PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) PRODUKSI BERAS PANDANWANGI CIANJUR
ANNISA FITRIANA HADININGTYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Produksi Beras Pandanwangi Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Annisa Fitriana Hadiningtyas F351120161
RINGKASAN ANNISA FITRIANA HADININGTYAS. Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Produksi Beras Pandanwangi Cianjur. Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan YANDRA ARKEMAN. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak lingkungan berupa emisi yang dapat ditimbulkan dari sistem produksi beras pandanwangi dalam satu siklus dengan menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA). LCA adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk selama proses produksi atau aktivitas selama siklus hidupnya. Metode LCA terdiri atas 4 tahapan yaitu tujuan dan ruang lingkup, analisis inventori, penghitungan dampak dan interpretasi hasil. Analisis LCA yang dilakukan menggunakan metode IPCC dengan menghitung nilai emisi CO2 dan emisi non CO2. Analisis dilakukan untuk mendapatkan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari 1 kg produk beras pandanwangi yang dihasilkan. Perhitungan nilai emisi total menunjukan bahwa dari 1 kg beras pandanwangi yang produksi menghasilkan emisi sebesar 1,71 kg CO2-eq dengan konsumsi energi sebesar 4.768,5 MJ/ton beras. Perhitungan net energi didapatkan nilai Net Energy Value (NEV) sebesar 16,46 GJ dan nilai Net Energy Ratio (NER) sebesar 4,45. Sedangkan emisi non-CO2 terbesar yang diperoleh dari kegiatan budidaya padi berupa CH4. Besarnya nilai emisi CH4 dipengaruhi oleh tingginya penggunaan pupuk sintetik pada lahan. Pengelolaan limbah produksi beras yang efektif mampu mengurangi nilai emisi pada produksi beras pandanwangi. Keyword : Life Cycle Assessment, beras pandanwangi, emisi CO2, emisi CH4
SUMMARY ANNISA FITRIANA HADININGTYAS. Life Cycle Assessment (LCA) of Cianjur Rice Pandanwangi Production System in Indonesia. Supervised by SUPRIHATIN and YANDRA ARKEMAN. This research goals are to establish and develop life cycle inventory (LCI) database of Indonesia rice production systems particulary Pandanwangi rice. The case study was conducted in Gekbrong and Warungkondang district, Cianjur, West Java Province, Indonesia. Life Cycle Assessment (LCA) is one of the systematic method and analysis of the environmental impact of products during its entire life cycle. LCA method consists of four stages, namely goal and scope definition, inventory analysis, impact assessment, and also interpretation and process improvement. The assessment was carried out in order to provide environmental impact and emission contribution produced from 1 ton pandanwangi rice. The environmental impact criteria were developed into a few impact categories, kg CO2-eq/ kg rice, energy consumption for entire processes and mass balance of material and resources that used in the process. The environmental impact criteria were developed into a few impact categories showed that production of 1 kg pandanwangi rice would generate 1.71 kg CO2-eq with total energy consumption 4,768.5 MJ/ton rice. Energy efficiency of pandanwangi production in Net Energy Value (NEV) was 16.46 GJ and Net Energy Ratio (NER) was 4.45. The highest emission comes from rice plantation processes in the form of CH4. The pandanwangi rice production systems also generate by-products such as rice straws, the stalk and husk. Some of them could reused in the process in order to reduce the emission in rice field. Key words:
Life Cycle Assessment, pandanwangi rice, CO2 emission, CH4 emission
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) PRODUKSI BERAS PANDANWANGI CIANJUR
ANNISA FITRIANA HADININGTYAS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Mohamad Yani, MEng
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah analisis dampak lingkungan, dengan judul Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Produksi Beras Pandanwangi Cianjur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir-Ing Suprihatin dan Bapak Dr Ir Yandra Arkeman, MEng selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Mohamad Yani, MEng yang telah banyak memberi saran untuk penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yayat Duriat dari BPBTPH kecamatan Gekbrong, Bapak Iwan S dan Bapak Cahya Hancuran kecamatan Warungkondang beserta PPL Kecamatan Warungkondang dan Kecamatan Gekbrong, yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dilapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda, ayahanda, suamiku tersayang Prima Trie Wijaya serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan pada pengelola Pascasarjana, seluruh Dosen dan staf Akademik Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Ibu Nurjanah, Bapak Candra Agustiyadi dan teman-teman TIP angkatan 2012. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016 Annisa Fitriana Hadiningtyas
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 2 2 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Beras Pandanwangi Sistem Produksi Beras Pandanwangi Life Cycle Assessment (LCA)
4 4 6 10
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penentuan Sampel Jenis Data Metode Pengolahan dan Analisis Data
13 14 15 16 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Pandanwangi Sistem Produksi Pandanwangi Penanganan Pasca Panen Analisis LCA Perhitungan Emisi Keterbatasan Penelitian Perbaikan (Improvement) Sistem Produksi
18 18 18 24 30 34 44 44
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
46 46 46
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
50
RIWAYAT HIDUP
54
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Deskripsi padi varietas pandanwangi Luas daerah sentra pandanwangi di Kabupaten Cianjur Kandungan gizi beras pandanwangi Penelitian terkait dengan LCA Data yang dikumpulkan selama penelitian Potensi Luas Lahan Kecamatan Warungkondang Potensi Luas Lahan Kecamatan Gekbrong Pemakaian pupuk dan zat tambahan pada budidaya pandanwangi (ha) LCI (Life Cycle Inventory) beras pandanwangi Nilai potensial pemanasan global emisi GRK Nilai perhitungan emisi karbon produksi pandanwangi Perbandingan nilai emisi GRK produksi beras Kebutuhan energi sistem produksi beras pandanwangi Jenis bahan bakar yang digunakan di Indonesia Nilai emisi tiap tahapan proses produksi beras pandanwangi Evaluasi dan perbaikan sistem produksi beras pandanwangi
5 6 6 12 14 18 18 24 33 35 36 37 38 42 43 47
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Alur Penelitian Batasan metode LCA Kerangka LCA menurut ISO 14040 Tahapan penelitian Penggunaan traktor pada pengolahan lahan Proses pembuatan pola dan jarak tanam Petakan lahan dan proses persemaian pandanwangi Penanaman padi pandan wangi Pestisida cair merek bionano Proses pemanenan dan alat panen Proses pengeringan gabah Pabrik penggilingan beras (Bapak Mubarok) Mesin Husker Transportasi hasil penggilingan padi Proses pengemasan Penampungan hasil penggilingan Tempat penampungan limbah sekam Pemanfaatan jerami pada lahan persemaian Life Cycle Pandanwangi Nilai emisi tahap budidaya beras pandanwangi Nilai emisi pada tahap produksi dan transportasi Nilai emisi pembakaran biomasa jerami padi
3 10 11 14 20 21 22 23 24 25 26 26 27 28 28 29 30 30 31 44 44 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 Faktor Skala Berdasarkan Rejim Air 2 Jenis Tanah dan Nilai Koefisien 3 Faktor Skala Emisi CH4 untuk Rejim Air sebelum penanaman 4 Faktor Konversi untuk Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Organik 5 Faktor emisi N2O dari tanah yang dikelola 6 Faktor Konversi Energi 7 Faktor Volatisasi dan Pencucian untuk Emisi N2O 8 Faktor Konversi Emisi
50 50 51 51 52 52 53 53
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan bahan makanan pokok di Indonesia sehingga kebutuhan beras akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,21% dan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 139,15 kg/kapita/tahun (BPS 2006). Sebagai komoditas pertanian strategis, peningkatan produksi beras terus diupayakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Beras pandanwangi merupakan salah satu produk beras varietas unggul lokal Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Pandanwangi merupakan merek dagang beras lokal Indonesia yang telah dikenal dan dibudidayakan di lumbung padi di Cianjur, Jawa Barat. Jenis padi varietas lokal Cianjur yang menghasilkan beras pandanwangi asli termasuk dalam varietas Javonica. Beras ini mempunyai keunggulan seperti rasa yang sangat enak, pulen, dan beraroma wangi pandan. Rasanya yang sangat khas memberikan nilai tambah sehingga memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan beras varietas lain, yaitu dapat mencapai dua kali lipat harga beras biasa. Pengembangan dan pelestarian beras pandanwangi sebagai kearifan lokal daerah Cianjur dapat mendorong peningkatan produksi beras secara nasional. Peningkatan produksi tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sebagai akibat yang ditimbulkan dari keseluruhan rangkaian kegiatan produksi beras pandanwangi. Produksi beras menghasilkan nilai emisi 4 x lebih besar daripada budidaya tanaman pangan lainnya seperti jagung dan gandum (Linquist et al. 2012). Penilaian siklus hidup beras pandanwangi mutlak diperlukan untuk mengetahui besarnya nilai emisi yang dapat ditimbulkan dari proses produksi beras pandanwangi. LCA (Life Cycle Assessment) merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mengukur dan menganalisis suatu tahap daur hidup dimulai dari tahap pengambilan material sampai dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Metode LCA terdiri atas empat fase, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis persediaan, analisis dampak dan interpretasi (ISO 14040). Metode LCA mampu memberikan gambaran terperinci mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan dari suatu industri yang hasilnya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih penggunaan bahan baku maupun proses yang digunakan sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu proses produksi. Hatcho et al. (2012) membatasi ruang lingkup analisis dampak lingkungan pada produksi beras di daerah Shiga Jepang pada tahap pembenihan hingga proses produksi tanpa melihat tata guna lahan, pengolahan limbah dan pasca panen seperti konsumsi. Shafie et al. (2011) menganalisis dampak lingkungan pada proses penggilingan padi di Malaysia dengan membandingkan penggunaan energi
2 batubara dengan gas alam. Penelitian dampak lingkungan dari proses penggilingan padi juga dilakukan oleh Kasmaprapruet et al. (2009). Pengolahan padi menjadi beras yang siap dikonsumsi pada umumnya melalui beberapa proses, dimulai dari budidaya yang meliputi input (benih, pupuk, teknologi, irigasi) hingga pengolahan pasca panen, yaitu: perontokan, pengangkutan, pengeringan, penyimpanan, penggilingan, penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan. Setiap tahapan proses dalam pengolahan beras, dimulai dengan penyediaan bahan baku hingga produk sampai ditangan konsumen membutuhkan energi yang dapat dihitung dan dianalisis dampaknya terhadap lingkungan dengan menggunakan metode LCA. Oleh karena itu analisis dampak lingkungan produksi beras pandanwangi di Cianjur Jawa Barat dengan menggunakan metode LCA sangat diperlukan untuk mengetahui informasi pengembangan produk beras Indonesia khususnya beras pandanwangi secara komprehensif dengan menghitung dan menganalisis nilai emisi yang dihasilkan pada tiap tahapan proses produksi.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana menganalisis dampak lingkungan dengan menerapkan metode LCA (Life Cycle Assessment) pada sistem produksi beras pandanwangi di Cianjur sehingga dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai dampak lingkungan yang dapat dihasilkan dari sistem produksi beras, khususnya varietas pandanwangi.
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi sistem produksi beras varietas pandanwangi dari budidaya hingga pengemasan 2. Menganalisis tahapan proses, aliran bahan baku serta konsumsi energi di dalam proses produksi beras varietas pandanwangi 3. Menganalisis dampak lingkungan berupa emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang dapat ditimbulkan dari sistem produksi beras pandanwangi
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran sistem produksi beras di Indonesia khususnya varietas pandanwangi dan emisi GRK yang dapat dihasilkan dalam upaya mewujudkan sistem produksi yang ramah lingkungan.
3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian terdiri atas sistem produksi beras Indonesia varietas pandanwangi dalam satu siklus yang meliputi material, bahan baku, energi yang terjadi selama proses produksi berlangsung. Penelitian ini meliputi analisis emisi karbon berupa CO2 dan non CO2 serta tidak menyertakan analisis impact assessment lain seperti analisis acidifikasi dan eutrofikasi.
Kerangka Pemikiran Penyediaan beras sebagai komoditas pangan utama di Indonesia dilakukan melalui dua cara yaitu memproduksi sendiri di dalam negeri dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang ada dan dengan mengimpor dari negara lain. Sistem produksi berbagai komoditas pertanian khususnya beras terus dikembangkan untuk mendapatkan produk terbaik baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas tanpa mengabaikan aspek ekologis yang ramah lingkungan. Gambar 1 menunjukan alur penelitian dimana dalam upaya pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri yang memiliki daya saing tinggi perlu memperhatikan kualitas, kuantitas serta aspek ekologis dalam proses produksinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode LCA (Life Cycle Assessment). Metode LCA dapat membantu mengidentifikasi dan menganalisis siklus produksi, tahapan proses, aliran bahan dan material serta energi yang terjadi selama proses produksi beras berlangsung secara komprehensif. Lebih jauh, metode LCA mampu memberikan gambaran dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari rangkaian proses produksi beras dimana dalam pelaksanaannya menggunakan input bahan baku yang memiliki potensi merusak lingkungan seperti penggunaan pupuk kimia.
Gambar 1 Alur Penelitian Tahapan model LCA terdiri atas definisi dari tujuan dan ruang lingkup, analisis inventori, impact assessment, dan interpretasi. Tahapan analisis inventori
4 meliputi kumpulan data dan prosedur kalkulasi untuk mengukur input-input dan output-output yang relevan dari proses pembuatan suatu produk. Input dapat berupa bahan mentah, bahan bakar, material pembantu dan energi, sedangkan output dapat berupa produk, emisi, limbah, energi listrik, dan panas. Pada tahapan impact assessment akan dievaluasi dampak potensial lingkungan yang signifikan dengan menggunakan data pengelompokan LCI (life cycle inventory) yang diperoleh dari tahapan identifikasi aliran proses dan bahan baku.
TINJAUAN PUSTAKA Beras Pandanwangi Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54,3%, atau dengan kata lain setengah dari pemenuhan kebutuhan kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto 2001). Beras diperoleh dari hasil pengolahan gabah. Gabah sendiri terbentuk dari butir padi yang telah dipisahkan dari tanaman padi (Oryza sativa L.). Beras merupakan tanaman Graminae yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Salah satu varietas lokal yang menjadi unggulan dan merupakan produk asli dari Indonesia adalah beras pandanwangi. Beras beraroma di wilayah Asia menjadi suatu komoditi premium karena aroma, tekstur, dan flavor yang dihasilkan. Pandanwangi merupakan varietas lokal yang menjadi ciri khas daerah Cianjur, khususnya di Kecamatan Warungkondang. Komponen utama yang membentuk aroma pandan pada beras pandanwangi adalah 2-acetyl-1-pyrolline. Keunggulan beras yang dihasilkan dari padi pandanwangi adalah kepulenan dan aroma khas (wangi pandan) yang dihasilkan ketika beras tersebut dimasak menjadi nasi (Natalia 2007). Aroma pandan yang terdeteksi dari beras Pandanwangi ini merupakan komponen 2-acetyl-1-pyrroline. Selain pada padi Pandanwangi, aroma ini juga ditemukan pada berbagai padi beraroma yang terdapat di seluruh Asia. Komponen 2-acetyl-1-pyrolline paling banyak mengandung gugus alkohol, kemudian aldehid dan keton, serta asam dan komponen lainnya. Tanaman padi yang menghasilkan beras pandanwangi termasuk varietas Javonica atau dikenal dengan padi bulu berumur 150-165 hari dengan tinggi tanaman 150-170 cm, dengan gabah (endosperm) bulat/gemuk berperut, bermutu, tahan rontok, berat 1.000 butir gabah 300 gram, kadar amylase 20 persen dan potensi hasil 6-7 ton/ha malai kering pungut. Varietas unggulan lokal Pandanwangi cocok ditanam di dataran sedang dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Tabel 1 menunjukan deskripsi padi varietas pandanwangi berdasarkan Keputusan Kementrian Pertanian No. 163/Kpts/LB.240/3/2004.
5 Tabel 1 Deskripsi padi varietas pandanwangi Parameter Asal Nomor Aksesi Koleksi Metode Seleksi Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Batang Warna Telinga daun Warna Lidah daun Warna Helai daun Muka Daun Posisi Daun Daun Bendera Bentuk Gabah Warna Gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Bobot 1000 butir Kadar Amilosa Potensi hasil Rata-rata hasil Ketahanan terhadap penyakit
hama
Keterangan : Populasi varietas lokal Pandanwangi Cianjur : Balitpa 1644 : Galur murni : Berbulu : 155 hari : Kompak : 168 cm : 15-18 batang : Hijau : Hijau : Tidak berwarna : Tidak berwarna : Hijau : Kasar : Tegak : Tegak : Bulat : Kuning emas : Tahan : Kurang tahan : Pulen : 29,7 gram : 24,96 % : 7,4 ton Gabah Kering Giling/Ha : 5,7 ton Gabah Kering Giling/Ha dan Rentan terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan 3 Rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain 4 Rentan terhadap penyakit tungro
Keterangan Sumber : Kementrian Pertanian (2004)
: Baik ditanam di Cianjur
Tabel 2 menunjukan daerah sentra produksi pengembangan padi pandanwangi terdapat di delapan kecamatan yaitu Warungkondang, Cibeber, Cugenang, Cilaku, Cianjur, Sukaresmi, Gekbrong dan Campaka.
6 Tabel 2 Luas daerah sentra padi pandanwangi di Kabupaten Cianjur Kecamatan Warungkondang Cibeber Campaka Gekbrong Cugenang Cianjur Cilaku Sukaresmi Jumlah
Luas Sawah (ha) 1.649 3.203 1.432 1.229 2.083 1.090 2.565 2.542 15.793
Luas lahan yang biasa tanam padi pandanwangi (ha) 780 620 461 545 540 225 140 105 3.416
Sumber : Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong (2013) Pandanwangi mengandung berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, gula pereduksi, zat besi, dan tembaga. Persentase kadar gula yang dikandung dalam beras pandanwangi lebih besar dibandingkan kadar protein dan lemak. Kandungan gizi beras ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan gizi beras pandanwangi Parameter Satuan Jumlah Kadar protein % 8,97 Kadar lemak % 0,32 Kadar gula pereduksi % 63,39 Fe ppm 4,65 Cu ppm 6,42 Kalori g/kg 14,81 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur (2001)
Sistem Produksi Beras Pandanwangi Beras merupakan produk turunan utama yang dihasilkan dari padi. Beras merupakan gabah yang telah dikupas kulit sekamnya dan telah mengalami proses penyosohan hingga warna putih (Sa’id et al. 2002). Selain beras, padi juga menghasilkan produk turunan berupa dedak, beras menir, sekam, dan lain-lain. Sistem produksi beras pandanwangi tidak jauh berbeda dengan varietas padi lainnya. Menurut Damardjati (2004), tahapan dalam budidaya padi secara umum terdiri dari pembibitan; pengolahan lahan; penanaman; pemeliharaan tanaman yang meliputi penyulaman padi, penyiangan, pengairan, dan pemupukan; dan pengelolaan hama dan penyakit.
7 Pemilihan Benih Benih pandanwangi yang digunakan adalah hasil seleksi atau roguing yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. Setelah dipanen diperlakukan seperti pada benih padi pada umumnya, yaitu dijemur sampai mencapai batas kadar air 12%, kemudian disimpan sampai mencapai umur dormansi untuk benih. Pemupukan Pupuk dasar sebanyak 50-75 kg Urea/ha sebelum 14 hari setelah tanam (HST) mulai 25-28 HST lakukan pengukuran dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) sampai umur 50 HST dengan selang waktu 7-10 hari sekali. Bila pada fase antara keluar malai sampai 10% berbunga, pengukuran pada daun kurang, diberikan 50 kg Urea/ha. Pupuk susulan I : 33 % urea (40-80 kg/ha) + 50% KCl (50-75 kg/ha) Pupuk susulan II : 33% urea (40-80 kg/ha) + 50 % KCl (50-75 kg/ha) Pengairan Pengairan merupakan suatu kegiatan mengalirkan air dari saluran irigasi ke petakan sawah sesuai dengan kebutuhan. Tujuan pengairan adalah untuk menjamin stabilitas keadaan air tanah sawah sesuai kebutuhan dan mempertahankan keadaan iklim mikro pertanaman padi. Pengairan dinyatakan efektif dan efisien saat memenuhi ketentuan berikut: a) Pengeringan lahan sawah pada saat umur 2-3 HST, selanjutnya digenangi air setinggi 2-3 cm. b) Pengairan dilakukan secara rutin setiap 2 hari setelah tandur sampai tanaman memasuki masa malai (berisi). c) Pada waktu 10 hari menjelang panen, lahan sawah dikeringkan dan tidak boleh diairi lagi. Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) Pengendalian hama dan penyakit adalah tindakan untuk menekan serangan atau hewan organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Tujuan pengendalian OPT adalah menghindari gangguan atas pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi yang diakibatkan oleh keberadaan hama dan penyakit tanaman. Pada subsistem onfarm, petani mengalami kendala berupa serangan hama keong dan hama tungro. Hama keong sawah jumlahnya sangat banyak terutama pada musim hujan, dan sampai saat ini belum terdapat pestisida yang dapat memberantas hama keong, oleh karena itu pemberantasan hama keong dilakukan dengan melakukan pengamatan rutin setiap hari baik pada siang maupun malam hari ke lahan sawah. Namun petani enggan melakukan hal tersebut sehingga akhirnya baik benih yang sedang disemai maupun bibit yang sudah ditanam habis dimakan keong. Oleh karena itu petani harus lebih banyak menggunakan menyemai benih untuk mengganti benih yang dimakan keong.
8 Pengendalian hama padi yakni menyemprotkan pestisida sesuai dengan kebutuhan, yakni ketika hama sudah terlihat menyerang tanaman padi. Penyemprotan umumnya dilakukan 2-3 kali dalam satu musim tanam dengan sprayer, sesuai dengan banyaknya hama. Obat yang digunakan sebagian besar masih berupa obat-obatan kimiawi baik padat maupun cair. Petani yang menggunakan obat organik yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti air tajin, pelepah daun pisang, bawang merah dan diracik sendiri jumlahnya masih sedikit. Pemanenan Waktu (umur) panen dilakukan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati et al. 2004). Perontokan dan Pembersihan Pengolahan gabah menjadi beras meliputi beberapa proses seperti perontokkan, pemecahan kulit (sekam), dan penyosohan. Gabah pandanwangi sangat melekat kuat pada malainya. Karena itu proses penggebotan tidak dapat dilakukan sebagaimana padi jenis lainnya yang ada di Indonesia. Sebelum dilakukan penggilingan dan penyosohan, gabah pandanwangi perlu dirontokkan dari batangnya dengan mesin perontok padi. Perontokan ini bertujuan membuang kotoran-kotoran dan benda-benda asing dari gabah sehingga beras giling yang dihasilkan terbebas dari kotoran-kotoran tersebut (Patiwiri 2006). Prinsip dasar perontokan ini hampir sama dengan proses pembersihan, yakni memanfaatkan perbedaan ukuran dan berat antara gabah dan benda asing. Benda asing yang berukuran besar antara lain jerami, gumpalan tanah, dan butiran batu. Benda asing yang berukuran lebih kecil dari gabah antara lain debu, pasir, serangga. Sedangkan benda asing yang berukuran hampir sama dengan gabah antara lain butir hampa, batu dan logam. Pemisahan benda-benda asing ini dilakukan dengan menggunakan aliran angin maupun ayakan. Hasil dari pemecahan kulit merupakan beras pecah kulit yang berwarna agak kecoklatan dan tidak bercahaya. Di samping tidak menarik secara visual, bekatul membuat rasa nasi yang dihasilkan kurang enak dan beras menjadi cepat tengik karena tingginya kandungan lemak di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan proses lebih lanjut untuk membuat beras menjadi lebih putih dan bersih. Proses ini dinamakan penyosohan. Berkaitan dengan kualitas proses penyosohan terdapat tiga besaran yang dipakai untuk mengukur yaitu derajat sosoh, hasil sosoh dan susut sosoh. Derajat sosoh adalah tingkat pembuangan lapisan bekatul dan lembaga pada beras pecah kulit. Semakin tinggi derajat sosoh maka kualitas penyosohan semakin baik. Standar sosoh yang diterapkan di Indonesia maupun negara-negara penghasil beras lainnya adalah derajat sosoh 90%, 95%, dan 100%. Hal ini didasarkan pada penghitungan bahwa bekatul yang
9 ada pada beras pecah kulit maksimal terdapat sebanyak 10%. Semakin tinggi derajat sosoh, semakin putih beras yang dihasilkan. Terdapat dua cara menggosok yang diterapkan pada mesin penyosoh untuk mendapatkan hasil beras yang bebas dari bekatul yaitu menggerinda dengan permukaan kasar dan menggesek dengan permukaan yang rata. Permukaan yang kasar berfungsi untuk mengikis lapisan bekatul yang terdapat pada beras pecah kulit sedangkan permukaan yang rata diperlukan untuk menghilangkan kulit ari sehingga diperoleh permukaan yang lebih mengkilap dan bersih. Penggilingan Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan lapisan aleuron, sebagian maupun seluruhnya agar menghasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang lapisan aleuron yang menempel pada beras. Selama penyosohan terjadi penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir patah. Sebagian besar gabah yang masuk ke dalam alat ini ada yang sudah terkupas kulitnya dan ada yang belum. Proses ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh gabah yang sekamnya benar-benar terbuang. Proses ini akan berjalan dengan baik apabila gabah memiliki kadar air antara 13-15 % (Patiwiri 2006). Pada kadar air yang lebih tinggi proses pengupasan akan sulit karena sekam sukar lepas dari gabahnya. Di samping itu bila kadar airnya lebih rendah maka butiran padi yang dihasilkan akan mudah pecah. Hal ini akan berdampak pada tinggi rendahnya rendemen beras patah dan menir yang dihasilkan. Mekanisme kerja huller hampir sama dengan mekanisme kerja alu yang digunakan oleh petani tradisional. Gerakan alu yang menumbuk butiran gabah pada bagian dasarnya memberikan tegangan geser pada sisi gabah yang menyebabkan sekam menjadi sobek dan terkupas. Prinsip ini digunakan untuk menggembangkan mesin-mesin pemecah kulit modern. Beberapa jenis mesin pemecah kulit ini antara lain engelberg husker, rubber roll husker, impeller husker, vaccuum husker. Mesin pemecah kulit yang banyak digunakan saat ini adalah tipe rol karet (rubber rollhusker) memecah sekam dengan dua buah rol karet yang dipasang berdekatan. Kedua rol karet diputar dengan kecepatan yang berbeda dan arah yang berlawanan (Patiwiri 2006). Pada proses penggilingan, lapisan terluar gabah (sekam) terlepas, maka dihasilkan beras pecah kulit. Beras pecah kulit sebagian besar tersusun dari endosperm (89-94%), sisanya pericarp (1-2%), aleuron dan tegmen (4-6%), dan lembaga (2-3%). Pada proses penyosohan, lapisan aleuron, lapisan pericarp, tegmen dan embrio dihilangkan sehingga yang tersisa adalah endosperm. Lapisan ini merupakan lapisan utama dari beras. Endosperm tersusun dari parenkima yang berdinding tebal, berbentuk lonjong, berisi granula pati yang bersifat tidak larut dalam air tapi akan terdispersi oleh pemanasan. Selain pati endosperm juga mengandung selulosa, protein, mineral, dan vitamin dalam jumlah kecil. Ada beberapa jenis mesin yang digunakan dalam penggilingan. Untuk pembersihan
10 digunakan mesin Open Double Sieve Preclener, Aspirator Precleaner, Drum Precleaner, Stoner, serta Magnetic Separator. Untuk mengupas sekam digunakan Engelberg, Disc Huller dan Rubber Roll. Untuk memisahkan beras pecah kulit dan sekam digunakan Husk Aspirator with Sucktion Blower, Husk Aspirator with Plansifter dan Closed Circuit Husk Separator (Tursina, 2013). Pengeringan Proses pengeringan perlu mendapat perhatian dalam rangka menghasilkan beras berkualitas tinggi. Proses penjemuran gabah dapat menghasilkan beras giling dengan mutu yang baik sepanjang tidak terganggu oleh hujan, menggunakan alas, dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam. Cara ini menghasilkan rendemen beras 57-60 % dengan kandungan beras kepala 84 persen (Natalia 2007).
Life Cycle Assessment (LCA) LCA merupakan suatu metode yang digunakan untuk meneliti dan menganalisis aspek lingkungan dan dampak potensial keseluruhan suatu umur produk dan siklus hidupnya dimulai dari perolehan bahan mentah lalu melewati proses produksi, pemakaian dan pembuangan. Analisis dengan menggunakan metode LCA akan memberikan alternatif yang dimunculkan didukung beberapa kriteria sehingga dalam pengambilan keputusan akan diperoleh alternatif model kebijakan yang optimal. Berdasarkan International Organization for Standardization (ISO 2006), tahapan model LCA terdiri atas definisi dari tujuan dan ruang lingkup, analisis inventori, impact assessment, dan interpretasi. Prinsip kerja LCA adalah dimulai dari input berupa bahan baku dan energi dan energi, dilanjutkan dengan pengambilan material dari alam, diproses menjadi bahan jadi, digunakan, dipelihara, dibongkar sampai digunakan kembali atau dibuang. Pada saat pengambilan bahan baku dialam, pengangkutan ke pabrik, proses pengolahan di pabrik sampai menjadi bahan jadi, pengangkutan ke tempat pemasangan akhir sampai pemanfaatannya, semuanya dilakukan dengan mekanisasi yang membutuhkan bahan bakar sebagai tolak ukur polusi dan kehijauan merupakan desain pembangunan yang memiliki metode yang paling sesuai dengan desain ekologis (Khan 2002). Gambar 2 menunjukan batasan metode LCA sederhana. Ekstraksi Bahan baku
Disposal
Transportasi
Transportasi
Produksi
Recycle
Transportasi
User
Transportasi
Gambar 2 Batasan metode LCA sederhana (Khan 2002)
11 Analisis LCA ditujukan untuk mengatasi dampak lingkungan dari suatu produk di seluruh siklus hidupnya dengan mengukur penggunaan dan konsumsi sumber daya, energi serta emisi dari setiap tahap dari perolehan bahan baku, kegiatan produksi hingga produk sampai ke tangan konsumen. Standar Internasional, ISO 14040 mendefinisikan prinsip dan kerangka dari analisis LCA sebagai salah satu teknik yang dikembangkan untuk mengidentifikasi dan menangani dampak dari kegiatan produksi suatu industri. Gambar 3 menunjukan kerangka dan tahapan yang dikembangkan ISO 14040 yang meliputi tujuan dan definisi ruang lingkup, analisis persediaan, penilaian dampak dan interpretasi (ISO 2006).
Gambar 3 Kerangka LCA (ISO 14040) Tahapan analisis inventori meliputi kumpulan data dan prosedur kalkulasi untuk mengukur input-input dan output-output yang relevan dari proses pembuatan suatu produk. Input dapat berupa bahan mentah, bahan bakar, material pembantu dan energi, sedangkan output dapat berupa produk, emisi, limbah, energi listrik, dan panas. Pada tahapan impact assessment akan dievaluasi dampak potensial lingkungan yang signifikan dengan menggunakan hasil analisis life cycle inventory (LCI). Metode LCA mampu memberikan gambaran terperinci mengenai dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari suatu industri yang hasilnya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih penggunaan bahan baku maupun proses yang digunakan sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pelaksanaan dan pembangunan industri tersebut. Penelitian yang menganalisis dampak lingkungan dengan menggunakan pendekatan LCA telah dilakukan untuk industri yang lebih umum seperti industri tebu dan industri gula. Penelitian dan penilaian LCA untuk komoditas beras telah dilakukan diberbagai negara di Asia, seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan India dengan ruang lingkup dan variabel pengamatan yang berbeda. Hatcho et al. (2012) membatasi ruang lingkup analisis dampak lingkungan pada produksi beras di daerah Shiga Jepang pada tahap pembenihan hingga proses produksi tanpa melihat tata guna lahan, pengolahan limbah dan pasca panen seperti konsumsi. Shafie et al. (2011) menganalisis dampak lingkungan pada proses penggilingan padi di Malaysia dengan membandingkan penggunaan energi batubara dengan gas alam. Penelitian dampak lingkungan dari proses penggilingan padi juga dilakukan oleh Kasmaprapruet et al. (2009).
12 Beberapa penelitian terdahulu yang mempelajari dampak lingkungan dari proses produksi industri ditujukan pada Tabel 4. Tabel 4 Penelitian terkait dengan LCA Penulis Tema Penelitian Kasmaprapruet et al. Life Cycle Assessment of Milled Rice Production: (2009) Case Study in Thailand Hokazono et al. Potentialities of organic and sustainable rice (2009) production in Japan from a life cycle perspective Shafie et al. (2011) Life cycle assessment (LCA) of electricity generation from rice husk in Malaysia Yoshikawa et al. Life-cycle assessment of ecologically cultivated rice (2012) applying DNDC-Rice model Hatcho et al. (2012) Assessment of Environment-friendly Rice Farming Through Life CycleAssessment (LCA) Frischknecht et al. Assessment of Rice Cultivation with Ecological (2012) Scarcity Japan Reddy et al. (2013) A Life Cycle Assessment (LCA) of Greenhouse Gas Emissions from SRI and Flooded Rice Production in SE India Thanawong et al. The environmental impacts of lowland paddy rice: (2013) A case study comparison between rainfed and irrigated rice in Thailand Goal & Scope Definition Merupakan petunjuk yang dapat membantu konsistensi dari penelitian Life Cycle Asessment. Tujuan harus menunjukkan alasan dilakukannya penelitian dan untuk apa penelitian tersebut. Ruang lingkup berupa penjelasan penelitian, metode yang dipakai, asumsi dan batasan. Idealnya, fase ini akan menghasilkan definisi dari prinsip alokasi, batasan sistem, asumsi sistem, unit fungsional dan kualitas data (Sitepu 2010). Life Cycle Inventory (LCI) Tujuan dari pembangunan life cycle inventory adalah untuk menunjukkan pengaruh lingkungan (bahasa umum untuk emisi dan semua input dan output dari dan ke lingkungan) per bagian life cycle (IPCC 2006). Dengan kata lain, life cycle inventory digunakan dalam pencarian area yang memiliki kesempatan besar untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan melalui konservasi sumber daya dan pengurangan emisi. Nilai utama dari produk akan berdampak pada life cycle lain. Pada tahap inventori, model terbuat dari sistem teknik yang kompleks terdiri dari produksi, transportasi, penggunaan dan pembuangan produk. Tahap ini menghasilkan flow sheet atau process tree dengan semua proses yang relevan. Proses pada semua input dan output yang relevan dikumpulkan.
13
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Warungkondang dan Kecamatan Gekbrong di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Pertimbangan terhadap pemilihan lokasi penelitian ini adalah : (i) daerah penghasil utama beras pandanwangi ; (ii) dua kecamatan tersebut telah menjalankan kegiatan produksi berdasarkan SOP (Standar Operasional Prosedur) sesuai anjuran pemerintah daerah. Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama rentang waktu November 2014 sampai Februari 2015.
Metode Penentuan Sampel Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung terhadap para petani pelaku budidaya pandanwangi dan penyuluh pertanian. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah purposive sampling atau pemilihan secara sengaja. Pertimbangan penentuan sampel dalam penelitian ini adalah petani yang benar-benar melakukan budidaya pandanwangi sepanjang tahun karena tidak semua petani di Cianjur melakukan budidaya pandanwangi. Terdapat petani yang tidak membudidayakan pandanwangi sama sekali dan terdapat pula petani yang melakukan budidaya kombinasi antara varietas pandanwangi dan varietas padi lainnya yang dianggap memberikan nilai keuntungan lebih. Sedangkan pemilihan lokasi penggilingan beras dilakukan berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana produksi yakni petani dan usaha perseorangan yang memiliki penggilingan beras dengan fasilitas mesin perontok malai pandanwangi. Jumlah responden pada proses pengumpulan data penelitian lapang adalah sebagai berikut : 1) Petani yang membudidayakan padi pandanwangi sebanyak 6 petani terdiri dari 3 petani dari kecamatan Gekbrong dan 3 petani dari Kecamatan Warungkondang. 2) Petani dan usaha perseorangan yang memiliki pabrik penggilingan beras sebanyak 4 petani
Jenis Data Data penelitian yang digunakan dalam analisis diperoleh dari proses inventarisasi keseluruhan proses produksi dan input produksi beras pandanwangi di Cianjur Jawa Barat. Penelitian dan pengumpulan data dilakukan di dua kecamatan yang mewakili daerah penghasil utama beras pandanwangi di Kabupaten Cianjur yaitu Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang.
14 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kepada petani, penyuluh dan pelaku beras pandanwangi. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terstuktur dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun. Data sekunder diperoleh dari penelusuran bahan pustaka terkait penelitian. Data sekunder terdiri atas data luas lahan, data sarana dan proses dalam sistem produksi pandanwangi yang diperoleh dari Dinas Pemerintahan terkait pada tingkat kecamatan, kabupaten serta provinsi, seperti Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPBTPH) Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang. Data penelitian dikelompokan berdasarkan tahapan proses yang ada dalam sistem produksi beras pandanwangi. Tabel 5 menunjukan kelompok dan jenis data yang dikumpulkan selama penelitian penelitian. Tabel 5 Data yang dikumpulkan selama penelitian Tahapan Proses Budidaya Pandan Wangi
Transportasi Produksi Beras
Jenis Data Luas lahan Alat & Mesin Operasional Energi Listrik Material bahan baku : Benih Pupuk Pestisida Air irigasi Konsumsi Bahan bakar Alat & Mesin Produksi Energi Listrik Bahan Tambahan
Unit (satuan) hektar
kwh kg kg liter m3 liter kwh kg
Metode Pengolahan dan Analisis Data Tahapan penelitian dimulai dari menentukan tujuan dan ruang lingkup, dilanjutkan dengan penentuan asumsi dan batasan penelitian. Pengumpulan data dilapangan menghasilkan input berupa data aktivitas seperti luas lahan, penggunaan bahan baku, bahan bakar dan input produksi lainnya. Alur dan tahapan pelaksanaan penelitian dijelaskan pada Gambar 4. Mulai
Menentukan Tujuan & Ruang Lingkup
Studi Literatur
Menentukan Asumsi & Batasan
Selesai
Analisis & Interpretasi
Pengelompokan Data Life Cycle Inventory
Menentukan Input (Resource) & Output (Emisi)
Gambar 4 Tahapan penelitian
15 Studi Literatur Pada tahap studi literatur penulis melakukan pemahaman materi dan mencari referensi baik dari buku-buku, jurnal, web dan yang lainnya berkaitan dengan studi LCA. Penentuan Asumsi dan Batasan Pada tahap ini menentukan tujuan analisis LCA beras varietas pandanwangi meliputi ruang lingkup dan asumsi yang menjadi batasan dalam pengelolaan dan pengolahan input data yang diperoleh berupa pohon proses. Tahap ini meliputi batasan sistem, asumsi sistem serta unit fungsional. Batasan analisis dimulai dari tahapan persiapan lahan yang dilakukan petani dan pelaku usaha pandanwangi hingga proses produksi tanpa melihat tata guna lahan, pengolahan limbah dan pasca panen seperti konsumsi. Pengelompokan Data dan Pembangunan LCI (Life Cycle Inventory) Pada tahap ini, inventori data dibangun dan dikembangkan yang terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu budidaya, produksi beras (proses penggilingan), dan transportasi. Analisis dan Interpretasi Setelah keseluruhan tahap yang terjadi pada sistem produksi beras pandanwangi diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, data aktivitas dikelompokan berdasarkan tahapan produksi yang akan dianalisis. Berdasarkan data tersebut kemudian dilakukan perhitungan dan analisis untuk memperoleh nilai estimasi emisi yang dapat ditimbulkan dari tiap tahapan proses produksi. Analisis emisi yang dilakukan difokuskan pada emisi gas rumah kaca (GRK) berupa emisi CO2 dan emisi non CO2. Perhitungan nilai emisi CO2 per ton hasil beras pandanwangi berdasarkan metode IPCC dapat diperoleh melalui perkalian antara informasi aktivitas manusia dalam jangka waktu tertentu (data aktivitas, DA) dengan emisi/serapan per unit aktivitas (faktor emisi/serapan, FE). Secara umum, persamaan untuk pendugaan emisi dan serapan GRK dapat ditulis dalam bentuk persamaan sederhana berikut: Emisi/Penyerapan GRK = AD x EF (1) Dimana : AD : EF :
data aktivitas yaitu data kegiatan pembangunan atau aktivitas manusia yang menghasilkan emisi atau serapan GRK meliputi data luas lahan faktor emisi atau serapan GRK yang menunjukkan besarnya emisi/serapan per satuan unit kegiatan yang dilakukan.
Metode yang digunakan untuk estimasi net energi adalah dengan konversi penggunaan energi kepada satuan energi standar (Joule). Untuk mendapatkan nilai kebutuhan energi dalam setiap produksi 1 ton beras menggunakan persamaan: En = n x CV (2)
16 Dimana : En = Energi n = volume inventori CV = nilai konversi energi Emisi CH4 (Metan) Emisi CH4 dihitung dengan mengalikan faktor emisi harian dengan lama budidaya padi sawah dan luas panen dengan menggunakan persamaan berikut : CH4 Rice = ∑
x 10-6
(3)
Dimana : CH4Rice : EFi,j,k : ti,j,k : Ai,j,k : i, j, dan k :
Emisi metan dari budidaya padi sawah (Gg CH4 per tahun) Faktor emisi untuk kondisi i, j, dan k (kg CH4 per hari) Lama budidaya padi sawah untuk kondisi i, j, dan k (hari) Luas panen padi sawah untuk kondisi i, j, dan k (ha per tahun) Mewakili ekosistem berbeda: ( i) rezim air, (j) jenis dan jumlah pengembalian bahan organik tanah, dan (k) kondisi lain di mana emisi CH4 dari padi sawah dapat bervariasi
Persamaan untuk mengoreksi faktor emisi baseline ditunjukkan pada persamaan berikut: EFi = (EFc x SFw x SFp x SFo x SFs,r) Dimana : EFi : Efc Fw
: :
SFp
:
SFo
:
SFs,r
:
(4)
faktor emisi harian yang terkoreksi untuk luas panen tertentu (kg CH4 per hari) faktor emisi baseline untuk padi sawah dengan irigasi terus-menerus dan tanpa pengembalian bahan organik Faktor skala yang menjelaskan perbedaan rejim air selama periode budidaya Faktor skala yang menjelaskan perbedaan rejim air sebelum periode budidaya Faktor skala yang menjelaskan jenis dan jumlah pengembalian bahan organik yang diterapkan pada periode budidaya padi sawah Faktor skala untuk jenis tanah, varietas padi sawah dan lain-lain, jika tersedia
Emisi CO2 Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea dihitung dengan persamaan berikut: CO2-Emission = (MUrea x EFUrea) (5) Dimana :
17 CO2-Emission Murea EFUrea
: emisi C tahunan dari aplikasi urea (ton CO2 per tahun) : jumlah pupuk Urea yang diaplikasikan (ton per tahun) :faktor emisi (ton C per urea). Default IPCC (Tier 1) untuk faktor emisi urea adalah 0,20 atau setara dengan kandungan karbon pada pupuk urea berdasarkan berat atom (20% dari CO(NH2)2)
Emisi N2O dari Pengelolaan Tanah Persamaan untuk menduga emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola ditunjukan pada persamaan (6) yang menggambarkan proses volatisasi N ke atmosfer (N2OATD) N2O(ATD)-N = [(FSN x FracGASF)+((FON +FPRP) x FracGASM)] x EF4 (6) Dimana : N2O(ATD)–N : jumlah tahunan N2O–N yang dihasilkan volatisasi N ke atmosfer dari tanah yang dikelola (kg N2O–N per tahun) FracGASF : fraksi pupuk N sintetis yang bervolatisasi sebagai NH3 dan NOx (kg N tervolatisasi per kg N yang digunakan) FracGASM : fraksi pupuk organik N (FON) dan urin dan kotoran ternak yang dideposit ternak (FPRP) yang tervolatisasi sebagai NH3 dan NOx (kg emisi Non CO2 dari pembakaran biomasa N tervolatisasi per kg of N yang diaplikasikan atau dideposit) EF4
: faktor emisi N2O dari deposit N pada tanah dan permukaan air [kg N–N2O per (kg NH3–N + NOx–N tervolatisasi)]
Emisi Non CO2 dari Pembakaran Biomasa Persamaan yang digunakan untuk menghitung emisi non-CO2 dari biomasa yang dibakar adalah: Lfire= A x MB x Cf x Gef x103
(7)
Dimana : Lfire A MB Cf Gef
: Jumlah emisi GRK dari pembakaran (ton CH4, N2O, CO dan NOx) : Luas area yang dibakar (ha) : Massa bahan yang tersedia untuk pembakaran (ton/ha) (termasuk biomasa, serasah, dan kayu mati) : Faktor pembakaran : Faktor emisi (g/kg bahan kering yang dibakar)
Emisi Penggunaan Bahan Bakar Persamaan umum yang digunakan untuk menghitung emisi GRK dari pembakaran bahan bakar adalah sebagai berikut : Emisi GRK(kg/tahun)=Konsumsi Energi (TJ/ tahun) x Faktor Emisi (kg/TJ) (8)
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Pandanwangi Prospek pengembangan usaha dan budidaya padi pandanwangi memiliki harapan yang cukup cerah untuk masa-masa yang akan datang karena kebutuhan akan beras masih cukup tinggi, lebih lanjut varietas lokal unggulan Cianjur ini memiliki kualitas dan karakteristik unik dibandingkan dengan varietas nasional lainnya, tekstur nasi pulen dan rasa nasi yang enak. Potensi pengembangan padi pandanwangi tidak dapat berjalan tanpa didukung oleh ketersediaan lahan. Tabel 6 menunjukan potensi luas lahan Kecamatan Warungkondang. Tabel 6 Potensi Luas Lahan Kecamatan Warungkondang Desa Irigasi Teknis dan setengah teknis (Ha) Bunikasih 181,39 Bunisari 194,03 Cieundeur 132,57 Cikaroya 190,65 Cisarandi 130,66 Ciwalen 336,61 Jambudipa 113,99 Mekar wangi 110,05 Sukamulya 117,61 Sukawangi 229,44 Tegallega 122,72 Total 1.859,72 Sumber : Hasil Interpretasi Peta Citra PUSDATIN (2010) Sedangkan Tabel 7 menunjukan potensi dan ketersediaan lahan di Kecamatan Gekbrong Tabel 7 Potensi Luas Lahan Kecamatan Gekbrong Jenis Tanah Sawah Irigasi Teknis Irigasi ½ Teknis Irigasi sederhana Irigasi Non PU Tadah Hujan Total Sumber : www.cianjurkab.go.id
Luas (Ha) 274 33 565 19 891
19 Sistem Produksi Pandanwangi Pandanwangi merupakan varietas lokal unggul daerah Cianjur yang memiliki karakteristik mutu spesifik yaitu beras dengan aroma pandan, rasa nasi yang enak dan tekstur nasi pulen. Budidaya padi pandanwangi hingga menghasilkan beras yang siap dikonsumsi oleh masyarakat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan varietas padi nasional lainnya yaitu sekitar 155 hari sampai 160 hari, sehingga dalam 1 tahun hanya dilakukan maksimal 2 kali masa tanam yaitu : - Masa Tanam 1 (MT1) : Desember/Januari - Masa Kering (MK) : April/Mei - Masa Tanam 2 (MT 2) : Agustus/September Persiapan Lahan Tahapan persiapan lahan merupakan kegiatan mempersiapkan lahan sejak setelah didiamkan pasca panen sampai siap ditanam. Tahapan persiapan lahan terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu menetan, mengawurkan jerami, membajak lahan menggunakan traktor, meratakan tanah, menggenangi sawah dengan air, mengeringkan sawah, dan membuat garis untuk jarak tanam benih padi. Pengolahan tanah diperlukan untuk memanipulasi mekanisme biologi tanah dan memodifikasi kondisi tanah agar menjadi media yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Pengolahan tanah juga dapat digunakan untuk memberantas gulma dan mengolah sisa-sisa tanaman. Pada tahap pengolahan tanah, alat dan mesin pertanian yang biasa digunakan adalah cangkul, traktor, tenaga kerbau, garu, bajak parang dan caplak. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali. Pengolahan tanah pertama dilakukan setelah proses pembersihan gulma dan sisa-sisa tanaman setelah panen selesai dilakukan. Petani menyebarkan jerami yang merupakan limbah buangan dari panen padi ke lahan sawah. Jerami yang sudah menyebar di seluruh permukaan sawah kemudian didiamkan selama satu hari satu malam sampai membusuk. Jerami yang dibusukkan di lahan ini berfungsi sebagai pupuk organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah dan membuat daun padi lebih berwarna hijau. Sekitar 15 hari setelah jerami disebar, lahan sawah dibajak menggunakan traktor yang dilengkapi dengan papan untuk perataan tanah. Proses pembajakan tanah ditunjukan pada Gambar 5.
20
Gambar 5 Penggunaan traktor pada pengolahan lahan Saat ini petani pandanwangi di kecamatan Gekbrong dan Warungkondang sudah tidak lagi menggunakan tenaga kerbau untuk pengolahan tanah. Keseluruhan proses pengolahan tanah telah menggunakan traktor. Traktor yang digunakan oleh petani merupakan traktor sewaan borongan dengan tenaga kerja manusia sebagai operatornya. Lahan sawah yang sudah dibajak diratakan, kemudian digenangi melalui saluran air (kemalir) selama 3 hari. Proses terakhir adalah pengeringan sawah dan membuat jarak tanam padi menggunakan caplak. Proses terakhir dalam tahapan persiapan lahan ini umumnya bersamaan dengan umur benih 20-25 hari setelah tanam. Proses pencaplakan dengan membuat pola dan jarak tanam ditunjukan pada Gambar 6. Proses pencaplakan membutuhkan satu tenaga kerja pria.
Gambar 6 Proses pembuatan pola dan jarak tanam dengan pencaplakan Diantara proses persiapan lahan, dilakukan kegiatan persemaian yaitu bedengan tanah atau tempat khusus yang diperuntukan untuk menaburkan benih
21 atau media untuk menumbukan benih menjadi bibit sampai tercapai fase bibit siap ditanam dilapangan. Tujuan kegiatan persemaian adalah untuk mempermudah penanaman, menghemat benih, memaksimalkan tumbuhnya bibit serta mendapatkan bibit siap tanam. Luas persemaian benih yang dianjurkan oleh PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yang bertugas di kabupaten Cianjur adalah 4 persen dari luas tanam padi, misalnya untuk luas tanam 1.000 m 2, maka luas persemaiannya adalah 40 m2. Jumlah bibit yang optimal untuk ditanam adalah sebanyak 25 kg/ha. Keadaan aktual dilapangan memerlukan cadangan bibit untuk persemaian. Hal tersebut dikarenakan tidak seluruh bibit yang disemai tumbuh menjadi benih (ada bibit yang mati) serta banyaknya hama berupa keong yang memakan bibit yang sedang disemai. Ketentuan umur benih yang ditanam adalah kurang dari 21 hari setelah bibit disebar. Setelah bibit yang disemai mencapai umur 20-25 hari, pada saat tersebut pula lahan sawah sudah siap ditanam. Kegiatan mencabut benih padi dari tempat persemaian di wilayah Cianjur dikenal dengan istilah ngababut. Setelah benih padi dicabut, maka benih tersebut siap ditanam. Petakan lahan persemaian dan kegiatan ngababut pada proses persemaian ditunjukan pada Gambar 7.
Gambar 7 Petakan lahan dan proses persemaian pandan wangi
Penanaman Penanaman adalah menempatkan bibit padi pada titik yang telah diberikan tanda dengan menggunakan alat caplak. Salah satu komponen teknologi pilihan yang dilakukan petani berdasarkan anjuran PPL adalah menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah pola tanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Tujuan dari penerapan sistem tanam ini adalah untuk meningkatkan populasi tanaman padi per hektarnya, yakni dari 160.000 rumpun/ha dengan sistem tanam tegel (yang umumnya diterapkan oleh petani) menjadi sekitar 170.000 rumpun/ha dengan sistem tanam legowo 4, bahkan 231.000 rumpun per ha dengan legowo 2.
22 Proses penanaman dilakukan dengan bibit muda (< 21 hari setelah sebar) pada kedalaman 1-2 cm sebanyak 1-3 batang/rumpun/lubang. Sisa bibit yang telah dicabut pada proses persemaian diletakkan di bagian pinggir petakan, nantinya digunakan untuk menyulam. Penyulaman merupakan kegiatan penanaman kembali bibit-bibit pada titik tanam yang kosong akibat tanaman yang mati atau rusak. Tanaman padi yang rusak atau mati biasanya diakibatkan oleh serangan keong mas terutama pada saat musim hujan. Tujuan penyulaman adalah mempertahankan jumlah tanaman per hektar sesuai jarak tanamnya, dengan demikian akan diperoleh jumlah tanaman normal dalam satu kesatuan luas tertentu sesuai dengan jarak tanam yang digunakan. Penyulaman dilakukan pada 7 hari setelah tanam (HST) dengan bibit dari varietas dan umur yang sama. Setelah ditanam, air irigasi dibiarkan macak-macak (1 – 3 cm) selama 7-10 hari. Penanaman pandanwangi membutuhkan 5-6 tenaga kerja wanita. Proses penanaman padi pandanwangi ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8 Penanaman padi pandan wangi
Pemupukan dan Pengendalian OPT Pemupukan adalah tindakan memberikan tambahan unsur hara pada kelompok tanah, baik langsung maupun tak langsung untuk menyediakan bahan makanan bagi tanaman. Tujuan pemupukan adalah untuk memperbaiki kesuburan tanah agar tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup untuk menampilkan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas produk sesuai dengan potesi varietasnya. Tingkat kesuburan tanah beragam di setiap daerah karena perbedaan sifat fisik dan kimianya, dengan demikian kemampuan tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman jelas berbeda. Pemupukan bertujuan untuk menambah penyediaan hara sehingga mencukupi kebutuhan tanaman dalam proses tumbuh dan berproduksi dengan baik. Agar efisien, takaran pupuk disesuaikan dengan kondisi lahan setempat. Untuk pupuk SP36 dan KCI, takarannya disesuaikan dengan ketersediaan P dan K dalam tanah. Sedangkan untuk pupuk urea, takaran dan
23 waktu pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dengan menggunakan teknologi Bagan Warna Daun (BWD). Pemupukan dilakukan secara kimiawi maupun organik. Pemupukan organik padat diberikan pada saat pengolahan dan pembajakan terakhir. Bahan organik yang digunakan diperoleh dari limbah hortikultura, jerami, sekam, sampah organik lainnya dan juga kotoran hewan dengan dosis 2 ton/ha. Sedangkan penggunaan pupuk dan zat tambahan lain yang diperlukan tanaman padi pandanwangi ditunjukan pada Tabel 8. Tabel 8 Pemakaian pupuk dan zat tambahan pada budidaya pandanwangi (/ha) Tahapan Proses Persemaian Pengolahan Lahan (Pemupukan dasar) Penyiangan 1 Penyiangan 2 Pemupukan Susulan Pengendalian OPT
Umur Tanaman 0-15 Hst
30 Hst 45 Hst
Jenis Pupuk
Dosis Pupuk
Urea Phonska Pupuk organik Urea Urea Phonska Pestisida cair
50 kg 66 kg 2000 kg 50 kg 50 kg 55kg 10-50 liter (sesuai kebutuhan)
Sumber : Olahan (2016) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) dilakukan untuk menekan serangan hewan Organisme Pengganggu Tumbuhan yang berada dilingkungan lahan tempat budidaya tanaman padi berlangsung. Hama yang kerap mengganggu budidaya pandanwangi di daerah Gekbrong dan Warungkondang adalah keong mas. Pengendalian OPT yang dilakukan petani adalah dengan menggunakan pestisida cair merek bionano, biosuper. Pestisida cair yang digunakan petani pandanwangi Gekbrong dan Warungkondang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Pestisida cair merek bionano dan biofarm
24 Pemanenan Pemanenan merupakan proses pemotongan rumpun padi apabila sudah mencapai tahap pematangan/masak. Perbedaan yang dimiliki oleh teknik budidaya pandanwangi dibandingkan varietas padi jenis lainnya, antara lain terletak pada awal proses pengolahan lahan dan pemanenannya. Alat panen yang biasa digunakan untuk memanen beras pandanwangi adalah gunting atau ani-ani. Alasan penggunaan alat ini karena padi pandanwangi memiliki postur batang yang yang tinggi dengan butir padi yang melekat kuat pada malainya. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan ani-ani dalam pemotongan menyisakan tangkai malai lebih kurang 2 s/d 3 cm dan pangkal malai. Kuatnya butiran padi yang terikat ini menyebabkan pandanwangi sulit dirontokkan dengan cara tradisional (penggebotan), melainkan harus menggunakan mesin perontok padi. Proses pemanenan ditunjukan pada Gambar 10.
Gambar 10 Proses pemanenan & alat panen Penanganan Pasca Panen Pengeringan Setelah proses pemanenan, malai pandanwangi yang diperoleh petani akan diangkut dengan menggunakan karung ke gudang atau tempat penggilingan. Pengeringan gabah perlu dilakukan karena gabah dimiliki petani adalah gabah kering panen (GKP) yang masih mengandung kadar air relatif tinggi sehingga harus dijemur untuk memperoleh beras dengan kualitas baik. Kadar air gabah sebelum proses pengeringan sekitar 20-25%. Aktivitas pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air hingga kadar air gabah hanya berkisar 12-14%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada beras yang dihasilkan karena tekstur yang lunak. Proses pengeringan dapat dilakukan secara manual atau dengan menggunakan mesin Pengeringan gabah pandanwangi di kecamatan Warungkondang dan Gekbrong masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan tenaga surya atau matahari selama 6-8 jam per hari untuk jangka
25
Gambar 11 Proses pengeringan gabah waktu 2-3 hari sampai mencapai kadar air gabah 12-14%. Proses pengeringan dengan menggunakan metode penjemuran secara alamiah ditunjukan pada Gambar 11. Penggilingan Pengolahan butir padi menjadi beras merupakan salah satu tahapan pascapanen. Sistem penggilingan padi merupakan rangkaian mesin yang berfungsi untuk melakukan proses giling gabah, yaitu dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras siap konsumsi. Menurut Tursina (2013) proses penggilingan yang mengubah gabah menjadi beras akan memberikan nilai tambah pada gabah sebesar 400-600%. Lebih lanjut, penggilingan padi merupakan pusat pertemuan antara produksi, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran gabah. Terdapat beberapa pabrik penggilingan yang ada di kecamatan Warungkondang dan Gekbrong yang menjadi tempat para petani dan pelaku usaha pandanwangi untuk mengolah hasil panen yang diperoleh menjadi beras yang siap dipasarkan dan dikonsumsi. Pabrik penggilingan beras tersebut dimiliki dan dikelola oleh perseorangan. Rata-rata pabrik penggilingan memiliki luas laan kurang dari 1 ha. Pabrik tersebut terbagi atas beberapa bagian, diantaranya : Tempat penjemuran, pabrik utama, tempat penyimpanan karung limbah sisa proses penggilingan beras berupa dedak, sekam, dll. Gambar 12 menunjukan salah satu pabrik penggilingan beras yang ada di kecamatan Warungkondang milik Bapak Mubarok.
Gambar 12 Pabrik penggilingan beras
26 Perbedaan yang dimiliki oleh teknik budidaya pandanwangi dibandingkan varietas padi jenis lainnya, salah satunya terletak pada proses pemanenannya. Alat panen yang biasa digunakan untuk memanen beras pandanwangi adalah gunting atau ani-ani. Alasan penggunaan alat ini karena padi pandanwangi memiliki postur batang yang tinggi dengan butir padi yang melekat kuat pada malainya. Proses perontokan pada tanaman padi varietas pandanwangi hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan mesin perontok karena tidak dapat dilakukan secara manual. Kuatnya butiran padi yang terikat ini menyebabkan pandanwangi sulit dirontokkan dengan cara tradisional (penggebotan), melainkan harus menggunakan mesin perontok padi. Di Indonesia, sistem penggilingan padi umumnya terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu husker, separator, dan polisher. Masing-masing pabrik penggilingan padi memiliki konfigurasi mesin yang berbeda-beda. Konfigurasi mesin penggilingan beras yang dimiliki pabrik penggilingan di Warungkondang dan Gekbrong memiliki pondasi bangunan utama dua tingkat yang terbuat dari kayu, terdiri dari mesin perontok padi untuk memotong malai pandanwangi, mesin husker dan tempat penampungan hasil proses penggilingan yang dilengkapi dengan mesin penggerak berupa diesel. Gambar 13 menunjukan mesin husker yang digunakan petani pandanwangi di Cianjur.
Gambar 13 Mesin husker Transportasi Kegiatan yang dilakukan pada proses produksi beras dimulai dari budidaya hingga ke tempat penggilingan padi akan melewati tahap transportasi untuk proses pemindahan sumber daya, bahan baku dan material yang dibutuhkan dapat berjalan dengan baik. Pada tahap budidaya penggunaan moda transportasi relatif kecil. Hal tersebut dikarenakan jarak antara lahan dengan rumah petani berdekatan. Setelah tahap budidaya selesai dilaksanakan, hasil panen akan diangkut ke gudang untuk disimpan terlebih dahulu atau langsung dibawa ke tempat penggilingan padi. Pengangkutan hasil panen dilakukan dengan menggunakan sepeda motor. Hal serupa terjadi pada kegiatan penggilingan padi dimana beras yang dihasilkan
27 akan diangkut kembali oleh masing-masing petani dengan menggunakan sepeda motor. Gambar 14 menunjukan jenis transportasi yang digunakan dalam kegiatan proses produksi beras pandanwangi.
Gambar 14 Transportasi hasil penggilingan padi Pengemasan Setelah semua tahap pada produksi beras telah dilewati, produk akhir akan dikemas dengan menggunakan karung berbahan dasar plastik. Peralatan lain yang juga dimiliki oleh usaha penggilingan padi adalah timbangan, mesin jahit karung, mesin pres plastik, dan tester kadar air gabah atau beras. Proses pengemasan ditunjukan pada Gambar 15.
Gambar 15 Proses pengemasan
Pengelolaan Produk Samping Proses produksi beras atau aktivitas penggilingan padi menghasilkan produk utama berupa beras dan produk samping seperti sekam, dedak, dan menir. Tanpa
28 pengelolaan limbah produksi yang baik, akan menghasilkan penumpukan sisa-sisa produksi dilingkungan pabrik. Produk samping dari proses penggilingan padi tidak dapat dihindari terutama karena proses produksi beras pandanwangi masih dilakukan secara tradisional dengan konfigurasi mesin pengolahan yang sederhana. Pada proses pemisahan gabah dari malai atau pemisahan sekam dan beras diperlukan tempat sebagai wadah untuk menampung hasilnya. Wadah yang digunakan biasanya berupa ember besar atau karung. Gambar 16 menunjukan tempat penampungan yang digunakan pada proses penggilingan.
Gambar 16 Penampungan hasil penggilingan Produk samping utama dari tahap penggilingan beras adalah sekam. Sekam merupakan kulit gabah yang telah terpisah dari beras. Jumlah sekam yang diperoleh pada proses ini cukup banyak sehingga pabrik penggilingan membutuhkan tempat khusus untuk menampung sekam tersebut. Sekam tersebut kemudian disimpan ke dalam karung untuk memudahkan proses pemindahan. Jika tidak dikelola dengan baik, sekam dengan jumlah yang relatif banyak dapat mempengaruhi kualitas udara dilingkungan pabrik. Pemilik tempat penggilingan beras biasanya menjual sekam tersebut untuk kebutuhan pakan ternak atau dikembalikan ke lahan pada tahap pengolahan lahan untuk menambah unsur hara pada tanah. Selain sekam, proses penggilingan beras juga menghasilkan menir. Menir merupakan beras yang berukuran kecil akibat hancur karena proses penggilingan gabah yang dilakukan beberapa kali. Patahan beras dapat mencapai 1/3 bagian dari beras kepala. Banyaknya beras yang hancur dapat mempengaruhi besarnya rendemen yang dihasilkan. Gambar 17 menunjukan tempat penampungan sekam.
29
Gambar 17 Tempat penampungan limbah sekam Selain proses penggilingan beras, tahap budidaya padi pandanwangi juga menghasilkan produk samping yang berpotensi menjadi limbah jika tidak dikelola dengan baik. Produk samping tersebut diantaranya adalah jerami. Jerami merupakan sisa-sisa proses pemanenan padi lebih banyak terdapat dilahan. Jerami dapat digunakan kembali oleh petani untuk mengembalikan unsur hara dalam tanah setelah satu musim tanam. Jerami dapat pula digunakan untuk menjaga lahan persemaian sebelum proses penanaman berlangsung. Oleh petani pandanwangi, jerami yang dihasilkan dari proses panen dikembalikan ke tanah. Namun, terdapat sebagian petani membakar jerami sisa panen tersebut dilahan. Gambar 18 menunjukan pemanfaatan jerami pada lahan persemaian.
Gambar 18 Pemanfaatan jerami pada lahan persemaian
30 Analisis LCA Tujuan dan Definisi Pada tahap ini menentukan tujuan analisis LCA beras varietas pandanwangi meliputi ruang lingkup dan asumsi yang menjadi batasan dalam pengelolaan dan pengolahan input data yang diperoleh berupa pohon proses. Tahap ini akan menghasilkan definisi dari prinsip alokasi, batasan sistem, asumsi sistem, unit fungsional dan kualitas data. Proses inventarisasi data dilapangan memberikan informasi keseluruhan tahap pada proses produksi beras pandanwangi, dimulai dari kegiatan budidaya, produksi hingga menghasilkan beras yang siap dikonsumsi. Gambar 19 menunjukan life cycle produksi beras pandanwangi. CO2,CH4, N2O
Bahan bakar Benih Pestisida Pupuk Bahan bakar
traktor
Budidaya
Jerami
Bahan bakar-transportasi
sekam Penggilingan
CO2,CH4, N2O
Bahan bakar
menir dedak
Mesin
Beras Pandanwangi
Gambar 19 Life cycle pandanwangi Input dan Output Sistem Produksi Sistem produksi padi pandanwangi memiliki dua tahap utama yaitu proses budidaya dan produksi hingga menghasilkan produk akhir berupa beras yang siap dikonsumsi. Kedua tahapan tersebut memerlukan input berupa bahan baku, energi dan material yang berbeda. Output pada tahap pertama dapat menjadi input bagi tahap kedua. Penggunaan dan konsumsi sumberdaya pada tahap budidaya lebih
31 banyak dibandingkan pada tahap produksi. Pada tahap budidaya, lebih banyak membutuhkan bahan baku berupa benih, pupuk, pestisida dan air untuk kebutuhan irigasi di lahan. Kebutuhan energi pada tahap ini dapat terpenuhi dengan penggunaan traktor pada proses pengolahan lahan. Penggunaan traktor membutuhkan bahan bakar berupa solar. Untuk setiap masa tanam, petani menyewa traktor dengan sistem borongan termasuk bahan bakar dan tenaga pria sebagai operator penggerak mesin. Bahan bakar solar yang digunakan pada proses pengolahan lahan sekitar 20 liter. Input pada proses produksi berupa gabah yang merupakan hasil panen pada tahap budidaya. Proses pada tahap ini membutuhkan energi yang berasal dari penggunaan alat dan mesin pada pabrik penggilingan beras. Konfigurasi mesin yang digunakan pada tahap ini menggunakan diesel sebagai mesin penggerak. Mesin penggerak tersebut membutuhkan bahan bakar berupa solar. Jumlah solar yang digunakan bergantung pada besarnya kapasitas mesin ditiap pabrik penggilingan beras. Kebutuhan rata-rata solar tiap produksi sebesar 20 liter. Pada pabrik penggilingan beras dengan skala usaha yang lebih besar menggunakan energi listrik untuk menjalankan proses produksinya. Namun, kebutuhan energi listrik pada usaha penggilingan beras di wilayah Warungkondang dan Gekbrong relatif kecil hanya terbatas pada penggunaan lampu untuk penerangan pabrik. Life Cycle Inventory (LCI) Tujuan LCI (Life Cycle Inventory) adalah untuk menunjukkan pengaruh lingkungan, emisi yang dapat dihasilkan dari semua input dan output produksi beras pandanwangi. Dengan kata lain, LCI digunakan dalam pencarian area yang memiliki kesempatan besar untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan melalui konservasi sumber daya dan pengurangan emisi. Setelah melakukan pengumpulan data di lapangan, diperoleh seluruh input yang diperlukan pada setiap tahap pada proses produksi beras pandanwangi. Pembangunan data LCI pandanwangi akan membantu pengembangan pandanwangi sebagai salah satu varietas unggul lokal di Indonesia dengan lebih komprehensif dengan memperhatikan aspek lingkungan. Pembangunan database inventori diawali dengan tahap inventarisasi sumber daya dan penggunaan bahan baku pada keseluruhan siklus. terdiri dari produksi, transportasi, pemanfaatan dan pembuangan produk. Siklus hidup suatu produk melibatkan berbagai macam proses dalam siklusnya. Membuat suatu model life cycle dibutuhkan suatu pengumpulan data dari semua proses yang terjadi. Proses tersebut dapat dibuat sebagai diaram pohon proses. Tabel 9 menunjukan LCI sistem produksi beras pandanwangi.
32 Tabel 9 Life Cycle Inventory (LCI) beras pandanwangi Inventori
Pengolahan Tanah Pupuk NPK (Phonska) Solar Jerami Budidaya Benih Pemupukan Phonska Urea KCl OPT Pestisida (“Bionano”) Pemanenan Malai Transportasi Solar Penggilingan Solar listrik sekam Pengemasan Listrik
Satuan
Jumlah (per ha lahan)
Jumlah (per ton hasil)
kg liter kg
66,67 23,33 2000
13,07 4,58 392,16
kg
30,83
6,046
kg kg kg
54,17 150 58,33
10,62 29,41 11,44
liter
31,67
6,21
ton
8,17
1,60
liter
8,025
1,57
liter kwh kg
60
11,77
1300
254,91
kwh
2,295
0,45
Perhitungan Neraca Massa Proses Produksi Pandanwangi Gabah merupakan input produksi bagi usaha penggilingan padi. Ketersediaan gabah sangat mempengaruhi kelancaran proses penggilingan padi. Gabah dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis berdasarkan persentase kadar air yang terkandung dalam gabah, seperti Gabah Kering Panen (GKP), dan Gabah Kering Giling (GKG). Kadar air dalam gabah merupakan salah satu ukuran dari kualitas atau mutu gabah. GKP memiliki kadar air hingga persen, sedangkan GKG memiliki kadar air lebih kecil atau sama dengan 14 persen. Proses penggilingan padi memiliki produk akhir berupa beras. Rendemen beras giling merupakan beras yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penyosohan untuk membersihkan beras pecah kulit dari lapisan bekatul dan lembaganya. Rendemen beras giling dapat diperoleh dari perbandingan antar bobot beras giling yang dihasilkan dengan bobot berat gabah yang digiling
33 dikalikan seratus persen. Rendeman beras giling, secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : endemen ( )
Berat eras yang dihasilkan (output) Berat a a yang digiling (Input)
x
%
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi : Basis sesuai dengan kapasitas produksi harian sebesar 4-5 ton/hari. Kapasitas per batch =
= 2500 kg / batch
1. MKG Malai Kering Panen (MKP) mengalami penyusutan 25% menjadi malai kering giling (MKG)
MKP
Komponen masuk 8000 kg
Total
8000 kg
Komponen Keluar MKG 6000 kg Jerami 2000 kg Total 8000 kg
2. GKG Malai Kering Giling (MKG) mengalami penyusutan akibat dari proses pengeringan /penjemuran di bawah sinar matahari langsung 15% menjadi Gabah Kering Giling (GKG)
Komponen masuk MKG 6000 kg Total
Komponen Keluar GKG 5100 kg Penguapan udara 900 kg 6000 kg Total 6000 kg
3. Beras Pandanwangi Gabah Kering Giling (GKG) mengalami penyusutan 10% menjadi Beras
34 Komponen masuk Gabah 5100 kg Kering Giling Total
5100 kg
Komponen Keluar Beras 4590 kg Sekam Total
510 kg 5100 kg
Perhitungan Emisi Proses produksi suatu produk yang melibatkan penggunaan sumberdaya dan konsumsi energi dapat memberikan potensi pencemaran bagi lingkungan. Potensipotensi tersebut bergantung pada masukan sumberdaya atau input yang digunakan oleh pelaku usaha padi pandanwangi. Salah satu emisi yang dapat dianalisis pada sistem produksi pengolahan beras pandanwangi adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK merupakan salah indikator lingkungan yang dapat memberikan informasi dampak dari suatu proses produksi. Jenis/tipe GRK yang keberadaannya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6, dan tambahan gas-gas yaitu NF3, SF5, CF3, C4F9OC2H5, CHF2OCF2OC2F4OCHF2, CHF2OCF2OCHF2, dan senyawa-senyawa halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal, yaitu CF3I, CH2Br2, CHCl3, CH3Cl, CH2Cl2. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO2, CH4, dan N2O. Dari ketiga jenis gas ini, yang paling banyak kandungannya di atmosfer ialah CO2 sedangkan yang lainnya sangat sedikit sekali (Kementrian Lingkungan Hidup, 2012). Besarnya emisi GRK bergantung pada spesifikasi penggunaan lahan termasuk CO2 yang dihasilkan dari biomassa, kandungan bahan organik. Sedangkan emisi non-CO2 berasal dari pembakaran pada penggunaan lahan tertentu. Emisi non-CO2 yang dimasukan kedalam analisis adalah CH4 (Methane) dan N2O (Nitrous okside). Tabel 10 menunjukan nilai potensial pemanasan global dari emisi gas rumah kaca. Tabel 10 Nilai potensial pemanasan global emisi GRK Gas Rumah Kaca
Carbon dioxide Methane Nitrous oxide Sumber : IPCC, 2006
Rumus Kimia
CO2 CH4 N2O
Nilai Potensi Pemanasan Global (Nilai konversi CO2) 1 25 298
Berdasarkan hasil perhitungan emisi, diperoleh nilai emisi total yang dihasilkan dari proses produksi 1 ton beras pandanwangi adalah 1.711,15 kg
35 CO2eq/ton beras atau 1,71 kg CO2eq/kg beras. Nilai emisi yang diperoleh dari perhitungan ditunjukan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai perhitungan emisi karbon produksi pandanwangi Inventori Budidaya-Pemanenan N P K Pestisida Solar Emisi tahunan Transportasi solar Proses Produksi Solar Listrik Pengemasan listrik Total
satuan
Jumlah (per ton hasil)
Emisi (CO2eq/ton beras)
kg kg kg liter liter
29,41 23,69 11,44 6,21 4,57
172,94 23,92 6,52 68,11 12,21 1390,62
liter
1,57
4,20
liter kwh
11,77 0,88
31,41 0,79
kwh
0,45
0,41 1.711,15
Berdasarkan penelitian terdahulu, nilai emisi yang dihasilkan pada sistem produksi beras secara umum dihitung berdasarkan basis input bahan baku dan output produk akhir yang dihasilkan berupa nilai CO2 ekuivalen. Jika dibandingkan dengan penelitian LCA beras di negara lain terdapat perbedaan nilai. Yosikawa et al. (2012) menghitung nilai emisi CO2 dengan membandingkan budidaya konvensional dengan budidaya padi yang menggunakan pupuk organik dengan nilai emisi 2,25 kg CO2eq/kg beras dan 4,89 kg CO2eq/kg beras. Kasmaprapruet et al. (2009) memperoleh nilai emisi 2,92 kg CO2eq/kg beras. Tanji et al. (2002) mempelajari dampak lingkungan pada irigasi budidaya padi menghasilkan nilai emisi sebesar 2,2 CO2eq/kg beras. Penelitian Hatcho et al. (2012) mendapatkan nilai emisi 1,59 CO2eq/kg beras. Perbedaan nilai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah batasan ruang lingkup dalam analisis dan variabel pengamatan yang disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian. Rata-rata penelitian tersebut membatasi pada proses penggilingan padi seperti yang dilakukan Kasmaprapruet et al. (2009) di Thailand dan Shafie et al. (2011) di Malaysia. Shafie et al. (2011) menganalisis dampak lingkungan pada proses penggilingan padi di Malaysia dengan membandingkan penggunaan energi batubara dengan gas alam. Hatcho et al. (2012) membatasi ruang lingkup analisis dampak lingkungan pada produksi beras di daerah Shiga Jepang pada tahap pembenihan hingga proses produksi tanpa
36 melihat tata guna lahan, pengolahan limbah dan pasca panen seperti konsumsi. Perbandingan nilai emisi karbon pada produksi beras ditunjukan pada Tabel 12. Tabel 12. Perbandingan nilai emisi GRK produksi beras Penelitian Produksi Total Emisi (ton/ha) (kg CO2eq/kg beras) Penelitian Ini 5,1 1,71 Kasmaprapruet et al. (2009) 5 2,92 Hokazono et al. (2009) 4,9 3,06 Shafie et al. (2011) 3,8 1,5 Yoshikawa et al. (2012) 4,8 2,25 - 4,89 Hatcho et al. (2012) 5,6 1,59 Frischknecht et al. (2012) 4 1,93 Reddy et al. (2013) 4,8 – 7,6 1,84 - 2,13 Tanji et al. (2012) 5 2,2 Thanawong et al. (2014) 2,2 2,97-5,55
Sistem produksi beras pandanwangi membutuhkan energi masuk (input) sebesar 4.768,52 MJ/ton beras. Nilai terbesar ditunjukan pada tahap budidaya yaitu penggunaan pupuk dan pestisida. Sedangkan nilai energi keluar pada sistem sebesar 21.223,53 MJ/ton beras. Dari nilai tersebut dapat diketahui nilai NEV (Net Energy Value) sebesar 16.455,01 MJ atau 16,46 GJ yang merupakan nilai selisih antara energi masuk dan energi keluar pada proses produksi beras pandanwangi dan nilai NER (Net Energy Ratio) sebesar 4,45. Nilai NER menunjukan tingkat efisiensi teknologi yang digunakan dalam memberikan energi untuk masyarakat. Kebutuhan energi pada sistem produksi beras pandanwangi diperoleh dengan mengalikan nilai jumlah produksi dengan faktor konversi energi (Lampiran 6). Kebutuhan energi sistem produksi beras pandanwangi ditunjukan pada Tabel 13.
37 Tabel 13 Kebutuhan energi sistem produksi beras pandanwangi Inventori Budidaya-Pemanenan N P K Pestisida Solar Transportasi solar Proses Produksi Solar Listrik Pengemasan listrik Output Beras Limbah produksi (sekam)
Total Energi (MJ/ton beras) 4.768,52 1911,77 213,23 68,63 1927 164,66 56,63 423,41 3,18 1,62 21.223,53 17400 3.823,53
Emisi CH4 (Metan) Berdasarkan pengumpulan data dilapangan diperoleh data aktivitas (AD) yang diperlukan dalam penghitungan emisi CH4 pada sistem produksi beras pandanwangi : 1) Luas panen padi sawah dalam setahun (A) : luas panen kecamatan Warungkondang (780 Ha/musim) dan kecamatan Gekbrong (545 Ha/musim). Maka luas panen dalam setahun (A) = 2650 Ha 2) Lama budidaya padi dalam 1 tahun (t) : 310 Hari 3) EF padi sawah dengan irigasi terus-menerus dan tanpa pengembalian bahan organik (EFc) = 1,61 kg/ha/hari (default IPCC) 4) Faktor skala lahan sawah irigasi intermitten : 0,46 (SFw) (Lampiran 1) 5) Faktor skala rejim air sebelum periode budidaya (SFp ) tidak digunakan karena tergenang sebelum penanaman < 30 hari 6) Jumlah bahan organik yang digunakan (SFo): 2000 kg, bahan organik yang digunakan berupa jerami sisa panen musim sebelumnya 7) Faktor skala untuk jenis tanah Inceptisols (SFs) = 1,12, tanah di kecamatan Warungkondang dan kecamatan gekbrong termasuk kedalam jenis tanah latosol (Lampiran 2)
38 8) Faktor skala varietas padi pandanwangi (SFr) : 1,35, pandanwangi termasuk kedalam golongan varietas aromatik (Lampiran 3) Berdasarkan persamaan (1), (2) dan (3) diperoleh tahapan penghitungan emisi sebagai berikut : 1. Menghitung faktor emisi harian EFi = (EFc x SFw x SFp x SFo x SFs,r) = 1,61 kg CH4/ha/hari x 0,46 x 1,12 x 1,35 = 1,12 kg CH4/ha/hari 2. Menghitung emisi metan dari keseluruhan luas lahan potensial CH4 = (EF x t x Ax 10-6) Rice = 1,12 kg CH4/ha/hari x 310 hari x 2650 ha/tahun = 920.080 kg CH4/tahun = 0,92 Gg CH4/tahun Emisi CO2 Penggunaan pupuk urea pada budidaya pertanian menyebabkan lepasnya CO2 yang diikat selama proses pembuatan pupuk. urea (CO(NH2)2) diubah menjadi amonium (NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan enzim urease. Mirip dengan reaksi tanah pada penambahan kapur, bikarbonat yang terbentuk selanjutnya berkembang menjadi CO2 dan air. Untuk menghitung emisi CO2 yang berasal dari penggunaan urea, diperlukan penambahan aktivitas data (AD) pada produksi beras pandanwangi yaitu dosis penggunaan urea sebesar 300 kg/ha/tahun. 1. Menghitung Konsumsi Pupuk Konsumsi pupuk = 2650 ha x 300 kg/ha/tahun x 10-3= 795 ton urea/tahun 2. Menghitung Emisi CO2 dari Penggunaan Pupuk Urea Emisi CO2 = (MUrea x EFUrea) =
(795 ton/tahun x 0,20)
=
159 ton CO2/tahun = 0,16 Gg CO2/tahun
Emisi N2O dari Pengelolaan Tanah Emisi N2O da pa t di pe rki ra ka n de n gan menggunakan penambahan N ke dalam tanah (misalnya, pupuk sintetis atau organik, deposit kotoran ternak, sisa tanaman, limbah lumpur), atau mineralisasi N dalam bahan organik tanah melalui drainase/pengelolaan tanah organik, atau budidaya/perubahan penggunaan lahan pada tanah mineral. Emisi dari N2O yang dihasilkan dari penambahan N antropogenik atau mineralisasi N dapat terjadi secara langsung (yaitu, langsung dari tanah dimana N ditambahkan/dilepaskan), dan tidak langsung melalui : (i) volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah yang dikelola dan dari pembakaran bahan bakar fosil serta biomassa, yang kemudian gas-gas ini berserta produknya NH4+ dan NO3– diendapkan kembali ke tanah dan air; dan (ii) pencucian dan run off dari
39 N terutama sebagai NO3- dari tanah yang dikelola (Kementrian Lingkungan Hidup, 2012). Perhitungan emisi N2O langsung adalah N2O-N N input dari penggunaan pupuk N sintetis (Urea, ZA, NPK), N organik dan sisa tanaman. Penggunaan pupuk N dapat dihitung dari jumlah N sintetis yang ditambahkan ke tanah dihitung dengan mengalikan konsumsi pupuk (Urea, ZA, NPK) dengan kandungan N. Kandungan N untuk Urea adalah 46%, ZA 21%, dan NPK 15%. Selain urea, petani pandanwangi menggunakan pupuk NPK berupa pupuk phonska dengan kandungan N sebesar 15%. 1. Konsumsi N dari pupuk sintetik (FSN) Konsumsi N = (300 kg urea x 0,46) + (50 kg ZA x 0,21) + (150 kg NPK x 0,15) = 138 kg + 10,5 kg + 22,5 kg = 171 kg 2. Konsumsi pupuk organik (FON) : 2000 kg Sehingga diperoleh nilai nilai emisi N2O langsung : N2ODirect = (FSN + FON) x EF1FR = 2171 kg x 0,03 = 65,13 kg N2O/tahun Sedangkan untuk perhitungan emisi N2O tidak langsung diperoleh dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti pupuk sintetis (FSN), pupuk organik (FON) yang digunakan selama proses budidaya termasuk didalamnya sisa-sisa tanaman yang memfiksasi N (FCR) dan proses mineralisasi N yang berhubungan dengan hilangnya bahan organik tanah akibat perubahan penggunaan lahan atau pengelolaan tanah mineral (FSOM). Nilai emisi N2O tidak langsung yang berasal dari proses volatisasi N adalah : N2O(ATD)-N = [(FSN x FracGASF)+((FON +FPRP) x FracGASM)] x EF4 = [ (171 kg x 0,1) + (2000 kg x 0,2) ] x 0,01 = (17,1 +400) x 0,01 = 4,17 kg N2O/tahun Nilai FPRP merupakan nilai jumlah tahunan urin dan kotoran ternak yang dideposit di padang rumput atau padang pengembalaan (kg N per tahun) dalam perhitungan dapat diabaikan karena tidak diketahui nilainya. Dari perhitungan diatas, maka diperoleh nilai emisi N2O langsung dan tidak langsung sebesar 69,3 kg N2O/tahun Emisi Non CO2 dari Pembakaran Biomasa Emisi Non-CO2 dari biomas yang dibakar (terutama CH4, CO, NOx dan N2O) berasal dari jerami padi sisa kegiatan panen yang dibakar dilahan. Tidak semua petani pandanwangi membakar jerami sisa panen. Terdapat petani yang memanfaatkan jerami sisa panen untuk menggemburkan tanah pada proses pengolahan lahan. Emisi CO2 dari biomas yang dibakar tidak dihitung karena karbon yang dilepaskan selama proses pembakaran diasumsikan akan diserap kembali oleh tanaman pada musim berikutnya.
40 Data Aktivitas : 1) Luas Panen : 2650 ha/tahun 2) Fraksi biomasa yang dibakar : 0,25 (estimasi petani dan pelaku usaha pandanwangi 3) Faktor emisi sisa pertanian untuk CH4 = 2,7, CO = 92, NO2 = 0,07 dan NOx = 2.5 (g GHG/kg bahan kering) 4) Default untuk mass burnt untuk jerami padi = 5,5 ton/ha 5) Default Cf untuk jerami padi = 0,8 Perhitungan nilai emisi non-CO2 dari proses pembakaran : 1. Luas lahan yang dibakar = 2650 ha x 0,25 = 662,5 ha/tahun 2. Menghitung Emisi dari lahan pertanian yang dibakar LCH4 = (662,5 ha x 5,5 ton/ha x 0,8 x 2,7 g GHG/kg bahan kering)/1000 = 7,87 ton CH4 = 7,87 x 10-3 Gg CH4/ tahun LCO = (662,5 ha x 5,5 ton /ha x 0,8 x 92 g GHG/kg bahan kering)/1000 = 268,2 ton CO/ tahun = 268,2 x 10-3 Gg CO/tahun LN2O = (662,5 ha x 5,5 ton/ha x 0,8 x 0,07 g GHG/kg bahan kering)/1000 = 204 ton N2O/ tahun = 204 x 10-3 Gg N2O/tahun LNOx = (662,5 ha x 5,5 ton /ha x 0,8 x 2,5 g GHG/kg bahan kering)/1000 = 7,29 ton Nox = 7,29 x 10-3 Gg NOx/tahun Emisi Penggunaan Bahan Bakar Berbagai jenis bahan bakar yang digunakan di Indonesia berikut nilai kalor dari masing-masing bahan bakar diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Jenis bahan bakar yang digunakan di Indonesia Bahan bakar Premium* Solar (HSD, ADO)
Nilai Kalor 33 x 10-6 TJ/liter 36 x 10-6 TJ/liter
Minyak Diesel (IDO)
38 x 10-6 TJ/liter
MFO Gas bumi LPG Batubara
40 x10-6 TJ/liter 4,04 x 10-2 TJ/ton 1,055 x 10-6 TJ/SCF 38,5 x10-6 TJ/Nm3 47,3 x 10-6 TJ/kg 18,9 x 10-3 TJ/ton
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
Penggunaan Kendaraan bermotor Kendaraan bermotor, pembangkit Listrik Boiler industri, pembangkit listrik Pembangkit listrik Industri, rumah tangga, restoran Rumah tangga, restoran Pembangkit listrik, Industri
41 Data Aktivitas : 1. Konsumsi Bahan bakar (solar) : Traktor = 40 liter/tahun ; Motor = 20 liter/tahun ; mesin penggilingan = 40 liter/ tahun. Total konsumsi = 100 liter/tahun 2. Nilai Kalor : 37 MJ/liter (0,037 TJ/kL) 3. Faktor Emisi : CO2 = 73,326 kg/TJ ; CH4 = 3 kg /TJ ; N2O= 0,6 kg/TJ Perhitungan: 1. Konversi konsumsi bahan bakar = 0,1 kL x 0,037 TJ/kL = 3,7 x 10-3 TJ 2. Menghitung nilai emisi transportasi Emisi CO2 = Konsumsi Energi (TJ/tahun) x Faktor Emisi (kg/TJ) = 3,7 x 10-3 TJ/tahun x 73,326 kg/TJ x 10-6 Gg/kg = 271,3 x 10-9 Gg/tahun Emisi CH4 = Konsumsi Energi (TJ/tahun) x Faktor Emisi (kg/TJ) = 3,7 x 10-3 TJ/tahun x 3 kg /TJ x 10-6 Gg/kg = 11,1 x 10-9 Gg/tahun Emisi N2O = Konsumsi Energi (TJ/tahun) x Faktor Emisi (kg/TJ) = 3,7 x 10-3 TJ/tahun x 0,6 kg /TJ x 10-6 Gg/kg = 2,22 x 10-9 Gg/tahun
Life Cycle Impact Assessment (LCIA) Life Cycle Impact Assessment (LCIA) merupakan salah satu tahap dalam metode LCA yang mampu memberikan gambaran dan interpretasi dampak lingkungan pada sistem produksi beras pandanwangi. Dari ketiga tahapan utama dalam proses produksi pandanwangi, nilai emisi yang dihasilkan pada tahap budidaya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahap produksi dan proses pembakaran biomasa sisa panen (jerami). Perhitungan emisi GRK yang dilakukan menunjukan nilai emisi non CO2 yaitu emisi CH4 memiliki nilai terbesar yaitu 0,92 Gg CH4/tahun pada tahap budidaya. Pengelompokan emisi CO2 dan emisi non CO2 pada setiap tahapan proses produksi beras pandanwangi ditunjukan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai emisi tiap tahapan proses produksi beras pandanwangi Emisi (Gg Emisi/tahun) Tahapan CO2 CH4 N2 O CO NOx Budidaya 0,1 0,92 68,5 x 10-6 Produksi dan 271,3 x 11,1 x 2,22 x Transportasi 10-9 10-9 10-9 Pembakaran 7,87 x 204 x 268,2 x 7,29 x 10-3 Biomasa(Jerami) 10-3 10-3 10-3 Tabel 15 memberikan gambaran nilai emisi CO2 dan non CO2 yang dihasilkan dari keseluruhan tahap pada sistem produksi beras pandanwangi selama satu tahun.
42 Pendekatan LCA yang dikembangkan berdasarkan default IPCC dapat menghasilkan nilai emisi berupa CO2eq yang merupakan emisi GRK sebagai GWP100 (Global Warming Potential) selama 100 tahun sesuai dengan nilai konversi yaitu 25 untuk faktor emisi CH4 dan 298 untuk faktor emisi N2O sesuai Tabel 10. Perhitungan konversi nilai emisi pada tahap budidaya menghasilkan nilai CO2eq sebesar 23,16 Gg CO2eq/tahun. Kemudian pada tahap produksi dan transportasi menghasilkan nilai CO2eq sebesar 0,27 Gg CO2eq/tahun. Sedangkan pada kegiatan pembakaran biomassa jerami menghasilkan nilai CO2eq 53,22 Gg CO2eq/tahun. Pada tahap budidaya, nilai emisi CH4 relatif lebih besar dibandingkan nilai emisi CO2 dan N2O. Tingginya nilai CH4 dipengaruhi oleh penggunaan pupuk urea. Gambar 20 menunjukan nilai emisi yang dihasilkan pada tahap budidaya padi pandanwangi. Tahapan Budidaya Nilai Emisi (kg emisi/tahun)
1000000
920.080
900000 800000 700000 600000 500000 400000
300000 200000
106.000
100000
69,3
0
CO2 CO2
CH4 CH4
N2O N 2O
Gambar 20 Nilai emisi tahap budidaya beras pandanwangi Proses produksi yang berperan dalam menghasilkan beras sebagai produk akhir adalah proses penggilingan. Proses penggilingan beras pandanwangi menggunakan solar sebagai bahan bakar. Perhitungan emisi yang dilakukan pada tahap ini turut menyertakan emisi yang berasal dari transportasi. Hasil analisis menunjukan nilai emisi CO2 lebih besar dibandingkan emisi non-CO2, yaitu CH4 dan N2O. Gambar 21 menunjukan nilai emisi yang dihasilkan pada proses produksi dan transportasi beras pandanwangi.
43 Proses Produksi dan Transportasi Nilai Emisi (x 10-9Gg emisi/tahun)
300
271,3
250 200 150 100 50 11,1
2,22
0 CO2
CH4
CO2
N2O NO
CH4
2
Gambar 21 Nilai emisi pada tahap produksi dan transportasi Proses produksi beras pandanwangi menghasilkan limbah padat berupa jerami dilahan setelah masa tanam berakhir. Beberapa petani membakar jerami tersebut dilahan yang berpotensi menghasilkan emisi baik kedalam tanah maupun kedalam atmosfer berupa emisi gas rumah kaca. Emisi CO2 dari biomasa yang dibakar tidak dihitung karena karbon yang dilepaskan selama proses pembakaran diasumsikan akan diserap kembali oleh tanaman pada musim berikutnya. Emisi non CO2 mendominasi nilai estimasi emisi yang dihasilkan dengan nilai emisi CO dari kegiatan pembakaran jerami sisa panen. Potensi emisi dari kegiatan pembakaran biomasa dilahan ditunjukan pada Gambar 22.
Nilai Emisi (x 10-3Gg emisi / tahun)
Pembakaran Biomasa 300
268.2
250 204 200 150 100
50 7.87
7.29
0
CH4 CH4
N2O NO 2
CO
NOx NOx
Gambar 22 Nilai emisi pembakaran biomasa jerami padi
44 Keterbatasan Penelitian Dalam setiap kegiatan industri dan proses produksi suatu produk tidak akan lepas dari penggunaan bahan bakar. Penggunaan bahan bakar yang tinggi memberikan kontribusi terhadap besarnya nilai emisi GRK (Kementrian Lingkungan Hidup 2012). Pada proses produksi beras pandanwangi, konsumsi bahan bakar terlihat pada penggunaan traktor sebagai alat bantu pengolahan lahan, penggunaan alat transportasi yang menjadi media dalam penyediaan dan penghantaran sarana produksi, serta penggunaan mesin produksi yang menggunakan solar sebagai bahan bakar utama. Keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya terdapat data transportasi yang tidak dimasukan didalam perhitungan pada batasan ruang lingkup penelitian. Data tersebut diantaranya data keseluruhan kegiatan transportasi harian yang dilakukan petani selama waktu yang diperlukan dalam kegiatan budidaya, kegiatan pemanenan hingga proses produksi beras pandanwangi berlangsung. Ketersediaan data hanya diperoleh dari tahapan utama produksi tanpa melihat kegiatan lain yang dilakukan petani dalam kurun waktu tersebut. Selain itu, penilaian siklus hidup produksi beras pandanwangi tidak memperhitungan tahap konsumsi produk akhir.
Perbaikan (Improvement) Sistem Produksi Produksi beras merupakan salah satu kajian yang mendapatkan perhatian lebih dari IPCC yang termasuk ke dalam kriteria AFOLU (Agriculture, Foresty and Other Land Use) karena menyumbang nilai emisi yang relatif besar dibandingkan dengan komoditas lain terutama emisi CH4 yang berasal langsung dari penggunaan pupuk urea yang mampu meningkatkan emisi ke dalam atmosfer, air maupun tanah. Pendekatan dan metode LCA dapat membantu mewujudkan upaya produksi suatu komoditas pertanian yang ramah lingkungan dan mengurangi emisi yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan input bahan baku produksi, proses produksi yang melibatkan penggunaan energi dalam skala mikro maupun makro serta output yang dapat mencemari lingkungan dalam kurun waktu tertentu. Nilai emisi yang dihasilkan dari analisis dampak lingkungan pada penelitian ini menunjukan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi besar/kecilnya nilai emisi pada sistem produksi beras pandanwangi. Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi sistem produksi yang ada saat ini sehingga dapat memberikan perubahan yang lebih baik untuk pengembangan produk dimasa yang akan datang sehingga dapat memberikan nilai tambah dan daya saing produk. Tabel 16 menunjukan evaluasi dan rekomendasi perbaikan sistem produksi beras pandanwangi sesuai keadaan dan praktek produksi saat ini dilapangan.
45 Tabel 16 Evaluasi dan rekomendasi perbaikan sistem produksi beras pandanwangi Praktik Saat Ini Kekurangan 1.OPT yang menjadi Penggunaan obat berupa musuh terbesar petani zat kimia relatif tinggi pandanwangi adalah keong sawah
2. Petani dan pelaku usaha pandanwangi masih mengandalkan penggunaan urea sebagai pupuk utama 3. Belum tersedianya informasi kebutuhan unsur hara tanah yang sesuai dengan jenis tanah dan spesifik lokasi 4. Sistem irigasi dan sistem drainase belum dikelola dengan efektif 5. Pengelolaan jerami sisa panen
Penggunaan pupuk urea relatif tinggi
Rekomendasi Pembersihan lahan harus dilakukan lebih rutin sehingga diharapkan mampu mengurangi penggunaan zat kimia pada lahan Menambah penggunaan bahan organik Meningkatkan integrasi tanaman dan ternak
Penggunaan pupuk N dan P tidak efektif (dapat melebihi atau kurang dari kebutuhan)
Pemupukan spesifik lokasi berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara dalam tanah
Mengandalkan aliran irigasi yang berasal dari sumber mata air sekitar
Sistem irigasi dan sistem drainase yang tertata dan terkontrol dengan baik
Pembakaran jerami di lahan meningkatkan polusi udara dan nilai emisi
Selain sebagai pakan, pemanfaatan jerami sisa panen dapat dikelola dengan mengolahnya menjadi bahan organik sehingga dapat dikembalikan ke dalam tanah sebagai sumber hara terbarukan Pengelolaan jerami dapat dilakukan denan pembuatan produk biochar untuk penggunaan pada lahan
Permasalahan utama dalam budidaya pandanwangi terletak tingginya penggunaan pupuk sintetik dan urea yang menyumbang emisi CH4 terbesar. Hal tersebut diperburuk dengan penggunaan pestisida kimia untuk mengurangi OPT utama, keong sawah pada lahan pada saat proses penanaman. Jika penanganan
46 organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat diatasi dengan penggunaan bahan alami dan organik maka akan membantu mengurangi nilai emisi yang berasal dari penggunaan pestisida. Permasalahan lain dalam proses produksi pandanwangi adalah belum efektifnya manajemen sistem irigasi dan sistem drainase, dimana petani masih mengandalkan perolehan sumber irigasi dari sumber mata air alami. Lebih lanjut, evaluasi produksi beras pandanwangi yang ada saat ini tidak akan lepas dari pengelolaan limbah produksi yaitu jerami memberikan kontribusi nyata pada emisi udara yakni dari proses pembakaran biomassa jerami dilahan oleh sebagian petani di Cianjur. Melihat praktek produksi budidaya pandanwangi saat ini, masih dapat dilakukan efisiensi penggunaan bahan baku, penggantian bahan baku dengan menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan serta efisiensi sistem irigasi dan sistem drainase di lahan sehingga mampu membantu mengurangi nilai emisi yang dapat ditimbulkan pada proses produksi beras pandanwangi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sistem produksi padi pandanwangi meliputi kegiatan budidaya, pengilingan padi hingga diperoleh produk akhir beras yang siap konsumsi memerlukan input dan konsumsi energi berupa benih, pupuk dan solar sebagai bahan bakar. Pembangunan Life Cycle Inventory (LCI) pada analisis LCA membantu memudahkan proses inventarisasi data dalam mengidentifikasi aliran bahan baku pada satu siklus produksi suatu produk. Produksi 1 kg beras pandanwangi menghasilkan emisi sebesar 1,71 kg CO2eq /kg beras yang dihasilkan dengan nilai total penggunaan energi sebesar 4.768,5 MJ/ton beras. Emisi CO2 terbesar berasal dari kegiatan produksi dan transportasi, sedangkan nilai emisi non CO2 terbesar berasal dari tahapan budidaya padi berupa emisi CH4. Besarnya nilai emisi CH4 tersebut dipengaruhi oleh tingginya penggunaan pupuk pada lahan. Perbaikan sistem yang ada saat ini lebih ditekankan pada pengurangan konsumsi pupuk sintetik dan menambah penggunaan bahan organik serta pemanfaatan kembali limbah produksi untuk mengurangi nilai emisi pada lahan dan lingkungan. Saran Diperlukan penelitian lanjutan dalam menganalisis sistem irigasi dan drainase yang digunakan pada sistem produksi beras pandanwangi untuk melihat kontribusi terhadap penambahan nilai emisi dan dampak lingkungan dari sistem produksi beras pandanwangi terutama emisi pada tanah dan aliran permukaan yang ditunjukan sebagai kategori asidifikasi dan eutrofikasi.
47
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 1996. Manajemen penelitian. Rineka Cipta. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik . 2006. Statistik Indonesia 2006. Jakarta Bauman H, Tillman A. 2004. The hitchhiker's guide to LCA: An orientation in life cycle assessment methodology and application. Lund(Sweden): Student litteratur. Damardjati DS, Widowati S, Munarso SJ, Indrasari SD. 2004. Usaha Peningkatan Mutu Beras di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan, Bogor. Frischknech R. 2012. Assessment of Rice Cultivation with Ecological Scarcity Japan. Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Dalam: Suryana, A. dan S. Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEMFEUI). Hatcho N, Matsuno Y, Kochi K, Nishishita K. 2012. Assessment of Environmentfriendly Rice Farming Through Life Cycle Assessment (LCA) : CMU.J.Nat.Sci.Special Issue on Agricultural & Natural Resources Vol.11 : 403. Hokazono S, Hayashi K, 2012. Variability in environmental impacts during conversion from conventional to organic farming: a comparison among three rice production systems in Japan. Journal of Cleaner Production 28 : 101-12. ISO (2006a): Environmental management – Life cycle assessment – Principles and framework. [IPCC]. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories – A primer, Prepared by theNational Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Miwa K., Srivastava N. and Tanabe K.(eds). IGES, Japan. [ISO] 14040:2006(E). International Organization for Standardization. Geneva. Switzerland [ISO] (2006b): Environmental management – Life cycle assessment – Requirements and guidelines. Kasmaprapruet S. 2009. Life Cycle Assessment of Milled Rice Production: Case Study in Thailand. Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II Volume 3 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah Kaca Pertanian, Kehutanan, Dan Penggunaan Lahan Lainnya. Kementrian Pertanian. 2004. Keputusan Menteri Pertanian. No: 163/Kpts/LB.240/3/2004. Tentang Pelepasan Galur Padi Sawah Lokal Pandanwangi Cianjur Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama Pandanwangi.
48 Khan FI. 2002. Life Cycle Index (LinX) : a new indexing procedure for process and product design and decision making. Journal of Cleaner Production 5976. Lagerberg, Fogelberg C, Carlsson-Kanyama A. 2006. Environmental assessment of foods – an LCA inspired approach. In: Fuentes C & Carlsson. Linquist B, van Groenigen KJ, Adviento-Borbe MA., Pittelkow C, and van Kessel C. 2012.An agronomic assessment of greenhouse gas emissions from major cereal crops. Global Change Biology, 18, 194-209. Natalia. 2007. Karakterisasi Beras Pandanwangi Dan Pengaruh Jenis Kemasan Terhadap Stabilitas Mutu Selama Penyimpanan. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Patiwiri AW. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rakib. 2010. Optimisasi Sistem Kogenerasi Berbasis Life Cycle Assessment. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rebeitzer G, Finnveden G, Hauschild MZ, Ekvall T, Guine’e J, Heijungs , Hellweg S, Koehler A, Permington D, Suh S. 2009. Recent Development in Life Cycle Assessment : Review. J Environmental Manag. 91 : 1-21. Rosmawanty. 2007. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Penggilingan padi, Kasus beberapa penggilingan Padi di Kab.Karawang. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Sa’id G. 2002. Industry Review:Usaha Jasa Penggilingan Padi. Kerjasama Bank rakyat Indonesia dengan LMAA IPB. Bogor: IPB Pr. Shafie SM, Mahlia TMI, Masjuki HH, Rismanchi B. 2012. Life cycle assessment (LCA) of electricity generation from rice husk in Malaysia. Energy Procedia 14 page 499 – 504. Sitepu H. 2010. Model Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction Di Batam. Sekolah Pasca sarjana IPB. Bogor. [SOP] Standar Operasional Prosedur Padi Pandanwangi Kecamatan Gekbrong Kabupaten Cianjur. Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Tanji H, Kousi Y, Hiroaki S. 2002. Issues Of Life Cycle Assessment For Irrigation. Japan. Tursina AP. 2013. Analisis Kinerja Usaha Penggilingan Padi Studi Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Weidema B, Wenzel H, Petersen C and Hansen K. 2004. The Product, Functional Unit and Reference Flows in LCA, Environmental News No. 70, Danish Ministry of the Environment. White RM. 2010. Carbon governance in UK liquid milk systems. Environmental Change Institute, Oxford, Oxford. Yoshikawa N, Ikeda T, Amano K, Futomo T. 2012. Life-cycle assessment of ecologically cultivated rice applying DNDC-Rice model.
49
LAMPIRAN
50 Lampiran 1 Faktor Skala Berdasarkan Rejim Air Kategori
SF (IPCC Guidelines 1996)
Sub Kategori
Dataran Tinggi
Tidak ada
0
Penggenangan terus- menerus
1
Irigasi Penggenangan intermiten
Dataran Rendah Tadah Hujan Air Dalam
SF Koreksi (berdasarkan riset terkini)
1
Single Aeration
0,5 (0,2-0,7)
Multiple Aeration
0,2 (0,1-0,3) (0,38-0,53)
Rawan Banjir Rawan Kekeringan Kedalaman Air 50-100 cm Kedalaman Air < 50 cm
0,46
0,8 (0,5-1,0) 0,49 0,4 (0-0.5) (0,19-0,75) 0,8 (0,6-1,0) 0,6 (0,5-0,8)
Sumber : IPCC (2006) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
Lampiran 2 Jenis Tanah dan Nilai Koefisien No
Jenis Tanah
SFs jenis Tanah
1
Alfisols
1,93
2
Andisols
1,02
3
Entisols
1,02
4
Histosols
2,39
5
Inceptisols
1,12
6
Oksisols
0,29
7
Ultisols
0,29
8
Vertisols
1,06
Sumber : IPCC (2006) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
51 Lampiran 3 Faktor Skala Emisi CH4 untuk Rejim Air Sebelum Periode Penanaman Agregat Rejim air sebelum penanaman
No
1
Tidak tergenang sebelum penanamaman (< 180 hari)
2
Faktor skala (SFp)
1,22-1,07
Kisaran bias
Disagregat Faktor skala Kisaran bias (SFp)
1,40
Tidak tergenang sebelum penanamaman (> 180 hari)
3
Tergenang sebelum penanaman (> 30 hari)
1,0
0,88 – 1,14
0,68
0,58 – 0,80
1,90
1,65-2,18
Sumber : IPCC (2006) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (2012) Lampiran 4 Faktor Konversi untuk Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Organik Faktor konversi (CFOA) 1,0
No
Bahan organik
Kisaran bias
1
Jerami di tambahkan dalam jangka waktu pendek (< 30 hari) sebelum penanaman
2
Jerami di tambahkan dalam jangka waktu lama (> 30 hari) sebelum penanaman
0,29
0,20 – 0,40
3
Kompos
0,05
0,01 – 0,08
4
Pupuk kandang
0,14
0,07 – 0,20
5
Pupuk hijau
0,50
0,30 – 0,60
0,97 – 1,04
Sumber : IPCC (2006) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
52 Lampiran 5 Faktor Emisi untuk Menghitung Emisi N2O dari Tanah yang Dikelola No 1
Faktor emisi EF1 untuk faktor emisi untuk emisi N2O dari input N untuk lahan kering, kg N2O-N per kg N input.
Nilai 0,01
Kisaran 0,003 – 0,03
2
EF1FR untuk faktor emisi untuk emisi N2O dari input N untuk sawah irigasi, kg N2O-N per kg N input.
0,003
0,000 – 0,006
3
EF2CG,Temp untuk tanaman organik dan tanah padang rumput di daerah temperate , kg N2O–N per ha)
8,0
2 – 24
4
EF2CG,Trop untuk tanaman organik dan tanah padang rumput di daerah tropis , kg N2O–N per ha)
16,0
5 – 48
5
EF2F,Temp,Org,R untuk tanah hutan yang kaya hara tanah di daerah temperate dan boreal, kg N2O–N per ha
0,6
0,16 – 2,4
6
EF 2F, Temp,Org,P untuk tanah hutan yang miskin hara tanah di daerah temperate & boreal, kg N2O–N EF2F, Trop untuk tanah hutan organik di daerah tropis, kg per ha per ha N2O–N
0,1
0,02 – 0,3
8,0
0 - 24
8
EF3PRP, CPP untuk sapi (sapi perah, sapi potong dan kerbau), unggas dan babi, kg N2O–N per ha
0,02
0,007 – 0,06
9
EF3PRP, SO untuk domba & ternak lain, kg N2O–N per ha
0,01
0,003 – 0,03
7
Lampiran 6 Faktor Konversi Energi Bahan N P2O5 K2O Mg Zn Si Pestisida S Listrik Solar Beras Limbah pertanian
Faktor Konversi 65 9 6 24,7 5,3 32,3 310,35 9,23 3,6 35,99 17,4 15
Satuan MJ/kg MJ/kg MJ/kg MJ/kg MJ/kg MJ/kg MJ/liter MJ/kg MJ/kwh MJ/liter MJ/kg MJ/kg
Sumber FAO 2001 FAO 2001 FAO 2001 FAO 2001 FAO 2001 FAO 2001 Sheehan et al. 1998 IPCC 2006 IPCC 2006 IPCC 2006 FAO 2009 Leach and gowen 1997
53 Lampiran 7 Emisi, Faktor Volatisasi dan Pencucian untuk Emisi N2O Tidak Langsung dari Tanah No
Faktor
Nilai
Kisaran
1
EF4 [volatisasi dan redeposit N], kg N2O–N per kg NH3–N + NOX–N tervolatisasi
0,010
0,002 – 0,05
2
EF4 [volatisasi dan redeposit N], kg N2O–N per kg NH3–N + NOX–N tervolatisasi
0,0075
0,0005 -0,025
3
FracGASF [volatisasi dari pupuk sintetis], kg NH3–N + NOx–N per kg N yang digunakan
0,10
0,03 – 0,3
4
FracGASM [Volatilisasi dari semua pupuk N organik , urin dan kotoran yang dideposit ternak], kg NH3–N + NOx–N per kg N yang digunakan atau dideposit
0,20
0,05 – 0,5
5
FracLEACH-(H) [N yang hilang karena pencucian/aliran permukaan untuk daerah dengan Σ CH pada musim hujan) - Σ evapotranspirasi potensial pada periode yang sama) > kapasitas tanah memegang air, OR dengan menggunakan irigasi (kecuali irigasi tetes)], kg N per N yang ditambahkan atau dideposit oleh ternak
0,30
0,1 – 0,8
Lampiran 8 Faktor Konversi Emisi Bahan N P2O5 K2O CaO Pestisida S MgO Zn Si Listrik Solar
Faktor Konversi 5,88 1,01 0,57 0,13 10,97 0,44 1,06 3,41 2,67 0,9 2,67
Satuan kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/liter kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kwh kg CO2 eq/liter
Sumber ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 ISCC 2011 IPCC 2006
54
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Cirebon, 16 Juni 1985 yang merupakan putri pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Sedya Basuki dan Neneng Heni M, MPd, bersuamikan Prima Trie Wijaya, MKom. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan jenjang di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program Magister Teknologi Industri Pertanian (TIP) dan mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penulis telah menulis karya ilmiah berupa jurnal internasional terkait penelitian dengan judul Life Cycle Assessment (LCA) of Cianjur Rice in Indonesia pada IISTE-Journal of Environment and Earth Science dengan status accepted dan sedang dalam proses Review untuk dapat diterbitkan.