PENILAIAN KELAYAKAN USAHA MIKRO DENGAN KREDIT SKORING DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBIAYAAN BERMASALAH BEST PRACTICE LEMBAGA KEUANGAN DI INDONESIA Bambang Wahyudiono Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana Jl Meruya Selatan No. 1 Jakarta Barat Email :
[email protected]
ABSTRACT A credit score is a number representing the creditworthiness of a person, the likelihood that person will pay his or her debts. Lenders, such as banks and other financial institution companies, use credit scores to evaluate the potential risk posed by lending money to consumers. Credit scoring model designed by bank and finacial institution, is used to evaluate micro and small enterprise to receive credit. Scoring calculations are typically made based on characters, payment record, frequency of payments, amount of debts, credit charge-offs and as amount of credit cards held. A certain weight is assigned to each factor considered in the model’s formula, and a credit score is assigned based on the evaluation. Feasible scores generally range from 70 the poor end to 85 on the top end. Ideally, a high credit score can reward potential customer with lowered interest rates for loans and with more favorable term lengths for loans. A low credit score can make customer ineligible for those low rates and more favorable terms. Indeed, a low score can be considered enough of a credit risk that a future employer, or even utility company, may make a negative decision regarding your potential employment or receipt of services on. Bank and finansial institution should rate their potensial micro and small enterprise based on eligibility of their condition. On the other hand, there is different consequence in the riel practices. Micro and small enterprise haven’t paid their installment or non performing loan eventhough they good in scoring rate. Key words : financial institution, micro and small enterprises, credit portfolio ABSTRAK Skoring kredit adalah angka yang mewakili kelayakan kredit seseorang, kemungkinan bahwa orang akan membayar utangnya. Lender, seperti bank dan perusahaan lembaga keuangan lainnya, menggunakan nilai kredit untuk mengevaluasi potensi risiko yang ditimbulkan oleh meminjamkan uang kepada konsumen. Model credit scoring yang dirancang oleh Bank dan lembaga finacial, digunakan untuk mengevaluasi usaha mikro dan kecil untuk menerima kredit. Skoring perhitungan biasanya dibuat berdasarkan karakter, catatan pembayaran, frekuensi pembayaran, jumlah utang, kredit biaya-off dan sebagai jumlah kartu kredit yang dimiliki. Sebuah berat tertentu ditugaskan untuk setiap faktor yang dipertimbangkan dalam rumus model, dan skor kredit diberikan berdasarkan evaluasi. Skor Kelayakan umumnya berkisar dari 70 akhir miskin untuk 85 di ujung atas. Idealnya, nilai kredit yang tinggi dapat hadiah pelanggan potensial dengan tingkat bunga diturunkan untuk pinjaman dan dengan panjang istilah yang lebih menguntungkan untuk pinjaman. Nilai kredit yang rendah dapat membuat pelanggan tidak memenuhi syarat bagi mereka tingkat rendah dan persyaratan yang lebih menguntungkan. Memang, skor rendah dapat dianggap cukup dari risiko kredit bahwa majikan masa depan, atau bahkan perusahaan utilitas, dapat membuat keputusan negatif mengenai pekerjaan potensial Anda atau penerimaan layanan pada. Bank dan institusi finansial harus menilai usaha mikro dan kecil potensial mereka berdasarkan kelayakan kondisi mereka. Di sisi lain, ada konsekuensi yang berbeda dalam praktek riel. Mikro dan usaha kecil belum membayar angsuran atau non performing loan walaupun mereka baik di tingkat penilaian. Kata kunci : lembaga keuangan, usaha mikro dan kecil, portofolio kredit
PENDAHULUAN
diberikan kepada nasabah yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan. Meskipun Pemberian kredit didasarkan atas standar demikian,proses seleksi yang dilakukannya kredit.Lembaga keuangan pada umumnya sudah ternyata tidak menghilangkan terjadinya kualitas memiliki alat seleksi terhadap calon nasabah pembiayaan buruk atau bermasalah yang populer yang akan diberi pembiayaan atau kredit. Kredit dengan istilah NPL atau non performing loan. 1
2
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
Semestinya apabila seleksi atau analisa yang dilakukan berjalan dengan baik, kemudian alat untuk menyeleksi juga baik maka akan diperoleh hasil seleksi yang baik, berkualitas atau layak untuk diberi pembiayaan. Pemberian pembiayaan kepada target atau nasabah yang tepat pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pembiayaan lembaga keuangan yang bersangkutan. Namun pada kenyataannya, nasabah yang berhasil diseleksi karena dinilai layak pada akhirnya ada yang bermasalah sehingga mempengaruhi kualitas pembiayaan menjadi buruk. Terdapat beberapa best practice kriteria penilaian kelayakan calon usaha mikro setidaknya yang dipakai oleh lembaga keuangan, lembaga keuangan mikro (koperasi simpan pinjam, BMT) dan bank yang memberikan kredit kepada usaha kecil dan mikro atau UKM (BTPN Mikro, Panin Mikro, Danamon simpan pinjam). Dengan unsur sampel dari tiga bank swasta diantaranya adalah pioner kredit mikro, lembaga keuangan non bank milik pemerintah, dua Lembaga Keuangan Mikro (BPR dan BMT), maka kesimpulan yang ditarik dapat dianggap mewakili praktek lembaga keuangan di Indonesia. Tabel 1. Best Practice Skoring untuk Menyeleksi Debitur Layak No Kriteria Bobot I Persyaratan Wajib II Kualitas 30%-40% Debitur (Karakter) III Prospek Usaha 10%-20% (Kapasitas) IV Kemampuan Membayar (Keuangan) V
Kelayakan Jaminan (Collateral)
Keterangan Harus terpenuhi semua unsurnya Semakin baik karakter semakin berkualitas. Semakin prospek dan stabil semakin baik 20%-30% Semakin tinggi kapasitas membayar semakin baik 15%-30% Semakin marketable semakin baiik 100%
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Penelitian ini akan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi selama proses analisa dilakukan oleh lembaga keuangan. Ruang lingkup aktifitas meliputi proses analisa kelayakan, tinjauan alat yang digunakan untuk menyeleksi serta mengevaluasi pengaruh kelayakan usaha terhadap kualitas pembiayaan. Meskipun kebijakan kredit dilaksanakan sesuai standar yang ditetapkan namun risiko gagal bayar atau default risk tetap berpotensi terjadi. Kebijakan standar kredit optimum, tidak selalu merupakan hal yang dapat meminimalkan kerugian akibat piutang tak tertagih. Untuk mengukur dampak terjadinya non performing loan dengan berbagai penyebabnya, penelitian ini akan berupaya mencari hubungan sebab akibat antara kebijakan kredit yang baik dengan kualitas pembiayaan. Hubungan ditentukan berdasarkan kriteria skoring sistem yang digunakan untuk analisa kredit berdasarkan standar kredit yang ditetapkan dengan proses yang tidak pruden ketika menentukan kelayakan usaha. Penelitian ini menggunakan anggapan dasar bahwa apabila penentuan kelayakan usaha dilakukan dengan berkualitas baik proses maupun kecanggihan skoring sistem, maka akan dapat mengurangi timbulnya pembiayaan bermasalah. Secara rinci, anggapan dasar penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Kondisi kelayakan usaha sangat berkorelasi positif dengan kualitas pembiayaan. Semakin layak kualitas suatu usaha yang dibiayai maka akan semakin meminimalkan risiko terjadinya kredit bermasalah. 2) Lembaga keuangan mengetahui kriteria suatu usaha mikro yang dikategorikan layak yang dituangkan dalam hasil skoring kredit. 3) Lembaga keuangan memiliki kemampuan untuk menentukan kelayakan suatu usaha. KAJIAN PUSTAKA Dalam teori kebijakan pemberian piutang pada manajemen keuangan, perusahaan akan akan melakukan penjualan secara kredit untuk meningkatkan volume penjualan. Penjualan kredit tidak segera menghasilkan penerimaan kas. Cash inflow diperoleh melalui pengumpulan piutang dari penjualan kredit. Tiga aspek penting yang harus diperhatikan peru-
Penilaian Kelayakan Usaha Mikro Dengan Kredit Skoring Dan Pengaruhnya Terhadap Pembiayaan Bermasalah Best Practice Lembaga Keuangan Di Indonesia
sahaan pada umumnya dalam manajemen piutang adalah kebijakan kredit, persyaratan kredit dan teknik collection atau pengumpulan kredit. 1. Kebijakan Kredit (Credit Policy): Merupakan pedoman yang ditetapkan perusahaan dalam menentukan apakah kepada seorang langganan akan diberikan kredit. Jika diberikan berapa banyak atau berapa jumlahnya. Kebijakan kredit terdiri dari standar kredit dan analisa kredit. Standar Kredit; adalah kualitas minimum untuk menentukan apakah pemohon kredit layak atau tidak oleh suatu perusahaan (Van Horne: 372). Standar kredit terkait dengan kriteria minimum yang harus dipenuhi oleh seorang pelanggan sebelum diberikan kredit. Faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan apabila perusahaan akan merubah standar kredit adalah pengaruhnya terhadap biaya administrasi, investasi piutang, kerugian piutang dan volume penjualan kredit. Biaya administrasi piutang: Apabila perusahaan memperlunak standar kredit yang diterapkan berarti banyak kredit yang diberikan, maka tugas-tugas yang berhubungan dengan pencatatan piutang akan semakin banyak atau semakin besar jumlahnya. Sebaliknya, apabila perusahaan memperketat standar kredit yang diterapkan berarti sedikit kredit yang diberikan, maka tugas-tugas yang berhubungan dengan pencatatan piutang akan semakin sedikit atau semakin kecil jumlahnya. Investasi piutang: Apabila perusahaan memperlunak standar kredit (penjualan kredit diberikan kepada hampir semua pelanggan) dengan harapan volume penjualan meningkat, akan memperbesar atau meningkatkan ratarata piutang. Apabila perusahaan memperketat standar kredit (penjualan kredit diberikan kepada langganan yang terpilih saja) akan mengakibatkan volume penjualan menurun, akan memperkecil atau menurunkan rata-rata piutang. Kerugian piutang: Apabila perusahaan memperlunak standar kredit yang diterapkan berarti banyak kredit yang diberikan, maka kerugian piutang akan semakin banyak atau semakin besar jumlahnya. Apabila perusahaan
3
memperketat standar kredit yang diterapkan berarti sedikit kredit yang diberikan, maka kerugian piutang akan semakin sedikit atau semakin kecil jumlahnya. Volume penjualan kredit: Apabila perusahaan memperlunak standar kredit (penjualan kredit diberikan kepada hampir semua pelanggan), maka volume penjualan meningkat. Apabila perusahaan memperketat standar kredit (penjualan kredit diberikan kepada pelanggan yang terpilih saja), maka volume penjualan menurun. Analisis Kredit atau Penilaian Resiko Kredit: Setelah mengumpulkan informasi kredit, lembaga keuangan atau bank harus membuat analisis kredit atas pemohon. Dalam praktek, informasi penagihan dan analisis di awal kredit akan berhubungan erat (Salvatore: 386). Jika berdasarkan pada informasi kredit awal sejumlah besar kredit tampak berisiko, analis kredit akan berusaha untuk mendapat informasi lebih jauh. Dengan demikian analisis kredit merupakan suatu kegiatan untuk menentukan pelanggan yang dapat diberikan kredit dan seberapa besar jumlah kreditnya kepada masing-masing calon debitur. Analisis kredit ini dapat dilakukan dengan memperhatikan “5 C of Credit”, yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of economic. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya investasi dalam piutang antara lain volume penjualan kredit, syarat pembayaran, ketentuan tentang pembatasan kredit, kebijakan dalam pengumpulan piutang, kebiasaan membayar dari para langganan. Langkah-langkah untuk memperkecil resiko kredit adalah menentukan besarnya resiko yang akan ditanggung oleh perusahaan, menyelidiki kemampuan kreditur untuk memenuhi kewajibannya, 2. Persyaratan Kredit (Credit Term): Persyaratan kredit menspesifikasikan lamanya waktu kredit yang diberikan kepada debitur (Van Horne: 375). Periode kredit (credit period) adalah cara lain yang dapat memungkinkan perusahaan meningkatkan permintaan atas produk. Persyaratan kredit merupakan termin pembayaran yang disyaratkan kepada para langganan yang
4
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
membeli secara kredit. Persyaratan kredit yang sering diberikan pada perusahaan secara umum adalah pemberian potongan tunai (cash discount), periode potongan tunai (discount period), periode kredit (credit period). 3. Kebijakan dan prosedur penagihan (Collection Policy): Perusahaan menentukan kebijakan penagihan keseluruhannya dengan menggabungkan berbagai prosedur penagihan yang diterapkan (Van Horne: 379). Prosedurprosedur ini meliputi berbagai hal seperti surat, faks, panggilan telepon, kunjungan pribadi dan tindakan hukum. Salah satu variabel kebijakan utama adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk prosedur penagihan. Semakin besar upaya penagihan yang dilakukan (sehingga berdampak pada peningkatan biaya), maka proporsi piutang yang tidak tertagih akan semakin rendah. Semakin pendek periode ratarata penagihan, maka proporsi piutang tidak tertagih juga semakin kecil (Van Horne: 379). Kebijakan kredit, persyaratan kredit dan kebijakan penagihan secara umum berlaku pada perusahaan dagang, jasa maupun manufaktur. Pada perusahaan yang berbentuk bank atau lembaga keuangan yang bisnis utamanya adalah pemberian kredit (konvensional) atau fasilitas pembiayaan (syariah), pengaturan terkait piutang tersebut tersebut lebih ketat lagi. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan adalah pihak yang mengawasi dan menerbitkan regulasi terkait bisnis dan operasional bank dan lembaga keuangan. Pengaturan ini dilakukan mengingat dana yang dijadikan kredit atau pembiayaan berasal dari dana masyarakat sehingga perlu ada perlindungan dan pengawasan. Bank Indonesia dan OJK berwenang untuk menetapkan persyaratan suatu bank dikatakan sehat. Bila tidak memenuhi persyaratan itu maka bank tersebut akan dibekukan operasinya bahkan bisa ditutup. Bank harus memiliki kebijakan kredit berdasarkan kebijakan risiko bank. Kebijkan kredit dalam bantuk standar kredit dan analisis kredit ditujukan untuk menjamin bahwa dana yang disalurkan aman dan menghasilkan keuntungan bagi bank. Skoring sistem adalaha
salah bentuk standar kredit dan analisanya untuk menentukan kelayakan atau eligibilitas suatu calon nasabah (atau dalam penelitian ini adalah usaha mikro dan kecil) yang layak dibiayai. Pembiayaan kepada debitur yang tidak layak dipastikan dapat menimbulkan kredit bermasalah. Disamping itu, hasil analisa credit skoring yang layak secara formal tidak menjamin tidak adanya kredit bermasalah. Kualitas penilaian dalam skoring akan menentukan kelayakan dan pada akhirnya menentukan kredit bermasalah atau tidak. Kualitas hasil berupa informasi ‘kelayakan’ ditentukan oleh proses yang diterapkan pada saat implementasi skoring. Kualitas proses skoring ditentukan oleh kualitas staf pelaksana dan juga kualitas skoring itu sendiri sebagai suatu tools kebijakan kredit. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Penilaian Kelayakan Usaha Mikro Dengan Kredit Skoring Dan Pengaruhnya Terhadap Pembiayaan Bermasalah Best Practice Lembaga Keuangan Di Indonesia
5
Tabel 2. Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Menengah No 1 2 3
Uraian Usaha Mikro Usaha kecil Usaha Menengah
Kriteria Asset
Omset
Maksimum Rp.50 juta > Rp.50 juta – Rp.500 juta >Rp.500 jt – Rp.10 M
Maksimum Rp.300 juta >Rp.300 jt – Rp.2.5 M >Rp.2.5 M – Rp.50 M
Sumber : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tanggal 4 Juli 2008 Kriteria Usaha Mikro memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempa usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Kriteria Usaha Kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Kriteria Usaha Menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Dalam rangka menumbuhkan Iklim Usaha, pemerintah menetapkan kebijakan antara lain di bidang pendanaan untuk usaha mikro kecil dan menengah. Upaya di bidang pendanaan UKM ini meliputi kemudahan akses kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank dan jasa/produk keuangan lainnya baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah. Keberhasilan UKM memperoleh pendanaan ini sebagian besar ditentukan oleh pertimbangan bisnis oleh bank/lembaga
keuangan. UKM yang dirasa layak dan menguntungkan bagi bank akan diberikan pinjaman atau kredit. Sebagaimana tema penelitian ini, akan mengevaluasi sejauh mana proses penilaian kelayakan oleh bank/lembaga keuangan tersebut. Meskipun bank/lembaga keuangan menilai layak namun pada akhirnya banyak yang terjadi macet bahkan UKM menjadi tutup atau bangkrut. Semestinya pemberian kredit yang memenuhi syarat kelayakan dapat membantu mengembangkan UKM. Peneltian ini akan mencari keterkaitan antara penilaian kelayakan UKM dan pengaruhnya terhadap kredit bermasalah. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Studi evaluasi mengenai pengaruh kualitas penilaian kelayakan usaha terhadap pembiayaan bermasalah oleh lembaga keuangan di Indonesia dirancang dengan pendekatan studi kasus (case-studies). Penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu (Suharsimi Arikunto, 2010:185). Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subyek yang sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam. Kesimpulan penelitian kasus hanya berlaku bagi organisasi yang diteliti. Sampel penelitian ini menggunakan 2(dua) lembaga keuangan penyalur kredit mikro yaitu bank swasta dan lembaga keuangan non bank milik pemerintah. Studi kasus bertujuan mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit
6
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
sosial, individu dan kelompok, lembaga, atau masyarakat (Nazir, 1992:66). Ruang lingkup studi kasus dapat meliputi keseluruhan fase unit sosial atau fase tertentu saja dari unit sosial. Studi kasus sangat berguna untuk merumuskan hipotesis-hipotesis seperti yang akan dilakukan pada penelitian ini.
d. Terpenuhinya syarat kemampuan membayar atau aspek keuangan atau Capital: yaitu diukur melalui repayment capacity dan operating profit margin. e. Terpenuhinya syarat kelayakan jaminan atau Collateral: yaitu jenis jaminan dan nilai likuiditasnya.
Desain Penelitian Design studi kasus meliputi 5 (lima) komponen, yaitu penentuan pertanyaan (fokus penelitian), proposisi-proposisi, unit analisis, pengaitan logis data dengan proposisi dan kriteria interpretasi temuan.
Proposisi-proposisi penelitian Proposisi berperan mengarahkan perhatian kepada fenomena-fenomena yang diselidiki. Studi kasus ini dilandasi asumsi umum bahwa proses analisa atau penilaian kelayakan usaha yang sesuai standar (mengacu kepada credit scoring) akan mampu mewujudkan portofolio pembiayaan yang sehat atau dengan kata lain tidak akan menimbulkan pembiayaan bermasalah atau NPL melampaui kewajaran. Berdasarkan asumsu tersebut, maka proposisi penelitian adalah “pembiayaan bermasalah dapat diminimalkan melaui penilaian kelayakan usaha dengan credit scoring”.
Penentuan Pertanyaan (Fokus) Fokus studi kebijakan ini adalah mengevaluasi kinerja perusahaan atau lembaga keuangan khususnya dalam proses menentukan kelayakan usaha sebagai dasar memutuskan pembiayaan atau kredit. Evaluasi dilakukan terhadap proses penilaian yang dilakukan oleh staf termasuk evaluasi instrumen yang digunakan untuk menilai kelayakan. Dengan kinerja atau proses yang memenuhi standar kelayakan yang ditetapkan maka obyek yang dibiayai akan memperoleh manfaat sehingga mampu mengembalikan pembiayaan yang diberikan dengan baik serta tidak menimbulkan kredit bermasalah (macet atau NPL). Parameter kinerja proses analisa kelayakan yang ditetapkan oleh lembaga keuangan meliputi: a. Terpenuhi persyaratan dasar: yaitu identitas calon debitur, domisili, adanya pengalaman menjalan usaha yang didukung dengan surat formal dari pemerintah daerah dan track record atas pembiayaan atau kredit yang telah diterima. b. Terpenuhinya kualitas debitur atau Character : yaitu usia, pendidikan, status perkawinan dan tanggungan, jenis pekerjaan, lama usaha, status domisili, harta benda, side income, reputasi dan track record. c. Terpenuhinya prospek usaha yang baik atau Capasity: yaitu bidang usaha/ produk, tenaga kerja, lokasi, pengelolaan keuangan, bahan baku, pemasok, persaingan dan trend omset serta profit.
Unit analisis Unit analisis berkaitan dengan masalah populasi dan sampel. Yang dimaksud dengan unit analisis dalam penelitian ini adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian. Penelitian ini ingin mengetahui metode penilaian kelayakan usaha beserta dampak yang ditimbulkan. Subyek penelitian berbeda dengan obyek penelitian dan sumber data. Subyek penelitian dapat berupa benda atau manusia. Subyek penelitian dapat berupa sekolah, desa bahkan mungkin negara (Arikunto Suharsimi: 187). Subyek penelitian adalah subyek yang akan digali atau diteliti datanya dalam hal ini penilaian kelayakan beserta dampaknya. Objek data adalah variabel penelitian yaitu standar beserta implentasi credit scoring, dan sumber data peneliti adalah staf yang terkait langsung dengan proses scoring, yaitu analis kredit, komite kredit, remedial dan auditor. Pengaitan logis antara data dengan proposisi Yin (2004) menyarankan 3 strategi untuk mengaitkan logis (logical chain) antara data dengan proposisi, yaitu penjodohan pola
Penilaian Kelayakan Usaha Mikro Dengan Kredit Skoring Dan Pengaruhnya Terhadap Pembiayaan Bermasalah Best Practice Lembaga Keuangan Di Indonesia
(pattern-matching), membangun eksplanasi (explanation-build), dan runtut waktu (time series). Pada studi kasus ini, pengaitan logis dengan proposisi menggunakan kombinasi pendekatan penjodohan pola (patternmatching) dan eksplanasi (explanation-build). Melalui pendekatan kombinasi ini, maka dapat dilakukan perbandingan dan penjelasan kenapa meskipun skoring kredit telah digunakan untuk proses penilaian namun debitur yang terjaring tetap berkualitas rendah kelayakannya sehingga menimbulkan kredit bermasalah. Kriteria untuk menginterpretasi temuan Kriteria interpretasi temuan dilakukan dengan pendekatan eksplanasi. Pendekatan eksplanasi bertujuan untuk memberi penjelasan hasil penjodohan antara standar kriteria yang telah ditetapkan dalam skoring kredit dengan implementasi penilaian untuk menghasilkan calon debitur dengan kualitas kelayakan yang dikehendaki. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kantor pusat, kantor cabang dan outlet lembaga keuangan penyalur kredit mikro, bank swasta penyalur kredit mikro dan lembaga keuangan mikro syariah. Alasan pemilihan ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk menilai proses skoring kredit pembiayaan mikro berserta dampaknya terhadap pembiayaan bermasalah. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan pada bulan Juni 2014. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data Pada studi kasus ini, teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain dokumentasi, yaitu mengumpulkan data berupa dokumen, manual book skoring kredit, hasil skoring kredit, pencairan kredit, laporan kredit bermasalah, laporan hasil pengawasan oleh unit compliance (kepatuhan), wawancara dengan staf analis kredit, komite kredit dan staf kolektor/remedial yang mengurusi kredit bermasalah. Termasuk dalam wawancara adalah diskusi langsung pada saat proses eksekusi kredit maupun analisa langsung lapangan kepada calon debitur. Selain itu, observasi dilakukan secara langsung dengan cara mengamati proses pengoperasian aplikasi kredit scoring.
7
Analisis Data Analisis data yang digunakan menggunakan pendekatan analisis descriptifkomparasi, yaitu membandingkan kondisi kredit yang telah macet dengan kualitas penilaian kelayakan yang telah dilakukan berdasarkan kriteria di kredit skoring. Selanjutnya diberikan penjelasan logis adanya perbedaan kinerja tersebut secara kualitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan kredit skoring untuk penilaian kelayakan kredit perlu dinilai kualitasnya karena debitur yang diberikan scoring dengan status layak namun mengalami masalah tunggakan bahkan macet atau NPL sebelum masa kredit selesai. Oleh karena itu, penilaian kelayakan calon debitur dapat dievaluasi berdasarkan hal-hal sebagai berikut: Best practice standar skoring Skala nilai setiap aspek penilaian didasarkan atas 5 tingkat risiko, yaitu Sangat Rendah (nilai 100), Rendah (nilai 75), Moderat (Nilai 50), Tinggi (nilai 25) dan Sangat tinggi (nilai 0). Sedangkan pengelompokan hasil akhir total aspek penilaian dikategorikan atas 2 kelompok yaitu Layak dan tidak layak. Dikategorikan Layak apabila dipenuhi 2 syarat: Pertama: seluruh aspek penilaian pada persyaratan dasar dipenuhi atau jawaban seluruhnya adalah ‘ya’. Kedua: jumlah total nilai aspek penilaian pada Kualitas Debitur, Prospek Usaha, Kemampuan Pengembalian Pinjaman, dan Jaminan adalah lebih dari atau sama dengan 70. Dikategorikan Tidak Layak apabila dipenuhi salah satu dari 3 kondisi sebagai berikut: Pertama: seluruh aspek penilaian pada persyaratan dasar dipenuhi (jawaban ‘ya’) tetapi jumlah total nilai aspek kualitas calon debitur, prospek usaha, kemampuan keuangan dan jaminan kurang dari 70. Kedua: salah satu atau lebih aspek penilaian persyaratan dasat ada jawaban ‘tidak’ walaupun skor yang lain memenuhi syarat. Ketiga: Persyaratan dasar dan empat aspek yang lain tidak terpenuhi dengan nilai skor kurang dari 70.
8
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
Terpenuhi persyaratan dasar Namun demikian dari hasil penelitian Persyaratan dasar terdiri atas 6 aspek diketahui bahwa meskipun nilai skoring 70 penilaian terhadap calon debitur. Metode dan terpenuhi persyaratan dasar sehingga pengukuran berdasarkan pilihan jawaban ‘ya’ Layak dibiayai namun pada kenyataan/ dan ‘tidak’. Penilaian pada aspek persyaratan fakta di lapangan banyak yang bermasalah dasar cenderung dijawab dengan ‘ya’ sehingga dengan latar belakang penyebab tidak terpenuhi syarat awal kelayakan. Padahal terpenuhinya kondisi atau kualitas kelayakan pada debitur yang bermasalah diketahui jika sebagaimana dinyatakan dalam hasil skoring. sebenarnya persyaratan dasar tidak terpenuhi. Tidak sesuainya fakta di lapangan dengan Jawaban yang sering salah atau tidak sesuai syarat kelayakan disebabkan oleh dua dengan fakta di lapangan adalah empat hal yaitu masalah SDM yang melakukan yaitu masalah domisili, lama pengalaman skoring dan faktor kelemahan yang melekat menjalankan usaha, adanya surat keterangan pada alat skoring yang digunakan. Dua usaha dan adanya track record pembiayaan kelemahan tersebut secara rinci dijelaskan bermasalah. Empat hal tersebut yang dalam uraian selanjutnya. Berikut adalah data merupakan kesalahan SDM adalah jawaban hasil tabulasi dari seratus sampel debitur: Tabel 3. Perbedaan Kualitas Informasi Aspek Penilaian Penilaian Awal Kondisi umum: Memenuhi syarat Persyaratan utama kelayakan utama : 6 unsur
Karakter/ kualitas debitur: 11 unsur.
Terpenuhi kelayakan
Kapasitas/ PoTerpenuhi tensi kelayakan kelayakan usaha – 11 unsur.
Keuangan – 2 Unsur Jaminan – 2 Unsur
Terpenuhi kelayakan Terpenuhi kelayakan
Konfirmasi Lapangan Keterangan RTR=4 RTR (CD telah tinggal di alamat saat ini atau ruunsur mah sendiri lbh dari 1 tahun, Menjalankan usaha (67%) yang sama atau bekerja di tempat yang sama > 1 tahun, Memiliki surat keterangan usaha/ bekerja, Tidak memiliki fasilitas pembiayaan/ track record bermasalah) KR=2 KR (pendidikan terakhir, usia) RTR(jumlah RTR=7 tanggungan, status perkawinan, lama usaha CDL=2 ditempat terakhir, status tempat tinggal saat ini, (92%) harta benda yang dimiliki,track record pinjaman dan simpanan) CDL (besarnya pendapatan tambahan, Reputasi) RTR=3 RTR (Jumlah TK, Jarak lokasi usaha, Jumlah CDL=6 pesaing usaha) CDL (Kondisi tempat usaha, (82%) Pengelolaan Keuangan, Ketersediaan bahan baku, Jumlah pemasok barang, trend omset, trend net profit) CDL =2 CDL (Repayment capicity, operating profit (100%) margin) CDL=1 Loan to collateral value, Security Coverage (50%) Ratio.
Catatan: RTR (Rawan Tidak Riil): Bukti pendukung tidak tersedia atau tersedia namun rawan tidak valid dan/atau tidak lengkap. Dalam kondisi tertentu data yang disajikan rawan dipalsukan. KR (Kurang Relevan): Pengisian data yang diberikan kurang berpengaruh terhadap skoring CDL(Cenderung Dinilai Lebih): Pada saat pengisian ini cenderung dilebihkan dari kondisi yang diamati karena ada vested dan diyakini akan meningkatkan nilai score.
tentang domisili, lama usaha dan track record. Debitur sebenarnya tidak memiliki alamat domisili yang tetap. Pengalaman debitur tidak memenuhi syarat dan baru coba-coba usaha namun dinilai telah 2 tahun berusaha. Track record pinjaman bermasalah tidak selalu tersedia di sumber utama dan staf tidak memiliki kemampuan tersebut. Perusahaan tidak memiliki alternatif lain selain BI checking, padahal debitur bisa melakukan pinjaman darimana saja sehingga sulit terlacak. Sedangkan terkait surat keterangan usaha sering
Penilaian Kelayakan Usaha Mikro Dengan Kredit Skoring Dan Pengaruhnya Terhadap Pembiayaan Bermasalah Best Practice Lembaga Keuangan Di Indonesia
tidak sesuai namun tools skoring memasukkan sebagai faktor penilaian. Keempat hal ini terjadi karena jawaban yang diberikan oleh staf bersifat RTR atau rawan tidak riil. Kondisi ini mengharuskan staf untuk lebih kompeten lagi guna membaca situasi calon debitur. Dari sampel sebanyak 100 debitur bermasalah sebesar 25% merupakan kesalahan kombinasi saat menanyakan domisili, lama usaha, kebenaran surat keterangan usaha dan track record pembiayaan bermasalah. 30% kesalahan terkait tidak riilnya kombinasi informasi lokasi usaha, keterangan usaha dan track record pembiayaan bermasalah. Sebesar 25% kesalahan mengungkat kevalidan surat keterangan usaha dan track record pembiayaan bermasalah sebelumnya. Dan, sebesar 20% merupakan kesalahan mengungkap kombinasi informasi lainnya. Beberapa kesalahan saling merupakan kombinasi. Bila lama usaha di lokasi usaha kurang dari satu tahun maka diperkirakan surat keterangan usaha tidak riil. Disamping itu track record usaha juga rawan tidak tergali dengan benar. Terpenuhi persyaratan kualitas debitur Dari sebelas unsur karakter atau kualitas debitur terdapat 2 unsur yang kurang relevan. Hal ini mengakibatkan benar tidaknya informasi yang diperoleh tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas kelayakan usaha. Dua unsur ini adalah pendidikan terakhir dan usia. Sebanyak 6 unsur yang berstatus RTR (Rawan Tidak Riil) dan dua unsur berstatus CDL (Cenderung Dinilai Lebih). Informasi RTR meliputi jumlah tanggungan, status perkawinan, lama usaha di tempat terakhir, status tempat tinggal saat ini, harta benda yang dimiliki, track record pinjaman yang dimiliki. Informasi CDL meliputi besarnya pendapatan tambahan dan reputasi. Berdasarkan data 100 debitur bermasalah, mereka memiliki kondisi yang berbeda dengan saat awal dinilai. Perbedaan ini sebenarnya merupakan kesalahan sekaligus kelemahan staf saat menggali informasi kelayakan debitur. Jumlah kesalahan/ ketidakmampuan mengungkap track record pinjaman adalah 37% dari total sampel atau 37 debitur, informasi harta yang dimiliki 41% (41
9
debitur), status tempat tinggal 35% (35 debitur), lama usaha 43% (43 debitur), jumlah tanggungan 15% (15 debitur) dan status perkawinan 8% (8 debitur). Sedangkan informasi yang cenderung dinilai lebih adalah besarnya pendapatan 75% (75 debitur) dan reputasi 60% (60 orang). Kebanyakan informasi memerlukan judgment yang tinggi dan dilain pihak tidak terlalu berpengaruh pada skor keseluruhan. Perbedaan informasi di lapangan dengan informasi awal yang diperoleh menunjukkan jika kegagalan menggali informasi telah menyebabkan pembiayaan atau kredit diberikan kepada debitur yang tidak tepat atau debitur yang dibawah standar kelayakan yang ditetapkan. Terpenuhi persyaratan prospek usaha Dari sebelas unsur aspek prospek usaha, terdapat 3 informasi yang RTR yaitu jumlah tenaga kerja, jarak lokasi usaha dan jumlah pesaing di industri yang sama. Kombinasi ketiga informasi ini menunjukkan kesalahan sebesar 40% atau 40 orang debitur. Sedangkan informasi CDL untuk kombinasi kondisi tempat usaha, pengelolaan keuangan, ketersediaan bahan baku, jumlah pemasok barang, trend omset dan trend net profit secara kombinasi terjadi di 57% atau 57 debitur dari total sampel 100. Jumlah tenaga kerja sering tidak pernah ada data secara formal di debitur. Debitur juga tidak memiliki pembukuan terkait bukti pembayaran upah secara permanen. Jarak lokasi merupakan informasi yang paling sering dilanggar sehingga merupakan Rawan Tidak Riil. Pengukuran jarak debitur dengan lokasi kantor lembaga keuangan penyalur sering terabaikan. Jarak yang terlalu jauh menimbulkan kesulitan saat menagih maupun kunjungan usaha. Jumlah pesaing di lokasi debitur juga sering tidak riil. Hal ini disebabkan staf sering ada kebingungan. Bila pesaing sedikit dia merasa industri yang dibiayai tidak baik. Sebaliknya bila pesaing banyak dianggapnya debitur rawan tutup. Keragu-raguan jumlah pesaing ini memberikan kontribusi cukup signifikan pada saat verifikasi lapangan. Unsur kondisi tempat usaha sering dinilai dengan ‘akses ke lokasi yang sangat baik’ dan bangunan permanen. Padahal pada waktu verifikasi lapangan akses lokasi hanya bisa
10
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
dilewati satu mobil bahkan kondisi jalan yang buruk. Bangunan kurang permanen atau karena tidak selesai dibangun 100% namun dinilai seperti bangunan permanen yang sudah full. Pengelolaan keuangan cenderung sudah ada pembukuan secara baik, padahal kebanyakan debitur bermasalah tidak mempunyai pembukuan standar yang ada unsur rugi laba dan neraca untuk sebagai laporan yang rutin. Pembukuan hanya sekedar keluar masuk uang kas namun tidak ditemui pada semua debitur yang menjadi sampel. Ketersediaan bahan baku sering dinilai tersedia setiap saat, padahal dalam kenyataannya terdapat bulan tertentu yang sulit diperoleh. Jumlah pemasok barang sering dinilai lebih dari satu. Padahal pemasok dalam kenyataannya hanya supplier yang dikenal oleh calon debitur. Debitur cenderung tidak berinteraksi dengan pemasok yang tidak dikenalnya. Meskipun pemasok jumlahnya lebih dari satu namun debitur hanya cenderung bertransaksi dengan satu pemasok. Tren omset dan tren profit cenderung dinilai baik atau lebih tinggi dari perhitungan. Sebenarnya prosentase kenaikan tren omset dan profit tidak terlalu signifikan bagi kredit mikro. Yang lebih penting adalah bahwa omset dan profit mengalami peningkatan atau tidak terjadi penurunan atau stagnan dalam beberapa bulan terakhir. Penggalian informasi prospek usaha ada yang kurang berpengaruh signifikan terhadap kondisi usaha namun staf melakukan berbagai upaya lebih. Namun disisi lain ada informasi yang semestinya harus dipastikan namun staf hanya melakukannya dengan cara yang kurang berkualitas. Terpenuhi persyaratan keuangan Unsur repayment capasity dihitung dengan cara membagi antara total angsuran dengan total penghasilan atau laba usaha. Skoring menganggap terbaik jika persentase angsuran tersebut kuranga dari 25%. Unit sering memilih ini dalam penilaiannya sehingga kualitas keuangan debitur baik. Namun, proses penghitungannya kurang tepat. Jumlah atau nilai penghasilan debitur atau laba usaha sering tidak tepat dalam penghitungannya. Bila yang dijadikan ukuran adalah laba usaha, perhitungan yang sering dinilai rendah adalah jumlah
biaya dan jumlah pendapatan dibesarkan. Penurunan dan peningkatan informasi biaya atau pendapatan ini tidak memerlukan banyak bukti/dokumen sehingga angka yang disajikan sangat relatif atau rentan. Dari 100 sampel debitur penelitian, diperioleh 59% atau 59 debitur perhitungan repaymen capacity tidak akurat sehingga cenderung dinilai lebih. Perhitungan operating margin dilakukan dengan cara menghitung besarnya omset dikurangi harga pokok dan overhead. Hasil perhitungan yang diperoleh kemudian dibagi dengan omset. Apabila hasilnya adalah diatas 25% maka merupakan debitur yang paling layak dari sisi operating margin. Kelamahan yang mendasar dari informasi yang disajikan adalalah ketidakakuratan informasi omset, harga pokok dan juga overhead. Ketiga informasi ini sulit diverfikasi karena ketiadaan bukti tertulis yang dapat diperiksa. Semuanya tergantung judgmen dari staf penilai. Namun dalam prakteknya apabila debitur sudah mengalami kesulitan membayar atau macet. Kondisi di awal penilaian kelayakan sulit untuk ditemukan karena semuanya sudah berubah dan tidak terdapat informasi atau data yang dapat disajikan dari debitur. Dari 100 sampel debitur penelitian, diperoleh 52% atau 52 debitur perhitungan operating profitnya tidak akurat sehingga cenderung dinilai lebih. Terpenuhi persyaratan jaminan Bank dan lembaga keuangan penyalur pembiayaan atau kredit mikro masih mempersyaratkan jaminan dalam proses persetujuan kredit. Meskipun kapasitas debitur (aspek lainnya) memenuhi syarat kelayakan, namun tidak disetujui kreditnya apabila tidak memiliki jaminan yang cukup. Dari sampel 100 debitur bermasalah, terdapat 35% atau 35 debitur yang jaminannya bermasalah. Dalam arti tidak laku dijual dengan harga layak untuk menutup outstanding debitur. Kesalahan penilaian dilakukan berupa mark nilai pasar jaminan di atas harga pasar yang wajar, letak jaminan yang tidak strategis namun dikatakan baik, jaminan bermasalah karena diakui banyak orang atau riwayat tanah bermasalah tanpa diketahui di awal penilaian. Kesulitan eksekusi jaminan juga
Penilaian Kelayakan Usaha Mikro Dengan Kredit Skoring Dan Pengaruhnya Terhadap Pembiayaan Bermasalah Best Practice Lembaga Keuangan Di Indonesia
11
disebabkan karena pemilik atau debitur validnya informasi mengenai karakter debitu kabur sehingga tidak bisa dijual secara dan juga persyarata utama. Debitur kabur sukarela, paksa maupun melalui lelang. terutama karena alamat domisili tidak tetap atau Staf berusaha untuk menggolkan sering berpindah atau tidak merupakan alamat persyaratan jaminan ini karena telah sebenarnya. Debitur kabur juga disebabkan yakin bahwa usaha yang dibiayai layak. karena merasa terlalu banyak hutang dan Namun pada saat usaha bermasalah juga karena merasa telah memberikan data ternyata jaminan pun sulit untuk dijual. jaminan yang tidak benar. Secara lebih lengkap Secara keseluruhan aspek penilaian tabel 3 di bawah ini menjelaskan hubungan bila dikaitkan dengan kondisi debitur saat antara kredit atau pembiayaan bermasalah menunggak, terdapat hubungan sebab akibat sebagai akibat tidak akuratnya penilaian yang jelas. Debitur bermasalah kondisi terakhir kelayakan yang dilakukan di awal proses. kabur, kemungkinan besar disebabkan tidak Tabel 4. Keterkaitan Debitur Bermasalah dengan Kualitas Analisa Kredit Kondisi
Keterangan Kondisi
Tidak membayar angsuran -Alamat domisili bukan merupakan dan kabur alamat sebenarnya. -Banyak dicari karena tanggungan hutang. -Jaminan sulit dijual (tidak marketable). Tidak membayar angsuran Selalu ingkar janji untuk memenuhi kekarena bed character wajibannya Tidak membayar angsuran -Tidak mengetahui liku-liku bidang karena usaha bangkrut ala- usaha yang dilakukan san tertipu -Tidak kompeten dan tidak berpengalaman usaha Tidak membayar angsuran Terlalu banyak hutang akibat over karena kesulitan keuangan finance
Tidak membayar angsuran Bahan baku dari usaha yang dibiayai sulit karena bangkrut akibat ke- diperoleh dan hanya dikuasai beberapa sulitan bahan baku orang. Tidak membayar angsuran Skala ekonomi usaha tidak efisien dan karena bangkrut akibat ka- kurang berpengalaman lah bersaing
Kontribusi ketidaksempurnaan tool skoring yang sering terjadi adalah pengungkapan atau penggalian informasi yang memerlukan upaya besar namun dampaknya kurang relevan dengan keputusan kredit segmen mikro. Kevalidan atau tidak suatu informasi tersebut kurang relevan dengan keputusan yang akan diambil. Disamping itu, praktek skoring saat ini cenderung memberikan bobot antar aspek yang statis. Mestinya skoring selalu dinamis disesuaikan dengan perkembangan bidang usaha atau kondisi ekonomi yang
Penyebab Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) pada Kualitas debitur RTR, Prospek usaha, Kemampuan keuangan dan Jaminan Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) khususnya karakter atau kualitas debitur Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) khususnya dalam hal pengalaman usaha atau prospek usaha. Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) khususnya dalam hal prospek usaha dan Cenderung dinilai lebih (CDN) terkait kapasitas keuangan debitur. Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) khususnya dalam hal pengalaman usaha atau prospek usaha. Informasi yang dijadikan penilaian kelayakan rawan tidak riil (RTR) khususnya dalam hal pengalaman usaha atau prospek usaha.
berpengaruh. Pertanyaan dalam skoring juga terkadang kurang mendalam, sehingga informasi yang baik namun diberikan skor yang average padahal dapat ditingkatkan dengan sub pertanyaan yang lebih rinci. Dampak skoring sistem yang kurang akurat untuk menentukan kelayakan atau eligibilitas usaha dan dampaknya terhadap profitabilitas bank atau lembaga keuangan non bank perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
12
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 3, Nomor 1, Juli 2014, hlm. 1 - 12
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan: 1. Terdapat hubungan yang saling berkaitan antara tidak layaknya calon debitur dengan kredit bermasalah. Kesalahan dalam menilai 5 aspek telah menyebabkan pemberian kredit diberikan kepada debitur yang tidak layak. Kondisi ketidaklayakan di awal penilaian telah menyebabkan kredit tidak tepat sasaran sehingga bermasalah. 2. Debitur macet tidak disebabkan oleh satu varibel tunggal, tetapi merupakan kombinasi dari berbagai aspek baik persyaratan umum, karakter, prospek usaha, keuangan maupun jaminan. 3. Best practise proses penentuan skoring kredit pembiayaan mikro kecil sudah memenuhi persyaratan aspek 5C sebagaimana dilakukan di kredit korporasi, namun kedalaman informasi, bobot dan relevansi yang disesuaikan dengan kultur usaha mikro perlu ada evaluasi dan peningkatan yang terus menerus.. Saran: 1. Lembaga keuangan dan bank yang menyalurkan kredit mikro harus selalu berupaya meningkatkan kemampuan untuk menilai secara lebih akurat bahwa suatu usaha memang layak dibiayai. Kriteria layak harus semakin jelas dan mudah dimengerti oleh staf yang melakukan penilaian serta tercermin dalam bahasa credit scoring yang menjadi alat seleksinya.
2. Harus dilakukan evaluasi secara berkala terkait skill staf yang melakukan penilaian. Perlu dilakukan penilaian ulang oleh atasan langsung untuk lebih meningkatkan kualitas informasi yang dijadikan input serta outputnya. 3. Untuk menghindari kredit bermalah, status layak sebaiknya bukan hanya terkondisi di awal pembiayaan namun harus dipertahankan minimal sampai dengan masa kredit selesai melalui pembinaan oleh lembaga keuangan kepada debitur secara terus menerus. DAFTAR PUSTAKA Van Horn, Wachowitcs, Buku 1 Edisi 12, Fundamental of Financial Management, Jakarta: Penerbit Salemba Empat. StephenA. Ross, Corporate Finance,Asia Global Edition, Mc. Graw Hill Education, 2013. Teguh Pudjo Muljono, Bank Auditing: Petunjuk Pemeriksaan Intern Bank, Revisi ke 5, Penerbit Djambatan. Prosiding Konperensi Nasional Usaha Kecil, Masalah-masalah di Seputar Usaha Kecil Indonesia, ISE KADIN TAF, Jakarta. Arikunto Suharsimi, Prof.Dr, Edisi Revisi 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Jopie
Jusuf, Panduan dasar Untuk Account Officer, Intermedia Jakarta.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tanggal 4 Juli 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 93.