PENGUKURAN AKTIVA TIDAK BERWUJUD: SEBUAH PENDEKATAN INTERNAL Yefta Andi Kus Noegroho
Abstract Intangible asset is one type of asset that difficult to measure. IAS no. 3 (2007) intend this asset to be measured by fair value. However, nonexistence market make the intangible asset measurement become difficult. This article attempts to fill this gap by analyzing reliability and relevance measurement dimensions of intangible asset, and giving some steps to measure it. Based on literature review, two ways of measurement was proposed to make intangible asset measurable. Keywords: intangible asset, measurement, dimension of measurement, reliability, and relevance. Pendahuluan Pelaporan keuangan berperan dalam membantu investor untuk dapat lebih memprediksi nilai perusahaan. Scott (2009:190) mengemukakan peran pelaporan keuangan ketika pasar tidak sepenuhnya efisien adalah memperbesar kandungan nilai perusahaan, bahkan jika memungkinkan mencapai nilai fundamental perusahaan. Pelaporan keuangan harus memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang menggunakannya. Secara khusus laporan keuangan yang merupakan keluaran pelaporan keuangan, dapat berfungsi dalam pengambilan keputusan ekonomi. Sejumlah pertimbangan yang datang secara bersamaan yang mengarahkan kegunaan pelaporan keuangan dalam pengambilan keputusan mungkin didorong dengan adanya peningkatan perhatian pada pengukuran. Dalam konteks ini fokus perhatian ditujukan pada konsep pengukuran dan objek pengukuran yaitu komponen-komponen pelaporan keuangan yang didalamnya nilai-nilai perusahaan dicerminkan. Pengukuran (measurement) adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek yang terlibat dalam suatu transaksi keuangan (Suwardjono, 2010:133). Pendekatan pengukuran muncul sebagai reaksi bahwa sejumlah perusahaan besar mengalami kegagalan yang spektakuler dalam memberikan sinyal tentang nilai perusahaan pada pengguna dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan perusahaan di dalam pasar. Pendekatan pengukuran dimunculkan untuk mempertajam pengiriman nilai perusahaan pada masyarakat. Pendekatan pengukuran menyediakan suatu sistem informasi yang dapat menyajikan informasi dengan lebih informatif. Sejumlah persoalan seperti inefisiensi pasar dan perilaku-perilaku keuangan dalam pasar akan selalu dihadapi dalam upaya pengembangan pendekatan pengukuran. Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah objek yang akan dikenakan pengukuran. Aktiva tidak berwujud merupakan tantangan tersendiri dalam masalah pengukuran. Aktiva tidak berwujud adalah aset modal yang tidak memiliki
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
wujud fisik. Beberapa hasil penelitian seperti yang dinyatakan oleh Lin dan Tang (2009), dan Martin dan Alves (2010) menunjukkan bahwa aktiva tidak berwujud memainkan peranan penting dalam mengarahkan nilai dan kebijakan keuangan perusahaan. Bahkan Gkinoglou (2011) menempatkan aktiva tidak berwujud sebagai kunci strategik (strategic key) perusahaan. Aktiva tidak berwujud merupakan aset penting untuk banyak perusahaan, namun berhubung karakteristiknya yang tidak berwujud menyebabkan adanya kesulitan dalam mewujudkan reliabilitas nilai dan biayanya. Adapun untuk perlakuannya, menurut International Accounting Standards (IAS) no. 38 dan Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) no. 2, biaya yang muncul harus diakui sebagai biaya dan dimasukkan dalam penghitungan laba bersih dengan basis penilaian fair value (Scott, 2009:249). Fair value lebih mengarah pada relevansi karena menggambarkan fakta yang sesungguhnya tentang apa yang diukur. Fair value reliabel jika nilai pasar yang bekerja dengan baik tersedia. Namun pada kenyataannya pasar yang bekerja dengan baik atau pasar efisien tidak tersedia, sehingga hal ini turut memperrumit pengukuran aktiva tidak berwujud dalam laporan keuangan. Secara garis besar tulisan ini bertujuan menggambarkan esensi aktiva tidak berwujud dan pendekatan internal yang dapat digunakan untuk mengukur komponen ini dalam laporan keuangan. Selanjutnya berturut-turut akan dibahas karakteristik aktiva tidak berwujud, kualitas pengukuran: relevan dan reliabel, pengukuran aktiva tidak berwujud, dan simpulan tentang pengukuran aktiva tidak berwujud. Karakteristik Aktiva Tidak Berwujud Aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa atau disewakan kepada pihak lain dengan tujuan administratif. Weygandt, Kimmel, dan Kieso (2011:406) mendefinisikan aktiva tidak berwujud sebagai hak yang diperoleh melalui hukum, hak-hak istimewa dan keuntungan kompetitif yang dihasilkan dari kepemilikan aset jangka panjang yang tidak memiliki substansi fisik. IAS no. 3 (2007) mendefinisikan aktiva tidak berwujud sebagai sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan sebagai hasil transaksi masa lalu yang diperkirakan dapat memberikan kontribusi pada keuntungan masa depan yang memiliki probabilitas yang rasional. Definisi ini selanjutnya dipertegas dengan ketiadaan substansi fisik (Petkov, 2011). Secara umum karakteristik utama yang melekat pada aktiva tidak berwujud dari beberapa definisi di atas adalah ketiadaan substansi fisik yang dilekatkan atasnya. Ketiadaan substansi fisik pada aktiva tidak berwujud memungkinkaan perluasan makna atas aktiva tidak berwujud itu sendiri. Sifat wujud non-fisik yang dikemukakan memungkinkan timbulnya berbagai intepretasi dalam memaknai aktiva tidak berwujud. Gkinoglou 506
Yefta Andi Kus Noegroho
Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud: Sebuah Pendekatan Internal
(2011) menyebutkan setidaknya ada lima nama atau bentuk aktiva tidak berwujud di luar yang selama ini dipahami dalam akuntansi sebagai aktiva tidak berwujud, yaitu; kekayaan intelektual, aset intelektual, modal intelektual, aset berbasis pengetahuan, dan modal pengetahuan. Lin dan Tang (2009) mengutip penelitian Kayo (2002) menjelaskan bahwa aktiva tidak berwujud dapat dibagi ke dalam empat jenis aktiva tidak berwujud yaitu aset manusia, aset inovasi, aset struktural, dan aset hubungan. Akhirnya Petkov (2010) merangkum yang dinyatakan dalam IAS no. 3 (2007) yang mengklasifikasikan aktiva tidak berwujud dalam lima kategori, yaitu; marketing-related intangible assets, customer-related intangible assets, artistic-related intangible assets, contract-based intangible assets, dan technology-based intangible assets. Berikut ini contoh-contoh aktiva tidak berwujud yang dapat diklasifikasikan dalam lima kategori aktiva tidak berwujud menurut IAS no. 3 (2007). Beberapa pemaknaan dan klasifikasi aktiva tidak berwujud di atas tentunya disusun atas dasar sudut pandang tertentu. Gkinoglou (2011) mengemukakan klasifikasi bentuk aktiva tetap dilihat dari sudut pandang strategik. Lin dan Tang (2009) yang mengemukakan pendapat Kayo (2002) melihat aktiva tidak berwujud dari sudut pandang manusia dengan lingkungannya. Sementara IAS no. 3 (2007) melihat aktiva tidak berwujud dari sudut pandang objek yang terhubung dengan aktiva tidak berwujud. Jika bentuk-bentuk ini langsung dibawa pada ranah pengukuran, maka pasti akan menimbulkan kesulitan mengingat banyaknya sudut pandang dan kategori yang harus diperhatikan. Di samping itu, dimungkinkan adanya persinggungan antara kategori yang satu dengan kategori yang lain. Sebagai contoh menurut Koyo (Lin dan Tang, 2009) salah satu kategori aset adalah aset hubungan. Sementara menurut IAS no. 3, aset hubungan bisa dipilah dalam konteks hubungan dengan pasar, pelanggan, nilai-nilai artistik, kontrak atau teknologi. Kemudian bagaimana jika dalam satu aset tidak berwujud terkandung hubungan dengan kontrak, teknologi, dan nilai artistik. Dapat dipastikan pengukuran akan menjadi rumit jika langsung menggunakan kategori-kategori tersebut. Semua klasifikasi ini akan mudah dipahami dan dipetakan jika diketahui karakteristik apa yang melekat pada aktiva tidak berwujud. Martins dan Alves (2009) memberikan suatu solusi dalam melihat esensi aktiva tidak berwujud. Mereka menyatakan bahwa aktiva tidak bewujud terdiri dari serangkaian karakteristik, yaitu: risiko tinggi dan mengandung ketidakpastian, dibutuhkan ketegasan perusahaan dan intensitas modal manusia dalam pembentukannya, mengandung sifat rendahnya observabilitas dan sifatnya jangka panjang, dan dapat dibuat nyata berbeda dari aset lainnya. Risiko dan ketidakpastian merupakan konsekuensi yang 507
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
dapat timbul dari suatu aktiva tidak berwujud. Hal ini terjadi karena mungkin batasan waktu yang tidak jelas akibat sulitnya aktiva tidak berwujud diobservasi secara fisik. Suatu aktiva tidak berwujud seperti hubungan dengan pelanggan dapat saja hilang seketika ketika ada citra buruk yang dilekatkan pada perusahaan atau ada pesaing yang memberikan lebih banyak keuntungan dibanding yang diberikan oleh perusahaan. Risiko dan ketidakpastian berhubungan dengan rendahnya observabilitas dan jangka waktu. Karakteristik ini dapat dikelompokkan sebagai karakteristik yang relatif tidak dapat dikendalikan. Karakteristik yang seharusnya menjadi penekanan yaitu adanya ketegasan perlakuan oleh perusahaan dan bagaimana perusahaan membuat aset ini berbeda dari aset lainnya. Tentu dibutuhkan sistem dan prosedur yang handal yang dapat memperoleh pengakuan dari pihak eksternal atas keberadaan aset tidak berwujud dalam perusahaan. Karakteristik ini dapat dikatakan sebagai karakteristik yang terkendali. Adapun pemetaan karakteristik berdasarkan empat karakteristik yang dikemukakan oleh Martins dan Alves (2009) dapat dimaknai pada Bagan 1. Khusus untuk karakteristik jangka panjang, dimungkinkan dapat menjadi terkendali jika usia aktiva tidak berwujud diketahui dengan pasti. Aktiva tidak berwujud yang diperoleh melalui jalur hukum seperti hak paten mungkin saja memiliki batasan usia tergantung pada ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Kualitas Pengukuran: Relevan dan Reliabel Informasi, termasuk yang disampaikan dalam laporan keuangan harus bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Hal ini merupakan penjelasan konsep decision usefulness. Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) no. 2, menjelaskan dengan rinci unsur-unsur yang terkait dengan information usefulness. Unsur-unsur tersebut dikenal sebagai karakteristik kualitatif laporan keuangan. Terdapat dua karakteristik kualitatif primer yang diturunkan dari information usefulness yaitu relevan dan reliabel. Informasi yang relevan adalah pernyataan informasi yang dapat memberikan informasi tentang prospek ekonomi masa depan perusahaan (Scott, 2009:26). Karakteristik kualitatif relevan dibentuk dari tiga unsur, yaitu: predictive value (kemampuan prediksi), feedback value, dan timeliness. Kemampuan prediksi sesuai struktur karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang dikemukakan dalam SFAC no. 2 berkaitan erat dengan informasi yang relevan. Hal ini ditegaskan oleh Belkaoi (2000), yang menyatakan bahwa pernyataan data yang relevan merupakan karakteristik kemampuan prediksi kejadian-kejadian masa datang. Beaver Kenelly, dan Voss (1968), lebih lanjut mengemukakan beberapa ukuran tambahan atau kriteria yang melengkapi kemampuan prediksi, yaitu: memiliki kemampuan mengeneralisasi angka akuntansi, adanya dua atau lebih pengujian yang mengungkapkan hasil yang lebih logis, didukung data empiris, dan memiliki 508
Yefta Andi Kus Noegroho
Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud: Sebuah Pendekatan Internal
dukungan teori. Selain itu, satu tambahan ukuran lagi dikemukakan oleh Grenball (1971) yang mengatakan bahwa kemampuan prediksi menunjuk pada frekuensi terjadinya suatu konsekuensi ketika kejadian yang mendahuluinya dapat diprediksi secara empiris. Di samping relevan, informasi harus reliabel. Scott (2009:27) menyatakan bahwa informasi yang reliabel adalah informasi yang disajikan dengan benar tanpa bias. Reliabilitas memiliki beberapa dimensi yaitu pertama, menyajikan ketepatan (representational faithfulness) yang merupakan korespondensi antara penilaian akuntansi dan objek yang dideskripsikan. Kedua, bebas dari bias (freedom from bias) dan ketiga, dapat diverifikasi (verifiability). Akuntan dan auditor yang berbeda seharusnya mampu menyajikan nilai yang sama jika informasi dapat diverifikasi. Penekanan pengukuran adalah meningkatkan relevansi tanpa mengurangi reliabilitasnya. Pengukuran (measurement) adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek yang terlibat dalam suatu transaksi keuangan (Suwardjono, 2010:133). Bila dilihat dari sudut pandang standar akuntansi yang berlaku saat ini, pengukuran aktiva tidak berwujud diupayakan sedemikian rupa menggunakan fair value. Menurut IAS no. 38 dan SFAS no. 2 biaya yang muncul harus diakui sebagai biaya dan dimasukkan dalam penghitungan laba bersih dengan basis penilaian fair value (Scott, 2009:249). Fair value lebih mengarah pada relevansi karena menggambarkan fakta yang sesungguhnya tentang apa yang diukur. Penggunaan fair value sebagai basis pengukuran bukan tanpa masalah. Di samping relevansi, reliabilitas informasi juga harus dipertahankan atau tidak dikurangi. Fair value menunjukkan nilai yang reliabel jika nilai pasar yang bekerja dengan baik tersedia. Namun pada kenyataannya pasar yang bekerja dengan baik atau pasar efisien tidak tersedia, sehingga hal ini turut memperumit pengukuran aktiva tidak berwujud dalam laporan keuangan. Mengacu pada tiga dimensi pembentuk informasi yang reliabel, perlu dilihat keberadaan masing-masing dimensi. Pertama, terkait dengan informasi menyajikan ketepatan (representational faithfulness). Dimensi ini merupakan korespondensi antara penilaian akuntansi dan objek yang dideskripsikan. Nilai akuntansi yang dilekatkan harus menggambarkan nilai sesungguhnya dari aktiva tidak berwujud. Hal ini dapat tercapai jika tersedia teknik dan prosedur pengukuran yang memadai dan handal. Termasuk di dalamnya, teknik dan prosedur tersebut mampu menunjukkan ekspektasi nilai dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan aktiva tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Dimensi yang kedua adalah bebas dari bias (freedom from bias). Pengukuran harus bebas dari intervensi pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan terkait pelaporan keuangan. Termasuk di dalamnya, pengukuran 509
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
harus bebas dari kepentingan manajemen meskipun umumnya pihak manajemen yang membuat dan menyelenggarakan pembukuan. Agar bebas dari kepentingan berbagai pihak, pengukuran aktiva tidak berwujud harus “dideklarasikan” kepada pihak-pihak eksternal perusahaan. Maksudnya adalah bahwa pihak eksternal memahami dengan baik bagaimana cara aktiva tidak berwujud dinilai dan pihak eksternal diyakinkan bahwa teknik dan prosedur pengukuran yang digunakan oleh perusahaan merupakan teknik terbaik yang bebas dari kepentingan pihak manapun. Akhirnya, terkait dimensi dapat diverifikasi (verifiability). Dimensi ini harus menyediakan dan menggambarkan tahap-tahap pengukuran yang dapat diikuti dan diulang oleh pihak-pihak yang terkait. Pengulangan perhitungan harus menghasilkan nilai yang relatif sama dengan hasil perhitungan sebelumnya. Berdasarkan gambaran dari tiga dimensi informasi yang reliabel, maka ketika tidak ada pasar yang efisien sebagai syarat basis pengukuran menggunakan fair value dikatakan reliabel, dapat diupayakan pembentukan informasi yang reliabel melalui teknik dan prosedur pengukuran yang dapat dipahami, bebas kepentingan, dan dapat diverifikasi. Dalam konteks karakteristik aktiva tidak berwujud, penekanannya berada pada karakteristik yang terkendali yang di dalamnya perusahaan yang diwakili oleh pihak manajemen. Pihak manajemen memainkan peran penting dalam menetapkan teknik dan prosedur pengukuran aktiva tidak berwujud. Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud Aktiva tidak berwujud dapat diperoleh karena dibeli atau dibangun sendiri (Scott, 2009: 248-255). Ferrari dan Montanari (2010) mengemukakan dengan istilah lain yaitu aktiva tidak berwujud yang diperoleh melalui jalur internal dan aktiva tidak berujud yang diperoleh melalui jalur eksternal. Dengan kata lain aktiva tidak berujud yang diperoleh melalui jalur internal adalah aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri. Sementara aktiva tidak berwujud yang diperoleh melalui jalur eksternal adalah aktiva tidak berwujud yang diperoleh karena dibeli atau melalui mekanisme pertukaran dengan pihak lain di luar perusahaan. Pengukuran aktiva tidak berwujud melalui jalur eksternal atau melalui mekanisme pertukaran dengan pihak di luar perusahaan lebih mudah diakui dalam pelaporan keuangan karena ketika transaksi terjadi, nilai aktiva tidak berwujud secara otomatis digambarkan melalui nilai yang terbentuk. Selanjutnya dalam konteks pelaporan keuangan, bisa digunakan cara tertentu misalnya dengan menggunakan nilai pembanding untuk dinyatakan dalam fair value. Mekanisme pertukaran merupakan semacam wujud “deklarasi” perolehan aktiva tidak berwujud oleh perusahaan. Mekanisme di atas tentunya tidak dapat diterapkan untuk aktiva tidak berwujud yang diperoleh melalui jalur internal atau dibangun sendiri. Ketiadaan pihak eksternal di luar pihak manajemen menyebabkan pengukuran aktiva tidak berwujud harus “dideklarasikan” dengan cara lain. 510
Yefta Andi Kus Noegroho
Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud: Sebuah Pendekatan Internal
Pihak manajemen harus membuat mekanisme pengukuran yang di dalamnya terdiri dari teknik dan prosedur untuk mengakui adanya aktiva tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak eksternal yang sering berfungsi sebagai phak ketiga yang dapat memberikan keyakinan atas laporan keuangan perusahaan adalah auditor eksternal. Fungsi auditor eksternal memegang peranan penting dalam memberi pertimbangan untuk memberi tekanan pada perusahaan agar laporan keuangan yang dihasilkan menimbulkan keyakinan publik (Scott, 2009:210). Namun dalam konteks pengukuran, auditor adalah pihak yang berfungsi menilai asersi manajemen dan tidak berfungsi sebagai penyusun asersi manajemen. Berhubung isu pengukuran berada pada ranah penyusunan laporan keuangan, maka meskipun auditor eksternal sering ditempatkan sebagai pihak independen, auditor eksternal tidak dapat menjadi pihak eksternal perusahaan yang dapat membentuk nilai aktiva tidak berwujud. Fakta ini menyebabkan pihak manajemen harus kembali pada upaya penciptaan mekanisme pengukuran yang reliabel. Mekanisme pengukuran aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri harus mencakup masukan, proses dan keluaran yang menggambarkan tahapan perolehan aktiva tidak berwujud. Masukan menunjuk pada semua data dan komponen yang mendukung keberadaan aktiva tidak berwujud. Komponen yang dimaksud adalah kebijakan dan sumber daya manusia yang menjalankan proses pembentukan aktiva tidak berwujud. Kemudian, proses menunjuk pada disain teknik dan prosedur yang mengarah pada dapat dipercayainya mekanisme yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam membangun aktiva tidak berwujudnya. Akhirnya keluaran merupakan hasil pengukuran yang berasal dari teknik dan prosedur yang dijalankan dan sekaligus menjadi titik justifikasi munculnya aktiva tidak berwujud perusahaan. Masukan dalam pengukuran aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri merupakan sesuatu yang dianggap sudah ada dalam setiap perusahaan. Jika belum tersedia, pihak manajemen kerkewajiban mengadakan kebijakan pembentukan aktiva tidak berwujud yang kemudian diikuti dengan pengumpulan data dan pengerahan sumber daya manusia di dalamnya. Inti masalah pengukuran aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri adalah reliabilitas proses pengukuran. Penekanan proses pengukuran adalah bagaimana proses pengukuran dapat menjadi alat untuk “mendeklarasikan” aktiva tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan? Hal ini dapat didekati melalui fungsi-fungsi manajemen. Fungsi-fungsi manajemen antara lain perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan evaluasi. Diantara fungsi-fungsi tersebut fungsi perencanaan dan evaluasi adalah dua fungsi yang selalu berhadapan. Perencanaan merupakan titik 511
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
awal proses manajemen sementara evaluasi merupakan sarana untuk mengevaluasi apa yang telah direncanakan. Pengukuran aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri, dapat dilekatkan pada fungsi-fungsi ini. Pengukuran yang kemudian akan berdampak pada pengakuan aktiva tidak berwujud dapat “dideklarasikan” melalui perencanaan. Gkinoglou (2011) menekankan bahwa keberadaan aktiva tidak berwujud harus direncanakan. Perencanaan aktiva tidak berwujud dalam suatu entitas akan menepis anggapan atau dugaan yang menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud muncul secara tiba-tiba dalam laporan keuangan perusahaan. Hal ini secara otomatis juga menghindarkan dugaan pihak manajemen perusahaan melakukan manipulasi dalam laporan keuangannya. Perencanaan aktiva tidak berwujud menjadi tonggak “deklarasi” akan munculnya aktiva tidak berwujud dalam laporan keuangan perusahaan. Langkah selanjutnya setelah dinyatakan dalam perencanaan perusahaan adalah memilih teknik-teknik tertentu untuk mewujudkan aktiva tidak berwujud dalam perusahaan. Setidaknya tersedia dua teknik yang dapat digunakan untuk mengakui aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri. Teknik pertama yang dapat dipilih adalah dengan melakukan penilaian (mungkin dapat dilakukan oleh lembaga independen di luar perusahaan) untuk mengidentifikasi aktiva tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Orientasi penilaian bisa didasarkan apa yang terjadi saat ini atau apa yang telah terjadi di masa lampau. Hasil penilaian yang dipublikasikan oleh pihak luar yang independen tersebut dapat dijadikan dasar mengakui aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri oleh perusahaan. Beberapa faktor kunci yang mengarah pada reliabilitas informasi aktiva tidak berwujud adalah, pertama, hal ini dilakukan oleh pihak luar yang independen. Kedua, teknik yang digunakan dalam penilaian dapat dijadikan dasar untuk memverifikasi apa yang telah diakui sebagai aktiva tidak berwujud. Teknik kedua, adalah teknik yang dikemukakan oleh Lin dan Tang (2009). Mereka melakukan suatu penelitian untuk mengukur aktiva tidak berwujud pada industri berteknologi tinggi di Hsinchu Science Park Taiwan. Mereka menggunakan metode analytic hierarchy process (AHP) untuk menemukan langkah-langkah dalam mengukur aktiva tidak berwujud. Hasil penelitian mereka dinyatakan dalam model evaluasi aktiva tidak berwujud. Model pengukuran ini diangkat dari industri berteknologi tinggi. Unsur-unsur yang terkandung di dalamnya tentu dipengaruhi oleh karakteristik industri. Lalu bagaimana jika model ini ingin diterapkan pada industri lain? Setidaknya dua langkah yang dapat ditiru adalah pertama, menentukan dimensi yang ingin dinilai. Tidak harus sama dengan model yang dikemukakan oleh Lin dan Tang (2009). Dimensi pengukuran yang lebih umum dapat diambil dari dimensi yang dikemukakan oleh IAS no. 3 (2007), yaitu dimensi: marketing-related intangible assets, customer-related intangible assets, artistic-related intangible assets, contract-based intangible 512
Yefta Andi Kus Noegroho
Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud: Sebuah Pendekatan Internal
assets, dan technology-based intangible assets. Kedua, setelah dimensidimesni ditetapkan dapat dibuat kriteria penilaian yang disesuaikan dengan masing-masing dimensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kriteria penilaian selanjutnya menjadi dasar untuk melekatkan nilai pada aktiva tidak berwujud yang diidentifikasi oleh perusahaan. Dengan demikian dihasilkan nilai yang merupakan hasil pengukuran aktiva tidak berwujud. Di samping dua teknik di atas, mungkin masih banyak teknik lain yang dapat digunakan. Sebagai contoh Gkinoglou (2011) memaparkan sebuah teknik mengukur aktiva tidak berwujud dari sudut pandang strategik. Berdasarkan sudut pandang strategik, yang menjadi fokus aktiva tidak berwujud adalah kompetensi utama (core competencies) yang dimiliki oleh suatu usaha. Gkinoglou (2011) memaparkan penilaian kompetensi utama usaha melalui beberapa indikator yaitu nilai tambah, kemampuan dalam bersaing, kandungan potensi yang dimiliki, keberlanjutan, kekuatan atau kedalamannya, dan kompetensi yang dimiliki. Model ini tidak dibahas mendalam mengingat fokus tulisan ini adalah pada pengukuran terkait perlakuan akuntansi yang memungkinkan untuk diberlakukan. Simpulan Laporan keuangan berperan dalam memberikan tambahan informasi tentang nilai perusahaan bagi para pengguna laporan keuangan khususnya investor dan kreditor. Tantangan terbesar dalam penyajian informasi keuangan adalah menciptakan nilai informasi yang relevan dan reliabel. Informasi yang relevan adalah pernyataan informasi yang dapat memberikan informasi tentang prospek ekonomi masa depan perusahaan (Scott, 2009:26). Karakteristik kualitatif relevan dibentuk dari tiga unsur, yaitu: predictive value (kemampuan prediksi), feedback value, dan timeliness. Di samping relevan, informasi harus reliabel. Scott (2009:27) menyatakan bahwa informasi yang reliabel adalah informasi yang disajikan dengan benar tanpa bias. Reliabilitas memiliki beberapa dimensi yaitu pertama menyajikan ketepatan (representational faithfulness) yang merupakan korespondensi antara penilaian akuntansi dan objek yang dideskripsikan. Kedua, bebas dari bias (freedom from bias) dan ketiga, dapat diverifikasi (verifiability). Penekanan pada kualitas informasi menghadapi tantangan tersendiri ketika objek yang diukur adalah aktiva tidak berwujud. Ketiadaan wujud fisik menjadi masalah yang kompleks karena pihak-pihak yang menyatakan aktiva tidak berwujud dapat membuat klaim dan argumentasinya berkaitan dengan aktiva tidak berwujud yang dimilikinya. Di samping itu, keberadaan aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri 513
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
menghadapi masalah pembuktian pada pihak eksternal terkait proses pengakuan aktiva tersebut dalam laporan keuangan perusahaan. Solusi atas masalah kualitas informasi, ketiadaan wujud fisik yang menyertai aktiva tidak berwujud, dan pengakuan aktiva tidak berwujud yang dibangun sendiri mengarah pada penggunaan pendekatan manajemen yang dijalankan oleh para manajer. Pendekatan internal dengan menggunakan teknik analytical hierarchy process dapat menjadi alternatif bagi pengakuan dan pengukuran aktiva tidak berwujud di samping teknik penilaian dengan menggunakan jasa pihak independen. Penggunaan mekanisme internal harus tetap memperhatikan objektivitas dalam mekanisme pengukuran. Adapun fungsi yang dapat dilibatkan untuk menjaga objektivitas pengukuran adalah mekanisme kontrol internal atas perencanaan yang dilakukan oleh pihak manajemen. Di samping itu perlakuan akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi dan fungsi audit eksternal dapat menjadi penguat dalam upaya mengukur eksistensi aktiva tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Pelaksanaan mekanisme kontrol internal dan eksternal yang dilakukan oleh manajemen dapat menjadi “alat deklarasi” keberadaan aktiva tidak berwujud yang objektif. Penekanannya adalah pada upaya mempertahankan reliabilitas pengukuran mengingat relevansi pengukuran telah terkandung dalam fair value yang digunakan sebagai basis pengukuran. ***** Daftar Pustaka Beaver, W. H., Kenelly, J.W., dan Voss, W.M. 1968. “Predictive Ability as a Criterion for Evaluating of Accounting Data”, The Accounting Review (October): 675683. Belkaoi, A. R. 2000. Accounting Theory. Fourth Edition. London, Thompson Learning. Corona, C. 2009. “Dynamic Performance Measurement With Intangible Assets.” Springer Rev. Account Study 14:314-348. Ferrari, M. dan Montanari, S. 2010. “The IAS/IFRS Application on the Intangible Assets of Non-listed Companies.” Journal of Modern Accounting and Auditing, Vol 6 No. 5 (Serial No. 60). Financial Accounting Standards Board (FASB). 1980. Qualitative Characteristics of Accounting Information. Statement of Financial Accounting Concepts No. 2. Stamford, Conn. Gkinoglou, E. 2011. Measure The Unmeasurable? Intangible Assets as the Major
Strategic Keys of Enterprises: Their Contribution, Difficulties and Proposals for Reliable Financial Statements. University of Macedonia, Greece.
Grenball, M. N. 1971. “Predictive Ability Criterion: Its Relevance In Evaluating Accounting Data.” Abacus (june): 1-7. Lin, G. T.R. dan Tang, J.Y.H. 2009. “Appraising Intangible Assets from the Viewpoint of Value Drivers.” Journal of Business Ethics. Vol 88: 679-689. Martins, J. dan Alves, S. 2010. “The Impact of Intangible Assets on Financial And Governance Policies: A Literature Review.” Portuguese Journal of Management Studies, Vol XV, No.1. 514
Yefta Andi Kus Noegroho
Pengukuran Aktiva Tidak Berwujud: Sebuah Pendekatan Internal
Petkov, R. R. 2011. “Conceptual Fair Value Accounting for Internally Generated Intangible Assets for Bulgarian Companies.” International Business Research, Vol 4 No 2, April 2011. ______________ 2010. Initial Identification of Internally Generated Intangible Assets In The Cotext of The Definitions of An Assets and An Intangible Assets. Citi University of New York, Lehman College. Rus, L. 2010. “Basic and Alternative Rules In Evaluation of Tangible and Intangible Assets.” Annals of The university of Petrosani, Economics. Vol 10. N0. 3. Sahut, J. M., dan Boulerne, S.. 2010. “Have IAS (International Accounting Standards)/ IFRS Improved The Information Content of Intangibles in France?” Journal of Finance Management and Analysis. Vol 23. No.2:52-62. Scott, W. R. 2009. Financial Accounting Theory. Fifth Edition. Pearson-Prentice Hall Suwardjono. 2010. Teori Akuntansi-Perekayasaan Laporan Keuangan. Edisi ketiga. BPFE Yogyakarta. Weygandt, J., Kimmel, P., dan Kieso, D.. 2011. Financial Accounting. IFRS Edition. John Wiley & Son.
Clasification Marketing-related intangible asets Customer-related intangible assets Artistic-related intangible assets
Contract-based intangible assets
Technology-based intangible assets
Tabel 1 Contoh-Contoh Aktiva Tidak Berwujud The Examples Are Classified Trademark, trade names, service marks, certification marks, collective marks, internet domain, trade dress, newspaper masthheads, non-competition aggreement Customer lists, order or production backlog, customer contracts and the related customer relationships, noncontractual customer relationships Copyrights for books, plays, films, music, pictures, photographs, operas and ballets, musical works such as compositions, song lyrics and advertising jinggles, video and audiovisual material including films, music videos and television programmes Licensing, loyalty, standstill aggreements, advertising construction, management, service or supply contracts, lease aggreements, construction permits, franchise aggrements, broadcast rights, such as water, air, timber cutting, servicing contracts such as mortgage servicing contracts, employment contracts Petented technology and unpatented technology, software, databases, trade secrets such as formulae, processes and recipes
Sumber: Klasifikasi aktiva tidak berwujud (Petkov, 2010)
515
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
Bagan 1 Karakteristik Terkendali dan Karakteristik Tidak Terkendali Aktiva Tidak Berwujud Karakteristik Terkendali: 1. Ketegasan Perusahaan dan Intensitas Modal Manusia. 2. Dapat dibuat nyata berbeda dari aset lainnya.
Karakteristik Tidak Terkendali: 1. Risiko tinggi dan ketidakpastian. 2. Rendahnya observabilitas dan sifat jangka panjang.
Sumber: Karakteristik aktiva tidak berwujud (Martins dan Alves, 2009)
Bagan 2 Model Evaluasi Aktiva Tidak Berwujud The 1st level Appraising Dimensions Innovation and Technology
Management Capability The Evaluation of Intangible Assets
Employee Capability
Customer Relationship and Alliance
Goodwill
The 2st level Appraising Criteria Key Terminology R & D Capability Manufacturing Process Service Process Patenting Aset Management Capability Internal Control Capability Operation Quality Capability Technology Update Capability Employee’s R & D Employee’s Innovation Employee’s Knowledge Employee’s Training Contract With Customer Contract With Supplier Distribution Right Cooperation Contract Agreement With Shareholders Company’s Reputation Customer’s Loyalty Business Culture Trademark
Sumber: Model evaluasi aktiva tidak berwujud (Lin dan Tang, 2009)
516