PENINGKATAN KUALITAS MELALUI REDUKSI WASTE MENGGUNAKAN PENDEKATAN LEAN RISK DI PT. GUNAWAN DIANJAYA STEEL SURABAYA Ria Asyrofa dan Ir. Hari Supriyanto, MSIE Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected] Abstrak
Perusahaan Gunawan Dianjaya Steel (GDS) merupakan salah satu perusahaan pelat baja yang fokus pada kepuasan konsumen dengan pemberian produk yang berkualitas. Akan tetapi, defect yang tinggi masih terjadi pada produk yang dihasilkan. Berdasarkan data produksi Bulan Juni – Agustus 2009, diketahui bahwa defect yang tinggi terjadi pada slab Mild Steel dengan spesifikasi ASTM A-36. Adanya defect yang tinggi membuat perusahaan melakukan produksi kembali atau melakukan rework untuk produk yang masih dapat diproses untuk memenuhi pelanggan yang lain, sehingga ada indikasi waste dan aktivitas non value added disepanjang aliran proses produksi. Pendekatan metode yang digunakan untuk mereduksi waste tersebut adalah Lean Risk. Penggabungan metode Lean Risk dapat saling mendukung untuk tercapainya performansi yang lebih baik. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari penggambaran kondisi sistem dengan Big Picture Mapping, pengidentifikasian waste paling berpengaruh dengan Pareto, pencarian penyebab terjadinya waste kritis dengan RCA dan FMEA, dan terakhir menentukan alternatif terbaik dengan analisis value dan analisis sensitivitas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada proses produksi pelat ASTM A-36 terdapat waste defect dan waiting. Untuk mengatasi waste tersebut diusulkan untuk menggunakan alternatif perbaikan menambah alat bantu pengukur temperatur dan alarm penanda serta melakukan pelatihan untuk pekerja Departemen Maintenance. Kemudian, dilakukan estimasi perbaikan untuk mengetahui peningkatan yang terjadi. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas non value added dapat berkurang sebesar 3% dari yang semula sebesar 36%. Kata Kunci: pelat baja, Lean Risk, Waste, Big Picture Mapping, RCA, FMEA, analisis value, analisis sensitivitas.
Abstract
Gunawan Dianjaya Steel Company (GDS) is one of steel plate company that focuses on customer satisfaction by providing high qualified products. However, the high defect still exsists in the product. Based on production data from June to August 2009, the high defect existed in the slab Mild Steel with specification ASTM A-36. The presence of high defect makes the company reproduce the plate or to rework the product that can still be processed to meet other customers’s needs, so it was indicated by the presence of waste and non value added activities during the production process. Approach used to reduce waste is Lean Risk Management. Merging Risk Management Lean approach can support each other to achieve better performance. Stages of research conducted in this research consist of a system description using the Big Picture Mapping, identificate of the most influential waste using Pareto, searching the cause of the critical waste with RCA and FMEA, and finally determinetion of the best alternative by making use value analysis and sensitivity analysis. The results showed that the plate ASTM A-36 production process have defects and waste waiting. To overcome such waste is proposed to increase the use of alternative repair by the addition of measuring temperature equipment alarm markers and conducting training for the Maintenance Department workers. Then, the estimated improvement was done to determine the increase is happening. The results showed that non-value added activities can be reduced 3 percent from the original, 36 percent. Keywords: steel plate, Lean Risk, Waste, Big Picture Mapping, RCA, FMEA, value analysis, sensitivity analysis.
1
1. Pendahuluan Di abad 21 ini, pelanggan adalah dominator baru bagi perusahaan untuk dapat bersaing di ketatnya kompetisi bisnis. Oleh karena itu, perusahaan perlu memperhatikan keinginan dan harapan pelanggan terhadap produk perusahaan. Menurut Wang et al (2005), satu-satunya aktivitas yang dapat dilakukan untuk mempertahankan eksistensi perusahaan di pasar adalah dengan menawarkan produk atau servis dengan harga rendah dan kecepatan pelayanan yang tinggi tanpa mengabaikan kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen terletak pada pemberian produk yang berkualitas. Produk yang berkualitas adalah produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Dengan demikian, untuk meningkatkan tingkat kepuasan konsumen, perusahaan dituntut untuk meningkatkan kualitas produk. Perusahaan Gunawan Dianjaya Steel (GDS) merupakan salah satu perusahaan yang fokus pada kepuasan konsumen. Perusahaan ini selalu memperbaiki kualitas produk dan secara terus menerus berusaha memenuhi keinginan pelanggan. Produk yang dihasilkan GDS adalah pelat baja. Produksi yang dilakukan bersifat job order. Perusahaan akan melakukan produksi sesuai dengan permintaan pelanggan. Ada 4 jenis raw material atau slab yang digunakan untuk membuat pelat baja dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Setiap jenis slab tersebut memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Untuk menjaga kekonsistensian kualitas produk, perusahaan melakukan evaluasi setiap 3 bulan sekali. Akan tetapi, defect yang tinggi masih terjadi pada produk yang dihasilkan. Defect rate perusahaan saat ini (Bulan Juni – Agustus 2009) mencapai 6.67% diatas target cacat yang ditentukan perusahaan, yaitu sebesar 2%. Berdasarkan data produksi Bulan Juni – Agustus 2009, diketahui bahwa defect yang tinggi terjadi pada slab Mild Steel. Setelah ditelusuri lebih lanjut, didapat bahwa Mild Steel dengan spesifikasi ASTM A-36 paling banyak terjadi defect/cacat. Oleh karena itu, Mild Steel jenis ASTM A-36 pelat tipis (8 – 15 mm) dijadikan objek amatan untuk penelitian. Terjadinya suatu defect atau cacat mengandung unsur ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut dapat disebabkan oleh material, proses produksi, kelalaian operator, packaging, kegiatan distribusi, dan hal lain penyebab cacat. Ketidakpastian dari suatu
kejadian dapat dikatakan sebagai risiko, sehingga proses produksi GDS mengandung risiko terjadinya cacat. Secara umum, risiko didefinisikan sebagai kombinasi antara occurrence (keseringan) dan severity (keseriusan) dari harm (kerugian atau bahaya yang ditimbulkan). Untuk perusahaan yang menjangkau pasar internasional seperti GDS, produk cacat menimbulkan kerugian yang besar, yaitu kerugian karena hilangnya opportunity produk untuk dijual, hilangnya semua biaya yang melekat dari hasil produksi, dan juga hilangnya kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Dengan demikian, defect dapat dikategorikan sebagai suatu risiko. Dalam panduan PRAM oleh Association for Project Management halaman 16 (1997), risiko adalah serangkaian keadaan yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan manajemen terhadap risiko yang terjadi. Disamping menimbulkan risiko, permasalahan defect yang tinggi juga akan membuat lead time semakin panjang, sehingga berpengaruh pada waktu pengiriman yang nantinya berdampak pada kepuasan pelanggan. Adanya defect yang tinggi membuat perusahaan melakukan produksi kembali atau melakukan rework untuk produk yang masih dapat diproses untuk memenuhi pelanggan yang lain. Perusahaan melakukan berbagai macam cara agar kebutuhan pelanggan terpenuhi. Hal ini mengindikasikan adanya waste dan aktivitas non value added disepanjang aliran proses produksi, mulai dari persiapan material sampai melakukan distribusi ke customer. Untuk itu, dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan perbaikan terhadap waste dan aktivitas non value added serta mengorganisasi risiko yang ada, diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, memperpendek lead time sehingga dapat mengoptimalkan kecepatan dan ketepatan pengiriman produk, memperbaiki kualitas, dan mengurangi biaya produksi. Pendekatan metode yang digunakan adalah Lean Risk. Metode Lean Risk menggabungkan konsep Lean Thinking dan Quality Risk Management. Namun, konsep Qualuty Risk Management digunakan sebagai pedoman untuk menentukan waste kritis, sehingga dapat dikatakan risk dalam lean. Menurut Sibinga (2001), mengatur risiko merupakan bagian integral dari manajemen mutu atau kualitas, yaitu sebagai alat untuk
2
mengukur dan pemantauan kepuasan sebagai ungkapan persepsi kualitas. Dengan demikian, Lean Risk dapat saling mendukung tercapainya performansi yang lebih baik. Diharapkan melalui metode ini tujuan perusahaan untuk meningkatkan tingkat kepuasan pelanggan dapat tercapai dengan risiko kerugian yang minimum. Adapun tujuan dari penelitian ini ada empat, yaitu mengidentifikasi aktivitas value added, non-value added, dan necessay but non-value added yang terjadi pada proses produksi objek amatan; mengidentifikasi dan menganalisis risiko untuk waste kritis; membangun CTQ dari waste kritis; mencari penyebab terjadinya waste kritis; dan m emberikan rekomendasi perbaikan terhadap penyebab waste kritis yang menimbulkan risiko untuk meningkatkan kualitas produk. 2. Critical Review Ada sejumlah penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan konsep Lean Thinking dan Quality Risk Management. Swanjaya (2005) menggunakan konsep Lean pada perusahaan baja untuk mereduksi defect dengan tools FMEA. Penelitian lainnya yang juga bertujuan meningkatkan kualitas adalah Urohman (2007), yaitu menggunakan Quality Risk Management (QRM) dan tools yang digunakan juga FMEA. Pada penelitian ini, konsep yang digunakan untuk meningkatkan kualitas tidak hanya menggunakan konsep Lean saja, tetapi juga melihat produk cacat sebagai kerugian dan akibat proses produksi yang mengandung ketidakpastian (risiko). Konsep ini hampir sama seperti penelitian yang dilakukan Rakhmawati di Tahun 2008 yang menggabungkan konsep Lean dan HACCP. HACCP dapat dikatakan sebagai risiko hanya saja lebih spesifik untuk makanan. Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menggunakan FMEA sebagai tools. Dengan demikian, kedudukan penelitian ini dibandingkan penelitian sebelumnya terletak pada penggabungan konsep Lean Thinking dan Quality Risk Management dengan tools FMEA dan nantinya akan dilakukan analisis sensitivitas terhadap alternatif perbaikan. 3. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian adalah tahapan atau langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian. Secara garis besar, langkah atau tahapan yang dilakukan dibagi menjadi empat bagian yaitu: tahap identifikasi permasalahan,
tahap pengumpulan dan pengolahan data, tahap analisa data dan tahap kesimpulan dan saran. Pada tahap identifikasi permasalahan dilakukan penentuan topik penelitian, latar belakang pentingnya penelitian dilakukan, tujuan, serta studi pustaka dan lapangan. Masalah yang sedang dihadapi perusahaan saat ini berawal dari terjadinya produk cacat yang tinggi. Kecacatan produk tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi akibat adanya waste/pemborosan yang terjadi pada proses produksi. Dari adanya indikasi ini, dilakukan penelusuran lebih lanjut terhadap hal-hal yang mempengaruhi produk cacat dari whole stream process untuk mengetahui penyebab defect agar dapat dilakukan perbaikan dengan mempertimbangkan risiko yang ada. Kemudian setelah mendapatkan suatu permasalahan yang akan diteliti, ditentukan juga tujuan penelitian yang berorientasi pada kepentingan objek amatan agar penelitian terarah. Selanjutnya dilakukan studi pustaka dan lapangan untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Sumber referensi bersumber dari buku, jurnal, maupun penelitian yang telah dilakukan, sedangkan studi lapangan dilakukan dengan pengamatan objek yang akan diteliti untuk memberikan gambaran secara garis besar kondisi perusahaan. Pada tahap pengumpulan dan pengolahan data, dibagi menjadi dua pembahasan, yaitu pendefinisian kondisi eksisting dan pengukuran kemampuan proses perusahaan. Pada tahap pendefinisian kondisi perusahaan dilakukan pengumpulan data untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi. Data yang dimaksud adalah data defect, data jenis defect, dan data gambaran umum perusahaan. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase ini adalah: (1) penentuan ruang lingkup yang dijadikan penelitian (Establish the context). Penentuan kontek ini terdiri dari menentukan the strategic context (kontek strategis), organizational context (kontek organisasi) dan menentukan kriteria risiko yang akan digunakan pada penelitian ini, (2) penggambaran proses bisnis perusahaan untuk produk ASTM A-36 menggunakan Big Picture Mapping. (3) Identifikasi waste yang berisiko berdasarkan data frekuensi terjadinya waste dan dan brainstorming dengan pihak manajemen perusahaan serta melalui pengamatan langsung. Untuk tahap pengukuran kemampuan proses perusahaan hal-hal yang dilakukan adalah:
3
pengukuran waste yang paling berpengaruh dengan mengumpulkan data primer terjadinya waste, identifikasi CTQ (Qritical to Quality) dari waste yang paling berpengaruh berdasarkan kriteria risiko dengan menggunakan pareto chart untuk mendeskripsikan prioritas masalah yang akan dilakukan perbaikan, dan pengukuran kapabilitas proses kondisi perusahaan saat ini. Pada tahan analisis dan perbaikan juga dibagi dalam dua tahapan, yaitu tahapan analisis hasil dan usulan perbaikan. Tahap analisis yang dilakukan, yaitu melakukan analisis terhadap akar penyebab waste kritis dengan RCA (Root Cause Analyze) dan menilai faktor penyeban kritis dengan FMEA. Untuk usulan perbaikan difokuskan pada penyelesaian masalah terkritis dengan memberikan alternatif pemilihan solusi perbaikan. Selanjutnya, dilakukan pemilihan alternatif usulan terbaik berdasarkan value analysis dan juga berdasarkan sensitivity analysis. Kemudian dilakukan penarikan suatu kesimpulan berdasarkan analisa dan interpretasi yang telah dilakukan untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai. 4. Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan data terdiri dari pendefinisian kondisi perusahaan dan pengukuran kemampuan proses perusahaan, sedangkan tahap pengolahan data terdiri dari analisis hasil dan usulan perbaikan. 4.1 Pendefinisian Kondisi Perusahaan Pendefinisian ini bertujuan untuk menunjukkan permasalahan yang telah disebutkan pada latar belakang penelitian benarbenar sedang terjadi dan merupakan suatu masalah. Pemaparan yang dilakukan, terdiri dari identifikasi produk amatan, establish the context, Big Picture Maping, pemetaan aktivitas, dan pendefinisian risiko. Dari pemaparan latar belakang diketahui bahwa produk yang memiliki cacat terbanyak adalah produk dengan spesifikasi ASTM A-36. Untuk menunjukkan bahwa jenis produk ini perlu diteliti, maka dilihat juga dari data permintaan untuk masing-masing periode, yaitu bulan Juni 2009, Juli 2009, dan Agustus 2009. Dari deskripsi data produk cacat dan permintaan, pelat ASTM A-36 merupakan jenis pelat yang sering dipesan, tetapi sering terjadi cacat. Dengan demikian pelat spesifikasi ini prioritas untuk diteliti.
Setelah ditentukan objek amatan, kemudian ditentukan ruang lingkup penelitian (establish the context). The Strategic Context (ruang lingkup strategis) dan Organizational Context (ruang lingkup organisasi) adalah dasar ruang lingkup untuk pendefinisian risiko. Untuk ruang lingkup strategis, dilihat dari visi dan misi perusahaan serta kebijakan mutu perusahaan. Hasil yang didapa menunjukkan bahwa perusahaan fokus pada kualitas produk demi kepuasan pelanggan. Kemudian, dilakukan penggambaran proses bisnis perusahaan dengan Big Picture Mapping dan pemetaan aktivitas. Hasil Big Picture Mapping diketahi bahwa untuk membuat 1 lembar pelat tipis dibutuhkan waktu 2, 825 jam. Untuk pemetaan aktivitas, diketahui bahwa value added activitiy sebesar 25%, necessary but non value added activity sebesar 40,91%, dan sisanya, 34,09%, merupakan non value added activity. Untuk pendefisinian risiko, sebelumnya dilakukan pembatasan bahwa risiko yang didefinisikan dibatasi pada risiko yang terjadi di operasional (operational risk). Hal tersebut dilakukan berdasarkan potensi kerugian yang terjadi terhadap kualitas produk. Berdasarkan Darmawi (2008), kerugian dapat diklasifikasikan menjadi 3 hal, yaitu kerugian hak milik (property losses), kewajiban mengganti kerugian orang lain (liability losses), dan kerugian personalia (personnel losses). Indikator dari masing-masing kerugian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4. 1 Klasifikasi Kerugian Beserta Indikatorindikatornya Klasifikasi Kerugian
Property Losses
Indikator Penghentian aktivitas produksi akibat mesin breakdown Kebutuhan untuk mengganti produk defect yang belum dikirim ke konsumen Beberapa proses tidak berjalan dengan sempurna akibat kerusakan mesin Beberapa proses tidak berjalan dengan sempurna akibat pengoperasian yang kurang tepat
Variasi produk yang besar akibat keterampilan pekerja dalam mengoperasikan mesin berbeda-beda
Liability Losses Personnel Losses
Pemesanan material yang berlebihan Aliran produksi tidak lancar akibat waktu produksi melebihi standard Produksi pelat melebihi jumlah pesanan Komplain konsumen akibat produk defect Keterlambatan pengiriman produk Kecelakaan kerja pada saat proses produksi berlangsung
4
4.2 Pengukuran Kemampuan Proses Perusahaan Untuk dapat melakukan pengukuran terhadap kemampuan proses perusahaan, maka harus diketahui terlebih dahulu waste yang paling berpengaruh terhadap proses produksi. Setelah diketahui waste yang paling berpengaruh, kemudian dibangun critical to quality lalu dilakukan pengukuran kemampuan proses produksi. 4.2.1 Pengukuran Waste Paling Berpengaruh Berdasarkan Frekuensi Kejadian Pengukuran waste didasarkan pada data primer dan sekunder. Untuk dapat mendefinisikan masing-masing waste, maka ditentukan indikator dari masing-masing waste. a. Jenis waste Environment and human safety Indikator waste Jumlah kecelakaan yang terjadi Penggunaan alat Keselamatan kerja
b. Jenis waste Defect Indikator waste Adanya pelat reselection dan pelat reject
Produk reselection adalah produk yang memerlukan proses ulang (rework) produk defect, tetapi masih bisa ditoleransi, sedangkan produk reject, adalah produk yang sudah tidak bisa diperbaiki. c. Jenis waste Over Production Indikator waste Adanya pelat yang OK berlebih
Data untuk waste overproduction didapat dari data customer pada Bulan Agustus-Oktober 2009 yang dibandingkan dengan data produksi. d. Jenis Waste Waiting Indikator waste Adanya material yang menunggu untuk diproses
Data waiting merupakan data mesin breakdown saat proses produksi. Prosentase waste waiting merupakan pembagian antara trouble per hari dengan jumlah jam dalam 1 hari, yaitu 24 jam. e. Jenis waste inventory Indikator waste inventory pelat yang melebihi batas toleransi batas inventory pelat 100.000.000 kg
Data untuk waste inventory sama seperti overproduction, hanya saja dilihat dari segi kapasitas inventory. Pengukuran waste inventory tidak memperhitungkan inventory material, slab, karena pemesanan slab dilakukan untuk 3 bulan mendatang atau sesuai kapasitas gudang slab, yaitu 2.000.000.000 kg, sehingga disengaja adanya inventory. Kebijakan ini dilakukan mengingat pemesanan slab dilakukan dengan mengimpor slab sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses distribusi.
f. Jenis Waste Not Utilizing Employees Knowledge, Skill and Abilities Indikator waste jam kerja karyawan yang tidak sesuai spesifikasi/job desc.
Proses produksi pelat di GDS adalah semi otomasi, yaitu sebagian proses menjadikan pekerja sebagai operator untuk menjalankan mesin dan mesin yang melakukan proses dan sebagian mengharuskan pekerja untuk melakukan proses secara manual. Pengukuran waste not utilizing employees knowledge, skill and abilities dilakukan dengan melihat jam kerja pekerja yang dilakukan tidak berdasarkan job description yang diberikan. Kondisi yang ada di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan tidak pernah melakukan pergantian pekerja antar stasiun kerja atau rolling untuk mengurangi risiko kesalahan operasi karena pengoperasian masing-masing mesin membutuhkan keterampilan yang berbeda-beda. Dengan demikian, dapat dikatakan prosentase terjadinya waste ini sangat kecil atau 0%. g. Jenis Waste Transportation Indikator Waste Melakukan perpindahan berulang-ulang dan lama sehingga terjadi antrian produk maupun WIP
Pengamatan untuk waste ini dilakukan pada proses perpindahan yang lama, yaitu perpindahan slab menuju dapur furnace dan perpindahan pelat ke gudang 2. Kedua perpindahan tersebut menggunakan crane sebagai alat transportasi. Indikasi perpindahan yang lama terlihat dari barang angkut yang mengantri untuk dipindahkan. Waktu pengamatan merupakan waktu saat pengamatan dilakukan, yaitu waktu saat operator crane masih semangat bekerja, yaitu saat selesai istirahat dan waktu saat sudah mulai lelah, yaitu mendekati waktu pulang atau pergantian shift. Pengamatan saat slab diangkut dari cutting slab ke dapur furnace tidak membedakan slab untuk pelat tipis atau pelat tebal. Karena perbedaan pengangkutan slab untuk pelat tipis atau tebal tidak berbeda secara signifikan. h. Jenis waste Motion Indikator Waste Proses pengerjaan lebih lama
Waste motion dapat terjadi karena lingkungan kerja yang kurang/tidak ergonomis. Pada proses pemotongan pelat untuk mendapatkan panjang pelat sesuai pesanan dilakukan pengukuran ketebalan pelat. Pada saat proses ini, suhu pelat masih cukup tinggi, yaitu antara 550 – 680 C, sehingga pengukuran dilakukan dengan jarak yang cukup jauh dan penggunaan alat ukur yang panjang untuk dapat menjangkau pelat. Namun, pengukuran ini sering dilakukan berulang-ulang mengingat suhu pelat yang masih panas sehingga pekerja tidak
5
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa proses yang menyebabkan adanya waste menimbulkan kerugian, sehingga dapat dikatakan bahwa waste juga akan menimbulkan kerugian atau memiliki risiko. Dari klasifikasi kerugian, selanjutnya risiko ditunjukkan dengan besar kerugian yang dialami. Perhitungan kerugian melibatkan biayabiaya seperti biaya untuk menghasilkan pelat per kg, harga jual pelat per kg, biaya operasi mesin per jam, dan gaji operator per jam. Setelah i. Jenis Waste Excess Process dilakukan pengolahan, didapat bahwa waste Indikator Waste Adanya proses tambahan yang tidak sesuai job desc. dengan nilai frekuensi kejadian yang tinggi Proses rework dapat dikatakan sebagai memiliki risiko yang besar, dilihat dari kerugian waste excess process karena produk harus yang ditimbulkan. Selanjutnya dilakukan dilakukan proses ulang untuk didapatkan hasil pengukuran waste yang paling berpengaruh. yang sesuai. Proses tambahan ini adalah proses Pengukuran waste yang paling berpengaruh gerinda apabila ditemukan sisi samping pelat didapat dari nilai kerugian yang besar. tidak rata. Data yang didapat sebagai data Perhitungan nilai kerugian awalnya disesuaikan frekuensi terjadinya waste ini dilakukan dengan dengan data identifikasi waste yang paling pengamatan langsung. Untuk pengamatan berpengaruh. Untuk waste waiting, kerugian gerinda pelat yang merupakan proses tambahan yang dihitung adalah untuk 10 bulan. Untuk ketika pelat bermasalah (rework), pengamatan waste defect, besar kerugian adalah untuk 3 dikhususkan untuk pelat tipis. Karena pelat tipis bulan, overproduction 3 bulan, dan waste motion dalam 1 shift belum tentu selalu ada, bergantung dan excess processing disesuaikan dengan lama pada demand, maka pengamatan dilakukan pengamatan yang dilakukan. Setelah selama beberapa hari. menghitung masing-masing kerugian, penulis Dari hasil pengukuran tiap-tiap waste, menyamakan satuan waktu menjadi per bulan. rekap keseluruhan waste dapat dilihat pada Pada Tabel 4.4 ditunjukkan bahwa waste paling Tabel 4.2. Setelah diurutkan dari waste terbesar berpengaruh adalah waste waiting dan defect. sampai terkecil berdasarkan frekuensi kejadian, Tabel 4. 3 Proses Penyebab Waste kemudian dipilih 5 waste terbesar. Tidak hanya Proses Penyebab Klasifikasi Jenis Waste Indikator Waste Waste Kerugian didasarkan pada data, tetapi pemilihan juga Adanya material yang Penghentian aktivitas menunggu untuk produksi akibat mesin Waiting Property Losses didasarkan pada brainstorming dengan pihak diproses breakdown manajemen. Waste yang dipilih adalah waiting, Beberapa proses tidak berjalan dengan Property Losses defect, overproduction, excess process, dan sempurna akibat kerusakan mesin Adanya pelat transportation. Defect reselection dan pelat Beberapa proses tidak
terlalu yakin dengan hasil pengukuran yang membuat pengukuran dilakukan beberapa kali. Untuk mengetahui frekuensi terjadinya waste motion, maka dilakukan pengamatan langsung di area sumber waste. Pengamatan untuk waste motion tidak membedakan tipis tebalnya pelat karena waste terdefinisi pada kondisi temperatur pelat yang sangat panas yang mengakibatkan kemungkinan error saat pengukuran atau melakukan pengukuran tebal pelat yang berulang-ulang.
reject
Tabel 4. 2 Rekap Waste Berdasarkan Frekuensi Kejadian Jenis waste EHS Defect Overproduction waiting not utilizing employee transportation inventory motion excess process
Prosentase rank Frekuensi Waste 0,250% 6 5,539% 2 2,223% 3 8,285% 1 0,000% 9 0,785% 5 0,014% 8 0,125% 7 1,174% 4
4.2.2 Proses Penyebab Waste dan Risiko yang Ditimbulkan Dari waste hasil pengukuran berdasarkan frekuensi kejadian, diidentifikasi proses penyebabnya untuk kemudian dihubungkan dengan klasifikasi kerugian. Penjelasan pada
Overproduction
Adanya pelat yang OK berlebih
Adanya proses Excess process tambahan yang tidak sesuai job desc. Melakukan perpindahan berulangTransportation ulang dan lama sehingga terjadi antrian produk maupun WIP
berjalan dengan sempurna akibat pengoperasian yang kurang tepat Produksi pelat melebihi jumlah toleransi yang ditetapkan Kebutuhan untuk mengganti produk defect yang belum dikirim ke konsumen
Property Losses
Property Losses
Property Losses
Aliran produksi tidak lancar akibat adanya Property Losses aktivitas yang berulangulang
Tabel 4. 4 Waste Paling Berpengaruh
Jenis Waste Waiting Defect Overproduction Motion Excess Processing
Besar Kerugian (Rp) Rank 660.492.211 2 2.832.504.360 1 295.166.438 3 1.897 5 1.279.236 4
6
4.2.3 Critical To Quality (CTQ) Waste Defect Jumlah pelat defect dengan spesifikasi ASTM A-36 memiliki nilai yang berubah-ubah. Perbandingan jumlah defect untuk Bulan Agustus – Oktober 2009 dengan produksi keseluruhan memiliki hasil yang lebih besar dari target defect yang ditetapkan, yaitu 2%. Prosentase defect untuk masing-masing bulan berturut-turut adalah 4%, 8%, dan 6%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah produk defect tidak stabil. Atribut-atribut yang menyebabkan munculnya waste defect dikatakan juga jenis defect, sehingga critical to quality dari waste defect adalah jenis defect. Untuk menentukan prioritas perbaikan dari waste defect, digunakan diagram pareto, yaitu menggunakan konsep 80:20, sehingga dipilih jenis cacat chamber sebagai prioritas untuk dilakukan perbaikan. Pada Gambar 4.1 ditampilkan diagram pareto sebagai CTQ dari waste defect produk pelat ASTM A-36.
3. Mesin berhenti dan penggantian alat dikarenakan terjadinya mesin rusak sehingga diperlukan perbaikan dengan melakukan penggantian alat, termasuk penyebab adanya waste waiting. 4. Perawatan adalah aktivitas pengecekan mesin yang dilakukan rutin setiap periode tertentu. Tidak hanya pengecekan mesin saja, tetapi juga pengecekan pelat.
* ! !! .
!!
,
)
,
# *+
%
,
Gambar 4. 2 Diagram Pareto Waste Waiting
(
'$
#
$ % &
#
!
! "
Gambar 4. 1 Diagram Pareto Jumlah Jenis Defect
4.2.4 Critical To Quality (CTQ) Waste Waiting Waste waiting terjadi dengan adanya indikasi mesin, material, atau pekerja yang menunggu proses produksi. Indikasi aktivitas menunggu tersebut disebabkan karena ada masalah pada proses produksi. Dari berbagai macam trouble yang terjadi, penulis membagi trouble tersebut ke dalam beberapa klasifikasi. 1. Aktivitas menunggu, yaitu kegiatan menunggu bahan baku atau material work in process, kegiatan menunggu permintaan, dan adanya hari libur. 2. Setting mesin, yaitu setting pada saat mesin akan digunakan, perbaikan mesin saat terjadinya trouble mesin atau saat mesin tidak sesuai standard yang tidak sampai memerlukan penggantian alat. Selain itu, aktivitas yang termasuk klasifikasi setting mesin adalah pengecekan mesin/part mesin.
4.2.5 Pengukuran Kapabilitas Proses Pelat ASTM A-36 Untuk pengukuran kapabilitas proses waste defect, data yang digunakan adalah data jumlah jenis defect. Perhitungan kapabilitas proses menggunakan software Wizard Sigma Calculator. Hasil kapabilitas proses berdasarkan waste defect untuk keseluruhan Bulan AgustusOktober 2009 adalah sebesar 3,9 dan untuk waste waiting (Bulan Januari-Oktober 2009) sebesar 4,2. Untuk kapabilitas masing-masing periode dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.
Gambar 4. 3 Pergeseran Sigma Waste Defect
Berdasarkan perhitungan kapabilitas proses untuk keseluruhan periode, baik berdasarkan waste defect maupun waiting tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap performansi produk (nilai sigma level lebih besar dari 3). Namun, berdasarkan perkembangan masing-masing periode, terjadi
7
Tabel 5. 2 RCA Untuk Mesin Berhenti dan Penggantian Alat
fluktuasi nilai sigma di tiap periode yang menunjukkan bahwa performansi perusahaan masih labil. Oleh karena itu perlu ada perbaikan dengan memperhatikan waste defect dan waste waiting.
Gambar 4. 4 Pergeseran Sigma Waste Waiting
5.
Analisis dan Perbaikan Dalam tahap analisis dan perbaikan dibagi menjadi dua tahapan, yaitu analisis hasil dan usulan perbaikan.
5.1 Analisis Hasil Analisis dilakukan dengan mencari akar permasalahan dengan Root Cause Analysis (RCA) dan menghitung prioritas perbaikan yang harus dilakukan dengan nilai RPN di Failure Mode and Effect Analyze (FMEA).
5.1.2 FMEA Setelah ditelusuri akar penyebab dari subwaste kritis, kemudian dibuat FMEA guna mengetahui prioritas perbaikan yang dapat dilakukan dengan melihat Risk Priority Number (RPN). Dalam pembuatan RPN, yang harus dilakukan adalah menentukan indikator dari severity, occurance, dan detection. Hasil RPN untuk waste defect dan waiting dapat dilihat pada Tabel 5.3 dan Tabel 5.4. Tabel 5. 3 Risk Priority Number (RPN) Waste Defect Waste
Sub Waste
Penyebab Awal
Sev
Akar Permasalahan
$
5.1.1 Root Cause Analysis (RCA) Dari hasil CTQ waste defect, diketahui bahwa jenis defect yang menjadi fokus utama untuk perbaikan adalah jenis defect chamber. Chamber adalah salah satu jenis cacat dengan ciri-ciri: permukaan pelat tidak sejajar, ada delta antara tebal pelat pada sisi kiri dan kanan. Jika dilihat dari atas, sisi pelat terlihat cembung. Akar penyebab dari hasil RCA wating dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Occ Control
Det
RPN
!
"
#
#$
$
"
$
%$
%
"
%
#&%
'
"
&
!(
!
"
$
%(
$
"
'
(
!
"
'
)(
%
"
*
#'#
Det
RPN
% "
%
#&%
# "
!
!%
# "
'
'(
$ "
%
&$$
$ "
$
)%
$ "
'
(
% "
!
&(,
%
'
%
Tabel 5. 1 Akar Permasalahan Waste Defect
Tabel 5. 4 Risk Priority Number (RPN) Waste Waiting Waste
Sub Waste
Penyebab Awal
/
+
Sev
Akar Permasalahan
Occ Control
%
'
/
Untuk waste waiting ini, yang menjadi subwaste kritis adalah mesin berhenti dan penggantian alat, berdasarkan CTQ. Akar penyebab dari hasil RCA wating dapat dilihat pada Tabel 5. 2.
.
+
%
+
-
% +
8
Fokus perbaikan dipilih berdasarkan RPN tertinggi. Dari hasil RPN masing-masing waste, diketahui bahwa ada penyebab waste defect yang sama dengan penyebab waste waiting. Karena ada persamaan penyebab tersebut, maka untuk alternatif perbaikan pada RPN yang sama akan dijadikan satu, sehingga alternatif perbaikan tersebut dapat mereduksi waste defect sekaligus waste waiting. 5.2 Usulan Perbaikan Dari RPN tertinggi akan diberikan usulan perbaikan. Kemudian, membuat kombinasi dari alternatif perbaikan untuk selanjutnya dilakukan pemilihan berdasarkan performance, cost, dan value management. Langkah terakhir dilakukan analisis sensitivitas. 5.2.1
Alternati Perbaikan Alternatif perbaikan yang diberikan berdasarkan kondisi yang ada untuk mereduksi waste, dari RCA dan FMEA, serta telah melalui brainstorming dengan pihak manajemen. Pertimbangan dari pihak manajemen meliputi banyak hal, seperti waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan, penyesuaian pekerja, serta biaya yang harus dikeluakan. Alternatif perbaikan untuk masing-masing permasalahan dari RPN tertinggi dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5. 5 Alternatif Perbaikan
Waste
Sub Waste
Akar Permasalahan
Alternatif Perbaikan
Kode 1
-
.
-
+ .
#
/
/
! + + -
.
/ +
1 2
0 2
1
$
1
5.2.2 Value Analysis Pemilihan alternatif terbaik, mempertimbangkan performance dan cost. Selain itu juga menggunakan value analysis. Konsep value analysis sudah mempertimbangkan performance dan cost, terlihat pada Persamaan 5.1. Performance( P) (5.1) Value(V ) = Cost (C )
Penentuan kriteria performance didasarkan penyebab waste kritis pada hasil RCA dan FMEA. Penilaian usulan terbaik dilakukan berdasarkan bobot dari kriteria yang didapat dari brainstorming dengan pihak manajemen dan juga pengamatan langsung. Bobot dari masing-masing kriteria dapat dilihat padaTabel 5.6. Tabel 5. 6 Bobot Kriteria Alternatif Usulan Perbaikan -
(1! (1' (1#
Tabel 5. 7 Perhitungan Kombinasi Alternatif Perbaikan Berdasarkan Performance, Cost, dan Value ( & # ! &1# &1! #1! &1#1!
&! &, &* &' &, &* &* &*
&! &, &, &% &, &% &* &,
&$ &% &* &' &* &' &' &*
&!1# &*1% &*1' &'1' &*1, &%1& &%1% &*1'
17.112.012.043 &*3&$#3'($! &*3&&,3,,,3($! &*3&&$(3($! &*3&$)3!,,3($! &*3&$#3%$(3($! &*3&&)3(&%3($! &*3&$)3'&%3($!
& &1!!()%& &1!#'##' &1&*$#!$ &1!$''$% &1#&*'&, &1#'*(%& &1!##,',
Berdasarkan Tabel 5.7, kombinasi alternatif 1 dan 2 merupakan alternatif terbaik jika dilihat dari performance dan value tertinggi. Alternatif 1 adalah analisis SOP dan pembuatan manual SOP serta perancangan alat pengukur temperatur dan alarm pengingat dan alternatif 2 adalah pelatihan untuk pekerja Departemen Maintentance. Sesuai dengan Tabel 5.6, kriteria performance ada 3, yaitu mempercepat proses produksi, mengurangi produk defect dan ketepatan dimensi. Adanya alat pengukur temperatur material saat rolling sangat efektif mengurangi defect karena permasalahan defect sering muncul pada proses rolling yang terlalu lama. Disamping itu, permasalahan pada mesin rolling baik karena aus dan pemasangan komponen yang kurang tepat juga sering terjadi. Dengan adanya pelatihan, maka kemampuan pekerja dalam menangani mesin rusak meningkat sehingga mengurangi waktu perbaikan. Dengan demikian, kombinasi alternatif 1 dan 2 dapat mencapai kriteria yang ditetapkan lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting. Untuk berdasarkan nilai cost, alternatif yang terpilih adalah alternatif 3, yaitu pemasangan papan perintah.
9
5.2.3 Analisis Sensitivitas Alternatif yang terpilih berdasarkan performance, cost, dan value kemudian dilakukan analisis sensitivitas untuk mencari alternatif yang paling tepat untuk dipilih jika kondisi yang ada dinamis. Berdasarkan performance dan value analysis, kombinasi alternatif 1 dan 2, sedangkan berdasarkan cost, alternatif terpilih adalah alternatif 3. Kondisi ini membuat alternatif yang akan dilakukan analisis sensitivitas adalah alternatif 1, 2, dan 3. Faktor yang disensitivitaskan adalah actual demand. Ada banyak faktor yang membuat permintaan pelat dari customer fluktuasi, salah satunya adalah kualitas pelat yang mulai menurun. Berdasarkan data historis, ditentukan demand minimum dan maksimum yang pernah diterima juga standard demand yang dapat dikerjakan berdasarkan kapasitas produksi. Hasil perhitungan analisis sensitivitas dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5. 1 Analisis Sensitivitas
5.2.4 Estimasi Kondisi Setelah Dilakukan Perbaikan Estimasi kondisi dengan adanya perbaikan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah diterapkannya perbaikan. Estimasi yang dilakukan berhubungan dengan penerapan alternatif perbaikan terbaik. Pengaruh penerapan perbaikan dapat dilihat berdasarkan penurunan non value added activity. Ada perubahan aktivitas setelah diterapkannya perbaikan. Namun, perbaikan tersebut tidak merubah big picture mapping karena proses sudah fixed. Perubahan yang dilakukan berupa penghilangan aktivitas yang dianggap tidak memiliki nilai tambah dan tidak mempengaruhi kualitas produk serta penambahan aktivitas yang dapat memberikan nilai tambah pada kualitas
produk. Perubahan prosentase masing-masing tipe aktivitas dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5. 2 Perubahan Tipe Aktivitas
6.
Simpulan Adapun simpulan yang dapat ditarik dari penelitian dijelaskan dalam poin-poin di bawah ini. 1. Hasil pemetaan aktivitas diketahui bahwa value added activitiy sebesar 25%, necessary but non value added activity sebesar 40,91%, dan sisanya, 34,09%, merupakan non value added activity. 2. Berdasarkan data frekuensi terjadinya waste, waste yang terjadi di GDS adalah waiting, defect, overproduction, motion, dan excess processing. Untuk waste kritis yang didapat dari risiko terbesar adalah waste waiting dan waste defect. 3. Critical to Quality (CTQ) waste waiting adalah mesin berhenti dan penggantian alat, sedangkan CTQ waste defect adalah chamber. 4. Berdasarkan hasil RCA dan FMEA, ada penyebab dari waste waiting yang juga merupakan penyebab dari waste defect, yaitu pemasangan alat tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Penyebab lain dari waste waiting adalah tidak ada peringatan keharusan mematuhi SOP. Untuk waste defect, penyebab lainnya adalah tidak ada alat pengukur temperatur saat proses rolling mill. 5. Usulan perbaikan terbaik dari hasil perhitungan value adalah kombinasi alternatif 1 dan 2, yaitu pembuatan manual SOP, perancanangan alat, dan alarm pengingat serta pemberian pelatihan pada pekerja di Departemen Maintenance. 6. Dari hasil analisis sensitivitas, kombinasi alternatif 1 dan 2, pembuatan manual SOP, perancanangan alat, dan alarm pengingat serdan pemberian pelatihan pada pekerja di Departemen Maintenance, dapat
10
7.
memberikan total profit dibawah standard pada demand 60.000 kg, tetapi pada demand lebih dari itu dapat memberikan keuntungan hingga 4 kali lipat dari standard. Alternatif 3, berdasarkan analisis sensitivitas selalu dapat memberikan keuntungan lebih dari kondisi standard, tetapi keuntungan yang diraih maksimal 2 kali lipat dari keuntungan standard yang biasa didapat.
Daftar Pustaka Adams, J. (2006). Stop Wasting Time, Effort, Money!. www.Suppliyth.com. Apel, W., Li, J. Y., dan Waston V. (2007). Value Stream Mapping for Lean manufacturing Implementation. Major Qualifying Project Report. Worcester Polytechnic Institute (WPI) and Central Industrial Supply (CIS). Bopp, K., F. (2001). Quality and Risk Management: The Commitment of The Council of Europe. Éditions scientifiques et médicales Elsevier SAS. France. Vol. 8 pp. 218-219. Chen, C. N., dan Shueh, C. T. (2002). A Study Using The Grey System Theory to Evaluate The Importance of Various Service Quality Factors. International Journal of Quality and Reliability Management. Vol. 19 pp. 838-861. Dahlgaard, J. J., Kristensen, K., Kanji, G.K., Jouhl, H.J. dan Sohal, A.S. (1998). Quality Management Practices: a Comparative Study between East and West. International Journal of Quality and Reliability Management. Vol. 15 pp. 812– 826. Darmawi, H. (2008). Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara. Gaspersz, V. (2007). Continuous Cost Reduction Trough Lean Sigma Approach. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hammer, M. dan Champy, J. (1993). Reengineering the Corporation. New York: HarperCollins Publishers. Hilson, D. (2001). Extending the Risk Process to Manage Opportunities. Proceeding of the Fourth European Project Management Conference. 6-7 June. London. Hines, P., dan Taylor, D. (2000). Going Lean. Proceeding of Lean Enterprise Research
Centre, Cardiff Business School, UK. http://www.cf.ac.uk/carbs/lom/learch/centre /publications. [14 Maret 2008]. http://www.lorco.co.id/category/safetysign/notice-sign. Notice Sign. [03 Januari 2010. 15:23]. ICH Q9 Quality Risk Management. EXT/24235/2006—diadopsi dari Step 4 pada The ICH Steering CommitteeMeeting. (2005). EuropeanMedicinesAgency, London. http://www.emea.europa.eu/Inspections/doc s/ICHQ9Step4QRM.pdf. [12 Maret 2009]. Leeuwen, J., F., v., et al. (2009). Risk Analysis by FMEA as an Element of Analytical Validation. Journal of Pharmaceutical and Biomedical analysis. Vol. 50. pp. 10851087. Rakhmawati. (2008). Perbaikan Proses Produksi Pada Tepung Terigu dengan Pendekatan Lean dan HACCP Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk (Studi Kasus: PT. BOGSARI FLOUR MILLS SURABAYA). Tesis Teknik Industri ITS, Surabaya. Shekali, A. dan Fallahian, S. (2007).Improvement of Lean methodology with FMEA. USA: POMS 18th Annual conference. Shortreed, J., Hicks, J., dan Craig,L. (2003). Basic Framework for Risk Management. Network for Environmental Risk Assessment and Management. Ontario. Sibinga, C. T. S. (2001). Risk Management: an Important Tool for Improving Quality. Éditions scientifiques et médicales Elsevier SAS. Netherlands. Vol. 8 pp. 214-217. Standards Australia (1999). Risk Management AS/NZS 4360. Swanjaya, R. (2005). Mereduksi Defect dan Biaya Kerugian Produk dengan Menggunakan FMEAP (Studi Kasus di PT. Kalimantan Steel). Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Surabaya. Urohman, T. (2007). Peningkatan Kualitas dengan Pendekatan Quality Risk Management (Studi Kasus: Budidaya Benih Udang di Tuban). Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Surabaya. Vaughan, E. J. (1978). Fundamentals of Risk and Insuransce. Edisi Kedua. www.actnowproductions.com. Sustainable Lean Manufacturing.
11