Laporan ini berfokus pada analisis terhadap putusan - putusan pengadilan yang mendukung iklim kebebasan berekspresi di Internet yang digunakan untuk Hakim dan para advokat hak asasi manusia yang melakukan pembelaan untuk kasus - kasus kebebasan berekspresi di internet khususnya kasus kasus pidana penghinaan di internet
2
BAB II Jaminan dan Pembatasan Hak Atas Kebebasan Berekspresi Dalam rezim hak asasi manusia internasional, kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kebebasan berekspresi memungkinkan setiap orang atau kelompok orang untuk menyampaikan, mencari, menerima, mengolah, dan mendistribusikan berbagai informasi untuk dapat mengekspresikan pendapat atau gagasan mereka melalui berbagai macam cara dan media yang dianggap tepat. Karena itu, pengaturan jaminan kebebasan berekspresi baik yang dinyatakan secara langsung ataupun melalui beragam saluran komunikasi lainnya adalah sama termasuk yang dilakukan melalui medium internet. Karena itu, pemenuhan kebebasan kebebasan berekspresi adalah penting untuk membangun masyarakat demokratis dan memperkuat demokrasi. Human Rights Council menegaskan bahwa setiap orang mesti menikmati hak yang sama baik di online ataupun offline.3 Karena itu, ada beberapa ekspresi yang dilarang berdasarkan hukum pidana internasional seperti pornografi anak, seruan untuk mendorong tindakan yang mengarah ke genosida, advokasi kebencian berbasis ras, agama, ataupun kebangsaan yang merupakan ajakan untuk mendiskriminasi, permusuhan, ataupun kekerasan, dan ajakan kepada terorisme4 Terkait dengan eksistensi hukum penghinaan, keberadaannya telah menjadi sorotan khusus. Pidana penghinaan sering dijadikan benteng pertahanan oleh pemerintah di negara dimanapun atas kritik dan protes dari warga negaranya, sekaligus senjata yang efektif untuk membungkam pendapat-pendapat tajam terhadap para penguasa. Selain tindakan – tindakan yang dilarang dalam hukum pidana internasional diatas, ada berbagai ekspresi yang seharusnya tidak dikriminalisasi termasuk dengan penghinaan. Meski tujuan penghinaan adalah untuk melindungi kehormatan seseorang.5 Terhadap permasalahan inilah maka hampir disetiap tahun Komisi HAM PBB dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel”. Di samping itu pula tiga komisi internasional yang dibentuk dengan mandat untuk mempromosikan kemerdekaan berekspresi yaitu UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression, dan pada December 2002 juga telah mengeluarkan pernyataan penting bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.”6
3
Lihat Resolusi HRC di http://daccess-ddsny.un.org/doc/undoc/gen/g14/082/83/pdf/g1408283.pdf?openelement26/13 4 Lihat Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression http://daccess-ods.un.org/access.nsf/Get?Open&DS=A/66/290&Lang=E, paragraph 20 - 36 5 Ibid, paragraph 40 6 Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae, Op. Cit. hlm. 46
3
Persoalannya, pidana penghinaan seringkali digunakan untuk menghalangi diskusi atas kebijakan pemerintah dan debat politik, melaporkan situasi hak asasi manusia, kegiatan pemerintah dan korupsi di dalam pemerintahan, kampanye dalam pemilu, demonstrasi damai atau berbagai kegiatan politik lainnya Padahal kegiatan – kegiatan ini, dalam pandangan UN Special Rapporteur tidak dapat dikenakan pembatasan sama sekali7 Meskipun kebebasan berekspresi masuk dalam kategori hak dasar yang penting, hak ini adalah hak yang dapat dibatasi. Oleh karena itu, dalam setiap sistem HAM Internasional ataupun Nasional telah diakui jika kemerdekaan berekspresi hanya bisa dibatasi dengan pembatasan yang sangat terbatas dan harus dibuat dengan hati–hati yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.8 Pembatasan yang diperkenankan dalam hukum Internasional harus diuji dalam metode yang disebut uji tiga rangkai (three part test) yaitu:9 1. Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; 2. Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; 3. Pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Salah satu muatan yang paling penting dalam Komentar Umum No. 34 adalah mengenai pandangan terkait pembatasan dalam Kebebasan Berekspresi. Secara umum telah disampaikan bahwa pembatasan tersebut harus dilakukan berdasarkan Undang-Undang berdasarkan kebutuhan yang telah dibatasai yaitu untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan hak atas reputasi orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Komentar Umum No. 34 juga menyebutkan bahwa pembatasan tidak hanya harus sesuai dengan ketentuan ketat berdasarkan pasal 19 Ayat (3) numun juga harus sesuai dengan ketentuan dan tujuan Kovenan Sipol itu sendiri. Undang-Undang tersebut tidak boleh melanggar ketentuan non-diskriminatif dari Kovenan dan salah satu yang paling penting adalah Undang-Undang tersebut tidak memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan salah satunya adalah hukuman fisik; “Laws must not violate the non-discrimination provisions of the Covenant. Laws must not provide for penalties that are incompatible with the Covenant, such as corporal punishment”. Masuk kedalam syarat yang diamanatkan dalam pasal 19 Ayat (3) Kovenan Sipol, bahwa salah satu alasan untuk dapat dilakukannya pembatasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan hak atas reputasi orang lain. Berdasarkan Komentar Umum No. 34, pada paragraf 28 terjadi penekanan yang menjelaskan posisi istilah “rights (hak-hak)” dalam pembatasan tersebut. Istilah hak-hak tersebut tentu saja harus merujuk pada hak asasi manusia sebagaimana diakui dalam Kovenan dan lebih umum dalam hukum hak asasi manusia internasional. Komentar Umum No. 7
Op. Cit Paragraf 42 Op. Cit ,. hal 15 9 Uji Tiga Rangkai ini telah diakui oleh UN Human Rights Committee dalam Mukong vs Cameroon, view adopted 21 July 1994 8
4
34 memberikan contoh pembatasan yang tepat dalam kategori ini, yaitu pembatasan pada kebebasan berekspresi dalam rangka untuk menjamin hak untuk memilih dalam politik misalnya, dimana diperbolehkan melakukan pembatasan bagi bentuk ekspresi yang melakukan intimidasi atau paksaan namun pembatasan tersebut tidak dapat dilakukan dalam menghambat kebebasan berekspresi pada contoh-contoh seperti debat politik, atau misalnya ajakan untuk tidak memilih dalam pemilihan suara yang tidak wajib. Pada dasarnya pembatasan ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan kembali merujuk pada aturan awal pengaturan hukumnya. Pembatasan kedua berhubungan dengan perlindungan terkait keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Komentar Umum no. 34 juga memberikan penekanan khusus bahwa Undang-Undang harus sangat hati-hati untuk memastikan bahwa bahwa aturan terkait keamanan nasional dibuat dan ditetapkan dengan cara-cara yang sesuai dengan persyaratan yang ketat dari Ayat (3). Komentar Umum No. 34 memberikan contoh terkait penerapan hukum yang tidak sesuai berkaitan dengan keamanan nasional, misalnya menahan atau membatasi informasi publik atau suatu informasi yang menjadi perhatian publik yang tidak membahayakan keamanan nasional atau dengan menuntut dan atau menindak jurnalis, peneliti, aktifis, pembela hak asasi manusia atau orang lain karena telah menyebarkan informasi tersebut. Pembatasan sebagaimana dimaksudkan sebelumnya juga tidak dapat dimasukkan dalam kewenangan hukum untuk pembatasan terhadap informasi yang berkaitan dengan sektor komersial, perbankan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa pengamatan, Komite Hak Asasi Manusia PBB menemukan kasus pembatasan pada penerbitan pernyataan dalam mendukung perselisihan perburuhan, termasuk untuk mengadakan mogok nasional yang mana hal ini bukanlah pembatasan dengan alasan keamanan nasional.10 Selanjutnya pembatasan atas dasar Ketertiban Umum hanya diperbolehkan dalam keadaan tertentu, misalnya mengatur pidato ditempat umum tertentu. Porses persidangan terkait bentuk-bentuk ekspresi dapat diuji terhadap ketertiban umum. Dalam rangka memenuhi Ayat (3), proses persidangan tersebut dan hukuman yang dijatuhkan harus terbukti dapat dibenarkan dalam pelaksanaan kekuasaan peradilan untuk mempertahankan proses yang teratur,11 proses tersebut tidak dapat digunakan untuk membatasi hak dalam pembelaan. Pembatasan atas dasar bertentangan dengan moral juga menjadi sorotan utama dari Komentar Umum No.34, dalam Komentar Umum No. 22 disebutkan bahwa konsep moral berasal dari banyak tradisi social, filsafat dan agama, akibatnya pembatasan dalam hal ini untuk tujuan melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak berasl dari pemahaman ekslusif suatu tradisi saja ; “the concept of morals derives from many social, philosophical and religious traditions; consequently, limitations... for the purpose of protecting morals must be based on principles not deriving exclusively from a single tradition”, pembatasan tersebut harus dipahami dalam bingkai hak asasi manusia secara universal dan prinsip non-diskriminasi. Pada umumnya konstitusi negara-negara modern dan hukum internasional hanya memperbolehkan pembatasan terhadap kemerdekaan berekspresi melalui undang-undang. Implikasi dari ketentuan ini adalah, pembatasan kemerdekaan berekspresi tidak hanya sekedar diatur begitu saja oleh undang10 11
lihat communication No. 518/1992, Sohn v. Republic of Korea, Views adopted on 18 March 1994. Lihat communication No. 1373/2005, Dissanayake v. Sri Lanka.
5
undang yang mengatur tentang pembatasan tersebut, melainkan harus mempunyai standar tinggi, kejelasan, aksesibilitas, dan menghindari ketidakjelasan rumusan.12 Siracusa Principles menjelaskan bahwa pembatasan harus dirumuskan secara ketat untuk kepentingan hak yang dilindungi tersebut13 dan konsisten dengan tujuan ketentuan Kovenan Sipol,14 sehingga pembatasan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang dan tanpa alasan yang sah.15 Pembatasan tersebut harus dirumuskan dengan jelas dan dapat diakses oleh setiap orang16 dan menyediakan pengaman serta ganti rugi terhadap dampak dan penerapan dari pembatasan yang ilegal dan cenderung disalahgunakan.17 Dalam Prinsip Camden18 terutama Pembatasan, dinyatakan secara tegas bahwa Negara sebaiknya tidak memberlakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi yang tidak sejalan dengan standar yang tercantum dalam Prinsip 3.219. dan, pembatasan yang berlaku sebaiknya diatur dalam undang-undang, bertujuan untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, atau kesehatan dan moral masyarakat, dan dibutuhkan oleh masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini berarti pembatasan-pembatasan tersebut antara lain haruslah: 1) Didefinisikan secara jelas dan sempit serta merespon kebutuhan sosial yang mendesak; 2) Merupakan langkah yang paling sedikit menyebabkan gangguan, dalam arti, tidak ada lagi langkah yang lebih efektif daripada pembatasan tersebut, serta tak ada lagi langkah yang memberikan ruang pada kebebasan berekspresi daripada pembatasan tersebut; 3) Tidak bersifat melebar, dalam arti, pembatasan tersebut tidak membatasi ekspresi dengan cara yang luas dan tanpa sasaran yang jelas, atau pembatasan tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya membatasi ekspresi yang merugikan tetapi juga membatasi ekspresi yang sah; 4) Bersifat proporsional, dalam arti, terdapat keuntungan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan akibat kebebasan berekspresi tersebut, termasuk 12
Amicus Curiae, Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia. 2009. Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, Jakarta hal.16 13 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 3 14 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 15 15 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 16 16 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 17 17 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 18 18 Prinsip-prinsip ini disusun oleh ARTICLE 19 berdasarkan diskusi dengan sejumlah pejabat tinggi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan organisasi internasional lain, para pakar dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi di bidang hukum hak asasi manusia internasional tentang masalah kebebasan berekspresi dan kesetaraan yang berlangsung di London tanggal 11 Desember 2008 dan 23 – 24 Februari 2009. Prinsip-prinsip ini merupakan sebuah upaya untuk melakukan interpretasi progresif terhadap hukum dan standar internasional, praktik yang berlaku di berbagai negara (yang muncul, antara lain, dalam hukum-hukum nasional dan keputusan pengadilan nasional), dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh berbagai bangsa 19 Prinsip 3.2. Legislasi nasional sebaiknya menjamin bahwa: i. Setiap orang memiliki kedudukan yang setara di muka hukum dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. ii. Setiap orang memiliki hak untuk terbebas dari diskriminasi atas dasar ras, gender, etnis, agama atau keyakinan, kemampuan yang berbeda, usia, orientasi seksual, bahasa, pendapat politik dan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kewarganegaraan, kepemilikan, kelahiran atau status-status lainnya
6
dalam hal sanksi yang terkait. Prinsip ini menekankan bahwa Negara sebaiknya mengkaji kerangka kerja hukum yang ada untuk memastikan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi mengikuti halhal di atas.20 Harus dicatat bahwa dengan semua kritik yang ditujukan terhadap pidana penjara dan potensinya dalam memberangus kebebasan berekspresi, pidana penjara telah menimbulkan ketakutan yang mendalam pada masyarakat terutama untuk mendapatkan hak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan haknya. Efek tersebut muncul karena sistem maupun prosedur penahanan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang berwenang, sebelum dan selama proses peradilan berlangsung telah menimbulkan dampak yang buruk bagi tersangka maupun terpidana delik penghinaan. Pandangan buruk tersebut juga berkembang di masyarakat, yang memandang bahwa seorang terdakwa atau terpidana penghinaan yang menjalani hukuman penjara disamakan dengan penjahat biasa dalam kasus-kasus pidana lainnya. Semua efek tersebut dapat menimbulkan dehumanisasi, berisiko terjadi prisonisasi, menimbulkan stigma yang buruk di masyarakat.21
20
Lihat The Camden Principles on Freedom of Expressionand Equality (Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Artikel 19 dan AJI, 2009. 21 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, 1995. hlm. 235
7
BAB III Kemunduran Politik Kriminal dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE Dalam politik kriminal, hukum pidana dan pemidanaan merupakan salah satu dari kontrol masyarakat terhadap sebuah tindak pidana melalui pendekatan penal. Secara singkat, definisi politik kriminal dapat ditemukan dari definisi G. Peter Hoefnagel yang mengatakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.22 Karena itu politik hukum pidana pada dasarnya adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.23 Namun penanggulangan kejahatan menggunakan hukum pidana juga memiliki keterbatasan. Barda Nawawi Arief menyampaikan setidaknya ada tiga hal kenapa hukum pidana memiliki keterbatasan untuk mengatasi kejahatan:24
3.1.
Sifat/Hakekat dan Fungsi Hukum Pidana:
Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangat kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan dalam menanggulanginya. Sanksi (hukum) pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Dengan kata lain sanksi (hukum) pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik.
3.2.
Sifat/Fungsi Pemidanaan
Pendekatan hukum pidana selama ini sangat terbatas dan fragmentair, yaitu terfokus dipidananya si pembuat. Dengan demikian efek preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan agar orang tidak melakukan tindak pidana (prevensi special maupun prevensi general) dan bukan untuk mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi.
22
2000 – 2010 Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas, ICJR dan IMDLN, 2011, Halaman 27. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, 1996, halaman 28 24 Barda Nawawi Arief, Batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar tentang Pendekatan Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, 1996, halaman 6 23
8
3.3.
Dilihat dari Jenis Sanksi
Hukum pidana sangat kaku dan sangat terbatas jenis pidana (sebagai obat/remedium) yang dapat dipilih. Tidak sedikit dalam perundang-undangan selama ini digunakan sistem perumusan sanksi pidana yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara tunggal dan kumulatif. Sistem demikian tentunya kurang memberi peluang atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana (obat) mana yang dianggap paling tepat bagi si terpidana. Terlebih pidana (obat) itu sendiri mengandung juga sifat - sifat kontradiktif/paradoksal dan unsur-unsur negatif yang membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek sampingan yang negatif Karena mengandung efek sampingan yang negative, politik hukum pidana dalam relasinya dengan hak asasi manusia wajib memperhatikan tiga prinsip penting yaitu:25 a. Hukum Pidana memang dapat digunakan untuk menegaskan (atau menegaskan kembali) sejumlah nilai-sosial yang mendasar (basic social values) bagi pembentukan perilaku hidup bermasyarakat. b. Hukum Pidana sedapat mungkin hanya digunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak dapat efektif (asas ultimum remedium dan asas subsidiaritas). c. Dalam menggunakan Hukum Pidana sesuai kedua prinsip di atas (a dan b), maka harus diusahakan agar caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektivitas dalam masyarakat demokratis dan modern. Politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan tindak pidana dalam suatu undang – undang, juga harus masuk dalam skema politik hukum pidana dalam arti kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi (criminalization) atau dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu perbuatan. Dengan ini, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakan tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau delik Terkait dengan politik kriminal, Muladi juga mengingatkan tentang kriteria yang secara doctrinal harus diperhatikan sebagai pedoman yaitu26 1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of criminal sanction 2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc 3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik actual maupun potensial 4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium 5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable 6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik. 25
Mardjono Reksodiputro, Sekedar Catatan Sementara tentang Kriminalisasi, Politik Kriminal, dan Asas – asasnya, Lihat http://mardjonoreksodiputro.blogspot.co.id/2013/12/sekedar-catatan-sementara-tentang.html 26 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1995, halaman 256
9
7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali 8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Dalam konteks politik kriminal di Indonesia, kriminalisasi dan pembatasan kebebasan berekspresi melalui berbagai undang-undang sektoral tidak selaras dan bertolak belakang dengan perkembangan penanggulangan kejahatan modern dalam masyarakat demokratis. Sanksi pidana menjadi instrumen utama dalam membatasi kebebasan berekspresi di Indonesia. Tak heran jika dalam Laporan 2015, Freedom House menempatkan Indonesia dalam status Partly Free27, dan di ASEAN Indonesia sama kedudukannya dengan Singapura, Malaysia, dan Kamboja.28 Secara tradisional, pidana penghinaan diatur dalam dalam Bab XVI KUHP dan dikelompokkan menjadi 7 bagian yaitu menista, fitnah, penghinaan ringan, penghinaan terhadap pegawai negeri, pengaduan fitnah, persangkaan palsu, dan penistaan terhadap orang mati. Selain itu, di dalam KUHP juga terdapat bentuk-bentuk khusus dari Penghinaan yaitu Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat atau yang mewakili Negara Asing di Indonesia, Penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, Penghinaan terhadap Golongan, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum/Badan Umum. Selain diatur dalam KUHP, Penghinaan juga diatur dalam berbagai undang – undang misalnya dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, dan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati. Pengaturan penghinaan yang beragam dengan rumusan delik dan sanksi pemidanaan yang berbeda – beda pada dasarnya menunjukkan bahwa pembuat undang – undang tidak memperhatikan kriteria kriminalisasi yang seharunya dijadikan alat uji secara ketat untuk melakukan kriminalisasi terhadap satu perbuatan. Khusus untuk UU ITE, sejak dilahirkan selalu membawa kontroversi, terutama pada bagian kriminalisasi. Salah satu pasal yang menjadi sorotan masyarakat adalah ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kasus pertama terkait dengan penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah kasus Prita Mulyasari. Para pegiat hak asasi manusia ketika itu juga memberikan perhatian khusus terhadap kasus tersebut setelah Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan Permohonan Pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE.29 Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE menyebutkan : 27
Freedom on the Net 2015, Country Report Indonesia, Lihat https://freedomhouse.org/report/freedomnet/2015/indonesia 28 Freedom on the Net 2015, Table Country Score, Lihat https://freedomhouse.org/report/freedom-net2015/table-country-scores 29 HukumOnline, Dua Permohonan Pengujian UU ITE Kandas, Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21918/dua-permohonan-pengujian-uu-ite-kandas
10
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). “ Karena itu, rumusan delik yang ada dalam ketentuan tersebut adalah i. setiap orang; ii. dengan sengaja dan tanpa hak; iii. mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; iv. memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; Masalahnya tidak semua istilah tersebut dijelaskan dalam UU ITE, dan terdapat problematika karena sejumlah istilah tersebut (mendistribusikan dan transmisi) adalah istilah teknis yang dalam praktiknya tidak sama di dunia teknologi informasi (TI) dan dunia nyata30 Dalam persidangan Pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE di Mahkamah Konstitusi, problem-problem terkait dengan rumusan telah menjadi bahan perdebatan yang cukup signifikan antara pemohon maupun pemerintah saat Pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada saat itu.31 Perumusan yang demikian, kembali mengulangi permasalahan dalam KUHP dan berbagai UU lainnya yang terkait dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.32 Model rumusan delik ini membawa konsekuensi tersendiri, karena pada prakteknya Pengadilan memutuskan secara berbeda – beda terhadap rumusan delik tersebut. Hal ini yang membedakan secara diametral dengan rumusan delik yang ada di Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Jika dibandingkan kontruksi penghinaan dalam KUHP dengan UU ITE maka dapat diketemukan kesamaan di dua unsur yaitu unsur kesengajaan dan juga unsur menyerang kehormatan/nama baik. Sementara Pasal 310 KUHP menuntut bahwa tindakan tersebut harus dilakukan dimuka umum akan tetapi dalam konstruksi Pasal 27 ayat (3) maka konstruksinya adalah ”mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik” sehingga tidak diperlukan adanya unsur di muka umum. Pasal ini sebenarnya menyebut dua macam/golongan pelaku yang secara potensial akan dibilangkan sebagai pelanggar perbuatan terlarang yang disebutkan dalam Bab VII UU-ITE. Yang pertama adalah “setiap orang (yang) dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ... “; dan yang kedua ialah setiap orang yang menciptakan “informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
30
Ibid, hal. 65-68. Lihat. Supriyadi Widodo Eddyono, Problem Hukum & Hak Asasi Manusia Dalam Muatan Pasal 27 UU No 11 tahun 2 2008 tentang ITE, ICJR dan IMDLN, 2011 32 Lihat Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Jakarta: ICJR dan TIFA, 2012 31
11
Berdasarkan rumusan pasal 27 ayat 3 UU ITE maka terdapat beberapa kelemahan utama dalam unsurnya yaitu: Masalah
Keterangan
Lemahnya niat atau unsur Dalam kaitan dengan pasal 310 KUHPidana, maka dalam pasal-pasal tentang pencemaran/penistaan (penghinaan) atau “smaad”, seperti sengaja dalam rumusan halnya Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHPidana, terdapat kata-kata sebagai unsur delik, yaitu “dengan sengaja” di muka kata-kata “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Walaupun pelaku pencemaran nama baik memberikan alasan pembelaan bahwa Pelaku tidak mempunyai “maksud” (niat) atau tidak terbukti secara “sengaja” untuk melakukan penghinaan, yang seakan akan untuk menghindari adanya “opzet” (sengaja) sebagai salah satu unsur dari pasal 310 KUHPidana. Hal tersebut akan terbentur pada doktrin dan yurisprudensi yang berkembang dalam KUHP yang membenarkan bahwa bukan “animus injuriandi” yang disyaratkan oleh Pasal 310 KUHPidana, melainkan cukup adanya kesadaran, pengetahuan, ataupun pengertian pada pelaku bahwa pernyataannya obyektif yang akan berakibat dan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Jadi doktrin saat ini menyatakan bahwa bukan tujuan utama untuk menghina atau adanya kesengajaan untuk menghina seseorang sebagai syarat pemidanaan
Tidak jelasnya unsur unsur Beberapa elemen penting lainnya dalam mengartikan pasal ini justru tidak dijelaskan dalam UU ITE yakni pengertian “mendistribusikan”, kunci pengertian ”mentranmisikan” dan juga pengertian “membuat dapat diaksesnya” juga tidak dijelaskan dalam UU ini33. Pengertian “mendistribusikan” tidak dijelaskan dalam UU, mungkin maksud perumusnya adalah membuat sesuatu dapat sehingga dapat terdistribusi. Mengenai terminologi distribusi sendiri kemungkinan juga di persamakan dengan menyebarkan.34 Pengertian ”Mentranmisikan” juga tidak dijelaskan dalam UU mungkin ini akan dijelaskan berkaitan dengan istilah teknis35. Sedangkan pengertian “membuat dapat diaksesnya’ juga sangat luas 33
Ibid Dalam kamus besar Bahasa Indonesia distribusi adalah penyaluran (pembagian atau pengiriman) kepada beberapa orang atau beberapa tempat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, cet. Ke 3, h. 209 35 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia transmisi adalah pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang (benda) lain: --berita atau jaringan-ibid 34
12
pengertiannya, apakah membuat dapat diaksesnya adalah seluruh kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan
Unsur penghinaan dan Karena tidak ada kejelasan Muatan penghinaan atau pencemaran pencemaran nama baik kabur nama baik maka untuk menghindari subyektifitas maka akhirnya frase itu kemudian mau tidak mau harus menginduk atau merujuk ke norma awal dari pasal pidana yang terkait yakni yang diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan pasal 315 KUHP, yang kerap di sebut sebagai “genus crime” pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi apa yang pengertian dasarnya penghinaan dan pencemaran nama baik haruslah di uji dengan pengertian yang sama dengan 310 ayat (2) dan 311, mencakup pula ketentuan-ketentuan khusus pasal tersebut seperti: unsur kejahatannya, alasan pembenarnya, maupun doktrin doktrin umum dalam penggunaannya
Berpotensi melanggar privasi
Syarat demokratis menjadi dasar legalitas untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pencemaran nama baik ataupun penghinaan. Syarat Demokratis yang tidak membolehkan/membenarkan adanya pemidanaan terhadap pernyataan pernyataan yang tidak diucapkan atau ditulis di muka umum, sehingga karenanya “private correspondence” maupun “private coversation” tidak dibenarkan dijadikan subyek maupun obyek pemidanaan selain syarat demokratis, perlu dipahami adanya syarat publisitas, bahwa delik yang berkaitan dengan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam kaitan dengan hukum pidana haruslah memenuhi syarat, yaitu ia haruslah dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dengan mempergunakan sarana media cetak maupun elektronik ataupun dilakukan secara lisan; Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan fikiran atau perasaan (seseorang). Dari perumusan delik, maka unsur publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kejahatan itu dilakukan dengan suatu tulisan dengan demikian dalam kasus kasus yang berkaitan dengan delik pencemaran nama dan atau penghinaan, karena itulah maka syarat demokratis dan syarat publikasi sebagai syarat yang absolut sifatnya. Hal ini dikarenakan terhadap delik penghinaan/ pencemaran nama baik akan selalu didasari adanya unsur “dengan maksud untuk diketahui oleh umum”, dan syarat publikasi dalam kaitan dengan unsur “dengan maksud untuk diketahui oleh umum” inilah yang dapat menentukan suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik ataukah tidak 13
Tidak jelas delik aduan atau Rumusan pasal 27 ayat (3) tidak jelas mengatur mengenai apakah ini delik aduan atau bukan. Ini adalah masalah yang sangat penting. Yang bukan menunjukkan cacat bawaan dalam perumusannya. Namun karena genus crime dari Pasal 27 ayat (3) adalah Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan pasal 315 KUHP maka mengenai statusnya sebagai delik aduan atau tidak harus disesuaikan pula dengan ketentuan Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan pasal 315 KUHP yang merupakan delik aduan. Jadi tidak mungkin penyidik melakukan penyidikan tanpa menerima pengaduan. Sebagai delik aduan maka aparat penegak hukum baru dapat memproses pelaku apabila ada pengaduan dari korban atau pihak yang dirugikan.
Menghilangkan pengolongan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tanpa menunjuk/merujuk penghinaan dan pencemaran pada KUHP untuk penggolongan penghinaan, maka akan menimbulkan kebingungan tentang berapa batas maksimum sanksi nama baik pidana penjara atau denda untuk tiap golongan penghinaan (pencemaran, pencemaran tertulis, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu). UU ITE sendiri tidak memuat penggolongan penghinaan. Yang dapat terjadi adalah kemungkinan aparat penegak hukum menentukan atau mengestimasi sendiri batas maksimum sanksi pidana penjara dan/atau denda untuk tiap golongan penghinaan, tentunya tidak melampaui batas maksimum sanksi pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Menghilangkan pembenar dalam pidana penghinaan
alasan pasal 27 ayat (3) seakan akan tidak ada kaitan dengan Pasal 310 maka tindak seakan-akan tidak diperlukan alasan pembenar dalam Pasal ini, inilah yang menjadi akar masalahnya sehingga seakan-akan doktrin membela diri dan alasan pembenar tidak ada dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) ITE
14
BAB IV Putusan Pengadilan Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE 4.1. Ragam Putusan Pengadilan Segala persoalan rumusan delik yang menyertai dan terjadi di Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga tercermin di dalam praktek penerapan dalam pasal ini. Dalam prakteknya Pengadilan pada dasarnya belum menemukan kesamaan dalam penerapan rumusan tersebut dan cenderung menggunakan rumusan unsure yang telah ajeg dalam KUHP. ICJR mencatat sejak 2009 hingga 2015 terdapat 20 kasus yang diadili oleh Pengadilan dimana para terdakwa didakwa dengan penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. No Nomor Putusan
Waktu
Terdakwa
1
No. 1269/PID.B/2009/PN.TNG
Prita Mulyasari
2
No. PUT/ 137 - K/PM I - 02/AD/ X /2010
29 Desember 2009 2 Desember 2010
3
No. 232/Pid.B/2010/PN.Kdl
6 Januari 2011
Drs. Prabowo, MM bin Tjasan Pramono Saputro
Pengadilan Negeri Kendal
4
No. 1190 / PID.B / 2010 / PN.TNG
16 Februari 2011
Drs. Diki Candra bin Didi Kustawa
Pengadilan Negeri Tangerang
5
No. 23/Pid.B/2011/PN-JTH
19 April 2011
A.Hamidy Arsa Bin Abdurrahman.
Pengadilan Negeri Jantho
15
Sophan Harwanto (Lettu Chb)
Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Tangerang Pengadilan Militer I - 02 Medan
Dakwaan Pasal 45 ayat (1 ) jo . Pasal 27 ayat (3) UU ITE Pasal 27 ayat (3) jo Pasal Pasal 45 ayat (1) UU ITE Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau Pasal 311 ayat (1) KUHP atau Pasal 335 ayat (1) ke2 KUHP pasal 45 Ayat (1) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE atau pasal 45 ayat (2) jo pasal
6
7
No. 822 K / Pid .Sus / 2010
No. 116 / PID / 2011 / PT.DPS
8
No. 45 /Pid.B/2012/PN.MSH
9
No. 151/ PID/ 2012/ PT.BTN.
30 Juni 2011
Prita Mulyasari
13 Januari 2012
12 November 2012 29 November 2012
Herrybertus Johan Julius Calame,S.Pd.
Leco Maba alias Leco alias Econ dr. Ira Simatupang , Sp.Og Binti P.Simatupang
Pengadilan Negeri Tangerang
28 ayat (2) UU ITE Pasal 45 ayat (1) jo . Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Mahkamah Agung Pengadilan Negeri Singaraja
Pasal 27 (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Pengadilan Tinggi Denpasar Pengadilan Negeri Masohi Pengadilan Negeri Tangerang Pengadilan Tinggi Banten
10
No. 01/Pid/2013/PT.MAL
29 Januari 2013
Leco Maba alias Leco alias Econ
11
No. 2357/Pid.B/2012/PN.SBY
7 Maret 2013
Yenike Venta Resti
12
No. 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel
3 Oktober 2013
Muhammad Fajrika Mirza, SH alias Boy bin A. Ganie Mustafa
16
Pengadilan Negeri Masohi Pengadilan Tinggi Maluku Pengadilan Negeri Surabaya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE atau pasal 310 Ayat (2) KUHP atau 311 ayat (1) KUHP pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE
pasal 45 ayat (1) junto pasal 27 ayat (3) UU ITE Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE subsidair Pasal 317 KUHP lebih subsidair Pasal 311 (1) KUHP lebih lebih subsidair Pasal 310 ayat (2)
13
No.1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel 5 Februari 2014
Benny Handoko alias Benhan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
14
No. 45/Pid.Sus/2013/PN.Pt.
No. 33/PID.B/2014/PN.DPU
Nunung Setyaningrum, SH binti Karlan Abraham Sujoko alias M. Faluid Muka Safa
Pengadilan Negeri Pati
15
18 Februari 2014 12 Mei 2014
16
No. 390/Pid.B/ 2014/PN. Mks
28 Mei 2014
Muhammad Arsyad, S.H.
Pengadilan Negeri Makassar
17
No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL
5 Januari 2015
Ervani Emy Handayani Binti Saiman
Pengadilan Negeri Bantul
18
No.324/ Pid.B/2014/PN.SGM
No. 382/Pid.Sus/2014/Pn.Yky
20
No : 292/Pid.B/2014/PN.Rbi
Fadhli Rahim, S.Sos bin Abd Rahim Hanapi Florence Saulina Sihombing Ir. Khairudin M. Ali, M.Ap
PN Sungguminasa
19
18 Februari 2015 31 Maret 2015 2 Maret 2015
17
Pengadilan Negeri Dompu
Pengadilan Negeri Yogyakarta Pengadilan Raba Bima
KUHP dan Pasal 263 ayat (1) KUHP subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Pasal 27 ayat 3 UU ITE Pasal 45 ayat (1) UU ITE pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat (1) UU Pasal 156a KUHP atau pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE Pasal 27 ayat 3 UU ITE atau Pasal 310 ayat 1 KUHP atau Pasal 315 KUHP Pasal 45 ayat (1) Jo Psl 27 ayat (3) UU ITE atau Pasal 310 ayat (1) KUHP atau Pasal 311 ayat (1) KUHP Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP Atau Pasal 310 ayat (2) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
4.2. Kasus-kasus Relevan dan Pertimbangan Terpilih Dari 20 kasus yang telah di putus oleh Pengadilan, ICJR menemukan beberapa pertimbangan dari 9 Putusan Pengadilan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan upaya pembelaan terkait kasus-kasus yang terkena jeratan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hal ini karena 9 putusan pengadilan tersebut berhasil mempertimbangkan beberapa pertanyaan kunci mengenai delik biasa atau delik aduan, elemen menyebarluaskan, hukum acara dan pembuktian, serta unsur “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” serta tambahan Alasan Pembenar yang pada umumnya pengadilan mengambil dari ketentuan Pasal 310 ayat (3) KUHP. Seluruh kasus yang dituliskan dalam riset ini dapat dijadkan pembelajaran dalam melakukan pembelaan dalam kasus serupa kedepannya.
a. Kasus Ervani, Yogyakarta
Terdakwa : Ervani Emy Handayani binti Saiman Korban: Diah Sarastuty Nomor Putusan: 196/Pid.sus//2014/PN.BTL Pasal yang digunakan: Pasal 45 ayat (1) Jo Psl 27 ayat (3) UU ITE atau Pasal 310 ayat (1) KUHP atau Pasal 311 ayat (1) KUHP Tuntutan : pidana penjara selama 5 ( lima ) bulan dengan masa percobaan selama 10 ( sepuluh ) bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan Majelis Hakim PN Bantul : Sulistyo M Dwi Putro.,SH (Ketua), Zaenal Arifin ,SH.,M.Si, Rr. Andy Nurvita.,SH Inti putusan: o Menyatakan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI BINTI SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan pertama, kedua atau ketiga; o Membebaskan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI BINTI SAIMAN oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut; o Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya
Ervani Emy handayani seorang ibu rumah tangga warga Gedongan, Bangunjiwo, Bantul, DI Yogyakarta terjerat UU ITE. Kasus ini berawal saat Alfa Janto, suami Ervani yang bekerja di Joely Jogja Jewellery, akan dipindahtugaskan ke Cirebon. Karena merasa tak ada perjanjian dalam kontrak kerja, Alfa Janto keberatan dengan keputusan manajemen. Penolakan itu kemudian berujung pemecatan. Merasa suaminya diperlakukan tidak adil, Ervani mengeluh di Facebook 13 Maret 2014. Dalam statusnya, Ervani menyebut nama salah satu karyawati yang dianggap berperan dalam proses pemecatan suaminya. Ervani menulis dalam group Facebook karyawan Jolie Jogja Jewelley yang isinya, "Pak Har baik, yang gak baik itu yang namanya Ayas dan SPV lainnya. Kami rasa dia gak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewelley. Banyak yang lebay dan masih seperti anak kecil." Rupanya postingan tersebut membuat Ayas yang memiliki nama asli Dias Sarastuti seorang supervisor di toko Jolie tidak terima dan melaporkan Ervani ke Polda DIY pada tanggal 9 Juni 2014 Ervani sebenarnya sudah menyampaikan permintaan maaf namun Diah Sarastuty (Ayas) yang mengetahui tulisan Ervani, kemudian memilih tetap melanjutkan laporannya ke Polda DIY. Ervani 18
sendiri dipanggil polisi pertama kali pada tanggal 9 Juli 2014 dan langsung ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar undang-undang ITE pasal 27 ayat 3 dan pasal 45, serta UU KUHP pasal 310 dan pasal 311. Pada 29 Oktober 2014 berkas kasus Ervani dilimpahkan ke Kejaksaan dan Ervani pun ditahan di lapas kelas II A Wirogunan, Yogyakarta.
b. Kasus Fajriska Mirza, Jakarta
Terdakwa : Muhamad Fajrika Mirza, SH alias Boy bin A. Ganie Mustafa; Korban: Prof. Dr. Mawar Effendi, SH.MM, Nomor Putusan: 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE subsidair Pasal 317 KUHP lebih subsidair Pasal 311 (1) KUHP lebih lebih subsidair Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Pasal 263 ayat (1) KUHP subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Tuntutan : 1 Tahun Penjara Majelis Hakim PN Jaksel : Yonisman, SH.MH., sebagai Hakim Ketua Majelis Maman M. Ambari, SH.MH, dan Usman, S.H., Inti putusan: o Menyatakan terdakwa Muhammad Fajriska Mirza, SH alias Boy Bin A. Ganie Mustafa dengan identitasnya tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair dan Dakwaan Kedua baik dakwaan Kedua Primair maupun Dakwaan Kedua Subsidair dari Penuntut Umum ; o Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Kesatu Primair dan Dakwaan Kedua tersebut
Fajriska Mirza, adalah seorang yang berkicau tentang dugaan suap Jamwas Marwan Effendi. Kasus ini berawal dari sebuah akun Twitter @fajriska yang menuding Marwan yang kala itu menjabat asisten pidana khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi DKI yang telah menggelapkan uang barang bukti kasus korupsi Bank BRI pada 2003 silam senilai Rp 500 miliar. Tulisan blog pribadinya yang berjudul 'Pembobol BRI Rp 500 Miliar oleh Oknum Jaksa Muda itu lantas di-retweet akun Twitter @TrioMacan2000. Dalam laman twitter itu disebutkan bahwa terdapat dua oknum jaksa yang terlibat kasus BRI, yakni Jaksa Agung Muda, dan mantan Kajati Jawa Tengah. Kasus pembobolan BRI senilai Rp 180 miliar yang dilakukan oleh Richard Latif pada 2004 silam itu justru dilepas oleh oknum Jaksa Penyidik yang saat ini sudah menjabat posisi Jaksa Agung Muda (JAM). JAM yang disebut-sebut berinisial ME ini kemudian menyita uang tunai seilai lebih dari Rp 500 miliar yang selanjutnya disedot semua rekening-rekening tersangka yang di luar dari aliran dana pembobolan. Semua uang tersebut ditampung, di rekening dibuka oleh ME sebagai penampungan di BRI atas nama Aspidsus Kejati DKI dengan total Rp560 miliar Marwan Efendi yang merasa dirugikan menduga kuat pemilik akun @fajriska merupakan Fajriska. Bahkan Marwan yakin Fajriska adalah pemilik akun yang sama dengan nama @TrioMacan2000. Fajriska dalam sebuah kesempatan membantah sebagai pemilik akun dalam twitter @fajriska atau @Triomacan2000. JPU kemudian mendakwa Fajriska dengan dua pasal. Untuk dakwaan primair, pemilik akun @fajriska itu diduga telah sengaja mendistribusikan dokumen elektronik yang memuat penghinaan 19
atau pencemaran nama baik. Fajriska juga dijerat pasal subsidair yakni pengaduan dan pemberitahuan palsu kepada penguasa sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang.
c.
Kasus Arsyad, Makasar
Terdakwa : Muhammad Arsyad,. SH Korban: Khadir Khalid Nomor Putusan: 390/Pid.B/ 2014/PN. Mks Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 310 ayat 1, atau Pasal 315 KUHP Tuntutan : 7 Bulan Penjara Majelis Hakim PN Makassar : Rianto Adam Pontoh,SH.Mhum (ketua) R Bernadette Samosir SH, H. Muh Anshar Madjid, SH.MH Inti putusan: o Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana baik dalam dakwaan PERTAMA, dakwaan KEDUA maupun dakwaan KETIGA. o Membebaskan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tersebut.
Muhammad Arsyad terkena pasal 27 ayat (3) ITE akibat menulis status di BBM miliknya; “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”, Arsyad dilaporkan ke Polisi oleh Abdul Wahab, anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar, yang kabarnya memiliki hubungan kedekatan dengan Nurdin Halid. Kemudian Arsyad ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Nurdin Halid pada 13 Agustus 2013 lalu. Selanjutnya pada 9 September 2013 , setelah menjalani pemeriksaan di Polisi, ia langsung ditahan selama 7 hari. Setelah kasusnya menjadi soroton media dan diadvokasi sejumlah organisasi LSM, Arsyad mendapat penangguhan penahanan. Arsyad juga dituduh telah menghina keluarga Nurdin Halid saat menjadi narasumber pada Obrolan Karebosi yang disiarkan langsung di Studio Celebes TV, Makassar, 24 Juni 2013. Padahal saat itu setelah siaran, Arsyad sempat dikeroyok oleh sekelompok orang. Arsyad mendekam di penjara selama 7 hari, kemudian mendapat penangguhan penahanan setelah kasusnya menjadi sorotan media dan diadvokasi sejumlah organisasi. Dalam persidangan kasus Arsyad, pada 28 Mei 2014, majelis hakim yang diketuai oleh Rianto Adam Pontoh didampingi oleh R Bernadette Samosir dan Ansyar membebaskan terdakwa Arsyad dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Majelis Hakim yang diwakili oleh Pontoh menyatakan selama proses persidangan jaksa tidak bisa membuktikan kebenaran status Black Berry Messenger (BBM), ‘No Fear Ancaman Nurdin Halid!!! Jangan Pilih Adik Koruptor!”. “Tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dengan tuntutan Jaksa maka harus dibebaskan dari segala tuntutan jaksa. Dan majelis Hakim memerintahkan supaya Arsyad dibebaskan dan segera dikeluarkan dari tahanan.”
20
d.
Kasus Herrybertus Johan Julius Calame, Singaraja
Terdakwa : Herrybertus Johan Julius Calame Korban : Antonius Sanjaya Kiabeni Nomor Putusan: 116/PID/2011/PT.DPS Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 310 ayat (2). Tuntutan : Penjara Majelis Ha kim : Hartanindita, SH., MH., A. A. Anom, A. R. Tanahboleng, SH., M.Hum. Inti putusan: o Menyatakan Terdakwa. tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan JPU o Membebaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tersebut
Johan (Herrybertus Johan Julius Calame), seorang guru SD di Sukadana, Buleleng, Bali, dihukum setelah menulis komentar di FB yang bernada penghinaan. Kasus bermula saat Maria Goreti Delorita menulis status di wall Facebook miliknya pada 6 September 2010. Johan menulis komentar di wall Facebook itu dengan menyebut pihak ketiga yaitu Antonius Sanjaya Kiabeni. Konten komentar yang ditulis Johan adalah menyebut Anton sebagai manusia berkepala dua. Merasa terhina dengan komentar Johan, Anton melaporkan Johan ke Polres Buleleng pada tanggal 21 September 2010. Sebagai bukti bahwa dirinya berkelakuan baik dan tidak pernah membuat masalah, Anton meminta pengantar dari Kelurahan Kampung Baru tempat ia tinggal.Jaksa penuntut umum (JPU) lalu menuntut Johan dihukum selama 2 bulan penjara karena melanggar pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada 29 September 2011, Pengadilan Negeri (PN) Singaraja mengabulkan dan menjatuhkan hukuman 1 bulan penjara kepada Johan. Vonis itu lalu dianulir oleh Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar pada 13 Januari 2012 dengan membebaskan Johan. Atas vonis itu, jaksa kemudian melakukan kasasi dan dikabulkan. MA "Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana 'dengan sengaja tanpa hak mengakses informasi elektronik yang mengandung muatan penghinaan'. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 bulan," majelis kasasi diketuai Dr Artidjo Alkostar dengan anggota Prof Dr Surya Jaya dan Sri Murwahyuni. Mereka bertiga memberikan 5 alasan mengapa Johan dihukum 1 bulan penjara. Antara lain tulisan komentar Johan tidak bertujuan membela diri atau membela kepentingan umum. Selain itu, komentar di FB juga tidak dikenakan delik pers karena komentar tidak melalui wartawan atau redaksi. "Untuk membuktikan suatu penghinaan, tidak disyaratkan bahwa korban adalah orang yang benar-benar dapat dipercaya. Hal yang harus dibuktikan adalah apakah korban merasa terhinakan atau malu, sakit hati atau nama baiknya dirusak atau dicemarkan," ujar majelis dalam vonis yang diputusakn pada 12 September 2013.
e.
Kasus Diki Candra, Tangerang
Terdakwa : Diki Candra bin Didi Kustawa Korban : Tindak Pidana Pencemaran Nama Nomor Putusan: 1190/PID.B/2010/PN.TNG
21
Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 310 ayat (2), atau Pasal 311 ayat (1) KUHP Tuntutan : Penjara Majelis Hakim : Bambang Sunarto Utoyo, SH., Gde Mayun, SH., MH., Machri Hendra, SH., MH. Inti putusan: o Menyatakan Terdakwa. tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. o Menjatuhkan pidana penjara selama 6 bulan
Kasus ini bermula saat Imam Safari (Saksi) pada 13 Septmeber 2008 mengaku melihat Irena Handono (Saksi Korban) berada di suatu gereja di Singapura pada 2007 dengan berpakaian Biarawati dan mengenakan asesoris pakaian Biarawati Katolik. Lalu Imam Safari menulis surat pernyataan yang membenarkan apa yang dilihatnya tersebut. Pernyataan tersebut juga didengar oleh Diki Candra (Terdakwa) dan 6 saksi lainnya. Terdakwa lalu meminta kepada Trian Ferianto (saksi) untuk dibuatkan media yang dapat diakses oleh pengurus ARIMATEA di Indonesia. Dan kemudian dibuatkan blog dan diisi beragam informasi termasuk mengisi sebuah posting laporan dengan judul hasil investigasi terhadap saksi korban dengan melampirkan surat pernyataan dari Imam Safari. Setelah Terdakwa pulang dari safari dakwah di Australia, blog tersebut ternyata dikunjungi banyak pihak sehingga Terdakwa dan satu saksi lainnya memutuskan untuk ditutup dan minta bantuan kepada Trian Ferianto untuk menutupnya. Dakwaan Kesatu Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Kedua Primair Pasal 310 ayat (2) KUHP Subsidair Pasal 311 ayat (1) KUHP. Putusan PN Tangerang No 1190/Pid.B/201 0/PN.TNG, tanggal 18 Februari 2011 Menyatakan Terdakwa bersalah melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008, pidana penjara 6 bulan Putusan PT Banten No 67 Pid/2011/PT.BTN Menguatkan putusan PN Tangerang
f.
Kasus Prita Mulyasari, Tangerang
Terdakwa : Prita Mulyasari Korban : Tindak Pidana Pencemaran Nama Nomor Putusan: 1269/Pid. B/2009/PN.TNG dan 822K/Pid.Sus/2010 Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 310 ayat (2), atau Pasal 31 ayat (1) KUHP Tuntutan : Panjara Maje lis Hakim : PN : Arthur Hangewa, SH., Perdana Ginting, SH., Viktor Pakpahan, SH., MH., M.Si. MA : R. Imam Harjadi, SH., MH., H.M. Zaharuddin Utama, SH., MH., Dr. Salman Luthan., SH., MH. Inti putusan: o PN mengabulkan eksepsi Penasehat Hukum terdakwa. Menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum. 22
o
MA mengadili sendiri perkara tersebut, menghukum terdakwa dengan pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun.
Prita dilaporkan ke Polisi oleh Rumah Sakit Omni Internasional atas tuduhan pencemaran nama baik melalui surat elektronik. Kasus ini bermula dari surat elektronik yang dibuat oleh Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional.. Dalam proses kasasi, Prita dinyatakan bersalah dan saat ini Prita tengah menunggu putusan PK di MA. Kasus ini bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008 dan mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni Internasional dan juga dokter yang merawatnya yaitu dr. Hengky Gosal, SpPD, dan dr Grace Herza Yarlen Nela. Permintaan Rekam Medis dan Keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik tersebut telah “memaksa” Prita menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik di milis. Prita Mulyasari digugat oleh Rumah Sakit Omni Internasional atas tuduhan pencemaran nama baik lewat milis. Kasus ini bermula dari surat elektronik yang dibuat oleh Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Email itu berisi keluhannya atas pelayanan yang diberikan oleh RS Omni Internasional dan juga dokter yang merawatnya yaitu dr. Hengky Gosal, SpPD, dan dr Grace Herza Yarlen Nela. Saat itu ia menderita sakit kepala dan mual-mual. Di bagian gawat darurat ia ditangani dokter jaga, Indah. Dari pemeriksaan laboratorium, dinyatakan trombosit darah warga Villa Melati Mas Tangerang ini 27.000, jauh di bawah normal yang seharusnya sekitar 200.000. Prita diminta menjalani rawat inap dan memilih dokter spesialis. Sesuai dengan saran Indah, ia memilih dokter Hengky. Diagnosis dokter menyatakan ia terkena demam berdarah. Menurut Prita, ia lalu mendapat suntikan dan infus yang diberikan tanpa penjelasan dan izin keluarganya. Belakangan, ia kaget pada saat Hengky memberitahukan revisi hasil laboratorium tentang jumlah trombosit darahnya, yang awalnya 27.000 kini menjadi 181.000. Dokter juga menyatakan ia terkena virus udara. Lantaran tak puas dengan perawatan di rumah sakit itu, Prita memutuskan pindah rumah sakit. Dari sinilah kemudian muncul persoalan baru. Tatkala ia meminta catatan medis lengkap, termasuk semua hasil tes darahnya, pihak rumah sakit menyatakan tidak bisa mencetak data tersebut. Prita lantas menghadap Manajer Pelayanan RS Omni, Grace. Hasilnya sama saja. Inilah yang lantas membuat ia, pada 15 Agustus 2008, menulis surat elektronik ke sejumlah rekannya. Surat Prita ini rupanya sampai juga ke manajemen Omni Internasional. Omni mengambil langkah cepat dengan ”memberi pelajaran” untuk Prita, melaporkan perempuan tersebut ke polisi. Rumah Sakit Omni Internasional kemudian tidak hanya menggugat Prita Mulyasari secara perdata atas tuduhan pencemaran nama baik lewat milis, namun juga memasang Iklan setengah halaman pada 8 September 2009 dengan judul ”Pengumuman dan Bantahan”, di harian Kompas. Intinya, bantahan Omni terhadap surat elektronik Prita Mulyasari berjudul ”Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”, yang dikirim sebuah mailing list (milis). Surat elektronik itu membuat Omni berang. Menurut pengacara Omni Internasional, Heribertus, isi surat Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka: Hengky Gosal dan Grace Hilza Yarlen Nela. Dakwaan Kesatu Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Kedua Pasal 310 ayat (2) KUHP atau Ketiga Pasal 311 ayat (1) KUH. Putusan PN Tangerang No 1269/PID.B/2009/PN.TNG tangga 29 Desember 2009 Menyatakan Terdakwa tidak bersalah. Putusan Kasasi No 822 K/Pid.Sus/2010 Menerima Permohonan 23
Kasasi Jaksa Penuntut Umum, menyatakan Terdakwa bersalah, pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun. Putusan PK 22 PK/Pid.Sus/2011 Menyatakan terdakwa tidak bersalah. Lalu PT Sarana Mediatama Internasional Dkk menggugat Prita Mulyasari Dasar Gugatan 1365 KUHPerdata Putusan PN Tangerang No 300/PDT.G/2008/PN.TNG, tanggal 11 Mei 2009 Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 314.286.360 Putusan PT Banten No 71/PDT/2009/PT.BTN Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 204.286.360 Putusan MA No 300 K/PDT/2010 Menyatakan Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum
g.
Kasus Khairudin M. Ali, Bima
Terdakwa : Ir. Khairudin M. Ali, M.Ap Korban : Tindak Pidana Pencemaran Nama Nomor Putusan: No : 292/Pid.B/2014/PN.Rbi Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP Atau Pasal 310 ayat (2) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP Tuntutan : Penjara Majelis Hakim : Syafruddin, SH., Taufiq Noor Hayat, SH., I Gede Purnadita, SH. Inti putusan: o Menyatakan Terdakwa. tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana o Membebaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tersebut
Khairudin M. Ali adalah Koordinator Bidang Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Bima, di yang didakwa melanggar UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik melalui facebook. Kasus dugaan pencemaran nama baik lewat akun Facebook yang. Kasus ini bermula ketika ramai isu Pemilu 2014 lalu. Di akun Facebook atas nama Rangga Babuju, Khairudin ikut berkomentar. Di sana dia berkomentar tentang dugaan pelanggaran. Khairudin sendiri adalah anggota Panwaslu. Belakangan kicauannya di Facebook itu ditanggapi berbeda oleh KPU Kota Bima. Ketua KPU Kota Bima, Nurfarhati melaporkannya ke polisi pada Februari tahun 2014.
h.
Kasus Wisni Yetti Binti H. Jasran
Terdakwa : Wisni Yetti Binti H. Jasran Korban : Tindak Pidana Kesusilaan Nomor Putusan: No. 178.Pid.Sus-ITE.2015.PT.BDG Pasal yang digunakan: Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUH Pidana. Tuntutan : Penjara Majelis Hakim : Lexsy Mamonto, S.H. MH., Karel Tuppu, S.H. M.H., H.Edwarman.SH Inti putusan: 24
o o
Menyatakan Terdakwa. tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Membebaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tersebut.
Sebelumnya Jaksa menuntut Wisni selama 4 bulan penjara karena dinilai mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dikumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan secara berlanjut sesuai Pasal 27 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kemudian Pengadilan Negeri (PN) Bandung menjatuhkan pidana penjara selama 5 bulan dan denda Rp 10 juta subsidair 6 bulan kurungan. Pengadilan Tinggi Bandung membebaskan Wisni. Majelis hakim yang terdiri dari Karel Tuppu, Lexsi Mamonto dan Edwarman menyatakan Wisni tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Majelis juga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Majelis menilai percakapan dalam bentuk tulisan (chatting) antara terdakwa dan Nugraha Mursyid meragukan majelis hakim karena print out asli tidak dapat diperlihatkan di persidangan sehingga keotentikannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bukti surat dokumen elektronik tersebut tidak dapat dipertimbangkan sebagai bukti yang sah dalam perkara terdakwa Wisni Yetti.
25
BAB V Pertimbangan Penting Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 5.1. Mengenai Status Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan Delik Aduan Absolut
Salah satu kelemahan mendasar dari rumusan delik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah mengenai apakah delik ini merupakan delik biasa atau merupakan delik aduan absolut. Untuk diperlukan tafsir otentik mengenai apakah mengenai pertanyaan kunci ini. Terhadap pertanyaan kunci ini, maka Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara N0 50/PUU-VI/2008 dan Perkara No 2/PUU-VII/2009 menyatakan tafsir terhadap pertanyaan kunci ini “…keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan” Putusan Mahkamah Konstitusi telah merumuskan bahwa tafsir dan keberlakukan dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE, juga dikonformasi oleh Pengadilan Negeri Bantul tentang apa yang dimaksud dengan “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” Dalam Pengadilan Negeri Bantul, di sebuah kasus yang melibatkan status di facebook (Kasus Diah Sarastuty Pengadilan) menyatakan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUVI/ 200836 “Menimbang, bahwa menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUVI/ 2008 penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sehingga Konstitusional Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;”37
36 37
Lihat Putusan Nomor:196/Pid.Sus/2014/PN.BTL ibid
26
Terkait dengan keberlakuan dan tafsir yang sebangun dengan Pasal 310 dan 311 KUHP yang merupakan delik aduan absolut sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHP, maka diperhatikan putusan Mahkamah Agung No 183 K/Pid/2010. Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa oleh karena yang menjadi obyek pencemaran/penistaan adalah badan hukum, yaitu PT Duta Pertiwi maka mengingat delik tersebut merupakan delik aduan absolut maka yang seharusnya mengajukan pengaduan adalah Direktur Utama PT tersebut, bukan kuasa hukum PT Duta Pertiwi. “Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar (PT.Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang dapat mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbang, SH. , MH., kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi , sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi” Sebagai delik aduan absolut, maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi “korban” penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain “korban” Karena terkait langsung dengan korban perlu diperhatikan mengenai penyebutan nama. Apabila dalam suatu pernyataan tidak ada penyebutan nama secara langsung yang dibarengi dengan adanya tuduhan maka pernyataan tersebut tidaklah memiliki muatan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pengadilan Negeri Raba Bima menegaskan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi dengan adanya tuduhan.38 “Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati komentar-komentar Terdakwa sebagaimana tersebut di atas, Terdakwa tidak pernah menyebut nama saksi Dra. NURFARHATI, M.Si dan Terdakwa juga tidak pernah menyerang nama baik saksi Dra. NURFARHATI, M.Si dengan menuduhkan sesuatu ;39 Menimbang, bahwa dengan demikian dokumen elektronik tersebut tidak memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik,40 dengan demikian unsur “Dengan Sengaja Dan tanpa Hak Mendistribusikan Dan/Atau Mentransmisikan Dan/Atau Membuat Dapat diaksesnya Informasi Elektronik Dan/Atau Dokumen Elektronik Yang Memiliki Muatan Penghinaan Dan/Atau Pencemaran Nama Baik” tidak terpenuhi.”
5.2. Mengenai Hukum Acara dan Pembuktian (Pembuktian dalam “Bukti” Elektronik) Perdagangan dan peristiwa kejahatan yang terjadi pada saat ini sudah semakin berkembang, terutamanya dengan maraknya perdagangan dan aktivitas komersial yang ditopang oleh kehadiran teknologi informasi. Perkembangan pesat dari teknologi informasi memungkinkan aktvitas perdagangan menjadi lebih dinamis begitu juga dengan kemungkinan terjadinya kejahatan di dalam aktivitas perdagangan yang menggunakan teknologi informasi
38
Lihat Putusan Nomor : 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi ibid 40 Ibid 39
27
Dengan kemajuan tersebut, maka pelanggaran hukum yang terjadi juga sangat dimungkinkan dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi, untuk itu diperlukan pengaturan bukti terutama yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi dalam sebuah perisitwa pelanggaran hukum. Dengan maraknya pelanggaran hukum yang terhubung dengan penggunaan teknologi informasi telah menghadirkan suatu jenis baru dari alat bukti yang secara tradisional telah dikenal yaitu bukti elektronik (digital evidence) Menurut Casey, bukti elektronik adalah informasi elektronik yang dapat digunakan untuk menghubungkan dengan terjadinya tindak pidana dan pelaku kejahatan tersebut.41 Sementara menurut Cohen, pada dasarnya bukti elektronik (digital evidence) adalah produk dari proses forensik digital. 42 Karena itu, forensik digital adalah identifikasi kegiatan yang memerlukan investigasi (termasuk menentukan sumber digital yang bersangkutan), mengumpulkan informasi, memastikan keaslian informasi dari perubahan yang disengaja, menganalisis informasi, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Menurut Kerr, bukti elektronik memiliki konteks yang berbeda daripada bukti yang secara tradisional telah diketahui karena dalam bukti elektronik hanya ada dalam bentuk nol dan satu, sementara bukti lain memiliki memiliki manifestasi fisik.43 Karena perbedaan mendasar itulah maka diperlukan perlakuan yang berbeda dalam hal penanganannya dan penjelasannya. Dalam legislasi dan praktek yang berlangsung International Criminal Court (ICC), pada dasarnya ICC jarang mengakui bukti elektronik sebagai bukti langsung dan malah diperlakukan sebagai bukti pendukung dengan nilai pembuktian yang lebih rendah dari alat bukti lainnya seperti keterangan yang diucapkan secara lisan (viva voce).44 Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 2007 di Eropa, menunjukkan bahwa bukti elektronik dalam kerangka legislasi Negara – Negara di Eropa adalah setara dengan bukti yang telah dikenal secara tradisional. Secara umum ada tiga klasifikasi bentuk bukti elektronik yang telah diidentifikasi, yaitu dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen surat, yang kedua tanda tangan elektronik disetarakan dengan tanda tangan dengan tulisan tangan, dan menyetarakan surat elektronik dengan surat pos biasa.45 Untuk itu, diperlukan validasi lanjutan seperti halnya bukti fisik yang secara tradisional telah dikenal Alat Bukti dalam peraturan di Indonesia diatur dalam ketentuan hukum acara, baik hukum acara perdata ataupun hukum acara pidana. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terdapat lima jenis 41
Lihat Amanda R. Ngomane, The Use of Electronic Evidence in Forensic Investigation, University of South Africa, 2010, halaman 28 42 Lihat Judges Awareness, Understanding, and Application of Digital Evidence, Gary Craig Kessler, Graduate School of Computer and Information Sciences, Nova Southeastern University, 2010, halaman 1 43 Ibid, halaman 2 44 Lihat Aida Ashouri, Caleb Bowers and Cherrie Warden, An Overview of the Use of Digital Evidence in International Criminal Courts, Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014), halaman 115 45 Lihat Fredesvinda Insa (2007) The Admissibility of Electronic Evidence in Court (A.E.E.C.): Fightin against HighTech Crime—Results of a European Study, Journal of Digital Forensic Practice, 1:4, 285-289, DOI: 10.1080/15567280701418049
28
alat bukti yaitu: (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; dan (5) Keterangan terdakwa. Meski tak ada satupun ketentuan hukum acara yang menyebutkan kedudukan dari bukti elektronik (digital evidence), namun KUHAP telah meletakkan fondasi bagi diakuinya bukti elektronik berdasarkan ketentuan Pasal 4146, Pasal 184 ayat (1) huruf c, dan Pasal 187 huruf (d). Berdasarkan ketentuan ini, pada dasarnya bukti elektronik telah diakomodir dalam sistem pembuktian di sistem peradilan pidana. Hal ini juga diperkuat melalui surat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung untuk merespon terhadap keberadaan bukti elektronik setelah diberlakukannya KUHAP. Pada 1988, Mahkamah Agung melalui Surat MA No 39/TU/88/102/Pid, 14 Januari 1988, menyatakan bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Selepas reformasi, cukup banyak peraturan yang dilahirkan dengan mengadopsi bukti elektronik menjadi bagian dari alat bukti yang sah yang dapat digunakan di Pengadilan. Perppu No 1 Tahun 2002 yang disahkan oleh UU No 15 Tahun 2003 merupakan UU pertama yang disahkan dengan mengadopsi bukti elektronik sebagai bagian dari alat bukti di Pengadilan.47 Dalam konteks regulasi pemberantasan korupsi, bukti elektronik dinyatakan sebagai bagian dari alat bukti petunjuk dan alat bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP.48 Namun dalam UU KPK, bukti elektronik menjadi alat bukti yang berdiri sendiri terlepas dari alat bukti yang ada dalam KUHAP.49 Setelah 2002, bukti elektronik menjadi alat bukti baru dapat diketemukan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.50 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukti elektronik selain menjadi bagian dari alat bukti surat51 dan alat bukti petunjuk52 sebagaimana diatur dalam KUHAP, ia juga menjadi alat bukti baru disamping alat bukti yang telah ada dalam KUHAP.53 Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang juga dinyatakan bahwa bukti elektronik merupakan jenis alat bukti baru disamping alat bukti yang telah ada di dalam KUHAP.54 Dari kerangka tersebut, kedudukan bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak terlampau jelas terkait dengan penempatan status dan kedudukan bukti elektronik tersebut. 46
Lihat Penjelasan Pasal 41 KUHAP yang menyatakan bahwa surat termasuk surat kawat, surat teleks, dan lain sejenisnya yang mengandung berita 47 Lihat Pasal 27 Perppu No 1 Tahun 2012 48 Lihat Pasal 26 A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 49 Lihat Pasal 44 ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 50 Lihat Pasal 29 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 51 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 52 Lihat Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 53 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 54 Lihat Pasal 73 huruf b UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
29
Berdasarkan kerangka legislasi Indonesia, bukti elektronik mendapatkan 3 status yang dapat terpisah namun bercampur sekaligus dalam satu waktu tertentu yaitu sebagai alat bukti surat, alat bukti petunjuk, sekaligus alat bukti yang berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan para pembuat Undang – Undang untuk menentukan jenis dan spesifikasi dari bukti elektronik. Hal yang paling penting untuk dipahami adalah persoalan pengakuan bukti elektronik di depan Pengadilan. Persoalan ini muncul karena bukti elektronik dapat di manipulasi oleh pihak ketiga dan menimbulkan pertanyaan serta perdebatan siapakah pemilik bukti elektronik tersebut. Kelima jenis bukti elektronik yakni situs, komunikasi di media sosial, surat elektronik, sms, dokumen yang disimpan oleh komputer memiliki tantangan yang unik dalam hal agar bukti elektronik tersebut dapat diakui sebagai bukti di Pengadilan. Pada dasarnya bukti elektronik hanya memiliki kedudukan sebagai bukti pendukung yang masih harus dikonfirmasi melalui alat bukti lainnya. Bukti elektronik juga memiliki kedudukan pembuktian yang lebih rendah ketimbang alat bukti keterangan saksi yang disampaikan di Pengadilan. Sebagai bukti pendukung, maka dalam konteks Indonesia, kedudukan bukti elektronik sama halnya dengan barang bukti yang nilai pembuktiannya masih harus dikuatkan melalui alat bukti lainnya diantaranya melalui surat atau keterangan ahli/saksi. Pada dasarnya suatu alat bukti adalah sah apabila prosedur pengambilan alat buktinya atau didapatnya suatu alat bukti dilakukan menurut cara – cara yang ditentukan oleh Undang – Undang dan dilakukan oleh otoritas yang berwenang Karena itu, tidak semua alat bukti dapat dihadirkan di persidangan, terutama apabila alat bukti tersebut didapatkan dengan cara – cara yang melanggar hukum. Terkait dengan bukti elektronik (digital evidence) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informai dan Transaksi Elektronik mengkategorikan pengambilan alat bukti tanpa dilakukan menurut cara – cara yang ditentukan oleh Undang – Undang dan dilakukan oleh otoritas yang berwenang adalah perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 30 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh InformasiElektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan Karena itu bukti percakapan dalam bentuk fotokopi yang pada dasarnya diambil dengan cara melanggar hukum serta tanpa perintah dari otoritas yang berwenang tidak dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan
30
Bahwa validasi bukti elektronik (digital evidence) dalam proses peradilan pidana harus dilakukan dengan memperhatikan syarat – syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik “Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan” Bahwa berdasarkan ketentuan diatas tersebut, Pengadilan harus memperhatikan bahwa bukti elektronik dianggap sah apabila: (1) dapat diakses, (2) ditampilkan, (3) dijamin keutuhannya, dan (4) dapat dipertanggungjawabkan yang seluruhnya digunakan untuk dapat menerangkan suatu keadaan Keempat syarat tersebut adalah syarat yang bersifat kumulatif dan imperative untuk dapat mengklasifikasi apakah suatu bukti elektronik dapat dinyatakan layak sebagai alat bukti yang dihadirkan ke Pengadilan Salah satu persoalan penting dalam penerapan penghinaan pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah mengenai bukti elektronik dan validasi bukti elektronik tersebut. Dari 20 kasus tersebut, ICJR mencatat ada dua kasus yang dengan cermat mempertimbangkan soal bukti elektronik dan validasi bukti elektronik terutama terkait dengan unsur delik “setiap orang” Dalam kasus Muhammad Fajrika Firza alias Boy bin A. Ganie Mustafa yang diduga sebagai pengelola akun twitter @fajriska yang dianggap telah mencemarkan nama baik dari Marwan Effendi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan soal apakah akun @fajriska benar – benar dimiliki atau dikelola oleh terdakwa. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan55 mengkonfirmasi kepemilikan akun dengan melakukan eksaminasi dan memperhatikan dari seluruh keterangan saksi – saksi yang dihadirkan di persidangan. Pada pokoknya, berdasarkan keterangan saksi – saksi tersebut, seluruh saksi tidak mengetahui dan melihat apakah akun twitter tersebut benar dimiliki terdakwa “Menimbang, bahwa keterangan saksi – saksi yang menyatakan bahwa dalam twitter tersebut adalah milik terdakwa oleh karena tertulis @Fajriska yaitu nama terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksipun yang mengetahui bahwa akun twitter @Fajriska adalah milik terdakwa; Menimbang, bahwa menurut Majelis nama pada suatu akun twitter bisa saja dibuat oleh orang lain dengan membuat nama orang tertentu…” Informasi mengenai kepemilikan seseorang terhadap akun twitter tertentu menjadi isu hukum terpenting dimana Pengadilan melakukan validasi dengan cara mencocokkan keterangan seluruh saksi yang pada umumnya hanya sekedar mengasosiasikan nama akun dengan nama seseorang. Padahal belum tentu pemilik akun sebenarnya adalah orang yang dituduhkan dan dihadirkan ke Persidangan
55
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel
31
Dalam kasus lain dimana memiliki isu hukum yang serupa di Pengadilan Negeri Makassar56 ada perbedaan cara validasi yang digariskan oleh Pengadilan. Dalam kasus tersebut Muhammad Arsyad dihadapkan ke Pengadilan karena dituduh membuat personal status BBM yang dianggap menyerang kehormatan dari H. A Kadir Halid yang sedang mengikuti proses Pemilihan Walikota Makassar pada 2013. Dalam kasus tersebut barang bukti yang diperlihatkan adalah hasil print out personal status dengan No PIN 215A000AA, dimana hasil print out personal status BBM tersebut dibuat oleh Muh. Zulhamdi Alamsyah. Karena itu Pengadilan Negeri Makassar mempertimbangkan menggunakan dua cara validasi atas hasil print out tersebut yaitu Pertama, dengan cara menghadirkan 2 orang atau lebih yang berteman dalam contact BBM dengan No PIN orang yang dituduhkan untuk membuktikan bahwa pemilik No PIN BBM tersebut adalah benar milik orang tersebut Kedua, jika tidak ada saksi yang menerangkan maka harus dilakukan pemeriksaan melalui digital forensic oleh Ahli ITE untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan No PIN tersebut dan memastikan apakah rangkaian kata –kata yang ditulis tersebut memang benar berasal dari Ponsel dengan akun BBM dan No PIN orang yang dituduhkan itu. “Bahwa untuk memastikan apakah seseorang adalah pemilik dari akun BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan, maka dapat dibuktikan dengan melalui cara yaitu menghadirkan 2 (dua) orang atau lebih saksi yang berteman contact BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan guna menerangkan bahwa seseorang tersebut adalah benar sebagai pemilik dari No. Pin orang yang dituduhkan tersebut serta 2 (dua) orang atau lebih saksi tersebut harus memperlihatkan fisik smartphone Black Berry miliknya yang berteman contect BBM dengan No. Pin. orang yang dituduhkan tersebut ;--Bahwa bilamana tidak dapat dibuktikan akan hal seperti keterangan 2 (dua) orang saksi yang berteman contact BBM dengan No. Pin orang yang dituduhkan tersebut, maka harus dilakukan melalui pemeriksaan digital forensik oleh ahli ITE untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan No. Pin. orang yang dituduhkan itu dan memastikan apakah rangkaian kata-kata yang tertulis dalam status BBM tersebut adalah berasal dari Smartphone Black Berry akun BBM dan No. Pin. orang yang dituduhkan itu” Pada perkara lain yang tidak terkait dengan penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Persoalan bukti elektronik terutama mengenai validasi alat bukti menjadi kunci untuk membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan pidana. Dalam perkara mengenai percakapan yang dianggap melanggar kesusilaan yang dilakukan melalui medium Facebook, Pengadilan Tinggi Bandung57 menempatkan perhatian khusus atas validasi bukti elektronik yang dihadirkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) jo Pasal 6 UU ITE. “Bahwa Majelis Pengadilan Tinggi memperhatikan tentang Validasi bukti Percakapan dalam Facebook antara Terdakwa dengan Nugraha Mursyid, karena yang dijadikan bukti adalah foto
56 57
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Makassar No 390/Pid.B/ 2014/PN. Mks Lihat Putusan No 178/Pid.Sus-ITE/2015/PT.Bdg
32
kopy dari dokumen pengalihwujudan percakapan elektronik menjadi tercetak dan digandakan oleh saksi Harry Budiman atas perintah saksi pelapor H.Haska Etika; Bahwa oleh karena bukti berupa foto kopy dokumen elektronik yang print outnya diserahkan oleh saksi pelapor kepada penyidik tanpa disertai dengan aslinya, oleh karenanya haruslah dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat yang sebagaimana diketentuan pasal 6 UU ITE. Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.” Dengan berbagai pertimbangan tersebut, validasi bukti elektronik yang menjadi pangkal persoalan utama dalam sebuah kasus penghinaan melaui medium internet menjadi sangat penting untuk dicermati dengan baik.
5.3. Mengenai Alasan Pembenar Salah satu kelemahan mendasar dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah karena mengambil nama bab dalam KUHP menjadi rumusan delik. Akibatnya, tidak ada model penggolongan jenis penghinaan seperti yang terdapat dalam KUHP. Ketiadaan penggolongan ini juga membuat ketiadaan alasan pembenar sebagaimana secara umum dikenal dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP. Akibatnya terbuka kemungkinan aparat penegak hukum menafsirkan kapan dapat dipidana dan kapan tidak dapat dipidana, selain itu penegak hukum juga terbuka untuk menentukan atau mengestimasi sendiri batas maksimum sanksi pidana penjara dan/atau denda untuk tiap golongan penghinaan, tentunya tidak melampaui batas maksimum sanksi pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pada dasarnya apa yang disebut dengan menghina dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE masih merujuk pada rumusan penistaan dalam Pasal 310 dan rumusan fitnah dalam Pasal 311 KUHP. Untuk menista sendiri yaitu diperlukan adanya tuduhan terhadap seseorang yang bersifat menyerang kehormatan atau nama baik dan dilakukan di depan umum. Perbuataan menista ini memerlukan niat kesengajaan untuk menghina (animus injuriandi). Sementara fitnah terdakwa tidak mau membuktikan kebenaran tuduhannya meski telah diperbolehkan oleh Hakim dan terdakwa tahu bahwa tuduhan itu bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Meski demikian, pada dasarnya Pasal 310 ayat (1) KUHP mensyaratkan bahwa meskipun tuduhan itu benar namun jika tidak dilakukan dalam rangka kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri atau apabila yang dituduh tersebut bukanlah seorang pejabat yang sedang dalam menjalankan tugasnya, orang menyatakan tuduhannya tersebut akan terjerat berdasarkan ketentuan Pasal 310
33
KUHP.58 Oleh karena itu alasan pembenar hanya diletakkan dalam konstruksi Pasal 310 KUHP dimana alasannya adalah untuk kepentingan umum atau pembelaan diri karena terpaksa.59 Karena itu alasan pembenar dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang tidak tidak dirumuskan secara tegas, dalam prakteknya Pengadilan pada umumnya merujuk alasan pembenar pada pengertian dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP. Alasan pembenar dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang umumnya merujuk pada Pasal 310 ayat (3) KUHP adalah pada rumusan “dengan sengaja dan tanpa hak atau rumusan tanpa hak” Rumusan tanpa hak yang didefinisikan sebangun dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP misalnya dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Unsur tanpa hak ini yang menjadi alasan apakah orang boleh dipidana ataupun tidak boleh dipidana orang tidak boleh dipidana. Dalam kasus yang penghinaan yang menggunakan sarana surat elektronik, Pengadilan Negeri Tangerang melakukan penilaian terhadap unsure “tanpa hak”, dimana unsure tersebut tidak terpenuhi karena “Majelis Hakim berpendapat bahwa email Terdakwa sebagaimana telah diuraikan diatas tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dan praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan sembuh dari penyakit”60 Selain itu Pengadilan Negeri Tangerang mempergunakan pertimbangan dengan menggunakan pasal 310 ayat (3) KUHP untuk memperjelas rumusan tanpa hak. “Menimbang, bahwa karena email yang dikirimkan Terdakwa tersebut adalah demi kepentingan umum, maka menurut pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut email Terdakwa dengan judul " Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang " yang isinya antara lain saya menginformasikan juga dr. Hengky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk, tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dokter ini dan tanggapan dr. Grace yang katanya penanggungjawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer" tidak termasuk pengertian menista;61 Dalam kasus penghinaan melalui sarana situs, Pengadilan Negeri Tangerang menekankan sumber dari rumusan rumusan adalah pada Bab XVI II KUHP yang bersumber pada pencemaran (Pasal 310 KUHP). Dimana alasan peniadaan sifat melawah hukum perbuatan (pasal 310 ayat 3 KUHP) apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri dan dua keadaan inilah yang menyebabkan sipembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan ,membuat dapat diakses informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan.62
58
Lihat Pasal 312 KUHP Lihat Pasal 310 ayat (3) KUHP 60 Lihat Putusan Nomor: 1269/PID.B/2009/PN.TNG 61 Lihat Putusan Nomor: 1269/PID.B/2009/PN.TNG 62 Lihat Putusan Nomor : 1190/PID.B /2010/PN.TNG 59
34
“Menimbang, bahwa rumusan tindak pidana Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektrono, No.11 Tahun 2008 (UU ITE) mencantumkan unsur tanpa hak yang ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses invormasi elektronik tidak boleh dipidana; Menimbang, bahwa UU ITE tidak memberikan keterangan atau penjelasan mengenai dalam hal mana atau dengan syarat apa, orang yang mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukan, sehingga harus dicari dari sumber hukum penghinaan dalam Bab XVI buku II KUHP yang bersumber pada pencemaran (Pasal 310 KUHP), karena setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang; Menimbang, bahwa pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawah hukum perbuatan (pasal 310 ayat 3 KUHP ), pencemaran tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri dan dua keadaan inilah yang menyebabkan sipembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan ,membuat dapat diakses informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan;”63 Meski pada umumnya Pengadilan merujuk pada alasan pembenar yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP, akan tetapi prakteknya Pengadilan juga mengakui alasan – alasan lainnya seperti kebenaran pernyataan dan pernyataan yang disebabkan oleh emosi karena suatu keadaan, serta pernyataan tersebut dalam rangka menjalankan perintah undang – undang, dimana alasan – alasan inilah yang menyebabkan terdakwa tidak dipidana Terkait dengan kebenaran pernyataan, Pengadilan Tinggi Depansar mempertimbangkan subyektifitas serta perilaku dari Saksi Korban. Dimana penilaian latar belakang saksi korban yang tidak konsisten menjadi titik tekan dari Pengadilan Tinggi Denpasar64 “Menimbang, bahwa sebaliknya semua alat bukti Jaksa Penuntut Umum (baik saksi maupun surat) tidak ada satupun yang dapat membuktikan bahwa, saudara Anton (saksi korban) adalah orang yang benar-benar dapat dipercayai (bukan manusia berkepala dua), khususnya dalam tugasnya sebagai Pengurus Dewan Paroki (gereja) yang diangkat resmi oleh Uskup setempat ;” Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Pengadilan Tinggi Denpasar berpendapat bahwa, perbuatan pidana penghinaan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa : Herrybertus. J.J.Calame,Spd. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, seperti tersebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum di atas Majelis Hakim mengambil pertimbangan tersebut dengan melihat latar belakang pelapor yang tidak konsisten terhadap penyelesaian masalah dan dengan sikapnya sebagai pengurus gereja dan sudah terjadi kesepakatan perdamaian atara terdakwa dengan pelapor”65 63 64
ibid Lihat Putusan Nomor : 116 /PID/2011/PT.DPS
35
Sementara itu terkait dengan pernyataan yang disampaikan secara emosional, Pengadilan Negeri Bantul mempertimbangkan unsure kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan dalam menyampaikan keluh kesahnya dan kritiknya kemungkinan akan menyinggung orang lain.66 “Menimbang, bahwa menurut pendapat ahli Dr.Muhammad Arif Setiawan,SH.,MH pencemaran nama baik adalah perbuatan yang menyerang orang lain dengan menyertakan suatu perbuatan tertentu jika faktanya memang benar maka itu tergantung nilai subyektifitas orang lain pelaku punya subyektifitasnya sendiri yang kadang-kadang tidak ketemu antara orang yang dituju dengan pelaku karena pelaku kadang tidak bermaksud menyerang kehormatan orang lain terhadap status yang ditulis oleh terdakwa kalau dilihat dari pasal 310 KUHP, kalau dibaca dari kamus besar bahasa Indonesia, tidak terbaca sedikit pun si pembuat kalimat (status Facebook) telah menuduhkan sesuatu tapi yang terlihat mengutarakan keadaan sesuatu;67 Menimbang, bahwa menurut pendapat ahli Dr.Muhammad Arif Setiawan,SH.,MH status yang diposting terdakwa bukan menyerang kehormatan tapi mengatakan suatu keadaan tertentu karena ketidakpuasan dari keadaan suaminya;68 Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut Majelis berpendapat perbuatan terdakwa termasuk Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheid-bewustzijn), yaitu terdakwa memposting status di facebook dengan maksud menuangkan keluh kesahnya dan kritiknya kemungkinan akan menyinggung orang lain dan ternyata status tersebut telah menyinggung saksi Diah Sarastuty alias Ayas namun Majelis berpendapat perbuatan terdakwa memposting status di facebook bukan bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik ataupun fitnah”69 Dalam kasus di Pengadilan Negeri Raba Bima, salah satu alasan pembenar dimana akhirnya terdakwa dibebaskan adalah dalam rangka menjalankan tugas. Dalam kasus ini, Pengadilan Negeri Raba Bima merujuk pada ketentuan Pasal 50 KUHP. “Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpandangan komentar-komentar Terdakwa pada akun Facebook Rangga Babuju tanggal 16 April 2013 adalah dalam rangka Terdakwa menjalankan tugas selaku anggota Panwaslu Kota Bima, sehingga sebagaimana ketentuan Pasal 50 KUHP perbuatan terdakwa tersebut tidak dipidana.”70
65
ibid Lihat Putusan Nomor:196/Pid.Sus/2014/PN.BTL 67 ibid 68 ibid 69 ibid 70 Lihat Putusan Nomor : 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi 66
36
BAB V Penutup Dari berbagai Putusan Pengadilan telah menunjukkan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 27 (3) UU ITE, merupakan tindak pidana yang masih memerlukan banyak penafsiran. Majelis hakim masih memerlukan rujukan yang benar dari berbagai sumber untuk menafsirkan unsur tersebut. Namun ditengah berbagai hujan putusan yang menghukum terpidana pelanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, masih ditemukan beberapa pertimbangan dalam putusan yang dapat dijadikan pelajaran bagi putusan lainnya. Putusan tersebut tersebar dalam banyak putusan yang pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat menjadi pelajaran dalam menangani warga negara Indonesia yang terjerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.di berbagai pengadilan. Baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung. Beberapa pertimbangan penting tersebut mencakup: Pertama, mengenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan absolute. Dalam Pengadilan Negeri Bantul, di sebuah kasus yang melibatkan status di facebook (Kasus Diah Sarastuty Pengadilan) menyatakan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUVI/ 2008 Kedua, Sebagai delik aduan absolut, maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi “korban” penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain “korban”. mengenai penyebutan nama dan muatan penghinaan. Pengadilan Negeri Raba Bima menegaskan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi dengan adanya tuduhan.71dikatakan Apabila dalam suatu pernyataan tidak ada penyebutan nama secara langsung yang dibarengi dengan adanya tuduhan maka pernyataan tersebut tidaklah memiliki muatan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ketiga, mengenai validasi bukti elektronik tersebut. Dalam kasus Muhammad Fajrika Firza alias Boy bin A. Ganie Mustafa yang diduga sebagai pengelola akun twitter @fajriska yang dianggap telah mencemarkan nama baik dari Marwan Effendi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan soal apakah akun @fajriska benar – benar dimiliki atau dikelola oleh terdakwa. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengkonfirmasi kepemilikan akun dengan melakukan eksaminasi dan memperhatikan dari seluruh keterangan saksi – saksi yang dihadirkan di persidangan. Pada pokoknya, berdasarkan keterangan saksi – saksi tersebut, seluruh saksi tidak mengetahui dan melihat apakah akun twitter tersebut benar dimiliki terdakwa
71
Lihat Putusan Nomor : 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi
37
Dalam kasus lain dimana memiliki isu hukum yang serupa di Pengadilan Negeri Makassar72 Zulhamdi Alamsyah. Karena itu Pengadilan Negeri Makassar mempertimbangkan menggunakan dua cara validasi atas hasil print out tersebut yaitu Pertama, dengan cara menghadirkan 2 orang atau lebih yang berteman dalam contact BBM dengan No PIN orang yang dituduhkan untuk membuktikan bahwa pemilik No PIN BBM tersebut adalah benar milik orang tersebut Kedua, jika tidak ada saksi yang menerangkan maka harus dilakukan pemeriksaan melalui digital forensic oleh Ahli ITE untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan No PIN tersebut dan memastikan apakah rangkaian kata – kata yang ditulis tersebut memang benar berasal dari Ponsel dengan akun BBM dan No PIN orang yang dituduhkan itu. Keempat, mengenai validasi alat bukti menjadi kunci untuk membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan pidana. Dalam perkara mengenai percakapan yang dianggap melanggar kesusilaan yang dilakukan melalui medium Facebook, Pengadilan Tinggi Bandungmenempatkan perhatian khusus atas validasi bukti elektronik yang dihadirkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) jo Pasal 6 UU ITE. Pengadilan menyetakan : Bahwa oleh karena bukti berupa foto kopy dokumen elektronik yang print outnya diserahkan oleh saksi pelapor kepada penyidik tanpa disertai dengan aslinya, oleh karenanya haruslah dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat yang sebagaimana diketentuan pasal 6 UU ITE. Kelima, mengenai alasan pembenar. Dalam kasus Prita dimana penghinaan yang menggunakan sarana surat elektronik, Pengadilan Negeri Tangerang telah melakukan penilaian terhadap unsure “tanpa hak”, dimana unsure tersebut tidak terpenuhi karena “Majelis Hakim berpendapat bahwa email Terdakwa sebagaimana telah diuraikan diatas tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dan praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan sembuh dari penyakit”73
72 73
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Makassar No 390/Pid.B/ 2014/PN. Mks Lihat Putusan Nomor: 1269/PID.B/2009/PN.TNG
38
Daftar Pustaka
Aida Ashouri, Caleb Bowers and Cherrie Warden, An Overview of the Use of Digital Evidence in International Criminal Courts, Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014), Amanda R. Ngomane, The Use of Electronic Evidence in Forensic Investigation, University of South Africa, 2010, Amicus Curiae, Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia. 2009. Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, JakartaBarda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, 1996, Barda Nawawi Arief, Batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar tentang Pendekatan Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, 1996, Communication No. 518/1992, Sohn v. Republic of Korea, Views adopted on 18 March 1994. Communication No. 1373/2005, Dissanayake v. Sri Lanka. Digital in Southeast Asia, Simon Kemp, Lihat http://wearesocial.sg/blog/2015/11/digital-southeast-asiaq4-2015/ Freedom on the Net 2015, Country Report Indonesia, Lihat https://freedomhouse.org/report/freedomnet/2015/indonesia Freedom on the Net 2015, Table Country Score, Lihat https://freedomhouse.org/report/freedom-net2015/table-country-scores Fredesvinda Insa (2007) The Admissibility of Electronic Evidence in Court (A.E.E.C.): Fightin against HighTech Crime—Results of a European Study, Journal of Digital Forensic Practice, 1:4, 285-289, DOI: 10.1080/15567280701418049 HukumOnline, Dua Permohonan Pengujian UU ITE Kandas, Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21918/dua-permohonan-pengujian-uu-ite-kandas Judges Awareness, Understanding, and Application of Digital Evidence, Gary Craig Kessler, Graduate School of Computer and Information Sciences, Nova Southeastern University, 2010, Kamus besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, cet. Ke 3, Mardjono Reksodiputro, Sekedar Catatan Sementara tentang Kriminalisasi, Politik Kriminal, dan Asas – asasnya, Lihat http://mardjonoreksodiputro.blogspot.co.id/2013/12/sekedar-catatan-sementaratentang.html
39
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, 1995. Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1995 Resolusi HRC di http://daccess-ddsny.un.org/doc/undoc/gen/g14/082/83/pdf/g1408283.pdf?openelement26/13 Supriyadi Widodo Eddyono, Problem Hukum & Hak Asasi Manusia Dalam Muatan Pasal 27 UU No 11 tahun 2 2008 tentang ITE, ICJR dan IMDLN, 2011 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Jakarta: ICJR dan TIFA, 2012 The Camden Principles on Freedom of Expressionand Equality (Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Artikel 19 dan AJI, 2009. UN Doc E/CN.4/1984/4 2000 – 2010 Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas, ICJR dan IMDLN, 2011, http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67
40
Profil Penulis Anggara, Lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan program kekhususan Hukum Internasional pada tahun 2002. Anggota dari Jaringan Pembela Hukum Media Asia Tenggara (SEA Media Legal Defence Network) dan International Media Lawyers Association (IMLA). Saat ini merupakan peneliti senior serta mengemban jabatan sebagai Ketua Badan Pengurus di ICJR. Sebelumnya merupakan pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung), juga pernah berkarya di LPSK, AJI, PBHI dan Peradi. Asep Komarudin, saat ini aktif sebagai kepala divisi riset dan pengembangan jaringan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers sejak 2013, Aktif di berbagai koalisi masyarakat sipil yang berkaitan dengan pemenuhan dan advokasi Hak Asasi Manusia khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia, juga terlibat aktif dalam menginisiasi beberapa Jaringan Regional untuk perlindungan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara seperti Media Defence Southeast Asia (MD Sea), serta Advocate for Freedom of Expression Coalition – Southeast Asia (AFEC-SEA). Sebelum Bergabung di LBH Pers pernah bekerja di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sebagai generale programe officer untuk Advokasi dan kampanye kebebasan pers selama empat (4) tahun dan menjadi vaolunteer selama 2 tahun di Pusat studi dan Advokasi hak-hak Serikat Pekerja (TURC). Supriyadi Widodo Eddyono, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang saat ini aktif sebagai peneliti senior dan menjabat sebagai Diektur Komite Eksekutif di ICJR. Aktif di Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban – yang sejak awal melakukan advokasi terhadap proses legislasi UU Perlindungan Saksi dan Korban – . Selain itu pernah berkarya di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) sebagai Koordinasi Bidang Hukum dan pernah menjadi Tenaga Ahli di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Erasmus A.T. Napitupulu, menyelesaikan gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, saat ini menjadi peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Bintang Wicaksono Ajie, mendapatkan gelar sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2014. Sempat menjadi relawan pada Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM pada tahun 2013, dan menjadi Asisten Pengacara Publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada tahun 2014-2015 serta Peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktif dalam advokasi beberapa peraturan perundang-undangan seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP). Ajeng Gandini Kamilah, menyelesaikan gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, saat ini menjadi peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Sempat berkarya sementara di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Barat, serta melakukan penelitian bersama Center for Detention Studies (CDS) terkait isu Pemasyarakatan. Saat ini sedang memfokuskan diri pada penelitian tentang perkawinan usia anak, Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP.
41
Profil ICJR
Institute for Criminal Justice Reform, disingkat ICJR, merupakan lembaga kajian independen yang memfokuskan diri pada reformasi hukum pidana, reformasi sistem peradilan pidana, dan reformasi hukum pada umumnya di Indonesia. Salah satu masalah krusial yang dihadapi Indonesia pada masa transisi saat ini adalah mereformasi hukum dan sistem peradilan pidananya ke arah yang demokratis. Di masa lalu hukum pidana dan peradilan pidana lebih digunakan sebagai alat penompang kekuasaan yang otoriter, selain digunakan juga untuk kepentingan rekayasa sosial. Kini saatnya orientasi dan instrumentasi hukum pidana sebagai alat kekuasaan itu dirubah ke arah penopang bagi bekerjanya sistem politik yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Inilah tantangan yang dihadapi dalam rangka penataan kembali hukum pidana dan peradilan pidana di masa transisi saat ini. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, maka diperlukan usaha yang terencana dan sistematis guna menjawab tantangan baru itu. Suatu grand design bagi reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pada umumnya harus mulai diprakarsai. Sistem peradilan pidana seperti diketahui menduduki tempat yang sangat strategis dalam kerangka membangun the Rule of Law, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebab demokrasi hanya dapat berfungsi dengan benar apabila ada pelembagaan terhadap konsep the Rule of Law. Reformasi sistem peradilan pidana yang berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dengan demikian merupakan “conditio sine quo non” dengan proses pelembagaan demokratisasi di masa transisi saat ini. Langkah-langkah dalam melakukan transformasi hukum dan sistem peradilan pidana agar menjadi lebih efektif memang sedang berjalan saat ini. Tetapi usaha itu perlu mendapat dukungan yang lebih luas. Institutefor Criminal Justice Reform (ICJR) berusaha mengambil prakarsa mendukung langkah-langkah tersebut. Memberi dukungan dalam konteks membangun penghormatan terhadap the Rule of Law dan secara bersamaan membangun budaya hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana. Inilah alasan kehadiran ICJR Sekertariat Jl. Siaga II No. 6F. Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan – 12510 Phone/Fax : 0217945455 Email :
[email protected] http://icjr.or.id | @icjrid
42
Profil ABAROLI
The American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA Roli) adalah sebuah organisasi nirlaba yang mengimplementasikan program reformasi hukum di lebih dari 60 negara di seluruh dunia. ABA Roli memiliki hampir 700 orang profesional yang bekerja di berbagai negara dan berkantor Washington, DC. Mitra negara tuan rumah ABA Roli 's termasuk hakim, pengacara, sekolah-sekolah hukum, administrator pengadilan, dewan legislatif, kementerian keadilan dan berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk kelompok-kelompok hak asasi manusia. ABA Roli bekerja dengan mitra dalam negeri untuk membangun institusi yang berkelanjutan dan masyarakat yang memberikan keadilan, menumbuhkan peluang ekonomi dan menjamin penghormatan terhadap martabat manusia. 1050 Connecticut Avenue, NW, Suite 450 Washington, DC 20036, USA P: +1 202 662 1950 F: +1 202 662 1597 E:
[email protected]
43