AIPMNH
PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KIA MELALUI PENDEKATAN PUSKESMAS MAMPU PONED
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade
PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KIA MELALUI PENDEKATAN PUSKESMAS MAMPU PONED
Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH)
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade
DAFTAR ISI LATAR BELAKANG
1
GAMBARAN PUSKESMAS PONED
3
TUJUAN PUSKESMAS PONED
6
KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN
7
1. Pelatihan Tim PONED
9
2. Evaluasi Pasca Pelatihan (EPP) PONED
9
3. Monev/Bimtek
10
4. Supervisi Fasilitatif
11
5. Magang PONED
12
6. Survei Retensi Pengetahuan dan Keterampilan
13
7. Pelaksanaan Rujukan Kasus PONED
13
TANTANGAN YANG DIHADAPI
14
KEBUTUHAN DI MASA DEPAN
17
LATAR BELAKANG Indonesia masih terus berjuang melakukan berbagai upaya untuk menekan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 359 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) sementara Angka Kematian Bayi (AKB) 32 per 1000 KH. Untuk Provinsi NTT, Laporan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah kasus kematian ibu pada tahun 2012 sebanyak 192 kasus atau 200 per 100.000 KH. Sementara itu, jumlah kematian bayi pada tahun 2012 sebanyak 1450 kasus atau 15,1 per 1000 KH. Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB di NTT adalah kurang memadainya pelayanan promotif, preventif dan kuratif di puskesmas sebagai pusat pelayanan terdepan. Beberapa penyebab kematian tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, sebenarnya sangat kompleks dan terkait dengan persoalan medis dan non-medis. Beberapa penyebab utama kematian ibu di NTT antara lain: perdarahan, preeklampsia, eklampsia, infeksi/sepsis, partus lama/macet. Sedangkan penyebab kematian bayi yang sering ditemukan antara lain: Bayi Berberat Lahir Rendah (BBLR), hipotermia, asfiksia neonatorum, dan infeksi pada bayi baru lahir. Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan, harus selalu siap mengantisipasi penyebab komplikasi obstetri dan neonatal yang semakin kompleks di lapangan. Puskesmas harus mampu memberikan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) secara cepat, benar dan tepat sehingga tidak terjadi kematian baik ibu maupun bayi/neonatal.
1
1
Menurut The International Federation Of Gynecology Obstetries (FIGO), terdapat empat pintu untuk keluar dari kematian ibu yaitu: 1. 2. 3. 4.
Status perempuan dan kesetaraan gender Keluarga berencana dan kesehatan reproduksi Persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan yang kompeten Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif (PONED dan PONEK). Jadi, PONED merupakan salah satu upaya kunci untuk mencegah kematian ibu. Namun, tidak kalah penting adalah upaya pencegahan melalui pemberdayaan masyarakat. Keluarga dan masyarakat secara mandiri bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan diri dan keluarganya, terutama ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
AIPMNH mulai bekerja di NTT pada tahun 2009, dan sampai Juni 2014 telah memberikan dukungan di 14 kabupaten di NTT. Sejak Juli 2014, ada 10 kabupaten yang masih mendapat dukungan dan intervensi AIPMNH. Selama 2009–2012, telah dilaksanakan pelatihan PONED untuk Tim PONED di 59 puskesmas intervensi AIPMNH yang tersebar di 14 kabupaten/kota. Dengan memampukan puskesmas dengan pelayanan PONED, puskesmas diharapkan mampu mengatasi masalah kesehatan dan komplikasi maternal dan neonatal, demi mengurangi kamatian ibu dan bayi/neonatal.
Ibu-ibu mengakses pelayanan antenatal dan post-natal di Puskesmas PONED Noemuti, Kabupaten TTU, salah satu Puskesmas PONED yang didukung oleh Program AIPMNH Foto: Quin untuk AIPMNH
2
GAMBARAN PUSKESMAS PONED Puskesmas PONED adalah puskesmas yang mampu memberikan pelayanan rutin dan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi tingkat dasar, dalam 24 jam sehari atau purnawaktu, dilengkapi dengan rawat inap, tempat tidur rawat inap, dan alat serta obat-obatan terstandar (Pedoman Revolusi KIA Provinsi NTT, 2012). Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas Mampu PONED Kemenkes RI 2013 mengatakan bahwa Puskesmas Mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Puskesmas PONED yang disiapkan oleh AIPMNH di 14 kabupaten/kota melalui berbagai tahap. Tahapan diawali dengan menyiapkan tenaga pengelola puskesmas PONED melalui pelatihan tim PONED, sesuai dengan standar Depkes yaitu: 1 orang dokter, 2 orang bidan dan 2 orang perawat. Pada tahun 2009, AIPMNH melakukan intervensi dengan membentuk/melatih Tim PONED di 15 Puskesmas, tahun 2010 bertambah menjadi 36 Puskesmas PONED, tahun 2011 menjadi 52 Puskesmas PONED, dan di tahun 2012 menjadi 58 Puskesmas PONED. Intervensi ini, selain dilakukan dalam bentuk melatih tim PONED, juga dilakukan melalui penyediaan peralatan medis dan di beberapa puskesmas dilakukan rehabilitasi/penambahan ruangan PONED. Secara operasional, penetapan Puskesmas PONED dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bupati setempat. Namun, hingga awal 2014 jumlah Puskesmas PONED tinggal 28. Beberapa faktor penyebabnya antara lain karena dokter yang dilatih PONED dan menjadi ketua tim PONED telah menyelesaikan masa PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan meninggalkan puskesmas. Ada juga sejumlah puskesmas yang bidan atau perawat terlatih PONED meninggalkan puskesmas karena melanjutkan pendidikan.
1
3
Untuk mengatasi persoalan ini, pada akhir 2014, ada beberapa kabupaten yang melaksanakan pelatihan PONED dengan menggunakan dana APBD/lainnya untuk mengisi kekosongan Tim PONED. Data hingga Mei 2015 menunjukkan ada 38 puskesmas mampu PONED yang tersebar di 12 kabupaten. Tim tersebut umumnya terdiri atas 1 dokter umum sebagai penanggung jawab tim PONED, dan 1 atau 2 bidan, serta 1 atau 2 perawat yang kompeten menangani kasus-kasus obstetri dan neonatal emergensi dasar.
Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) di Kabupaten Manggarai Foto: Joni T. untuk AIPMNH
4
Tabel berikut ini adalah data puskesmas yang memiliki tim mampu PONED dan beroperasi secara aktif. Kabupaten/Kota Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Sumba Timur Flores Timur Manggarai Manggarai Barat Ende Sikka Kota Kupang Kabupaten Kupang Sumba Barat Ngada
Puskesmas Niki-Niki, Oinlasi, Panite Ponu, Wini, Noemuti Lewa, Malahar, Mangili, Nggongi, Melolo Waiwadan Narang Golowelu, Waenakeng, Labuan Bajo Nangapanda, Woloaru, Ria Radja, Rukun Lima, Kota Ende, Kota Ratu Paga, Waepare, Watubaing, Bola, Waegete Sikumana, Bakunase, Alak Takari, Oekabiti, Lelogama Malata, Lahihuruk, Tanarara Waepana, Maronggela
Data diperoleh dari hasil wawancara AIPMNH dengan bidan koordinator dari setiap 10 kabupaten/kota wilayah intervensi AIPMNH dan di 4 kabupaten pasca-intervensi, langsung dari bagian Kesga Dinkes Kabupaten terkait, tahun 2015.
Untuk Kabupaten Lembata, pada tahun 2010 ada 3 Puskesmas PONED yang aktif yaitu Waeriang, Balauring dan Lewoleba. Namun, di tahun 2013, tim PONED di ketiga puskesmas tersebut menjadi tidak lengkap karena Dokter Mampu PONED telah selesai masa PTT. Tim PONED yang tersisa adalah bidan dan perawat, masing-masing satu atau dua orang, sehingga fungsi tim PONED menjadi tidak maksimal. Sedangkan untuk Kabupaten Belu/Malaka, di Puskesmas Nanfalus dan Kaputu, tim PONED aktif pada tahun 2011. Namun, di tahun 2013, dokter penanggungjawab tim PONED telah menyelesaikan masa PTT sehingga fungsi tim PONED menjadi tidak maksimal.
5
TUJUAN PUSKESMAS PONED Puskesmas PONED bertujuan untuk: 1. Mampu menangani kasus ibu dan bayi normal. 2. Mampu menangani kasus-kasus gawat-darurat atau emergensi maternal dan neonatal dasar secara tepat dan cepat. 3. Melaksanakan rujukan secara cepat dan tepat untuk kasus-kasus yang tidak dapat di tangani di puskesmas. 4. Bagi Puskesmas PONED yang tim PONED-nya tidak lengkap lagi, tujuannya adalah penanganan kasus di sesuaikan dengan kewenangannya. Dalam hal ini melakukan stabilisasi dan segera melakukan rujukan secara benar, cepat dan tepat. 5. Melakukan pelayanan tindak lanjut pasca-rujukan setelah kembali dari tempat rujukan (rumah sakit).
Pelayanan persalinan di Puskesmas PONED Waepana, Kabupaten Ngada. Selain dukungan terhadap tim PONED, AIPMNH juga membangun fasilitas air bersih dan gedung KIA yang baru di Puskesmas ini. Foto: Quin untuk AIPMNH
6
1
KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN Penanganan emergensi obstetri neonatal dasar dilaksanakan di puskesmas PONED sesuai dengan ketentuan. Kasus-kasus yang bisa ditangani di puskesmas PONED sangat tergantung pada kesiapan tim, ketersediaan alat, obat, dan sarana pendukung lainnya. Menurut Kurikulum Pelatihan PONED−JNPK/Depkes RI 2008 dan Kurikulum Pelatihan PONED Kemenkes RI Pusdiklat 2011, kasus-kasus penanganan PONED di puskesmas terdiri atas: A.
Kasus Maternal:
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Perdarahan pada kehamilan Perdarahan pasca-persalinan atau post-partum Persalinan macet Ketuban pecah dini Sepsis, infeksi nifas Hipertensi dalam kehamilan Pre-eklampsia dan eklampsia
B.
Kasus bayi atau neonatal:
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Gangguan napas pada bayi Asfiksia pada neonatal Bayi berat lahir rendah Hipoglikemia pada bayi baru lahir Bayi/neonates dengan icterus Kejang pada neonatus Infeksi pada neonates
1
7
Ada perbedaan penanganan kasus di puskesmas yang memiliki tim PONED yang masih lengkap dibandingkan dengan puskesmas yang tim PONED-nya tidak lengkap. Sesuai dengan kebijakan operasional dalam Pedoman Revolusi KIA, masih dapat ditoleransi bila Tim PONED terdiri dari 1 dokter umum, 1 bidan, dan 1 perawat yang kompeten menangani kasus-kasus PONED. Namun, kebijakan Depkes/JNPK−2008 menyebutkan tim mampu PONED harus terdiri dari: 1 dokter umum, 2 bidan, dan 2 perawat, yang siap menangani kasus emergensi maternal neonatal dasar selama 24 jam sehari. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang ditangani oleh puskesmas intervensi AIPMNH dan puskesmas yang tidak mendapat intervensi AIPMNH di 14 kabupaten disajikan dalam tabel berikut. Tabel Komponen 1. Indikator di 14 Kabupaten Intervensi AIPMNH, 2009−2014 Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Persalinan Faskes (%)
42
49
65
71
73
73
Cakupan ANC X 1 (%)
90
86
91
83
83
88
Cakupan ANC X 4 (%)
65
74
69
71
65
65
Komplikasi obstetric tertangani (%)
49
41
51
50
46
59
Komplikasi neonatal tertangani (%)
15
19
25
26
34
43
Dikutip dari AIPMNH 12th Progress Report July–December 2014 (Tabel 1, Komponen 1 Indikator AIPMNH Distric 2009–2014, halaman 3) Dari tabel tersebut terlihat bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya mencari bantuan di fasilitas kesehatan untuk keselamatan ibu dan anak. Dari hasil wawancara dengan 85 Bikor (Bidan Koordinator) dalam kesempatan Pelatihan Clinical Training Skill/Clinical Instructor (CTS/CI) Bikor yang dilaksanakan pada 25 Februai s/d 18 April 2015, dapat disimpulkan bahwa puskesmas PONED dengan tim yang tidak lengkap (hanya ada bidan dan perawat) masih menangani kasus-kasus emergensi.
8
Mereka melaksanakan asuhan untuk stabilisasi pasien sebelum rujukan. Pelaksanaan asuhan kebidanan yang diberikan selalu berorientasi pada tupoksi dan sesuai kewenangan yang ditetapkan. Sedangkan untuk puskesmas yang tim PONED-nya masih lengkap, tetap menangani kasus kegawatdaruratan maternal neonatal yang datang ke puskesmas. Jika ada kasus yang tidak bisa ditangani, maka dilakukan rujukan ke rumah sakit setempat. Kegiatan terkait PONED yang dilakukan selama melakukan intervensi di berbagai puskesmas di 14 kabupaten/kota ialah: 1. Pelatihan Tim PONED Melakukan pelatihan tim PONED di Pusat Pelatihan Klinik Sekunder (P2KS) Kupang dan di Pusat Pelatihan Klinik Tertier (P2KT) Surabaya dengan setiap puskesmas. Tim lengkap sesuai jumlah minimal yang dipersyaratkan yaitu 1 dokter umum, 2 bidan, dan 2 perawat. Dana yang dibutuhkan untuk pelatihan ini berkisar Rp100 juta per paket; satu paket terdiri atas 10 orang, artinya sama dengan 2 tim PONED. 2. Evaluasi Pasca Pelatihan (EPP) PONED Evaluasi dilakukan tiga bulan setelah pelatihan, untuk mendapat gambaran penerapan di lapangan dan membantu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Evaluasi dilaksanakan oleh tim pelatih P2KS Kupang, langsung ke lokasi Puskesmas PONED. Tim evaluasi terdiri dari SPOG (Spesialis Obstetri dan Ginekologi), DSA (Dokter Spesialis Anak), dan fasilitator PONED. Anggaran yang dibutuhkan untuk kegiatan ini sekitar Rp20 juta untuk satu kali evaluasi. Peserta yang mendapat EPP dari setiap puskesmas ada lima orang. Setelah tim inti dievaluasi, kegiatan selanjutnya adalah melibatkan semua tenaga kesehatan yang ada di puskesmas tersebut (dokter, bidan, perawat, termasuk kepala puskesmas) untuk membahas hal-hal teknis penanganan kasus-kasus KIA di puskesmas, termasuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah. Evaluasi Pasca Pelatihan PONED di Puskesmas untuk mendapatkan gambaran tentang hasil pelatihan dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi Foto: Elizabeth U. untuk AIPMNH
9
3. Monev/Bimtek Monitoring dan evaluasi serta bimbingan teknis dilakukan oleh dokter spesialis (ginekologi) dan spesialis anak. Monev dan bimtek dilaukan setiap enam (6) bulan sekali, untuk meningkatkan kemampuan teknis dalam penanganan kasus-kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal dasar. Dana yang digunakan untuk setiap kali kegiatan sekitar Rp20-30 juta. Peserta pada monev/bimtek adalah semua tenaga kesehatan yang ada di puskesmas, pustu, dan polindes, yang jumlah nya bervariasi antara 20 hingga 30 tenaga kesehatan. Dalam kegiatan monev/bimtek ini, dilakukan pembahasan teknis tentang penanganan kasus, masalah-masalah yang dihadapi, dan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Kegiatan Bimbingan Teknis PONED di Puskesmas Kota Labuan Bajo. Foto: Quin untuk AIPMNH
10
4. Supervisi Fasilitatif Supervisi fasilitatif dilakukan untuk penguatan layanan ANC, INC, PNC, KB Pasca-salin, asuhan bayi baru lahir, dengan melihat kualitas asuhan dalam kepatuhan terhadap Standar Prosedur Operasinal (SPO). Supervisi ini dilakukan 2 kali dalam 6 bulan, yaitu 1 kali dari kabupaten ke puskesmas, dan 1 kali lagi dari puskesmas ke pustu dan polindes. Kegiatan ini, bisa menjadi upaya preventif untuk deteksi dini akan kegawatdaruratan maternal dan neonatal dasar. Dana yang digunakan untuk setiap kegiatan berkisar antara Rp 12–15 juta. Kegiatan ini dihadiri oleh semua bidan yang ada di puskesmas, pustu dan polindes, biasanya berkisar antara 20−30 peserta. Kegiatan yang umumnya dilakukan dalam supervisi fasilitatif antara lain: melihat administrasi pencatatan, pelaporan, kohor ibu, anak, KB, persiapan di kamar bersalin, ruang KIA/ KB, ruang nifas, SPO yang ada, dan kepatuhan terhadap SPO dalam pemberian pelayanan terhadap pasien. Terkait dengan tingkat kepatuhan pada SPO, sebuah survei dilakukan pada Maret 2014 di 14 kabupaten intervensi AIPMNH, di 28 puskesmas dan 28 pustu/polindes, dengan responden sebanyak 84 bidan (lulusan D1: 16 orang, D3:67 orang, dan D4: 1 orang). Penentuan sampel secara sesaat yaitu waktu survey, sampel sementara melakukan tugas (dinas). Hasilnya adalah: 40% patuh pada SPO sedangkan 60% tidak patuh pada SPO. Pada umumnya, dalam hal persiapan alat-alat, masih t erdapat sejumlah kekurangan: di beberapa puskesmas, ada alat yang tidak berfungsi karena sudah rusak dan ada yang memang tidak memiliki alatnya.
Supervisi fasilitatif di Puskesmas PONED Waiwadan, 2014 Foto: Elizabeth U. untuk AIPMNH
11
5. Magang PONED Magang bagi tim PONED dari puskesmas dilaksanakan sekali setiap triwulan dengan jumlah peserta magang berkisar 8−10 peserta. Magang dilakukan selama 8-10 hari. Magang dilaksanakan di rumah sakit masing-masing kabupaten, kecuali untuk Kabupaten Manggarai Barat magang dilaksanakan di RSUD Manggarai atau Ngada, dengan dana sekitar Rp. 25−30 juta. Pembimbing dalam magang biasanya adalah SPOG, DSA , dan Clinical Instructur RSUD setempat. Pada umumnya, ada perbedaan peningkatan antara pre dan post-magang, meskipun kenaikannya tidak mencolok. Para peserta magang mengusulkan agar waktu/durasi magang dibuat lebih lama, sekitar 2-3 minggu untuk sekali magang. Laporan dari kabupaten menyatakan bahwa setelah adanya bimtek, supervisi fasilitatif, dan magang, tingkat kepatuhan terhadap SPO sudah semakin baik. Namun, kajian yang lebih terencana perlu dilakukan pada periode mendatang.
Briefing bersama para bidan, perawat, bidan dan perawat magang di RSUD Bajawa, Januari 2015
12
Foto: Quin untuk AIPMNH
6. Survei Retensi Pengetahuan dan Keterampilan Survey retensi pengetahuan dan keterampilan pasca-pelatihan PONED dilakukan terhadap pelatihan yang dilakukan pada tahun 2010 dan 2011. Survei ini dilakukan terhadap bidan dari Kota Kupang, Kabupaten Flotim, TTS, dan TTU dengan sampel berjumlah 31 bidan yang mengikuti pelatihan PONED. Survei dilakukan pada bulan Mei s/d Juli 2014. Hasil yang diperoleh: • Untuk retensi pengetahuan PONED, 36% berada pada kategori retensi pengetahuan sedang dan 63% termasuk kategori kurang. • Untuk retensi keterampilan penanganan kasus-kasus kegawat darurat an/emergensi maternal dan neonatal dasar, yang dinilai adalah keterampilan penanganan perdarahan dengan kompresi bimanual internal/kompresi bimanual external (KBI/KBE). Hasilnya adalah: Baik 7%, Sedang 43%, dan Kurang 50%. • Keterampilan manual plasenta: Baik 21%, Sedang 29%, Kurang 65% • Penatalaksanaan shock: Baik 16%, Sedang 37%, Kurang 7%. • Penanganan partus macet/dystocia bahu: Baik 6%, Sedang 29%, Kurang 65%. Kesimpulan dari hasil di atas: agar pengetahuan dan keterampilan bisa bertahan (retensi), perlu ada kegiatan berkesinambugan untuk menguatkan pengetahuan maupun keterampilan. Kegiatan dapat dilakukan dalam bentuk: bimbingan teknis, magang, penyegaran/refreshing dan sebagainya. 7. Pelaksanaan Rujukan Kasus PONED Khusus untuk kasus-kasus emergensi maternal neonatal yang tak dapat diselesaikan di puskesmas PONED, maka harus segera dirujuk ke rumah sakit PONED di kabupaten. Rujukan harus dilakukan dengan sistem rujukan yang benar, yaitu; diantar bidan, keluarga, membawa alat, obat, persiapan uang, persiapan pendonor (darah), serta surat rujukan yang mencatat riwayat penyakit termasuk dengan penanganan, perawatan, pengobatan yang telah diberikan saat di puskesmas, di perjalanan sampai ke tempat rujukan.
13
Hasil pengamatan AIPMNH, kegiatan rujukan di beberapa puskesmas (ke rumah sakit) belum maksimal dari segi kualitas rujukan, termasuk mengenai rujukan ke rumah sakit non-PONEK. Berbagai permasalahan seperti ini dan masalah lainnya masih perlu dikaji secara lebih spesifik pada waktu-waktu mendatang. Disarankan agar pemda kabupaten mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan atau regulasi bahwa rujukan hanya dapat dilakukan ke rumah sakit PONEK. Berikut ini adalah tabel tentang kegiatan yang telah dilakukan di wilayah intervensi AIPMNH terkait dengan peningkatan mutu pelayanan klinis di Puskesmas. Tabel: Kegiatan y ang dilakukan di wilayah internvensi AIPMNH untuk peningkatan mutu pelayanan klinis KIA di Puskesmas. Jumlah pelatihan per tahun
Anggota Tim
Biaya per tahun (Rp)
Pelatihan
APN: 2 kali PONED: 2 kali PPGDON: 2 kali CTU: 3 kali BBLR/Asfiksia: 3 kali
10 orang per pelatihan 10 orang per pelatihan 15 orang per pelatihan 15 orang per pelatihan 15 orang per pelatihan
80 juta 220 juta 90 juta 165 juta 150 juta
EPP
APN: 2 kali PONED: 2 kali PPGDON: 2 kali CTU: 3 kali BBLR/Asfiksia: 3 kali
10 rang/pelatihan 10 orang/pelatihan 15 orang/pelatihan 15 orang/pelatihan 25 orang/pelatihan
40 juta 60 juta 60 juta 75 juta 75 juta
Supervisi fasilitatif
4 kali per tahun
30 orang/kegiatan
80 juta
Bimbingan teknis
4 kali per tahun
30 orang/kegiatan
80 juta
Magang
4 kali per tahun
15 orang/kegiatan
120 juta
14
TANTANGAN YANG DIHADAPI Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan ibu dan anak terdepan, harus mempersiapkan diri dengan baik agar dapat memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang memadai. Persoalan utama yang dihadapi oleh Puskesmas PONED adalah tidak lengkapnya tim PONED dalam hal ini penanggung jawab PONED. Di bawah ini adalah berbagai tantangan yang dihadapi oleh puskesmas PONED: 1.
2.
3.
Adanya surat keputusan bupati dalam penetapan puskesmas PONED di wilayah masing masing. Namun, beberapa puskesmas PONED tidak memiliki penanggung jawab teknis, yaitu dokter PONED. Maka kegiatan penanganan emergensi obstetri maternal neonatal tidak berjalan maksimal. Padahal, masyarakat sudah paham akan haknya terkait dengan pelayanan kesehatan di puskesmas dan berharap agar mendapatkan pelayanan yang memadai. Adanya Peraturan Desa (Perdes) tentang KIBBLA. Masyarakat sudah semakin sadar akan peran puskesmas PONED dan layanan yang bisa didapat saat dibutuhkan. Kesadaran masyarakat ini adalah hasil dari kerja sama pemerintahan desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh kunci di masyarakat, PKK, kegiatan reformasi puskesmas, kemitraan bidan dukun, yang semuanya bermuara pada membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan ibu dan anak, dan kesehatan keluarga seutuhnya. Karena itu, tanggung jawab puskesmas untuk memenuhi harapan masyarakat semakin besar. Tanpa tim PONED yang utuh, harapan ini sulit dipenuhi. Adanya Pergub Revolusi KIA untuk percepatan penurunan AKI dan AKB di NTT ditetapkan bahwa: semua persalinan harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai. Dalam penjabarannya, fasilitas kesehatan yang memadai adalah: yang terpenuhi sumber daya manusia kesehatannya, bangunan, obat, bahan, sistem, peraturan dan anggaran yang memadai.
1
15
Jadi, puskesmas yang memadai adalah puskesmas PONED. Tenaga kesehatan yang ditentukan dalam Revolusi KIA adalah: 1 dokter umum, 1 bidan, dan 1 perawat yang telah dilatih dan mampu PONED, serta bersertifikat. Kedepan, yang dibutuhkan di satu puskesmas memadai adalah: 5 bidan (D3) sudah dilatih asuhan persalinan normal, BBLR, asfiksia, pencegahan infeksi, pertolongan pertama kegawatdaruratan obstetrik dan neonatus, PONED; 5 perawat (D3) yang sudah dilatih pencegahan infeksi, PONED, BBLR, pelatihan penaganan gawat darurat/ basic cardiac life support, asfiksia; dan tenaga kesehatan lain masingmasing 1 orang sesuai kompetensi. 4.
Kasus-kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal dasar sebenarnya merupakan kondisi kasus yang dapat dicegah agar tidak berkembang menjadi gawat-darurat bila ditangani secara tepat dan sedini mungkin. Semua Standar Prosedur Operasional (SPO), petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sudah disiapkan di puskesmas. Jadi, sangat tergantung kepada sumber daya manusia sebagai pelaksana pelayanan kesehatan khususnya di bagian KIA/KB dan laboratorium.
Evaluasi Kompetensi OSCA Poltekes Kupang Foto: Quin untuk AIPMNH
16
KEBUTUHAN DI MASA DEPAN Berikut ini beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan untuk menjawab tantangan yang dihadapi: 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Untuk dapat memaksimalkan fungsi puskesmas, maka bimtek, monev, magang dan supervisi fasilitatif masih perlu dilaksanakan, sambil mengevaluasi kemampuan staf puskesmas dalam melaksanakan tugasnya. Perlu dilakukan pendampingan tetap untuk penguatan puskesmas seutuhnya, oleh tenaga yang disiapkan dengan kriteria khusus. Pendampingan ini dilakukan untuk pembinaan terpadu pada kabupaten uji coba, di beberapa puskesmas terpilih. Melakukan kajian-kajian teknis di puskesmas PONED untuk mendapat data secara objektif, dalam rangka menyusun strategi ke depan. Menggalakkan kegiatan promotif, preventif, dan deteksi dini, sehingga bisa mengurangi keterlambatan pengenalan masalah kegawatdaruratan maternal maupun neonatal dasar. Melatih dokter tetap (PNS) di puskesmas untuk menjadi ketua tim PONED. Ini adalah salah satu cara untuk megatasi seringnya tim PONED kurang aktif akibat ketiadaan ketua tim PONED. Data analisis Puskesmas oleh AIPMNH tahun 2009–2014 menunjukkan bahwa jumlah kematian ibu dua kali lebih tinggi di wilayah terpencil (dengan jangkauan lebih dari dua jam berkendara dari ibukota kabupaten) dibandingkan dengan daerah di dekat ibukota kabupaten. Oleh karena itu, kehadiran Puskesmas mampu PONED yang berjalan dengan baik, sangat penting di daerah terpencil untuk mencegah kematian ibu dan neonatal.
Ibu dan bayi pengguna pelayanan kesehatan ibu dan anak di Puskesmas Wini, Kabupaten TTU. Foto: Quin untuk AIPMNH
17
AIPMNH 2015