PENGUKURAN ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN BEBERAPA JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013
Freishila Kawilarang NIM E34090101
ABSTRAK FREISHILA KAWILARANG. Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng. Dibimbing oleh SITI BADRIYAH RUSHAYATI dan BREGAS BUDIANTO. Salah satu faktor penyebab terjadinya Urban Heat Island adalah peningkatan luasan lahan terbangun dan penurunan luasan RTH. Ini menentukan nilai albedo permukaan di wilayah tersebut. Albedo permukaan merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Semakin tinggi nilai albedo suatu objek maka akan semakin menurunkan suhu permukaan. Selain itu, jenis bahan suatu objek juga menentukan suhu permukaannya. Pengukuran albedo dilakukan dengan pemotretan objek menggunakan kamera dengan perlakuan tingkat pencahayaan tetap. Data piksel yang diperoleh selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo dengan menggunakan pengolah spread sheet Microsoft Excel. Nilai albedo bauhinia bernilai antara 80-90% dengan nilai albedo rata-rata 83%, bintaro bernilai antara 70-80% dengan nilai albedo rata-rata 75%, gmelina bernilai antara 80-90% dengan nilai albedo rata-rata 85%, jati bernilai antara 90-100% dengan nilai albedo rata-rata 95%. Suhu permukaan vegetasi bauhinia sebesar 33 ºC, bintaro sebesar 36 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, dan jati sebesar 35 ºC. Kata kunci: albedo, hutan kota, iklim mikro
ABSTRACT FREISHILA KAWILARANG. Albedo and Surface Temperature Measurement of Some Vegetation in Srengseng Urban Forest. Supervised by SITI BADRIYAH RUSHAYATI and BREGAS BUDIANTO. Some of the causes of Urban Heat Island are the increasing of developed area and decreasing of green open space. Both of them determine the surface albedo in the region. Surface albedo is the ratio of reflected short-wave radiation to the coming short-wave radiation. The higher albedo of an object the more surface temperature lowers. In addition, the material of an object also determines surface temperature. Albedo measurement was done by photographing objects using a camera with a fixed illumination level treatment. The pixel data have converted into albedo by used Microsoft Excel spread sheet. The albedo values of bauhinia were about 8090% with average values of albedo were 83%, while albedo values of bintaro ranged 70-80% with average values of albedo were 75%, gmelina ranged 80-90% with average values of albedo were 85%, teak ranged 90100% with average values of albedo were 95%. The surface temperature of bauhinia vegetation is 33 ºC, while bintaro is 36 ºC, gmelina is 35 ºC, and teak is 35 ºC. Keywords: albedo, microclimate, urban forest
PENGUKURAN ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN BEBERAPA JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng Nama : Freishila Kawilarang NIM : E34090101
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Badriyah Rushayati. M Si Pembimbing I
Ir Bregas Budianto. Ass Dipl Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni. MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan anugrah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah hutan kota dan iklim mikro dengan judul penelitian Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati. M Si dan Bapak Ir Bregas Budianto. Ass Dipl yang telah senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan penelitian dan dalam proses penulisan skripsi, juga penulis ucapkan terima kasih kepada Adi Mulyadi. S Si dan Ayu Pradipta Diza yang telah membantu penulis dalam pengolahan data, juga kepada para staf Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dan Kementrian Kehutanan yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data. Kepada keluarga dan Nehemia Agus Wijaya atas dukungan doa dan kasih sayangnya, teman-teman Five Icon (Ratna, Tere, Grace, Vany), Cicely, dan Helin yang telah memberikan banyak dukungan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Bogor, November 2013 Freishila Kawilarang
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Manfaat
3
METODE
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
Waktu dan Lokasi Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Metode Pengumpulan Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Albedo Permukaan
8
Iklim Mikro SIMPULAN DAN SARAN
10 15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
19
DAFTAR TABEL 1 Jenis data dan metode pengumpulan data 2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput, permukaan jalan, tanah, dan air pada siang hari 3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota 4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan terbuka serta suhu permukaannya pada siang hari
5 8 9 14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu udara Suhu permukaan rata-rata Suhu udara Hutan Kota Srengseng Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia purpurea), (b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina (Gmelina arborea), (d) Jati (Tectona grandis) 6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
4 10 11 12
13 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Albedo dan suhu permukaan Rata-rata albedo permukaan objek Data suhu permukaan Suhu permukaan tiap objek Data suhu dan kelembaban udara Data vegetasi hutan kota Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
19 20 22 24 25 26 27 28
21
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkotaan adalah suatu kawasan dimana pusat aktivitas berlangsung. Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat hidup, tempat belajar, pusat pemerintahan, tempat berkunjung dan menginapnya tamu negara dan berbagai kegiatan lainnya (Dahlan 1992). Padatnya aktivitas yang dilakukan oleh penduduk perkotaan menyebabkan peningkatan mobilitas yang berdampak pada peningkatan polutan perkotaan (Lauhatta 2007). Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk Jakarta pada bulan November 2011 mencapai 10 187 595 individu (Disdukcapil DKI Jakarta 2012) dengan luas 661.52 km2 (Pemda DKI Jakarta 2008). Berdasarkan data tersebut diketahui kepadatan penduduk mencapai 15 individu/m2. Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990-2000 sebesar 0.16%, semakin meningkat pada periode tahun 2000-2005 menjadi 1.06% per tahun (Pemda DKI Jakarta 2008). Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat akan mengakibatkan tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota (Effendy 2007). Luasan ruang terbuka hijau (RTH) cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya lahan terbangun. Areal perkotaan dituntut untuk terus berkembang. Pembangunan lingkungan perkotaan yang telah dan sedang terjadi memberikan dampak penurunan kualitas lingkungan. Jakarta telah mengalami kenaikan suhu yang disebabkan oleh wajah kota yang didominasi oleh struktur bangunan dan menjadikannya semakin tidak nyaman untuk dihuni (Sulistyantara 2005). Menurut Mas’at (2009), suhu udara perkotaan DKI Jakarta dalam 28 tahun terakhir (1980-2007) mengalami laju kenaikan rata-rata pertahun sebesar 0.17 ºC. Kenaikan suhu ini dapat di atasi dengan adanya ruang terbuka hijau salah satunya hutan kota. Hutan kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol, struktur menyerupai hutan alam dan membentuk suatu habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar, sehingga menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk, dan estetis (Irwan 1996). Berdasarkan PP No. 63 tahun 2002, pengertian hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang ditumbuhi pepohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang, sedangkan menurut Kementrian Kehutanan (1991), hutan kota merupakan suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di tanah negara, ataupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki estetika dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohonpohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota. Hutan kota merupakan ruang terbuka yang ditumbuhi
2
vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan lain-lainnya (Fakuara 1987). Menurut Dahlan (1992) komponen hutan kota yang meliputi struktur vegetasi pohon, jalur hijau dan taman kota akan mampu menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembaban udara, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan estetika lingkungan. Kualitas hidup masyarakat perkotaan berkaitan langsung dengan kualitas lingkungan perkotaan yang dipengaruhi oleh aktifitas kota itu sendiri (Irwan 2005). Kota Jakarta yang merupakan pusat perekonomian Indonesia dituntut untuk melakukan pembangunan fisik seperti jalur transportasi maupun berbagai fasilitas pendukung kegiatan perekonomian lainnya. Sehingga penurunan kualitas lingkungan pun tidak dapat dihindari. Salah satu ciri penurunan kualitas lingkungan daerah perkotaan adalah peningkatan suhu. Ini disebabkan oleh kepadatan penduduk, pembangunan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi dll. Peningkatan suhu bumi dipengaruhi oleh radiasi matahari yang diterima atau sampai di bumi. Radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi akan mengalami pemantulan dan penyerapan radiasi (Akbari diacu dalam Rushayati 2011), sehingga semua jenis tutupan lahan di bumi memiliki nilai albedo. Menurut Effendy (2007) albedo adalah perbandingan jumlah radiasi matahari gelombang pendek yang diterima oleh suatu permukaan dengan radiasi matahari gelombang pendek yang dipantulkan permukaan tersebut, dengan kata lain albedo merupakan perbandingan antara radiasi matahari yang dipantulkan dengan radiasi yang datang (Rushayati et al. 2011). Rumondang (2011) menyatakan bahwa albedo merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan yang datang dari semua spektrum panjang gelombang. Pemantulan oleh suatu objek merupakan ukuran pemantulan sebuah objek untuk memantulkan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu (Prasasti 2004). Setiap jenis objek memiliki albedo yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi permukaannya (Nugroho 2001). Kota Jakarta telah dipenuhi oleh para pemukim dan menjadi pusat perekonomian, sehingga dipadati oleh bangunan-bangunan tinggi dan saling berhimpitan. Hal ini menimbulkan resiko meningkatnya suhu udara, dikarenakan semakin banyaknya elemen yang memancarkan panas matahari serta adanya panas hasil dari aktivitas manusia yang diantaranya menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida, karbonmonoksida, dan metana. Kondisi tersebut diperparah dengan berkurangnya jumlah vegetasi yang berfungsi sebagai penahan radiasi matahari sekaligus menyerap karbondioksida. Sehingga suhu udara di pusat kota berbeda jauh dengan suhu udara di pinggir kota yang disebut dengan urban heat island (Sangkertadi dan Syafriny 2008). Menurut Irwan (2005), urban heat island merupakan suatu fenomena dimana suhu udara di lokasi yang padat bangungan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu terbuka di sekitarnya. Alcoforado dan Andrade (2008) menyatakan urban heat island adalah fenomena perbedaan suhu yang signifikan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan di
3
sekitarnya. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli meteorologi bernama Luke Howard pada tahun 1818, disebut juga pulau bahang kota karena berupa suatu kawasan yang apabila ditarik garis isoterm akan membentuk seperti pulau dan semakin ke pusat intensitas suhu akan meningkat. Rosenberg (2005) menyatakan bahwa perbedaan suhu udara pada urban heat island dapat mencapai 11 ºC lebih tinggi daripada daerah di sekitarnya, yang terjadi pada Central Business District (CBD), areal komersil, dan pemukiman di suburban. Hutan kota mampu mengurangi dampak negatif dari aktivitas kota, sehingga sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan yang sehat. Salah satunya adalah mengatur iklim mikro. Penentuan jenis vegetasi sebagai penyusun hutan kota turut berperan penting dalam memaksimalkan fungsi hutan kota sebagai pengatur iklim mikro. Sehingga penggunaan lahan dalam hutan kota lebih efektif, mengingat luasan RTH yang cenderung menurun. Pengukuran albedo pada beberapa jenis vegetasi sebagai salah satu faktor penentu iklim mikro perlu dilakukan agar dapat diketahui efektifitas keberadaannya di hutan kota dalam mengurangi kenaikan suhu suatu areal di Kota Jakarta.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari kaitan antara keragaman nilai albedo dengan suhu permukaan beberapa jenis vegetasi di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam pengembangan hutan kota selanjutnya terutama dalam upaya memperbaiki iklim mikro serta mengatasi fenomena urban heat island.
METODE Ruang Lingkup Penelitian Pembangunan yang terjadi secara berkelanjutan di DKI Jakarta akan meningkatkan luasan lahan terbangun dan menurunkan luasan RTH yang mana akan mempengaruhi nilai albedo permukaan, suhu permukaan, dan emisi termal di kota tersebut. Albedo permukaan, suhu permukaan, dan emisi termal merupakan beberapa variabel yang menentukan keseimbangan energi di permukaan yang selanjutnya akan mempengaruhi suhu udara. Secara konseptual, disajikan pada Gambar 1.
4
Pembangunan di DKI Jakarta
Penurunan Luasan RTH
Lahan Terbangun Meningkat
Albedo
Suhu Permukaan
Emisi Termal
Keseimbangan Energi di Permukaan
Suhu Udara
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu udara
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Hutan Kota Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas lokasinya yang berada di antara jalan raya dan areal pemukiman. Selain itu, hutan kota ini juga memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai salah satu ruang terbuka hijau di areal permukiman Jakarta Barat dan sebagai tempat rekreasi.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: alat tulis, meteran, kamera digital, termometer infra-merah Minolta, termometer bola basah-bola kering, perangkat lunak pengolah citra GetPixels, dan Microsoft Excel 2010. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: aquades, vegetasi di hutan kota dan objek di lahan terbuka.
5
Metode Pengumpulan Data Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data No. 1.
Jenis Data Nilai albedo
Aspek yang Dikaji Albedo vegetasi hutan kota Albedo objek pada lahan terbuka
Metode Pengamatan dan Pengukuran langsung
2.
Komponen iklim mikro pada hutan kota dan lahan terbuka
Suhu udara Suhu permukaan Kelembaban udara
Pengamatan dan Pengukuran langsung
3.
Kondisi hutan kota
Jenis vegetasi hutan kota Pengamatan dan Tinggi dan diameter batang Pengukuran vegetasi langsung Morfologi tajuk dan daun
Pengamatan dan Pengukuran Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan dan pengukuran lapang. Pengukuran dilakukan terhadap gambar objek hasil potret dengan menggunakan kamera digital yang diatur secara manual. Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka diolah dengan menggunakan perangkat lunak GetPixels untuk mendapatkan data piksel RGB. Data piksel ini yang selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo. Pengambilan gambar objek dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB dengan tiga kali ulangan yaitu pada pagi hari pukul 09.00-09.30 WIB, siang pukul 12.00-12.30 WIB, dan sore pukul 15.00-15.30 WIB. Pada saat pengambilan gambar, objek disandingkan dengan papan yang telah dilapisi kertas karton berwarna hitam dan putih sebagai bahan pembanding. Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan termometer bola basah-bola kering. Sensor termometer bola basah-bola kering diletakkan pada ketinggian 1.2 meter dari permukaan tanah yang ternaungi tajuk dan permukaan tanah yang tidak ternaungi tajuk. Kemudian suhu permukaan diukur dengan menggunakan termometer inframerah pada permukaan objek. Pengukuran suhu udara, kelembaban udara, dan suhu permukaan dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai hutan kota, iklim mikro, dan albedo. Studi pustaka yang menjadi data awal diambil dari berbagai sumber antara lain, buku-buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan dokumen lainnya. Berbagai data tersebut
6
diperoleh dari perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan tempat lainnya yang menunjang informasi bagi penelitian ini. Analisis Data Data dari setiap objek yang diperoleh berupa gambar foto. Setiap gambar objek di ambil sampel sebanyak 10x10 data pixel. Pada satu gambar objek vegetasi diambil sampel pada bagian yang terpapar sinar matahari, bagian yang cenderung gelap, secara acak, bagian yang berwarna putih dan yang berwarna gelap. Pada gambar non vegetasi pengambilan sampel dilakukan pada bagian yang terpapar sinar matahari, bagian yang berwarna putih dan hitam. Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 7. Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka dianalisa dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra untuk mendapatkan data piksel RGB. Data piksel ini selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo dengan menggunakan pengolah spread sheet Microsoft Excel. Warna hitam pada data piksel berupa angka 0 yang setara dengan angka 0 pada nilai albedo dan warna putih berupa angka 255 yang setara dengan angka 1 pada nilai albedo. Namun angka pada piksel tersebut dipengaruhi oleh sudut datang cahaya dan bahan yang digunakan sebagai pembanding warna hitam dan putih terhadap objek sehingga diperlukan koreksi untuk data pixel warna hitam dan putih. Nilai albedo permukaan vegetasi hutan kota dan pada objek di lahan terbuka di sekitarnya diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: Albedo ~ sinar matahari yang dipantulkan/sinar matahari yang datang = albedo = nilai pixel objek-nilai pixel hitam = nilai pixel putih-nilai pixel hitam Selanjutnya nilai x dan y dianalisis hubungannya melalui pendekatan regresi linier dengan persamaan sebagai berikut (Walpole 1982):
Keterangan: = peubah tak bebas (peubah acak) = konstanta = koefisian regresi peubah bebas = peubah bebas Data nilai albedo yang diperoleh berdasarkan pengukuran terhadap tiap-tiap objek diolah kemudian dibandingkan dan dianalisa. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah tak bebas dengan peubah bebasnya. Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan antara nilai suhu permukaan ( ) dengan nilai albedo permukaan ( ).
7
Data suhu udara, suhu permukaan, dan kelembaban udara selanjutnya akan dianalisa dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram batang. Lalu dibandingkan antara nilai yang dihasilkan pada vegetasi hutan kota dan objek pada lahan terbuka. Berbagai data yang diperoleh dari studi pustaka selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan data yang diperoleh dari lapangan, sehingga dapat mengorganisasi data sedemikian rupa agar mendapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian DKI Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2 termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Secara geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106°22’ 42" BT sampai 106°58’ 18" BT dan 5°19’ 12" LS sampai 6°23’ 54" LS. Sebelah Utara DKI Jakarta berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan keadaan topografinya wilayah DKI Jakarta dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut yang diukur dari titik nol Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir kanal sampai batas paling Selatan dari wilayah DKI antara 5 m sampai 50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian Selatan banjir kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m. Wilayah DKI Jakarta termasuk kedalam tipe iklim D menurut klasifikasi iklim Schmit Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2000 mm. Wilayah DKI Jakarta termasuk daerah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 28 °C dengan kelembaban antara 80% sampai 90% (Wardhana 2009). Temperatur tahunan maksimum 32 °C dan minimum 22 °C. Kecepatan angin rata-rata 11.2 km/jam (Kementrian Kehutanan 2012). Hutan kota Srengseng memiliki luas 17,3 hektar, dibangun pada tahun 1993 pada era kepemimpinan Gubernur R. Suprapto (Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta 1998). Pada awalnya kawasan ini merupakan TPA sampah, namun karena peruntukan kawasan ini sudah tidak sesuai lagi dengan kawasan di sekitarnya yang merupakan tempat bermukim, maka dibangun hutan kota. Hutan kota ini memiliki ratusan tegakan yang terdiri dari 65 jenis pohon. Hutan kota ini juga memiliki kebun bibit seluas 2.5 hektar. Terdapat danau yang dibentuk dekat aliran Kali Pesanggrahan.
8
Keberadaan fauna semakin mendukung keindahan hutan kota ini dan menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Albedo Permukaan Pengukuran albedo dilakukan pada vegetasi hutan kota, rumput, permukaan jalan, tanah, dan air danau. Albedo vegetasi yang diukur antara lain jenis jati (Tectona grandis), bauhinia (Bauhinia purpurea), gmelina (Gmelina arborea), bintaro (Cerbera manghas). Pengukuran albedo pada rumput, permukaan jalan, tanah dan air dilakukan sebagai pembanding terhadap albedo vegetasi hutan kota. Albedo berbagai jenis permukaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Sudut datang sinar matahari mempengaruhi radiasi yang diterima oleh suatu objek (Handoko 1993). Pada siang hari posisi matahari berada pada ketinggian tertinggi dan memberikan radiasi maksimum, sehingga energi yang masuk jauh lebih banyak bila dibandingkan pada pagi atau sore hari, akibatnya energi tersimpan pada permukaan objek jauh lebih banyak pada siang hari. Seperti yang dinyatakan oleh Monteith (1975) bahwa radiasi matahari yang diterima permukaan horizontal meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian matahari tetapi menurun seiring dengan meningkatnya transparansi atmosfer. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya beberapa penyebab yang mempengaruhi albedo objek yang terukur. Hal ini terjadi karena posisi pengambilan gambar objek yang memiliki sudut elevasi, pengambilan gambar dari udara yang tidak memungkinkan untuk dilakukan, dan terhalang oleh awan pada saat pengambilan data, sehingga energi sinar matahari yang masuk tidak maksimal. Tabel 2 memuat nilai rata-rata albedo pada berbagai permukaan pada siang hari. Tabel 2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput, permukaan jalan, tanah, dan air pada siang hari Jenis Bauhinia Bintaro Gmelina Jati Jalan Air Rumput Tanah liat lembab
Albedo (%) 84 78 89 98 44 79 33 36
Albedo Permukaan Tajuk Vegetasi Hutan Kota Pemilihan jenis vegetasi untuk pengukuran albedo didasarkan pada letaknya yang tidak ternaungi dan jumlahnya cukup banyak juga letak antar tiap individu yang tidak terlalu berjauhan, sehingga data yang didapatkan lebih akurat. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui bahwa nilai albedo jati
9
berkisar antara 96-100% dengan albedo rata-rata 98%, gmelina berkisar antara 86-93% dengan albedo rata-rata 89%, bauhinia berkisar antara 8091% dengan albedo rata-rata 84%, dan bintaro berkisar antara 75-81% dengan albedo rata-rata 78%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa jati memiliki nilai albedo tertinggi. Albedo vegetasi dipengaruhi oleh kilap daun, warna daun, dan struktur permukaan daun (Monteith 1975). Ini menyebabkan albedo tiap jenis berbeda. Albedo permukaan tajuk vegetasi yang diperoleh jauh melebihi nilai albedo permukaan vegetasi yang dinyatakan oleh Stull (2000) bahwa nilai albedo vegetasi berkisar antara 10-23%. Ini dikarenakan perbedaan letak geografis vegetasi yang ditelitinya. Indonesia yang beriklim tropis menyebabkan jumlah radiasi matahari yang diterima dan dipantulkan lebih besar dibandingkan dengan negara yang tidak beriklim tropis. Nilai albedo permukaan tajuk lebih rendah dari nilai albedo permukaan daun vegetasi. Perbedaan orientasi daun pada tajuk menyebabkan keberagaman arah pantulan radiasi sehingga saling meredam dan membentuk area yang lebih gelap. Rata-rata albedo permukaan tajuk pada beberapa jenis vegetasi hutan kota dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota Jenis Bauhinia Bintaro Gmelina Jati
Albedo (%) 33 51 79 70
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hirai et al. (1999) diketahui bahwa selama musim kemarau albedo rata-rata tegakan jati bernilai antara 18-30%, sedangkan pada saat musim hujan, albedo tegakan jati berkisar antara 21-31%. Perbedaan albedo jati tersebut dengan data albedo jati pada tabel 3 disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Albedo Permukaan Objek Terbuka Objek terbuka yang diukur adalah jalan yang terbuat dari susunan paving block, tanah liat lembab di sekitar vegetasi yang terpapar sinar matahari, air danau buatan yang berada di dalam kawasan hutan kota, dan rumput gajah mini (Axonopus compressus). Lampiran 1 menunjukan bahwa nilai albedo air danau berkisar antara 69-96 % dengan nilai rata-rata albedo 79%. Jalan memiliki nilai albedo berkisar antara 43-47% dengan rata-rata albedo sebesar 44%. Tanah liat lembab memiliki nilai albedo berkisar antara 15-52% dengan albedo rata-rata sebesar 36%. Sedangkan albedo pada rumput berkisar antara 29-38% dengan albedo rata-rata sebesar 33%. Menurut Stull (2000) albedo permukaan perairan dalam berkisar antara 520%, pada tanah abu-abu yang lembab berkisar antara 6-8%, dan bangunan 9%. Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa air memiliki albedo
10
yang paling tinggi diantara objek lahan terbuka lainnya, karena air lebih banyak memantulkan radiasi matahari.
Iklim Mikro Suhu Permukaan Suhu permukaan pada siang hari lebih tinggi bila dibandingkan pada pagi dan sore hari. Energi maksimal yang tersimpan saat siang hari pada objek mempengaruhi suhu permukaannya. Nilai suhu permukaan rata-rata tiap objek dapat dilihat pada Lampiran 3. Perbandingan suhu permukaan vegetasi hutan kota, jalan, tanah lembab, air danau, dan rumput dapat dilihat pada Gambar 2. Suhu Permukaan (ºC) 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
pagi siang sore Jenis Objek
Gambar 2 Suhu permukaan rata-rata Berdasarkan Lampiran 3 diketahui suhu permukaan vegetasi bauhinia sebesar 33 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, jati sebesar 35 ºC, bintaro sebesar 36 ºC, sedangkan suhu permukaan air sebesar 33 ºC, tanah sebesar 34 ºC, rumput sebesar 37 ºC, dan jalan sebesar 39 ºC. Bauhinia memiliki suhu permukaan yang paling rendah diantara suhu permukaan vegetasi hutan kota lainnya. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun, warna daun dan kandungan air pada daun (Madgosky 2004; Monteith 1975). Semakin tinggi kandungan air pada daun akan semakin meningkatkan kapasitas endotermal. Menurut Arisanti (2005) daun bauhinia memiliki lapisan lilin yang mempengaruhi ketahanan terhadap hilangnya air dari lapisan daun sehingga membuat suhu permukaannya rendah. Jalan memiliki suhu permukaan yang paling tinggi diantara objek lainnya. Kadar air permukaan jalan sangat rendah sehingga kapasitas endotermal pada permukaan jalan sedikit. Ini menyebabkan energi termal yang diterima akan lebih cepat memanaskan badan objek dan akan mudah meningkatkan suhu permukaan jalan.
11
Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara yang diukur pada lokasi penelitian adalah lokasi yang ternaungi dan lokasi yang tidak ternaungi. Suhu udara di lokasi yang ternaungi pada pagi hari (09.00-10.00 WIB) berkisar antara 28-29 ºC, pada siang hari (12.00-13.00 WIB) berkisar antara 30-31 ºC, dan pada sore hari (14.30-15.30 WIB) berkisar antara 31-32 ºC. Suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi berkisar antara 30-31 ºC pada pagi hari (09.00-10.00 WIB), 33-35 ºC pada siang hari (12.00-13.00 WIB), dan pada sore hari (14.3015.30 WIB) suhu tetap sebesar 30 ºC. Nilai suhu udara dan kelembaban udara dari jam 09.00-15.30 WIB dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai suhu udara di lokasi tersebut dari waktu ke waktu dapat dilihat pada Gambar 3.
Ternaungi
15.00-15.15
14.30-14.45
14.00-14.15
13.30-13.45
13.00-13.15
12.30-12.45
12.00-12.15
11.30-11.45
11.00-11.15
10.30-10.45
Tidak Ternaungi
10.00-10.15
09.30-09.45
09.00-09.15
Suhu Udara (°C) 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu
Gambar 3 Suhu udara Hutan Kota Srengseng Suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang ternaungi oleh tajuk pada selang waktu 09.00-13.00 WIB, karena vegetasi hutan kota dapat menyerap panas melalui mekanisme penyerapan cahaya matahari yang sebagian dimanfaatkan dalam proses fotosintesis, sehingga radiasi panas matahari tidak memanaskan suhu udara di sekitar vegetasi tersebut yang berdampak pada efek pendinginan. Namun berbeda dengan suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi, di lokasi tersebut terdapat jalan yang terbuat dari paving block. Seperti yang dinyatakan oleh Dahlan (2011) bahwa jalan, aspal, paving, tembok dan atap gedung, merupakan sebagian contoh dari permukaan kota yang berpotensi menaikan suhu udara melalui refleksi, transmisi, dan absorbsi radiasi matahari. Pada selang waktu 13.00-15.30 suhu udara di lokasi yang ternaungi lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi yang tidak ternaungi. Ini disebabkan radiasi balik (reradiasi) dari bumi yang tertahan oleh tajuk (Miller 1988; Dahlan 1992). Pada saat radiasi matahari yang diterima semakin sedikit, proses fotosintesis pada tumbuhan semakin berkurang sedangkan proses respirasi terus berlangsung, sehingga akan meningkatkan
12
konsentrasi CO2 di udara. CO2 merupakan salah satu penyerap radiasi gelombang panjang yang efektif (Handoko 1993). Kelembaban udara di lokasi yang ternaungi berkisar antara 66-85% dengan rata-rata sebesar 73%. Pada lokasi yang tidak ternaungi kelembaban udara berkisar antara 66-79% dengan rata-rata sebesar 72%. Secara keseluruhan, kelembaban udara di Hutan Kota Srengseng berkisar antara 7273%. Perbandingan kelembaban udara di lokasi yang ternaungi oleh tajuk dan di lokasi yang tidak ternaungi dapat dilihat pada Gambar 4. Kelembaban Udara (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Ternaungi Tidak Ternaungi Waktu
Gambar 4 Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng Kelembaban udara dengan suhu udara memiliki keterkaitan, semakin tinggi suhu udara maka akan rendah kelembabannya. Ini sesuai dengan data yang diperoleh. Kelembaban udara pada pepohonan berkisar antara 66-92% dan pada areal aspal dan jalan berkisar antara 62-78% (Wenda 1991 diacu dalam Dahlan 2004). Kemampuan Vegetasi Hutan Kota dalam Mempengaruhi Iklim Mikro Kemampuan vegetasi hutan kota dalam mempengaruhi suhu di sekitarnya selain dipengaruhi dengan albedo, juga dipengaruhi oleh morfologi tajuk dan daun. Absorbsi radiasi matahari akan meningkat seiring dengan meningkatnya ketebalan daun (Schulgin 1963). Cahaya matahari yang diabsorpsi sebagian digunakan untuk proses fotosintesis dan selebihnya untuk memanaskan daun, sehingga suhu permukaan daun lebih rendah apabila dibandingkan dengan suhu permukaan objek non vegetasi yang memiliki kadar air sangat rendah atau bahkan mendekati nol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2011) diketahui bahwa semakin luas dan rapat permukaan tajuk yang terpapar cahaya matahari maka akan semakin efektif dalam menyerap radiasi matahari. Berdasarkan klasifikasi bentuk tajuk yang dinyatakan oleh Carpenter et al. (1975); Wang (1979); Steven et al. (1994) dan bentuk daun oleh Tjitrosoepomo (1985) diketahui bahwa pohon bauhinia (Bauhinia purpurea) memiliki bentuk tajuk irregular dengan daun yang berbentuk ovate, bintaro (Cerbera manghas)
13
memiliki bentuk tajuk irreguler dengan daun yang berbentuk obovate, gmelina (Gmelina arborea) memiliki bentuk tajuk round dengan bentuk daun ovate, dan jati (Tectona grandis) memiliki bentuk tajuk irregular dengan bentuk daun berupa elips (Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia purpurea), (b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina (Gmelina arborea), (d) Jati (Tectona grandis) Keberadaan vegetasi dalam mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya antara lain dengan cara menghalangi radiasi matahari yang masuk dan mengubah beberapa energi matahari menjadi ikatan kimia melalui proses fotosintesis (Robinette diacu dalam Miller 1988). Pada vegetasi dengan bentuk tajuk yang memiliki posisi daun cenderung vertikal seperti pada jenis bintaro memiliki penetrasi radiasi matahari yang tinggi dan memberikan efek naungan yang tidak maksimal, sedangkan jenis vegetasi dengan susunan daun yang cenderung horizontal seperti jati, gmelina, dan bauhinia memiliki efek naungan yang lebih baik, karena radiasi matahari yang terhalang oleh kumpulan daun. Namun untuk penanaman di areal perkotaan perlu mempertimbangkan karakteristik jenis vegetasi yang disesuaikan dengan peruntukannya. Proses evapotranspirasi pada vegetasi juga merupakan penyebab terbentuknya iklim mikro. Irwan (2008) menyatakan bahwa evapotranspirasi merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel). Udara sekitar akan kehilangan panas karena terjadinya evapotranspirasi yang menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Menurut
14
Koto (1991), hutan kota mampu memodifikasi iklim mikro sebagai akibat dari naungan, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan radiasi gelombang panjang, menahan tetes air hujan, menurunkan suhu udara melalui evapotranspirasi dan meningkatkan kelembaban udara. Hubungan Albedo dengan Suhu Permukaan dan Suhu Udara Besarnya albedo permukaan, suhu permukaan dan suhu udara dianalisis melalui perhitungan regresi linier. Suhu permukaan yang digunakan adalah suhu permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka, begitupun halnya dengan albedo permukaan, yang digunakan adalah albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka. Sedangkan untuk suhu udara yang digunakan adalah suhu udara yang tidak ternaungi. Nilai rata-rata albedo dan suhu permukaan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan terbuka serta suhu permukaannya (ºC) pada siang hari Jenis Albedo Permukaan Suhu Permukaan (%) (ºC) Bauhinia 84 35 Bintaro 78 36 Gmelina 89 38 Jati 98 37 Jalan 44 43 Air 79 35 Rumput 33 42 Tanah 36 37 Persamaan regresi linier dari hubungan suhu permukaan dan albedo permukaan adalah y=42,772-6,6772x. Berdasarkan penelitian Vukovich et al. (1987) diperoleh korelasi negatif antar nilai albedo dengan suhu permukaan. Gambar 5 menunjukan hubungan antara suhu permukaan dengan albedo permukaan. Suhu Permukaan
50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
pagi siang sore Linear (siang)
y = 42.772-6.6772x
Albedo 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Gambar 6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
15
Secara umum semakin tinggi albedo permukaan suatu objek maka akan menurunkan suhu permukaan. Namun suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan tajuk.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Albedo permukaan suatu objek menentukan suhu permukaannya. Secara umum semakin tinggi nilai albedo maka akan menurunkan suhu permukaan. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan tajuk. Semakin luas permukaan tajuk dengan daun yang terpapar matahari akan semakin efektif dalam mengabsorbsi radiasi matahari. Bauhinia dengan albedo permukaan daun 84% memiliki suhu permukaan yang paling rendah (33 ºC) diantara objek vegetasi lainnya yaitu gmelina (35 ºC), jati (35 ºC), dan bintaro (36 ºC). Secara umum suhu udara di tempat yang ternaungi oleh tajuk lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di tempat yang tidak ternaungi tajuk. Saran 1. Pembangunan hutan kota perlu mempertimbangkan pemilihan jenis vegetasi yang mempunyai albedo tinggi dan suhu permukaan rendah agar fungsi hutan kota dalam perbaikan iklim mikro dapat maksimal. 2. Perlunya penelitian mengenai albedo pada jenis-jenis vegetasi lainnya agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membangun hutan kota.
DAFTAR PUSTAKA Affandi MI. 1994. Pengembangan hutan kota dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah di kotamadya Bandar Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Alcoforado MJ, Andrade H. 2008. Urban Ecology. Marzluff JM, editor. Seattle (US): Springer. Arisanti A. 2005. Adaptasi anatomis pohon roof garden [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape. San Francisco (US): WH Freeman and Company. Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
16
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor (ID): IPB Press. Dahlan. 2011. Potensi hutan kota sebagai alternatif substitusi fungsi alat pendingin ruangan (Air Conditioner) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Departemen Dalam Negeri. 1998. Instruksi menteri dalam negeri no. 14 tahun 1988 tentang: penataan RTH diwilayah perkotaan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. 2012. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2]. Tersedia pada:http://dki.kependudukancapil.go.id/?option=com_conte nt&view=arti cle&id=4&Itemid=63. Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 1998. Kondisi Umum Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat. Jakarta (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Effendy S. 2007. Keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island wilayah Jabotabek [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fakuara Y. 1987. Konsepsi pengembangan hutan kota [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fandeli C, Kaharuddin, Mukhlison. 2004. Perhutanan Kota, Cet. I. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): PT Dunia Pustaka Jaya. Hirai K, Sungkawang S, Tanaka H. 1999. Characteristics of albedo at two types of tropical seasonal forests in Mae Klong Watershed Research Station, Western Thailand. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 22]. Tersedia pada:http://agris.fao.org/agrissearch/search/display.do?f=2000%2FPH %2FPH00013.xml%3BPH2000101055. Irwan ZD. 1996. Membangun bentuk dan struktur hutan kota untuk mengatasi kendala lahan perkotaan. Jurnal Arsitektur Lanskap Indonesia 1/1/101996:6-11. Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Kementrian Kehutanan. 1991. Rencana Umum Pengembangan Hutan Kota. Direktorat jenderal reboisasi dan rehabilitasi lahan. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan. Kementrian Kehutanan. 2012. Gambaran umum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DKI/umum_dki.ht ml. Koto E. 1991. Studi iklim mikro di Hutan Kota Manggala Wanabakti Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lauhatta JH. 2007. Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra Ikonos dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2013. Data CO (Karbon Monoksida) [Internet]. [diunduh 2013 Agu 30]. Tersedia pada: http://www.dirgantara-lapan.or.id/jizonpolud/htm/co.htm.
17
Madigosky SR. 2004. Forest Canopies 2nd ed. Lowman MD, Rinker HB, editor. Burlington (US): Elsevier Inc. Mas’at A. 2009. Efek pengembangan perkotaan terhadap kenaikan suhu udara di wilayah DKI Jakarta. Agromet. 23 (1):52-60,2009. Miller RW. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. Englewood Cliffs (NJ): Prentice-Hall Inc. Monteith. 1975. Vegetation and the Atmosphere. London (UK): Academic Press Inc. Nugroho Y. 2001. Dampak perubahan input albedo permukaan GCM CSIRO-9 terhadap iklim regional Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pemerintah DKI Jakarta. 2008. Peraturan daerah provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012. Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Prasasti I. 2004. Analisis hubungan penutup lahan dan parameter turunan data pengideraan jauh dengan albedo permukaan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rosenberg. 2005. Urban heat island [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2]. Tersedia pada: http://geography.about.com/od/urbaneconomicgeograp hy/a/urbanheatisland.htm. Rumondang D. 2011. Penurunan nilai albedo dan suhu permukaan dari data terra MODIS LIB untuk klasifikasi awan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rushayati SB, Alikodra HA, Dahlan EN, Purnomo H. 2011. Pengembangan ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan di Kabupaten Bandung. Forum Geografi. 25(1):17-26. Sangkertadi, Syafriny R. 2008. Upaya peredaman laju peningkatan suhu udara perkotaan melalui optimasi penghijauan. EKOTON. 8(2):41-48. Schulgin IA. 1963. Morphophysiological Adaptation of Plant to Light. Moscow (RU): Moscow University Press. Stull RB. 2000. Meteorology for Scientists and Engineers. 2d ed. Brooks (CA): Thomson Learning. Stevens D, Huntington L, Key R. 1994. Garden Design, Construction and, Planting. London (UK): Ward Lock. Sulistyantara B. 2005. Materi perkuliahan ruang terbuka hijau. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Tjitrosoepomo G. 1985. Morfologi Tumbuhan.Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Vukovich, Troll FM, Murphy DL, Robert E. 1987. Surface temperature dan albedo relationships in senegal derived from NOAA-7 satellite data. Remote Sensing of Environment. 22:413. Walpole RE. 1982. Introduction to Statistics. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Wang TC. 1979. Plan and Section Drawing. New York (US): Van Nostrand Reinhold.
18
Wardhana YMA. 2009. Estimasi kebutuhan hutan kota di Kotamadya Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bauhinia 1 Bauhinia 2 Bauhinia 3 Bintaro 1 Bintaro 2 Gmelina 1 Gmelina 2 Gmelina 3 Jati 1 Jati 2 Jati 3 Jalan 1 Jalan 2 Jalan 3 Air 1 Air 2 Air 3 Rumput 1 Rumput 2 Rumput 3 Tanah 1 Tanah 2 Tanah 3
Jenis
Albedo (%) 78 65 77 98 98 88 95 89 98 77 67 55 51 56 100 100 99 97 99 95 34 57 36
Pagi Suhu Permukaan (ºC) 33.6 32.9 33.1 33.9 33.1 33.3 33.1 33.5 33.6 35.6 34.8 37.4 35.8 34.0 30.3 30.6 30.8 35.9 35.2 35.2 32.6 32.8 32.4
Lampiran 1 Albedo dan suhu permukaan (14 Juni 2013)
Albedo (%) 80 91 80 81 75 86 93 88 100 98 96 43 47 43 69 71 96 32 38 29 40 15 52
Siang Suhu Permukaan (ºC) 35.1 34.8 35.6 38.7 41.0 38.6 36.6 38.1 37.0 37.3 37.5 42.2 42.1 43.1 34.6 36.2 33.4 41.6 43.8 41.3 40.0 36.2 36.0 Albedo (%) 10 74 47 94 49 52 70 57 13 49 58 59 54 71 99 56 98 39 44 29 17 15 14
Sore Suhu Permukaan (ºC) 32.0 31.7 32.2 34.6 35.2 33.7 33.9 34.1 33.1 33.2 33.5 36.9 36.7 38.3 32.5 32.7 32.3 34.3 33.8 33.2 33.7 32.5 31.5
19
19
20
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek Jenis Bauhinia 1
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Waktu Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Rata-rata Bintaro 1
Bintaro 2
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Rata-rata Gmelina 1 Pagi Siang Sore Gmelina 2 Pagi Siang Sore Gmelina 3 Pagi Siang Sore Rata-rata Jati 1 Pagi Siang Sore Jati 2 Pagi Siang Sore Jati 3 Pagi Siang Sore Rata-rata Jalan 1 Pagi Siang Sore Jalan 2 Pagi Siang Sore Jalan 3 Pagi Siang
Albedo Permukaan (%) 78 80 10 65 91 74 77 80 47 67 98 81 94 98 75 49 83 88 86 52 95 93 70 89 88 57 80 98 100 13 77 98 49 67 96 58 73 55 43 59 51 47 54 56 43
21
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek (lanjutan) Jenis
Waktu Sore Rata-rata
Air 1
Air 2
Air 3
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Rata-rata Rumput 1 Pagi Siang Sore Rumput 2 Pagi Siang Sore Rumput 3 Pagi Siang Sore Rata-rata Tanah 1 Pagi Siang Sore Tanah 2 Pagi Siang Sore Tanah 3 Pagi Siang Sore Rata-rata
Albedo Permukaan (%) 71 53 100 69 99 100 71 56 99 96 98 88 97 32 39 99 38 44 95 29 29 56 34 40 17 57 15 15 36 52 14 31
22
Lampiran 3 Data suhu permukaan (14 Juni 2013) Jenis Bauhinia 1
Waktu Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Rata-rata Bintaro 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Bintaro 2
Rata-rata Gmelina 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Gmelina 2
Gmelina 3
Rata-rata Jati 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Jati 2
Jati 3
Rata-rata Jalan 1
Jalan 2
Jalan 3
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang
Suhu Permukaan (ºC) 33.6 35.1 32.0 32.9 34.8 31.7 33.1 35.6 32.2 33.4 33.9 38.7 34.6 33.1 41.0 35.2 36.1 33.3 38.6 33.7 33.1 36.6 33.9 33.5 38.1 34.1 35.0 33.6 37.0 33.1 35.6 37.3 33.2 34.8 37.5 33.5 35.1 37.4 42.2 36.9 35.8 42.1 36.7 34.0 43.1
23
Lampiran 3 Data suhu permukaan (lanjutan) Jenis
Waktu Sore Rata-rata
Air 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Air 2
Air 3
Rata-rata Rumput 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Rumput 2
Rumput 3
Rata-rata Tanah 1
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Tanah 2
Tanah 3
Rata-rata
Suhu Permukaan (ºC) 38.3 38.5 30.3 34.6 32.5 30.6 36.2 32.7 30.8 33.4 32.3 32.6 35.9 41.6 34.3 35.2 43.8 33.8 35.2 41.3 33.2 37.1 32.6 40.0 33.7 32.8 36.2 32.5 32.4 36.0 31.5 34.2
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
Suhu Permukaan
Lampiran 4 Suhu permukaan tiap objek
Sore
Siang
Pagi
21
24
09.00-09.15 09.15-09.30 09.30-09.45 09.45-10.00 10.00-10.15 10.15-10.30 10.30-10.45 10.45-11.00 11.00-11.15 11.15-11.30 11.30-11.45 11.45-12.00 12.00-12.15 12.15-12.30 12.30-12.45 12.45-13.00 13.00-13.15 13.15-13.30 13.30-13.45 13.45-14.00 14.00-14.15 14.15-14.30
Waktu 28 28 29 29 29 30 30 30 30 30 30 30 30 31 31 31 34 32 32 31 31 32
Dry (ºC)
Termometer A (ternaungi)
Lampiran 5 Data suhu dan kelembaban udara (14 Juni 2013)
Wet (ºC) 26 27 26 26 26 26 26 26 26 26 26 27 26 27 27 28 29 27 27 27 27 28
Kelembaban (%) 85 85 78 78 78 72 72 72 72 72 72 78 72 72 72 72 68 66 66 72 72 73
Termometer B (tidak ternaungi) Wet Kelembaban Dry (ºC) (ºC) (%) 30 27 78 30 27 78 31 27 72 31 28 79 31 28 79 32 27 66 32 27 66 32 28 66 33 28 67 33 28 67 34 29 68 34 29 68 35 29 63 34 29 68 34 29 68 33 29 73 30 27 78 30 26 72 30 27 78 30 27 78 30 27 78 30 27 78
25
No.
8.7
Bauhinia purpurea
Gmelina arborea
Cerbera manghas
2Bauhinia
3Gmelina
4Bintaro
5.1
27.9
24.6
3.6
29.0
8.9
27.5
-
29.2
9.9
23.6
D1 D2 D3 (cm) (cm) (cm)
Tectona grandis
Nama Jenis
31 32 31 31
Dry (ºC)
1Jati
Nama Lokal
Lampiran 6 Data vegetasi hutan kota
14.30-14.45 14.45-15.00 15.00-15.15 15.15-15.30 Rata-Rata
Waktu Wet (ºC) 28 27 26 26
Tt2 (m)
Tt3 (m)
Bentuk Daun
Kelembaban (%) 79 66 66 66 73
11.0 13.0 ovate
8.5
4.3
-
obovate
17.0 17.1 13.6 ovate
3.4
11.9 13.6 17.0 elips
Tt (m)
Termometer A (ternaungi)
Lampiran 5 Data suhu udara dan kelembaban udara (lanjutan)
irreguler
round
irregular
irregular
Bentuk Tajuk
Vegetasi kota Vegetasi kota Vegetasi kota Vegetasi kota
hutan
hutan
hutan
hutan
Keterangan
Termometer B (tidak ternaungi) Wet Kelembaban Dry (ºC) (ºC) (%) 30 27 78 30 26 72 30 26 72 30 26 72 72
26
Bauhinia
Bintaro
Gmelina
Jati
Jalan
Lampiran 7 Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek
Air
Rumput
Tanah
Sore
Siang
Pagi
27
Lampiran 8 Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
28
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1991. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Johnny S. Kawilarang dan Ibu N. Hendraningsih. Pendidikan formal ditempuh di SD Poris Indah Tangerang, SMPN 1 Parungpanjang, dan SMAN 7 Kota Tangerang. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB dan di tahun 2010 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Selama menempuh pendidikan di IPB sebagai pengurus dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), anggota Kelompok Biro Kewirausahaan periode 2010-2012, anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM HIMAKOVA) periode 2010-2011 dan pengurus dalam Komisi Pelayanan Siswa PMK IPB periode 2010-2012. Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB diantaranya adalah Persekutuan Siswa Kabupaten Bogor (2010-2012), Camp Siswa (2010), Temu Besar KPS (2011), Semalam Bersama KPS (2012), Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal dan TWA Pangandaran (2011), Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan KPH Cianjur (2012), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Karimunjawa (2013). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian di Kotamadya Jakarta Barat dengan judul “Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng” dibawah bimbingan Dr Ir Siti Badriyah Rushayati. M Si dan Ir Bregas Budianto. Ass Dipl.