PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD Lambertus*) Abstract: There are many people who think that critical thinking is something difficult to do and is intended to those who study at college or those who study philosophy and for those who possess high IQ (genius). This view makes people do not give much attention toward critical thinking. In formal education especially at elementary level, critical thinking is not given much attention, whereas through this formal education, critical thinking skills can be developed. Mathematics is one of the subjects which is potential in developing critical thinking skills. This is due to the fact of the characteristic of mathematics itself; besides, mathematics can be understood through critical thinking, and critical thinking can be trained through learning mathematics. This article is aimed to reveal the importance of training critical thinking skill in mathematics learning at early ages (elementary school). In addition, this article also discusses how to learn it. Keywords: critical thinking skills, mathematical learning
Pelajaran matematika dipandang sebagai bagian ilmu-ilmu dasar yang berkembang pesat baik isi maupun aplikasinya. Sehingga pengajaran matematika di sekolah merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan. Dalam Kurikilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Panduan Lengkap KTSP 2006). John Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan cara berpikir yang benar pada siswanya. Menurut Ruggiero (Johnson, 2007), berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, memenuhi keinginan untuk memahami, sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Pada jenjang pendidikan dasar, siswa (anak-anak) harus melakukan langkah-langkah kecil dahulu sebelum akhirnya terampil berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Salah satu hal yang paling menakjubkan dari anak-anak adalah keterbukaan mereka pada informasi baru dan kemauan mereka untuk berubah. Apabila anak-anak diberi kesempatan
untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, maka mereka akan terbiasa membedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan. Secara alami, mereka akan membangun argumen dengan menggunakan bukti yang dapat dipercaya dan logika yang masuk akal. Dengan demikian, berarti kemampuan berpikir anak mulai berkembang karena anak mulai terbiasa membangun hubungan imajinatif antara hal-hal yang berbeda, melihat kemungkinan-kemungkinan tak terduga, dan berpikir dengan cara baru mengenai masalah-masalah yang sudah lazim. Menggunakan keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi (berpikir tingkat tinggi) dalam konteks yang benar mengajarkan kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani hidup dengan pendekatan yang cerdas, seimbang, dan dapat dipertanggung jawabkan (Ziser dalam Johnson, 2007). Dalam pem-belajaran matematika, soal non rutin atau tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia nyata dan terkait dengan hal-hal yang dialami siswa, sedikit demi sedikit akan membangkitkan kebiasaannya berpikir dengan baik dan melatih imajinasi. Keterampilan berpikir kritis perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika, sesuai dengan tujuan pendidikan matematika sekolah yang memberi penekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak (Soedjadi,
*) Lambertus adalah dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unhalu, Kendari 136
137 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
1995). Materi matematika dan keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui berpikir kritis, dan berpikir kritis dilatih melalui belajar matematika. Namun kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah cenderung kurang memperhatikan keterampilan berpikir kritis. Sebagian kalangan menganggap berpikir ktitis hanya diperuntukkan kelompok tertentu saja, yaitu mereka yang belajar filsafat dan yang memiliki IQ tinggi (genius). Permasalahan yang muncul adalah: Apakah keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika dapat dilatih/diajarkan di SD? Bagaimana pembelajarannya? Berfikir Kritis Kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos dan kriterion (Paul, Elder, & Bartell, 1995; dalam Suriadi, 2006). Kata kritikos berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion mengandung makna ‘ukuran baku’ atau ‘standar’. Sehingga secara etimologi, kata ’kritis’ mengandung makna ‘pertimbangan yang didasarkan pada suatu ukuran baku atau standar’. Dengan demikian secara etimologi berpikir kritis mengandung makna suatu kegiatan mental yang dilakukan seseorang untuk dapat memberi pertimbangan dengan menggunakan ukuran atau standar tertentu. Terdapat beberapa definisi tentang berpikir kritis yang dikemukakan para ahli, di antaranya Chaffee (Suriadi, 2006) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses berpikir itu sendiri. Maksudnya, tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan logika. Lebih lanjut, Chaffee mengatakan bahwa hanya berpikir kritis, berpikir secara terorganisasi mengenai proses berpikir diri sendiri dan proses berpikir orang lain yang akan membekali anak untuk sebaik mungkin menghadapi informasi yang mereka dengar dan baca, kejadian yang mereka alami, dan keputusan yang mereka buat setiap hari. Hal ini berarti dengan berpikir kritis memungkinkan anak menganalisis pemikiran sendiri untuk memastikan bahwa ia telah menemukan pilihan dan menarik kesimpulan cerdas. Norris (Fowler, 1996) mendefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan.
Sedang menurut Ennis (2000), berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan. Rasional berarti memiliki keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti standar, aktual, cukup, dan relevan. Sedang reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut, menurut Moore dan Parker (Fowler, 1996) hendaknya dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Ini berarti berpikir kritis menuntut penggunaan berbagai strategi untuk dapat menghasilkan suatu keputusan sebagai dasar pengambilan tindakan atau keyakinan. Definisi berpikir kritis di atas paling sedikit memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis merupakan proses pemecahan masalah dalam suatu konteks interaksi dengan diri sendiri, dunia orang lain dan atau lingkungannya. Kedua, berpikir kritis merupakan proses penalaran reflektif berdasarkan informasi dan kesimpulan yang telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Ketiga, berpikir kritis berakhir pada keputusan apa yang diyakini dan dikerjakan. Ennis dan Morris (Nitko, 1996) menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua komponen, yaitu kemampuan penguasaan pengetahuan dan disposisi. Komponen kemampuan penguasaan pengetahuan dalam berpikir kritis sering disebut sebagai keterampilan berpikir kritis. Sedangkan komponen disposisi disebut sebagai disposisi berpikir kritis. Istilah keterampilan berpikir kritis mengacu pada kemampuan khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau latihan untuk melakukan tugas tertentu secara baik, dan mengacu pada sesuatu yang ada dalam individu. Keterampilan berpikir kritis inipun menekankan pada kinerja aktual dalam melaksanakan tugas serta kualitas kinerjanya. Dengan demikian, istilah keterampilan dipahami sebagai kemampuan yang ada dalam diri (innerability) dan sebagai sesuatu operasi yang dapat diidentifikasi. Ennis dan Norris (Nitko, 1996) membagi kompenen kemampuan penguasaan pengetahuan menjadi lima keterampilan, yang selanjutnya disebut keterampilan berpikir kritis, yaitu: (1) Klarifikasi elementer (elementary clarification), meliputi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan men-
138 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
jawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan atau tantangan. (2) Dukungan dasar (basic support), meliputi: mempertimbangkan kredibilitas sumber dan melakukan pertimbangan observasi. (3) Penarikan kesimpulan (inference), meliputi: melakukan dan mempertimbangkan deduksi, melakukan dan mempertimbangkan induksi, melakukan dan mempertimbangkan nilai keputusan. (4) Klarifikasi lanjut (advanced clarification), meliputi: mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan definisi, dan mengidentifikasi asumsi. (5) Strategi dan taktik (strategies and tactics), meliputi: menentukan suatu tindakan, berinteraksi dengan orang lain. Garnison, Anderson, dan Archer (2001) membagi empat keterampilan berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu mengidentifi-kasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilema dari pengalaman seseorang, yang diucapkan instruktur, atau siswa lain, (2) Exploration (eksplorasi), memikirkan ide personal dan sosial dalam rangka membuat persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi), yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) Resolution (mengusulkan), yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji gagasan dan hipotesis. Facione (Suriadi, 2006) menjelaskan bahwa masih ada beberapa rumusan keterampilan dalam berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli, walaupun menggunakan istilah berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan fokus perhatian yang dianutnya, namun banyak memiliki kesamaan makna. Oleh karena itu para ahli memiliki konsensus mengenai keterampilan berpikir kritis. Dalam konsensusnya disebutkan bahwa ada enam keterampilan dalam berpikir kritis yang dianggap sebagai pusat atau inti berpikir kritis, yakni interpretasi, analisis, evaluasi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan pengaturan diri. Disposisi sering dianggap sebagai sikap (Giancarlo, Facione, 1995) atau motivasi (Thisman & Andrade, 1999). Disposisi adalah kecendrungan atau kebiasaan untuk berpikir dalam cara dan kondisi tertentu. Seseorang yang
memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi yang menghadirkan stimulus untuk berpikir kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpikir kritis. Contoh: menunjukkan sikap positif jika diperhadapkan dengan persoalan yang berhubungan dengan matematika. Perkins, Jay, dan Tishman (Suriadi, 2006) mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang disebut konsep berpikir kritis tigaan (triadic disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan berpikir kritis tersebut adalah kepekaan (sensitivitas), kecenderungan (inklinasi), dan kemampuan. Kepekaan adalah ketajaman perhatian seseorang pada kesempatan untuk berpikir kritis. Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis. Sedangkan kemampuan adalah keterampilanketerampilan yang diperlukan untuk melakukan berpikir kritis. Orang yang memiliki disposisi berpikir kritis adalah orang yang sensitif terhadap momen berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir kritis, dan memiliki kemampuan dasar untuk berpikir kritis. Walaupun dimasukkan unsur kemampuan dalam konsep disposisinya, Perkins (Suriadi, 2006) menyebutkan bahwa pada kenyataannya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan kepekaan saja. Sedang unsur kemampuan hanya menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki disposisi berpikir kritis harus pula memiliki kemampuan (keterampilan kognitif). Oleh sebab itu, pemikir kritis yang baik selalu berusaha untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir kritis, tidak hanya keterampilan kognitif saja. Berpikir kritis dalam setiap disiplin ilmu berbeda-beda. Poedjadi (1999) menyatakan bahwa agar dapat melaksanakan berpikir kritis dalam disiplin ilmu tertentu, harus terlebih dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi ilmu tersebut. Berpikir Kritis dalam Matematika Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang pola, struktur, keteraturan yang terorganisasi, yang dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian ke unsur-unsur
139 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
yang terdefinisikan, terus ke aksioma atau postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan terorganisir dengan baik. Menurut Suriasumantri (1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada pembuktian secara deduktif. Berpikir deduktif dipergunakan untuk menentukan agar kerangka pemikiran itu koheren dan logis. Matematika yang logis itu dapat menentukan pengetahuan baru dari pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Dalam penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan akibat logis dari alasan-alasan yang bersifat umum menjadi bersifat husus. Penerapan cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan teorema-teorema. Teorema-teorema inilah yang selanjutnya dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah baik dalam matematika itu sendiri maupun ilmu-ilmu yang lain. Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin ilmu-ilmu lain, maka berpikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai dengan konsep dan metodologi matematika. Glazer (Ibrahim, 2007) menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah keterampilan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematik yang tidak dikenali dengan cara replektif. Selanjutnya Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika. (1) Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah. (2) Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika dan strategi kognitif. (3) Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi. (4) Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan
suatu masalah, dan pengembangan studi lebih lanjut. Berpikir kritis dalam belajar matematika merupakan suatu proses kognitif atau tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan matematika berdasarkan penalaran matematik. Penalaran matematik (Sumarmo, 2005) meliputi menarik kesimpulan logis; memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik; menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen; menyusun argumen yang valid; menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan menggunakan induksi matematik. Kemampuan seperti ini dapat mengembangkan kemampuan intelektual siswa, yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masa kini, dan juga memungkinkan untuk mengatasi ketidak pastian di masa depan. Dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dibutuhkan strategi-trategi tertentu. Fisher (Launch Pad, 2001) mengurai-kan tiga jenis strategi berpikir kritis yang saling bergantung (1) Strategi afektif adalah kemampuan untuk berpikir bebas dari yang lain. Ini termasuk mengambil pandangan orang lain; (2) Kemampuan makro adalah kemampuan untuk memanfaatkan, dan mempunyai pemahaman mekanis atau ketrampilan lain yang sedang digunakan untuk sebarang tugas, dan (3) Keterampilan mikro adalah menekankan belajar bagaimana cara untuk bertanya, kapan untuk bertanya, apa yang akan ditanyakan ; dan belajar bagaimana cara memberi alasan, kapan untuk memberikan alasan, apa metoda yang digunakan. Selanjutnya Fisher menekankan pada indikator keterampilan berpikir kritis yang penting meliputi: (1) mengatakan kebenaran pertanyaan/ pernyataan; (2) menganalisis pertanyaan/pernyataan; (3) berpikir logis; (4) mengurutkan, misalnya secara temporal, secara logis, secara sebab-akibat; (5) mengklasifikasi, misalnya gagasan-gagasan, objek-objek; (6) memutuskan, misalnya apakah cukup bukti; (7) memprediksi (termasuk membenarkan prediksi); (8) berteori; dan (9) memahami orang lain dan dirinya.
140 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis di SD Matematika adalah salah satu ilmu yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan, bahkan di SD diajarkan sejak di kelas satu, merupakan ilmu dasar yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, didalam ilmu-ilmu lain (terutama sains dan teknologi), dan sebagai prasyarat untuk studi lanjut. Dalam GBPP dinyatakan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar adalah pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penerapan matematika dalam menyelesaikan masalah (Puskur, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika harus dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan dasar. Pengembangan keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika sangat dimungkinkan, karena materi matematika dan keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui berpikir kritis, dan berpikir kritis dilatih melalui belajar matematika. Pembelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar saat ini cenderung kurang melatih keterampilan berpikir kritis. Padahal sebaiknya pembelajaran matematika di SD mulai melatih keterampilan berpikir kritis. Melatih keterampilan berpikir kritis pada siswa SD sangat dimungkinkan, karena siswa SD telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dasar, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Selain itu dalam proses pembelajaran guru dapat pula menciptakan konflik kognitif, agar dapat merangsang siswa untuk berpikir. Melatih keterampilan berpikir pada siswa, bertujuan agar secara perlahan siswa merasa terdorong untuk berpikir kritis. Bila dorongan untuk berpikir kritis ini terus menerus diciptakan, maka secara perlahan pula akan terbentuk kemampuan dasar berpikir kritis. Setelah memiliki kemampuan dasar berpikir kritis, siswa akan sensitif terhadap momen berpikir kritis. Dengan demikian siswa telah memiliki disposisi berpikir kritis. Sudah saatnya kita mengubah pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa berpikir kritis hanya ada di dalam mata kuliah filsafat dan retorika di perguruan tinggi. Dan bahwa berpikir kritis adalah sesuatu yang sulit dan esoteris yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki IQ tinggi (genius). Padahal, berpikir
kritis dapat dilakukan oleh setiap orang dan bukan merupakan sesuatu yang sulit. Salah satu contoh: saat guru mengatakan bahwa nilai π = 22/7, mungkin siswa enggan menerima penjelasan yang sederhana itu. Mereka bertanya pada guru, mengapa nilai π = 22/7? Mereka ini adalah pemikir kritis. Menyikapi situasi seperti ini, guru harus tanggap dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk bertanya, memberi argumen, diskusi dengan teman agar mereka dapat menilai pendapat teman, menerima atau menolak pendapat temannya. Karena situasi seperti inilah yang diharapkan dapat mengembangkan potensi berpikir kritis dalam diri siswa. Setiap orang dapat belajar untuk berpikir kritis karena otak manusia secara konstan berusaha memahami pengalaman. Pencariannya yang terus menerus akan makna, otak dengan tangkas menghubungkan ide abstrak dengan konteksnya di dunia nyata. Dalam matematika, pemberian soal-soal tidak rutin atau tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia nyata dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, akan membantu siswa melihat makna dari yang dipelajarinya karena ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya. Untuk siswa SD, soal atau tugas yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan kognitif anak. Untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis, dapat dilatih secara terus menerus. Karena hanya dengan latihan, dapat membuat keterampilan berpikir kritis menjadi suatu kebiasaan. Berpikir kritis merupakan sebuah kebiasaan berpikir yang seharusnya ditanamkan sejak usia dini. Dan setiap orang memiliki kemampuan untuk menjadi pemikir kritis yang handal. Berpikir kritis dapat membantu seseorang memahami bagaimana ia menandang dirinya sendiri, bagaimana ia memandang dunia, dan bagaimana ia berhubungan dengan orang lain, membantu meneliti prilaku diri sendiri, dan menilai diri sendiri. Berpikir kritis memungkinkan seseorang menganalisis pemikiran sendiri untuk memastikan bahwa ia telah menentukan pilihan dan menarik kesimpulan cerdas. Sedangkan orang yang tidak berpikir kritis, ia tidak dapat memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dipercaya, dan bagaimana harus bertindak. Karena gagal berpikir mandiri, maka ia akan meniru orang
141 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
lain, mengadopsi keyakinan dan menerima kesimpulan orang lain dengan pasif. Contoh dalam pembelajaran matematika, misalnya bagi yang baru belajar perkalian mereka dapat menjawab dengan benar 3 x 4=12. Tetapi bila ditanya, mengapa 3 x 4 = 12? Mereka menjawab itu sesuai tabel perkalian. Ini mungkin akibat dari pembelajaran yang menyuruh anak menghapal perkalian, sehingga mereka menjawab secara otomatis, karena sudah dihafal. Matematika adalah ilmu dasar yang dapat membantu pengembangan ilmu-ilmu lain. Sedangkan pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat pula dilakukan melalui pembelajaran yang memberikan pemahaman epistemologis. Pemahaman epistemologis adalah pemahaman mengenai cara-cara mengembangkan pengetahuan. Dengan cara ini siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi dan memberikan argumen dalam memperoleh suatu pengetahuan yang objektif dan logis. Sehingga siswa dapat menggunakan kemampuan intelektualnya seperti analisis, evaluasi dan refleksi. Hal ini berarti kemampuan intelektualnya dalam berpikir kritis digunakan dalam pembelajaran yang memberikan pengalaman epistemologi. Pembelajaran Berpikir Kritis Proses pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa, tampaknya berpotensi melatih dan mengembangan keterampilan berpikir kritis. Pada proses pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa, siswa aktif mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki, atas bimbingan dan bantuan orang dewasa (guru). Guru memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa dalam memahami pengetahuan dan memecahkan masalah. Peran guru mengalami perubahan, tidak lagi sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Hadi (2005) menjabarkan fungsi mediator dan fasilitator dalam beberapa tugas sebagai berikut: (1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. (2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keinginan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. (3) Me-
nyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan penga-laman konflik. (4) Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Dalam hal ini guru perlu menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Dan guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa memungkinkan terjadinya diskusi. Diskusi merupakan salah satu cara yang efektif dalam melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, karena: (1) melalui diskusi, siswa berbagi pendapat, berpikir perspektif, dan mendapat pengalaman; (2) melalui diskusi siswa dapat mempertimbangkan, menolak atau menerima pendapatnya sendiri maupun pendapat siswa lain agar sesuai dengan jawaban atau pendapat kelompok; dan (3) melalui diskusi pula, siswa dapat melakukan penyesuaian atau mengurangi hambatan-hambatan antara dirinya dengan siswa lain sehingga ia bebas berpikir dan bertindak. Interaksi antara sesama siswa, siswa dan guru yang dilakukan dalam diskusi inilah yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya disposisi berpikir kritis siswa.
Simpulan Berdasarkan uraian di atas disimpulkan beberapa hal berikut. Berpikir kritis adalah potensi yang dimiliki oleh setiap orang, dapat di ukur, dilatih, dan dikembangkan. Bila berpikir kritis dilatih terus menerus, maka dapat menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan ini akan menjadi sikap dasar, dan pada akhirnya terbentuk disposisi berpikir kritis. Dalam pembelajaran matematika, keterampilan berpikir kritis hendaknya dilatih/diajarkan sejak SD. Hal ini cukup beralasan, karena: (1) siswa SD sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan dasar, walaupun dalam jumlah terbatas; (2) dalam proses pembelajaran di SD guru dapat menciptakan
142 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
konflik kognitif untuk merangsang berpikir kritis. Melatih keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan pembarian soal-soal tidak rutin atau tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia nyata dan terkait dengan kehidupan seharihari, asalkan penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan kognitif anak. Pembelajaran yang berpusat pada siswa berpotensi untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, karena siswa diberi keleluasaan membangun pengetahuannya sendiri, berdiskusi dengan teman, bebas mengajukan pendapat, dapat menerima atau menolak pendapat teman, dan atas bimbingan guru merumuskan kesimpulan. DAFTAR RUJUKAN
Ennis, R.H. 2000. A Super-Steamlined Conception of Critical Thinking. Tersedia: http://www.ed.uine.edu/EPS/PESyearbook/92.does/ennis.htm Fowler, G. 2004. Critical Thinking Across the Curriculum Project. Tersedia: http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/eta c/definition.htm. Garnison. D. R., Anderson, T. & Archer, W. 2001. Critical Thinking and Computer Conferencing: A Model and Tool to Assess Cognitive Presence. Tersedia: http://communitiesofinquiry.com/documen ts/ CogPres_Final.pdf Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin. Ibrahim. 2007. Pengembangan Kemempuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui Pendekatan Advokasi dengan Pengajaran Masalah Open-Ended. Tesis pada PPs UPI. tidak dipublikasikan Johnson, E.B. 2007. Contextual Teaching & Learning (terjemahan Ibnu Setiawan). Bandung: MLC. Kapel, D. E. & Dejnozka, E.L. 1991. American Educator’s. Enllycopedia. New York: Greenwood Press Launch, Pad. 2001. Thinking Skill. Oxford: Brookes University.
Nitko, A.J. 1996. Educational Assesment of Student. Englewuood Cliffs: Merril Norris, S.P. & Ennis, R. 1989. Evaluating Critical Thinking ( dalam R. J. Schwartz & D. N. Perkins (Eds), The Practitioners' Guide to Teaching Thinking Series. Pacific Grove, California: Midwest Publications. Olson, I. 1996. The Arts Critical Thinking and Reform: Classroom of the Future. The High School. Journal. 79(2). 159-163. Puskur. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Balitbang. Diknas Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih Soedjadi, R. 1995. Pendidikan, Penalaran, Konsturktifisme, Kreativitas sajian dalam Pembelajaran Matematika. Makalah tidak dipublikasikan. Sumarmo, U. 2005. Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung. Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi Untuk Meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis pada PPs UPI. Tidak dipublikasikan. Suriasumantri, J.S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.