1
PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU PDAM SIDOARJO MENGGUNAKAN HORIZONTAL ROUGHING FILTER DENGAN MEDIA ANTRASIT DAN PENAMBAHAN KOAGULAN M.Yusrul Hana dan Nieke Karnaningroem Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak— Bahan baku yang digunakan oleh PDAM Delta Tirta Sidoarjo adalah menggunakan air dari sungai Buduran. Masalah air baku yang digunakan tersebut mempunyai tingkat kekeruhan yang fluktuatif tertinggi mencapai 2175 NTU pada musim hujan. PDAM Delta Tirta Sidoarjo memiliki dua alternatif pengolahan yaitu dengan ultrafiltrasi dan koagulasi-flokulasi dengan penambahan koagulan berupa Poly Alumunium Chloride (PAC) pada prechlorination. Unit ultrafiltrasi memiliki keterbasan yaitu air yang diolah tidak boleh melebihi 600 NTU. Untuk itu diperlukan pengolahan tambahan agar unit ultrafiltrasi dapat bekerja secara maksimal dan menghasilkan produk air sesuai dengan baku mutu air minum. Dalam penelitian ini digunakan Horizontal Roughing Filter. Sebagai air baku digunakan air baku buatan dengan kekeruhan 2400 NTU ± 5%, sedangkan variasinya kecepatan aliran 0,5 l/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam serta dengan penambahan koagulan dan tanpa koagulan. Hasil dari penelitian didapat bahwa % penyisihan kekeruhan tanpa penambahan koagulan untuk kecepatan aliran 0,5 m/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam berturut-turut 88,85% dan 86,03%, sedangkan dengan penambahan koagulan 96,9%, 94,5% dan 94,5% untuk kecepatan aliran 0,5 m/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam. % penyisihan zat organik (tanpa kogulan) dengan kecepatan aliran 0,5 m/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam adalah 54,5%, 47,4% dan 45,9%, sedangkan dengan penanbahan koagulan 93,1%, 90,7% dan 88,9% untuk kecepatan aliran 0,5 m/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam. Kata Kunci— Kekeruhan, Antrasit, Horizontal Roughing Filter, Zat Organik.
B
I. PENDAHULUAN
ahan baku yang digunakan oleh PDAM Delta Tirta Sidoarjo menggunakan sungai Buduran. Air Sungai Buduran dengan nilai kekeruhannya cenderung tinggi, pernah mencapai 2175 NTU dan terendah 1055 NTU. Dari data IPA Siwalanpanji pada bulan Januari 2011, setiap 2 jam dan ditampung pada sumur pengumpul IPA Siwalanpanji ratarata kekeruhannya 1615 NTU. Kekeruhan yang terdapat pada air baku IPA Siwalanpanji tersebut disebabkan karena tercampurnya air sungai dengan pasir, lumpur dan pencemar
lainnya yang mengandung zat organik, baik limbah domestik maupun limbah industri yang masuk disepanjang sungai Buduran. IPA Siwalanpanji memiliki 2 alternatif pengolahan yaitu dengan ultrafiltrasi dan koagulasi flokulasi. Menurut (Maritha Nilam. K, 2012) bahwa air baku yang diolah dengan unit ultrafiltrasi (seperti di IPA Siwalanpanji), kekeruhannya tidak boleh melebihi 100 NTU. Hal itu karena dapat mengurangi efektifitas kerja membran ultrafiltrasi, sedangkan pada unit koagulasi flokulasi dapat meningkatkan jumlah pemakaian PAC (Poly Aluminium Chloride) atau tawas {Al2(SO4)3 x H2O} sebagai koagulan. Oleh karena itu perlu pemikiran alternatif lain yang dapat menurunkan kekeruhan. Kekeruhan yang tinggi ±1615 NTU pada air baku IPA Siwalanpanji tersebut dapat diatasi dengan suatu pengolahan yang memiliki prinsip filtrasi (penyaringan) yang merupakan prinsip pengolahan air secara konvensional dalam menurunkan kandungan zat pencemar. Pengolahan dengan filtrasi yang sudah lama digunakan adalah Slow Sand Filter (SSF) dan Rapid Sand Filter (RSF) tidak dapat berfungsi apabila kekeruhan yang masuk melebihi 50 NTU. Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan pendahuluan yang dapat menurunkan kekeruhan tersebut, yaitu Roughing Filter (RF). Roughing Filter merupakan pengolahan pendahuluan air dengan kekeruhan tinggi sebelum masuk SSF (Jayalath dan Padmasari, 1996). Roughing filter diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu Horizontal Roughing Filter (HRF), Vertical roughing Filter (VRF), Upflow Roughing Filter in Series (URFS) dan Downflow Roughing Filter in Series (DRFS) (Wegelin, 1996). Roughing Filter biasanya menggunakan kerikil dengan ukuran diameter berbeda-beda, dengan bagian awal menggunakan kerikil diameter besar, dan bagian berikutnya menggunakan kerikil dengan diameter lebih kecil, demikian seterusnya, sehingga pada tiap bagian menyaring padatan dengan ukuran yang berbeda-beda pula (Wegelin, 1996). Menurut Tamar (2004), bahwa Roughing Filter digunakan untuk memisahkan padatan dari air baku sehingga sebagian atau keseluruhan padatan tersebut tertahan. RF itu juga berfungsi untuk mengurangi zat organik atau memisahkan material padatan dan dapat meningkatkan kualitas air dari segi
2 micro biologis dan selanjutnya dapat menurunkan parameter kualitas air seperti kekeruhan, TDS dan zat organik. Adapun kriteria RF untuk air minum berdasarkan hasil penelitian (Tamar, 2004) adalah kecepatan filtrasi 1 m/jam panjang RF 5 m ukuran partikel 16 – 2 mm sedangkan menurut Galvis 1998 kecepatan filtrasi 1 - 0,3 m/jam, panjang RF 2 m, ukuran partikel 19 - 25 mm dengan masing-masing jumlah ruangan 3 bagian. Menurut wagelin 1996 ukuran partikel media yang digunakan adalah 24 – 2 mm. Pada penelitian ini digunakan RF diharapkan dapat menurunkan kekeruhan, kandungan zat organik dan TDS pada air baku IPA Siwalanpanji. Adapun RF yang digunakan adalah tipe HRF dengan menggunakan media antrasit dan aliran air baku yang masuk ke HRF tanpa dan dengan penambahan koagulan tawas sebagai variabel, serta kecepatan aliran yag digunakan 0,5 - 2 m/jam dan parameter yang diamati adalah kekeruhan, zat organik dan TDS. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Pengumpulan Data Untuk dapat melaksanakan penelitian ini, kami mencari literatur dan data sekunder yang dapat membantu kami mendapatkan gambaran bagaimana kondisi lapangan yang ada pada IPA Siwalanpanji. Studi literatur ini dilakukan dari awal hingga akhir penelitian. Literatur tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai sistem kerja roughing filter, kemampuan roughing filter,dan dimensi roughing filter. B. Analisis Air baku (Sample) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeruhan dari air yang akan diolah roughing filter. Air baku yang digunakan adalah air dengan kekeruhan buatan 2400 NTU ± 5%. Cara pembuatannya yaitu dengan melarutkan lumpur dalam air bersih dan diaduk secara manual. Lumpur yang digunakan merupakan lumpur bebas alum yang berasal dari lumpur pengolahan bak prasedimentasi IPA Ngagel I. Lumpur tersebut masih basah sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu dengan oven bersuhu 180o sampai massa lumpur tetap. C. Pelaksanaan Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanpa dan dengan penambahan koagulan pada inlet serta kecepatan aliran. Kecepatan aliran air baku yang digunakan adalah 0,5 m/jam, 1 m/jam dan 2 m/jam. Air baku dengan kekeruhan buatan 2400 ± 5% NTU dilewatkan HRF dengan 3 kompartemen masing-masing kompartemen berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm. Masingmasing kompartemen berisi media antrasit berukuran + 2,4 cm, + 1 cm dan + 0,2 cm dimasing masing kompartemen. Pengambilan contoh sampel pada HRF dilakukan di 4 titik (Gambar 3.2), yaitu pada inlet, keluaran kompartemen 1, keluaran kompartemen 2 dan keluaran HRF. Sebelum melaksanakan penelitian pada unit RF dilakukan suatu pengkondisian yang disebut aklimatisasi media. Aklimasi media dilakukan agar terbentuk biofilm pada media, lama aklimatisasi media ± 6 hari. Biofilm tersebut yang akan menurunkan kadar kekeruhan dan zat organik yang ada pada
sampel yang melaluinya. Biofilm yang sudah tumbuh dapat dilihat dengan melakukan tes kekeruhan apakah sudah turun atau belum atau dapat dilakukan pengelihatan secara fisik dengan diraba jika telah terjadi biofilm permukaan media akan licin D. Parameter Zat Organik Untuk mengetahui zat organik dalam suatu sample, analisis yang digunakan adalah analisis PV dengan menggunakan larutan Kalium Permanganat (KMnO4). E. Parameter Kekeruhan Analisa yang digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah turbiditymeter. Air yang mau diukur diambil contohnya beberapa mililiter dituangkan dalam tabung khusus yang kemudian dibaca kekeruhannya dengan alat turbiditymeter. F. Parameter Total Dissolved Solid Analisa yang digunakan untuk mengukur padatan terlarut digunakan TDS meter. Air yang mau diukur diambil contohnya beberapa mililiter dituangkan dalam tabung yang kemudian prove TDS meter dimasukkan kedalam tabung, sehingga terbaca TDS nya. III. ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Air Baku Air baku yang digunakan adalah air PDAM yang dicampur dengan lumpur kering (berupa serbuk). Lumpur kering tersebut didapat dengan cara mengeringkan lumpur dengan oven sampai mencapai massa lumpur tetap. Hasil pengukuran kandungan air dalam lumpur adalah 43,62%. Lumpur kering tersebut dilarutkan dalam air sehingga kekeruhannya mencapai 2400 ± 5% NTU. B. Pengoperasian Unit RF Pada penelitian ini HRF dengan menggunakan media antrasit yang berukuran antara 24 - 2 mm, dialiri air baku dengan kekeruhan buatan. Kekeruhan buatan tersebut dibuat dengan cara melarutkan lumpur yang mempunyai kandungan air sebesar 43,62% dilarutkan kedalam air. Percobaan ini diawali dengan mengalirkan air baku dalam HRF secara terus-menerus selama 6 hari, hal ini dimaksudkan agar terbentuk biofilm. Air dengan kekeruhan buatan ditampung pada dalam bak yang berukuran ±600 liter dialirkan dengan menggunakan pompa dan kecepatannya diatur dengan menggunakan valve. Kemudian dilanjutkan percobaan tanpa penambahan koagulan yang dilakukan selama 4 jam per-hari dan diulangi sampai hari keempat. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan hasil pengamatan pada hari ke 1 sampai ke 4 dan jam ke 1 sampai ke-4. Pengambilan sampel untuk dianalisa dilakukan setelah kondisi stedy. Percobaan dilakukan dengan variabel kecepatan 0,5 m/jam; 1 m/jam; 2 m/jam, dengan parameter yang diukur adalah kekeruhan, total padatan terlarut dan kandungan zat organik. Percobaan ini diulang dengan penambahan koagulan (tawas) sebesar 30 ppm. Penambahan koagulan dilakukan pada aliran masuk HRF, hal ini dimaksudkan pada kompartemen 1 mempunyai kecepatan linier yang kecil dan mengakibatkan
3 faktor tumbukan antar partikel menjadi kecil sehingga terbentuk flok. Pada kompartemen berikutnya (II dan III) mempunyai porositas kecil dan kecepatan linier yang semakin besar. Hal ini mengakibatkan flok yang terbentuk akan pecah. C. Pembahasan Kekeruhan Percobaan dilakukan dengan mengalirkan air baku pada kecepatan 0,5 m/jam tanpa penambahan koagulan (tawas) dan air yang telah melewati masing masing kompartemen yang terisi media antrasit diamati dalam setiap perjalanan waktu yaitu pada jam ke 1 sampai dengan jam ke 4 dan diulangi lagi pada hari berikutnya sampai pada hari ke 4. Tabel 1 Prosentase penyisihan kekeruhan pada Roughing Filter dengan perlakuan I.
Hari ke 1
2
3 4
Jam ke 1 2 3 4 1 2 3 4
Inlet (NTU) 2405 2405 2405 2405 2435 2435 2435 2435
1 2 3 4 1 2 3 4
2390 2390 2390 2390 2412 2412 2412 2412
Komp I Komp II (NTU) (NTU) 1875 877 1877 889 1892 879 1851 871 1881 898 1872 881 1862 885 1856 853 1853 1857 1833 1812 1820 1811 1798 1777
844 859 838 843 857 847 839 843
Outlet (NTU) 406 417 412 409 423 430 398 388
% Penyisihan 83,11 82,6 82,8 82,9 82,6 82,3 83,6 84,1
380 367 366 356 365 355 343 344
84,1 84,6 84,6 85,1 84,8 85,2 85,7 85,8
Pada perlakuan dengan kecepatan aliran 2 m/jam tanpa penambahan koagulan (tawas) dan air yang melewati masing masing kompartemen yang terisi media antrasit seperti pada perlakuan tersebut diatas. Hasil yang diamati menunjukkan perubahan kekeruhan air setelah melewati masing masing kompartemen. Tabel 3 Prosentase penyisihan kekeruhan pada Roughing Filter dengan perlakuan III.
Hari ke 1
2
3
4
Jam ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Inlet (NTU) 2380 2380 2380 2380 2398 2398 2398 2398 2373 2373 2373 2373 2408 2408 2408 2408
Komp I (NTU) 1992 2004 1965 1972 1967 1977 1954 1963 1973 1943 1954 1873 1891 1820 1845 1854
Komp II Outlet % (NTU) (NTU) Penyisihan 1335 623 73,8 1497 679 71,4 1433 642 73 1476 589 75,2 1398 578 75,9 1428 612 74,4 1388 597 75,1 1345 569 76,2 1309 540 77,2 1411 589 75,1 1367 543 77,1 1378 532 77,5 1398 402 83,3 1332 498 79,3 1307 474 803 1343 442 81,6
Dari Tabel 1 sampai dengan Tabel 3 dapat dibuat gambar hubungan antara % penyisihan kekeruhan air rata-rata pada hari pertama sampai hari keempat dengan kecepatan air masuk HRF dan disajikan pada Gambar 1
Tabel 2 Prosentase penyisihan kekeruhan pada Roughing Filter dengan perlakuan II
Hari ke
Jam ke
Inlet (NTU)
1
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2411 2411 2411 2411 2398 2398 2398 2398 2421 2421 2421 2421 2430 2430 2430 2430
2
3
4
Komp I Komp II (NTU) (NTU) 1992 2004 1965 1972 1967 1977 1954 1963 1973 1943 1954 1939 1943 1932 1856 1878
1084 1203 1130 1098 1021 1053 987 1023 1001 1087 998 1006 987 996 983 986
Outlet (NTU)
% Penyisihan
492 577 534 532 522 546 487 446 403 439 416 397 385 399 403 378
79,5 76,1 77,8 77,9 78,2 77,2 79,7 81,4 83,3 81,8 82,8 83,6 84,1 83,5 83,4 83,6
Pada Tabel 2 percobaan dilakukan dengan kecepatan 1 m/jam tanpa penambahan koagulan (tawas) dan air yang telah melewati masing masing kompartemen yang terisi media antrasit diamati dalam setiap perjalan waktu yaitu pada jam ke 1 sampai dengan jam ke 4 dan diulangi lagi pada hari berikutnya sampai pada hari ke 4
Gambar 1 Hubungan prosentase penyisihan kekeruhan (NTU) dengan hari percobaan tanpa menggunakan koagulan sebagai parameter kecepatan aliran.
Penambahan koagulan (tawas) yang injeksikan pada aliran inlet sebelum masuk RF horizontal dengan kecepatan aliran 0,5 m/jam. Pengamatan dilakukan pada jam ke 1 sampai dengan jam ke 4. Pengamatan tersebut diulangi sampai hari ke 4. Air yang telah melewati masing masing kompartemen yang terisi media antrasit diamati kekeruhannya seperti disajikan pada Tabel 4.
4
Tabel 4 Prosentase penyisihan kekeruhan pada Roughing Filter dengan perlakuan IV.
Hari ke 1
2
3
4
Jam ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Inlet (NTU) 2445 2445 2445 2445 2421 2421 2421 2421 2397 2397 2397 2397 2411 2411 2411 2411
Komp I (NTU) 1748 1775 1798 1697 1667 1702 1688 1680 1657 1687 1602 1643 1677 1698 1667 1653
Komp II (NTU) 744 743 658 653 703 699 654 660 645 659 641 634 644 637 652 649
Outlet (NTU) 82 85 73 76 92 83 75 78 69 73 72 71 74 79 75 72
% Penyisihan 96,6 96,5 97 96,9 96,2 96,6 96,9 96,8 97,1 97 97 97 96,9 96,7 96,9 96,9
dapat menyaring partikel tersuspensi yang terkandung dalam air baku semakin banyak.
Gambar 3. Hubungan antara % penyisihan kekeruhan air keluar dari setiap kompartemen dengan kecepatan aliran.
D. Pembahasan Zat Organik Nilai permanganat (PV) adalah jumlah kalium permanganat yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik yang ada di dalam air. Tabel 5 Prosentase penyisihan kandungan zat organik dalam air pada Roughing Filter dengan perlakuan I.
Hari ke 1 2 3 4
Inlet (ppm) 131 149 171 189
Kompart I (ppm) 121 135 149 157
Kompart II (ppm) 95 103 119 121
Outlet (ppm) 64 68 72 79
%Penyisihan PV 51,1 54,4 54,4 58,2
Gambar 2 Hubungan prosentase penyisihan kekeruhan (NTU) dengan hari percobaan menggunakan koagulan sebagai parameter kecepatan aliran.
Dari Gambar 1 dan Gambar 2 terlihat bahwa semakin besar kecepatan aliran air baku masuk ke HRF prosentase penyisihan kekeruhan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena waktu tinggal air baku didalam HRF semakin cepat. Penambahan koagulan tawas 30 ppm (Gambar 2) yang diinjeksikan di air baku masuk HRF memberikan kontribusi yang sangat jelas. Prosentase penurunan kekeruhan tanpa penambahan koagulan dengan kecepatan 0,5 m/j adalah 84,5% sedangkan dengan penambahan koagulan tawas 30 ppm adalah 96,9%. Hal ini disebabkan dengan penambahan koagulan, ukuran flok semakin besar sehingga tertahan diruang antar partikel. Sedangkan hubungan antara % penyisihan kekeruhan air keluar dari setiap kompartemen dengan kecepatan aliran disajikan di Gambar 3. Untuk kecepatan yang sama semakin kecil ukuran media partikel pengisi maka kekeruhan air yang keluar dari kompartemen semakin kecil. Hal ini disebabkan karena ruang kosong antar partikel (porositas, ɛ) semakin kecil, sehingga
Gambar 4: Hubungan antara kandungan zat organik (ppm) dengan waktu percobaan (hari) pada perlakuan I
Dari tabel 5 dan gambar 4 terlihat hasil prosentase penyisihan kandungan zat organik dalam air tanpa penambahan koagulan dengan kecepatan 0,5 m/jam pada hari pertama sampai dengan hari keempat menunjukkan bahwa semakin lama (hari) prosentase penyisihan PV semakin besar. Hal ini disebabkan, semakin lama semakin banyak partikel yang menempel pada bahan isian dan akan terbentuk biofilm pada permukaannya. Adanya biofilm dipermukaan partikel akan semakin banyak mikroorganisme yang terbentuk dan akan mendegradasi zat organik dalam air sehingga prosentase penyisihan akan semakin tinggi.
5 menunjukkan perubahan yang jelas. Bila dibandingan dengan gambar 4 (tanpa koagulan dengan kecepatan aliran 0,5 m/jam), ternyata prosentase penyisihan PV lebih besar dengan menggunakan koagulan tawas. Hal ini disebabkan dengan menggunakan koagulan semakin banyak zat organik yang menempel pada media antrasit sehingga semakin banyak biofilm yang terbentuk dan akan semakin banyak zat organik yang terdegradasi. Gambar 5 Hubungan antara kandungan zat organik (ppm) dengan waktu percobaan (hari) pada perlakuan II
Dari Gambar 5 kejadiannya juga sama yaitu pada hari pertama sampai dengan hari ke-empat menunjukkan bahwa semakin lama (hari) prosentase penyisihan PV semakin besar, tapi % penyisihan dengan kecepatan 1 m/jam lebih kecil bila dibandingan dengan kecepatan 0,5 m/jam, hal ini disebabkan karena waktu tinggal untuk terjadinya degradasi zat organik semakin cepat. Gambar 8: Hubungan antara kandungan zat organik (ppm) dengan waktu percobaan (hari) pada perlakuan V
Gambar 6: Hubungan antara kandungan zat organik (ppm) dengan waktu percobaan (hari) pada perlakuan III
Dari Gambar 6 kejadiannya juga sama yaitu pada hari pertama sampai dengan hari ke-empat menunjukkan bahwa semakin lama (hari) prosentase penyisihan PV semakin besar, tapi % penyisihan dengan kecepatan 2 m/jam lebih kecil bila dibandingan dengan kecepatan 1 m/jam, hal ini disebabkan karena waktu tinggal untuk terjadinya degradasi zat organik semakin cepat.
Dari gambar 8 kandungan zat organik dalam air dengan penambahan koagulan tawas pada kecepatan 1 m/jam untuk hari pertama sampai dengan hari ke-empat menunjukkan bahwa semakin lama (hari) prosentase penyisihan PV tidak menunjukkan pperubahan yang jelas bila dibandingan dengan gambar 5 (tanpa koagulan dengan kecepatan aliran 1 m/jam), ternyata prosentase penyisihan PV lebih besar bila dibandingkan dengan penambahan koagulan dalam kecepatan yang sama. Hal ini disebabkan dengan penambahan koagulan, akan terbentuk flok yang lebih banyak dan besar yang akan menempel pada media antrasit dan membentuk biofilm. Dengan semakin banyaknya biofilm yang terbentuk maka akan semakin banyak zat organik yang terdegradasi. Tabel 6: Hubungan prosentase penurunan zat organik pada setiap kecepatan aliran
HARI
1 2 3 4
Gambar 7 Hubungan antara kandungan zat organik (ppm) dengan waktu percobaan (hari) pada perlakuan IV
Dari gambar 7 kandungan zat organik dalam air dengan penambahan koagulan tawas dengan kecepatan 0,5 m/jam untuk hari pertama sampai dengan hari ke-empat menunjukkan bahwa semakin lama (hari) prosentase penyisihan PV tidak
TANPA KOAGULAN V= 0,5 V= 1 V= 2 m/j m/j m/j 51,1 54,4 54,5 58,2
46,3 45,6 50,2 49,2
45,6 44,7 47,0 48-0
DENGAN KOAGULAN V= 0,5 V= 1 V= m/j m/j 2 m/j 93,6 93,1 88,5 90,8 90,8 90,5 93,9 89,3 88,9 92,9 90,7 87,7
Dari Tabel 6 terlihat bahwa semakin rendah kecepatan aliran, semakin tinggi prosentasi penyisihan zat organik (PV) hal ini disebabkan, semakin rendah kecepatan aliran, semakin banyak partikel yang menempel pada bahan isian dan akan terbentuk biofilm pada permukaannya. Adanya biofilm dipermukaan partikel akan semakin banyak mikroorganisme yang terbentuk dan akan mendegradasi zat organik dalam air sehingga prosentase penyisihan akan semakin tinggi.
6 E. Hasil Total Padatan Terlarut (TDS) air pada HRF Total padatan terlarut diukur pada jam ke 1 sampai dengan jam ke 4 setiap hari dengan ulangan sampai dengan hari ke 4. Hasil pengukuran TDS untuk setiap kompartemen disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hubungan total padatan terlarut untuk masing-masing kecepatan aliran.
Tanpa Penambahan Koagulan
Kecepatan aliran (m/jam) 0,5 1 2
Dengan Penambahan Koaguluan
0,5 1 2
TDS inlet 425 415 430
TDS outlet 425 410 425
438 410 427
417 402 418
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa Total Padatan Terlarut (TDS) pada aliran masuk HRF yang tanpa penambahan koagulan untuk setiap variabel kecepatan tidak terjadi perubahan yang jelas antara TDS umpan masuk dan keluar. Hal ini disebabkan pada proses penyaringan dengan HRF yang tersaring hanya zat padat yang tersuspensi sedangkan untuk aliran masuk HRF dengan penambahan koagulan penurunan TDS antara umpan masuk dan keluar terjadi penurunan, hal ini disebabkan terjadinya proses penjaringan TDS oleh HRF. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Prosentase penyisihan kekeruhan, zat organic, TDS tanpa dan dengan penambahan koagulan tawas pada aliran masuk HRF untuk kecepatan aliran 0,5 m/jam sebagai berikut: Kekeruhan 84,5% dan 96,5%. – Zat Organik 54,5% dan 93,1%. Untuk kecepatan 1 m/jam sebagai berikut: - Kekeruhan 80,9% dan 94,5%. – Zat Organik 47,4% dan 90,7%. Sedangkan untuk kecepatan 2 m/jam sebagai berikut: - Kekeruhan 76,7% dan 94,5. – Zat organik 45,9% dan 88,9%. Prosentase penyisihan kekeruhan dan zat organik lebih besar dengan menggunakan koagulan pada aliran masuk HRF. Memvariasikan dosis koagulan tawas yang ditambahkan pada aliran masuk HRF .
DAFTAR PUSTAKA [1] Al-Bayati, S.A dan Habeeb, Z.S,. 2009,. Evaluation of Horizontal Flow Roughing Filtration. [2] Anonim. 1987. Peraturan Pemerintah Nomor 14 tentang Pengelolaan Sarana Dan Prasarana Air Bersih [3] Anonim. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. [4] Anonim. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. [5] Anonim. 2009. SNI Nomor 7531-2009 tentang Alat Pengolah Air dengan Membran Ultra. [6] Anshori, Ahmad Kali. 2008. Penentuan Kekeruhan pada Air Reservoir di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Sunggal Medan Metode Turbidimetri. Medan: Universitas Sumatera Utara. [7] AWWA. 1990. Water Treatment Plant Design Third Edition. Mc Graw Hill: New York.
[8] APHA, AWWA, AWPCF. 2005. Standart Methods for The Examination of Water and Wastewater 21st Edition. Washington [9] Barman, Rabindra Nath. 2008. Estimation and Calculation of a Relationship Between Ispersion Number, Reynolds Number, Porosity and Hydraulic Gradient in Horizontal Roughing Filter. India: Jadavpur University,Kolkata. [10] Fitriani, Nurina. 2009. Pengaruh Roughing Filter dan Slow Sand Filter dalam Pengolahan Air Minum pada Intake Karang Pilang Ditinjau Secara Fisik (Kekeruhan, Warna, dan Ph). Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS. [11] Galvis, C. G. 1996. Development and Evaluation of Multistage Filtration Plants: an Innovative, Robust, and Efficient Water Treatment Technology. Centre for Environmental Health Engineering (CEHE). UK: Guildford. [12] Geankopis, 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd Edition. The Ohio University [13] Gerardo. 2006. In Losleben, Tamar Rachelle. 2008. Pilot Study of Horizontal Roughing Filter in Northern Ghana as Pretreatment or Highly Turbid Dugout Water. Massuchessets: Rice University. [14] Horran, N.J. 1990. Biological Wastewater Treatment Theory and Application. England: John Willey and Sons.
[15] Kawamura, S. 1991. Integrated Design of Water Treatment Facilities. Canada, USA : John Wiley and Sons Inc.
[16] Khopkar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Kuantitatif Jilid 2. Jakarta: Kalman Media Pustaka.