PENINGKATAN KADAR PROTEIN KASAR AMPAS KULIT NANAS MELALUI FERMENTASI MEDIA PADAT
SKRIPSI
Oleh CATUR SETIYARTO F34060507
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INCREASING CRUDE PROTEIN CONTENT OF PINEAPPLE PEEL WASTE BY SOLID STATE FERMENTATION Djumali Mangunwidjaja, T.E. Sukmaratri, Catur Setiyarto Departement Of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 085658808209, e-mail:
[email protected] .
ABSTRACT Pineapple peel waste is one of pineapple canning industry by product which potential used as animals feed. Main characteristic of pineapple peel waste are high crude fiber content (33.25% w/w of dry matter) but low protein content (4.5% w/w of dry matter). This characteristic especially the protein content becomes the main constraint of pineapple peel waste process for animals feed. The research was aimed to increase the crude protein content of pineapple peel waste by solid state fermentation with some molds. The first experiment did to know the best one of molds species and incubation time for protein content increasing. This experiment was done with three kinds of molds (Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rizhopus oligoporus) and three different incubation time (3 days, 6 days, 9 days). The second experiment did to know the effect by using mix culture application of inoculums for crude protein content increasing. This experiment used four kinds of mix culture inoculums combination (AT for mix culture between A. niger and T. viride, AR for A. niger and R. oligosporus, RT for R. oligosporus and T. viride, ART for A. niger, R. oligosporus and T. viride) and one incubation time (9 days). Measured parameters were crude protein content, crude fiber content and loss of dry matter. The results showed that A. niger is the best one of molds that used by increased the crude protein content of substrate from 22.65% to 31.68% (w/w of dry matter) or increasing by 39.87% with the best incubation time on 9 days incubation time. Those results are significantly different with others. Mix culture applications also result the positive increasing of protein content. The means of protein content increasing on mix culture application is higher than single culture; they are 52.50% and 21.01%. The highest of protein content is resulted by fermentation of mix culture from A. niger and T. viride with 62.07% (w/w of dry matter) increasing. But this result isn’t different by significant with two other sample, they are mix culture of A. niger and R. oligosporus (AR), and mix culture of A. niger, T. viride and R. oligosporus (ART); they are 58.17% for AR sample, and 59.17 for ART sample. The crude fiber content of pineapple peel waste fermented is decreased by significantly, except R. oligosporus sample which are increased. The crude fiber content of fermented sample is between 19.37% until 34.45% (w/w of dry matter). All of fermented sample had loss dry matter content by 18.00 until 46.47% of dry matter. Keywords: Pineapple peel waste, solid state fermentation, Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rhizopus oligosporus, Phanerochaete chrysosporium.
Catur Setiyarto. F34060507. Fermentasi Medium Padat. Sukmaratri. 2011.
Peningkatan Kadar Protein Kasar Ampas Kulit Nanas Melalui Di bawah bimbingan Djumali Mangunwidjaja dan Tedjastuti E.
RINGKASAN
Ampas kulit nanas merupakan hasil samping proses produksi nanas kaleng yang sangat potensial dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bahan tersebut memiliki kadar serat yang tinggi namun kandungan protein rendah. Oleh karena itu diperlukan usaha peningkatan kadar protein bahan. Salah satu jalan untuk memperkaya kadar protein bahan adalah dengan membudidayakan sel mikroba pada ampas kulit nanas. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kadar protein kasar ampas kulit nanas melalui fermentasi medium padat menggunakan kapang sebagai inokulum fermentasi. Penelitian pertama dilakukan untuk memilih jenis kapang terbaik dan waktu inkubasi yang tepat, dengan parameter utama peningkatan kadar protein. Variabel yang digunakan adalah keempat jenis kapang dan waktu inkubasi kasar. Keempat jenis kapang tersebut adalah; Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rizhopus oligoporus, dan Phanerochaete chrysosporium. Kemudian variabel lama inkubasi terdiri dari tiga waktu yaitu; 3 hari, 6 hari, dan 9 hari. Parameter yang dianalisis meliputi kadar protein kasar, kadar serat kasar dan kehilangan bahan kering. Hasil percobaan menunjukkan bahwa A. niger merupakan kapang terbaik dengan lama inkubasi terbaik selama sembilan hari. A. niger berhasil meningkatkan kadar protein kasar dari 22.65% menjadi 31.68% berat kering bahan atau mengalami peningkatan sebesar 39.87% dengan waktu inkubasi 9 hari. Hasil tersebut berbeda nyata dengan semua jenis sampel lainnya. Kadar serat kasar bahan setelah fermentasi mengalami penurunan, kecuali pada sampel R. oligosporus, yang mengalami peningkatan kadar serat kasar. Kadar serat kasar akhir setelah inkubasi 9 hari berkisar antara 30.57 hingga 34.45% BK, dari kondisi awal 32.06%. Kehilangan bahan kering juga terjadi di semua sampel antara 18.00% hingga 34.51% dari berat bahan kering awal. Penelitian kedua dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan kultur campuran dari ketiga jenis kapang yang digunakan lalu dibandingkan dengan hasil kultur tunggal pada penelitian pertama. Waktu inkubasi sembilan hari digunakan sebagai waktu inkubasi pada penelitian kedua. Hasilnya, aplikasi kultur campuran memberikan nilai rataan peningkatan kadar protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kultur tunggal, yaitu meningkat sebesar 52.52% dengan 21,01% dari dari kondisi awal sebelum fermentasi. Peningkatan kadar protein tertinggi terjadi pada aplikasi mix culture antara A. niger dan T. viride dengan kadar protein kasar akhir sebesar 36.71%. Hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan dua sampel berikutnya yaitu kultur campuran antara A. niger dengan R. oligosporus sebesar 35.83%, dan campuran antara ketiganya; A. niger, R. oligosporus, dan T. viride sebesar 36.05%. Kadar serat kasar sampel setelah inkubasi juga mengalami penurunan yang cukup tinggi dengan kandungan serat kasar setelah fermentasi antara 19.37% hingga 26.08%. Kehilangan bahan kering setelah fermentasi juga dialami oleh semua jenis sampel antara 20.77% hingga 46.47%, lebih tinggi dibandingkan penggunaan kultur tunggal. Kata Kunci : Ampas Kulit Nanas, Fermentasi Medium Padat, Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rhizopus oligosporus, Phanerochaete chrysosporium.
PENINGKATAN KADAR PROTEIN KASAR AMPAS KULIT NANAS MELALUI FERMENTASI MEDIA PADAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh CATUR SETIYARTO F34060507
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: PENINGKATAN KADAR PROTEIN KASAR AMPAS KULIT NANAS MELALUI FERMENTASI MEDIUM PADAT
Nama
: CATUR SETIYARTO
NRP
: F34060507
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA)
(Ir. T. E. Sukmaratri)
NIP. 19500720 198103 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Peningkatan Kadar protein Kasar Ampas Kulit Nanas Melalui Fermentasi Medium Padat” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, 08 Desember 2010 Yang membuat pernyataan,
CATUR SETIYARTO F34060507
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sribasuki (Lampung Timur), pada tanggal 30 Maret 1988 dari pasangan Bapak Supardi dan Ibu Sugiyarti. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 2 Sribasuki-Lampung Timur (2000), SLTPN 2 Batanghari (2003), dan SMA N 4 Kota Metro (2006). Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Selama mengikuti perkuliahan penulis sempat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) tahun 2007, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) tahun 2007, Organisasi Mahasiswa Daerah Lampung tahun 2006-2007, dan aktif di Asrama TPB sebagai Senior Resident Asrama TPB IPB tahun 2008-2010. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan antara lain Ketua panitia Try Out Akbar SPMB 2007 Kota Metro (OMDA), PJ AK Hari Warga Industri (HIMALOGIN), Koordinator Agroindustrial Business Plan Compettition 2008 (Agoindustry Days HIMALOGIN), Ketua Panitia Lets Fight Againts Drugs 2009 (PPAMB Asrama TPB IPB), Ketua Panitia Leadership Training of Dormitory 2009 (PPAMB Asrama TPB IPB), Pembina beberapa club dan komunitas di Asrama TPB (Klub Cinta Lingkungan, Tim PPAMB, Pojok Tani, dan C4 Foundation), Anggota dan ketua Tim Managamen PPAMB Asrama TPB, dan beberapa kepanitian kegiatan PPAMB lainnya. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan praktek lapang di PTPN VII Unit Usaha Bekri-Lampung Tengah, dengan judul laporan “Teknologi Proses Produksi CPO (Crude Palm Oil) di PT. Perkebunan Nusantara (PERSERO) VII Unit Usaha Bekri, Lampung Tengah”. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Peningkatan Kadar Protein Kasar Ampas Kulit Nanas Melalui Fermentasi Media Padat” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, dan Ir. T. E. Sukmaratri.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memancarkan cahaya ilmuNya, serta sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul ”Peningkatan Kadar Protein Kasar Ampas Kulit Nanas Melalui Fermentasi Medium Padat”. Penelitian dan penyusunan skripsi ini selain sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana, juga bertujuan untuk lebih meningkatkan pengetahuan terutama pada topik yang tengah dikaji. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku dosen pembimbing akademik I yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam setiap kegiatan akademik. 2. Ir. T. E. Sukmaratri selaku pembimbing akademik II yang senantiasa mengarahkan selama kegiatan penelitian di Laboratorium Riset PT. GGPC, Lampung Tengah 3. Ayah dan Ibu tercinta, serta kakak-kakak dan adikku yang tidak pernah luput dalam doa untuk penulis. 4. Seluruh teknisi dan laboran Laboratorium Riset PT. GGPC, Mbak Titin sang superstar Riset GGPC yang selalu brilian dan aktif, Mas Aan, Mas Sigit, Mbak Ida, Mbak Nur, Mbak Linda dan seluruh warga Riset GGPC yang saya banggakan. 5. Seluruh teknisi dan laboran Laboratorium Pengawasan Mutu, Teknik Kimia, Bioindustri, dan LDIT Departemen Teknologi Industri Pertanian, atas bantuannya 6. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Asrama TPB IPB, Senior Resident 08-10, temen-temen 45, 46 dan 47. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan di Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB, Syafik muzaqqi, Syahrun Mubarak, Aptiful Hendri dan segenap mahasiswa TIN43. 8. Teman sebimbinganku : Asto Hadiyoso yang selalu semangat dan Laura Surya yang sangat rajin dan tekun. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan ilmu.
Bogor, 08 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................................
iv
DAFTAR ISI .....................................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ...........................................................................................
1
1.2. RUANG LINGKUP ................................................................................................
2
1.3. TUJUAN ...............................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LIMBAH PENGALENGAN NANAS ....................................................................
3
2.2 PROTEIN SEL TUNGGAL ...................................................................................
3
2.3. FERMENTASI MEDIUM PADAT.........................................................................
5
2.4. PEMILIHAN MIKROORGANISME ......................................................................
7
2.4.1. Aspergillus niger .............................................................................................
8
2.4.2. Trichoderma viride..........................................................................................
9
2.4.3. Rhizopus oligosporus ...................................................................................... 10 2.4.4. Phanerochaete chrysosporium ......................................................................... 10 2.5. KULTUR CAMPURAN SEBAGAI STARTER FERMENTASI ............................. 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN TEMPAT ....................................................................................... 12 3.2. ALAT DAN BAHAN ............................................................................................ 12 3.4. METODE .............................................................................................................. 12 3.4.1. Penelitian Pendahuluan ................................................................................... 12 3.4.2. Tahap Penelitian Utama .................................................................................. 16 3.5. RANCANGAN PERCOBAAN .............................................................................. 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN ......................................................................... 18 4.1.1. Komposisi Kimia Ampas Kulit Nanas ............................................................ 18 4.1.2. Pengeringan Bahan Baku ............................................................................... 19 4.1.3. Produksi Starter Cair ...................................................................................... 19 4.1.4. Uji efektivitas inkubator ................................................................................. 20 4.1.5. Uji Pertumbuhan Miselium Kapang ................................................................ 22 4.2. PENELITIAN UTAMA ....................................................................................... 24
4.2.1. Pemilihan Jenis Kapang Terbaik ................................................................... 24 4.2.1.1. Kadar Protein Kasar .............................................................................. 25 4.2.1.2. Kadar Serat Kasar ................................................................................. 27 4.2.1.3. Kehilangan Bahan Kering...................................................................... 28 4.3. Aplikasi Kultur Campuran .................................................................................... 30 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN .................................................................................................... 33 5.2. SARAN ............................................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 34 LAMPIRAN ..................................................................................................................... 37
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7.
Komposisi kimia kulit nanas .............................................................................. Waktu penggandaan sel beberapa organisme ...................................................... Kandungan protein mikroba............................................................................... Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat ............................. Komposisi kimia ampas kulit nanas ................................................................... Rataan kadar serat kasar sampel yang difermentasi dengan tiga jenis kapang dan lama inkubasi berbeda ..................................................... Hasil aplikasi kultur campuran dengan waktu inkubasi 9 hari. ............................
3 4 5 6 18 27 30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13.
Halaman Mekanisme kerja selulase ........................................................................... Penampang kepala konidia A. niger............................................................. Miselia dan spora Trichoderma viride ......................................................... Tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus .......................... Miselium P. chrysosporium ....................................................................... Diagram alir proses produksi starter cair menggunakan media ekstrak toge cair.......................................................................................... Diagram alir uji pertumbuhan miselium kapang........................................... Penampakan miselium kapang yang dinkubasi di dalam dan di luar ruang diluar inkubator ................................................................................ Inkubator sederhana .................................................................................... Hasil inkubasi 10 hari uji pertumbuhan pada keempat jenis kapang starter cair .................................................................................................. Peningkatan Kadar Protein Kasar Hasil Fermentasi pada Kultur Tunggal ..... Persentase kehilangan bahan kering kumulatif sampel hasil fermentasi pada kultur tunggal ..................................................................................... Perbandingan rataan peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan kultur campuran ......................................................
7 8 9 10 11 13 15 21 21 22 26 28 32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.
Halaman Tatacara analisis karakteristik bahan awal ................................................... Tatacara Pembuatan media ekstrak toge cair ............................................... Pertumbuhan miselium A. niger, R. oligosporus, dan T. viride, dengan waktu inkubasi berbeda............................................................................... Perubahan kadar protein kasar setelah fermentasi dan uji lanjut Duncan ....................................................................................... Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi ............................................ Kehilangan bahan kering setelah fermentasi dan uji lanjut Duncan ........................................................................................ Pertumbuhan miselium aplikasi kultur campuran dengan inkubasi sembilan hari .............................................................................................. Perubahan kadar PK dan SK serta KBK aplikasi kultur campuran................ Analisis varian dan uji lanjut duncan perubahan kadar Protein pada perlakuan mix culture .........................................................................
38 42 43 44 46 47 49 50 51
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Ampas kulit nanas merupakan limbah dari proses pengupasan (peeling) buah nanas pada tahapan produksi nanas kaleng. Limbah tersebut merupakan ampas pengempaan (pressing) kulit buah nanas untuk diambil air buah yang tersisa di dalamnya. Limbah tersebut dihasilkan dalam jumlah besar pada proses pengalengan nanas oleh PT. GGPC (Great Giant Peneapple Company) di Lampung Tengah. Kurang lebih 140 ton ampas kulit nanas dengan berkadar air 85% dihasilkan pada proses pengalengan nanas PT-GGPC per hari. Tingkat kuantitas dan ukuran kesinambungan pasokan ampas kulit nanas sebagai hasil samping proses pengalengan nanas merupakan potensi besar bagi usaha pemanfaatannya. Ampas kulit nanas merupakan bahan organik dengan kadar serat tinggi. Bahan tersebut memiliki potensi besar untuk diolah menjadi berbagai macam produk, misalnya sebagai bahan pakan ternak, bahan baku pupuk hayati, medium pertumbuhan mikroba, bahkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengisi untuk pembuatan makanan ringan. Salah satu pemanfaatan yang sangat potensial adalah sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia, namun hal tersebut terkendala dengan kandungan protein ampas kulit nanas yang rendah, sehingga kebutuhan nutrisi ternak tidak tercukupi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu usaha meningkatkan kualitas ampas kulit nanas, khususnya pada upaya peningkatan kadar protein bahan. Salah satu jalan untuk memperkaya kadar protein bahan adalah dengan membudidayakan sel mikroba pada ampas kulit nanas sebagai sumber protein atau disebut juga protein sel tunggal (PST). PST didefinisikan sebagai sumber protein yang berasal dari mikroba seperti khamir, kapang, bakteri, dan alga. Kapang menjadi mikroba yang potensial sebagai sumber protein sel, karena dibandingkan dengan ketiga jenis mikroba lainya, kapang memiliki kemampuan tumbuh dengan baik pada media padat. Peningkatan kadar protein bahan dilakukan melalui proses fermentasi medium padat, yaitu membudidayakan mikroba pada media yang tidak larut dalam air, serta tidak mengandung air bebas namun cukup air untuk keperluan metabolisme sel (Senez 1979). Kapang adalah mikroba yang paling baik baik ditumbuhkan dengan cara ini mengingat medianya yang padat serta kadar nutrisi larut air yang cenderung rendah untuk kultivasi bakteri secara optimum (Raimbault, 1998). Peningkatan kadar protein ampas kulit nanas melalui metode fermentasi media padat dengan sel mikroba sebagai sumber protein yang utama dipengaruhi beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Beberapa faktor tersebut adalah suhu, kadar air, pH, aerasi, agitasi, dan konsentrasi nutrien (Riyanto dan Andi, 2009). Faktor jenis mikroba dan waktu inkubasi juga sangat menentukan kuantitas peningkatan kadar protein kasar bahan. Pada penelitian ini dilakukan beberapa variasi perlakuan untuk memastikan proses fermentasi berlangsung optimal, diantaranya; pemilihan jenis kapang terbaik, optimasi waktu inkubasi kasar, dan aplikasi kultur campuran kapang.
1.2. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini yaitu penggunaan ampas kulit nanas sebagai substrat pertumbuhan keempat jenis kapang terpilih, Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus, Phanerochaete crhysosporium, dan Trichoderma viride.
Fermentasi media padat dilakukan untuk meningkatkan kadar protein kasar ampas kulit nanas. Produk hasil fermentasi merupakan sel mikroba itu sendiri bersama dengan subtratnya, tanpa dilakukan pemisahan atau disebut juga produk biomasa mikroorganisme (PBM). Variabel yang diterapkan dalam proses fementasi adalah perbandingan ketiga jenis kapang dan pengambilan sampel per tiga hari masa inkubasi. Parameter yang diukur adalah kadar protein kasar, serat kasar, dan kehilangan bahan kering. Penentuan proses fermentasi terpilih dilakukan berdasarkan pada parameter utama yaitu kadar protein kasar tertinggi.
1.3. TUJUAN -
Mendapatkan jenis kapang terbaik sebagai sumber N untuk meningkatkan kadar protein kasar ampas kulit nanas sebagai bahan pakan. Optimasi waktu inkubasi kasar pada proses fermentasi dengan indikator peningkatan kadar protein kasar tertinggi Mendapatkan kemungkinan penggunaan aplikasi kultur campuran sebagai starter media dibandingkan dengan kultur tunggal.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. LIMBAH PENGALENGAN NANAS Pengalengan adalah metode pengawetan nanas yang paling umum. Secara sederhana prosesnya adalah seperti berikut. Buah nanas disortasi menurut ukuran, bentuk dan kesempurnaan buahnya. Mahkota, kulit dan hati dipisahkan dan bentuk akhirnya berupa selindir yang berlubang di bagian tengah, yang kemudian dipotong dalam berbagai bentuk. Daging nanas tersebut kemudian diawetkan dilarutkan dalam larutan gula (Collins 1960). Pada berbagai industri pengalengan nanas, hati buah diolah menjadi sari buah dan mahkota buah digunakan untuk pembibitan (Indrawanto 1988), Limbah pengalengan nanas yang dimaksud adalah kulit nanas yang telah diperas untuk diambil sari buahnya atau disebut juga ampas kulit nanas. Tabel 1 berikut menunjukkan komposisi kimia ampas kulit nanas menurut beberapa sumber.
Tabel 1. Komposisi kimia kulit nanas (dalam % w/w bobot kering) Komponen (a) (b) Kadar abu
3.8
4.2
Kadar protein kasar
4.5
3.3
Kadar serat kasar
15.8
14.2
Kadar lemak kasar
1.6
1.7
Kadar karbohidrat
63.9
74.2
(a) Sidharta (1989) (b) Hartadi et al. (1989)
Menurut Odonovan (1978), limbah pengolahan nanas diawetkan dengan cara pengeringan maupun fermentasi (ensilase). Pengeringan dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat pengering. Fermentasi dilakukan dengan terlebih dahulu menambahkan bahan yang mempunyai kandungan bahan kering yang lebih tinggi. Aplikasi penggunaan ampas kulit nanas cukup luas, khususnya sebagai bahan pakan ruminansia. Menurut Ginting et al. (2005) dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Substitusi hijauan dengan limbah nanas dalam pakan komplit pada kambing”, ampas kulit nanas dapat digunakan sebagai bahan pengganti pakan ternak hijauan dengan cara pengolahan limbah nanas menjadi silase limbah nanas. Namun pengolahan ampas kulit nanas menjadi silase tidak memberikan dampak pada peningkatan kadar protein yang cukup baik, oleh karena itu teknik pengolahan silase kurang sesuai dalam upaya meningkatkan kadar protein bahan.
2.2. PROTEIN SEL TUNGGAL Secara umum, protein sel tungggal (PST) dapat didefinisikan sebagai sumber protein yang berasal dari mikroba seperti kapang, bakteri, khamir dan alga. PST merupakan salah satu harapan manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan protein utama di masa depan. Penggunaan PST untuk pemenuhan kebutuhan protein manusia masih sulit karena beberapa hal, seperti aroma, rasa, sampai kandungan RNA pada PST yang terlalu tinggi. Kenyataannya, produksi PST saat ini lebih berkembang dalam usaha pencapaian kebutuhan nutrisi pada ternak (Riyanto dan Andi 2007). Menurut Batt dan Sinskey (1987), beberapa keuntungan penggunaan PST sebagai sumber protein konvensional adalah sebagai berikut; - Laju pertumbuhan sel/produksi protein lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan - Kandungan protein sel yang tinggi (40-80 % per sel) - Mampu menggunakan substrat beragam - Tidak membutuhkan tempat yang besar serta tidak tergantung kondisi iklim. Mikroba pada umumnya membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh berkembang. Hal tersebut yang menjadikan protein sel lebih cepat diproduksi dibandingankan protein dari sumber hewan dan tanaman. Menurut Laskin (1977) waktu penggandaan sel beberapa organisme ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Waktu penggandaan sel beberapa organisme Organisme Waktu Penggandaan sel Bakteri dan khamir 20 -120 menit Kapang dan algae 2 – 6 jam Rumput dan tanaman lain 1 – 2 minggu Ayam 2 – 4 minggu Babi 4 – 6 minggu Sapi 1 – 2 bulan Sumber : Laskin (1977)
Ada dua istilah yang digunakan untuk produk mikrobial, yaitu PST (Protein Sel Tunggal) dan Microbial Biomass Product (MBP) atau Produk Biomassa Mikrobial (PBM). Bila mikroba yang digunakan tetap berada dan bercampur dengan masa substratnya maka seluruhnya dinamakan PBM, sedangkan bila mikroba dipisahkan dari substratnya maka hasil panennya merupakan PST (Hariyum 1986). Protein kasar adalah persentase unsur N yang terdapat pada suatu bahan. Komposisi kimia sel kering mikroba pada umumnya terdiri dari 50% unsur C, 20% unsur O, 14% unsur N dan unsur-unsur lainnya meliputi H, P, S, dan lain-lain (Fardiaz 1989). Semakin banyak sel yang tumbuh berkembang maka akan semakin tinggi kandungan proteinnya. Oleh karena itu salah satu indikator keberhasilan dalam usaha memproduksi protein sel tunggal adalah benyaknya sel yang tumbuh dan berkembang. Setiap jenis mikroba memiliki kandungan unsur N yang berbeda-beda, serta memiliki karakteristik kebutuhan proses, substrat dan ukuran sel yang berbeda-beda. Menurut Riyanto dan Andi (2007), kandungan protein dari beberapa jenis mikroba ditunjukkan oleh Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Kandungan protein mikroba Mikroorganisme Protein (% BK) Alga
47 – 63
Bakteri
50 – 83
Khamir
45 - 55
Kapang
31 – 55
Sumber : Riyanto dan Andi (2007)
2.3. FERMENTASI MEDIUM PADAT Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi limbah ampas kulit nanas adalah pengolahan pakan secara biologis dengan fermentasi. Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Winarno et al. 1980). Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih terikat di dalam sel. Reaksi enzim mungkin terjadi sepenuhnya di dalam sel karena enzim yang bekerja berdada di dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel (ekstraselular). Enzim pemecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu diproduksi di dalam sel kemudian dikeluarkan dari sel ke substrat di sekelilingnya (Fardiaz 1989). Makromolekul yang menjadi substrat utama kebutuhan mikroba fermentasi perlu dipecah menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana, disinilah peran enzim-enzim ekstraselular. Contohnya, makromolekul pati dipecah oleh amilase sehingga berubah menjadi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk metabolisme sel (Fardiaz 1989). Menurut mediumnya proses fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Proses fermentasi medium padat lebih dulu dikenal dari pada fermentasi medium cair, dan telah banyak diterapkan dalam berbagai proses fermentasi. Beberapa produk yang dihasilkan dari fermentasi medium padat antara lain adalah glukosa, etanol, dan asam sitrat serta produk tradisional seperti tempe (Senez 1979). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan proses fermentasi media padat, diantaranya sifat substrat (terutama derajat kristalisasi dan polimerisasi), dan sifat mikroorganisme (masing-masing mikroorganisme mempunyai kemampuan berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme).
Perbedaan lebih spesifik antara fermentasi medium padat dan medium cair dijelaskan oleh Raimbault (1998) seperti pada tabel berikut.
Tabel 4. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat Faktor Fermentasi media cair Fermentasi media padat Substrat Media cair dengan nutrisi larut air Media padat dengan nutrisi larut dan tidak larut air Higienitas kondisi Harus steril dan aseptis Tidak harus steril Konsumsi air Lebih tinggi Lebih rendah Panas yang dihasilkan Lebih merata Kurang merata Penggunaan aerasi Mutlak Tidak mutlak buatan Pengendalian pH Lebih mudah Lebih sukar Pengocokan Diperlukan Tidak diperlukan Konsentrasi produk Lebih rendah Lebih tinggi Homogenitas kultur Lebih baik Kurang baik Sumber : Raimbault (1998)
Metode fermentasi media padat menjadi sangat tepat pada upaya produksi produk biomasa mikrobial (PBM) dari ampas kulit nanas. Alasan utama adalah karena bahan utama yang bersifat padat atau tidak larut dalam air. Teknik fermentasi ini telah digunakan dalam produksi dan pengawetan beragam bahan makanan, produksi enzim, asam-asam organik, antibiotik, bahan bakar nabati, dan produk mikroba lainnya. Dewasa ini, penggunaan teknik fermentasi media padat telah digunakan untuk produksi enzim, metabolit primer dan sekunder mikroba, pigmen warna nabati, protein sel tunggal serta pengolahan limbah nabati untuk produksi makanan ternak. Menurut Senez et al (1978), prosedur fermentasi medium padat yang telah dimodifikasi ternyata mampu meningkatkan kadar protein dari 2,5% menjadi 18%. Pada substrat berpati tinggi (pati singkong) yang digiling kasar (100 gram) ditambahkan dengan ammonium sulfat (9 gram), urea (2,7 gram), dan kalium orto fosfat (5 gram), serta air (100-120), kemudian diinokulasi dengan air yang berisi Aspergillus niger dan diaduk dalam mixer adonan hingga terbentuk granula-granula dengan diameter 1 milimeter. Substrat yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi pada suhu 30oC dengan pH awal 3,5 selama 30 jam. Sumber nitrogen dan fosfat dibutuhkan oleh kapang dalam jumlah yang besar, atau disebut komponen makromolekul. Penelitian yang dilakukan oleh Senez et al., menggunakan sumber nitrogen berupa urea, dan ammonium sulfat, kemudian sumber fosfat dari kalium orto fosfat. Kapang membutuhkan unsur N untuk menyusun asam nukleat dan koenzim dalam selnya, dan unsur P untuk menyusun asam nukleat, fosfolipid dan koenzim (Fardiaz 1989). Penambahan nutrien perlu dilakukan pada substrat utama, agar sel kapang dapat berkembang lebih cepat. Peran enzim dalam proses fermentasi sangat diperlukan untuk mendegradasi komponenkomponen karbohidrat dan lemak, sehingga dapat digunakan oleh mikroba sebagai sumber nutrisi setelah sisa gula dalam bahan habis. Proses konversi bahan menjadi biomasa sel berprotein pada PST dimulai dari proses degrdasi bahan oleh enzim-enzim yang disekresikan oleh mikroba terpilih.
Misalkan selulase berperan sebagai enzim pendegradasi selulosa (Raimbault 1998), lipase berperan untuk degradasi lemak, amilase untuk bahan berpati, dan peroksidase baik LiP maupun MnP berperan untuk mendegradasi ikatan lignin yang membungkus selulosa (Suparjo 2010). Selulase adalah kelompok dari tiga enzim utama, yaitu; endo-β-1, 4-glucanase (disebut juga endocellulase /carboxymethyl cellulase/ Cx cellulase), exo-β-1, 4-glucanase (disebut juga cellobiohydrolase/ avicelase/ C1 cellulase) dan β-1, 4-glucosidase (cellobiase) (Knowles et al. 1987). Gambar berikut adalah mekanisme kerja selulase pada degradasi komponen selulosa menjadi glukosa (Anil 2008),
Gambar 1. Mekanisme kerja selulase (Anil 2008)
2.4. PEMILIHAN MIKROORGANISME Mikroba yang dapat tumbuh dalam proses fermentasi media padat ialah khamir, kapang dan bakteri. Meski demikian, jamur berfilamen atau kapang adalah mikroba yang paling baik ditumbuhkan dengan cara ini mengingat substratnya yang padat serta kadar air dan kadar nutrisi larut air yang cenderung rendah untuk kultivasi bakteri secara optimum (Raimbault 1998). Kapang merupakan organisme eukariotik heterotrof yang dapat bereproduksi secara seksual dengan cara plasmogami dan karyogami maupun secara aseksual dengan cara menghasilkan spora. Karena sifat hidupnya yang heterotrof, kapang banyak terdapat dalam bentuk simbion dengan organisme lain secara baik secara mutualisme maupun parasitisme. Kapang yang tidak bersimbiosis biasanya tumbuh pada bangkai organisme. Sebagian besar jamur adalah organisme multisel yang memiliki hifa, yaitu serabut berdinding sel yang melingkupi sitoplasma jamur. Sejumlah hifa akan membentuk jaring-jaring yang disebut miselium. Pola pertumbuhan hifa kapang memberikan kemampuan untuk menembus ke dalam media padat. Dinding sel yang melekat dan percabangan miselium membentuk struktur yang kokoh (Campbell et al. 1999).
Pada teknik fermentasi media padat, enzim-enzim hidrolitik yang disekresikan pada ujung hifa tidak mengalami pengenceran seperti yang terjadi pada fermentasi media cair sehingga frekuensi interaksi enzim-enzim dengan substratnya dapat ditingkatkan dan penyebaran enzim dapat menjangkau hingga ke dalam substrat untuk memanfaatkan lebih banyak nutrisi yang terkandung di dalamnya (Raimbault 1998). Kapang yang biasa digunakan adalah Trichoderma sp, Penicillium sp, Fusarium sp; sedangkan algae yang biasa digunakan adalah Chlorella sorokimianan, Scenedesmus, Sinechoccus, Spirullina (Hariyum 1986). Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat rendah (Scherllart, 1975). Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mulanya bewarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang, dan kapang ini terdiri dari suatu thallus bercabang yang disebut hifa, dimana miselia merupakan masa hifa (Fardiaz 1989). Ampas kulit nanas merupakan bahan berserat tinggi, yang tersusun oleh beberapa komponen diantaranya; selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa (Murni et al. 2008). Selain serat, komponen lain yang berpotensi sebagai sumber nutrisi bagi sel adalah kandungan gula, lemak dan pati yang ada di dalamnya. Pemilihan jenis mikroorganisme untuk proses fermentasi ampas kulit nanas lebih diutamakan pada jenis kapang pendegradasi serat, yaitu kapang dengan sifat selulitik.
2.4.1. Aspergillus niger A. niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al. 1989). A. niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memanjang di atas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Gambar 2 menunjukkan penampang kepala konidia A. niger.
Gambar 2. Penampang kepala konidia A. niger A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35°C - 37°C dan derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2 - 8,8, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah (Fardiaz 1989).
A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase (Selvakumar et al. 1996) Pada penelitian sebelumnya kapang A. niger pada media padat yaitu campuran limbah lumpur sawit dan tepung kepala udang, berhasil meningkatkan kadar protein kasar dari 12.74% menjadi 37.72% dengan inkubasi selama 6 hari (Mirwandhono et al. 2004)
2.4.2. Trichoderma viride Salah satu mikroorganisme yang mampu memanfaatkan selulosa untuk pertumbuhannya adalah kapang Trichoderma viride. Kapang ini menghasilkan enzim selulitik yang sangat efisien, terutama enzim yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis kristal selulosa. Trichoderma viride berhasil digunakan untuk memproduksi selulase menggunakan substrat dari kulit ari beras serta meningkatkan kadar protein dan daya cerna jerami padi (Mojsov 2010). Trichoderma viride tumbuh baik pada substrat selulosa (serat), begitu juga dengan ampas kulit nanas dengan kadar seratnya yang tinggi. Morfologi Trichoderma viride yang sudah tua berwarna hijau terang karena terbentuknya bola-bola konidia yang lekat satu sama lain. Gambar 3 merupakan tampilan mikroskopik pertumbuhan miselia dan spora kapang T. virid.
Gambar 3. Miselia dan spora Trichoderma viride (http://botit.botany.wisc.edu)
T. viride banyak terdapat di tanah dan aktif dalam proses amonifikasi dan dekomposisi selulosa. Kapang Trichoderma viride dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas jerami padi melalui metode fermentasi, meningkatkan konsentrasi NH3 dan kecernaan bahan kering dan bahan organik (Widiyandari 2002). Kisaran suhu optimum pertumbuhan Trichoderma viride berkisar antara 25-36oC. Pada suhu 26oC dan 32oC kapang masih tumbuh dengan baik. Kisaran pH pertumbuhan kapang adalah selang pH 1.5 hingga 9 dengan pH optimum 5 dan 5.5 (Domsch dan Gams 1972).
2.4.3. Rhizopus Oligosporus R. oligosporus merupakan kapang dari genus Rhizopus, famili mucoraceae, ordo mucorales, subdivisi zygomycotina, divisi eumycota (Fardiaz 1989). Kapang ini banyak digunakan dalam pembuatan tempe, dan banyak dapat ditemukan di alam, karena hidupnya bersifat saprofit (Shurtleff dan Ayogi 1979). Gambar 4 menunjukkan tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus.
Gambar 4. Tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus (http://www.agro.cmu.ac.th)
R. oligosporus merupakan kapang yang mampu penghasil enzim amilase, lipase, dan glukoamilase (Raimbault 1998). R. oligosporus termasuk ke dalam golongan mikroorganisme mesophilik, dengan batas suhu antara 25 – 37 oC, tumbuh baik pada suhu 30 oC (Riyanto dan Andi 2007). Pada penelitian sebelumnya, R. oligosporus berhasil meningkatkan kadar protein kasar substrat yang berupa campuran limbah kelapa sawit dan hidrolisat tepung kepala udang. Peningkatan tersebut cukup baik, dari 12.74% hingga 27.21% dengan waktu inkubasi enam hari (Mirwandhono et al. 2004). Hasil penelitian Riyanto dan Andi (2007) pada upaya peningkatan kadar protein ampas tapioka, kondisi optimum proses fermentasi terjadi pada kadar air subtrat 65% dengan pH 6. Penelitian tersebut berhasil meningkatkan kadar protein ampas tapioka dari 1.06% menjadi 19.63%.
2.4.4. Phanerochaete chrysosporium P. chrysosporium termasuk dalam filum Basidiomycota, divisi basidiomycetes ordo poliprales keluarga Phanerochaetacea genus Phanerochaete (Burdsall dan Eslyn 1974). Kapang ini tumbuh dengan membentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual dengan pembentukkan conidiospore (Dhawale dan Kessler, 1993) dan secara basidiospere (Gelpke 2002). P. chrysosporium juga sering disebut sebagai kapang pelapuk putih (perez et al. 2002). Gambar 5 menunjukan penampang melintang miselium P. chrysosporium .
Gambar 5. Miselium P. chrysosporium (http://genome.jgi-psf.org)
Kapang ini mempunyai kemampuan mendegradasi lignin secara efektif melalui sekresi peroksidase yang mengkatalis oksidasi awal (Hattaka 1994). P. chrysosporium mempunyai kondisi optimum pertumbuhan pada suhu 40o C, pH antara 4 -7, dan kondisi aerob (Fadilah et al 2008). Keadaan ligninolitik adalah keadaan di mana jamur mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Pada jamur pelapuk putih, enzim yang dikeluarkan adalah enzim peroksidase. P. chrysosporium mengeluarkan enzim hemeperoksidase, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Fadilah et al. 2008).
2.5. KULTUR CAMPURAN SEBAGAI STARTER FERMENTASI Pemilihan jenis kapang sebagai starter fermentasi didasarkan pada karakteristik substrat yang digunakan. Jenis kapang amilolitik (penghasil amilase) digunakan untuk jenis substrat berpati (amilosa), kapang selulitik (penghasil selulase) untuk jenis substrat berselulosa, kapang lignolitik (penghasil enzim Ligninase) untuk jenis substrat bahan lignoselulosa, dan jenis-jenis kapang lainnya. Penggolongan jenis-jenis kapang tersebut mencirikan kemampuan kapang mensintesis spesifik enzim. Beberapa jenis kapang dapat mensintasis enzim yang kompleks, namun sebagian kapang spesifik pada enzim tertentu. Aspergillus niger mensekresi enzim yang kompleks, meliputi selulase, amilase, xilanase, lipase dan lain-lain (Selvakumar et al. 1996), Rhizopus oligosporus mampu mensekresi amilase dan lipase (Raimbault 1998). Trichoderma viride menjadi kapang spesifik dengan sekresi enzim selulase. Penggunaan kultur campuran sebagai starter fermentasi memungkinkan terjadinya aktivitas degradasi bahan yang lebih kompleks dan simultan (Holzapfel 2000). Pencampuran beberapa jenis kapang sebagai starter untuk satu jenis bahan diharapkan dapat mendegradasi bahan lebih efktif. Hal tersebut didukung oleh komposisi kimia dari subtrat fermentasi media padat yang tidak seragam. Komposisi kimia ampas kulit nanas contohnya, memiliki komposisi berupa bahan serat tinggi (lignoselulosa), lemak rendah (Hartadi et al. 1989), dan berpati rendah (0.72 mg/g BK kulit nanas) (Cordenunsi et al. 2010). Penggunaan kultur tunggal dalam fermentasi akan mengakibatkan spesifikasi degradasi komposisi bahan yang spesifik pada jenis komposisi bahan tertentu, sehingga kurang optimal dalam pemanfaatan bahan. Serta mengakibatkan pertambahan sel kapang menjadi kurang optimal. Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi sering dijumpai pada starter proses fermentasi makanan tradisional (Holzapfel 2000), misalkan pada proses fermentasi kapang dalam pembuatan kecap berperan kapang Aspergillus oryzae, A. flavus, A. niger dan Rhizophus oligosporus, produk tempe dengan kultur campuran jenis Rhizopus sp dan lain-lain (Santoso 2005).
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei – September 2010 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Pengawasan Mutu PT. Great Giant Pineapple Lampung Tengah serta Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2.
ALAT DAN BAHAN
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain LAF (Laminar Air Flow), shaker, dan inkubator ruang fermentasi medium padat. Bahan-bahan yang digunakan antara lain; ampas kulit nanas, toge, Potato dextrose agar (PDA), biakan murni keempat jenis kapang; (Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rhizopus oligosporus, dan Phanerochaete Crysosporium), dan nutrien tambahan substrat; urea, rock fospat, dan amonium sulfat. Biakan murni kapang jenis Phanerochaete Crysosporium dan Trichoderma viride diperoleh dari Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB. Sedangkan biakan murni kapang jenis Rhizopus oligosporus dan Aspergillus niger diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Riset PT. GGPC, Lampung Tengah.
3.3. METODE 3.3.1. Penelitian Pendahuluan -
Komposisi Kimia Ampas Kulit Nanas Ampas kulit nanas dianalisis dengan beberapa uji yaitu kadar air, protein kasar, kadar lignin, serat kasar, gula reduksi, lemak, abu. Analisis diperlukan untuk mengetahui secara pasti komposisi kimia substrat sebelum fermentasi dan memberikan gambaran untuk proses pemilihan starter yang akan digunakan. Tata cara analisa parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
-
Pengeringan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah ampas kulit nanas dengan kadar air 1114% (kering matahari). Pengeringan dilakukan dengan bantuan sinar matahari selama 12 jam dengan memperluas permukaan penjemuran sehingga tingkat kekeringan bahan cukup homogen. Pengeringan juga dimaksudkan sebagai cara pengawetan bahan untuk keperluan percobaan.
-
Produksi Inokulum cair Produksi inokulum cair dimulai dari perbanyakan biakan murni pada agar miring Potato dextrose agar, kemudian diinokulasi pada media ekstrak toge cair lalu dinkubasi. Tatacara pembuatan media ekstrak toge cair dapat dilihat pada Lampiran 2. Inkubasi diberikan selama tiga hari pada shaker.
Keberhasilan produksi ditunjukkan jika hasil perhitungan mikroba dengan metode TPC mencapai 106 sel per milliliter starter. Flowchart produksi inokulum cair menggunakan ekstrak toge cair dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Diagram alir proses produksi starter cair menggunakan media ekstrak toge cair Media yang telah disterilisasi kemudian didinginkan hingga suhu kamar atau dibawah 400C, kemudian diinokulasi dengan isolat dari media agar miring. Setiap labu erlenmeyer yang berisi 250 ml media cair diinokulasi pada laminar air flow (LAF) dengan 10 ml air hasil pengocokan pada media agar miring isolat. Kemudian dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu kamar dengan meletakkan pada shaker untuk menghindari terbentukkan miselium yang menempel pada dindingdinding labu erlenmeyer serta memudahkan kapang untuk mengambil oksigen dari udara dalam labu erlenmyer. Inkubasi dengan shaker dilakukan selama 3 hari (72 jam). Starter cair yang telah berumur 3 hari tersebut siap diinokulasi pada starter padat.
-
Uji efektivitas inkubator Pengujian efektivitas inkubator sederhana dibandingkan dengan kondisi ruang biasa. Kelompok sampel diinkubasi pada dua kondisi ruang, yaitu di dalam inkubator sederhana dan diluar inkubator. Intensitas pertumbuhan miselium terbaik adalah parameternya.
-
Uji Pertumbuhan Miselium Uji pertumbuhan miselium dilakukan dengan menginokulasikan keempat jenis kapang pada substrat dasar yang akan digunakan. Hasil uji-uji pendukung digunakan sebagai acuan untuk uji pertumbuhan miselium pada substrat. Substrat dasar yang akan digunakan pada penelitian utama adalah campuran antara ampas kulit nanas (Kadar air 11-14%) dengan nutrien tambahan dengan komposisi tiap unit sampel sebagai berikut: o Ampas Kulit Nanas : 25 g o Urea : 0.7 g o Za / ammonium sulfat : 2.25 g o Batu fosfat : 1.25 g o Air : 25 ml Starter yang digunakan sebanyak 5 ml inokulum cair untuk tiap sampel. Ulangan untuk tiap sampel adalah 3 kali sehingga hasil pengamatan lebih optimal dan tepat. Kapang dengan pertumbuhan miselium yang baik selanjutnya digunakan untuk proses fermentasi pada tahap penelitian utama. Diagram alir uji pertumbuhan miselium dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Diagram alir uji pertumbuhan miselium kapang Uji-uji pendukung lainnya dilakukan dengan menginokulasikan kapang pada perbandingan dua perlakuan sampel yang akan dipilih. Berikut ini daftar perbandingan kondisi dan keadaan sampel pada uji-uji pendukung setelah uji pertumbuhan.
3.3.2. Tahap Penelitian Utama -
Pemilihan Jenis Kapang Terbaik Bagian penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kadar protein yang dihasilkan oleh kapang fermentasi hasil uji pertumbuhan miselium pada penelitian sebelumnya. Faktor yang akan digunakan adalah jenis kapang, waktu inkubasi (3, 6 dan 9 hari), dengan ulangan sebanyak tiga kali. Substrat yang digunakan adalah subtrat dasar yang sama digunakan pada uji pertumbuhan misleium kapang dengan starter cair sebanyak 5 ml untuk tiap 45 gram substrat. Analisis hasil yang digunakan mencakup perhitungan kadar protein kasar, serat kasar, dan kehilangan bahan sebelum dan setelah fermentasi. Proses produksi secara umum sama dengan uji pertumbuhan miselium kapang, dan hanya kapang terpilih yang digunakan dari keempat jenis kapang tersebut.
-
Aplikasi Kultur Campuran dan Substrat Murni Bagian penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan penggunaan kultur campuran untuk fermentasi bahan. Faktor yang akan digunakan adalah beberapa jenis starter yaitu kombinasi jenis kapang yang digunakan untuk penelitian utama pertama starter. Ulangan yang digunakan sebanyak tiga kali dengan waktu inkubasi optimal penelitian sebelumnya. Analisis hasil yang diganakan adalah perhitungan kadar protein kasar, serat kasar, dan kehilangan bahan kering. Tata cara analisis dicantumkan dalam Lampiran 1.
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN Penelitian ini dirancang berdaarkan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dan dievaluasi secara statistik dengan menggunakan ANOVA α = 0.05. Kemudian untuk membedakan nilai rataan perlakuan, dilakukan uji jarak Duncan. Pada penelitian utama bagian pertama terdapat dua variabel perlakuan yang digunakan dalam proses fermentasi media padat, yaitu jenis kapang (A), dan waktu inkubasi (B). Jenis kapang terpilih (2, 3 atau 4 jenis kapang) hasil uji pertumbuhan miselium dari beberapa kapang; Aspergillus niger (A1), Rhizopus oligosporus (A2), Trichoderma viride (A3), dan Phanerochaete chrysosporium (A4). Waktu inkubasi dinyatakan dalam tiga taraf, yaitu 3 hari (B1), 6 hari (B2), dan 9 hari (B3) . Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Kode-kode sampel pada percobaan yang digunakan ialah kode secara langsung, yaitu An untuk A. niger, Ro untuk R. oligosporus, Tv untuk T. viride, dan Pc untuk P. chrysosporium. Model matematik yang digunakan untuk percobaan ini berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah: Yij = µ + αi + βj + (αβ) ij + €ijl i = 1,2,3..i adalah perlakuan starter (jenis kapang) j = 1,2,3..j adalah perlakuan waktu inkubasi (3, 6 dan 9 hari) l = jumlah ulangan sebanyak 3 kali Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j µ = nilai tengah umum pengaruh perlakuan jenis kapang ke-i αi = pengaruh perlakuan jenis kapang ke-i βj = pengaruh dari faktor B taraf ke-j (αβ) ij = interaksi perlakuan jenis kapang ke-i dengan lama inkubasi ke-j €ijl = galat perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
PENELITIAN PENDAHULUAN
4.1.1. Komposisi Kimia Ampas Kulit Nanas Penelitian pendahuluan pertama dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang akan digunakan, yaitu ampas kulit nanas. Ampas tersebut merupakan limbah dari proses produksi nanas kaleng. Limbah tersebut berupa kulit nanas hasil pengupasan yang kemudian diperas untuk diambil air buahnya, sehingga tersisa ampasnya. Hasil analisis proksimat dan beberapa analisis tambahan dari bahan baku disajikan dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Komposisi kimia ampas kulit nanas (dalam % w/w bobot kering) Penelitian sebelumnya Parameter uji Hasil Penelitian (a) (b) Kadar abu 3.51 3.8 4.2 Kadar protein kasar 4.93 4.5 3.3 Kadar serat kasar 33.25 15.8 14.2 Kadar lemak kasar 1.82 1.6 1.7 Gula pereduksi 6.62 Kadar lignin 7.31 (c) Sidharta (1989) (d) Hartadi et al. (1989)
Karakteristik ampas kulit nanas menjadi bahan pertimbangan utama untuk memilih kapang fermentasi yang tepat untuk bahan tesebut. Hasil penelitian menunjukkan kadar abu bahan cukup rendah 3.51%, lebih kecil dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya. Kemudian kadar protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar bahan lebih tinggi dibandingkan dua hasil penelitian sebelumnya. Adanya perbedaan komposisi kimia alami ampas kulit nanas dapat disebabkan oleh perbedaan varietas, genetik, usia, dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman nanas tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa serat kasar merupakan komponen tebesar yang terkandung pada ampas kulit nanas, yaitu sebesar 33.25% BK. Serat kasar adalah bagian dari karbohidrat yang dapat menjadi sumber nutrisi mikroba alternatif untuk proses fermentasi selain gula, pati, lemak dan lainnya. Serat kasar dapat berbentuk selulosa murni, ataupun selulosa yang masih terbungkus dengan zat lain dalam bentuk lignin (lignoselulosa), hemiselulosa dan lain-lain. Hasil analisis kadar lignin bahan cukup tinggi yaitu, 7.31% BK. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan kapang yang akan digunakan untuk fermentasi bahan.
Kadar pati pada bahan tidak dianalisis, karena secara fisik bahan tidak menunjukkan kandungan pati yang tinggi, bahan bukan dari golongan umbi-umbian ataupun biji-bijian dan ciri-ciri umum bahan berpati lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan di dalam bahan terdapat kandungan pati, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Komposisi bahan menjadi dasar pemilihan mikroba fermentasi yang cocok sebagai sumber protein yang akan ditumbuhkan pada proses fermentasi bahan. Mikroba pendegradasi selulosa dan lignin, adalah pilihan utamanya. Selain itu dibutuhkan mikroba yang mampu tumbuh pada kondisi medium padat, ampas kulit nanas. Kapang adalah kelompok terpenting dari mikroba yang paling sering dugunakan untuk fermentasi medium padat berdasarkan sifat biokimia, enzimologi dan psikologi pertumbuhannya (Raimbault 1998). Gula pereduksi dalam bahan juga masih tersedia cukup, hal tersebut semakin mendukung kemungkinan kapang dapat tumbuh lebih cepat di awal pertumbuhan sebelum enzim pendegradasi disekresikan. Berdasarkan analisis diatas, maka ampas kulit nanas sangat berpotensi sebagai substrat pertumbuhan salah satu mikroba sumber protein, khususnya kapang. Komponen terbesar ampas kulit nanas adalah serat kasar 33.25%, gula pereduksi 6.62%, dan 4.5% protein, ketiganya berpotensi digunakan sebagai sumber substrat pada pertumbuhan kapang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian khusus untuk memilih jenis kapang yang cocok sebagai sumber protein sel.
4.1.2. Pengeringan Bahan Baku Ampas kulit nanas yang keluar dari proses pengempaan (pressing) memiliki kadar air yang cukup tinggi sekitar 80-85%. Hal tersebut dikarenakan ampas hasil pengempaan perlu didorong dengan air untuk keluar dari saluran penampungan limbah tersebut. Oleh karena itu untuk keperluan pengawetan bahan penelitian, maka dilakukan usaha pengeringan bahan baku. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan pengeringan panas matahari karena keterbatasan oven dengan kapasitas besar. Selama dua hari (enam jam penjemuran per hari) ampas kulit nanas dikeringkan dengan panas matahari, hasilnya dapat menurunkan kadar air bahan dari 84.50% hingga 11.44%. Pengeringan dilakukan dengan memperluas bidang penjemuran bahan dengan ketebalan 1-2 cm, sehingga dalam waktu 12 jam bahan sudah cukup kering dan dapat disimpan untuk beberapa sampel produksi. Namun untuk keperluan produksi skala industri, pengeringan penggunaan panas matahari tidak cocok untuk digunakan karena pertimbangan luas lahan yang dibutuhkan serta kapasitas pengeringan matahari yang tidak menentu sesuai cuaca, sedangkan mikroba di sekitar bahan terus aktif untuk merusak bahan. Modifikasi mesin pengempa ampas nanas bagian akhir serta proses penyaluran bahan menuju tempat penampungan manjadi alternatif solusi, atau dapat juga digunakan sisa steam proses produksi nanas kaleng sebagai sumber panas untuk pengeringan bahan.
4.1.3. Produksi Starter Cair Studi literatur memberikan hasil, bahwa kapang menjadi jenis mikroba terbaik yang dipilih, sesuai dengan kondisi fermentasi yaitu medium padat. Sesuai dengan karakteristik bahan utama maka dipilih empat jenis kapang yang memiliki potensi menjadi inokulum pada proses fermentasi bahan. Keempat jenis kapang yang digunakan adalah; Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, dan Phanerochaete chrysosporium.
Biakan murni dari masing-masing jenis kapang yang berasal dari agar miring (PDA) dipindahkan ke media ekstrak toge cair (ETC) lalu diinkubasi selama tiga hari pada shaker. Ekstrak toge sudah biasa digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba dalam skala laboratorium, baik dalam bentuk agar maupun cair. Kandungan vitamin, protein dan sumber karbon pada toge yang cukup baik membuat media toge dipilih sebagai media kultivasi. Pada media toge diberikan campuran gula pasir sebagai sumber gula dan energi yang mudah digunakan oleh mikroba. Keempat jenis starter hasil inkubasi 3 hari memiiki jumlah sel yang seragam pada kisaran 106. Hasil tersebut didapatkan pada pengujian Total Plate Count setelah inkubasi 3 hari. Berdasarkan data tersebut media ETC dapat digunakan untuk pembuatan starter cair pada penelitian selanjutnya. Namun untuk keperluan skala besar perlu peninjauan ulang penggunaan media ETC, terutama dalam kaitannya dengan optimasi biaya produksi.
4.1.4. Uji Efektivitas Inkubator Uji efektivitas inkubator dilakukan untuk menyempurnakan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Tim Riset GGPC. Penelitian sebelumnya menggunakan satu jenis kapang sebagai inokulum pada fermentasi medium padat yaitu Rhizopus oligosporus dengan berbagai variasi perlakuan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya digunakan sebagai acuan pada penelitian ini, diantaranya: - Penggunaan ampas kulit nanas kering sebagai substrat utama pertumbuhan, - Penggunaan kapang jenis Rhizopus oligosporus sebagai salah satu inokulum fermentasi pembanding, - Penambahan nutrien berupa: urea, ammonium sulfat, dan batu fospat sebagai nutrien pemerkaya komposisi substrat, - Penggunaan inkubator sederhana sebagai ruang inkubasi sampel, - Penyiraman sampel saat inkubasi dengan aquades steril 4 ml / hari. Pembahasan khusus penambahan perlakuan penyiraman 4 ml air/ hari. Inkubasi sampel pada inkubator sederhana yang tersedia menunjukkan penurunan kadar air yang cukup tinggi. Aktivitas penurunan kadar air tersebut disebabkan oleh penguapan sampel akibat panas dari lambu bohlam dan kegiatan metabolisme sel, sedangkan air untuk penstabil kelembaban ruangan tidak sepenuhnya bekerja secara baik. Oleh karena itu diperlukan usaha penyiraman sampel untuk memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan kapang. Air yang digunakan adalah aquades steril untuk meminimalisasi resiko kontaminasi pada sampel. Pada penelitian sebelumnya, sampel tanpa penyiraman saat inkubasi menunjukkan pertumbuhan yang baik selama 3 hari inkubasi, kemudian pada hari ke-4 hingga seterusnya tidak terlihat perbedaan pertumbuhan yang berarti pada sampel. Bahan mengalami penurunan kadar air hingga keberadaan air sangat kurang untuk keperluan metabolisme sel kapang, sehingga pertumbuhan terhenti. Kadar air optimal untuk pertumbuhan dan kebutuhan substrat berkisar antara 40% hingga 70% tetapi juga bergantung pada jenis mikroba dan substrat yang digunakan untuk media kultivasi (Raimbault, 1998). Pada proses fermentasi ini kadar air dipertahankan antara 50-60%. Uji efektivias inkbator. Sampel yang ditumbuhkan di dalam inkubator sederhana menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dan kompak dibandingkan sampel yag berada di luar inkubator. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa inkubator sederhana yang digunakan sebagai ruang inkubasi memberikan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan miselium bahan fermentasi. Gambar 8 menunjukkan perbedaan pertumbuhan miselium sampel yang diinkubasi di dalam ruang dan di luar inkubator.
Gambar 8. Penampakan miselium kapang yang dinkubasi di dalam dan di luar ruang Diluar inkubator Uji efektivitas inkubator menunjukkan hasil bahwa inkubator sederhana yang tersedia dapat digunakan untuk inkubasi pada penelitian utama. Keadaan inkubator sederhana dibuat mendekati dengan kondisi yang dibutuhkan oleh kapang-kapang tersebut. Suhu udara di dalam inkubator berkisar antara 30-34oC, tidak stabil karena kondisi lingkungan (khususnya waktu malam, pagi, dan siang hari) masih dapat mempengaruhi kondisi ruang di dalam inkubator. Namun hal tersebut sudah cukup membuat suhu ruang inkubator stabil pada range suhu optimum. Gambar 9 menunjukkan bentuk dan fitur dari inkubator sederhana.
Lampu Bohlam 40 Watt 2 buah Sampel percobaan
Plastik penutup /pelindung Air (menjaga kelembaban) Gambar 9. Inkubator sederhana
4.1.5. Uji Pertumbuhan Miselium Kapang Uji pertumbuhan miselium dilakukan untuk memastikan kemampuan kapang dapat tumbuh baik pada substrat yaitu ampas kulit nanas plus nutrien. Hal tersebut karena indikator meningkatnya kadar protein kasar bahan dilihat dari intensitas miselium yang tumbuh pada bahan. Kadar protein juga cenderung berbanding lurus dengan intensitas pertumbuhan miselium kapang atau jumlah sel yang terbentuk. Keempat jenis kapang tersebut sebenarnya sudah mangalami pengujian pertumbuhan miselium pada uji-uji pendukung sebelumnya. Namun untuk memastikan kembali dilakukan uji pertumbuhan miselium tersendiri dengan perlakuan optimal dari hasil uji pendukung sebelumnya. Keempat jenis starter diinokulasikan pada substrat berupa campuran ampas kulit nanas dengan penambahan nutrien urea, ZA dan batu fosfat. Hasil inkubasi selama 6 hari menunjukkan bahwa kapang jenis A. niger, R. oligosporus, dan T. viride dapat tumbuh dengan baik pada substrat tersebut. Kapang jenis P. chrysosporium tidak dapat tumbuh dengan baik. Inkubasi yang diperpanjang hingga 10 hari juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Gambar 10 berikut merupakan hasil uji pertumbuhan miselium dari keempat jenis kapang yang berpotensi untuk digunakan.
Gambar 10. Hasil inkubasi 10 hari uji pertumbuhan pada keempat jenis kapang starter cair Kapang T. viride memiliki warna mencolok, yaitu hijau muda dan sebagian hijau tua. A. niger memiliki warna miselium putih, dengan warna spora hitam. Rhizopus oligosporus memiliki warna dominan putih kecoklatan seperti cream. Namun pada substrat yang diinokulasi dengan starter cair kapang Phanerochaete chrysosporium tidak menunjukkan pertumbuhan yang baik. P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi lignin secara efektif melalui sekresi peroksidase yang mengkatalis oksidasi awal (Hattaka 1994).
Kadar lignin substrat sebenarnya juga cukup tinggi (7.31%) namun proses degradasi lignin substrat tidak terjadi dengan baik, karena miselium yang terbentuk hanya sedikit. Sedangkan jumlah lignin yang terdegradasi bergantung pada jumlah miselia yang dihasilkan selama fase pertumbuhan primer (Suparjo 2010). Pertumbuhan miselium P. chrysosporium dipengaruhi oleh konsentrasi mineral kalsium (Ca) dan mangan (Mn) (Suparjo 2010). Kalsium dan mangan dibutuhkan fungi dalam jumlah yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Suparjo (2010) menggunakan P. chrysosporium pada fermentasi substrat kulit buah kakao menghasilkan optimasi penggunaan Mn dan Ca dengan konsentrasi terbaik 1190 ppm dan 100 ppm, dengan hasil yang berbeda nyata dengan kondisi awal tanpa penambahan kedua mineral tersebut. Kemampuan mendegradasi lignin oleh P. chrysosporium juga dipengaruhi oleh kondisi nutrien substrat. Perombakan lignoselulosa (lignin) terjadi pada fase pertumbuhan stationer sebagai metabolit sekunder (Li et al. 1994) setelah pertumbuhan primer terhenti akibat keterbatasan nutrien dalam substrat. Status metabolik sekunder lebih dipacu oleh pembatasan ketersediaan karbon dan fosfor daripada pembatasan nitrogen (Jeffries et al. 1981). Sedangkan pada percobaan ini diberikan penambahan fospat (batu fospat) yang cukup tinggi, 1.25 gram per 50 gram campuran substrat. Oleh karena itu perlu pengkajian lebih lanjut optimasi proses fermentasi ampas nanas menggunakan kapang jenis P. chrysosporium. Ketiga jenis kapang lainnya dapat tumbuh dengan baik karena terdapat kecocokan sifat kapang dengan karakteristik bahan baku dan kondisi fermentasi yang sesuai dengan fisiologi fermentasi kapang tersebut. Kondisi fermentasi yang utama mempengaruhinya adalah suhu ruangan yang digunakan berkisar antara 30-34oC. suhu tersebut berada dibawah suhu optimal pertumbuhan kapanag jenis P. chrysosporium yaitu sebesar 40oC, sehingga proses pertumbuhan menjadi kurang baik dibandingkan kapang jenis lainnya. Ampas nanas masih cukup kaya akan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, khususnya dengan kandungan serat kasar mencapai 33.25% dan gula pereduksi 6.62%. Kecocokan antara sifat bahan baku dengan jenis kapang sangat mempengaruhi kemampuan tumbuh kapang. T. viride dapat tumbuh dengan baik pada substrat tersebut. T. viride dengan sifat selulitik menghasilkan selulase untuk mendegradasi komponen selulosa pada bahan. Hal tersebut didukung oleh struktur kristal lignoselulosa bahan yang terpotong-potong pada perlakuan sterilisasi bahan. Pengukusan mampu meningkatkan ketersediaan energi karena meningkatkan kelarutan selulosa dan hemiselulosa dan atau pembebasan substansi terdegradasi dari lignin dan silika (Murni et al. 2008). Pengukusan bahan menyebabkan pengembangan serat bahan, gelatinisasi bahan berpati dan semakin mudah untuk dicerna. Kapang R. oligosporus dapat tumbuh dengan baik pada substrat, karena kapang tersebut cocok untuk jenis substrat gula, lemak, dan pati (Raimbault 1998) dalam ampas kulit nanas terdapat 6.6% gula pereduksi, 1.8% lemak kasar, sedikit pati. Kemudian untuk kapang A. niger dapat tumbuh dengan baik karena sifat amilolitik, selulitik, dan kemampuan lain yang lebih lengkap dibandingkan dua kapang lainnya. A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amylase, glukoamylase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase (Selvakumar et al. 1996). Berdasarkan hasil uji pertumbuhan kapang diatas serta didukung dengan pengulangan percobaan dengan menggunakan kantong plastik sebagai wadah media, menempatkan pada suhu kamar diluar inkubator, dan merubah komposisi substrat dengan penambahan dedak dan ampas tapioka juga menunjukkan pertumbuhan yang sama pada kapang tersebut.
Oleh karena itu P. chrysosporium tidak diikutkan dalam penelitian selanjutnya yaitu pemilihan jenis kapang terbaik untuk fermentasi bahan. Namun kemungkinan penggunaan P. chrysosporium masih sangat memungkinkan dengan diawali proses optimasi kondisi substrat dengan perlakuan-perlakuannya khusus, karena pada dasarnya kandungan lignin bahan masih cukup tinggi. Kesimpulan hasil-hasil penelitian pendahuluan. Hasil-hasil penelitian pendahuluan dijadikan sebagai acuan untuk percobaan penelitian utama. Secara umum hasil-hasil tersebut adalah : - Menggunakan starter cair hasil inkubasi 3 hari pada shaker dengan media ekstrak toge cair, - Menggunakan ketiga jenis kapang terpilih pada uji pertumbuhan kapang untuk penelitian utama, ketiga kapang tersebut adalah A. niger, R. oligosporus, dan T. viride, - Inkubator sederhana yang tersedia digunakan sebagai inkubator pada penelitian utama
4.2.PENELITIAN UTAMA
4.2.1. Pemilihan Jenis Kapang Terbaik Penelitian utama pertama bertujuan untuk mengetahui kemampuan ketiga jenis kapang terpilih untuk meningkatkan kadar protein kasar serta optimasi kasar waktu inkubasi. Pada percobaan penumbuhan miselium dari keempat jenis kapang, dihasilkan tiga jenis kapang yang dapat tumbuh dengan baik, yaitu; A. niger, R. oligosporus, dan T. viride. Satu kapang dieliminasi karena tidak tumbuh dengan baik. Komponen serat kasar yang terdapat pada bahan utama dikonversi secara biokimia menjadi protein. Hal tersebut dimulai dari usaha selulase yang disekresikan oleh kapang-kapang selulitik yang akan mengubah selulosa bahan menjadi selobiosa dan diubah menjadi gula-gula sederhana yang dapat digunakan oleh kapang untuk melakukan metabolisme dan tumbuh berkembang. Hasil dari proses metabolisme dan tumbuh tersebut adalah bertambahnya jumlah sel kapang pada bahan tersebut. Selain sel kapang itu sendiri, enzim yang dikeluarkan oleh kapang juga bernilai protein karena enzim adalah salah satu jenis protein yang bersifat katalis (Samsuri et al. 2007). A. niger dan T. viride merupakan jenis kapang selulitik, mensekresikan selulase untuk mendegradasi selulosa menjadi komponen yang lebih sederhana. Selulase merupakan enzim yang yang dibutuhkan pada fermentasi dengan sifat substrat berserat tinggi, khususnya pada upaya konversi selulosa menjadi komponen yang lebih sederhana, seperti selobiosa, dan glukosa. Selulase adalah kelompok dari tiga enzim utama, yaitu; endo-β-1, 4-glucanase (disebut juga endocellulase /carboxymethyl cellulase/ Cx cellulase), exo-β-1, 4-glucanase (disebut juga cellobiohydrolase/ avicelase/ C1 cellulase) dan β-1, 4-glucosidase (cellobiase) (Knowles et al. 1987). Ketiga kelompok enzim tersebut bekerja secara sinergik dalam mengkonversi selulosa menjadi glukosa (Eveleigh, 1987). Rhizopus oligosporus merupakan jenis kapang kapang amilolitik, kapang pendegradasi bahanbahan berpati atau amilum. Substrat dari ampas kulit nanas mengandung pati yang kecil, walaupun tidak diuji secara fisik kuantitatif namun sifat-sifat fisik pati tidak nampak pada bahan tersebut. Namun pada substrat tersebut masih mengandung gula pereduksi hingga 6.62%. R. oligosporus menggunakan sisa gula tersebut sebagai sumber makanan untuk keperluan metabolisme tubuhnya, sehingga sel-sel Rhizopus dapat tumbuh dengan baik dan lebih cepat tumbuh dibandingkan lainnya.
Sekresi lipase komponen lemak kasar pada bahan juga digunakan oleh R. oligosporus untuk mensuplai kebutuhan metabolisme. Setelah kandungan gula, pati dan lemak pada substrat habis, pertumbuhan R. oligosporus mulai terhambat dan terhenti. Hal tersebut terlihat pada inkubasi setelah hari kelima, tidak terjadi perubahan yang nyata pada sampel R. oligosporus. Sel-sel kapang menjadi sumber protein yang akan teridentifikasi pada saat pengujian akhir setelah inkubasi. Namun uji kadar protein kasar yang dilakukan dengan metode keldhal, kurang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Metode keldhal mengukur kadar protein kasar melalui pendekatan total jumlah N total yang terdapat pada bahan dikali faktor konversi 6.25, sedangkan komposisi substrat awal adalah campuran ampas nanas, urea dan ammonium sulfat. N yang teridentifikasi pada bahan sebagian besar adalah N dari nutrien tambahan yang dicampurkan pada substrat. Pertumbuhan kapang pada permukaan medium padat dapat membentuk spora yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih lama dibandingkan dengan kultur terendam (Rachman 1989). Hal tersebut sesuai pada hasil pengamatan sampel, spora A. niger dan T. viride mulai terbentuk pada hari kelima inkubasi, R. oligosporus mulai terbentuk pada inkubasi hari keenam. Spora A. niger pada inkubasi hari ke sembilan terlihat menutupi permukaan substrat. Pertumbuhan miselium dari ketiga jenis kapang dengan inkubasi 3, 6 dan 9 hari dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.2.1.1. Kadar Protein Kasar Analisa kadar protein kasar sampel dilakukan untuk mengetahui kemampuan kapang meningkatkan kadar protein kasar setelah proses fermentasi selama waktu inkubasi tertentu. Protein kasar merupakan nilai kandungan total N (nitrogen) suatu bahan dikalikan bilangan 6.25. Protein kasar dihitung melalui pendekatan kandungan total N dari suatu bahan, sehingga hasil identifikasi kadar protein kasar merupakan kadar nitrogen total bahan baik dari sumber protein sejati (true protein) maupun dari sumber nitrogen bukan protein (Non Protein Nitrogen). Pada media fermentasi penelitian ini, ammonium sulfat dan urea merupakan sumber nitrogen bukan protein yang ada pada media, dan protein sejati berasal dari ampas kulit nanas. Penambahan kedua sumber nitrogen non protein bertujuan untuk merangsang pertumbuhan kapang. Beberapa jenis kapang mampu menggunakan urea sebagai sumber nitrogen. Urea yang ditambahkan ke dalam media fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi ion NH4 dan CO 2 (Halid 1991). Melalui beberapa tahap reaksi biokimia ion NH4 selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Penambahan ammonium sulfat NH4SO4 juga diharapkan agar sel kapang dapat dengan lebih mudah menggunakan N dari ion ammonium tanpa memerlukan proses konversi melalui enzim urease. Peningkatan kadar protein kasar merupakan parameter utama keberhasilan pengunaan kapangkapang terpilih sebagai sumber protein sel tunggal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga jenis starter dapat meningkatakan kadar protein kasar sampel. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang memberikan pengaruh yang signifikan pada hasil peningkatan kadar protein kasar bahan setelah fermentasi. Perlakuan waktu inkubasi juga berpengaruh signifikan, begitu juga interaksi perlakuan waktu dan jenis kapang memberikan pengaruh yang signifikan. Perubahan kadar protein kasar sampel serta Uji Lanjut Duncan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. Perubahan kadar protein kasar sampel dengan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari ditunjukkan pada gambar 11 berikut.
Perubahan Kadar Protein Kasar
Kadar Protein Kasar (..%BK)
35.00
31.68 29.14
30.00 25.00
25.07
22.65
23.26
25.48
25.19
23.85 23.53 23.45
Trichoderma viride
20.00
Aspergillus niger Rhizopus oligosporus
15.00 10.00 0
3
6
9
Waktu Inkubasi Gambar 11. Peningkatan Kadar Protein Kasar Hasil Fermentasi pada Kultur Tunggal
Gambar 11 menunjukkan peningkatan kadar protein kasar terjadi pada ketiga jenis kapang yang diinkubasi selama tiga, enam, dan sembilan hari. Peningkatan kandungan protein kasar tersebut disebabkan oleh kenaikan jumlah massa sel kapang (Wang et al. 1979) dan adanya kehilangan bahan kering selama fermentasi berlangsung (Halid 1991). Perlakuan jenis kapang yang digunakan sebagai inokulum menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%. Perlakuan waktu inkubasi 6 dan 9 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi Uji Lanjut Duncan menunjukkan inkubasi 3 dengan 6 hari berpengaruh nyata. Setelah fermentasi tiga hari ketiga jenis kapang mengalami peningkatan kadar protein kasar namun masih sangat kecil, berkisar antara 2.68% hingga 5.31% dari kondisi awal protein kasar 22.65%. Peningkatan tertinggi terjadi pada jenis sampel diinokulasi dengan starter R. oligosporus yaitu 5.31%. Intensitas pertumbuhan miselium kapang pada inkubasi tiga hari sangat sedikit, hanya terlihat serabutserabut putih yang sangat tipis di ruang-ruang antar substrat. Ketiga jenis kapang dalam waktu tiga hari masih berada pada fase pertumbuhan awal, enzim-enzim pendegradasi belum mulai disekresikan. Karena masih ada sisa-sisa gula reduksi dalam sampel yang dapat digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan awal. Pada inkubasi enam hari sampel A. niger mengalami penigkatan kadar protein kasar tertinggi hingga 28.64% dari kondisi awal hari ke-0. Sampel dengan jenis kapang R. oligosporus juga menunjukkan pertambahan kadar protein kasar sampel yang cukup tinggi yaitu 11.23%, kemudian peningkatan terendah pada sampel T. viride yang tidak berbeda signifikan dengan hasil sebelumnya dengan peningkatan 3.53%. Dibandingkan dengan ketiga sampel intensitas pertumbuhan miselium T. viride tampak paling sedikit jika dibandingkan dengan kedua kapang lainnya.
Peningkatan yang cukup tinggi pada kapang jenis A. niger dibandingkan dengan dua kapang lainnya dikarenakan oleh keberadaan selulase pada substrat yang diduga telah disintesis oleh kapang A. niger sehingga kecepatan pertumbuhan sel lebih tinggi. Kemudian pada jenis R. oligosporus kapang dapat menggunakan substrat berupa sisa-sisa gula, dan lemak yang masih tersedia pada substrat untuk pertumbuhan awal. Namun T. viride tidak menunjukkan pertumbuhan dan perbedaan kadar protein kasar yang nyata dibandingkan inkubasi tiga hari. Hal tersebut terjadi karena kapang tersebut masih berada pada fase pertumbuhan awal, dan diduga belum mulai mensintesis selulase untuk mendegradasi substrat serat. Inkubasi sembilan hari tidak memberikan pengaruh nyata dibandingkan inkubasi enam hari. Peningkatan yang signifikan terjadi pada jenis kapang T. viride dan A. niger dengan peningkatan sebesar 10.67% dan 39.87% dari kondisi awal. A. niger menjadi kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein bahan dibandingkan dengan kedua kapang lainnya. Pada inkubasi 9 hari, peningkatan kadar protein sampel A. niger masih berbeda signifikan dibandingkan dengan hasil pada inkubasi sebelumnya, begitu juga pada sampel T. viride. Sehingga waktu inkubasi terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar dengan ketiga jenis kapang ini adalah 9 hari.
4.2.1.2. Kadar Serat Kasar Analisa kadar serat kasar dilakukan untuk melihat kemampuan kapang dalam mendegradasi serat bahan. Efisiensi konversi serat yang tinggi ditunjukkan dengan penurunan kadar serat kasar bahan setelah proses fermentasi. Hasil analisis statistik analisis varian pada lampiran 5 menunjukkan bahwa jenis kapang dan waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar serat kasar bahan. Rataan kadar serat kasar dan Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Rataan kadar serat kasar sampel hasil fermentasi tiga jenis kapang dengan lama inkubasi berbeda Kontrol
Jenis Kapang
Waktu inkubasi (hari) 3
% BK 32.06 ± 0.89
6
9
……%BK….. T. viride
32.83 ± 0.83
31.88 ± 1.99
31.27 ± 0.5
A. niger
32.14 ± 0.94
30.09 ± 1.34
30.57 ± 0.32
R. oligosporus 32.4 ± 1.39 32.18 ± 0.76 34.45 ± 1.93 Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata taraf 5%.
Kadar serat kasar diatas menunjukkan keadaan yang cenderung stabil tetap pada kadar serat kasar sebelum dan setelah fermentasi. Kemungkinan hal ini disebabkan karena belum terjadi proses konversi serat pada proses fermentasi. Sel masih memanfaatkan sisa gula reduksi dari bahan, sehingga selulase belum disintesis oleh sel kapang, khususnya jenis kapang A. niger dan T. viride. Selain itu kandungan lignin yang tinggi pada bahan (7.31%) dimungkinkan ikut menghambat proses degradasi selulosa pada bahan, sehingga kadar serat kasar cenderung tetap. Rataan kadar serat kasar dari kapang jenis T. viride cenderung lebih stabil dibandingkan lainnya, dan mengalami penurunan dari keadaan awal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mirwandhono et al. (2004).
Substrat dari hidrolisat tepung kepala udang dan limbah sawit yang difermentasi dengan kapang jenis T. viride mengalami penurunan kadar serat kasar dari 13.72% menjadi 11.90% pada inkubasi 6 hari. Pada sampel R. oligosporus tidak terjadi penurunan kadar serat kasar, hal tersebut terjadi karena selulosa dalam bahan tidak terkonversi menjadi glukosa. R. oligosporus bukan merupakan kapang selulitik, sehingga pertumbuhan sel kapang R. oligosporus cenderung meningkatkan kadar serat kasar bahan. Hal tersebut terjadi, karena dinding sel secara kimia terdiri dari bagian karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan bagian non karbohidrat (Winarno 1983).
4.2.1.3. Kehilangan Bahan Kering Analisa kehilangan bahan kering dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis kapang yang berbeda terhadap bahan kering yang hilang akibat proses fermentasi bahan. Hasil uji statistik analisis varian menghasilkan bahwa perlakuan jenis kapang dan waktu inkubasi berpengaruh nyata pada kehilangan bahan kering pada substrat fermentasi. Interaksi antar kedua perlakuan waktu dan jenis kapang juga berpengaruh nyata pada kadar bahan kering akhir setelah fermentasi. Penurunan bahan kering yang tinggi tidak disukai karena mengurangi volume dan bobot bahan. Kehilangan bahan kering sampel serat kulit nanas yang terfermentasi berkisar antara 7.47% hingga 34.51%. Kehilangan bahan kering sampel dengan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari disajikan pada Lampiran 6. Rataan kehilangan bahan kering dan hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.
Kehilangan Berat Kering Penurunan berat kering (%)
34.51 35.00 26.76
30.00 25.00
19.29
20.00 15.00 10.00
13.45 8.66 7.47
18.00
14.53
Trichoderma viride
8.24
Aspergillus niger Rhizopus oligosporus
5.00 0.00 3
6
9
Masa inkubasi (hari) Gambar 12. Persentase kehilangan bahan kering kumulatif sampel hasil fermentasi pada kultur tunggal
Gambar 12 tersebut menunujukkan bahwa semakin lama fermentasi maka kehilangan bahan kering semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Mirwandhono et al. (2004), yang melakukan penelitian dengan menggunakan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah sawit yang difermentasi dengan kapang A. niger selama 2, 4 dan 6 hari mengalami kehilangan bahan kering berturut-turut 21.93%, 28.77%, dan 37.72%.
Kehilangan bahan kering tertinggi terjadi pada sampel yang diinokulkasi dengan A. niger dengan inkubasi 9 hari yaitu 34.51%. Hal tersebut dikarenakan oleh intensitas pertumbuhan kapang A. niger lebih tinggi dibandingkan kedua kapang lainnya. Kehilangan bahan kering terjadi karena pada proses fermentasi terjadi proses konversi bahan oleh aktivitas kapang untuk pertumbuhannya. Bahan kering yang dikonversi oleh kapang menjadi energi dan hasil lainnya berupa CO2 dan H2O (Mirwandhono et al. 2004). CO2 dan H2O sebagian besar dilepas ke lingkungan melalui proses respirasi dan panguapan akibat panas di dalam ruang inkubator. Pada inkubasi tiga hari, sampel dengan kapang R. oligosporus mengalami kehilangan bahan kering tertinggi yaitu 13.45% dibanding dua kelompok sampel lainnya. Hal ini dikarenakan pada inkubasi hari ketiga sampel R. oligosporus tumbuh lebih cepat dibandingkan kedua sampel lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada miselium yang tumbuh lebih banyak pada sampel R. oligosporus saat inkubasi memasuki umur 3 hari. Pada inkubasi hari keenam, intensitas miselium ketiga sampel mulai tumbuh memenuhi ruangan sampel. Penurunan bahan kering tertinggi pada inkubasi hari keenam terjadi pada sampel yang diinokulasi dengan A. niger, yaitu mencapai 26.76%. Miselium pada sampel A. niger menunjukkan intensitas yang lebih tinggi, bahkan sudah mulai terbentuk sedikit spora. Intensitas pertumbuhan miselium T.viride paling sedikit dibanding lainnya, sehingga nilai kehilangan bahan kering sampel T.viride tidak berbeda nyata dengan hasil sebelumnya. Pada inkubasi hari kesembilan, semua sampel menunjukkan pertumbuhan miselium yang baik dan merata hampir di seluruh permukaan substrat. Kehilangan bahan kering berkisar antara 18.00% hingga 34.51%. Kehilangan bahan kering tertinggi terjadi pada sampel dengan jenis kapang A. niger. Kapang jenis T. viride mengalami perubahan nilai kehilangan bahan kering yang berbeda nyata dengan hasil sebelumnya, dan lebih tinggi dari nilai kehilangan bahan kering sampel R. oligosporus. Hasil Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan jenis kapang dan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering sampel. Inkubasi selama tiga hari, enam, dan sembilan hari masing-masing memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil. Begitu juga jenis kapang A. niger, R. oligosporus, dan T. viride masing-masing memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil. Hasil tersebut menjadi pertimbangan dalam pemilihan keadaan optimum waktu dan jenis kapang terpilih. Berdasarkan hasil dari ketiga parameter analisis hasil, kapang A. niger merupakan kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar bahan. Kadar serat kasar bahan yang difermentasi oleh A. niger tidak mengalami penurunan yang tinggi, namun untuk kehilangan bahan kering oleh A. niger mencapai 34.51%. Peningkatan kadar protein kasar tertinggi pada A. niger diikuti juga dengan penurunan kadar serat kasar tertinggi diantara ketiganya, walaupun tidak berbeda signifikan dengan keadaan awal serat kasar bahan. Waktu inkubasi sembilan hari menjadi waktu terbaik dari ketiga perlakuan waktu, serta menunjukkan beda nyata terhadap waktu inkubasi tiga dan enam hari.
4.2.2. Aplikasi Kultur Campuran Penggunaan kultur tunggal sebagai inokulum fermentasi menghasilkan hasil cukup baik. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga jenis kapang mampu meningkatkan kadar protein bahan dari 22.65 menjadi 25.07% hingga 31.68%. Tidak menutup kemungkinan penggunaan kultur campuran (kultur campuran) juga berpotensi memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan kadar protein kasar.
Hal ini dikarenakan masing-masing kapang memiliki karakteristik yang berbeda-beda khususnya pada sekresi enzim yang dihasilkan, sehingga akibat pencampuran inokulum akan semakin banyak enzim di sekresikan, semakin cepat pula pertumbuhan kapang pada substrat. Aplikasi kultur campuran meliputi empat jenis starter hasil campuran kultur ketiga jenis kapang yaitu, AT (untuk A. niger dan T. viride), AR (untuk A. niger dan R. oligosporus), RT (untuk R. oligosporus dan T. viride), dan ART (campuran ketiga jenis kapang). Kadar protein kasar sampel yang menjadi parameter utama pemilihan jenis starter terbaik dengan metode keldahl sebagai metode analisis kadar protein bahan. Hasil pengamatan miselium aplikasi kultur campuran dapat dilihat pada Lampiran 7. Percobaan kultur campuran menunjukkan jenis kapang R. oligosporus mampu tumbuh bersamaan dengan A. niger, walaupun dominasi tumbuh lebih banyak pada jenis kapang A. niger, khususnya spora yang dihasilkan. Kemudian campuran T. viride dengan R. oligosporus juga mampu tumbuh bersamaan, sebagian permukaan substrat tertutup oleh sebagian dari kapang-kapang tersebut dan tersebar merata. Aspergillus niger juga dapat berdampingan tumbuh dengan T. viride, namun intensitas pertumbuhan miselium T. viride sangat sedikit dibandingkan dengan campuran T. viride dengan Rizhopus oligosporus. Pengujian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas pencampuran inokulum sebagai starter fermentasi, khususnya pada uji antagonis. Perubahan kadar protein kasar, serat kasar dan kehilangan bahan kering bahan setelah fermentasi dengan inkubasi sembilan hari dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 8. Berikut ini Tabel 7 yang berisi ringkasan hasil aplikasi kultur campuran terhadap perubahan kadar protein kasar, serat kasar dan kehilangan bahan kering.
Tabel 7. Hasil fermentasi aplikasi kultur campuran dengan waktu inkubasi 9 hari Kadar Protein kasar Kadar Serat Kasar (% Rataan % KBK Starter / Jenis kapang (% BK) BK) (..% BK awal) An + Ro
35.83 ± 0.89
19.37 ± 1.43
46.47 ± 2.36
Tv + An
36.71 ± 0.45
19.68 ± 0.87
35.69 ± 3.27
Ro + Tv
29.30 ± 0.36
26.08 ± 1.50
20.77 ± 2.46
36.05 ± 0.50
19.92 ± 0.75
42.90 ± 1.33
An + Tv + Ro Keterangan : An : A. niger Ro : R. oligosporus Tv : T. viride
Tabel tersebut menunjukkan pengaruh yang positif aplikasi kultur campuran terhadap kadar protein kasar akhir sampel setelah fermentasi. Kadar protein kasar akhir berkisar antara 29.05% hingga 36.71% dari kondisi awal 22.65%. Sedangkan kadar serat kasar akhir mengalami penurunan pada semua jenis sampel, dengan kisaran antara 19.37% hingga 26.08% dari kondisi awal 32.06%. Kehilangan bahan kering juga terjadi pada semua sampel setelah fermentasi dengan kisaran antara 20.77% hingga 46.47%. Kehilangan bahan kering sampel pada aplikasi kultur campuran juga cenderung lebih besar dibandingkan dengan kultur tunggal. Hasil inkubasi sembilan hari menunjukkan bahwa sampel dengan dengan aplikasi kultur campuran menunjukkan pertumbuhan intensitas miselium yang lebih tinggi. Pada percobaan pertama, A. niger menjadi kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar sampel.
Begitu juga pada aplikasi kultur campuran, A. niger menunjukkan pengaruh besar pada peningkatan kadar protein kasar serta penurunan serat kasar bahan. Keempat jenis starter dari kultur campuran, tiga diantara tersusun dari jenis kapang A. niger menghasilkan selisih hasil akhir kadar protein kasar dan serat kasar bahan yang besar. Hal tersebut dikarenakan dari ketiga jenis kapang yang digunakan, A. niger memiliki kemampuan mensekresi enzim yang lebih lengkap, meliputi amylase, selulase, lipase, xilanase dan lain-lain (Selvakumar et al. 1996). Sedangkan T. viride merupakan kapang spesifik pendegradasi selulosa dengan enzim selulase, dan R. oligosporus merupakan kapang pendegradasi pati dan lemak dengan amylase dan lipase (Raimbault 1998). Penurunan kadar serat kasar bahan pada sampel campuran R. oligosporus dan T.viride mengalami penurunan yang terkecil dibandingkan dengan ketiga sampel lainnya. Kemungkinan hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan sel kapang T. viride dibandingkan dengan A. niger dalam mensintesis selulase sebagai pendegradasi selulosa. Walaupun demikian penurunan kadar serat kasar bahan pada aplikasi kultur campuran lebih tinggi dibandingkan dengan kultur tunggal. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena selulase telah disintesis oleh sel kapang sehingga komponen serat bahan terdegradasi. Sel kapang mulai manggunakan nutrisi dari selulosa karena keterbatasan gula pereduksi yang ada pada bahan. Fenomena peningkatan kadar serat kasar yang terjadi pada sampel dengan starter tunggal R. oligosporus tidak terjadi pada aplikasi kultur campuran, karena pada tiap sampel dengan aplikasi kultur campuran terdapat kapang kapang penghasil selulase, sehingga pertumbuhan biomassa diikuti dengan proses konversi serat khususnya selulosa. -
Perbandingan Rataan Peningkatan Kadar Protein Kasar Antara Kultur Tunggal Dengan Kultur Campuran
Berdasarkan hasil penelitian utama yang pertama, kadar protein kasar akhir sampel dengan kultur tunggal dengan inkubasi 9 hari berkisar antara 25.07% hingga 31.68%. Ketiga jenis kapang yang digunakan sebagai kultur tungga juga memberikan hasil yang positif terhadap peningkatan kadar protein kasar bahan. Perbandingan hasil peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan campuran dilakukan untuk memilih jenis starter terbaik antara keduanya. Perbandingan rataan peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan kultur campuran disajikan pada gambar 13 berikut.
Kadar Protein Kasar (..%BK)
Rataan Kadar Protein Kasar Inkubasi 9 hari 36.71
40 30
31.68 22.65
25.07
35.83
36.05
29.30 25.48
20 10 0
Jenis Starter Gambar 13. Perbandingan rataan peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan kultur campuran
Keterangan : Tv : Trichoderma viride An : Aspergillus niger Ro : Rhizopus oligosporus Aplikasi kultur campuran menghasilkan kadar protein kasar akhir yang lebih baik dibandingkan dengan kultur tunggal. Aplikasi kultur campuran menghasilkan rataan peningkatan kadar protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan kultur tunggal, yaitu; 52.50% untuk kultur campuran, dan 21.01% untuk kultur tunggal dari kondisi awal kadar protein kasar 22.65%. Kadar protein kasar tertinggi terjadi pada sampel aplikasi kultur campuran antara A. niger dan T. viride setelah inkubasi 9 hari yaitu 36.71%, dengan peningkatan sebesar 62.07% dari kondisi awal substrat. Hal ini terjadi karena kedua kapang tersebut mampu menghasilkan selulase sebagai pendegradasi selulosa (Raimbault 1998). Sintesis selulase oleh keduanya menghasilkan intensitas enzim yang tinggi, sehingga aktivitas kon versi selulosa menjadi lebih cepat. Hasil analisis Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar protein kasar tertingi terjadi pada sampel kultur campuran AT yaitu campuran antara A. niger dan T. viride, namun tidak berbeda nyata dengan sampel kultur campuran antara An dan Ro (AR), serta campuran An, Ro dan Tv (ART) yaitu 58.17% AR, dan 59.17% untuk ART (Lampiran 9). Ketiga starter kultur campuran tersebut menjadi starter terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar bahan ampas kulit nanas melalui fermentasi medium padat.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
KESIMPULAN
Peningkatan kadar protein disebabkan oleh bertambahnya masa sel kapang setelah proses fermentasi ampas kulit nanas menggunakan ketiga jenis kapang terpilih, yaitu A. niger, T. viride, dan R. oligoporus. Parameter yang dianalisis meliputi kehilangan bahan kering, perubahan kadar protein kasar, dan kadar serat kasar. Faktor-faktor yang dikaji pada penelitian utama pertama meliputi jenis kapang fermentasi yaitu ketiga kapang tersebut dan waktu inkubasi kasar. Kemudian pada penelitian utama kedua adalah pengaruh aplikasi penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan kadar protein kasar bahan. Ketiga jenis kapang dikembangkan pada media ekstrak toge cair selama tiga hari kemudian diinokulasikan pada subtrat dengan masa inkubasi ferementasi selama 3, 6, dan 9 hari. Hasilnya ketiga jenis kapang tersebut menghasilkan hasil positif pada kenaikkan kadar protein kasar bahan. A. niger berhasil meningkatkan kadar protein kasar bahan tertinggi, yaitu dari 22.65% menjadi 31.68% pada inkubasi sembilan hari. Hasil tersebut berbeda nyata dengan kedua kapang lainnya serta kadar protein kasar A. niger inkubasi enam hari. A. niger menjadi jenis kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar bahan dengan waktu inkubasi sembilan hari. Komponen serat kasar bahan setelah fermentasi cenderung mengalami penurunan, dan berbanding terbalik dengan kadar protein kasar bahan. Penurunan kadar serat kasar bahan tertinggi terjadi pada jenis kapang A. niger, yaitu dari 32.06% menjadi 30.57% pada inkubasi sembilan hari. Kemudian hal yang sama juga terjadi pada parameter kehilangan bahan kering sampel, dari ketiga jenis kapang, kehilangan bahan kering sampel A. niger tertinggi dibandingkan lainnya yaitu sebesar 34.51% pada inkubasi sembilan hari. Sedangkan kedua kapang lainnya sebesar 19.29% untuk T. viride, dan 18.00% untuk R. oligosporus. Aplikasi kultur campuran hasil pencampuran tiga jenis kapang tersebut berhasil meningkatkan kadar protein kasar bahan. Aplikasi kultur campuran memberikan hasil rataan peningkatan kadar protein kasar lebih tinggi dibandingkan dengan kultur tunggal, yaitu; 52.50% dengan 21,01%. Starter terbaik adalah campuran antara A. niger dan T. viride dengan persentase peningkatan kadar protein kasar hingga 62.07% dari kondisi awal. Namun hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan dua sampel kultur campuran lainnya, yaitu campuran An dan Ro (AR), serta campuran An, Ro dan Tv (ART), yaitu 59.17% untuk starter kultur campuran A. niger, R. oligosporus, dan T. viride (ART), dan 58.17% untuk kultur campuran A. niger, dan R. oligosporus (AR). Komponen serat kasar bahan cenderung sama dengan percobaan sebelumnya menggunakan kultur tunggal, yaitu cenderung menurun. Kemudian kehilangan bahan kering pada aplikasi kultur campuran cenderung lebih besar dibandingkan dengan kultur tunggal.
5.2.
1. 2. 3.
SARAN Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian-penelitian selanjutnya adalah : Optimasi lama fermentasi dengan peningkatan kadar protein bahan dan penurunan serat kasar Optimasi waktu inkubasi yang lebih halus dengan interval inkubasi jam dan hari. Optimasi suhu dan waktu pengukusan bahan sebagai perlakuan awal bahan sebelum fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA Aidoo KE, Hendry R. & Wood BJB. 1982. Solid substrate fermentations. Adv. Appl. Microbiol 28, 201237. Anil A. 2008. Advances in glycosyl hydrolases for improved biomass conversion: theory and practice. Training course and summer school on Next Generation biofuels. Institute of Chemical Technology, 05 October 2008. AOAC. 1995. Official Method of Analysis and Analitycal Chemistry. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Aunstrop K. 1979. Production, Isolation and Economic of Extracellular Enzymes in : LE. Wingard, E.K. Katzir ang Golstein (Eds). New York: Applied Biochemistry Bioengineering Enzymes Technologiy Academic Press. Batt CA and Sinskey AJ. 1987. Single-cell protein: production modification and utilization. Food Biotechnology 13:347-358. Burdsall Jr HH, and Eslyn WE. 1974. A New Phanerochaete with a crhysosporium Imperfect State. Mycotaxon 1:123-133. Campbell NA, Reece JB, and Mitchell. 2000. Biology: edisi kelima jilid 1. Jakarta: Erlangga. Collins JL. 1960.The Pineapple Interscience. New York: Pub Inc. Cordenunsi B, Saura-Calixto F, Diaz-Rubio ME, dan Zuleta A. 2010. Carbohydrate composition of ripe pineapple (cv. perola) and the glycemic response in humans. Ciênc. Tecnol. Aliment., Campinas, 30(1): 282-288. Dhawele SS and Kessler K. 1993. Alternative method for production and staining of Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbial 59: 1675-1677. Domsch KH dan Gams W. 1972. Fungi in Agricultural Soils. London: Longman Group Limited Pub. Eveleigh DE. 1987. Cellulase: a perspective, philosophical transactions of the royal society of London. Seri B-Biological Sciences 321: 435-447. Fadilah DS, Artati EK, dan Jumari A. 2008. Biodelignifikasi batang jagung dengan jamur pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium. Ekuilibrium Vol 7 No. 1:7-11 Fardiaz S. 1989. Fisiologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB. Gelpke MDS. 2002. The substrate binding site of lignin peroxidase and manganese peroxidase [Disertasi]. Oregon: Oregon Health and Science University. Ginting SP, Krisnan R, dan Simanihuruk K. 2007. Silase kulit nanas sebagai pakan dasar pada kambing persilangan Boer X Kacang sedang bertumbuh. JITV 12(3): 195-201. Halid I. 1991. Perubahan Nilai Nutrisi Onggok yang Diperkaya Nitrogen Bukan Protein Selama Proses Fermentasi dengan Biakan Kapang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Hardjo SS, Indrasti NS, dan Tajuddin B. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Hariyum A. 1986. Pembuatan Protein Sel Tunggal. Jakarta: Wacana Utama Pramesti. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, dan Tillman AD. 1989. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hatakka A. 1994. Lignin modifying enzymes from selected white rot fungi: production and role in lignin degradation. FEMS Microbial Rev 13, 125-235. Holzapfel WH. 2000. Appropriate starter culture technologies for small-scale fermentation in developing countries. Germany. International Journal of Food Microbiology. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Aspergillus_nigar_Micrograph.jpg. [13 Desember 2010] http://genome.jgi-psf.org/whiterot1/whiterot1.home.html. [13 Desember 2010]
http://permimalang.wordpress.com/2007/12/12/aspergillus-niger/. [13 Desember 2010] http://www.agro.cmu.ac.th/office/KMnetwork/?p=220. [13 Desember 2010] Indrawanto W. 1988. Analisa Pengendalian Persediaan Bahan Penolong dan Bahan pengemas di PT. Great Giant Peneaple Company, Lampung [Laporan KKN Profesi]. Bogor: Fateta -IPB. Jeffries TW, Suki C, Kirk TK. 1981. Nutritional regulation of lignin degradation by Phanerchaete Chrysosporium. App Environ Microbial 42:290-296. Knowles J, Lehtovaara P, and Teeri T. 1987. Cellulase families and their genes. Trends Biotechnol. 5: 255-261. Laskin AI, dan Neidleman SI. 1997. Advances in Applied Microbiology. New York: Academic Press. Li D, Alic M, and Gold MH. 1994. Nitrogen regulation of lignin peroxidase gene transcription. App Environ Microbial 60:3447-3449. Mattjik AA, dan Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: IPB Press. Miller GC. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid reagent for The Determination of Reducing Sugar. Analitical Chemists. 31 :420-428. Mirwandhono E, dan Siregar Z. 2004. Pemanfaatan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus, dan Trichoderma viride dalam ransum ayam pedaging [Skripsi ]. Sumatera Utara. Fakultas Pertanian USU. Mojsov K. 2010. Application Of Solid-State Fermentation For Cellulase Enzyme Production Using Trichoderma viride. Macedonia: Technological-Technical Faculty University “Goce Delcev” Stip. Murni R, Suparjo, Akmal BL, dan Ginting. 2008. Buku Ajar Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Jambi: Lab. Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Odonovan, P.B, 1978. Potential for By Product feeding in Tropical Areas. Roma: FAO-UNO. Olaniyi CO. 2008. Effect of fungal solid state fermentation using Aspergillus niger on the nutritional quality and phytic acid content of millet. Journal of Fisheries International 3(2):39-41. Perez J, Munoz-Dorado J, De La Rubia, and Martinez J. 2002. Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: an overview. In Microbial 5:53-63. Rasyaf M. 1990. Metode Kuantitatif Industri Ransum Ternak, Program Linear 1. Yogyakarta: Kanisius. Resita ET. 2006. Produksi Selo-oligosakarida dari fraksi selulosa tongkol jagung oleh selulase Trichoderma viride [Skripsi ]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Sidharta, F. M. 1989. Pemanfaatan Limbah Pengolahan Nenas (Ananas comossus L.) Merr) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Silase Secara Biologis [ Skripsi ]. Bogor: FATETA IPB. Rimbault M. 1998. General and microbiological aspects of solid subtrate fermentation. EJB Electronic Journal of Biotechnology ISSN: 0717-3458. Riyanto E dan Andi S. 2007. Produksi protein sel tunggal dari ampas tapioka untuk pakan ternak melalui fermentasi media padat dengan jamur Rhizopus oligosporus [Skripsi ]. Bandung: FTI-ITB. Samsuri M, Gozan M, dan Mardias R. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi ethanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xylanase. Makara Teknologi Vol. 11, 17-24. Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (teori dan Praktek). Malang. Laboratorium Kimia Pangan Universitas Widyagama. Sapay MC. 2010. Pemanfaatan pod kakao untuk produksi etanol melalui hidrolisis menggunakan kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride [Skripsi ]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Schellart JA. 1975. Fungal Protein from Corn waste Effiuens. Wageningen: Veenman H and BS Zone D. Selvakumar P, Ashakumary L, Helen A, and Ashok P. 1996. Purification and characteristic of glucoamylase by Aspergillus niger in solid state fermentation. Appl. Microbiol 23: 403-406.
Senez J. 1979. Solid state fermentation of starchy subtrates. Food and Nutrition Bulletin. Vol 1(2). 199 Shurtleff W, and Aoyagi. 1979. The Book of Tempe: A Super Soy Food from Indonesia. New York: Harper and Row. SNI 01-2891. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman 1992. Badan Standarisasi Nasional (BSN). Sofyan LA, Aboenawan LA, Laconi EB, Djamil A, Ramli N, Ridla M, dan Lubis AD. 2000. Diktat Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Bogor: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sofyan LA, dan Aboenawan L. 1973. Mempelajari Pembuatan Silase Dari Pod Coklat Secara Kimia dan Biologis [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Suparjo. 2010. Peningkatan Kualitas Nutrisi Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Pakan Ternak Secara Bioproses dengan Kapang Phanerchaete chrysosporium Yang Diperkaya Ion Mn 2+ Dan Ca2+ [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Sutedjo MM, Kartasaputra AG, dan Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: Rineka Cipta. Wang DLC, Coney CL, Demain AL, Dunnil P, Rumherey AF. Clan MD, and Lily. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York: John Wiley and Sons. Widiyandari ND. 2002. Manfaat Fermentasi oleh Trichoderma viride terhadap Mutu Nutrisi Jerami Padi [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tatacara analisis karakteristik bahan awal
1.
Kadar Air (AOAC 1995, 950.46) Mula-mula cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 15 menit dengan suhu 105°C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut selanjutnya dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan dan ditimbang. Bila berat belum konstan maka proses pengeringan dan penimbangan tersebut dilanjutkan 3-4 kali atau sampai diperoleh berat konstan yang dapat disebut berat akhir sampel. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih antara berat awal dan berat akhir sampel, dengan menggunakan rumus : Kadar air (%) = x 100% Keterangan : a = bobot contoh awal (g) b = bobot contoh akhir (g)
2.
Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992) Contoh yang telah dikeringkan (sisa kadar air) ditimbang di dalam kertas saring, kemudian dipasang dalam labu lemak dan kondensor. Reflux dilakukan dengan pelarut lemak selama 5 jam. Contoh dikeluarkan dari alat soxhlet, dikeringkan dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat konstan. Kadar lemak = x 100% Keterangan : a = bobot contoh + kertas saring sebelum diekstraksi (g) b = bobot contoh + kertas saring setelah diekstraksi (g) w = bobot sampel (g)
3.
Kadar Serat Kasar (SNI 01-2891-1992) Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO 4 0,325 N. Bahan selanjutnya dihidrolisis di dalam otoklaf bersuhu 105oC selama 15 menit. Bahan didinginkan, kemudian ditambahkan 50 ml NaOH 1,25 N, lalu dihidrolisis kembali di dalam otoklaf bersuhu 105oC selama 15 menit. Bahan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan (diketahui beratnya). Setelah itu kertas dicuci berturut-turut air panas + 25 ml H2SO 4 0,325 N dan air panas + 25 ml aseton atau alkohol. Residu beserta kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu 110°C selama ± 1-2 jam. Kadar serat (%)= x 100% Keterangan : a= bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) b= bobot kertas saring kosong (g) w = bobot sampel (g)
4.
Kadar Protein Kasar (AOAC 1995, 991.20) Contoh sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldhal. Katalis ditimbang sebanyak 1 gram yang terdiri dari CuSO4 : Na2SO 4 = 1 : 1,2. Tambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, kemudian didekstrusi sampai cairan berwarna hijau jernih, pendidihan dilanjutkan selama 30 menit. Labu beserta isinya didinginkan sampai suhu kamar, kemudian isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50% (sampai dengan larutan menjadi basa). Hasil sulingan ditampung ke dalam erlenmeyer 200 ml yang berisi HCl 0,02 N sampai tertampung tidak kurang dari 50 ml destilat, kemudian hasilnya didestilasi dengan NaOH 0,02 N disertai penambahan indikator mensel (campuran metil red dan metil blue) 3-4 tetes. Lakukan juga terhadap blanko. Kadar protein dihitung dengan rumus : Kadar protein (%) =
a N w
5.
.
x 100% Keterangan : = Selisih ml NaOH yang digunakan untuk menitrasi balnko dengan contoh = Normalitas larutan NaOH = Berat contoh (mg)
Kadar Abu (AOAC 1995, 923.03) Contoh ditimbang sebanyak 2-3 gram, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah cawan porselen yang telah diketahui bobot tetapnya. Contoh diarangkan di atas nyala pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu 550oC selama 5-6 jam sampai pengabuan sempurna. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu = Keterangan : w = bobot contoh sebelum diabukan (g) w1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g) w2 = bobot cawan kosong (g)
6.
x 100%
Uji Kadar Lignin Bahan
Langkah 1. Kadar ekstraktif Alat : - Oven 1050C - Labu didih ukuran 250 ml - Sokhlet - Kertas saring segi empat - Tali pengikat - Gunting - Sudip - Kapas - Pensil 2b - Mini magnetic stirrer - Kran air yang mengalir selama pengujian - Penjepit - Cawan untuk meletakkan kokon Bahan : - Bahan (berat kering oven) 3 gram - Pelarut alcohol benzene (1:2) Cara kerja : - Siapkan labu didih ukuran 250 ml dalam oven selama sehari (1050C) atau minimal 3 jam sebelum pengujian - Masukkan labu kosong tersebut dalam desikator sekitar 30 menit
-
Timbang labu kosong tersebut Cek apakah keran air menyala atau tidak sebagia pendingin sokhlet Siapkan kertas saring segi empat sebagai kokon, tali pengikat, gunting, kapas dan pensil 2b Masukkan bagas masing-masing sebanyak 3 gram (berat kering oven) ke dalam kokon, tutup dengan kapas dan ikat dengan tali, kemudian tuliskan kode sampel pada kokon menggunakan pensil 2b - Kokok dipasang pemberat yaitu mini magnetic stirrer - Masukkan kokon pada perangkat sokhlet dan tuang pelarut alcohol benzene (1:2) sebanyak 2/3 isi labu didih - Ekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 900C (set angka 50 pada hot plate) - Keluarkan kokon dari soklhlet, masukkan ke oven 1050C semalam - Masukkan kembali pelarut dalam wadahnya, sementara labu yang berisi hanya zat ekstraktif di dalam oven 1050C, keringkan semalam - Masukkan labu yang berisi zat ekstraktif ke desikator selama 30 menit, kemudian timbang Note : sampel yang telah bebas ekstraktif disiapkan untuk uji klason lignin dan holoselulosa Langkah 2. Klason lignin Alat : - Oven 1050C - Gelas filter IG3 - Cawan petri ukuran kecil - Pipet mohr ukuran 10 ml (untuk larutan asam sulfat) - Labu takar 50 ml - Beaker glass ukuran 50ml - Stirrer plate - Mini magnetic stirrer - Cawan petri penyangga ukuran medium - Erlenmeyer ukuran 300 ml - Erelenmeyer ukuran 500 ml untuk air panas - Alumunium foil - Sarang besi autoklaf - Pompa vakum - Sarung tangan tahan panas/kain lap - Penjepit Bahan : - H2SO4 72% - Bahan bebas ekstraktif 0.5 gram - Aquades, air panas Cara kerja : - Siapkan gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil dalam oven ukuran sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian - Masukkan IG3 ke dalam desikator selama 30 menit - Timbang gelas IG3 kosong tersebut, sedangkan cawan digunakan untuk mengukur kadar air bahan bebas ekstraktif sebanyak 0.5 gram kering ke dalam beaker glass ukuran 50 ml - Uq Siapkan labu takar ukuran 50 ml untuk membuat larutan H2SO4 72% - Selanjutnya masukkan 7.5 ml H2SO4 72% - Diaduk sesekali (dapat juga dilakukan dengan menggunakan magnetic stirrer dengan memasng angka 10 pada stirrer plate ) selama empat jam pada suhu kamar (dilakukan dengan menuangkan air sebelu pengadukkan di sekitar beaker glass yang telah disangga degan cawan petri) - Masukkan bahan yang telah diaduk selama 4 jam tersebut ke dalam Erlenmeyer ukuran 300 ml - Tambahkan masing-masing 280 ml aquades ke dalam Erlenmeyer - Tutup Erlenmeyer dengan alumunium foil rangkap dua dan autoklaf 1210C selama 15 menit (pada autoklaf pasang timer +20, sehingga menjadi 35) - Saring langsung dengan gelas filtert IG3 - Cuci dengan air panas masing-masing 100 ml - Keringkan gelas IG3 yang berisi filtrate pada suhu 1050C selama 16-24 jam - Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang
Note : pembuatan H2SO4 72% Tuangkan 37.89 H2SO4 72% ke dalam labu takar 50 ml, kemudian secara perlahan tambahkan aquades sampai tanda tera)
7. Kadar Gula Pereduksi (Miller 1959) Prinsip metode ini adalah dalam sausana alkali gula pereduksi akan mereduksi 3, 5 dinitrosolisilat (DNS) memberntuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
Penyiapan pereduksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 g asam 3.5 dinitrosolisilat dan 19.8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tartrat, 7.6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8.3 g Na-Metabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCL 0.1 N dengan indikator fenolftalein. banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangnan HCL 0.1 N.
Penentuan Kurva standar Kurva standar dibuat dengan mengukur untuk mengetahui nilai gula pereduksi pada glukosa selang 0.2 - 0.5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkkan diplotkan pada grafik secara linear.
Penetapa total gula pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut: 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereduksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 ml. biarkan sampai dingin pada suhu ruang. ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
Lampiran 2. Tatacara Pembuatan media ekstrak toge cair (Mulyani et al. 1991) Media ekstrak toge dibuat dengan tata cara : Bahan
:
Toge
: 100 gram
sukrosa
: 60 gram
air destilata
: 1000 ml
Cara kerja : -
Rebus toge dengan aquades hingga mendidih ± 2 jam Saring air rebusan hingga didapatkan kaldu / ekstak toge Tambahkan sukrosa / gula pasir Rebus kembali hingga gula larut Tambahkan aquades untuk menggantikan air yang menguap, hingga volume campuran mencapai 1000 ml Masukkan ke dalam tabung erlenmeyer untuk proses sterilisasi Sterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit Dinginkan hingga suhu berada dibawah 40oC
Lampiran 3. Pertumbuhan miselium A. niger, R. oligosporus, dan T. viride, pada sampel dengan masa inkubasi berbeda
Aspergillus niger (AN)
Rhizopus oligosporus (RO)
Trichoderma viride (TV)
Lampiran 4. Perubahan kadar protein kasar setelah fermentasi dan uji lanjut Duncan -
Perubahan Kadar Protein Kasar PK awal Waktu inkubasi Kpg
Ulgn 3 hari
6 hari
9 hari
22.89
23.10
24.91
22.75
23.82
24.12 23.26 ± 0.76
24.13
23.43
26.17
1
24.54
29.17
29.52
2
23.31
29.09
33.98 23.53 ± 0.92
3
22.75
29.16
31.54
1
23.42
24.15
25.49
2
24.68
25.80
25.8
3
23.46
25.63
25.14
1 Tv
2 3
An
Ro
-
Rataan Kadar PK akhir (% BK)
22.65%
3 hari
23.85 ± 0.72
6 hari
9 hari
23.45 ± 0.36
25.07 ± 1.03
29.14± 0.05
31.68 ± 2.23
25.19 ± 0.91
25.48 ± 0.33
Tabel Anova dan hasil uji lanjut Duncan Sumber Kerag aman
DF
Anova SS
Mikroba
2
Waktu
2 4
mikroba*waktu *) Berpengaruh nyata
Mean Square
87.4826
<.0001
68.2632
34.1316
33.95*
<.0001
46.42947
11.60737
11.54*
<.0001
Rataan
N
Mikroba
A
28.1178
9
An
B
24.8411
9
Ro
B
23.9244
9
Tv
Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Pengelompokkan
Pr > F
43.5*
Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Pengelompokkan
F Hitung
43.7413
Rataan
N
Mikroba
A
27.4078
9
9
B
25.9278
9
6
C
23.5478
9
3
-
Hasil interaksi antar unit sampel percobaan
Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Jumlah Interaksi Mikroba Pengelompokan Rataan sampel dgn waktu Kode A
31.68
3
An9
B
29.14
3
An6
C
25.4767
3
Ro9
25.1933
3
Ro6
25.0667
3
Tv9
23.8533
3
Ro3
23.5333
3
An3
23.45
3
Tv6
23.2567
3
Tv3
C D
C
D
C
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
E
D
E
D
E
D
E E E
Lampiran 5. Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi dan uji lanjut Duncan -
Perubahan Kadar Serat Kasar
Kapang
Tv
Ulangan
Kadar SK awal (%)
Ro
-
Rataan Kadar SK (%)
3
6
1
33.75
32.85
31.50
2
32.13
33.19
31.63
3
32.63
29.59
30.70
32.29
30.51
30.91
31.13
31.16
30.53
3
33.01
28.59
30.26
1
33.68
33.06
36.38
2
30.91
31.73
34.45
3
32.61
31.76
32.51
1 An
Waktu inkubasi (hari)
32.06 ± 0.89
2
9
3
6
9
32.83 ± 0.83
31.88 ± 1.99
31.27 ± 0.50
32.14 ± 0.94
30.09 ± 1.34
30.57 ± 0.32
32.40 ± 1.40
32.18 ± 0.76
34.45 ± 1.93
Tabel anova dan hasil uji lanjut duncan Mean Sumber Kar aga man
Anova DF
F Hitung
Pr > F
Mikroba
2
19.43114
9.71557
6.27
0.0086
Waktu
2
5.412141
2.70607
1.75
0.2029
mikroba*waktu
4
14.60768
3.65192
2.35
0.0926
Uji lanjut Duncan tidak dilakukan karena perlakuan mikroba dan waktu inubasi berikut interaksinya tidak berpengaruh nyata pada hasil fermentasi.
Lampiran 6. Kehilangan bahan kering setelah fermentasi dan uji lanjut Duncan -
Kehilangan Bahan Kering (KBK)
Berat awal bahan sebelum fermentasi : 57.20 gram Kadar air : 51.50 %
Kpg
Tv
Ulg
Berat akhir (gr), inkubasi-
KA (%), Inkubasi-
3 hr
6 ha
9 hr
3 hr
6 hr
9 hr
1
55.65
58.55
60.39
52.96
57.03
62.77
5.64
9.31
18.96
2
58.95
59.48
59.43
55.88
56.77
63.03
6.25
7.31
20.80
3
58.03
58.36
61.76
57.23
56.31
63.22
10.53
8.09
18.12
7.47
8.24
19.29
1
57.28
56.73
55.83
56.05
64.42
68.79
9.25
27.24
37.19
2
59.63
56.57
58.43
57.28
61.46
67.40
8.18
21.41
31.34
3
58.33
56.11
57.62
56.50
64.18
68.71
8.54
27.55
35.01
8.66
25.40
34.51
Rataan Kehilangan Bahan Kering An
Rataan Kehilangan Bahan Kering Ro
1
54.92
59.18
61.2
56.67
58.73
61.85
14.22
11.96
15.84
2
55.61
58.92
61.39
56.71
59.91
63.97
13.22
14.85
20.27
3
55.34
57.91
61.01
56.34
60.13
62.67
12.91
16.77
17.90
13.45
14.53
18.00
Rataan Kehilangan Bahan Kering -
Kehilangan Bahan Kering (%) 3 hr 6 hr 9 hr
Tabel Anova dan hasil uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
DF
Anova SS
Mean Square
F Hitung
Pr > F
Mikroba
2
637.9873
318.9936
91.11*
<.0001
Waktu
2
892.6017
446.3008
127.47*
<.0001
4
460.3346
115.0837
32.87*
<.0001
mikroba*waktu *) Berpengaruh nyata
Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Pengelo mpokan Rataan Jumlah Mikroba A
23.31
9
An
B
15.32
9
Ro
C
11.66
9
Tv
Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Pengelompokan Rataan Jumlah Waktu A
23.93
9
9
B
16.50
9
6
C
9.86
9
3
-
Interaksi antar unit sampel percobaan Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil Pengelo mpokan Rataan Jumlah Mikrobawaktu A
34.51
3
An9
B
26.76
3
An6
C
19.29
3
Tv9
C
18.00
3
Ro9
D
14.53
3
Ro6
D
13.45
3
Ro3
E
8.66
3
An3
8.24
3
Tv6
7.47
3
Tv3
C
D
E E E E
Lampiran 7. Pertumbuhan miselium aplikasi kultur campuran dengan inkubasi sembilan hari
(A. niger dan T. viride)
(A. niger, T. viride dan R. oligosporus)
( A. niger dan R. oligosporus)
(R. oligosporus, T. viride)
Lampiran 8. Perubahan KSK, SK, dan KBK pada aplikasi kultur campuran -
Kadar Protein Kasar setelah dinkubasi 9 hari
Starter
Subtrat Awal
An + Tv
Ro + Tv
An + Ro
An + Ro +Tv -
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Kadar Protein Kasar Akhir (% BK) P 23.26 21.65 23.04 37.11 34.70 38.32 31.17 28.36 28.38 34.93 36.44 36.10 37.39 35.12 35.65
Rataan Kadar Protein Kasar Akhir (% BK)
Standar Deviasi
P
P
22.65
0.87
36.71
1.84
29.30
1.61
35.83
0.79
36.05
1.19
Kadar Protein Kasar setelah dinkubasi 9 hari
Starter
Subtrat Awal
An + Tv
Ro + Tv
An + Ro
An + Ro +Tv
Ulangan
Kadar Serat Kasar (% BK)
Rataan Serat Kasar Akhir (% BK)
Standar Deviasi
P 32.31 32.19 31.68 18.89 20.62 19.54 24.53 26.17 27.54 20.48 17.75 19.87 20.27 20.42 19.06
P
P
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
32.06
0.33
19.68
0.88
26.08
1.50
19.37
1.43
19.92
0.75
-
Kehilangan Bahan Kering setelah dinkubasi 9 hari
Starter
An Tv
Ro Tv
An Ro
An Ro Tv
awal
akhir
Kadar Air Sampel (%) awal akhir
1
57.20
49.40
51.50
62.69
9.31
33.56
2
57.20
50.50
51.50
63.77
9.45
34.05
3
57.20
50.62
51.50
66.82
10.95
39.46
1
57.20
52.94
51.50
58.02
5.52
19.89
2
57.20
53.77
51.50
58.14
5.23
18.87
3
57.20
53.78
51.50
60.56
6.53
23.54
1
57.20
50.12
51.50
68.86
12.13
43.74
2
57.20
49.31
51.50
70.62
13.25
47.78
3
57.20
49.32
51.50
70.69
13.29
47.89
1
57.20
49.71
51.50
67.59
11.63
41.93
2
57.20
50.01
51.50
68.03
11.75
42.37
3
57.20
50.26
51.50
69.32
12.32
44.42
Ulg.
Berat Sampel (gr)
KBK (gr)
% KBK
% Rataan KBK 35.69
20.77
46.47
42.90
Lampiran 8. Analisis varian dan uji lanjut Duncan perubahan kadar protein pada perlakuan kultur campuran Anova Sumber keragaman
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
6
447.2185905
74.5364317
36.71*
<.0001
Galat
14
28.4257333
2.0304095
Total
20
475.6443238
Perlakuan
DF
*) Berpengaruh nyata Catatan : Perbandingan Kadar Protein Kasar aplikasi kultur campuran dengan kultur tunggal berbeda nyata pada selang kepercayaan 5%
Uji Lanjut Duncan Rataan dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Taraf 0.05) Hasil pengelompokkan
Mean
N
starter
A
36.710
3
AT
A
36.053
3
ART
A
35.823
3
AR
B
31.680
3
An
B
29.303
3
RT
C
25.477
3
Ro
C
25.067
3
Tv