Penolakan Publik Jepang Terhadap Produk Budaya Korea Selatan Robitul Haq Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
[email protected] Abstract This research starts from the question about why Japanese public resisted South Korean cultural products after 2010. Korean wave, which is a phenomenon of the massive spread of South Korean cultural products all over Northeast Asia, has emerged in late 1990s. The Korean cultural products started penetrating Japanese market since 2003 with the first Korean TV drama “Winter Sonata” which begun to air in Japanese TV station at the time. Since then the consumption of Korean cultural products by Japanese public keeps increasing. This event indicated that South Korean government’s Nation branding efforts has succeeded due to the positive reaction of Japanese public towards the Korean Wave. However, the first protest of Japanese public concerning about the frequent broadcast of South Korean program began to emerge in 2011. The following action is considered problematic, because there’s no sign of refusal to Korean wave in the latter decade. Besides, Japan is the only country that is so vocal compared to other countries which have experienced the same phenomenon, in terms of protest. Thus, need a further explanation to uncover the cause factors of such protest. This research uses the nation branding theory and the concept of cultural proximity to explain the penetration of Korean wave to Japanese market and the acceptance by Japanese public. Furthermore this research also uses the concept of enduring rivalries to explain the rivalry and competition between South Korea and Japan. In the end, this research revealed that the three elements of enduring rivalry is the cause of the protest by Japanese public. Keywords: South Korea, Japan, cultural proximity, Korean Wave, nation branding, enduring rivalry Penelitian ini bermula dari masalah mengapa terjadi penolakan terhadap produk budaya Korea Selatan oleh publik Jepang pasca tahun 2010. Fenomena penyebaran produk budaya Korea Selatan di Asia Timur, yang disebut Korean Wave mulai muncul pada akhir 1990-an. Produk budaya Korea Selatan mulai masuk ke Jepang sejak tahun 2003 ketika drama Korea pertama yaitu “Winter Sonata” ditayangkan di stasiun televisi Jepang. Sejak saat itu publik Jepang mengkonsumsi produk budaya Korea Selatan dan terus meningkat. Disini upaya nation branding Korea Selatan terlihat sukses karena diterimanya Korean Wave dan persepsi publik Jepang yang membaik. Namun pada tahun 2011 muncul aksi protes dari sebagian publik Jepang terhadap salah satu stasiun televisi Jepang yang terlalu sering menayangkan siaran televisi dari Korea Selatan. Ini menjadi problematis karena pada tahun-tahun sebelumnya publik Jepang menerima Korean Wave dengan baik. Selain itu Jepang adalah satu-satunya negara yang sangat vokal dibanding negara-negara lain yang turut terkena demam Korean Wave, dapat dilihat dari aksi-aksi protes yang dilakukan. Sehingga diperlukan penjelasan untuk mengungkap faktor-faktor penyebab penolakan tersebut. Peneliti mengahukan hipotesis yang disusun untuk memperoleh penjelasan mengenai upaya nation branding Korea Selatan, dan pemanfaatan kedekatan budaya agar Korean Wave dapat diterima di Jepang; serta enduring rivalry antara Korea Selatan dan Jepang yang menjadi faktor publik Jepang melakukan penolakan. Dari proses penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa tiga elemen dari enduring rivalry lah yang menjadi faktor munculnya aksi-aksi penolakan. Kata Kunci: Korea Selatan, Jepang, kedekatan budaya, Korean Wave, national branding, enduring rivalry
343
Robitul haq Pendahuluan Sebagai negara korban perang, Korea Selatan masih dianggap identik dengan kemiskinan dan teknologi yang terbelakang. Bagi kebanyakan orang, kesan yang timbul ketika mendengar nama “Korea” cenderung negatif seperti Korea Utara, Perang Korea, masyarakat xenophobic, sehingga membuat Pemerintah Korea Selatan khawatir dan ingin mengubah pandangan tersebut (Kim 2011, hal. 124). Salah satu tindakannyanya yaitu, Korea Selatan secara masif menyebarkan produk budayanya di negara-negara Asia Timur, yang kemudian disebut Korean Wave. Jepang pun tidak luput dari Korean Wave, meski hubungan keduanya memburuk pasca kolonialisasi Jepang terhadap Korea. Sejak tahun 2003, Korea Selatan mampu merubah persepsi publik Jepang terhadap Korea Selatan melalui dramanya, “Winter Sonata” (Hanaki 2007, hal. 289). Drama Korea tidak hanya menjadi jalan untuk memperbaiki citra negara, tetapi juga berpeluang besar dalam bidang ekonomi. Terinspirasi oleh Amerika Serikat dan Britania raya akan film dan musiknya, kemudian pemerintah Korea Selatan membuat kebijakan-kebijakan untuk menjamin keberhasilan Korean Wave ini. Peningkatan ekspor yang tinggi dalam bidang siaran televisi pun dialami oleh Korea Selatan, dengan importir terbesar yakni Jepang. (Korea Culture and Information Service 2011). Namun, ditengah kesuksesan Korean Wave di Jepang, tiba-tiba muncul bentuk aksi protes terhadap produk budaya Korea Selatan (Si-Soo 2014). Hal tersebut tidak lepas dari isu-isu sensitif masa lalu yang terjadi antara kedua negara (Kessel 2015). Fenomena ini menarik, karena Jepang merupakan satu-satunya negara yang sangat vokal dibandingkan negara Asia Timur lainnya dalam penolakan terhadap produk-produk asal Korea Selatan, baik budaya maupun barang dan jasa. Ini menjadi sesuatu yang unik,
mengingat sejak tahun 2003 hubungan Korea Selatan dan Jepang membaik karena perbaikan persepsi terhadap Korea Selatan melalui promosi budaya. Jika diperhatikan, usaha perbaikan citra Korea Selatan melalui promosi budaya dari tahun ke tahun justru semakin menguat, namun yang terjadi di Jepang adalah reaksi sebaliknya. Padahal secara geografis dan kultur serta kepercayaan pun Jepang merupakan yang terdekat dengan Korea, sehingga yang seharusnya terjadi adalah hubungan mereka semakin erat. Namun faktanya, reaksi penolakan oleh Jepang ini mengindikasikan adanya faktor lain yang menyebabkan hubungan kedua negara selalu dinamis. Faktor Penolakan Publik Jepang Terhadap Produk Budaya Korea Selatan: Upaya National Branding, Kedekatan Budaya dan Enduring Rivalry Branding adalah proses merancang, merencanakan dan mengkomunikasikan sebuah nama dan identitas, dengan tujuan untuk membangun atau mengatur reputasi (Anholt 2007). Branding dalam konteks negara berarti mengaplikasikan segala rencana untuk membangun reputasi tersebut ke level negara, sehingga kemudian mendapat istilah nation branding. Reputasi sebuah negara dapat secara kuat mempengaruhi cara orang di luar maupun di dalam negara tersebut berpikir tentangnya, cara berperilaku terhadapnya, dan cara merespon terhadap setiap sesuatu yang dibuat atau dilakukan disana (Anholt 2007). Tujuan utama dilakukannya national branding adalah mengubah citra negara dalam dunia internasional, dan terdapat tiga area untuk memproyeksikan national brand, yakni : (1) Ekspor produk, untuk menciptakan anggapan bahwa suatu produk ekspor mencerminkan negara eskportirnya, contohnya adalah Perancis yang dipandang sebagai kota fashion dan Jerman sebagai produsen otomotif berkelas; (2) Foreign Direct Investment, sebagai cerminan bahwa apabila jumlah investor dalam suatu negara semakin
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016
344
Penolakan PublikJepangTerhadap
meningkat mengindikasikan bahwa reputasi negara tersebut baik di mata internasional; (3) Pariwisata, sebagai salah satu faktor yang menarik minat warga asing (Ollins 2005). Dua dari tiga area proyeksi nation branding, yaitu Ekspor produk dan Pariwisata berkaitan dengan budaya. Ketika budaya sebuah negara dapat menarik publik negara lain, maka akan memungkinkan terjadinya ekspor, dalam hal ini ekspor produk budaya, dan menarik wisatawan asing. Dalam latar belakang masalah telah disinggung bahwa Korea Selatan memiliki sebuah kekuatan budaya yaitu Korean Wave. Apabila sebuah negara memiliki kedekatan nilai-nilai budaya dengan negara lain maka akan memungkinkan terjadinya interaksi bahkan transaksi terhadap produk-produk budaya tersebut. Cultural proximity atau kedekatan budaya dapat diperoleh melalui adopsi atas kemiripan praktik bisnis, jargon, standar etik, serta bahasa dan terus berevolusi dari waktu ke waktu (Kim 2004). Kendati cultural proximity memberikan sebuah kemungkinan positif terhadap diterimanya produk budaya Korea Selatan oleh publik Jepang, tetapi hal tersebut juga dapat menjadi pemicu persaingan antar kedua negara yang memang telah terjadi sejak lama. Dalam perspektif konstruktivisme, elemen dari hubungan internasional adalah terkonstruksi sedemikian rupa dan bukan merupakan perkembangan struktur dari sistem negara yang anarki dan sifat manusia yang konstan (Glosserman dan Snyder 2015). Elemen ini terus berevolusi dan dapat berujung kepada persamaan struktur nilai dan pendekatan terhadap masalah, serta geographical proximity dan kemiripankemiripan yang dibawanya dapat mengarah pada kerjasama maupun konflik( Glosserman dan Snyder 2015). Hal ini juga menentukan bagaimana arah hubungan kedua negara, karena perilaku sebuah negara bergantung pada sejarah dan budaya, serta kapabilitasnya (Glosserman dan Snyder 2015)
345
Pada kasus Korea Selatan dan Jepang, elemen sosial dan historis tersebut menyebabkan adanya persaingan yang berkepanjangan atau enduring rivalry. Goertz dan Diehl menjelaskannya dengen mengelaborasi tiga komponen dalam enduring rivalry, yakni; competitiveness, atau daya saing disini adalah terhadap intangible goods seperti prestis dan pengaruh, maupun tangible goods seperti wilayah, sumberdaya, maupun ekonomi; time, dimaksudkan bahwa persaingan ini tidak termasuk berkepanjangan jika tidak mencapai periode tertentu; dan spatial consistency berarti dalam persaingan ini terdapat dua aktor atau lebih yang terlibat secara konsisten, dalam hal ini Korea Selatan dan Jepang. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa enduring rivalry adalah persaingan antara dua aktor atau lebih yang konsisten dan terjadi dalam kurun waktu yang lama (berkepanjangan). Lebih jauh lagi, rivalry memiliki tiga dimensi, antara lain; issues,competition (over issues), dan psychological hostility (Vasquez 1996 dalam Thies 2001). Issues disini dapat berupa teritori, kebijakan politik eksternal (mempromosikan agama, ideologi, atau budaya), atau kebijakan politik internal dengan efek internasional, seperti perlakuan terhadap etnik minoritas (Vasquez 1996 dalam Thies 2001). Rivalry akan terus terjadi selama issues tersebut belum terselesaikan. Upaya Nation Branding Dalam Ekspor Produk Budaya Korea Selatan Terhadap Jepang Korean Wave merupakan fenomena produk budaya Korea Selatan yang awalnya sangat populer di kawasan Asia Timur pada akhir 1990-an, tepatnya pasca krisis ekonomi yang dialami negara-negara Asia pada tahun 1997. Krisis 1997 memang bagaikan sebuah pukulan telak bagi Korea Selatan, tetapi pemerintah Korea Selatan menjadikan krisis ini sebagai sebuah kesempatan dengan menginisiasi Korean Wave sebagai soft power untuk
Robitul Haq
menuntuskan krisis dan meningkatkan status ekonominya (The Economist 2010). Krisis 1997 menjadikan negaranegara Asia serba mempertimbangkan pengeluaran dalam bidang apapun, termasuk untuk mengimpor program hiburan, harus lebih selektif dalam memilih program televisi yang lebih murah tetapi berkualitas. Korea Selatan diuntungkan dalam hal ini, karena produk hiburan Korea Selatan memiliki harga lebih murah, yakni seperempat harga produk hiburan Jepang dan sepersepuluh harga produk hiburan Hong Kong ( Suejin 2003 dalam Doboo 2005). Hal tersebut menjadikan peningkatan drastis dalam ekspor produk budaya Korea Selatan. Hal tersebut membuktikan bahwa krisis 1997 merupakan sebuah titik balik berkembangnya industri produk budaya Korea Selatan (Jang dan Paik 2012) . Gyorgy Szondi menjelaskan bahwa nation branding terjadi ketika pemerintah atau perusahaan menggunakan powernya untuk membujuk siapa saja yang berkemampuan untuk merubah citra dari sebuah negara. Jika berdasar pada definisi tersebut, maka Korea Selatan telah melakukan nation branding sejak tahun 1988 dan 1997. Indikator berhasilnya sebuah nation branding sendiri ditentukan oleh 3 elemen, yakni ekspor produk, foreign direct investment, dan pariwisata. Dalam kasus Korea Selatan, terjadi peningkatan pada ketiga indikator tersebut. Pemerintah Korea Selatan semakin serius melakukan nation branding ini. Pada peringatan 60 tahun kemerdekaan Korea Selatan, Presiden Lee Myung-bak mengatakan bahwa jika sebuah negara ingin dijuluki sebagai negara yang maju, maka sangat perlu untuk memperbaiki citra dan reputasinya (Cheng 2008, hal. 73). Untuk memulai usaha nation branding, pemerintah Korea Selatan mengundang ahli nation branding kelas dunia ke Korea Selatan untuk memberikan saran dan sekaligus Korea Selatan sebagai tuan rumah konferensi tersebut (Cheng
2008). Kemudian pada 22 Januari 2009, Presidential Council on South Korea’s National Branding resmi dirilis oleh ketua dewan Euh Yoon-dae dan orang-orang penting yang turut hadir, yaitu Menteri Kebudayaan Korea Selatan dan Kepala Organisasi Pariwisata Seoul. Ketua National Branding Council menjelaskan dalam laporan pertama kepada presiden Lee Myung-bak, bahwa proyek nation branding Korea Selatan akan terdiri dari sepuluh poin rencana aksi. (Markessinis 2009) Dibawah pemerintahan Lee Myung-bak, Kementrian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata mengumumkan pada 3 September 2008, bahwa meningkatkan citra nasional Korea akan menjadi fokus utama dari kebijakan kebudayaannya. Dalam perencanaan tersebut, kementerian akan secara spesifik mendukung sektor kesenian dan kebudayaan demi mendapatkan pengakuan internasional (Markessinis 2009, hal. 79). Presiden yang sedang menjabat saat ini, Park-Geun hye, sejak 2013 pun masih tetap memprioritaskan industri dari budaya populer dengan menggelontorkan sekitar $1 Milyar dana untuk membiayai perkembangan dan distribusi budaya populer (Hong 2016, hal. 103). Berdasar pada penjelasan tersebut, maka dapat diketahui bahwa hingga saat ini Korea Selatan masih menjalankan upaya nation branding dengan berfokus pada industri budaya. Sejak tahun 2003, produk budaya Korea Selatan mulai memasuki pasar Jepang. Ini termasuk dalam gelombang pertama penyebaran Korean Wave, yakni dengan drama televisi. Drama televisi Korea Selatan yang sangat digemari oleh masyarakat Jepang saat itu adalah “Winter Sonata”, acara ini digemari khususnya oleh para wanita paruh baya atau ibu-ibu. Bae Yong-joon sebagai aktor utama dalam drama televisi tersebut menjadi sebuah fenomena kebudayaan di Jepang. Di kalangan pers Jepang, fenomena ini memiliki banyak istilah, yaitu : The Yonsama Syndrome, The Yon-sama Social
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 346
Penolakan PublikJepangTerhadap
Phenomenon, The Yon-sama Religion, dan The Yon-sama Disease (Korean Culture and Information Services 2011). Sesuatu seperti Sindrom Yon-sama ini tidak pernah terjadi pada masyarakat Jepang sebelumnya, sehingga banyak kritikus sosial, ahli sosiologi, dan psikolog yang berusaha menganalisis hal tersebut. Ini menjadi bukti awal bahwa persepsi publik Jepang terhadap Korea Selatan telah menjadi positif dan upaya nation branding Korea Selatan berhasil di Jepang. Kedekatan Budaya Sebagai Faktor Diterimanya Korean Wave oleh Publik Jepang tahun 2003-2010 Dalam penelitian ini, konsep cultural proximity, atau kedekatan budaya, digunakan untuk menjelaskan hubungan erat kedua negara. Dalam menjelaskan cultural proximity, terdapat beberapa indikator untuk mengukur seberapa dekat antara satu negara dengan negara lainnya, indikator tersebut adalah : (1) Ideologi politik; (2) kapasitas, karakteristik dan perkembangan ekonomi, yang dapat dikelompokkan dengan istilah aktifitas ekonomi; (3) nilai-nilai kepercayaan atau agama; (4) nilai-nilai tradisional; dan (5) nilai-nilai linguistik. Indikator yang pertama adalah ideologi politik. Ideologi politik merupakan seperangkat keyakinan mengenai aturan yang tepat bagi masyarakat dan bagaimana cara mencapainya (Jost 2009, hal. 309). Antara Korea Selatan dan Jepang, keduanya memang memiliki sistem negara yang berbeda, yaitu Jepang dengan sistem monarki konstitusional dan Korea Selatan dengan sistem republik presidensial. Namun pemimpin dari kedua negara tersebut yang saat ini menjabat dalam pemerintahan, berasal dari partai yang sama-sama berpandangan konservatif, yang menekankan pada kelestarian nilai-nilai dan tradisi lokal (Jost 2009). Indikator pertama berkaitan dengan indikator yang keempat, yaitu nilai-nilai tradisional. Terlepas dari peristiwa
347
aneksasi Jepang atas Korea Selatan di masa lalu, kedua negara ini pada dasarnya berasal dari nenek moyang yang sama dan kemiripan tradisi satu sama lain. Bahkan Kaisar Akihito mengakui bahwa ada darah Korea dalam dirinya yang berasal dari leluhurnya (Watts 2001). Hal tersebut tidak terlepas pula dari indikator ketiga, yakni nilai-nilai kepercayaan dan agama. Kedua negara tersebut masih memegang nilai-nilai Konfusianisme yang kuat (Whittemore t.t.). Indikator yang kelima adalah bahasa dan nilai-nilai linguistik. Korea Selatan dan Jepang tidak hanya memiliki banyak kemiripan dalam pelafalan dan makna kosa kata, penggunaan aksara pun untuk situasi tertentu masih menggunakan aksara Mandarin yang berasal dari sumber yang sama (Growing With The Web 2014). Sedangkan indikator cultural proximity kedua, yang memiliki konteks yang berbeda dengan indikator lainnya, yaitu aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi adalah sebuah aksi yang melibatkan produksi, distribusi, dan konsumsi atas barang dan jasa pada semua level dalam masyarakat (Business Dictionary t.t). Dalam mengukur aktvitas ekonomi sebuah negara, GDP merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan. Antara Jepang dan Korea selatan, berdasarkan data yang tersaji terlihat bahwa tingkat GDP kedua negara berada pada posisi yang tidak jauh berbeda di tahun 2010 (Wang 2014). Sesuai definisi diatas, dapat dikatakan bahwa Korea Selatan dan Jepang memiliki kedekatan dalam aktivitas ekonomi. Enduring Rivalry Sebagai Faktor Penolakan Publik Jepang Terhadap Produk Budaya Korea Selatan Pasca 2010 Upaya nation branding Korea Selatan dapat diterima dan disukai oleh masyarakat Jepang karena menggunakan kedekatan budaya sebagai medium. Namun disisi lain, kedekatan
Robitul Haq
budaya ini merupakan hasil dari kedekatan geografis yang juga berpotensi menyebabkan adanya persaingan. Geographical proximity dan kemiripan-kemiripan yang dibawanya, seperti kemiripan budaya, dapat mengarah pada kerjasama maupun konflik. Hal tersebut menentukan bagaimana arah hubungan Jepang dan Korea Selatan, sejarah dan budaya serta kapabilitas negara memicu adanya persaingan yang berkepanjangan. Selanjutnya peneliti menggunakan tiga indikator untuk menjelaskan persaingan antar kedua negara yang mengarah pada munculnya penolakan publik Jepang, yaitu: (1) Persaingan pengaruh budaya; (2) sengketa wilayah; dan (3) persaingan ekonomi. Terdapat tiga indikator enduring rivalry yang menjelaskan persaingan antar kedua negara yang mengarah pada munculnya penolakan publik Jepang. Pertama, persaingan pengaruh budaya. Korea Selatan saat ini merupakan produsen produk budaya terbesar di kawasan Asia Timur, dimana sebelumnya, pada awal 1990-an, Jepang merupakan produsen budaya terbesar di wilayah Asia. Anime, manga, dan harujuku yang sebelumnya sangat populer kini terbayangi oleh kemunculan Korean Wave. Hingga pada tahun 2013, Perdana Menteri Shinzo Abe memutuskan untuk mendanai proyek Cool Japan, sebagai tanggapan, atau reaksi dari Pemerintah Jepang terhadap Korea Selatan yang sangat serius mempromosikan industri budayanya (The Japan Times 2010). Jika dibandingkan dengan upaya pemerintah Korea Selatan dalam bidang industri budaya, Pemerintah Jepang perlu membangun pondasi-pondasi produsen industri budaya yang kuat terlebih dahulu. Jepang saat ini masih kurang intensif dalam melakukan brand awareness, berbeda dengan Korea Selatan yang terlebih dahulu melakukan nation branding. Dengan kondisi seperti itu, wajar jika produk budaya Korea Selatan lebih mudah masuk ke Jepang
daripada sebaliknya. Dan ini memunculkan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat Jepang. Sebagian masyarakat Jepang cenderung bersikap konservatif, tidak menyukai “Koreanisasi” yang terjadi di Jepang ini. Dengan semakin populernya budaya Korea di Jepang, mereka khawatir produk budaya Jepang menjadi inferior. Seperti yang terjadi pada 7 Agustus 2011, 500 orang demonstran berkumpul di depan gedung Fuji TV untuk melakukan protes karena stasiun televisi tersebut menayangkan tayangan Korean Wave terus menerus (CNN Travel 2011). Indikator kedua dalam enduring rivalry adalah persengketaan wilayah. Korea Selatan dan Jepang telah lama berselisih mengenai hak atas sebuah pulau yang disebut “Dokdo” oleh masyarakat Korea dan “Takeshima” oleh masyarakat Jepang. Korea Selatan mengklaim pulau ini sebagai wilayahnya berdasar pada rekam sejarah pada abad ke-6 saat periode “Unified Shilla”, dan pada tahun 1900 ketika peraturan kekaisaran Korea menggabungkan ketiga pulau tersebut, dua pulau di Dokdo dan satu pulau Ulleung-do, sebagai daerah Ulleung. Sedangkan Jepang mengklaim berdasarkan rekam sejarah abad ke-17 , dan “terra-nullius” pada saat Jepang menganeksasi Korea (Dokdo-Takeshima t.t). Permasalahan wilayah ini memunculkan protes pertamanya ketika Presiden Korea Selatan pada 2012 melakukan kunjungan ke wilayah sengketa, sehingga sebagian masyarakat Jepang menunjukkan reaksi negatifnya. Kelompok-kelompok demonstran ini berjumlah cukup banyak, dan dari waktu ke waktu objek demonstrasi tidak hanya permasalahan sengketa namun semakin meluas menjadi penolakan terhadap segala hal yang berbau Korea. Indikator enduring rivalry yang ketiga adalah persaingan ekonomi. Korea Selatan dan Jepang merupakan dua negara yang memiliki ekonomi kuat. Terbukti secara tingkat GDP, yaitu Jepang berada di posisi ke-2 dan Korea Selatan di posisi ke-4 di seluruh Asia
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 348
Penolakan PublikJepangTerhadap
(World Bank 2016). Pada tahun 1980an, Jepang merupakan negara yang menjadi patokan dalam kekuatan ekonomi di Asia dan menginspirasi negara-negara Asia lainnya. Korea Selatan juga merupakan salah satu negara yang menjadikan Jepang sebagai inspirasi, salah satu tujuan utama Korea Selatan mengembangkan ekonomi adalah untuk mengalahkan Jepang (Hong 2016, hal. 59). Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan memang sangat drastis, dalam sepuluh tahun terakhir jumlah ekspor Korea Selatan dapat mengejar bahkan melampaui Jepang pada sekitar tahun 2011-2015 (Trading Economics t.t.). Melemahnya sektor ekonomi Jepang juga memicu kelompok antiKorea melakukan aksi protes terhadap pemerintah. Aksi ini tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang diadakan hampir setiap akhir pekan. Berdasarkan majalah The Japan Times (2013), aksi-aksi tersebut merupakan wujud kegelisahan masyarakat Jepang terkait meningkatnya perekonomian Korea Selatan ditengah melemahnya nilai tukar Yen akibat GDP Jepang yang menurun. Sedangkan majalah The Diplomat mengatakan bahwa kelompokkelompok tersebut kerap beranggotakan pemuda yang mencari kambing hitam terkait situasi yang ada, dengan menyalahkan orang asing dari Korea yang mengambil pekerjaan mereka dan mendapatkan bantuan dana dari pemerintah (Quigley 2013). Mereka mengutuk warga Korea baik yang ada di Jepang maupun di Korea Selatan dengan mengucapkan kata-kata “bunuh orang Korea” dan “usir orang Korea”. Melemahnya perekonomian Jepang adalah akibat penurunan pada sektor industrinya. Industri elektronik dan otomotif telah lama menjadi lokomotif utama perekonomian Jepang. Namun, saat ini produk-produk Jepang perlahan menghilang karena persaingan global yang lebih berat, terlebih lagi karena persaingan sesama negara Asia sangat agresif (The Japan Times 2013).
349
Produk elektronik asal Jepang hanya berada di posisi ke-6, sedangkan produk elektronik Korea Selatan menempati posisi ke-2 dan ke-4 di seluruh dunia (Stat Counter Global Stats t.t.). Bukti tersebut berkemungkinan menjadi penyebab kebencian masyarakat Jepang terhadap produk Korea Selatan, sebagai contoh adalah produk smartphone. Terlebih lagi, perusahaan Korea Selatan kerap menggunakan bintang-bintang Kpop untuk mempromosikan produknya (Samsung Newsroom 2012). Hal tersebut menjadikan sebagian publik yang telah menunjukkan reaksi negatifnya terhadap produk budaya Korea Selatan, semakin memandang buruk produk Korea Selatan secara umum. Ini membuktikan adanya sensitifitas masyarakat Jepang terhadap produk Korea Selatan. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa menurunnya perekonomian Jepang yang bersamaan dengan naiknya perekonomian Korea Selatan menyebabkan aksi protes yang menunjukkan kebencian sebagian masyarakat Jepang terhadap Korea Selatan. Kesimpulan Pemerintah Korea Selatan melakukan upaya nation branding dan menciptakan Korean Wave. Definisi Gyorgy Szondi bahwa nation branding adalah upaya pemerintah menggunakan powernya untuk membujuk siapa saja yang mampu merubah image sebuah negara, memang nyatanya dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan. Seperti yang telah disebutkn dalam bab II, pemerintah Korea Selatan berusaha keras membangkitkan ekonominya dengan membentuk chaebol. Kemudian dengan regulasi dan kebijakannya serta melibatkan peran pengusaha, industri budaya semakin berkembang dan diterima di negara lain sehingga menjadikan image Korea Selatan berangsur-angsur berubah pasca krisis 1997 dikarenakan popularitas Korean Wave. Popularitas yang semakin merajalela menjadikan Korean Wave sebuah budaya populer baru di kawasan
Robitul Haq
Asia dan mulai meluas ke kawasan lainnya. Budaya populer dapat juga disebut sebagai mass culture, sengaja diciptakan dan dapat dimanipulasi oleh pihak yang turut menciptakan atau menyebarkannya. Manipulasi disini dapat berarti mengatur konten yang ada dalam budaya tersebut, maupun memanfaatkan penggunaan budaya tersebut untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu, Korean Wave dapat disebut sebagai sebuah budaya populer yang berkembang dari produk-produk budaya yang diciptakan oleh pemerintah Korea Selatan. Upaya nation branding Korea Selatan dipertegas melalui pendirian Dewan Pencitraan Nasional (National Branding Committee) pada Januari 2009. Dalam proyek Pencitraan Nasional tersebut, terdapat 10 poin yang secara umum meliputi promosi kesenian bela diri, edukasi, teknologi, industri, dan budaya. Dalam poin proyek tersebut dicantumkan dengan jelas dan spesifik bahwa Korean Wave merupakan instrumen budaya dalam nation branding Korea Selatan. Sesuai dengan definisi budaya populer yang disebutkan sebelumnya, sehingga Korean Wave dapat dimanfaatkan oleh Korea Selatan untuk kepentingan negaranya. Tujuan utama national branding adalah mengubah image negara dalam dunia internasional dan diproyeksikan dalam tiga area, yaitu: ekpor produk; tingkat investasi; dan pariwisata. Ketiga area proyeksi ini merupakan indikator untuk mengukur kesuksesan nation branding. Telah dibuktikan melalui data statistik bahwa Korea Selatan mengalami peningkatan dalam tiga area tersebut, seperti meningkatnya ekspor Korea Selatan ke Jepang, meningkatnya kunjungan wisata dari Jepang ke Korea Selatan, serta Korean Wave yang direpresentasikan oleh drama “Winter Sonata” dapat memperbaiki persepsi publik Jepang terhadap Korea Selatan. Korea Selatan dan Jepang memiliki kedekatan budaya, sehingga Korean Wave mudah diterima oleh publik
Jepang. Untuk membuktikan bahwa produk budaya Korea Selatan mudah diterima oleh publik Jepang karena adanya kedekatan budaya, peneliti menggunakan bebersps indikator untuk mengkonfirmasi. Ditinjau berdasarkan indikator pertama, ideologi politik kedua negara. Korea Selatan dengan sistem republik presidensial dan Jepang dengan sistem monarki konstitusionalnya memang berbeda satu sama lain, tetapi pemimpin pemerintahan kedua negara tersebut sama-sama berasal dari partai yang berpandangan konservatif. Sedangkan konten yang disajikan dalam Korean Wave masih dalam taraf konservatif dalam sudut pandang budaya Asia dan masih menjaga nilai-nilai ketimuran seperti kesopanan dan kekeluargaan. Ditinjau dari indikator kedua, yaitu nilai kepercayaan atau agama, mayoritas masyarakat kedua negara tersebut masih memegang nilai-nilai dan ajaran konfusianisme, contohnya seperti adegan-adegan yang disajikan k-drama cenderung menceritakan hubungan antar manusia. Ditinjau dari indikator ketiga, yaitu nilai tradisional, masyarakat kedua negara memiliki nilainilai tradisi yang mirip, contohnya adalah menggunakan peralatan dalam beraktivitas sehari-hari dengan berdasar nilai filosofi yang sama, seperti penggunaan sumpit dan filosofi dalam tata cara memakan mie. Nilai-nilai tradisional itu kerap disajikan dalam drama Korea. Ditinjau dari indikator yang keempat, yakni nilai linguistik, kedua negara pada momen-momen tertentu masih menggunakan aksara mandarin yang sama. Meskipun istilahistilah dari aksara mandarin tersebut telah disesuaikan dengan pelafalan dan aksara masing-masing seiring dengan berkembangnya jaman. Dari pembahasan indikator-indikator tersebut, terbukti bahwa Korea Selatan memanfaatkan kedekatan sebagai jembatan untuk menjalankan upaya diplomasi publiknya. Penolakan publik Jepang terhadap produk budaya Korea Selatan karena
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 350
Penolakan PublikJepangTerhadap
adanya enduring rivalry antara kedua negara. Kedekatan budaya yang digunakan oleh pemerintah Korea Selatan sebagai jembatan masuknya produk budaya ke Jepang, muncul karena adanya kedekatan geografis antara kedua negara, yang kemudian memicu adanya persaingan berkepanjangan. Persaingan ini dipicu karena tiga indikator, yaitu persaingan pengaruh budaya, sengketa wilayah, dan persaingan ekonomi. Peneliti menemukan bahwa penyebab dari aksiaksi itu adalah ketiga indikator dari enduring rivalry diatas. Pertama, persaingan pengaruh budaya. Sebelum Korean Wave digemari, Jepang terlebih dahulu dikenal melalui produk-produk budaya populernya di Asia dan bahkan seluruh dunia. Namun, dengan gencarnya upaya pemerintah Korea Selatan mempromosikan Korean Wave telah meredupkan produk-produk budaya Jepang. Bahkan dalam pembahasan poin hipotesis kedua sebelumnya, dibuktikan bahwa Korean Wave sangat digemari di Jepang. Terkait hal tersebut sebagian masyarakat Jepang merasa resah karena mengakibatkan produk budaya Jepang menjadi tidak digemari bahkan di negara sendiri. Sehingga memunculkan protes terhadap stasiun televisi yang menayangkan acara-acara Korea Selatan, ini terjadi pada tahun 2011. Indikator yang kedua adalah sengketa wilayah. Sejak Korea Selatan merdeka dari Jepang, kedua negara tersebut mempermasalahkan status kepemilikan dua buah pulau yang disebut kepulauan Dokdo dalam Bahasa Korea dan kepulauan Takeshima dalam Bahasa Jepang. Persengketaan terhadap pulau ini terbukti memicu munculnya aksiaksi protes dari warga kedua negara, khususnya Jepang dalam penelitian ini. Aksi protes tersebut dipicu peristiwa saat Presiden Korea Selatan melakukan kunjungan ke kepulauan tersebut pada tahun 2012. Aksi yang awalnya hanya bertajuk anti-Korea tersebut kemudian melebar menjadi anti atas segala hal yang berkaitan dengan Korea Selatan,
351
termasuk produk budaya, barang, dan jasa. Indikator yang ketiga adalah persaingan ekonomi. Di masa lalu Jepang dianggap sebagai sebuah kejaiban ekonomi Asia, sehingga menginspirasi negara-negara asia lainnya termasuk Korea Selatan. Namun pasca tahun 2010, perekonomian Korea Selatan mampu menyaingi bahkan melampaui ekonomi Jepang di beberapa titik. Disaat yang sama pula ekonomi Jepang tengah menurun dan membuat nilai Yen melemah. Ini dibuktikan dengan perbandingan data statistik jumlah ekspor dan tingkat GDP kedua negara. Peristiwa tersebut memicu kemarahan sebagian warga Jepang dengan melakukan perusakan di kawasan tempat tinggal warga Korea yang ada di Jepang. Sebagian warga Jepang tersebut mengkambinghitamkan Korea Selatan sebagai penyebab turunnya ekonomi Jepang. Tidak hanya itu, sensitifitas warga Jepang juga mengarah pada penolakan produk Korea Selatan yaitu penjualan produk elektronik. Terlebih karena promosi penjualan produkproduk Korea Selatan kerap dilakukan dengan memanfaatkan bintang-bintang K-pop. Peneliti memiliki penjelasan bahwa meski indikator yang kedua dan yang ketiga, yaitu persengketaan wilayah dan persaingan ekonomi tidak berkaitan langsung dengan penolakan produk budaya. Namun kedua indikator persaingan tersebut turut memanas dalam waktu yang berdekatan dengan protes penolakan produk budaya dan juga menunjukkan adanya gejala sensitifitas terhadapnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa aksi-aksi tersebut memiliki kaitan dengan penolakan produk budaya Korea Selatan dan sebaliknya. Seperti contohnya penyebab aksi protes pada awal tahun 2014 ketika terjadi pelemahan nilai Yen terhadap dolar, yang bersamaan dengan menurunnya GDP Jepang dan meningkatnya GDP Korea Selatan. Bertepatan pula dengan menurunnya minat terhadap produk elektronik
Robitul Haq
“Samsung” yang merupakan perusahaan asal Korea Selatan. Lebih jauh lagi promosi produk Korea Selatan seringkali memanfaatkan Korean Wave
dalam promosinya. Seakan publik Jepang ingin memproteksi produkproduk dalam negerinya, baik budaya maupun barang dan jasa.
Daftar Pustaka
www.dokdo-takeshima.com. (Diakses pada 16 Juni 2016) [10] Forbes. 2015. “South Korea.” December, 2015. url: http://www.forbes.com/places/south-korea/ (Diakses pada 15 Juni 2016) [11] Doboo, Shim. 2005. “Hibridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia.” Media, Culture, and Society. National University of Singapore. url: http://www2.fiu.edu/~surisc/Hybridity%20a nd%20the%20rise%20of%20Korean%20po pular%20culture%20in%20Asia.pdf(Diakses pada 8 Oktober 2015) [12] Glosserman, Brad dan Scott A. Snyder. 2015. “The Japan-south Korea Identity Clash : East Asian Security and The United States.” New York : Columbia University Press. url: https://www.ciaonet.org/attachments/27868/ uploads?1438792471. (Diakses pada 6 Mei 2016.) [13] Growing With The Web. 2014. “Languages and Chinese Characters on The Web.” March 9th, 2014. url: http://www.growingwiththeweb.com/2014/0 3/languages-and-chinese-characters-on-theweb.html. (Diakses pada 15 Juni 2016) [14] Hanaki, Toru et. al. 2007. “Hanryu Swept East Asia : How Winter Sonata is Gripping Japan.” International Communication Gazette. SAGE Publications. url: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/downloa d?doi=10.1.1.453.3000&rep=rep1&type=pd f. (Diakses pada 23 Maret 2016) [15] Hong, Euny. 2016. The Birth of Korean Cool : How One Nation is Conquering The World Through Pop Culture. Diterjemahkan oleh Yenni Saputri. Yogyakarta: Penerbit Bentang, [16] Jang, Gunjoo dan Won K. Paik. 2012. “Korean Wave as Tool for Korea’s New Cultural Diplomacy.” Advances in Applied Sociology, Vol.2, No.3. url: http://www.scirp.org/journal/PaperInformati on.aspx?PaperID=22229#.VDPsKGeSzUk. (Diakses pada 21 September 2014) [17] Jost, John T., et. al. 2009. “Political ideology : Its Structure, Functions, and Elective Affinities.” The Annual Review of Psychology. New York University. url: http://www.psych.nyu.edu/jost/Political%20 Ideology__Its%20structure,%20functions,% 20and%20elective%20a.pdf. (Diakses pada 14 Juni 2016) [18] Kang, Tae-jun. 2014. “Japan’s Growing Anti-Korea Sentiment.” The Diplomat. December 30th, 2014. url: http://thediplomat.com/2014/12/japans-
[1] Anholt, Simon. 2007. “Competitive Identity. The New Brand Management for Nations, Cities, and Regions.” New York : Palgrave Macmillan Publisher. url: http://libgen.io/get/92EAC0142C5A845DB1 CF41F58029D09A/Simon%20AnholtCompetitive%20Identity_%20The%20New %20Brand%20Management%20for%20Nati ons%2C%20Cities%20and%20RegionsPalgrave%20Macmillan%20%282007%29.p df (Diakses pada 19 September 2015) [2] Business Dictionary. t.t. “Economic Activity.” Definiton url: http://www.businessdictionary.com/definitio n/economic-activity.html(Diakses pada 15 Juni 2016) [3] Chang, Hyun Suk. t.t. “Similarities Between Korea and Japan.” url: http://web.sapporou.ac.jp/~youth/49english/Hyun49e.html (Diakses pada 14 Juni 2016) [4] Cheng, Li-Chih. 2009. “The Korea Brand : The Cultural Dimension of South Korea’s Branding Project in 2008.” SAIS U.S.-Korea Yearbook 2008. Johns Hopkins University. url: http://uskoreainstitute.org/wpcontent/uploads/2010/02/Cheng.pdf. (Diakses pada 15 Juni 2016) [5] Clegg, Cara. 2015. “GacktLashes out at Cool Japan: ‘Almost no Results of Japanese Culture Exported Overseas’.” Japan Today, July 6th 2015. url: http://www.japantoday.com/category/enterta inment/view/gackt-lashes-out-at-cool-japanalmost-no-results-of-japanese-cultureexported-overseas (Diakses pada 16 Juni 2016) [6] CNN Travel. 2011. “Anti-Korean Wave in Japan turns Political.” August 9th, 2011. url: http://travel.cnn.com/seoul/life/anti-koreanwave-japan-turns-political-141304/. (Diakses pada 15 Juni 2016) [7] Cromwell, Thomas. t.t. “Nation Branding : Why Nation Branding is Important for Tourism.” Diplomatic Traffic. url: http://www.diplomatictraffic.com/nation_bra nding.asp?ID=18Diakses pada 10 juni 2016) [8] Doboo, Shim. 2011. “Korean Wave in Southeast Asia.” Kyoto Review of Southeast Asia. March 11th, 2011. url: http://kyotoreview.org/issue-11/koreanwave-in-southeast-asia/ (Diakses pada 13 Juni 2016) [9] Dokdo-Takeshima. t.t. “A Brief Inroduction to Korea’s Dokdo [Takeshima] Island.” url:
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 352
Penolakan PublikJepangTerhadap growing-anti-korea-sentiment/ (Diakses pada 14 Juni 2016) [19] Kessel, Kory. 2015. “Samsung Attempting to Crack Japanese Market By Removing Company Logo From Galaxy S6 and S6 Edge.” Hot Hardware. April 20th, 2015. url : http://www.hothardware.com/news/samsung -will-attempt-to-crack-japan-market-byremoving-company-name-from-galaxy-s6and-galaxy-s6-edge (Diakses pada 20 Februari 2016) [20] Kim, Commander. 2014. “Japanese Professor Protest Ultra-Conservatism in Japan.” Koreabang. January 17th, 2014. url: http://www.koreabang.com/2014/stories/japa nese-professor-protests-ultra-conservatismin-japan.html (Diakses pada 21 Februari 2016) [21] Kim, Mi-Kyung. 2004. “Cultural Proximity and The Type of Korean Television Programs in Asian Market.” dalam the 6th World Media Economics Conference in Montreal, Canada. Mei 12-15th, 2004. Korea : Chungwoon University. url: http://www.cem.ulaval.ca/pdf/kim.pdf (Diakses pada 13 Juni 2016.) [22] Kim, Regina. 2011. “South Korean Cultural Diplomacy and Efforts to Promote The Republic of Korea’s Brand Image in The United States and Around The World.” John Hopkins School of Advanced International Studies. url: https://web.stanford.edu/group/sjeaa/journal 111/Korea2.pdf. (Diakses pada 13 Oktober 2014. [23] Korea Culture and Information Service. 2011. “The Korean Wave : A New Pop Culture Phenomenon.” Contemporary Korea No.1. Republic of Korea : Ministry of Culture, Sport and Tourism. url: http://www.korea.net/koreanet/fileDownload ?fileUrl=/content/pdf/general/KOREAN_W AVE_20110907.pdf. (Diakses pada 10 September 2015) [24] MBC Global Media. t.t. “Jewel in The Palace”. http://content.mbc.co.kr/english/drama/03/1 670401_56047.html. (Diakses pada 15 Juni 2016) [25] Mab, Soo. t.t. “Common Words in Korean and Japanese.” Darksmurfsub, Community Translated Subtitles. url : http://www.darksmurfsub.com/forum/index. php?/topic/4494-common-words-in-koreanand-japanese/ (Diakses pada 14 Juni 2016) [26] Markessinis, Andreas. 2009 ”Brand Korea’s 10-Point Plan Unveiled.” Nation Branding. March 25th, 2009. url: http://nationbranding.info/2009/03/25/brand-korea-10point-action-plan-unveiled/ (Diakses pada 13 Juni 2016) [27] . 2009. “Korea Nation Branding Project Launched.” Nation Branding. January 28th, 2009. url: http://nationbranding.info/2009/01/28/korea-nationbranding-project-launched/ (Diakses pada 13 Juni 2016)
353
[28] Mikalajunaite, Ugne. 2012. “Anti-Korean Wave and Far-Right Wing Nationalism in Japan.” Master Thesis, Leiden University : BA International Studies. url: https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887 /33619. (Diakses pada 1 Maret 2016) [29] Nakagawa, Ulara. 2011. “Will Manhwa Catch Manga?.” The Diplomat. January 1st, 2011. url: http://www.thediplomat.com/2011/01/willmanhwa-catch-manga/ (Diakses pada 15 Juni 2016) [30] Ollins, Waylen. 2005. “Making a International Brand,” dalam The New Public Diplomacy, diedit oleh Jan Melissen, Vol 1. [31] Onishi, Norimitsu. 2005. “Roll Over, Godzilla: Korea Rules.” The New York Times. June 28th, 2005. url: http://www.nytimes.com/2005/06/28/world/ asia/roll-over-godzilla-korea-rules.html (Diakses pada 2 Juni 2016) [32] Piana, Valentino. ”Foreign Direct Investment.” Economics Web Institute, 2005. url: http://www.economicswebinstitute.org/gloss ary/fdi.htm#determinants (Diakses pada 10 Juni 2016) [33] Quigley, J.T.. 2013. “Japanese Court Rules Against Anti-Korean Hate Group.” The Diplomat. Oktober 8th, 2013. url: http://thediplomat.com/2013/10/japanesecourt-rules-against-anti-korean-hate-group/ (Diakses pada 11 Juni 2016) [34] Samsung Newsroom. 2012. “All The Moves: ATIV Smart PC Teams Up With Korea’s Hottest New Group”, November 27th, 2012. url : https://news.samsung.com/global/all-themoves-ativ-smart-pc-teams-up-with-koreashottest-new-group (Diakses 24 Juli 2016) [35] Si-Soo, Park. 2014. “Anti-hallyu Voices Growing in Japan.” The Korea Times. February 21st, 2014. url: http://www.koreatimes.co.kr/www/news/cult ure/2014/02/386_152045.html (Diakses pada 23 Februari 2016) [36] Stat Counter Global Stats. t.t. “Top 10 Mobile, Tabel & Console Device Vendors from 2012 to 2015.” url: http://gs.statcounter.com/#mobile+tablet+co nsole-vendor-ww-yearly-2012-2015-bar. (Diakses pada 16 Juni 2016) [37] Suh, Chung-Sok, et al. 2008. “The Korean Wave in Southeast Asia: An Analysis of Cultural Proximity and the Globalisation of the Korean Cultural Products.”. url: http://congress.aks.ac.kr/korean/files/2_1358 476377.pdf. (Diakses pada 4 November 2016) [38] Szondi, Gyorgy. 2008. “Public Diplomacy and Nation Branding: Conceptual Similarities and Differences.” Discussion Paper in Diplomacy. Netherland : Institute of International Relations ‘Clingdael’. url: http://www.clingendael.nl/sites/default/files/ 20081022_pap_in_dip_nation_branding.pdf. (Diakses pada 25 September 2015) [39] The Economist. 2014. “Japan’s Soft Power : Squaring the Cool.” June 16th, 2014. url:
Robitul Haq http://www.economist.com/blogs/banyan/20 14/06/japans-soft-power (Diakses pada 18 Juni 2016) [40] . 2014. “South Korea’s PopCultural Exports : Hallyu Yeah!.” January 25th, 2010. url: http://www.economist.com/node/15385735 (Diakses pada 10 Juni 2016) [41] Thies, Cameron G.. 2001. “A Social Psychological Approach to Enduring Rivalries.” Political Psychology, Vol.22, No. 4. Lousiana University. url: https://www.cpp.edu/~smemerson/business3 18/enduring%20rivalries.pdf (Diakses pada 2 Juni 2016) [42] Trading Economics. t.t. “Japan Export.” url: http://www.tradingeconomics.com/japan/exp orts. (Diakses pada 15 Juni 2016) [43] . t.t. “Japan GDP.” url: http://www.tradingeconomics.com/japan/gd p. (Diakses pada 15 Juni 2016) [44] . t.t. “South Korea Exports. ” Diolah berdasarkan data dari Korea Ministry of Trade, Industry, and Energy. url: http://www.tradingeconomics.com/southkorea/exports (Diakses pada 9 Juni 2016) [45] . t.t. “South Korea Export to Japan.” Diolah berdasarkan data dari Korea Customs Service. url: http://www.tradingeconomics.com/southkorea/foreign-direct-investment. (Diakses pada 14 Juni 2016) [46] . t.t. “South Korea Foreign Direct Investment.” Diolah berdasarkan data dari Korea Ministry of Knowledge Economy. url: http://www.tradingeconomics.com/southkorea/foreign-direct-investment. (Diakses pada 9 Juni 2016)
. t.t. “South Korea Tourist Arrivals.” Diolah berdasarkan data dari Korea Tourism Organization. url: http://www.tradingeconomics.com/southkorea/tourist-arrivals. (Diakses pada 9 Juni 2016) [48] . t.t. “South Korea Exports to Japan.” Diolah berdasarkan data dari Korea Customs Service. url: http://www.tradingeconomics.com/southkorea/exports-to-japan. ((Diakses pada 14 Juni 2016) [49] Truong, Brian. 2014. “The Korean Wave : Cultural Export and Implications.” url: http://resources.css.edu/academics/his/middl eground/articles/taugertruongglobalizationte achingfall2015themiddlegroundjournal.org.p df. (Diakses 23 Mei 2016) [50] Wang, Brian. 2014. “China Development Compared to Japan, Korea and Taiwan..” Next Big Future. March 30th, 2014. url: http://nextbigfuture.com/2014/03/chinadevelopment-compared-to-japan.html?m=1 (Diakses pada 14 Juni 2016) [51] Watts, Jonathan. 2001. “The Emperor’s New Roots.” The Guardian. December 28th, 2001. url: http://theguardian.com/world/2001/dec/28/ja pan.worlddispatch. (Diakses pada 16 Juni 2016.) [52] Whittemore, Jessica. t.t. “The Confusianism of Japan and Korea.” Study. url: http://study.com/academy/lesson/theconfucianism-of-japan-and-korea.html. (Diakses pada 14 Juni 2016) [53] World Bank. 2016. “Gross Domestic Product 2014.” World Development Indicators Database. April 11th, 2016. url: http://databank.worldbank.org/data/downloa d/GDP.pdf. (Diakses pada 13 Juni 2016) [47]
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 354