Pengembangan Model Community Access Point (CAP) pada Masyarakat Pengrajin
Penulis: Ana Nadhya Abrar Budiyono Emmy Poentarie Nur Zaini Daru Nupikso Inasari Widiyastuti Puji Rianto Editor : Dr. Restu Sukesti, M.Hum.
i
Budiyono, dkk. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Demokrasi Bermedia Online Tiara Wacana Lokus: Nopember 2014: Yogyakarta vi + 238 hlm, ISBN 9786027664401 Penulis
Penanggung jawab Ketua Dewan Redaksi Dewan Redaksi
Mitra Bestari Editor Ketua Redaksi Pelaksana Desain Grafis Sekretariat
: Ana Nadhya Abrar Budiyono Emmy Poentarie Nur Zaini Daru Nupikso Inasari Widiyastuti Puji Rianto : Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Yogyakarta : Budiyono, SH., MA. : Drs. Topohudoyo, MPA Dra. Emmy Poentarie, MA Darmanto, S.Pd., MPA Suwarta, SH., MPA : Dr. Ana Nadhya Abrar, Ph.D Puji Rianto, SIP. : Dr. Restu Sukesti, M.Hum. : RM. Agung Harimurti, M.Kom : Novian Anata Putra, S.I.Kom : Vieka Aprilya Intanny, ST.
Penerbit: Tiara Wacana Lokus Jl. Kaliurang Km. 7,8 Kopen Utama No. 16 Yogyakarta Hp. 081392712176, 0274-6651615 Anggota IKAPI Dicetak : CV. Haksoro Sanksi pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta terkait dengan Bab XIII, Ketentuan Pidana 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,-[satu juta rupiah, atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum satu ciptaan dan barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
ii
Pengembangan Model Community Access Point (CAP) pada Masyarakat Pengrajin
KATA PENGANTAR
Perkembangan global teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memicu pertumbuhan komunikasi. Buku Bunga Rampai ini mengupas perkembangan baru dunia komunikasi dengan hadirnya internet sebagai media baru (new media) yang telah banyak dimanfaatkan sebagai media komunikasi di berbagai bidang, termasuk di bidang politik. Topik-topik penelitian bernuansa komunikasi diawali dengan tulisan “Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Sarana Komunikasi Politik”, sebagai pembuka Bunga Rampai kali ini. Berikutnya tulisan yang terkait dengan pemanfataan media online untuk kepentingan politik, yakni berjudul “Kampanye Melalui Media Online: Kasus Implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Kampanye Pemilihan Umum melalui Penggunaan Jasa Telekomunikasi”. Masih berkaitan dengan media online, tulisan berjudul “Bingkai Media Online Tentang Isu Kebijakan Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif,” berorientasi pada pembahasan kebijakan komunikasi. Tiga tulisan di atas menengarai perkembangan media baru dalam dunia politik praktis. Tulisan lain meski tidak mengait langsung dengan komunikasi politik, namun arah perkembangannya ditujukan untuk melihat realisasi kebijakan pemerintah terkait pengembangan infrastruktur di bidang komunikasi, yang berarti pula bersinggungan iii
Budiyono, dkk.
dengan ranah komunikasi politik pemerintah dalam menjembatani kebutuhan akses komunikasi masyarakat. Seperti tulisan “Situs Web Pemerintah Daerah Sebagai Media Meningkatkan Partisipasi Publik Melalui Menu Informasi dan Interaksi,” mengisahkan implementasi situs website pemerintah daerah untuk penyediaan ruang publik, meski penerapannya masih minimalis. Demikian juga pengembangan Rencana Pita-lebar Indonesia (RPI), dalam tulisan berjudul “Menimbang Kebijakan Supply-Demand Side Dalam Perpres No. 96 Tahun 2014 Tentang Rencana Pitalebar Indonesia 20142019,” yang menyimpulkan bahwa Indonesia siap menyaingi beberapa negara di Asia dalam rangka membangun pita-lebar demi tersedianya akses yang lancar ke informasi superhighway. Dengan lancarnya informasi superhighway, harapannya tentu saja, masyarakat makin bebas berkomunikasi. Demikian kiranya Buku Bunga Rampai Hasil Penelitian edisi kedua Tahun ini, produk BPPKI Yogyakarta bekerjasama dengan Mitra Bestari dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat di Yogyakarta, mencoba memberi gambaran perkembangan internet dalam memenuhi perkembangan kebutuhan media komunikasi, baik di kalangan pemerintah, elit politik dan masyarakat. Semoga memberi manfaat bagi pihak-pihak yang berkompeten sesuai bidangnya. Yogyakarta, November 2014 Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta, Kepala, Eka Handayani, SE., MM. NIP. 19650818.199003.2.002 iv
Pengembangan Model Community Access Point (CAP) pada Masyarakat Pengrajin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................ DAFTAR ISI ....................................................................
iii v
PROLOG: Kebebasan Berkomunikasi ............................. Ana Nadhya Abrar ...........................................................
1
Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Sarana Komunikasi Politik ........................................................................ Budiyono ............................................................................. 23 Kampanye Melalui Media Online : Kasus Terhadap Implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2014 ................................................... Emmy Poentarie.................................................................... 57 Isu Kebijakan tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dalam Pemberitaan Media Online Nur Zaini ........................................................................ 83 Situs Web Pemerintah Daerah Sebagai Media Meningkatkan Partisipasi Publik Melalui Menu Informasi dan Interaksi ....................................................................... Daru Nupikso ........................................................................ 143 Menimbang Kebijakan Supply-Demand Side dalam Perpres No 96 Tahun 2014 Tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 ...................................................................... Inasari Widiyastuti ............................................................... 171
v
Budiyono, dkk.
EPILOG: Menjawab Kebutuhan Penelitian Komunikasi dan Media di Era Baru ......................................................... Puji Rianto ............................................................................ 211 Penulis
vi
........................................................................ 233
Inasari Widiyastuti
Menimbang Kebijakan Supply-Demand Side dalam Perpres No 96 Tahun 2014 Tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 Inasari Widiyastuti
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, upaya menstimulasi penetrasi pitalebar (broadband) menjadi perhatian khusus pembuat kebijakan di banyak negara, terutama di negaranegara berkembang. Kondisi ini salah satunya didorong oleh temuan empiris adanya pengaruh signifikan pitalebar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (Lee & Brown, 2008; Koutrompis, 2009; Katz, 2011; Bojnec & Imre, 2012). Secara ilmiah, penetrasi pitalebar berimpak pada pertumbuhan pendapatan domestik (Koutrompis, 2009; Ng, Lye, & Lim, 2013), mengurangi tingkat kemiskinan (Doong & Ho, 2012), meningkatkan laju tenaga kerja (Widiyastuti, 2013), dan meningkatkan kualitas pendidikan (Shirazi, Gholami, & Higon, 2009). Temuan empiris yang didukung oleh pergeseran dan perkembangan kepentingan pasar global ini, telah memicu 171
Menimbang Kebijakan Supply- … banyak negara menelaah faktor-faktor pendorong penetrasi pitalebar. Berdasarkan kajian, terdapat beberapa faktor yang mendorong penetrasi pitalebar baik dari sektor ekonomi, sosiodemografi, teknologi, maupun politik. Secara umum, faktor tersebut meliputi tingkat pendapatan per penduduk, nilai investasi TIK (teknologi informasi dan komunikasi), laju inflasi, tingkat dan kualitas pendidikan, populasi dan kepadatan penduduk, penetrasi TIK lainnya, serta arah kebijakan TIK yang berlaku. Tiap-tiap faktor memiliki pengaruh yang berbeda pada tiap level ekonomi. Apa yang berlaku di negara maju bisa jadi tidak dapat berlaku di negara berkembang. Bahkan apa yang berlaku di negara maju atau berkembang tidak dapat diterapkan pada negara sesama (tingkat ekonomi yang sama). Kondisi ini dimungkinkan karena karakteristik yang berbeda pada tiap negara. Secara nyata, tidak ada satu cara yang seragam untuk menstimulasi penetrasi pitalebar kecuali berbasis pada best experience (Kim, Kelly, & Raja, 2010). Kendati demikian, baik secara empiris maupun pengalaman terbaik, ketersediaan kebijakan terkait pitalebar baik berbentuk kebijakan, regulasi, maupun program, berpengaruh secara signifikan terhadap penetrasi pitalebar. Menurut analisis data panel pada beberapa negara maju dan berkembang, ketersediaan National Broadband Plan (NBP) berpengaruh secara signifikan sebesar 2,5% bagi peningkatan penetrasi fixed broadband. ITU (2013) pernah merilis bahwa, negara dengan NBP memiliki tingkat penetrasi fixed broadband 8,7% lebih tinggi dibandingkan negara tanpa 172
Inasari Widiyastuti NBP dan 18,6% lebih tinggi untuk penetrasi mobile broadband. Organisasi Komisioner Broadband (Broadband Commission Organisation) mengungkapkan bahwa NBP, apa pun bentuknya, menjadi panduan bagi tiap negara untuk tidak hanya meningkatkan penetrasi dan adopsi pitalebar tetapi juga menjadi pijakan arah pembangunan dan pengembangan pitalebar yang kontributif bagi ekonomi nasional. Hingga kemudian mereka menetapkan bagi negara-negara anggotanya untuk memiliki NBP hingga tahun 2015, termasuk Indonesia. Dengan jumlah populasi pada tahun 2012 sebesar 246 juta jiwa, pengguna layanan pitalebar di Indonesia telah mencapai 2,98 juta pengguna. Setara dengan tingkat penetrasi 1,21%. Tingkat penetrasi pitalebar di Indonesia mengalami peningkatan menurut deret eksponensial. Jika disandingkan bersama negaranegara dengan tingkat penetrasi tinggi, posisi Indonesia masuk dalam 20 besar dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Posisi Indonesia tidak hanya sejajar dengan China, India, Brazil, dan Russia, tetapi juga memiliki karakteristik yang serupa. Menurut I Nyoman G Wiryanta (Director of Consumen PT. Telkom), tingginya tingkat penetrasi di Indonesia mengindikasikan bahwa pitalebar berkecepatan tinggi sudah sangat dibutuhkan, sama seperti kebutuhan terhadap listrik. Hal senada juga dikemukan oleh M. Budi Setiawan (Ditjen SDPPI Kemkominfo), layanan pitalebar di Indonesia haruslah semurah sembako dan mencakup 30% wilayah negara secara keseluruhan dan meliputi 75% kota besar/kabupaten. Oleh karenanya, Indonesia membutuhkan NBP yang berperan dalam percepatan konektivitas cyber173
Menimbang Kebijakan Supply- … space, percepatan transfer knowledge based economy, peningkatan produktivitas, serta pendukung kompetisi ekonomi global (Ridwan). Pada mulanya, laju pembangunan pitalebar di Indonesia tidak memiliki payung kebijakan yang relevan. Regulasi yang ada tidak mengakomodasi perkembangan teknologi pitalebar yang bergerak cepat. Dapat dikatakan, pemangku kebijakan tertatih-tatih mengikuti tren teknologi dan akhirnya tertinggal. Ketertinggalan ini menimbulkan problematika yang mengkhawatirkan jika tidak tidak disikapi segera. Terutama dalam hal kompetisi pasar yang terbuka, perlindungan konsumen, dan kemanfaatan nasional. Meski telah diperbincangkan secara intens, arah kebijakan pembangunan pitalebar di Indonesia yang legal belum jua muncul. Beberapa kebijakan pitalebar yang telah hadir hanya mengakomodasi pada sisi infrastruktur dan bersifat silo. Hingga di pertengahan 2014, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesa (RPI). Perpres 96/2014 ini bertujuan unuk memberikan arah dan panduan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan pitalebar yang komprehensif dan terintegrasi untuk periode 2014-2019. Adanya RPI diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Jika mengaca pada perkembangan teknologi pitalebar, kehadiran kebijakan ini tergolong telat. Telah banyak bermunculan penyelenggara layanan baru dan incumbent yang menyasar teknologi ini bahkan telah 174
Inasari Widiyastuti memasarkannya ke publik. Padahal, persoalan mendasar berupa infrastruktur (spectrum frekuensi, perijinan, regulasi) belum ditangani oleh pemerintah. Tatkala regulator masih berkemelut bagaimana pengaturan frekuensi dan proses perizinan, pihak penyelenggara telah mencuri start dengan menggelar infrastruktur backbone. Maka tak heran jika kemudian regulator berada pada posisi terdesak untuk mempercepat proses alokasi frekuensi dan perijinan tanpa perencanaan yang jelas bagaimana arah pembangunan pitalebar yang memberi kemanfaatan secara nasional. Manakala hal ini dibiarkan, persoalan pitalebar sebagai kanal hiburan yang non-produktif seperti teknologi sebelumnya akan kembali terjadi. Dengan demikian, tak layak rasanya jika pejabat publik justru mempertanyakan kemanfaatan kecepatan dan lebar data yang ditingkatkan jika hanya untuk aktivitas non-produktif seperti yang pernah terjadi di masa kabinet akhir SBY. Karena sejatinya, pertanyaan tersebut menjadi tugas regulator untuk mengatur dan merealisasikan tujuan pembangunan pitalebar itu sendiri. Perpres 96/2014 tentang RPI ini merupakan kebijakan publik yang bersifat makro (umum) dan mendasar. Tidak seperti kebijakan publik lainnya yang memaparkan secara detil, kebijakan ini hanya menjelaskan arah, tujuan, dan rencana strategis pembangunan pitalebar secara umum. Meskipun demikian, ini menjadi keleluasaan bagi masing-masing pemangku kebijakan untuk mengambil peran sesuai dengan porsi dan fungsinya. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh NBP termasuk 175
Menimbang Kebijakan Supply- … RPI terhadap penetrasi pitalebar melalui pengamatan empiris pada 5 (lima) negara Asia dengan tingkat penetrasi pitalebar tinggi selama kurun waktu 12 tahun (2001 hingga 2012). Negara Asia tersebut meliputi Cina, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang. Pengaruh NBP ini akan berimpak pada peran Perpres 96/2014 tentang RPI terhadap ketercapaian tujuannya melalui studi peramalan dan benchmarking mengacu pada pengalaman terbaik negara-negara Asia tersebut. Tulisan ini juga menelaah kelayakan RPI pada sisi penyedia (supply side) dan sisi pengguna (demand side) sebagaimana yang direkomendasikan oleh organisasi internasional dan studi relevan tentang NBP yang baik. PERAMALAN DAN BENCHMARKING BEST PRACTICE EXPERIENCE SEBAGAI ALAT ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PITALEBAR Kebijakan publik merupakan ranah kepentingan khalayak yang mendapat pemahaman berbeda dari sisi para pelaku kebijakan. Di sini, hajat hidup orang banyak akan dipertaruhkan sehingga ketidakmatangan dan ketidaksiapan pada saat perencanaan dan implementasi akan menjadi bumerang bagi khalayak. Seperti yang dikemukan Thomas R. Dye dalam Winarno (2013) bahwa kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Pilihan ini akan memicu serangkaian kegiatan yang saling berhubungan (kausalitas) beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang terlibat atau terimpak pada pilihan tersebut (Richard Rose dalam Winarno, 2013). Kendati demikian, James 176
Inasari Widiyastuti Anderson (dalam Winarno, 2013) berpendapat bahwa kebijakan publik mengarah pada upaya-upaya yang ditetapkan oleh sejumlah aktor (pembuat kebijakan) untuk mengatasi suatu persoalan. Artinya, ada tujuan yang hendak dicapai dari upaya pengambilan keputusan dan arahan tersebut. Meski banyak pakar silang pendapat tentang konsep kebijakan publik, setidaknya ada titik pijak yang perlu dipahami bersama, bahwa kebijakan publik merupakan upaya dan tindakan yang ditempuh oleh pembuat kebijakan untuk mengatasi persoalan khalayak dalam mencapai tujuan tertentu, dengan mempertimbangkan implikasi logis yang mungkin akan dihadapi. Konsep ini membawa kita pada pada anggapan bahwa kebijakan memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Kapasitas untuk meramalkan masa depan sebuah kebijakan menjadi sangat penting bagi keberhasilan kebijakan itu sendiri. Menurut Dunn (1991), peramalan (forecasting) adalah suatu prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial masa depan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Tujuannya tidak lain untuk mengontrol. Yakni, upaya untuk merencanakan dan menetapkan kebijakan sebagai segugus tindakan terbaik yang dapat dipilih di antara berbagai kemungkinan pilihan yang ada (Dunn, 1991). Peramalan memungkinkan untuk membentuk masa depan yang bebas dan lepas dari masa lalu, meski upaya-upaya peramalan tidak lepas dari kondisi nyata yang terjadi di masa lalu. Seperti pada peramalan ekstrapolasi. Peramalan ekstrapolasi merupakan 177
Menimbang Kebijakan Supply- … pendekatan analisis peramalan kebijakan yang menganalisis dan membuat proyeksi masa depan atas dasar data masa kini dan masa lalu (time series analysis). Salah satu bentuk peramalan yang memungkinkan untuk dilakukan adalah time series analysis (analisis deret waktu), yakni meninjau kemungkinan beberapa variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Tulisan ini menggunakan analisis deret waktu untuk mengetahui pengaruh NBP terhadap penetrasi pitalebar dengan pendekatan data panel. Analisis data panel tidak hanya meninjau satu obyek saja tetapi juga beberapa obyek dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal ini, penulis menggunakan data panel 5 (lima) negara di Asia yang dinilai memiliki tingkat penetrasi pitalebar yang sangat tinggi dengan jumlah penduduk, luas kawasan, dan iklim ekonomi serta demokrasi yang setara. Kelima negara tersebut terdiri dari 3 (tiga) negara berkembang yaitu Cina, India, Indonesa dan 2 (dua) negara maju yaitu Korea Selatan dan Jepang. Untuk mendapatkan perkiraan pengaruh NBP terhadap penetrasi pitalebar, digunakan data pada rentang waktu 12 tahun yaitu dari tahun 2001 hingga 2012. Rentang waktu ini adalah sebelum dan sesudah berlakunya NBP di negara tersebut. Beberapa variabel pembanding yang disertakan dalam analisis adalah GDP per kapita, jumlah populasi penduduk produktif (usia 15-65 tahun), kepadatan penduduk per km2, laju tenaga kerja, indeks pembangunan manusia (high development index, HDI), ketersediaan regulasi, dan penetrasi teknologi lainnya 178
Inasari Widiyastuti seperti telepon tetap, internet, dan telepon seluler. Data tersebut diperoleh dari bankdata ITU dan World Bank. Selanjutnya, untuk mendapatkan kajian yang komprehensif, hasil forecasting ini akan ditunjang dengan analisis pembanding (benchmarking) terkait pengalaman terbaik (best practice experience) kelima negara tersebut. Utamanya untuk mengetahui performansi strategis yang diterapkan oleh Cina, India, Korea Selatan, dan Jepang dalam mendorong pembangunan pitalebar yang berkelanjutan. Hasil pembandingan ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk mengadopsi hal-hal baik sehingga sasaran-sasaran strategis dalam Perpres 96/2014 tentang RPI ini dapat dicapai dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien. Pada akhirnya, mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional secara merata dan berkeadilan. REGULASI (NBP) SEBAGAI FAKTOR PENDORONG PENETRASI DAN PEMBANGUNAN BROADBAND Adopsi teknologi pitalebar di kelima negara selalu lebih dulu terjadi dibanding implementasi kebijakan terkait. Meski pada beberapa negara, rencana pembangunan pitalebar telah dirumuskan dan dilaksanakan, penetapannya baru berlaku 3-4 tahun terakhir. Sebagian besar negara maju, meluncurkan NBP setelah memperoleh kematangan dalam infrastruktur dan adopsi pitalebar. Sebut saja US (2010), Canada (2010), Denmark (2010), dan UK (2010). Hanya segelintir negara dengan tingkat penetrasi pitalebar tinggi yang memiliki NBP lebih dahulu. Di antaranya Norwegia (2002), Korea Selatan (2005), Jepang (2003), Singapura 179
Menimbang Kebijakan Supply- … (2005), Finlandia (2005), Yunani (2006), dan Irlandia (2008). Sementara itu, di negara-negara Asia (mayoritas adalah negara berkembang), NBP baru dimiliki di akhir tahun 2010 dengan tingkat penetrasi pitalebar yang masih rendah, meski beberapa negara menunjukkan tingkat penetrasi pitalebar yang sangat tinggi. Tabel 1. Adopsi NBP Beberapa Negara dan Tingkat Penetrasi Pitalebarnya
Negara
Tahun Adopsi
Norwegia
2001
Singapura
2005
Finlandia
2005
Yunani
2006
Irlandia
2008
US
2010
Canada
2010
Denmark UK
2010 2010
180
Nama NBP
Action Plan Broadband Communication Intelligent Nation 2015 (iN2015) Broadband 2015 Project, Kainuu Information Society Strategy 2007-2015 Digital Stratgey 20082013 Ireland’s Broadband Strategy Conneting America: The National Broadband Plan Broadband Canada: Connecting Rural Canadians Digital Work Programme Britain’s Superfast
Tingkat Penetrasi Pitalebar Tahun 2012* 36,900 25,441 30,400
23,500 22,700 28,348
32,477
38,777 34,039
Inasari Widiyastuti Korea Selatan
2005 2009
Jepang
2003 2010
Cina
2010
India
2011
Indonesia
2010 2014
Thailand
2010
*per
broadband Future Broadband Convergence Network Ultra Broadband Convergence Network E-Japan Strategy II New Broadband Super Highway (Haraguchi Vision II) Three Network Convergence: National Government Investment National Optical Fibre Network Priorities of MCIT 20102014 Rencana Pembangunan Pitalebar 2014-2019 (Perpres 96/2014) The National Broadband Policy
37,247
27,733
12,721
1,211 1,208
8,151
100 penduduk
Indonesia, India, Thailand, dan Malaysia adalah sebagian kecil negara Asia yang menetapkan NBP dan pertumbuhan penetrasi pitalebar masih rendah. Berbeda dengan Cina, NBP-nya telah mengalami beberapa kali pengembangan karena telah tercapainya target-target. Hal ini dikarenakan ambisi implementasi pitalebar di Cina telah diawali sejak tahun 2002 melalui pengembangan standar TD-SCDMA dan pengalokasian frekuensi 3G. Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan, di mana layanan pitalebar telah diperkenalkan sejak 1998 hingga mencapai pasar yang matang (market maturity) 181
Menimbang Kebijakan Supply- … di tahun 2005. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara Asia meletakkan rencana pembangunan pitalebar pada sisi infrastruktur dan mengabaikan impak lebih besar yang dimungkinkan terjadi dari pembangunan ini. Selain dari tuntutan global akan pentingnya perencanaan pembangunan. Fakta ini memperlihatkan bahwa negara-negara Asia belum menetapkan target pembangunan pitalebar yang terarah den berkelanjutan. Kendati laju penetrasi pitalebar meningkat dari tahun ke tahun (kecuali Korea, sempat teralami masa saturasi di tahun 2008). Oleh karena ittu, penting untuk melihat proyeksi NBP terhadap penetrasi pitalebar di masa depan. Hasil analisis data panel dengan pendekatan runtun waktu di kelima negara Asia menunjukkan beberapa faktor yang mendorong penetrasi pitalebar, seperti yang diperlihatkan pada tabel 2. GDP per kapita dan laju tenaga kerja, meski memiliki pengaruh yang sangat kecil tetap signifikan dalam mendorong penetrasi pitalebar. Demikian pula pada populasi dan kepadatan penduduk serta penetrasi TIK lainnya. Hal yang menarik diperlihatkan oleh peran NBP. Perhitungan secara empiris mengindikasikan tingginya tingkat signifikansi NBP terhadap penetrasi pitalebar dengan koefisien 2,2317. Artinya, ketersedian NBP akan mampu menstimulusi penetrasi pitalebar hingga 2,2317%, sedangkan pengaruh paling tinggi diperlihatkan oleh indeks pembangunan manusia (HDI) yang berkontribusi 26,47% bagi peningkatan penetrasi pitalebar. Proyeksi ini memberi informasi awal bahwa NBP berperan dalam penetrasi pitalebar tetapi impaknya akan jauh lebih 182
Inasari Widiyastuti besar jika NBP memperhatikan upaya-upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusianya. Ada strategi paralel berkelanjutan yang harus dimainkan di sini.
Tabel 2. Hasil Analisis Data Panel-Runtut Waktu Faktor Pendorong Penetrasi Pitalebar Variabel Independen GDP Kapita Populasi Usia Produktif Kepadatan Penduduk Laju Tenaga Kerja Indeks Pembangunan Manusia Ketersediaan Regulasi (NBP) Penetrasi Fixed Phone Penetrasi Internet Penetrasi Mobile Phone R-squared
Coefficient 6.80E-07 -0.4049 0.0114 1.78E-08 26.4666
t-Statistic 7.12566 -2.49986 2.38888 3.61890 1.99081
Prob.
2.2317
2.92932
0.0051
-0.1086 0.3666 -0.0660
-3.09105 9.09887 -4.10657
0.0032 0 0.0001 0.9842
0 0.0157 0.0206 0.0007 0.0519
Ng, Lye, dan Lim (2013) mengungkapkan bahwa strategi dalam perencanaan dan pembangunan pitalebar mutlak diperlukan sehingga dapat memberikan kemanfaatan nasional secara menyeluruh. Strategi apa pun penting dirumuskan oleh pemangku kebijakan, di antaranya kebijakan terkait rencana subsidi, investasi, dan pajak yang mungkin akan mendorong penetrasi pitalebar. Kebijakan di bidang TIK (termasuk pitalebar) yang ekosistemnya didefinisikan secara baik akan mampu mengatasai hambatan dan tantangan yang 183
Menimbang Kebijakan Supply- … dihadapi, memberdayakan konsumen, mengatasi dikriminasi pola pasar layanan TIK, sehingga mencapai tujuan yang diharapkan (Paleologos & Palemis, 2013). ITU menggambarkan NBP sebagai kunci yang mempertemukan berbagai kepentingan stakeholders tanpa mengabaikan peran satu dengan lainnya. NBP dipandang sebagai proses ke depan untuk membangun konsensus bersama terhadap visi pembangunan pitalebar. Oleh karenanya, ITU merekomendasikan siklus rencana pembangunan pitalebar yang memberikan outcome seperti yang diharapkan. Meski tidak ada jaminan bahwa NBP adalah segala-galanya dalam pencapaian tujuan itu tetapi dapat mengurangi kemungkinan negatif yang terjadi di masa datang. BENCHMARKING NATIONAL BROADBAND POLICY Perbandingan terhadap pengalaman implementtasi NBP di Cina, India, Korea Selatan, dan Jepang merupakan tahap selanjutnya selepas analisis empiris peran NBP terhadap penetrasi pitalebar. Indikasi positif NBP terhadap laju penetrasi pitalebar membawa kita pada pertanyaan pengalaman terbaik apa yang telah dilakukan oleh negara-negara ini sehingga sukses dalam pembangunan pitalebar. Berikut adalah kebijakan pitalebar yang berlaku di keempat negara tersebut.
184
Inasari Widiyastuti Grafik 1. Tingkat Penetrasi Pitalebar Berbanding Pendapatan Nasional dan Populasi Penduduk (dalam lognormal) 25 20 15 10 5 0
BB_SUB GDPC POP CHINA
INDIA
INDONESIA
JEPANG
KOREA SELATAN
(Sumber: hasil pengolahan dari ITU dan Worldbank)
1. Kebijakan Pitalebar di Cina Rezim kebijakan bidang TIK di Cina sejatinya telah dimulai sejak 1989 melalui Decre No. 216 yang menyatakan bahwa jaringan telekomunikasi adalah infrastruktur nasional yang berada di bawah kendali negara untuk menjamin keamanan dan kedaulatan bangsa. Mulanya, Cina memandang bahwa TIK merupakan alat pertahanan dan keamanan negara bukan sebagai enabler kesejahteraan rakyat. Paradigma ini meski telah bergeser tetap berpijak hingga saat ini. Terlihat dari pemblokiran beberapa situs global dan situs tandingan yang dikaryakan oleh bangsa sendiri tetapi justru secara mengejutkan menjadi situs global (contoh Alibaba dan Baidu). Ambisi Cina untuk merajai dunia di bidang TIK telah terlihat sejak lama, termasuk pada teknologi pitalebar. Di tahun 2000, Cina merekomendasikan standar 3G internasional bernama TDSDCMA ke ITU. Standar ini kemudian diterima dan menjadi standar internasional bersanding dengan 185
Menimbang Kebijakan Supply- … WCDMA (hasil riset negara-negara Eropa) dan CDMA2000 (buatan US). Cina, menjadi satusatunya negara Asia yang merekomendasikan dan diterima standar teknologi pitalebar-nya secara internasional. Ini berarti bahwa upaya Cina telah dimulai sebelum tahun 2000 melalui riset-riset. Program pembangunan pitalebar di Cina diawali dengan Next Generation Wireless Broadband Porgam di tahun 2006 sebagai bagian “Repelita” versi Cina dengan menitikberatkan pada research and development (RnD) teknologi strategis. Dilanjutkan dengan peluncuran National Wireless Mega Program di tahun 2008 dengan memasukkan teknologi 4G sebagai fokus pembangunan nasional. Dan akhirnya ditetapkan tahun 2010 sebagai awal NBP melalui “Three Network Convergence-National Government Investment”. Cina merumuskan kebijakan-kebijakan tersebut dalam beberapa langkah strategis yang sukses, diantaranya (Kshetri & Nikhilesh, 2007; Nam, Kim, Lee, & Duan, 2009; Yu, Zhang, & Gao, 2012): 1) Menerapkan kebijakan “Open Door”/Pintu Terbuka, di mana Cina mendorong hadirnya dukungan finansial dari pihak luar untuk berinvestasi membangun infrastruktur telekomunikasi nasional secara luas. Pembangunan infrastruktur TIK tidak mungkin dilakukan oleh Cina seorang diri mengingat sangat luasnya cakupan wilayahnya. Kebijakan “Pintu Terbuka” ini merupakan inisiasi dari Den Xioping yang terbukti manjur bagi pembangunan nasional Cina. Kendati demikian, 186
Inasari Widiyastuti
2)
3)
4)
5)
ada pra syarat yang dipegang teguh oleh pemerintah Cina terhadap masuknya investor dan dinamisasi pasar TIK. Gencarnya RnD teknologi yang berkaitan dengan pitalebar. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, adopsi pitalebar di Cina dimulai dari riset-riset yang mendalam. Sepanjang 2008-2011, Cina telah menghasilkan 141 RnD pitalebar. Cina juga mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggunakan inovasi hasil RnD nasional. Termasuk menerapkan standar TD-SDCMA sebagai standar nasional dan menolak penggunaan standar lainnya. Cina juga mendorong perusahan TIK untuk melebarkan sayap ke dunia internasional. Indonesia termasuk negara yang bergantung pada teknologi dari perusahaan Cina. Dua perusahaan Cina yang tidak hanya berkembang pesat tetapi juga menopang backbone nasional adalah Huawei dan ZTE. Adanya intervensi pemerintah Cina dalam struktur pasar pitalebar. Meski Cina mengundang investor masuk, kendali tetap dipegang oleh pemerintah. Pengambilan keputusan di sektor TIK dipengaruhi secara signifikan oleh perjanjian makro-politik dan acapkali berorientasi pada misi nasional. Di Cina, pembangunan (termasuk struktur pasar) TIK mengikuti kebijakan, technology follow the politic rules. Cina mengembangkan layanan pitalebar nasional melalui layanan e-banking, e-government, elearning, dan telemedicine. 187
Menimbang Kebijakan Supply- … 2. Kebijakan Pitalebar di India Beberapa pakar berpendapat bahwa kebijakan pitalebar di India tidak jauh berbeda dengan di Cina. Hal ini dikarenakan karakteristik wilayahnya yang luas berupa daratan dengan populasi penduduk sangat tinggi. Menurut Kshteri dan Nikhilesh (2007), itikad pembangunan pitalebar di India dimulai tahun 2004. Upaya ini ditempuh dengan mengurangi hambatan penggelaran infrastruktur dengan cara meningkatkan kompetisi, mengijinkan incumbent melakukan perjanjian franchise dengan kompetitor, dan menurunkan tarif layanan. India sangat berniat menggelar jaringan infrastruktur pitalebar hingga pelosok. Karena tidak memiliki laut untuk membangunan kabel bawah laut (seperti Indonesia), India justru meluncurkan satelit Kuband untuk layanan nasional dan menyewakan transponder ke pihak asing serta membangun jaringan pitalebar yang mengikuti jaringan jalur kereta api. India satu-satunya negara dengan jaringan jalur kereta api terbesar di dunia. Berbeda dengan Cina, India menerapkan kebijakan terbalik terhadap investor dimana mereka sangat fleksibel terhadap keinginan pasar. Di India, politic rules follow the technology. Visi pitalebar di India adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya khususnya di daerah rural. Visi ini dikatalisasi melalui National Optical Fibre Network (2010) dan India’s Digital Divide (2009) melalui sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, pemerintahan, dan entrepre188
Inasari Widiyastuti neurship. Program kesehatan yang didukung oleh teknologi pitalebar diimplementasikan melalui National Rural Health Mission (NHRM). Pemerintah India berkeyakinan pitalebar dapat menjadi enabler untuk efisiensi dan efektifitas biaya layanan administrasi dan tindakan layanan kesehatan yang menjangkau lebih dari 168 juta penduduk rural. Dan sebagai negara pertanian, pemerintah India merencanakan aplikasi pertanian yang memakan banyak bandwidth (teknologi pitalebar akan sangat menolong) untuk menyokong produktivitas pertanian dan mengalokasikan dana USO untuk pembangunan jaringan dan konten. 3. Kebijakan Pitalebar di Korea Selatan Korea Selatan merupakan negara dengan tingkat penetrasi pitalebar tertinggi di Asia dan diperhitungkan di antara negara OECD. Dengan jumlah populasi 50 juta jiwa (tahun 2012), pengguna layanan pitalebar telah mencapai 18,2 juta jiwa. Jika penduduk non-produktif tidak diperhitungkan, ini berarti setiap penduduk telah menikmati dan menggunakan layanan pitalebar. Capaian ini tidak terlepas dari sejarah pembangunan pitalebar yang cukup panjang di Korea Selatan. Tahap adopsi layanan pitalebar secara komersial dimulai sekitar tahun 1998-1999. Secara dramatis, tingkat penetrasi pitalebar melonjak tinggi hingga tahun 2002 (tingkat penetrasi 22,41%). Dalam jangka waktu 3 tahun, seperempat dari penduduk Korea Selatan telah menggunakan layanan pitalebar. Pasar pitalebar di Korea Selatan mencapai kematangan189
Menimbang Kebijakan Supply- … nya sekaligus masa saturasi di tahun 2005. Pasar pitalebar mengalami kejenuhan sehingga diperlukan dobrakan untuk mendorong semangat berkompetisi dan berinovasi. Ketika pasar global masih disibukkan dengan teknologi pitalebar, Korea Selatan telah mengambil ancang-ancang teknologi ultra broadband (tahun 2009). Sehingga kemudian, Korea Selatan terkenal sebagai negara yang memperkenalkan konsep ubiquitous country, konsep negara yang terhubung jaringan secara luas kapan pun dimana pun layanan apapun. Ki-young (2013) mencatat beberapa kunci sukses pembangunan pitalebar di Korea Selatan yaitu (1) kebijakan yang konsisten dan kuat dimana pemerintah memegang kendali proses pembangunan dari tahap perencanaan hingga implementasi, (2) mendorong pasar yang kompetitif agar pengguna merasakan layanan berkualitas dengan tarif terjangkau, (3) mengupayakan kesenjangan yang kecil antara infrastruktur dengan layanan TI, dan (4) menciptakan jaringan bisnis yang handal dengan membuat kerangka kebijakan yang mendorong investasi. Sedangkan Kim et al (2010) mengkaji kesuksesan pitalebar di Korea Selatan karena adanya kebijakan yang kuat baik pada sisi hulu (supply-side) seperti kebijakan infrastruktur, industri, kompetisi, dan regulasi serta pada sisi hilir (demand-side) berupa pembangunan aplikasi layanan publik dan peningkatan literasi digital. 4. Kebijakan Pitalebar di Jepang 190
Inasari Widiyastuti Kebijakan pitalebar di Jepang telah dimulai tahun 2001 melalui E-Japan Strategy I. Kebijakan ini berfokus pada pembangunan infrastruktur, layanan TI (e-commerce dan e-government), dan sumber daya manusia. Di tahun 2003, kebijakan tersebut mengalami pengembangan menjadi E-Japan Strategy II dengan fokus pada aplikasi TI dan mendorong pemanfaatan TI yang efektif dan efisien. Setelahnya, Jepang menetapkan i-Japan Strategy 2015 (ditetapkan tahun 2009) yang menyatakan bahwa pitalebar setara dengan sumber daya dasar lainnya serta meletakkan pilar pembangunan pada layanan pemerintahan, kesehatan, dan pendidikan. Sebelum tahun 2015, target ubiquitous network yang direncanakan telah tercapai di tahun 2010. Salah satu kebijakan TIK di Jepang yang sangat mendorong pembangunan pitalebar adalah kebijakan unbundling (adanya sharing infrastruktur dalam pasar telekomunikasi yang terbuka dan kompetitif). Disini, pemerintah Jepang berstrategi menerapkan secara tandem antara liberalisasi dan privatisasi dalam membentuk pasar yang kompetitif. Seperti halnya Korea Selatan, Jepang tidak mengalami kesulitan adopsi teknologi diversifikasi dari adanya jaringan dan layanan pitalebar yang telah matang ini, seperti layanan TV digital. Kondisi ini agak berbeda dengan Indonesia yang menerapkan prinsip terbalik, pembangunan komponen TV digital dulu baru pitalebar sehingga kemudian mengalami kendala deployment di beberapa sisi. 191
Menimbang Kebijakan Supply- … 5. Kebijakan Pitelebar di Indonesia Penetrasi pitalebar di Indonesia sebenarnya telah dimulai saat maraknya penetrasi internet dimana kebutuhan akan bandwidth yang besar semakin tinggi. Di tahun 2002, tingkat penetrasi pitalebar sebesar 0,0178 (38,300 pengguna) yang didominasi daerah urban dan perkantoran. Setelahnya, tingkat penetrasi meningkat secara sangat lambat. Indonesia baru berhasil membukukan tingkat penetrasi di atas 1% pada tahun 2011. Butuh waktu 10 tahun untuk mencapai posisi ini. Padahal, dalam waktu bersamaan, tingkat penetrasi internet dan mobile phone tumbuh dengan sangat cepat. Terutama mobile phone, yang secara khusus membutuhkan bandwidth besar karena pergeseran komunikasi menuju komunikasi data. Kondisi ini sangat wajar karena pemerintah tidak melakukan upaya yang sistematis untuk menggenjot tingkat penetrasi pitalebar. Pemerintah baru disadarkan ketika alokasi spektrum frekuensi terbatas, tren teknologi telah berubah, dan pasar yang terus menuntut pemerintah untuk lebih proaktif. Meski pun telah ada kebijakan 10 Program Prioritas Kemkominfo (tahun 2010), kebijakan ini dirasa belum mengakomodir aspek dasar pembangunan pitalebar yang berkelanjutan. Beberapa kebijakan yang ditetapkan (oleh Kemkominfo) baru sebatas pada aspek teknis. Rencana pembangunan pitalebar yang lebih komprehensif, tertata dan terarah, baru dipersiapkan tahun 2012 melalui berbagai working group dan ditetapkan di pertengahan tahun 2014 dengan 192
Inasari Widiyastuti nama Perpres No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia (RPI). Best practice di kelima negara tersebut memperlihatkan bahwa negara yang sukses mengadopsi teknologi pitalebar (terukur dari tingkat penetrasi dan impaknya) telah memformulasikan visinya dan mewujudkan melalui sejumlah langkah strategis. Seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Jepang. Sedangkan Indonesia dan India baru menetapkan rencana pembangunan akhir-akhir ini. Dan Cina, meski sebagian besar negara global belum mau mengakui, pembangunan pitalebar telah menyentuh kehidupan luas masyarakatnya. Tipetipe kebijakan yang diterapkan masing-masing negara memiliki format yang berbeda mengacu pada pandangan politik makro yang dianut masing-masing negara. Cava-Ferreruela et al (2006) mengkategori strategi kebijakan pitalebar dalam 3 (tiga) domain yaitu (1) soft-intervention strategies, dimana pemerintah nyaris tidak campur tangan dalam pembangunan pitalebar dan menyerahkan sepenuhnya pada pasar, (2) medium-intervention strategies, pemerintah hanya campur tangan pada pembangunan pitalebar di daerah yang minim infrastruktur seperti rural dan remote area, dan (3) hard-intervention strategies, pemerintah mengintervensi pembangunan pitalebar di setiap elemen termasuk impaknya bagi sosio-ekonomi. Jika melihat ketiga kategori tersebut, Korea Selatan, Jepang, dan Cina adalah negara yang menganut strategi hard-intervention. Bahkan di satu titik, Cina sangat ekstrim dalam mengintervensi. Sedangkan India dan Indonesia cenderung ber193
Menimbang Kebijakan Supply- … ada pada kategori kedua (medium-intervention). Dimana pemerintah menyerahkan sepenuhnya penggarapan infrastruktur di perkotaan kepada pasar dan fokus pada penggelaran di daerah minim infrastruktur. PERPRES 96/2014 TENTANG RPI DAN REGULASI PITALEBAR EKSISTING Berdasarkan terikat pada kesepakatan WSIS dan Broadband Commission, sejak 2009, Indonesia telah berancang-ancang menyusun konsep rencana pembangunan pitalebar. Upaya itu baru bisa terlaksana di bulan Juli 2012. Pada akhirnya, rencana pembangunan pitalebar itu baru disahkan pertengahan tahun 2014 dengan nomenklatur Perpres No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia. Sejatinya, telah ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait pitalebar. Sayangnya, kebijakan tersebut lebih banyak mengatur hal teknis yang bersifat infrastruktural. Konsep kebijakan yang telah ada belum menyentuh hakikat teknologi pitalebar itu sendiri. Berbeda dengan kebijakan pitalebar yang telah ditetapkan sebelumnya, Perpres 96/2014 tentang RPI ini bersifat makro dan memayungi aspek strategis dalam skala nasional. Selama ini, kebijakan TIK berputar pada permasalahan infrastruktur dan kerap mengabaikan peningkatan literasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan TIK dan pitalebar di Indonesia hanya fokus pada supply-side serta mengabaikan keberadaan demand-side yang sama pentingnya. Akibatnya, aktivitas berteknologi-informasi di Indonesia masih didominasi oleh aktivitas non-produktif yang 194
Inasari Widiyastuti cenderung konsumtif. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut sehingga harapan akan Perpres 96/2014 tentang RPI yang membawa perubahan iklim ber-TIK tentulah besar. Tabel 3. Beberapa Kebijakan Terkait Pitalebar Yang Pernah Dikeluarkan Kebijakan Pitalebar
Cakupan Aturan
PM NO.07/P/M.KOMI NFO/01/2009 PM NO.08/P/M/KOMI NFO/01/2009
Penataan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pitalebar Nirkabel (Wireless Broadband) Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pitalebar Nirkabel (Wireless Broadbani) pada Pita Frekuensi Radion 2,3 GHz Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pitalebar Nirkabel (Wireless Broadbani) pada Pita Frekuensi Radion 3,3 GHz Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pitalebar Nirkabel (Wireless Broadbani) pada Pita Frekuensi Radion 2 GHz Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pitalebar Nirkabel (Wireless Broadbani) pada Pita Frekuensi Radion 5,8 GHz
PM NO.09/P/M/KOMI NFO/04/2009 PM NO.26/P/M/KOMI NFO/06/2009 PM NO.27/P/M/KOMI NFO/06/2009
Dalam pertimbangan, RPI ditetapkan untuk menciptakan pembangunan dan pemanfaatan pitalebar yang efektif dan efisien, terintegrasi, sinkron dan sinergi, serta terkoordinasi pada lintas sektor dan 195
Menimbang Kebijakan Supply- … wilayah. Pitalebar sendiri didefinisikan sebagai akses internet dengan jaminan konektivitas yang selalu tersambung, terjamin ketahanan dan keamanan informasinya, serta memiliki kemampuan triple-play dengan kecepatan minimal 2 Mbps untuk akses tetap dan 1 Mbps untuk akes bergerak (RPI, pasal 1). Dalam lampiran penjelas, RPI memiliki visi memberdayakan masyarakat untuk mengakselerasi transformasi Indonesia menjadi negara maju melalui pengembangan dan pemanfaatan pitalebar sebagai pra sarana dan metainfrastructure. Tujuannya untuk (1) mendorong partumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing nasional, (2) mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan (3) menjaga kedaulatan bangsa. Untuk mewujudkan visi dan tujuan tersebut, pemerintah menetapkan pilar-pilar RPI yang mendukung meliputi prasarana dan keamanan, adopsi dan utilisasi kreatif, kebijakan (legislasi, regulasi, dan kelembagaan), serta pendanaan. Dengan menekankan prinsip dasar universality, ekosistem, kolaborasi dan inklusif, inovasi, dan intervensi. RPI merupakan kebijakan pembangunan pitalebar nasional untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yaitu dari 2014 hingga 2019. Pemerintah mengharapkan tercapainya sasaran-sasaran berikut di akhir tahun 2019: 1. Peningkatan jangkauan dan kecepatan akses pra sarana, dimana: a. Perkotaan : tingkat penetrasi 30% dari total populasi dan 71% dari total HH dengan kecepatan 20Mbps, 10% dari total gedung dengan kecepatan 1 Gbps. Sasaran akses berkecepatan 196
Inasari Widiyastuti
2. 3.
1 Mbps menjangkau seluruh populasi perkotaan. b. Perdesaan : tingkat penetrasi 6% dari total populasi, 49% dari total HH dengan kecepatan 10 Mbps. Sasaran akses berkecepatan 1 Mbps menjangkau 52% dari populasi perdesaan. Harga layanan maksimal 5% dari rata-rata pendapatan per kapita per bulan. Terlaksananya pengembangan di 5 (lima) sektor yaitu e-pemerintahan, e-pendidikan, e-kesehatan, e-logistik, dan e-pengadaan. Kelima sektor ini ditetapkan sebagai sektor prioritas RPI (RPI pasal 7 ayat (1)).
Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan utama dan strategis yang meliputi: 1. Mentransformasi KPU/USO menjadi berorientasi pitalebar. 2. Mengoptimalkan pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagai sumber daya terbatas. 3. Mendorong pembangunan akses tetap pitalebar. 4. Mendorong dunia usaha sebagai pelaku utama dalam pembangunan pitalebar. 5. Membangun prasarana pitalebar di daerah perbatasan negara. 6. Memberikan perlindungan keamanan kepada penyelenggara serta kualitas dan keamanan informasi kepada pengguna layanan. 197
Menimbang Kebijakan Supply- … 7.
Mempercepat implementasi e-pemerintahan dengan mengutamakan prinsip keamanan, interoperabilitas, dan skema pendanaan yang efektif. 8. Pemerintah sebagai fasilitator yang mendorong penggunaan pitalebar. 9. Mendorong tingkat literasi TIK. 10. Mendorong kemandirian dan daya saing industri TIK dalam negeri. 11. Mendorong adopsi TIK untuk rumah tangga. MENUJU KEBIJAKAN PITALEBAR NASIONAL YANG BERKELANJUTAN: SEBUAH REKOMENDASI DEMAND & SUPPLY-SIDE POLICIES Kesuksesan pembangunan pitalebar sangat tergantung pada bagaimana negara menetapkan visi dan strategi dalam mencapai visi tersebut (Frieden, 2005). Berdasarkan pengamatan pada negara maju dengan tingkat penetrasi pitalebar yang tinggi dan impak positif yang telah dirasakan, Frieden (2005) menemukan beberapa area yang penting diperhatikan yaitu investasi, kompetisi, literasi, aplikasi, universality, keamanan dan privasi, serta proteksi bagi konsumen. Bouras et al (2009) juga menyatakan bahwa pemangunan pitalebar akan sukses jika menerapkan strategi perluasan pembangunan hingga rural area, pembangunan layanan aplikasi dan konten, peningkatan keamanan, dan adanya jaminan sinergitas sektor publik dan swasta. Secara umum, strategi yang ditawarkan tersebut terindikasi pada sisi supply dan sisi demand. Kim et al (2010) menegaskan bahwa strategi apa pun dapat ditempuh oleh pemerintah asalkan pemerintah 198
Inasari Widiyastuti dapat menetapkan terlebih dahulu ekosistem pitalebar yang hendak dibangun dan memastikan terpenuhinya supply-side dan demand-side. Jika pemerintah mengabaikan salah satu di antaranya, terutama demandside, dapat dipastikan bahwa sasaran pembangunan pitalebar tidak akan tercapai. Berkaca pada best practice kelima negara dan rekomendasikan yang ditawarkan oleh sejumlah organisasi dan pakar, kebijakan pitalebar yang diterapkan di Indonesia hendaknya memperhatikan kedua sisi tersebut agar visinya tercapai. Ditinjau dari visi dan tujuan yang hendak dicapai, nyata bahwa aspek demand-lah yang hendak ditarget oleh pemerintah. Dimana, pembangunan pitalebar memberikan outcome pada pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kedaulatan bangsa. Variabel outcome ini tampaknya bersifat absurd dan intangible. Artinya, pemerintah sulit mengukur tingkat ketercapaian tujuan ini. Seberapa tinggikah pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai? Seberapa tinggikah indeks pembangunan manusia yang diinginkan? Dan seberapa besarkah ancaman kedaulatan yang dapat dihalau melalui pembangunan pitalebar? Mari kita perbandingkan dengan sasaran yang diinginkan di tahun 2019. Tampak bahwa antara tujuan dan sasaran dalam RPI tidaklah sinkron. Tujuan RPI bersifat demand oriented dengan pengukuran yang tidak jelas sedangkan Sasaran RPI bersifat supply oriented dengan pengukuran yang jelas. Tabel 4. Orientasi Tujuan dan Sasaran RPI 199
Menimbang Kebijakan Supply- … Tujuan RPI Mendorong pertumbuhan ekonomi
Sasaran RPI
Tingkat penetrasi Supply30% untuk side perkotaan dan 6% untuk perdesaan Meningkatkan Harga layanan SupplyDemandkualitas sumber side maksimal 5% dari side daya rata-rata pendapatan Menjaga Aplikasi layanan di 5 SupplyDemandkedaulatan bangsa side sektor side (Sumber: hasil pengamatan terhadap Perpres No 96/2014 tentang RPI) Demandside
Ketidaksinkronan juga terasa pada kebijakan utama dan strategis yang akan ditempuh pemerintah untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Pemerintah cenderung lebih memperhatikan aspek supply-side dan menjadikan industri (pelaku industri pitalebar) sebagai obyek sasaran kebijakan bukan masyarakat. Tabel 5. Orientasi Aspek dan Sasaran Kebijakan Utama/Strategis RPI Kebijakan utama dan strategis Mentransformasi KPU/USO menjadi berorientasi pitalebar Mengoptimalkan pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagai sumber
200
Aspek kebijakan Supply-side
Supply-side
Sasaran Kebijakan Pelaku pitalebar
industri
Pelaku pitalebar
industri
Inasari Widiyastuti daya terbatas Mendorong pembangunan akses tetap pitalebar Mendorong dunia usaha sebagai pelaku utama dalam pembangunan pitalebar Membangun prasarana pitalebar di daerah perbatasan negara Memberikan perlindungan keamanan kepada penyelenggara serta kualitas dan keamanan informasi kepada pengguna layanan Mempercepat implementasi e-pemerintahan dengan mengutamakan prinsip keamanan, interoperabilitas, dan skema pendanaan yang efektif Pemerintah sebagai fasilitator yang mendorong penggunaan pitalebar Mendorong tingkat literasi TIK Mendorong kemandirian dan daya saing industri TIK dalam negeri Mendorong adopsi TIK untuk rumah tangga (Sumber: hasil pengamatan 96/2014 tentang RPI)
Supply-side Supply-side
Supply-side
Supply-side & Demand-side
Pelaku pitalebar Pelaku pitalebar
industri industri
Pelaku industri pitalebar, masyarakat Pelaku industri pitalebar, masyarakat
Supply-side
Pelaku industri pitalebar, masyarakar
Demand-side
Pemerintah, pelaku industri pitalebar, masyarakat Masyarakat
Demand-side Demand-side
Pelaku pitalebar
Demand-side
Masyarakat
industri
dan analisis terhadap Perpres No
201
Menimbang Kebijakan Supply- … Matriks di atas memperlihatkan masih adanya kesenjangan dalam RPI dimana pemerintah fokus pada infrastruktural atau pada sisi supply. Aspek non-infrastruktural yang menjadi core business dalam RPI sangat sedikit dibahas dan ditetapkan dalam sebuah runtutan langkah strategis. Padahal, visi dan tujuan yang hendak dicapai adalah sisi demand sedangkan supply-side adalah jalan untuk mencapainya. Dari segi intervensi, secara tidak langsung RPI menyatakan bahwa pemerintah mengintervensi setiap pembangunan pitalebar. Namun, jika melihat kondisi yang tengah berlangsung, dimana pemerintah cenderung lamban bergerak, sedangkan pasar telah bergerak cukup jauh, RPI ini dapat dikategorikan dalam medium-intervention strategies. Hal ini berbeda dengan Korea Selatan, Jepang, dan Cina dimana pembangunan infrastruktur (supplyside) merupakan katalisator bagi pembangunan sosioekonomi dari pitalebar (demand-side). Fokus pembangunan pitalebar lebih ditekankan pada sisi demand dengan memperkuat adopsi dan literasi masyarakat sebagai pengguna sehingga kemanfaatannya benarbenar dirasakan. Seperti di Jepang, dari 4 (empat) prioritas kebijakan e-Japan Strategy I (2001), tiga di antaranya adalah pembangunan demand-side. Sedangkan di kebijakan selanjutnya, baik e-Japan Strategy II (2003) maupun i-Japan 2015 (2009), seluruh prioritas kebijakan berorientasi pada demand-side. Visi yang akan mereka capai adalah masyarakat Jepang yang memperoleh manfaat dari IT kapan pun dan dimana pun pada tahun 2010 (ubiquitous vision). Jepang pun menetapkan pilar pembangunan pitalebar pada layanan 202
Inasari Widiyastuti pemerintah, kesehatan, dan pendidikan. Visinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia tetapi strategi yang ditempuh berbeda. Hal serupa juga berlangsung di Korea Selatan dan Cina. Berdasarkan hasil empiris yang telah diungkapkan sebelumnya, NBP memang memberi kontribusi yang signifikan terhadap penetrasi pitalebar. Akan tetapi, ada variabel lain yang berkontribusi jauh lebih besar dan signifikan, yaitu kualitas pembangunan nasional (setiap peningkatan 1% kualitas pembangunan manusia akan mendorong penetrasi pitalebar hingga 26,47%). Jepang telah menetapkan langkah nyata pembangunan manusianya melalui “IT Human Resources Development Plan” dan Korea Selatan menetapkan “10 Milion People IT Education Project”. Keduanya diluncurkan tahun 2000 dan bersifat berkelanjutan. Indonesia belum pernah menetapkan rencana, program, atau kebijakan yang demand-side oriented seperti ini. Program-program pembangunan manusia melalui TIK masih bersifat infrastruktur yang supply-side oriented seperti PLIK (Pusat Layanan Internet Kecamatan) dan MPLIK (Mobil PLIK) untuk masyarakat desa serta OSOL (One School One Lab) untuk sekolah. Program ini memberikan jaringan dan komputer tanpa adanya program pemberdayaan masyarakat. RPI ini baik, tetapi jika tetap dijalankan tanpa program dan tindakan nyata turunan yang menyentuh sisi demand, maka harapan tercapainya visi tidak akan terwujud. Hanya sasaransasaran kebijakan infrastruktural yang akan tercapai. Selain menetapkan ekosistem pitalebar (berelemen infrastruktur, layanan, aplikasi, dan pengguna), 203
Menimbang Kebijakan Supply- … model kebijakan pitalebar yang baik menurut Kim et al (2010) perlu menetapkan pilar yang memfasilitasi demand-side yaitu accessibility (ketersediaan akses), affordability (keterjangkauan akses), dan attractiveness (layanan aplikasi yang menarik). Berdasarkan model ekosistem dan demand-side pitalebar Kim et al (2010), berikut adalah rekomendasi supply-side dan demandside untuk memperkaya RPI. Tabel 6. Rekomendasi Kebijakan RPI Berbasis Supply-Demand Side dan Model Virtous Circle Kim et al (2010) Virtuos Circle of Broadband Network
Services
204
Strategi Kebijakan
Orientasi
Mengalokasikan/mer elokasi spektrum frekuensi untuk layanan pitalebar dan sumber daya pendukun lainnya Mengurangi hambatan administratif perijinan dan mendorong investasi
Supply-side
Menyediakan dana dan fasilitas untuk RnD Menyediakan jaringan pitalebar di sekolah, pemerintahan, dan
Supply-side
Supply-side
Demandside
Keterse diaan dalam RPI Tersedia
Tersedia . Belum dipapar kan dengan jelas Belum tersedia Tersedia
Inasari Widiyastuti area publik lainnya Menjamin standard dan kualitas layanan bagi pengguna Menjamin tidak adanya diskriminasi usaha dan akses
Application s
Users
Demandside
Tersedia
Demandside
Belum dipapar kan dengan jelas Tersedia
Melakukan diversifikasi layanan USO berbasis pitalebar Menyediakan layanan e-pemerintahan, ependidikan, dan elayanan publik lainnya Mendorong penciptaan kontenkonten digital untuk mengisi bandwidth pitalebar Mendukung jaminan keamanan layanan, transaksi, dan perlindungan hak cipta Mendukung kontenkonten berbahasa lokal
Demandside
Menyediakan perangkat akses pitalebar dan tariff akses yang
Demandside
Demandside
Tersedia
Demandside
Belum tersedia
Demandside
Belum dipapar kan dengan jelas Belum dipapar kan dengan jelas Sebagia n tersedia
Demandside
205
Menimbang Kebijakan Supply- … terjangkau Menyediakan program-program literasi digital bagi masyarakat
Demandside
Belum dipapar kan dengan jelas Belum dipapar kan dengan jelas Belum dipapar kan dengan jelas
Mensosialisasikan Demandpanduan etis dalam side berkomunikasi dan berinformasi secara digital Membangun Demandkomunitas informasi side dan mendiversifikasikan USO di komunitaskomunitas (Sumber: hasil pengamatan dan analisis terhadap Perpres No 96/2014 tentang RPI)
PENUTUP Perpres No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia Tahun 2014-2019 merupakan langkah positif pemerintah dalam menetapkan dan merencanakan arah pembangunan pitalebar yang bermuatan positif bagi pembangunan nasional. Kajian empiris menunjukkan bahwa RPI sebagai salah satu bentuk dari NBP memiliki impak yang signifikan bagi peningkatan penetrasi pitalebar. Ketersediaan NBP akan mampu mendorong penetrasi pitalebar hingga 2,2317%. NBP menjadi acuan langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan penetrasi pitalebar di satu sisi dan 206
Inasari Widiyastuti mendapatkan impak positif dalam berbagai sektor di sisi lain. Meski demikian, NBP tidak menjadi satusatunya faktor yang menstimulasi secara signifikan. Ada faktor peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkontribusi jauh lebih besar (hingga mencapai 26,47%). Hasil empiris ini mengindikasikan perlunya mempertemukan sisi supply dan sisi demand dalam rencana pitalebar nasional jika menginginkan tercapainya kemanfaatan secara nasional. Jika mengacu pada best experience yang diimplementasikan di Cina, Korea Selatan, dan Jepang, demand side merupakan bidang garap utama pembangunan pitalebar. Supply side merupakan jalan pembuka bagi pembangunan pitalebar. Sedangkan demand side merupakan faktor kunci kemanfaatan nasional pembangunan pitalebar yang meliputi layanan (services), konten dan aplikasi (application), dan pengguna (users). Dengan adanya perpaduan dari kedua sisi ini, tujuan pembangunan pitalebar Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan menjaga kedaulatan bangsa dapat terwujud.
Referensi Bojnec, S., & Imre, F. (2012). "Broadband avaibility and economic growth”. Industrial Management & Data Systems, 112(9), 1292-1306. Bouras, C., Giannaka, E., & Tsiatsos, T. (2009). "Identifying best practices for supporting broadband growth: Methodology and analysis". 207
Menimbang Kebijakan Supply- … Journal of Network and Computer Applications, 32, 795-807. Cava-Ferreruela, I., & Alabau-Munoz, A. (2006). "Broadband policy assessment: A cross-national empirical analysis". Telecommunications Policy, 30, 445-463. Doong, S. H., & Ho, S.-C. (2012). "The impact of ICT development on the global digital divide". Electronic Commerece research and Application, 11, 518-533. Dunn, W. N. (1991). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (2 ed.). (S. Wibawa, D. Asitadana, A. H. Hadna, & E. A. Purwanto, Trans.) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dwidjowijoto, R. N. (2006). Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Frieden, R. (2005). "Lesson From Broadband Development in Canada, Japan, Korea, and the US". Journal of Telecommunication Policy, 29, 595-613. ITU. (2013). Planning for Progress, Why National Broadband Plans Matter. Geneva, Switzerland: ITU. Katz, R. (2011). The Impact of Broadband on the Economy: Research to Date and Policy Issues. ITU. Kim, Y., Kelly, T., & Raja, S. (2010). Building broadband: strategies and policies for the developing world. Washington, DC: The World Bank. Koutrompis, P. (2009). "The economic impact of broadband on growth: A simultaneous approach". Journal of Telecommunication Policy, 33, 471-485. Kshetri, N., & Nikhilesh, D. (2007). "Drivers Of The Broadband Industry In China And India". OTC. Lee, S., & Brown, J. S. (2008). "Examining Broadband Adaption Factor: Empirical Analysis Between Countries". Info, 10(1), 25-39. 208
Inasari Widiyastuti Nam, C., Kim, S., Lee, H., & Duan, B. (2009). "Examining the Influencing Factors and the Most Efficient Point of Broadband Adoption in China". Journal of Research and Practice in Information Technology, 41(1), 25-38. Ng, T. H., Lye, C. T., & Lim, Y. S. (2013). "Broadband penetration and economic growth in ASEAN countries: a generalized method of moments approach". Applied Economics Letters, 20(9), 857862. Paleologos, J. M., & Palemis, M. L. (2013). "What Drives Investment in the Telecommunication Sector? Some Lessons from the OECD Countries". Journal of Economic Modelling, 13, 49-57. Shirazi, F., Gholami, R., & Higon, D. A. (2009). "The impact of information and communication technology (ICT), education and regulation on economic freedom in Islamic Middle Eastern countries". Information & Management, 45, 425433. Widiyastuti, I. (2013). "Impak Penetrasi Fixed Broadband Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Analisis Runtun Waktu 2001-2010". Proceeding Seminar Ilmu Pengetahuan Teknik 2013 (pp. 298-303). Yogyakarta: Pusat Penelitian Elektronika Telekomunikasi PPET-LIPI. Winarno, B. (2013). Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Services). Yu, J., Zhang, Y., & Gao, P. (2012). "Examining China's technology policies for wireless broadband infrastructure". Telecommunication Policy, 36, 847-857. Sumber Peraturan Pemerintah 209
Menimbang Kebijakan Supply- … Peraturan Presiden No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar 2014-2019 Lampiran Peraturan Presiden No 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar 2014-2019 Sumber Bahan Presentasi Fujino, Masaru. 2009. National Broadband Policies: 1999-2009, Japan. Counselor for Communications Policy. Ki-young, Ko. 2013. Case Study-Korea, Opportunities for BB Connectivity in APAC. Raud, Muhammad Ridwan. ___. Acceleration Policy Development Broadband in Indonesia. Directorate of Telecommunications. Kementerian Komunikasi dan Informatikas Smith, Craig Warren. 2011. Meaningful Broadband: The Plan for Indonesia. GSMA Indonesia Confererence.
210
Inasari Widiyastuti
211