PENGUKURAN RETURN ON TRAINING INVESTEMENT (ROTI) Oleh Stefan Tupamahu ∗ dan Budi W. Soetjipto ♦
Abstract Training evaluation has been well regarded as a must‐do activity to demonstrate the extent to which a training program improves the performance of ex‐participants and the company. Moreover, there is a need to evaluate a training program in financial terms, more specifically in terms of return on investment (ROI). This article provides step‐by‐step information on how to calculate ROI in training, also known as ROTI (Return on Training Investment). Dalam persaingan usaha yang semakin meningkat, peran Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki suatu perusahaan dirasakan semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi pegawai dalam suatu perusahaan seringkali menjadi salah satu kunci keberhasilan bisnis, khususnya bagi perusahaan‐perusahaan yang bergerak di industri jasa. Salah satu sektor industri jasa di Indonesia yang memerlukan SDM dengan kompetensi yang baik adalah sektor perbankan. Perkembangan sektor perbankan di negara kita dari tahun ke tahun memberikan gambaran betapa kompetensi pegawai memiliki peran penting dalam perjalanan usaha suatu bank. Sebelum dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997‐1998, bank‐ bank besar di Indonesia umumnya bertumpu pada perbankan korporasi (corporate banking) yang mengandalkan nasabah‐nasabah besar dalam jumlah yang terbatas. Sayangnya, ketika krisis melanda Indonesia segmen korporasi tersebut justru menjadi sektor yang mengalami hantaman ekonomi paling besar dibandingkan segmen‐segmen usaha lainnya. Gejolak bisnis yang dialami perusahaan‐perusahaan besar pada masa krisis tersebut pada gilirannya telah membawa dampak yang tidak sedikit terhadap perjalanan usaha bank‐bank besar di Indonesia. Seiring dengan terjadinya gejolak yang menghantam sektor perbankan korporasi, bank‐bank di Indonesia mulai melirik potensi yang ada di sektor perbankan ritel yang selama ini seakan terpinggirkan dari fokus usaha mereka. Persoalannya, pengembangan sektor ritel ini membutuhkan strategi yang jauh berbeda dibandingkan pengembangan sektor korporasi. Nasabah korporasi umumnya berjumlah terbatas dengan kemampuan pendanaan yang ∗ ♦
Alumnus Program Studi MM FEUI. Peneliti LM FEUI, tulisan ini pernah dimuat di Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi Desember 2005 1
sangat kuat, dengan target pasar utamanya adalah perusahaan swasta besar dan BUMN, khususnya di sektor pertambangan, industri terkait ekspor, makanan, perdagangan grosir dan ritel, serta sektor telekomunikasi. Sebaliknya nasabah ritel lebih merupakan nasabah perorangan yang berjumlah sangat banyak dengan kemampuan pendanaan yang relatif lebih terbatas. Perbedaan karakteristik nasabah ini memiliki konsekuensi pada terdapatnya perbedaan perlakuan pelayanan bank yang diberikan sesuai dengan tuntutan dari nasabah itu sendiri. Untuk memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah‐nasabah ritel, bank harus memiliki kemampuan teknologi yang baik, jaringan distribusi yang luas, produk‐produk perbankan yang menarik, serta promosi yang gencar disertai iming‐iming hadiah yang jumlahnya tidak sedikit. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan kinerja pegawainya melalui peningkatan kompetensi yang terus menerus, dimana dalam era persaingan usaha yang semakin tinggi di segmen ritel tersebut diperlukan pendekatan yang bersifat konsultatif agar karyawan mampu memahami kebutuhan nasabah yang sesungguhnya. Pentingnya peningkatan kompetensi pegawai yang terus menerus kemudian mendorong perusahaan memberikan pendidikan dan pelatihan/training yang memampukan pegawainya untuk memahami kebutuhan nasabah secara tepat agar dapat menawarkan dan menjual produk perbankan yang sesuai. Pentingnya peran training untuk mengembangkan sektor perbankan ritel ini semakin disadari oleh kalangan perbankan Indonesia, terutama oleh bank‐ bank milik negara yang selama ini cenderung kurang menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Setelah training diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauhmana kontribusi training tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja pegawai maupun perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting karena disadari bahwa belum tentu training yang diberikan kemudian selalu memberikan hasil yang efektif sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauhmana efektivitas training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Terkait dengan hal tersebut, Donald L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung dengan efektif. Pada tahun 1959, Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi training melalui tulisannya di American Society for Training and Development Journal. Menurutnya, ada empat tingkat/ level dalam evaluasi training, yaitu: −
Level 1: Reaction
2
Evaluasi pada tingkat ini mengukur reaksi kepuasan peserta terhadap pelaksanaan training. −
Level 2: Learning Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauhmana peserta memahami materi training yang disampaikan dalam tiga domain kompetensi: knowledge, skill, dan attitude.
−
Level 3: Behavior Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauhmana peserta menerapkan/ mengimplementasikan pemahaman kompetensi yang diperolehnya tersebut dalam lingkungan pekerjaannya.
−
Level 4: Results Evaluasi pada tahap ini mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan training terhadap kinerja pekerjaan ataupun hasil akhir yang diharapkan.
Meskipun masing‐masing tingkat evaluasi tersebut mengukur hal yang berbeda dan tidak sekuensial, Kirkpatrick menegaskan bahwa evaluasi training harus dilakukan tingkat demi tingkat agar tidak terjadi bias dalam menginterpretasikan hasil evaluasi tersebut. Evaluasi pada Level 3, misalnya, sebaiknya dilakukan apabila Level 1 dan 2 telah dievaluasi dan diinterpretasikan hasilnya terlebih dahulu. Level 1 dan 2 dilakukan pada saat training dilakukan, sementara Level 3 dan 4 dilakukan beberapa waktu setelah eks‐peserta kembali ke pekerjaannya. Mencermati keempat tingkat evaluasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa Level 1 merupakan evaluasi yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, sementara Level 4 adalah evaluasi yang paling sulit. Umumnya, perusahaan melakukan evaluasi pada Level 1 dan 2 saja dengan pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, maupun metode pengukurannya, sebagaimana diuraikan pada bagian lain tulisan ini. Mereka sudah puas pada hasil evaluasi yang mengatakan, misalnya, bahwa training telah dilaksanakan dengan baik, modul‐modul yang diberikan cukup menarik, cara penyampaian oleh trainer sudah baik, materi yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta, serta hal‐hal teknis lainnya. Penyelenggaraan evaluasi Level 1 dan Level 2 ini juga relatif mudah dan murah karena dilakukan saat peserta masih berada di lokasi training dan belum kembali ke tempat kerjanya. Metode evaluasi yang digunakanpun relatif sederhana dan bersifat umum dalam pengertian dapat digunakan untuk hampir semua jenis training. Sayangnya, hasil evaluasi pada Level 1 dan 2 tersebut menjadi kurang bermakna ketika muncul pertanyaan‐pertanyaan kritis seperti ”Mampukah eks‐peserta training nantinya menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya tersebut dalam pekerjaannya sehari‐ hari?” atau ”Relevankah materi yang diberikan dengan kenyataan yang dihadapi?” atau lebih jauh lagi ”Apakah dengan mengikuti training tersebut eks‐peserta terbukti meningkat 3
kinerjanya?” dan sejumlah pertanyaan lain yang secara keseluruhan akan menggugat efektivitas penyelenggaraan suatu training. Sebaliknya, evaluasi pada Level 3 dan 4 dapat memberikan jawaban atas semua pertanyaan kritis tadi. Evaluasi pada Level 3 mampu memberikan pemahaman kepada perusahaan/penyelenggara training mengenai apakah materi yang diberikan dapat diterapkan atau diimplementasikan dengan baik dalam pekerjaan sehari‐hari dan jika ternyata tidak, kendala‐kendala apa yang perlu diatasi. Hal yang lebih penting lagi, evaluasi pada tahap ini dapat memberikan feedback yang berharga bagi penyempurnaan pelaksanaan training secara keseluruhan dihubungkan dengan kenyataan yang ada sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan kinerja karyawan. Sementara itu, evaluasi pada Level 4 akan memberikan jawaban akhir mengenai apakah tujuan penyelenggaraan suatu training telah tercapai atau belum. Umumnya, suatu training diselenggarakan dengan tujuan memberikan dampak yang positif terhadap kinerja perusahaan, misalnya peningkatan hasil penjualan, peningkatan hasil produksi, penurunan biaya produksi, peningkatan pelayanan nasabah, dan sebagainya, meski ada pula training yang tidak berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan, seperti training mengenai kepemimpinan, kerjasama antarpegawai, dan sebagainya. Mencermati hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa evaluasi hingga Level 3 dan Level 4 sebenarnya merupakan suatu keharusan apabila perusahaan ingin mengetahui apakah hal‐hal yang menjadi tujuan training telah tercapai dan dengan demikian berarti pula bahwa training tersebut telah terselenggara secara efektif. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang menghadapi berbagai masalah dan kendala dalam melakukan evaluasi training hingga level tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa evaluasi Level 3 dan Level 4 jarang dilakukan, sebagai berikut: −
Waktu Evaluasi pada Level 3 dan 4 membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena dilakukan setelah eks‐peserta training kembali ke tempat pekerjaannya semula. Jika dalam satu tahun suatu perusahaan menyelenggarakan 10 jenis training saja setiap bulannya dengan jumlah peserta rata‐rata 25 orang dapat dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi setiap training tersebut. Apalagi, evaluasi harus dilakukan beberapa waktu setelah training diselesaikan agar terdapat cukup waktu bagi eks‐peserta untuk menerapkan materi training tersebut di lingkungan pekerjaannya sehari‐hari.
−
Biaya
4
Lamanya waktu yang diperlukan serta banyaknya dan tersebarnya jumlah eks‐peserta yang perlu disertakan dalam evaluasi Level 3 dan 4 ini mengakibatkan biaya yang diperlukan juga relatif besar, apalagi dibandingkan dengan biaya untuk melakukan evaluasi Level 1 dan 2. −
Metode pengukuran Banyak perusahaan belum memahami metode pengukuran yang tepat untuk melakukan evaluasi pada Level 4. Salah satu masalah yang dihadapi adalah cara untuk mengukur seberapa besar peran training terhadap perubahan/peningkatan kinerja yang terjadi. Disadari bahwa peningkatan kinerja seorang pegawai tidak hanya disebabkan oleh training semata, melainkan dapat pula akibat faktor‐faktor lainnya, seperti adanya lingkungan kerja yang mendukung, perbaikan sistem dan metode kerja, peningkatan teknologi yang digunakan, dan sebagainya. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pemilahan/isolasi atas peningkatan kinerja atau result yang benar‐benar merupakan dampak training dan bukannya disebabkan oleh faktor‐faktor lainnya.
−
Spesifikasi penelitian Berbeda dari evaluasi Level 1 dan Level 2 yang bersifat umum, evaluasi Level 3 dan Level 4 memiliki spesifikasi khusus yang berbeda antara satu training dengan training lainnya. Dengan demikian, peneliti/evaluator harus memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang training itu sendiri, khususnya dikaitkan dengan pekerjaan yang ditangani sehari‐ hari oleh eks‐peserta training tersebut.
Lebih jauh lagi, hasil evaluasi pada Level 4 ini dapat digunakan sebagai dasar perhitungan Return on Training Investment (ROTI) yang membandingkan hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan suatu training. Perusahaan/penyelenggara training semakin menyadari pentingnya dilakukan evaluasi hingga Level 4 sekaligus pengukuran ROTI‐nya agar mereka memiliki keyakinan bahwa training yang diselenggarakannya benar‐benar memiliki dampak positif terhadap kinerja perusahaannya serta masih memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Beberapa peneliti juga menekankan pentingnya evaluasi training yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada perusahaan mengenai kontribusi training tersebut terhadap kinerja perusahaan. Sandra Shelton dan George Alliger (1993), Donna Goldwasser (2001), serta Jack J. Phillips dan Ron Drew Stone (2002) adalah beberapa peneliti yang meyakini bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on investment.
5
Pembahasan di atas menyiratkan perlunya dilakukan evaluasi training yang lengkap dan komprehensif untuk mengetahui efektivitas penyelenggaraan training tersebut dalam konteks perubahan/peningkatan kinerja pegawai yang pada gilirannya membawa dampak positif bagi kemajuan bisnis perusahaan. Lebih jauh lagi, pengukuran efektivitas training tersebut haruslah dilakukan dalam hubungannya dengan business results dan return on investment agar dapat memberikan gambaran finansial yang sebenarnya bagi perusahaan.
Teori Evaluasi Training: The Four Levels Salah satu teori mengenai evaluasi training dikemukakan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959, yang dikenal dengan The Four Levels Techniques for Evaluating Training Programs. Pada prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa proses evaluasi suatu training terdiri dari empat tingkat/level yaitu Level 1 sampai dengan Level 4 yang, meskipun tidak sekuensial, saling terkait satu dengan lainnya. Teori ini sangat terkenal dan telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4, sehingga bahkan dapat dikatakan tidak ada teori lain mengenai evaluasi training yang demikian terkenalnya dibandingkan teori Kirkpatrick ini. Evaluasi Training Level 1: Reaction Kirkpatrick mengatakan bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai training yang diikutinya merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena menurutnya apabila seorang peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara‐cara penyelenggaraan training maka jangan diharapkan dia mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan dalam training tersebut. Hal‐hal yang dievaluasi pada level ini antara lain mengenai materi training, instruktur/ trainer, fasilitas yang disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan evaluasi Level 1 ini. Pertama, memberikan umpan balik (feedback) yang berguna bagi penyempurnaan penyelenggaraan training berikutnya. Kedua, jika peserta tidak ditanya reaksinya maka dengan kata lain pihak penyelenggara akan merasa paling tahu dan sudah merasa benar dalam menyelenggarakan training. Ketiga, evaluasi Level 1 akan memberikan informasi kuantitatif yang dapat menjadi masukan bagi para manajer ataupun pihak‐pihak lain yang berkepentingan dengan program training tersebut. Keempat, umpan balik peserta training akan memberikan informasi yang sangat berharga bagi para trainer dalam meningkatkan kinerjanya pada program‐program training berikutnya. Evaluasi Training Level 2: Learning Tiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes) merupakan hal‐hal yang dapat diajarkan dalam suatu training. Oleh karenanya, evaluasi pada level ini juga menekankan pada seberapa jauh pembelajaran (learning) peserta atas materi training dalam konteks peningkatan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya dilakukan evaluasi ini 6
karena menurutnya jika seorang peserta tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan berharap akan terjadi perubahan dalam behavior‐nya saat dia kembali ke tempat kerjanya. Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan baik materi training, biasanya dilakukan pengujian sebelum dan sesudah training (pre‐test dan post‐test) dengan materi yang sama atau tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika terdapat peningkatan skor hasil post‐test dibandingkan pre‐test maka diyakini bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti training. Evaluasi Training Level 3: Behavior Evaluasi Level 3 ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada eks‐peserta pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan atas behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes). Menurut Kirkpatrick, pertanyaan kritis pada evaluasi ini adalah: perubahan‐ perubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah seorang pegawai mengikuti training tertentu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu pertama, eks‐peserta tidak dapat merubah behavior‐nya sampai dia memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sukar untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi dan ketiga, bisa jadi eks‐peserta tadi menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaannya sehari‐hari sekembalinya dari training, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari. Dengan kata lain, evaluasi Level 3 ini tidak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi pada behavior eks‐peserta, namun lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang terjadi tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari‐harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh eks‐peserta training berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam bekerja pada kenyataannya tidak membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk diterapkan dalam pekerjaannya, halmana disebabkan oleh adanya faktor‐faktor non‐training yang menjadi penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan behavior dalam praktek kerja sehari‐hari, Kirkpatrick juga menyarankan perlunya diberikan bantuan, dorongan, serta penghargaan bagi eks‐peserta training ketika dia kembali ke tempat kerjanya. Evaluasi Training Level 4: Results Evaluasi Level 4 diakui oleh Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit untuk dilakukan, yaitu sejauhmana training yang dilakukan memberikan dampak/ hasil (results) terhadap peningkatan kinerja eks‐peserta, unit kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan. Kirkpatrick meyakini bahwa dampak training terhadap kinerja tidaklah mungkin 7
dievaluasi dalam konteks analisis keuangan. Ada dua hal yang mendasari keyakinannya tersebut. Pertama, tidaklah mungkin mengukur results yang diperoleh dari training dalam satuan keuangan untuk kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan training tersebut. Kedua, jikapun hal pertama tadi dapat dilakukan, analisis yang diperoleh tidak lalu menyimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari program training. Dengan kata lain, masih ada faktor‐faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan kinerja yang terjadi dan tidak semata‐mata merupakan hasil training. Menurut Kirkpatrick, results yang diperoleh seringkali merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dikuantifisir, misalnya peningkatan kualitas kerja, produktivitas yang semakin meningkat, peningkatan kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan kerjasama antar pegawai, dan sebagainya. Di sisi lain, biaya penyelenggaraan program juga terlalu sukar untuk ditentukan dan diisolasi dari biaya‐biaya lainnya. Dengan kata lain, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi perhitungan manfaat maupun biaya suatu training. Kritik Atas Teori The Four Levels Meskipun teori The Four Levels tadi telah memberikan dasar yang kuat dalam hal melakukan evaluasi training, tidak sedikit pula pakar yang mengajukan kritik atas beberapa keterbatasan yang ada dalam teori tersebut. Dalam bukunya, Raymond A. Noe (2005) mengemukakan tiga kritik. Pertama, penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan pemahaman bahwa setiap level dipengaruhi oleh level sebelumnya sebagaimana yang dikemukakan dalam kerangka Kirkpatrick, dan juga bahwa tidak terbukti adanya perbedaan tingkat kepentingan dalam setiap level evaluasi. Kedua, pendekatan yang digunakan dalam teori The Four Levels tidak mempertimbangkan tujuan dari evaluasi itu sendiri. Seharusnya, menurut Noe, hasil evaluasi tersebut dihubungkan dengan kebutuhan training (training needs), tujuan training, serta pertimbangan‐pertimbangan stratejik yang melatarbelakangi diselenggarakannya training tersebut. Kritik ketiga terkait dengan waktu pelaksanaan evaluasi. Menurut teori The Four Levels, evaluasi harus dilakukan secara bertahap, level demi level, padahal dalam kenyataannya evaluasi Level 1 dan Level 2 harus dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan ‐yaitu di akhir program‐ untuk mengukur apakah memang telah terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang positif atas para peserta training. Berdasarkan kritik‐kritik tersebut, para pakar berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi training perlu dipertimbangkan pula beberapa keluaran training (training outcomes) lainnya
8
agar mampu memberikan kesimpulan yang lebih komprehensif. Noe mengelompokkan training outcomes tersebut dalam lima kategori, yaitu: − cognitive outcomes (digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta memahami prinsip‐ prinsip, fakta, teknik, prosedur, atau proses kerja yang diberikan dalam training), − skill‐based outcomes (digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan dan perilaku kerja peserta), − affective outcomes (digunakan untuk mengukur reaksi dan motivasi peserta atas penyelenggaraan training), − results (digunakan untuk mengukur kontribusi training kepada peningkatan kinerja perusahaan), dan − return on investment (membandingkan manfaat yang diperoleh dari hasil penyelenggaraan training dengan biaya yang dikeluarkan). Memperhatikan kelima kategori training outcomes tersebut, maka hal yang paling membedakannya dengan teori The Four Levels sebenarnya adalah pada kategori kelima (return on investment) yang menegaskan perlunya diperbandingkan biaya penyelenggaraan training dengan manfaat yang diperoleh dalam bentuk analisis finansial dengan menggunakan ukuran‐ukuran keuangan.
Pendekatan Finansial Dalam Mengukur Dampak Training: Return on Training Investment Sebagaimana telah dikemukakan di atas, teori The Four Levels telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4. Diskusi dan perdebatan terjadi sehubungan dengan mungkin tidaknya suatu training diukur dalam perspektif finansial, khususnya dalam bentuk perhitungan Return on Investment (ROI) atau dalam hal ini Return on Training Investment (ROTI). Beberapa pakar, termasuk Kirkpatrick sendiri, berpendapat bahwa Level 4 mengukur seluruh hasil akhir (final result) yang disebabkan oleh training tersebut dan bahwa yang dimaksudkan dengan pengukuran pada Level 4 tersebut bukanlah merupakan suatu analisis finansial, termasuk ROTI ataupun training cost‐benefit analysis. Menurut Karie A. Willyerd (1997), banyak orang yang salah menginterpretasikan Level 4 sebagai tahap perhitungan ROI, padahal Kirkpatrick secara tegas menyebutnya sebagai tahap pengukuran results, dimana kedua istilah tadi pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan sehingga penting untung dipermasalahkan. Menurutnya, paling tidak ada tiga keterbatasan metode ROI yang menyebabkannya bukanlah merupakan alat diagnostik yang baik untuk mengevaluasi suatu training. Pertama, ROI biasanya tidak mencakup seluruh tujuan stratejik perusahaan. Kedua, ROI lebih merupakan potret sesaat yang memberikan informasi mengenai apa yang telah dicapai perusahaan, namun tidak mampu memberikan gambaran mengenai apa yang akan dicapai di masa depan. 9
Ketiga, ROI merupakan sebuah lagging indicator. Pendeknya, menurut Karie, ROI bukanlah suatu metode yang mampu memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai evaluasi training sebaik yang diberikan oleh pengukuran result sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kirkpatrick. Sebaliknya, beberapa pakar justru menekankan pentingnya evaluasi training yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada perusahaan mengenai kontribusi training tersebut terhadap kinerja perusahaan. Sandra Shelton dan George Alliger (1993) menegaskan bahwa tidak dapat dihindari lagi bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on investment. Shelton dan Alliger mensinyalir bahwa banyak perusahaan tidak mau melakukan evaluasi finansial atas training yang diselenggarakannya karena masalah pengumpulan data dan interpretasinya yang sulit dan membutuhkan banyak waktu, meski sebenarnya mereka telah menyadari bahwa training cost‐benefit analysis akan memberikan informasi yang jauh lebih baik bagi kepentingan perusahaan dibandingkan data yang diperoleh dari survey mengenai pelaksanaan training itu sendiri. Donna Goldwasser (2001) juga menekankan perlunya dilakukan evaluasi training yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya secara tegas, bahkan dia mengatakan bahwa evaluasi pada ketiga level pertama (Level 1 sampai dengan Level 3) menjadi berkurang maknanya apabila perusahaan tidak mengevaluasi training sesuai dengan bottom line‐nya, yaitu meningkatkan kinerja pegawai dan perusahaan secara keseluruhan. Goldwasser mengatakan bahwa salah satu hambatan utama dalam melakukan evaluasi Level 4 dan perhitungan ROTI adalah masalah metode pengukuran (measurement) yang tepat untuk digunakan, termasuk untuk mengisolasi hasil yang diperoleh akibat training dari faktor‐faktor lainnya. Jack J. Phillips dan Ron Drew Stone (2002) bahkan lebih tegas lagi. Phillips dan Stone tidak hanya berpendapat bahwa evaluasi training harus dilakukan dalam konteks training cost‐ benefit analysis, namun lebih jauh lagi mereka menyebut perhitungan ROTI sebagai evaluasi Level 5. Level 5 ini merupakan evaluasi terhadap nilai‐nilai finansial dari pengaruh bisnis (business impact) yang diakibatkan oleh penyelenggaraan training, dibandingkan dengan biaya training itu sendiri. Data business impact dikonversi ke dalam nilai‐nilai finansial agar dapat dimasukkan dalam perhitungan matematis ROTI. Dengan perhitungan tersebut maka nilai training yang sesungguhnya dapat tergambarkan dalam konteks bisnis perusahaan secara keseluruhan. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa evaluasi training tidaklah lengkap bila tidak dilakukan hingga Level 5. Phillips dan Stone juga mengemukakan perlunya diperhitungkan manfaat‐manfaat training lain yang merupakan intangible benefits yang tidak dapat atau tidak boleh dikonversi ke 10
dalam nilai‐nilai finansial. Beberapa contoh intangible benefits antara lain peningkatan kepuasan pelanggan/nasabah, perbaikan dalam hal response time kepada pelanggan/nasabah, peningkatan kerjasama, dan sebagainya. Berkaitan dengan evaluasi hingga Level 4 sekaligus perhitungan ROTI ini, Shelton dan Alliger (1993) mengingatkan bahwa tidak semua jenis training perlu dievaluasi hingga level tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan menurut mereka adalah meyakini terlebih dahulu apakah memang training yang akan dievaluasi memiliki dampak langsung terhadap business results perusahaan dan memang ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara langsung. Jika tidak, maka evaluasi hingga Level 4 dan perhitungan ROTI sesungguhnya tidak diperlukan. Setelah memastikan hal tersebut, harus pula diyakini bahwa evaluasi Level 4 dan perhitungan ROTI tersebut memang dapat dilakukan (doable) terkait dengan ketersediaan data, waktu, biaya, dan terutama metode pengukuran kinerja usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan penelaahan terhadap berbagai pandangan para peneliti di atas maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya dimungkinkan untuk melakukan evaluasi suatu training hingga ke perhitungan dampak finansialnya, antara lain dalam bentuk Return on Training Investment. Dalam melakukan perhitungan dampak finansial training tersebut, terdapat dua hal penting yang perlu dicermati, yaitu pertama perlunya dilakukan isolasi atas faktor training dari faktor‐faktor lainnya agar perusahaan dapat meyakini seberapa besar kontribusi training terhadap perubahan/peningkatan kinerja seseorang; dan kedua kemampuan untuk mengkonversi data yang diperoleh ke dalam ukuran‐ukuran finansial. Tahap isolasi faktor training dan tahap konversi data ini sekaligus menjawab keraguan Kirkpatrick mengenai mungkin tidaknya perhitungan dampak finansial training dilakukan.
Ilustrasi Penghitungan ROTI Sebagai ilustrasi dalam penghitungan ROTI digunakan training Selling Retail Bank Services (SRBS) yang diselenggarakan oleh Bank X. Bank X merupakan salah satu bank milik negara terbesar di Indonesia dilihat dari sisi jumlah aktiva maupun dana pihak ketiganya. Bank X melayani lebih dari enam juta nasabah dan memiliki sekitar 18.000 orang pegawai, serta lebih dari 800 kantor cabang dan kantor kas. Jaringan distribusi lainnya adalah ATM sejumlah lebih dari 1.500 unit serta jaringan ATM Link hasil kerja sama dengan bank‐bank milik negara lainnya, yang memungkinkan nasabah untuk mengakses ke lebih dari 3.000 ATM. Pada awal pembentukannya, bank ini memiliki core competence sebagai corporate bank sebagaimana halnya dengan bank‐bank milik negara lainnya. Namun seiring dengan terjadinya gejolak di segmen corporate bank serta sejalan dengan visi baru perusahaan yang ditetapkan tahun 2001, dilakukan transformasi core competence Bank X menjadi universal bank yang memiliki keunggulan bersaing di segmen consumer/ritel, commercial, dan corporate bank. Transformasi tersebut menuntut Bank X untuk mengejar ketertinggalannya 11
dari bank‐bank pesaing, khususnya di segmen ritel, sementara segmen corporate dan commercial relatif tidak terlalu menuntut perhatian mengingat pengalaman bank‐bank bergabung (legacy banks) yang telah puluhan tahun berkiprah di industri perbankan Indonesia. Begitu pentingnya untuk segera mengembangkan segmen usaha ritel, hingga manajemen Bank X memutuskan untuk melakukan perubahan secara quantum‐leap di segmen tersebut. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan bank tersebut, antara lain menyelenggarakan program kampanye produk deposito dan tabungan secara besar‐besaran, pembukaan Priority Banking Center bagi nasabah utama, peningkatan kredit kepada segmen usaha kecil dan menengah, serta peluncuran kartu kredit. Untuk meningkatkan kemudahan pencapaian pelayanan nasabah ritel, Bank X juga terus menyempurnakan jaringan distribusi baik kantor cabang, kantor kas, maupun ATM. Dalam perkembangannya di tahun‐tahun selanjutnya, upaya Bank X untuk mengembangkan segmen usaha ritel ini semakin gencar untuk mengejar ketertinggalan dari bank‐bank pesaingnya. Dalam kaitannya dengan strategi perusahaan untuk mengejar ketertinggalannya dalam pengembangan sektor perbankan ritel tersebut, training Selling Retail Bank Services (SRBS) merupakan salah satu kegiatan pendidikan dan pelatihan yang memiliki nilai stratejik bagi pengembangan usaha Bank X. Bahkan, dalam konteks persaingan antarbank yang semakin meningkat, SRBS telah berkembang menjadi salah satu training yang diandalkan oleh Bank X untuk terus meningkatkan kompetensinya di segmen ritel. Training SRBS ini diselenggarakan sejak tahun 2001 dan telah diikuti oleh ribuan pegawai Bank X, khususnya yang terkait dengan pengembangan usaha sektor ritel bank tersebut. Evaluasi Level 1 dan 2 atas training SRBS ini juga telah dilakukan selama ini dengan menunjukkan hasil yang baik. Sekilas Tentang Training Selling Retail Bank Services Ada 5 (lima) tujuan yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan training SRBS ini, sebagai berikut: • Peserta mampu mempelajari proses penjualan produk‐produk perbankan segmen ritel serta menentukan langkah yang akan dilakukan saat berinteraksi dengan nasabah. • Peserta mampu mengamati situasi dan masalah agar dapat menentukan kebutuhan nasabah dengan tepat. • Peserta mengetahui manfaat dan perbedaan setiap fitur produk serta memahami cara penerapannya saat berinteraksi. • Peserta mengetahui cara mengatasi keluhan nasabah serta menarik manfaat dari keluhan tersebut. • Peserta mengetahui cara mendapatkan komitmen dari nasabah terhadap produk/layanan yang diberikan.
12
Sementara itu, peserta training adalah pihak‐pihak yang terlibat langsung dalam proses penjualan produk dan jasa, khususnya di segmen ritel, seperti frontliners, dan unit pemasaran baik di bidang dana maupun kredit. Peserta umumnya berasal dari berbagai tingkat jabatan seperti Customer Service Officer, Customer Service Representative, Marketing Officer, dan Assistant Marketing Officer.
Profil Responden Responden adalah eks‐peserta training Selling Retail Bank Services yang telah mengikuti training tersebut minimal satu bulan sebelumnya, untuk memberi kesempatan baginya menerapkan materi training dalam pekerjaannya sehari‐hari. Dari sekitar 300 kuesioner yang disebarkan, tercatat 120 kuesioner yang dikirimkan kembali dan dapat diolah. Dengan demikian, tingkat pengembalian kuesioner mencapai sekitar 40%. Sebagian besar kuesioner yang kembali berasal dari cabang‐cabang Bank X di wilayah Jabodetabek dan Pulau Jawa lainnya, sementara sisanya berasal dari cabang‐cabang di Pulau Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Dari 120 responden yang mengisi kuesioner, 77% di antaranya merupakan pegawai perempuan, sementara sebagian besar (64%) memiliki usia antara 25 hingga 35 tahun (lihat Tabel 1). Profil pegawai frontliners ini umum terdapat di industri perbankan nasional, termasuk Bank X, yang memang lebih banyak menempatkan pegawai perempuan berusia muda di posisi jabatan yang berinteraksi langsung dengan nasabah.
Tabel 1 Usia Responden Usia
Jumlah Persentase
<25 tahun
4
3%
25‐35 tahun 36‐45 tahun
77 27
64% 23%
>45 tahun
12
10%
Jumlah
120
100%
Sumber: Hasil analisis .
Selanjutnya, 68% responden memiliki tingkat pendidikan S1, sementara pengalaman kerja mereka sebagian besar telah lebih dari 6 tahun (lihat Tabel 2 dan 3). Kedua karakteristik ini mengindikasikan bahwa rata‐rata responden telah memiliki tingkat pendidikan, wawasan, serta pengalaman kerja yang relatif cukup memadai.
13
Tabel 2 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
SLTA
16
13%
D3
20
17%
S1
82
68%
S2
2
2%
120
100%
Jumlah Sumber: Hasil analisis
. Tabel 3 Pengalaman Kerja Responden Lama Bekerja
Jumlah
Persentase
<1 tahun
0
0%
1‐3 tahun
21
18%
3‐6 tahun
40
33%
>6 tahun
59
49%
Jumlah
120
100%
Sumber: Hasil analisis
Tahapan Penghitungan Untuk mencapai tujuan akhirnya, penghitungan dibagi dalam beberapa tahap proses kegiatan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Proses kegiatan tersebut pada dasarnya mengacu pada proses yang dikemukakan oleh Jack J. Phillips (2002), dengan dilakukan beberapa penyederhanaan sesuai lingkup ilustrasi ini. Tahap Pengumpulan Data Data yang digunakan merupakan data yang dikumpulkan setelah program training SRBS dilakukan dan para eks‐peserta telah kembali ke tempat kerjanya semula, agar terdapat kesempatan yang cukup bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selama training. Menurut Jack J. Phillips (2002), tahap pengumpulan data ini merupakan salah satu tahap terpenting dari seluruh rangkaian proses karena apabila tidak dilakukan dengan baik maka tidak mungkin mencapai hasil yang diharapkan. Tahap ini juga merupakan kegiatan yang paling banyak menyita waktu dibandingkan dengan kegiatan‐kegiatan lainnya. Phillips juga mengatakan bahwa pemilihan metode yang tepat dalam tahap pengumpulan data ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain jenis training, kesediaan eks‐peserta untuk bekerjasama, kendala‐kendala yang ada dalam organisasi/ perusahaan, ketersediaan data,
14
biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data, serta keakuratan data itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Phillips menawarkan 10 (sepuluh) metode pengumpulan data yang dapat diterapkan dalam melakukan evaluasi training Level 3 dan Level 4 ini, sebagai berikut: • Follow‐up Surveys Metode ini merupakan sarana untuk memperoleh pendapat, keyakinan, serta nilai‐nilai yang dimiliki responden dalam melakukan operasional pekerjaannya, sehingga hanya dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 saja.
15
Tahap 4: Identifikasi Biaya Training
Gambar 1 Tahapan Kegiatan
Tahap 1: Pengumpulan Data
Tahap 2: Isolasi Pengaruh Training
Sumber: Jack J. Phillips, How to Measure Training Results, 2002, dengan penyesuaian.
Tahap 3: Konversi Data Menjadi Monetary Values
Tahap 5: Perhitungan Return on Training Investment
Evaluasi Training Level 3, Level 4, dan ROTI
Tahap 6: Identifikasi Intangible Benefits
23
•
•
•
•
•
•
•
Follow‐up Questionnaires Metode ini dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 maupun Level 4 karena mencakup isu yang lebih luas dengan jenis pertanyaan yang beragam dibandingkan metode sebelumnya. Suatu kuesioner bersifat lebih fleksibel dan dapat memberikan informasi yang beragam, mulai dari sikap kerja sampai dengan statistik peningkatan kinerja yang terjadi. Observations on the Job Metode ini digunakan untuk evaluasi Level 3 dan kadangkala dianggap kurang menyenangkan karena pada prinsipnya dilakukan dengan cara mengawasi secara diam‐ diam pekerjaan responden. Metode ini hanya efektif apabila pengawas merupakan orang yang tidak dikenal oleh responden. Follow‐up Interviews Secara umum, metode ini dapat memberikan informasi yang lebih lengkap karena kelengkapan dan kebenaran data dapat diyakini oleh peneliti. Kekurangannya adalah bahwa metode ini relatif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lama, di samping kesulitan dalam pengolahan data karena sebagian informasinya bersifat subyektif. Metode ini digunakan untuk evaluasi Level 3. Follow‐up Focus Groups Metode ini sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 3. Keuntungan dari metode ini adalah pendekatannya yang lebih bersifat ekonomikal dibandingkan metode Follow‐up Interviews serta adanya sinergi yang muncul dari hasil diskusi kelompok, sementara kekurangmampuannya untuk memberikan pembahasan yang lebih detil menjadi kekurangan metode ini. Assignment Related to the Program Dalam beberapa kasus, metode ini dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 maupun Level 4. Pada prinsipnya, responden diminta menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu dalam waktu yang telah ditentukan untuk mengamati penerapan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selama training dalam pekerjaan sehari‐hari. Action Planning/Improvement Plans Metode ini juga dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 dan Level 4. Responden diminta untuk menyusun rencana aksi/action plan sebagai bagian dari program training yang diikutinya. Rencana aksi tersebut berisikan hal‐hal yang harus diselesaikan, oleh siapa, dan kapan waktu penyelesaiannya. Performance Contracting 24
Metode ini merupakan variasi dari metode Action Planning Process, dimana komitmen yang dibuat antara responden/eks‐peserta, atasannya, dan trainer menjadi kontrak kinerja yang harus dicapai oleh responden. Sebagaimana halnya dengan metode Action Planning Process, metode ini juga dapat digunakan dalam evaluasi Level 3 dan Level 4. •
•
Program Follow‐up Session Metode ini membagi suatu program training menjadi beberapa sesi dengan tujuan antara lain untuk memberikan evaluasi yang lebih baik dari program tersebut. Metode ini dapat digunakan dalam evaluasi training Level 3 dan Level 4. Performance Monitoring Metode ini memungkinkan manajemen mengevaluasi kinerja responden dengan memanfaatkan pula laporan dan data‐data historis perusahaan. Oleh karenanya, metode ini lebih sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 4.
Dari sepuluh metode di atas, metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner merupakan salah satu metode yang paling sering dipakai dan dapat diterapkan dalam evaluasi Level 3 maupun Level 4. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data dari para eks‐peserta training SRBS, dengan pertimbangan antara lain: − jenis training yang memungkinkan untuk dilakukan pengumpulan data menggunakan kuesioner, − keterbatasan waktu dan biaya, khususnya mengingat distribusi eks‐peserta yang berasal dari cabang‐cabang Bank X di hampir seluruh wilayah Indonesia, − dimungkinkan untuk mencapai tingkat partisipasi yang relatif tinggi dari para eks‐ peserta training dengan memanfaatkan sistem birokrasi yang ada di Bank X. Terkait dengan evaluasi training Level 3 dan Level 4, Jack J Phillips (2002) telah memberikan kisi‐kisi mengenai isi kuesioner dalam rangka evaluasi tersebut. Jenis pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner tersebut merupakan kombinasi antara pertanyaan tertutup, pertanyaan terbuka, kombinasi pertanyaan tertutup dan terbuka, serta pertanyaan semi terbuka. Dengan melakukan beberapa penyesuaian atas kisi‐kisi tersebut, selanjutnya dapat disusun kuesioner dalam rangka evaluasi training SRBS untuk Level 3 dan Level 4 yang terdiri dari 15 (limabelas) item pertanyaan. Selanjutnya, kuesioner tersebut dikirimkan ke eks‐peserta training SRBS yang berada di cabang‐cabang Bank X di wilayah Indonesia. Sesuai dengan masukan dari unit kerja terkait di Bank X, eks‐peserta yang diminta untuk berpartisipasi dibatasi pada eks‐peserta training tahun 2005 saja untuk menghindari terjadinya bias dalam menjawab pertanyaan terkait dengan materi‐materi training lain yang juga diikutinya, di samping diperkirakan mereka 25
masih mengingat materi training SRBS dengan cukup baik sehingga mampu memberikan respon sebagaimana yang diharapkan. Kuesioner dikirimkan kepada eks‐peserta training sebagai sumber data yang dianggap paling berkompeten. Terkait dengan sumber data tersebut, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para peneliti. Secara umum, para peneliti berpendapat bahwa untuk memperoleh hasil yang lebih obyektif, evaluasi perubahan perilaku seseorang setelah dia mengikuti training tertentu perlu dilakukan secara 3600 dengan menyertakan pula atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang dapat mengamati perubahan perilaku eks‐ peserta tersebut. Dalam hal ini, Jack J. Phillips (2002) mengatakan bahwa participant (eks‐peserta) merupakan sumber data yang paling sering digunakan dan bahwa mereka memang berada pada posisi yang memungkinkan untuk memberikan data yang lengkap. Menurutnya, participant merupakan sumber data yang sangat credible karena pada dasarnya mereka merupakan orang yang memang mengalami sendiri perubahan akibat training dan juga merupakan orang yang paling mengetahui proses kerja serta pencapaian kinerja yang dihasilkan setelah mengikuti training tersebut. Kirkpatrick (1998) juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, trainee (eks‐peserta) adalah orang yang paling mengetahui perubahan apa yang telah terjadi dalam perilaku kerjanya serta sejauhmana terjadi peningkatan kinerja dalam pekerjaannya sehari‐hari. Dalam petunjuk/guidelines untuk melakukan evaluasi Level 3 yang dikemukakannya, Kirkpatrick mengusulkan agar penelitian dapat dilakukan terhadap eks‐peserta dan/atau terhadap atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang dapat mengamati perubahan behavior eks‐peserta. Dengan kata lain, penilaian 3600 bukanlah merupakan hal yang mutlak harus dilakukan, melainkan merupakan sebuah pilihan yang pemutusannya dilakukan dengan mempertimbangkan pula keberadaan berbagai kendala dan faktor, terutama biaya dan waktu yang dibutuhkan, relatif terhadap hasil yang akan diperoleh. Meskipun demikian, tidak pula dapat dipungkiri bahwa hasil penelitian yang dilakukan secara 3600 akan memberikan hasil yang lebih obyektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu sumber data tertentu saja. Tahap Isolasi Pengaruh Training Kenyataan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan akan memberikan dampak/pengaruh terhadap perubahan kinerja seseorang merupakan hal yang tidak terbantahkan. Pertanyaannya adalah: apakah perubahan kinerja yang terjadi pada seseorang melulu hanya disebabkan oleh keikutsertaannya dalam suatu program training tertentu? Lebih jauh lagi, apakah dimungkinkan untuk melakukan isolasi dampak training dari faktor‐faktor pengaruh 26
lainnya? Pemikiran ini telah menjadi bahan perdebatan panjang di kalangan para peneliti selama bertahun‐tahun, termasuk Kirkpatrick sendiri. Menurut Kirkpatrick (1998), perubahan kinerja seseorang setelah mengikuti training (yang merupakan results dari training tersebut) tidaklah secara tegas dan jelas membuktikan bahwa hasil positif yang diperoleh tersebut merupakan akibat langsung dari program training tadi. Dengan dasar pemikiran tersebut, Kirkpatrick sekaligus menegaskan pendapatnya bahwa evaluasi training tidak mungkin dilakukan dalam perspektif finansial yang membutuhkan perhitungan secara eksak. Berbeda dengan Kirkpatrick, Jack J. Phillips (2002) sebaliknya tidak hanya berpendapat bahwa mengisolasi pengaruh training dari faktor‐faktor lainnya merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan, namun lebih jauh lagi Phillips juga menawarkan 10 (sepuluh) strategi terbaik untuk melakukan hal tersebut. Kesepuluh strategi tersebut adalah sebagai berikut: • Control Groups Metode ini sebenarnya merupakan metode isolasi yang paling akurat, yang dilakukan dengan cara membandingkan kinerja antara kelompok yang mengikuti program training dengan kelompok lain (control groups) yang tidak mengikuti program training. Hanya saja, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain sangat sulitnya untuk mendapatkan control groups yang benar‐benar identik dengan kelompok yang mengikuti program training selain dari pengaruh training itu sendiri. Kelemahan lainnnya adalah apabila kelompok‐kelompok yang dibandingkan tersebut berada di lokasi yang berbeda, maka terdapat pengaruh lingkungan yang berbeda pula. • Trend Line Analysis Metode ini pada prinsipnya memperkirakan besarnya pengaruh training dengan menggunakan data‐data historis yang ada. Data‐data sebelum dan sesudah training digambarkan dalam suatu grafik yang menunjukkan adanya kecenderungan/trend yang berbeda antara kedua periode pengamatan tersebut. Keuntungan dari metode ini adalah sederhana, murah, dan relatif mudah digunakan, sementara kelemahannya antara lain hanya dapat diterapkan pada pekerjaan yang memiliki data historis yang relatif lengkap dan memadai. • Forecasting Sebagaimana halnya dengan metode Trend Line Analysis, metode ini juga merupakan metode statistik. Hanya saja pengukuran besarnya perbaikan kinerja yang terjadi setelah mengikuti program training tidak digambarkan dalam bentuk grafik, melainkan dihitung dalam bentuk persamaan matematika.
27
•
•
•
•
•
•
•
Participant Estimate Metode ini merupakan salah satu metode isolasi yang relatif mudah digunakan dengan cara meminta responden/eks‐peserta untuk memperkirakan besarnya pengaruh training terhadap pekerjaannya dalam ukuran persentase. Pertimbangan penggunaan metode ini antara lain adalah bahwa eks‐peserta training merupakan pihak yang terlibat langsung dan oleh karenanya paling mengetahui perubahan apa saja yang terjadi setelah dia mengikuti program training. Supervisor Estimate Metode ini merupakan pelengkap dari metode Participant Estimate, dimana atasan dari responden juga diminta untuk memperkirakan persentase dampak training terhadap perubahan kinerja responden yang bersangkutan. Management Estimate Dalam beberapa kasus, sebagai informasi tambahan, pihak manajemen dapat pula dimintakan untuk memperkirakan besarnya pengaruh training terhadap perubahan kinerja yang terjadi. Customer Input Metode ini dilakukan dengan menanyakan kepada nasabah/pelanggan mengenai perubahan pelayanan yang diterimanya setelah pegawai menerapkan materi training yang diikutinya. Metode ini lebih sesuai untuk difokuskan pada perubahan perilaku yang memang menjadi tujuan dari program training tersebut. Experts Estimate Kadangkala tenaga ahli (experts), baik yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan, dapat dimintakan pendapatnya untuk memperkirakan besarnya pengaruh training. Kelemahan metode ini antara lain adalah kemungkinan tidak akuratnya estimasi yang diberikan oleh experts tersebut terkait dengan ketidakterlibatannya dalam proses evaluasi secara keseluruhan. Subordinate Input Metode ini dilakukan dengan meminta bawahan responden untuk memperkirakan pengaruh training terhadap kinerja responden. Pendekatan ini sesuai untuk digunakan pada situasi dimana perubahan/peningkatan kinerja dicapai melalui penggunaan keterampilan bersama pegawai‐pegawai lainnya. Other Factors Impact Pada prinsipnya, metode ini mengukur dampak training dengan cara mengukur terlebih dahulu besarnya pengaruh dari faktor‐faktor lain. Dengan kata lain, besarnya perubahan yang terjadi akibat pengaruh training adalah yang tidak dapat digolongkan 28
sebagai pengaruh faktor‐faktor lain tersebut. Metode ini lebih sesuai untuk digunakan ketika faktor‐faktor lain tersebut relatif mudah diidentifikasi dan dihitung. Penetapan metode mana yang dipilih tergantung dari jenis training, kendala‐kendala yang ada dalam organisasi/perusahaan, ketersediaan data, biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data, serta kompetensi sumber data yang dipilih. Menurut Phillips, salah satu metode yang paling mudah digunakan adalah memperoleh data berdasarkan perkiraan dari participant (eks‐peserta) training itu sendiri, yaitu dengan menggunakan metode Participant Estimate. Efektivitas pendekatan ini terletak pada asumsi bahwa participant memiliki kemampuan untuk menentukan atau memperkirakan seberapa besar peningkatan kinerja yang dialaminya itu terkait dengan program training yang diikutinya. Participant seharusnya merupakan pihak yang paling mengetahui seberapa besar perubahan yang disebabkan oleh pengaplikasian program training dalam pekerjaannya sehari‐hari. Lebih jauh lagi, Phillips juga berpendapat bahwa meskipun hanya merupakan estimasi, nilai yang diperoleh biasanya memiliki kredibilitas yang tinggi, terutama mengingat participant berada di tengah‐tengah perubahan atau peningkatan kinerja yang terjadi. Pemikiran ini pula, di samping pertimbangan faktor biaya dan waktu, yang mendasari pemilihan metode Participant Estimate. Sementara itu, terdapat pula kelemahan dari pendekatan ini yaitu adanya unsur subyektivitas responden dalam memberikan perkiraan besarnya kontribusi masing‐masing faktor. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh subyektivitas ini adalah dengan menanyakan seberapa jauh tingkat keyakinan (level of confidence) responden dalam memberikan perkiraannya tersebut. Namun, sebelum menetapkan metode mana yang akan digunakan, Phillips juga menekankan perlunya terlebih dahulu diidentifikasi faktor‐faktor apa saja yang memiliki kontribusi terhadap perubahan yang terjadi setelah program training diselenggarakan. Langevin Learning Services (2001), sebuah konsultan training internasional, berpendapat bahwa hal‐hal yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kinerja seseorang dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) faktor pengaruh, sebagai berikut: • Knowledge and Skill Faktor ini merupakan pengaruh dari program training yang diselenggarakan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan seorang pegawai pada kenyataannya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerjanya. • Capacity Faktor ini merupakan kemampuan mental dan fisik individu yang memungkinkannya melakukan pekerjaannya dengan baik. 29
•
•
•
•
Standards Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya standar kerja yang jelas sehingga seorang pegawai dapat mengetahui dengan tepat apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya. Measurement Adanya sistem pengukuran kinerja yang jelas, transparan, obyektif, serta disusun atas dasar standar kerja yang baku akan berpengaruh pula terhadap kinerja pegawai. Feedback Adanya informasi mengenai penilaian bagaimana hasil kerja seseorang juga akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Dalam hal ini, masukan yang diperoleh secara cepat, cukup sering, spesifik, akurat, dan obyektif diyakini memiliki pengaruh yang positif. Conditions Situasi dan kondisi kerja yang kondusif, seperti sistem operasional yang baik, kelengkapan fasilitas kerja, lay‐out ruang yang baik, ketersediaan informasi yang dibutuhkan, serta otoritas kerja yang jelas akan berpengaruh positif terhadap kinerja seorang pegawai.
•
Incentives Sistem penggajian yang adil, adanya insentif untuk hasil pekerjaan yang baik, serta penerapan sistem reward and punishment merupakan beberapa hal yang memotivasi seorang pegawai untuk bekerja dengan lebih baik dan menghasilkan performa kerja yang tinggi. Pengelompokan faktor sesuai usulan Langevin Learning Services tersebut digunakan untuk melakukan isolasi pengaruh training dari faktor‐faktor lainnya. Dalam prakteknya, setiap eks‐peserta diminta untuk memperkirakan/memberikan estimasi persentase dari setiap faktor tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja yang dialaminya setelah mengikuti training SRBS. Tahap Konversi Data Menjadi Monetary Values Mengonversi data business results ‐ yang diperoleh dari evaluasi Level 4 ‐ menjadi monetary values pada dasarnya merupakan tahap awal untuk mengekspresikan dampak training dalam ukuran finansial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengekspresian dalam ukuran finansial ini telah menjadi bahan perdebatan para peneliti mengenai mungkin tidaknya hal tersebut dilakukan, meskipun pada umumnya mereka sepakat bahwa evaluasi tentang efektivitas training memang akan memberikan hasil yang lebih nyata bagi perusahaan apabila dapat diukur secara finansial. 30
Jack J. Phillips (2002) membedakan business results dalam dua kategori data, yaitu hard data dan soft data. Hard data merupakan pengukuran‐pengukuran kinerja usaha yang umum digunakan serta memiliki obyektivitas yang tinggi dan relatif lebih mudah diukur. Menurutnya, contoh hard data antara lain output yang dihasilkan, tingkat penjualan, biaya, atau waktu kerja yang digunakan. Sementara itu, soft data lebih subyektif, sukar untuk dikuantifisir, dan memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah dibandingkan dengan hard data. Contoh soft data antara lain tingkat kepuasan kerja, loyalitas pegawai, tingkat kehadiran pegawai, complaint nasabah, dan lain‐lain. Lebih jauh lagi, Phillips juga mengemukakan 4 (empat) langkah konversi data, sebagai berikut: − Langkah 1: Menentukan ukuran kinerja yang dipengaruhi oleh program training. − Langkah 2: Menentukan nilai dari setiap unit ukuran tersebut (V). − Langkah 3: Menentukan peningkatan/perubahan kinerja yang terjadi (ΔP). − Langkah 4: Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP). Training SRBS, sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, memiliki beberapa tujuan yang pada pokoknya bermaksud untuk meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan proses penjualan produk‐produk bank, khususnya produk segmen ritel, serta mendapatkan komitmen dari nasabah/calon nasabah. Oleh karenanya, evaluasi Level 4 training SRBS ini lebih difokuskan pada peningkatan penjualan produk‐produk ritel bank yang terjadi di cabang‐cabang Bank X. Produk ritel yang ditawarkan oleh Bank X relatif tidak berbeda jauh dari produk‐produk sejenis yang ada di bank‐bank lain. Produk‐produk utamanya adalah sebagai berikut: − Giro (Current accounts), − Tabungan (Saving accounts), − Simpanan berjangka (Time deposits), − Kartu kredit (Credit cards), − Kredit konsumer (Consumer loans). Selain produk‐produk utama tersebut, terdapat pula produk ritel lainnya namun tingkat penjualannya tidak terlalu signifikan dibandingkan produk utama tadi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka penerapan keempat langkah konversi yang dikemukakan oleh Phillips (2002) dalam evaluasi training SRBS ini menjadi: − Langkah 1: Ukuran kinerja: tingkat penjualan produk‐produk utama ritel Bank X. − Langkah 2: Nilai dari setiap unit penjualan produk (V): menggunakan metode Product Profitability Analysis (PPA). − Langkah 3: Peningkatan penjualan yang terjadi (ΔP): diperoleh dari perbandingan antara tingkat penjualan sebelum dan sesudah mengikuti program training SRBS dengan menggunakan metode participant estimates. Dalam 31
kuesioner yang dikirimkan, pertanyaan yang terkait dengan masalah ini ada di item pertanyaan no.8. Langkah 4: Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP).
− Tahap Identifikasi Biaya Training Jack J. Phillips mengidentifikasi 6 (enam) kategori biaya dalam penyelenggaraan suatu training, yaitu: − Needs assessment: biaya ini tidak selalu diperhitungkan karena hanya timbul apabila memang program training didahului dengan kegiatan needs assessment yang membutuhkan biaya yang signifikan. − Design and development: biaya ini dikeluarkan dalam rangka mendesain dan membangun program training yang biasanya diperhitungkan secara prorata selama satu atau dua tahun, kecuali apabila program training tersebut diperkirakan tidak akan berubah dalam jangka waktu lama. − Acquisition: biaya ini dikeluarkan apabila program training dibeli dari pihak ketiga, meliputi antara lain pembelian materi, lisensi, biaya sertifikasi, serta biaya‐biaya lain yang terkait dengan hak untuk menyelenggarakan training tersebut. − Delivery: komponen biaya ini merupakan yang terbesar dibandingkan biaya‐biaya lainnya, meliputi salaries of trainers, program materials, travel and meals, serta facilities yang digunakan. − Evaluation: biaya ini dikeluarkan pada saat dilakukan evaluasi training khususnya Level 3 dan Level 4 yang dilakukan setelah eks‐peserta kembali ke tempat kerjanya masing‐ masing, meliputi biaya yang terkait dengan penyusunan dan pengiriman kuesioner serta survey yang dilakukan. − Overhead: biaya ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan program training tertentu dan relatif sulit untuk diperkirakan secara tepat, di samping nilainya yang tidak terlalu signifikan dalam perhitungan biaya penyelenggaraan suatu training. Biaya training yang digunakan antara lain akan mendasarkan pada hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh unit kerja terkait di Bank X, khususnya untuk delivery cost, di samping perhitungan‐perhitungan yang didasarkan pada rata‐rata biaya yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut. Tahap Perhitungan Return on Training Investment Perhitungan Return on Training Investment (ROTI) dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
32
ROTI =
Net Benefits of Training
x 100%
Costs of Training
dimana Net Benefits of Training merupakan keuntungan bersih yang diperoleh dari hasil penerapan training setelah memperhitungkan faktor isolasi yang telah diperhitungkan pada tahap sebelumnya dikurangi dengan realisasi biaya training yang dikeluarkan. Tahap Identifikasi Intangible Benefits Jack J. Phillips (2002) mengatakan bahwa ada beberapa akibat positif yang dihasilkan oleh suatu program training yang tidak dapat atau sangat sulit untuk dikonversikan ke dalam nilai‐nilai finansial. Phillips menyebut akibat/hasil positif tersebut sebagai intangible benefits. Hasil positif tersebut pada dasarnya juga merupakan suatu keuntungan bagi perusahaan, meskipun hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai hasil utama dari pelaksanaan suatu program training. Beberapa peneliti bahkan beranggapan bahwa intangible benefits merupakan hal yang sama pentingnya dalam hal pengukuran efektivitas suatu training, di samping indikator‐indikator yang bersifat finansial. Pangarkar (2005) mengatakan bahwa indikator finansial merupakan hal yang penting, tapi hendaknya tidak digunakan sebagai satu‐satunya alat dalam mengukur dampak training terhadap kinerja perusahaan. Dalam hal ini, nilai Return on Training Investment (ROTI) tidak dapat menggambarkan dampak‐dampak yang terjadi pada standar ukur bisnis (business measures) lainnya seperti peningkatan moral pegawai, komunikasi antar pegawai atau antara atasan dengan bawahan yang membaik, atau peningkatan kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Philips (2002) bahkan menyebut tahap identifikasi intangible benefits ini sebagai Level 6 dari suatu evaluasi training. Dia juga mengatakan bahwa apabila dalam suatu evaluasi training Level 4 hasil yang diperoleh tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai‐nilai finansial, maka identifikasi intangible benefits merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas training tersebut. Ada beberapa sumber informasi yang dapat digunakan untuk memperoleh intangible benefits ini, yaitu eks‐peserta training, atasan dari eks‐peserta training, rekan kerja, bawahan dari eks‐peserta training, atau nasabah yang merasakan adanya perubahan yang terjadi. Penggunaan eks‐peserta training sebagai sumber informasi untuk memperoleh intangible benefits didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka merupakan sumber informasi yang paling baik karena dapat merasakan secara langsung serta
33
mengidentifikasikan secara baik perubahan‐perubahan yang terjadi ketika mereka menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dalam training tersebut. Metode yang digunakan adalah dengan menanyakan kepada eks‐peserta training mengenai perubahan‐perubahan dalam standar ukur bisnis (business measures) yang mereka rasakan setelah menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dalam training SRBS. Pertanyaan disampaikan dalam dua bentuk, yaitu pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup dimaksudkan untuk lebih mengarahkan responden sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang bermacam‐macam terhadap pengertian business measures yang dimaksud. Sementara itu, pertanyaan terbuka dimaksudkan untuk memungkinkan responden bebas dalam memberikan jawaban sesuai dengan perubahan yang dirasakannya di tempat kerjanya, selain hal‐hal yang diperkirakan sebelumnya.
Temuan Pengujian Reliabilitas dan Validitas Kuesioner Kuesioner dikembangkan dengan didasarkan pada kisi‐kisi yang disusun oleh Jack J. Phillips. Dengan kata lain, kuesioner tersebut belum pernah teruji kualitas ilmiahnya dalam penelitian‐penelitian sebelumnya. Oleh karenanya, kuesioner dimaksud perlu terlebih dahulu diuji reliabilitas dan validitasnya agar data‐data yang diperoleh dapat diyakini kualitasnya. Dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service Solution), diperoleh nilai α (Cronbach’s Alpha) yang mendekati nilai 1 (berkisar antara 0,922 – 0,967). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kuesioner yang digunakan bersifat reliabel. Selanjutnya, dilakukan uji validitas dengan menggunakan discriminant validity untuk meyakini bahwa setiap item pertanyaan memang tergolong dalam setiap faktor dalam kuesioner yang disusun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian pengelompokan faktor dengan struktur kuesioner yang diuji. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertanyaan‐pertanyaan dalam kuesioner tersebut adalah valid dan dapat digunakan dalam analisis selanjutnya. Evaluasi Level 3: Perubahan Kompetensi dan Implementasi Training Penelitian yang dilakukan menunjukkan umumnya eks‐peserta training berpendapat bahwa training SRBS memiliki relevansi yang kuat dengan pekerjaannya sehari‐hari. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semua elemen training memiliki rata‐rata nilai yang tinggi, yaitu minimal 5,00 pada skala penilaian 1,00 – 6,00 (lihat Tabel 4).
34
Tabel 4 Relevansi Training Dengan Pekerjaan Sangat No
1 2
3
4 5
Elemen Program Training
Tidak Relevan
Materi training. Diskusi kelas yang terjadi selama training. Diskusi kelompok yang dilakukan selama training. Role play yang dilakukan selama training. Pelatihan‐pelatihan yang diberikan.
Rata‐rata Relevansi Training Dengan Pekerjaan
Sangat
Rata‐
Relevan
rata Nilai
1
2
3
4
5
6
0%
3%
5%
12%
36%
45%
5,16
0%
3%
6%
18%
36%
38%
5,01
0%
3%
7%
18%
33%
39%
5,00
0%
3%
7%
16%
34%
41%
5,04
0%
3%
3%
17%
38%
40%
5,09
5,06
Sumber: Hasil analisis.
Selain relevan, training SRBS juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Tabel 5 memperlihatkan pendapat eks‐peserta yang menyatakan bahwa umumnya tujuan training telah tercapai dengan adanya peningkatan pengetahuan dan kemampuan eks‐peserta dikaitkan dengan pekerjaan sehari‐hari yang dihadapinya, meski rata‐rata nilai yang diperoleh sedikit lebih rendah dibandingkan dengan nilai relevansi training.
35
Tabel 5 Keberhasilan Tujuan Training Sangat No
Tujuan Training SRBS
Tidak Berhasil
Sangat
Rata‐
Berhasil
rata Nilai
1
2
3
4
5
6
0%
0%
8%
21%
55%
16%
4,78
0%
1%
9%
18%
48%
24%
4,86
0%
0%
6%
18%
48%
28%
4,98
0%
0%
8%
18%
48%
28%
4,95
0%
1%
8%
23%
41%
28%
4,87
4,89
Mempelajari proses penjualan serta
1
menentukan langkah yang akan dilakukan saat berinteraksi dengan nasabah. Mengamati situasi dan masalah agar
2
dapat menentukan kebutuhan nasabah dengan tepat. Mengetahui manfaat dan perbedaan
3
setiap fitur produk serta memahami cara penerapannya saat berinteraksi. Mengetahui cara mengatasi keluhan
4
nasabah serta menarik manfaat dari keluhan tersebut. Mengetahui cara mendapatkan
5
komitmen dari nasabah terhadap produk/layanan yang diberikan.
Rata‐rata Keberhasilan Tujuan Training Sumber: Hasil analisis.
Hal lain yang menarik dalam penelitian ini adalah bahwa dari tiga domain kompetensi (Knowledge, Skills, dan Attitudes) ternyata yang paling besar perubahannya adalah dalam hal Attitudes. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kerja yang selama ini berkembang di Bank X, sebagaimana umumnya perusahaan‐perusahaan BUMN, tidak terlepas dari citra lama perusahaan yang cenderung birokratis dan relatif lamban dibandingkan perusahaan‐ perusahaan milik swasta. Kenyataannya, selama ini pegawai di bank milik negara cenderung bersikap menunggu dan pasif terhadap peluang usaha yang ada karena ketika itu situasi dan kondisinya memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Pola kerja seperti ini masih terus terbawa dan sedikit banyaknya berpengaruh terhadap sikap kerja pegawai Bank X, meskipun manajemen bank tersebut telah melakukan berbagai terobosan untuk mengubah perilaku yang kurang menguntungkan dalam era persaingan yang semakin ketat ini. Dikaitkan dengan hal tersebut, maka training SRBS ternyata mampu menghasilkan perubahan pola kerja pegawai menuju sikap yang lebih proaktif untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan nasabah serta adanya keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah. Perubahan sikap seperti ini semakin dirasakan penting ketika disadari 36
bahwa keinginan nasabah untuk memperoleh pelayanan yang baik juga telah menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari, khususnya dalam pelayanan sektor perbankan ritel. Sementara itu, perubahan Knowledge dan Skills juga terjadi secara signifikan, halmana terlihat dari relatif tingginya rata‐rata nilai yang diperoleh, meski tidak setinggi perubahan yang terjadi pada domain Attitudes. Hasil yang diperoleh menunjukkan rata‐rata nilai di atas 5,00, kecuali perubahan dalam kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif pada domain Skills yang memiliki nilai 4,97. Tingginya nilai tersebut menunjukkan bahwa peserta training SRBS merasakan terjadinya perubahan/peningkatan kompetensi yang cukup signifikan dan mendukung pekerjaannya sehari‐hari setelah mengikuti training tersebut. Perubahan/peningkatan kompetensi yang dirasakan peserta training tersebut merupakan salah satu indikasi kuat bahwa pada evaluasi Level 3 training SRBS memiliki performa yang baik. Secara lengkap, Tabel 6 memperlihatkan perubahan yang terjadi pada ketiga domain kompetensi tersebut.
37
Tabel 6 Perubahan Kompetensi Eks‐Peserta Training No
Kompetensi
Tidak Berubah
Sangat Berubah
1
2
3
4
5
6
Rata‐ rata Nilai
1
Pengetahuan tentang prinsip‐ prinsip menjual secara profesional.
0%
0%
1%
18%
51%
31%
5,12
2
Pengetahuan tentang pentingnya sales & services.
0%
0%
0%
13%
43%
44%
5,31
3
Pengetahuan tentang pentingnya penyusunan perencanaan sales & services.
0%
0%
3%
18%
49%
31%
5,08
4
Pemahaman mengenai peran seorang Professional Sales.
0%
0%
3%
17%
46%
35%
5,13
5,16
Rata‐rata Perubahan Dalam Knowledge 5
Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah.
0%
0%
2%
18%
52%
28%
5,07
6
Kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif.
0%
0%
4%
22%
48%
27%
4,97
7
Kemampuan untuk menangani keluhan atau masalah penjualan/ pelayanan.
0%
0%
3%
11%
58%
29%
5,13
8
Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari nasabah.
0%
0%
3%
15%
53%
29%
5,08
9
Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah.
0%
0%
2%
15%
45%
38%
5,20
5,09
Rata‐rata Perubahan Dalam Skills 10
Sikap pada saat mengawali sales discussion.
0%
0%
1%
15%
51%
33%
5,17
11
Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah.
0%
0%
2%
11%
48%
40%
5,26
12
Sikap pada saat melayani nasabah ketika terjadi diskusi.
0%
0%
1%
11%
51%
38%
5,25
13
Sikap pada saat mengupayakan untuk mendapatkan komitmen.
0%
0%
3%
13%
53%
32%
5,14
14
Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah.
0%
0%
1%
10%
45%
44%
5,33
Rata‐rata Perubahan Dalam Attitudes
5,23
Rata‐rata Perubahan Kompetensi
5,16
Sumber: Hasil analisis.
38
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kompetensi yang menurut eks‐peserta training paling sering digunakan dalam pekerjaannya sehari‐hari adalah yang terkait dengan keinginan untuk bersikap proaktif dalam melayani nasabah. Empat kompetensi yang paling sering digunakan adalah: − Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah, − Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah, − Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah, − Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah. Tabel 7 berikut secara lengkap memperlihatkan kompetensi‐kompetensi yang paling sering digunakan oleh eks‐peserta dalam pekerjaannya sehari‐hari. Tabel 7 Kompetensi yang Paling Sering Digunakan No
Kompetensi
%
1
Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah.
18%
2
Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah.
13%
3
Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah.
11%
4
Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah.
11%
5
Pengetahuan tentang pentingnya sales & services.
9%
6
Kemampuan untuk menangani keluhan atau masalah penjualan/pelayanan.
9%
7
Sikap pada saat melayani nasabah ketika terjadi diskusi.
7%
8
Kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif.
6%
9
Sikap pada saat mengawali sales discussion.
5%
10
Sikap pada saat mengupayakan untuk mendapatkan komitmen.
5%
11
Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari nasabah.
4%
12
Pengetahuan tentang prinsip‐prinsip menjual secara profesional.
3%
13
Pengetahuan tentang pentingnya penyusunan perencanaan sales & services.
1%
14
Pemahaman mengenai peran seorang Professional Sales.
1%
Jumlah
100%
Sumber: Hasil analisis.
Dari tabel di atas terlihat bahwa umumnya kompetensi yang sering digunakan eks‐peserta dalam pekerjaannya sehari‐hari adalah yang terkait dengan sikap, kemampuan, dan keinginan mereka dalam memberikan pelayanan secara aktif kepada pelanggan, halmana
39
semakin memperkuat kontribusi training SRBS dalam era persaingan saat ini yang menuntut sikap proaktif dari para frontliners. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa materi training diakui oleh eks‐peserta training telah diterapkan dalam pekerjaannya sehari‐hari. Nilai rata‐rata yang diperoleh juga tinggi, berkisar antara 4,79 sampai 5,44, menunjukkan bahwa materi training SRBS tersebut hampir selalu diterapkan oleh eks‐peserta training. Waktu penerapannyapun relatif cepat, yaitu hanya beberapa hari setelah kembali ke tempat kerja asal (95% responden menyatakan hal tersebut), sementara 5% lainnya menyatakan menerapkan materi training beberapa bulan setelah kembali ke tempat kerja asalnya. Seringnya materi training diterapkan dalam melaksanakan pekerjaan sehari‐hari seharusnya menghasilkan tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang juga meningkat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih sering terdapat keluhan atas kurang baiknya pelayanan yang diberikan Bank X. Beberapa survey yang dilakukan juga menunjukkan relatif rendahnya tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan Bank X. Di satu sisi, hal tersebut harus diterima sebagai suatu kenyataan, namun di sisi lain tidak pula pada tempatnya apabila hasil survey kepuasan pelanggan tersebut langsung diperbandingkan dengan hasil penelitian ini mengingat adanya perbedaan materi dan metode penelitian yang digunakan. Misalnya, ada kemungkinan seorang Customer Service Officer telah menerapkan materi training SRBS namun ternyata yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang produk‐produk perbankan yang ada di Bank X (halmana tidak termasuk dalam modul training SRBS), sehingga pada akhirnya menimbulkan kekecewaan nasabah. Atau mungkin saja terdapat kendala‐kendala yang memang tidak dapat terhindarkan, seperti kurangnya jumlah pegawai dibandingkan jumlah nasabah yang harus dilayani, sistem operasional bank yang terganggu, fasilitas yang kurang memadai, dan sebagainya. Tabel 8 secara lengkap memperlihatkan penerapan materi training SRBS dalam pekerjaan sehari‐hari.
40
Tabel 8 Penerapan Materi Training Dalam Pekerjaan
1
2
3
4
5
1
Menerapkan prinsip 3C (Candor, Concern, Competence) dalam melakukan penjualan.
0%
0%
2%
13% 48%
37%
5,20
2
Menerapkan sales discussion mengikuti tahapan: Pembukaan, Investigasi, Unjuk Kemampuan, Mendapatkan Komitmen, dan Menutup Penjualan.
0%
3%
8%
20% 46%
23%
4,79
3
Menerapkan materi training untuk mengatasi keluhan nasabah.
0%
3%
6%
20% 38%
33%
4,94
4
Menerapkan materi training untuk mendapatkan komitmen nasabah.
0%
1%
8%
24% 33%
35%
4,93
5
Mengajukan pertanyaan untuk menggali fakta, memastikan terpenuhinya syarat‐syarat, serta untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah.
0%
2%
4%
19% 39%
36%
5,03
6
Berusaha memahami Perilaku Nasabah/ Calon Nasabah.
0%
0%
2%
15% 39%
44%
5,26
7
Berusaha mengetahui faktor‐ faktor yang mempengaruhi orang untuk membeli.
0%
2%
4%
18% 40%
37%
5,06
8
Membina hubungan yang erat dengan nasabah.
0%
0%
2%
9%
42%
48%
5,35
9
Mengantisipasi terjadinya masalah dalam penjualan/pelayanan.
0%
0%
3%
16% 34%
48%
5,27
10
Berusaha membangun Loyalitas Nasabah.
0%
0%
1%
9%
35%
55%
5,44
5,13
No
Materi Training SRBS
Tidak Pernah
Rata‐rata Penerapan Materi Training SRBS Dalam Pekerjaan
Selalu Rata‐ rata Nilai 6
Sumber: Hasil analisis.
41
Selanjutnya, terdapat beberapa hal yang dikemukakan oleh eks‐peserta yang menjadi kendala bagi mereka dalam menerapkan materi training sebagaimana yang diharapkan. Hambatan terbesar yang dihadapi berkaitan dengan kehandalan sistem operasional bank. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem operasional yang baik mutlak dibutuhkan dalam memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggan suatu bank. Salah satu gangguan sistem yang sering dihadapi oleh suatu bank adalah terjadinya kondisi offline yang mengakibatkan suatu outlet tidak dapat terkoneksi dengan outlet lainnya sehingga berdampak pada terbatasnya pelayanan yang dapat diberikan kepada pelanggan. Hambatan ini merupakan salah satu hal yang sulit diantisipasi karena sangat sulit diprediksi kapan akan terjadi, sementara penyebabnyapun beragam. Evaluasi Level 4: Dampak Training Terhadap Kinerja Pegawai Sesuai dengan tujuan penyelenggaraannya, maka fokus utama dampak training SRBS terhadap kinerja pegawai adalah dalam hal meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan proses penjualan produk‐produk bank, khususnya produk segmen ritel, baik pada liabilities products (produk dana) maupun assets products (produk kredit). Oleh karenanya, indikator yang digunakan sebagai alat ukur peningkatan kinerja sebagai dampak training SRBS ini adalah peningkatan penjualan produk‐produk ritel bank yang terjadi di cabang‐cabang Bank X, sebagaimana terlihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Rata‐rata Penjualan Produk Ritel Per Orang Per Bulan (dalam Rekening) Produk Ritel
Sebelum Training
Setelah Training
Δ Penjualan
Produk Dana:
Giro
3
5
2
Tabungan
52
65
13
Simpanan Berjangka
14
18
4
Produk Kredit:
Kartu Kredit
7
10
3
Kredit Konsumer
4
5
1
Sumber: Hasil analisis.
Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata dalam konteks bisnis perbankan, maka peningkatan penjualan tersebut haruslah dinyatakan dalam ukuran volume usaha dalam satuan mata uang. Untuk kepentingan transformasi dari peningkatan jumlah rekening (account) menjadi volume usaha tersebut, digunakan asumsi rata‐rata volume usaha Bank X selama 6 (enam) bulan terakhir untuk setiap produk, sebagai berikut: 42
− − − − −
Rata‐rata saldo rekening Giro: Rp.21.000.000 Rata‐rata saldo rekening Tabungan: Rp.4.000.000 Rata‐rata saldo rekening Simpanan Berjangka: Rp.30.000.000 Rata‐rata baki debet Kartu Kredit: Rp.3.000.000 Rata‐rata baki debet Kredit Konsumer: Rp.50.000.000
Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka peningkatan volume usaha sebelum dan sesudah mengikuti training SRBS dapat dihitung sebagai berikut: Tabel 10 Peningkatan Volume Usaha Per Orang (dalam Jutaan Rupiah)
Produk Dana:
Δ Volume Usaha Per Bulan
Giro Tabungan
42 52
504 624
120
1.440
Produk Ritel
Simpanan Berjangka Sub‐Jumlah
Δ Volume Usaha Per Tahun
2.568
Produk Kredit: Kartu Kredit Kredit Konsumer Sub‐Jumlah
9 50
108 600 708
Sumber: Hasil analisis.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor training ternyata memiliki kontribusi sebesar 26% terhadap peningkatan penjualan yang dialami oleh eks‐ peserta training SRBS, sementara kontribusi faktor‐faktor lainnya berturut‐turut adalah sebagai berikut: Capacity 16%, Standards 13%, Conditions 13%, Measurement 13%, Feedback 11%, dan Incentives 10%, dengan tingkat keyakinan yang cukup tinggi, yakni rata‐ rata mencapai 87%. Dengan menggunakan faktor isolasi training (isolation factor) sebesar 26% dan tingkat keyakinan sebesar 87% tersebut, maka dapat dihitung peningkatan volume usaha yang benar‐benar merupakan dampak dari penyelenggaraan training SRBS, sebagai berikut:
43
Tabel 11 Peningkatan Volume Usaha Per Orang Akibat Training (dalam Rupiah) Produk Ritel
Δ Volume Usaha Per Tahun
(1)
(2)
(3)
(4)
(5) = (2) x (3) x (4)
Produk Dana:
Faktor Isolasi Tingkat Training Keyakinan
Δ Volume Usaha Akibat Training
Giro
504.000.000
26%
87%
114.004.800
Tabungan
624.000.000
26%
87%
141.148.800
Simpanan Berjangka
1.440.000.000
26%
87%
325.728.000
Sub‐Jumlah
2.568.000.000
580.881.600
Produk Kredit:
Kartu Kredit
108.000.000
26%
87%
24.429.600
Kredit Konsumer
600.000.000
26%
87%
135.720.000
Sub‐Jumlah
708.000.000
160.149.600
Sumber: Hasil analisis.
Sementara itu, 99% responden menyatakan bahwa training SRBS merupakan investasi yang baik bagi Bank X. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa training tersebut memang dirasakan memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi eks‐pesertanya dalam meningkatkan kinerja pekerjaannya, di samping terlihat dari adanya peningkatan volume usaha sebagaimana dikemukakan di atas. Evaluasi Level 5: Perhitungan Return on Training Investment Pada prinsipnya, perhitungan Return on Training Investment (ROTI) membandingkan manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam menyelenggarakan training SRBS. Perhitungan manfaat training secara finansial menggunakan metode Product Profitability Analysis (PPA). Secara umum, metode PPA digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat keuntungan (profitabilitas) yang diperoleh perusahaan sebagai hasil penjualan suatu produk tertentu. Dalam ilustrasi ini produk yang diukur tingkat keuntungannya adalah produk‐produk ritel utama Bank X, meliputi Giro, Tabungan, Simpanan Berjangka, Kartu Kredit, dan Kredit Konsumer. Proses penghitungan keuntungan dengan metode PPA dilakukan dengan menghitung besarnya Pendapatan Bunga (Gross Interest Income/GII) yang diperoleh dari hasil penempatan/penyaluran sejumlah dana tertentu dikurangi Biaya‐biaya (Cost) yang terkait 44
dengan kegiatan penjualan produk maupun penempatan/penyaluran dana. Pendapatan bunga untuk produk dana (Giro, Tabungan, dan Simpanan Berjangka) diperoleh dari hasil penempatan dana melalui pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sementara pendapatan bunga untuk produk kredit (Kartu Kredit dan Kredit Konsumer) diperoleh dari hasil penyaluran dana kepada nasabah. Oleh karenanya, asumsi yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan perhitungan GII adalah sebagai berikut: • Produk Dana: suku bunga SBI sebesar 10%. • Produk Kredit: suku bunga pinjaman: − Kartu Kredit: 36% per tahun. − Kredit Konsumer: 16,5% per tahun. Sementara itu, ada 3 (tiga) jenis biaya yang timbul, yaitu Cost of Fund, Direct Cost, dan Allocated Cost. Dasar perhitungan besarnya ketiga jenis biaya tersebut menggunakan angka persentase terhadap GII dari setiap produk yang berasal dari data historis Bank X. Selanjutnya, terdapat dua hal yang membedakan perhitungan manfaat untuk penjualan produk dana dengan produk kredit, sebagai berikut: • Adanya Fee yang diperoleh dalam penjualan produk kredit sebesar: − Kartu Kredit: iuran tahunan (annual fee) sebesar Rp.100.000 per kartu. − Kredit Konsumer: fee sebesar 1% dari baki debet pinjaman. • Adanya pencadangan (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif/PPAP) yang harus dibentuk sehubungan dengan kualitas kredit/pinjaman yang disalurkan. Perhitungan besarnya PPAP yang harus dibentuk menggunakan angka rata‐rata PPAP Bank X selama 6 bulan terakhir untuk produk Kartu Kredit dan Kredit Konsumer, sebagai berikut: − Kartu Kredit: 5% dari baki debet pinjaman. − Kredit Konsumer: 3% dari baki debet pinjaman. Dengan menggunakan asumsi‐asumsi di atas, maka dapat dihitung besarnya keuntungan/profit yang diperoleh sebagai dampak pelaksanaan training sebagaimana terlihat pada Tabel 12. Untuk memudahkan pemahaman tabel tersebut, berikut disampaikan contoh perhitungan keuntungan/profit untuk produk Kartu Kredit, sebagai berikut: − Kolom 1: Peningkatan volume penjualan setiap tahunnya yang disebabkan oleh faktor training adalah sebesar Rp.24.429.600 (lihat Tabel 3). − Kolom 2: Pendapatan bunga (Gross Interest Income) diperoleh dengan mengalikan volume penjualan tersebut dengan tingkat suku bunga pinjaman per tahun sebesar 36% sehingga diperoleh GII sebesar Rp.8.794.656. − Kolom 3: Untuk setiap kartu yang diterbitkan, Bank X menerima fee berupa iuran tahunan sebesar Rp.100.000. Dengan demikian diperoleh annual fee sebesar 45
−
Kolom 4:
−
Kolom 5:
−
Kolom 6:
− −
Kolom 7: Kolom 8:
−
Kolom 9:
36 kartu (3 kartu per bulan) dikalikan Rp.100.000 menghasilkan Rp.3.600.000. Berdasarkan data historis Bank X, diperoleh besarnya Cost of Fund sebesar 23% dari GII. Berdasarkan data historis Bank X, diperoleh besarnya Direct Cost sebesar 44% dari GII. Berdasarkan data historis Bank X, diperoleh besarnya Allocated Cost sebesar 13% dari GII. Net Contribution diperoleh sebesar (100%‐23%‐44%‐13%) = 20% dari GII. Rata‐rata PPAP Bank X selama 6 bulan terakhir untuk produk Kartu Kredit adalah sebesar 5% dari baki debet. Dengan demikian PPAP yang dibentuk adalah sebesar 5% x Rp.24.429.600 = Rp.1.221.480. Maka Net Profit Kartu Kredit adalah sebesar Net Contribution ditambah Fee dikurang PPAP, sebagai berikut: (20% x Rp.8.794.656) + (3.600.000) – (1.221.480) = Rp.4.137.451.
Sementara itu, biaya training dihitung dengan mempertimbangkan komponen‐komponen sebagai berikut: − Needs Assessment Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan karena program training SRBS tidak didahului dengan kegiatan needs assessment yang membutuhkan biaya yang signifikan. − Design and Development Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan karena Bank X tidak mendesain dan membangun sendiri program training SRBS. − Acquisition Cost: komponen biaya ini diperhitungkan karena training SRBS merupakan program yang dibeli dari pihak ketiga. Biaya pembelian, termasuk lisensi penyelenggaraan, training SRBS ini adalah sebesar Rp. 2.960.800.000 yang diperhitungkan secara prorata untuk jangka waktu 10 tahun.
46
Tabel 12 Perhitungan Manfaat Training Fee
Cost of Fund
Direct Cost
Net Contribution (% dari GII)
Δ Volume Akibat Training
Gross Interest Income
Allocated Cost
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7) = 100% ‐ (4) ‐ (5) ‐ (6)
(8)
(9) = ((7) x (2)) + (3) ‐ (8)
Produk
Dana:
1)
2)
3)
3)
3)
PPAP 4)
Net Profit
Giro
Rp.114.004.800
Rp.11.400.480
‐
36%
4%
46%
14%
‐
Rp.1.596.067
Tabungan
Rp.141.148.800
Rp.14.114.880
‐
55%
3%
20%
22%
‐
Rp.3.105.274
Simpanan Berjangka
Rp.325.728.000
Rp.32.572.800
‐
77%
3%
3%
17%
‐
Rp.5.537.376
Jumlah
Rp.580.881.600
Rp.24.429.600
Rp.8.794.656
Rp.3.600.000
23%
44%
13%
20%
Rp.1.221.480
Rp.4.137.451
Kredit Konsumer
Rp.135.720.000
Rp.22.393.800
Rp.1.357.200
57%
0%
20%
23%
Rp.4.071.600
Rp.2.436.174
Jumlah
Rp.160.149.600
Rp.6.573.625
Manfaat Training Per Pegawai
Rp.16.812.342
Total Manfaat Training (308 peserta)
Rp.5.178.201.336
Sumber: Hasil analisis.
Kredit: Kartu Kredit
1)
Perhitungan Gross Interest Income:
‐ Giro/Tabungan/Simpanan Berjangka : suku bunga SBI: 10%
Rp.10.238.717
‐ Kartu Kredit: suku bunga pinjaman: 36%
‐ Kredit Konsumer: suku bunga pinjaman: 16,5%
2)
‐ Kartu Kredit: iuran tahunan/kartu: Rp.100.000
Perhitungan Fee:
‐ Kredit Konsumer: persentase dari baki debet: 1%
3)
Perhitungan Cost:
‐ Persentase dari Gross Interest Income
4)
‐ Kartu Kredit: persentase dari baki debet: 5%
‐ Kredit Konsumer: persentase dari baki debet: 3%
Asumsi Pembentukan PPAP
53
−
Delivery Cost: yang termasuk dalam komponen biaya ini meliputi biaya trainer, modul training, dan biaya administrasi. Pehitungan biaya‐biaya tersebut menggunakan hasil perhitungan Bank X sebesar Rp.527.500. Selain itu diperhitungkan pula biaya transportasi dan akomodasi peserta sesuai dengan tempat kerja asal mereka. Biaya transportasi dihitung dari rata‐rata biaya perjalanan dari tempat kerja asal ke Jakarta (pulang pergi) dengan menggunakan pesawat udara (kecuali Bandung menggunakan kereta api) dengan kelas penerbangan sesuai ketentuan Bank X, sementara biaya akomodasi diperhitungkan selama 5 (lima) malam dengan ketentuan maksimal sebesar Rp.350.000 per malam sesuai ketentuan Bank X. − Evaluation Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan karena evaluasi yang dilakukan Bank X selama ini relatif tidak membutuhkan biaya yang signifikan karena masih terbatas pada evaluasi Level 1 dan Level 2. − Overhead Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan secara tersendiri karena sudah termasuk dalam Delivery Cost. Dengan menggunakan asumsi‐asumsi di atas, maka dapat dihitung besarnya biaya penyelenggaraan training sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Akhirnya, dengan menggunakan hasil‐hasil perhitungan manfaat dan biaya training di atas, maka dapat dihitung besarnya ROTI sebagaimana terlihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14 Perhitungan Return on Training Investment Manfaat Training
Biaya Manfaat Bersih Training Training
(1)
(2)
Rp.5.178.201.336
ROTI
(3) = (1) ‐ (2)
(4) = (3) / (2)
Rp.956.588.467
Rp.4.221.612.869
Sumber: Hasil Analisis
441%
Evaluasi Level 6: Identifikasi Intangible Benefits Intangible benefits merupakan akibat positif yang dihasilkan oleh suatu program training yang tidak dapat atau sangat sulit untuk dikonversikan ke dalam nilai‐nilai finansial. Level evaluasi ini juga merupakan bagian dari pandangan Jack J. Phillips (2002). Analisis yang dilakukan berhasil mengidentifikasi beberapa hal penting yang dipengaruhi oleh penerapan training SRBS, yaitu: − Meningkatnya kepuasan nasabah. − Meningkatnya kualitas pekerjaan eks‐peserta. − Meningkatnya produktivitas kerja eks‐peserta.
54
− Menambah wawasan dalam pekerjaan. − Kesempatan untuk melakukan sharing dengan peserta lainnya. Identifikasi ini penting mengingat tujuan training SRBS yang pada prinsipnya sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan volume penjualan produk‐produk ritel bank. Pada kenyataannya, penerapan materi training SRBS dalam pekerjaan sehari‐hari juga membawa dampak yang positif pada tingkat kepuasan nasabah saat dilayani di Bank X, meski sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain tulisan ini tingkat kepuasan nasabah atas pelayanan Bank X relatif masih rendah. Di satu sisi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak faktor lain yang menentukan tingkat kepuasan nasabah, bahkan survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan nasabah terhadap pelayanan yang diberikan oleh Bank X relatif lebih rendah dibandingkan bank‐bank pesaingnya.
55
Tabel 13 Perhitungan Biaya Training Jenis Biaya Training
Jumlah Peserta
Delivery
(1)
(2)
Sumatera
43
Rp.527.500
Rp.1.130.100
Rp.1.750.000
Rp.3.407.600
Rp.146.526.800
Jabodetabek
131
Rp.527.500
Rp.0
Rp.0
Rp.527.500
Rp.69.102.500
Jawa lainnya
84
Rp.527.500
Rp.716.400
Rp.1.750.000
Rp.2.993.900
Rp.251.487.600
Bali dan Nusa Tenggara
10
Rp.527.500
Rp.1.478.667
Rp.1.750.000
Rp.3.756.167
Rp.37.561.667
Kalimantan
18
Rp.527.500
Rp.1.212.800
Rp.1.750.000
Rp.3.490.300
Rp.62.825.400
Sulawesi
15
Rp.527.500
Rp.1.552.600
Rp.1.750.000
Rp.3.830.100
Rp.57.451.500
Maluku dan Irian
7
Rp.527.500
Rp.2.801.500
Rp.1.750.000
Rp.5.079.000
Rp.35.553.000
308
Rp.660.508.467
Acquisition cost (prorata per tahun)
Rp.296.080.000
Total Biaya Training (308 peserta)
Rp.956.588.467
Asal Peserta
Jumlah
Sumber: Hasil analisis.
1)
1)
Meliputi biaya trainer, modul training, dan administrasi. Diperoleh dari katalog Bank X.
2)
Rata‐rata biaya perjalanan pp.
3)
Biaya penginapan selama 5 hari @ Rp.350.000
Transportasi
2)
(4)
(5) = (2) + (3) + (4)
Biaya Training
Total
3)
(3)
Akomodasi
(6) = (1) x (5)
56
Namun di sisi lain, adanya indikasi bahwa training SRBS memberikan dampak positif terhadap kepuasan nasabah juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, kompetensi pegawai dalam melakukan teknik penjualan juga harus diperhatikan dengan cermat apabila Bank X berupaya meningkatkan kepuasan nasabahnya, di samping faktor‐ faktor lainnya seperti pemahaman yang baik mengenai produk‐produk yang dijual, kelengkapan serta pemeliharaan fasilitas pelayanan, sikap melayani, serta hal‐hal lainnya. Sementara itu, adanya kesempatan para peserta untuk saling berbagi pengalaman juga merupakan salah satu keuntungan lain dari training SRBS, dan dapat dilakukan tidak hanya pada saat training berlangsung namun juga dapat terjadi pada saat‐saat lain, misalnya ketika istirahat, makan, di penginapan, dan sebagainya. Kesempatan sharing ini sekaligus dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan teknis peserta yang belum terakomodir dalam training SRBS itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa materi training yang diberikan belum tentu dapat memberikan jawaban atas setiap permasalahan yang terjadi di kantor‐kantor cabang Bank X. Dalam hal inilah kesempatan bertemu dan saling berbagi pengalaman tadi memberikan dampak positif yang sangat dirasakan manfaatnya oleh peserta training, khususnya dalam menghadapi perilaku nasabah yang berbeda‐beda.
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Evaluasi pada Level 3 menghasilkan 3 (tiga) kesimpulan pokok, yaitu: − Training Selling Retail Bank Services (SRBS) memiliki relevansi yang kuat dengan pekerjaan yang sehari‐hari dihadapi oleh eks‐peserta training. Hal ini ditunjukkan dengan rata‐rata nilai relevansi sebesar 5,06 pada skala 1,00 – 6,00. − Terjadi perubahan yang cukup signifikan atas kompetensi eks‐peserta training SRBS setelah mereka mengikuti training tersebut. Hal ini terlihat dari nilai rata‐ rata perubahan kompetensi yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 5,09 sampai dengan 5,23. Dari ketiga domain kompetensi yang diteliti, maka perubahan yang paling besar terjadi adalah pada domain Attitudes. − Eks‐peserta training juga hampir selalu menerapkan materi training dalam pekerjaannya sehari‐hari, dengan nilai rata‐rata penerapan mencapai 5,13. Secara keseluruhan, ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa training SRBS menunjukkan performa yang baik pada evaluasi Level 3. 2. Evaluasi pada Level 4 menghasilkan 2 (dua) kesimpulan pokok, yaitu: − Terjadi peningkatan kinerja eks‐peserta training berupa peningkatan hasil penjualan produk‐produk ritel bank. Peningkatan tersebut terjadi baik pada produk dana (liabilities products) maupun produk kredit (assets products). − Dari 7 (tujuh) faktor yang berpengaruh terhadap kinerja eks‐peserta training, faktor training memiliki nilai kontribusi yang paling besar (26%). 57
3.
Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa training SRBS memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai atau perusahaan secara keseluruhan. Dengan kata lain, training tersebut juga menunjukkan performa yang baik pada evaluasi Level 4. Pada level selanjutnya, yaitu perhitungan Return on Training Investment (ROTI), diperoleh nilai ROTI sebesar 441%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa manfaat yang diberikan oleh training SRBS jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan training tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa training SRBS cukup berharga untuk dilanjutkan penyelenggaraannya di kemudian hari.
4.
Terdapat keuntungan lain yang diperoleh dari penyelenggaraan training SRBS ini berupa intangible benefits yang semakin memperkuat kontribusi training tersebut terhadap peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Berdasarkan keempat hal di atas maka secara umum dapat disimpulkan bahwa training Selling Retail Bank Services memiliki efektivitas yang tinggi dan perlu terus dilanjutkan penyelenggaraannya karena terbukti memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan.
Saran Terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan, baik untuk keperluan manajemen Bank X maupun untuk kepentingan penelitian lanjutan. Saran Untuk Manajemen 1. Dengan mempertimbangkan kendala waktu dan biaya, pihak manajemen perusahaan hendaknya melakukan evaluasi setiap training yang diselenggarakannya secara lengkap dari Level 1 hingga Level 4 bahkan, jika memungkinkan dan diperlukan, sampai dengan perhitungan Return on Training Investment‐nya. Hal ini penting agar perusahaan dapat meyakini bahwa training yang diselenggarakannya benar‐benar terlaksana secara efektif serta dapat memberikan kontribusi finansial yang positif bagi perusahaan. 2.
Pihak manajemen perlu mengantisipasi hambatan‐hambatan yang banyak dialami eks‐ peserta dalam menerapkan materi training SRBS dalam pekerjaannya sehari‐hari. Untuk itu, manajemen perlu meyakini terlebih dahulu pemenuhan kondisi‐kondisi yang menjadi prasyarat efektifnya penerapan training tersebut, misalnya sistem operasional bank yang handal dan tidak sering mengalami gangguan, lingkungan kerja yang kondusif, jumlah pegawai yang seimbang dengan jumlah nasabah yang harus dilayani, dan sebagainya.
58
3.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, training bukanlah satu‐satunya faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja pegawai, melainkan masih terdapat enam faktor lainnya (peningkatan kapasitas pegawai, penetapan standar kerja, sistem penilaian kinerja, pemberian feedback, kondisi kerja, serta sistem insentif). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka perusahaan perlu memperhatikan pula perkembangan faktor‐faktor lainnya tersebut agar kinerja perusahaan dapat meningkat secara signifikan.
4.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi Level 3 dan Level 4 (yang dilakukan setelah eks‐peserta training kembali ke tempat kerjanya semula) adalah efektivitas metode pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dikirimkan lewat jasa pos kepada eks‐peserta melalui unit kerjanya, namun pada kenyataannya tingkat pengembalian kuesioner relatif tidak terlalu besar (sekitar 40%). Untuk selanjutnya, untuk menghemat waktu dan biaya, disarankan agar perusahaan lebih menggunakan sarana komunikasi secara elektronik (misalnya melalui e‐mail atau web‐site yang dapat diakses oleh eks‐peserta).
5.
Khusus untuk penyelenggaraan training SRBS, hasil penelitian menunjukkan perlunya penyempurnaan terhadap beberapa hal. Saran yang paling banyak dikemukakan oleh eks‐peserta adalah perlunya diperbanyak contoh‐contoh kasus sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Saran lain yang cukup banyak dikemukakan adalah penyempurnaan materi training dan teknik penyajiannya, meskipun tidak diuraikan secara lebih rinci mengenai bagian mana yang perlu disempurnakan.
6.
Hasil evaluasi training perlu dikomunikasikan secara baik kepada stakeholders agar dapat bermanfaat secara nyata bagi kemajuan perusahaan. Untuk itu, evaluator perlu mempersiapkan dengan cermat communication process sehingga hasil yang diperoleh, khususnya Return on Training Investment, dapat dipahami oleh semua pihak. Cara terbaik yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah melalui pertemuan tatap muka (face‐ to‐face meeting) yang memungkinkan evaluator menyampaikan temuannya secara langsung sehingga isu‐isu yang ingin disampaikan dapat tereksplorasi secara optimal, sekaligus memberikan peluang untuk memperoleh komitmen manajemen untuk mengambil kebijakan sesuai dengan yang direkomendasikan dalam evaluasi tersebut.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan 1. Salah satu kelemahan dalam ilustrasi ini adalah bahwa evaluasi training hanya dilakukan terhadap eks‐peserta training saja. Meskipun hal tersebut masih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa evaluasi yang dilakukan secara 3600 akan memberikan hasil yang lebih baik dan obyektif. Oleh
59
karenanya, perlu dipertimbangkan untuk melakukan evaluasi training secara 3600. Selain itu, dapat pula dilakukan wawancara untuk memperkuat hasil yang diperoleh. 2.
Penghitungan sejenis berikutnya dapat dilakukan terhadap jenis‐jenis training yang tidak terkait dengan operasi perusahaan ataupun core‐business secara langsung. Training dimaksud dapat terkait dengan peningkatan kompetensi yang bersifat soft‐ skills, seperti training mengenai kepemimpinan (leadership) atau kerjasama (teamwork), maupun kompetensi yang bersifat hard‐skills namun termasuk kegiatan penunjang bisnis (support activities), seperti training tentang akuntansi atau audit.
3.
Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menggunakan pengklasifikasian tertentu untuk memperoleh hasil‐hasil yang dapat diperbandingkan, sekaligus memperkaya penelitian tersebut. Misalnya, dengan memilah responden atas dasar lokasi tempat kerjanya untuk memperoleh gambaran efektivitas training antar daerah, atau dengan melakukan pemilahan atas dasar usia atau pengalaman kerja eks‐peserta.
60
Daftar Pustaka Agung, I Gusti Ngurah. (1992). Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian Praktis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Anonymus. (2005). 5 Creative Ways to Measure Training’s Return on Investment. IOMA’s Report on Managing Training & Development, 3, 1‐3. Burrow, Jim & Berardinelli, Paula. (2003). Systematic Performance Improvement – Refining the Space Between Learning and Results. Journal of Workplace Learning, 15, 6‐13. Cyrs, Thomas E. (1998). Evaluating Distance Learning Programs and Courses. Educational Development Associates, 3, 1‐2. Farrell, Don G. (2005). What’s the ROI of Training Programs? Lodging Hospitality, 61, 46. Freeman, Lisa. (2003). Measuring Return On Training Dollars Increasingly Possible, Credit Union Journal, 7, 1‐3. Goldwasser, Donna. (2001). Beyond ROI. Training, 38, 82‐90. Honeycutt Jr, Earl D; Karande, Kiran; Attia, Ashraf; & Maurer, Steven D. (2001). An Utility Based Framework for Evaluating the Financial Impact of Sales Force Training Programs. The Journal of Personal Selling & Sales Management, 21, 229‐238. Kirkpatrick, Donald L. (1998). Evaluating Training Programs. San Francisco: Berrett‐Koehler Publishers, Inc. Kirkpatrick, Donald L. (1982). How to Improve Performance Through Appraisal and Coaching. New York: America Management Association. Kirkpatrick, Donald L. (1996). Implementation Guidelines for the Four Levels of Evaluation. Training & Development, 1, 1. Kirkpatrick, Donald L. (1996). Techniques for Evaluating Training Programs. Training & Development, 1, 2‐3. Lockyer, Sarah E. (2003). Does Training Pay? It’s Hard to Measure. American Banker, 168, 7‐ 10. McNamara, Carter. (1998). Basic Guide to Program Evaluation. www.authenticityconsulting.com, McNamara, Carter. (1999). Checklists for Program Evaluation Planning.. www.authenticityconsulting.com, Miller, Mike (1999). Evaluate Training on These Four Levels. Credit Union Magazine Madison, 65, 25‐26. Molinaro, Vince. (2003). Training ROI Requires Attention to Followup. Canadian HR Reporter, 16, 13‐14. Morrow, Charley C.; Jarrett M. Quintin; & Rupinski, Melvin T. (1997). An Investigation of the Effect and Economic Utility of Corporate‐wide Training. Personnel Psychology, 50, 91‐ 120. Noe, Raymond A. (2005). Employee Training and Development. New York: McGraw‐Hill. Pangarkar, Ajay & Kirkwood, Teresa. (2005). Making Cents From Your Training ROI. Canadian HR Reporter, 18, 15. 61
Phillips, Jack J. Communicating Results to Top Executives. www.clomedia.com. Phillips, Jack J. & Stone, Ron Drew. (2002). How to Measure Training Results. New York: McGraw‐Hill. Phillips, Jack J. (1996). How Much Is the Training Worth? Training & Development, 50, 20‐ 24. Phillips, Jack J. (1996). ROI: the Search for Best Practices. Training & Development, 50, 42‐ 47. Phillips, Jack J. (1996). Was It the Training? Training & Development, 50, 28‐32. Plant, Roger A. & Ryan, Robert A. (1992). Training Evaluation: A Procedure for Validating An Organization’s Investment in Training. Journal of European Industrial Training, 16, 22‐38. Pratisto, Arif. (2004). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Santoso, Singgih & Tjiptono, Fandy (2001). Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Shelton, Sandra & Alliger, George. (1993). Who’s Afraid of Level 4 Evaluation? A Practical Approach. Training & Development, 47, 43‐46. Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian (ed) (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Warr, Peter; Allan, Catriona; & Birdi, Kamal (1999). Predicting Three Levels of Training Outcome. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 72, 351‐375.
62