Pengujian Bibit Jamur Tiram Putih Yang Dibuat Dengan Metode Tanam Eksplan Langsung (TEL) dan Biakan Murni Miselium (BMM) Agus Sugianto*dan Arie Srihardyatutie**
ABSTRAK Penelitian telah dilaksanakan untuk menemukan hipotesis baru yang menjadi pijakan untuk menemukan metode baru pembibitan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Percobaan dilaksanakan mulai Februari sampai dengan Nopember 2012, di Malang, Jawa Timur. Rancangan percobaan yang digunakan adalah deskkripsi dengan perlakuan generasi bibit jamur tiram putih terdiri tiga generasi (T1, T2, dan T3) yang dibuat dengan metode TEL dan BMM. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan seluruh variabel yang dipelajari maka bibit jamur tiram putih yang dibuat melalui metode TEL lebih baik dibandingkan BMM pada pengujian nilai efisiensi biokonversi serat (EBKS) dalam penelitian ini. Kata kunci : jamur tiram putih, metode, dan generasi bibit ABSTRACT A research was conducted to study new hyphotesis of basic for new method seeding of Oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). The experiment has been carried from out February up to Nophember 2012, in Malang, East Java. The experimental design used was discreption pattern with three generation of Oyster mushroom (T1, T2, and T3), whereas the generation was make with method of TEL and BMM. The resuls of the experiment sowed that considering all variables observed, Generation seed of Oyster mushroom with method of TEL where the best as BMM where test of value fibre bioconversion efficiency (SKBE). Key words : Pleurotus ostreatus, method, and generation of seed
* Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Malang ** Dosen Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang
Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
36
PENDAHULUAN Metode pembuatan bibit jamur tiram putih yang dikenal di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua sistem. Sistem yang pertama dilakukan melalui cetakan spora dan yang kedua dilakukan dengan melalui kultur jaringan. Prosedur pembibitan dengan dua metode tersebut selalu melalui tahapan pembuatan biakan murni sehingga dikenal dengan metode Biakan Murni Miselium (BMM). Penumbuhan biakan murni dapat dilakukan pada berbagai macam media tetapi yang paling bayak digunakan adalah media Potatoes Dextros Agar (PDA) (Gunawan, 2000; Sugianto, 2004a). Rangkaian metode itu sangat panjang dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan bibit yang siap digunakan untuk produksi (Sugianto, 2005b). Berdasarkan hasil evaluasi dan pengalaman bertahun-tahun dari peneliti maka metode BMM memiliki beberapa kelemahan antara lain : (1). Waktu dari persiapan sampai diperoleh bibit turunan ke tiga diperlukan waktu ideal 132 hari. Jika bibit harus melalui tahap pengujian sampai pengukuran Efisiensi Biokonversi waktu yang diperlukan 252 hari. Konsekuensi dari hal itu maka menyebabkan harga bibit jamur kayu relative mahal. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh para pemerhati dibidang pembibitan jamur masih berkisar mencari formula untuk mempercepat proses pembibitan. Hal ini tetap tidak membawa perubahan berarti karena metode yang digunakan tetap. Jalan satu-satunya untuk mempercepat proses pembibitan maka sangat diperlukan metode yang jauh lebih efektif dan efisien tetapi hasilnya minimal sama kualitasnya dengan metode BMM. Setelah melalui proses kajian yang panjang ternyata ada metode yang sangat memberikan harapan untuk mempercepat proses pembibitan jamur yaitu dengan metode TEL. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan metode TEL hanya memerlukan enam tahap untuk mendapatkan bibit siap tanam. Teori yang menyatakan bahwa bibit jamur tidak pernah ada yang
langsung F1 dapat terbantahkan dengan adanya fenomena metode TEL (Sugianto, 2004b : Sugianto, 2005b). Eksplan yang telah tumbuh pada media bibit induk memiliki kecepatan untuk beradaptasi jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan penggunaan metode BMM. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk memenuhi media di dalam botol yang memiliki berat 200g, tinggi 15 cm, dan diameter 6 cm adalah 15 hari setelah inokulasi (Sugianto, 2003 ; Sugianto, 2004b). Berdasarkan uraian di atas, maka untuk membuktikan bahwa metode SDE lebih baik daripada BMM diperlukan pengujian sampai tiga generasi yaitu dengan memperhatikan nilai Efisiensi Biokonversi Serat (EBKS). Berangkat dari hal tersebut maka permasalahan yang diteliti diidentifikasi sebagai berikut : a. Bagaimana menemukan metode baru yang lebih efektif dan efisien untuk pembibitan jamur tiram putih dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan, bahan, alat, dan kualitas bibit yang dihasilkan b. Bagaimana menemukan hipotesis baru yang digunakan sebagai dasar pengujian untuk bibit jamur yang dihasilkan melalui tanam eksplan langsung. Tujuan penelitian yang ingin dicapai : a. Menemukan hipotesis baru yang menjadi pijakan untuk menemukan metode baru pembibitan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). b. Menemukan metode baru yang lebih efektif dan efisien untuk pembibitan jamur tiram putih dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan, bahan, alat, dan kualitas bibit yang dihasilkan c. Membandingkan bibit turunan sampai generasi ke tiga yang dibuat dengan metode tanam eksplan langsung (TEL) dan metode biakan murni miselium (BMM).
Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
37
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Islam Malang dengan ketinggian tempat 500 meter dpl, suhu rata-rata harian 28oC. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Nopember 2012. Hipotesis yang diuji adalah : Pembuatan bibit jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dengan metode tanam eksplan langsung (TEL) kualitasnya lebih bagus dibandingkan dengan metode biakan murni miselium (BMM) ditinjau dari segi efisiensi dan efektifitas. Metode penelitian yang digunakan pada tahap kedua ini adalah eksperimen dengan membandingkan dua metode yaitu metode tanam eksplan langsung (TEL) dan metode biakan murni miselium (BMM). Masing-masing yang dibandingkan adalah generasi T1, T2, dan T3. Dari masing-masing metode diamati 75 botol sample yang dibagi menjadi T 1 = 25 botol, T2 = 25 botol dan T3 = 25 botol. Secara keseluruhan diperlukan 150 botol bibit. Variabel yang diamati meliputi : Kemampuan miselium memenuhi media, Efisiensi Biokonversi Serat (EBKS) yang terdiri dari lignin, selulose, dan hemiselulose. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t dengan tingkat signifikasi 99%.
standat untuk bibit jamur tiram putih yaitu dengan menggunakan botol bekas saos. Tabel 1.
Rata-rata Kemampuan Miselium Bibit Jamur Tiram Putih Pada Generasi I Sampai III dengan Metode TEL dan BMM Metode
Generasi Bibit
Selisih (hari) TEL (hari)
BMM (hari)
T1 (pertama)
16,00
18,00
2,00**
T2 (kedua)
15,40
16,92
1,52*
T3 (ketiga)
16,68
17,44
0,76*
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji t α = 0.01 Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat selisih antar metode yang digunakan, metode TEL memberikan pengaruh lebih cepat dibandingkan metode BMM. Selisih yang ditunjukkan mencapai kisaran 0,76 sampai dengan 2,00 hari. Berbeda jika dilakukan perhitungan antar generasi bibit, maka untuk metode TEL cenderung stabil dibanding metode BMM. Hal ini menunjukkan bahwa metode TEL memiliki daya adaptasi yang lebih baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Kemampuan Miselium Memenuhi Media Bibit Metode SDE dan Metode BMM Generasi I sampai III Rata-rata kemampuan miselium dari bibit generasi I sampai III disajikan pada Tabel 1. Selisih pada tabel tersebut diperoleh dengan melihat metode BMM dengan metode TEL yang dilakukan dengan mengurangkan rata-rata yang telah didapatkan dari dua pengamatan. Pada pengujian ini digunakan botol
Gambar 1.
Model Garis Linier Akibat Penurunan Kemampuan Miselium Jamur Tiram Putih Antar Genarasi
Kelambatan pertumbuhan miselium dari generasi bibit berdampak pada pembentukan badan buah, sehingga panen Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
38
pertama menjadi mundur. Tahapan generasi bibit yang semakin tinggi pertumbuhannya mengalami kelambatan yang membentuk garis linier. Dampak lain dari kelambatan pertumbuhan miselium dapat menurunkan nilai efisiensi biologi (Sugianto, 2005). Model garis linier akibat penurunan kemampuan miselium jamur tiram putih antar genarasi disajikan pada Gambar 1. Perbandingan Efisiensi Biokonversi Serat (EBKS) Lignin Berdasarkan uji t yang telah dilakukan pada metode TEL dan BMM untuk EBKS lignin disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2, terdapat selisih EBKS antar metode yang digunakan, selisihnya mencapai hingga 23,04 %. Metode TEL memberikan pengaruh lebih efisien dibandingkan metode BMM. Perhitungan antar generasi bibit mulai dari T1 dengan T2; T2 dengan T3; dan T1 dengan T3 didapatkan untuk metode TEL rata-rata 6,97 % dan untuk metode BMM 9.64%.
kondisi normal dengan menggunakan metode BMM masa kadaluwarsa bibit mencapai 60 hari, tetapi dengan menggunakan suhu dingin 5oC, bibit dapat bertahan hingga satu tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan suhu diharapkan biokonversi serat dapat dihambat (Sugianto, 2005). Keberadaan lignin sebenarnya tak dapat dipisahkan dengan komponen lain seperti selulose dan hemiselulose. Bibit jamur tiram putih tidak mampu mendegradasi lignin apabila hanya tersedia karbon saja di dalam substratnya, sehingga keberadaannya memerlukan sumber energi lain dari selulosa, hemiselulosa atau tambahan yang lain yang berasal dari luar seperti bekatul, tepung jagung, sukrosa, pupuk SP-36, dan lain sebagainya (Flegel dan Meevootisom, 1986; Sugianto, 2006). Hubungan antara nilai EBKS lignin dengan generasi bibit jamur tiram putih yang dihasilkan dengan metode SDE dan BMM disajikan pada Gambar 2.
Tabel 2. Rata-rata EBKS Lignin Pada Generasi I Sampai III dengan Metode TEL dan BMM Metode Generasi Bibit
EBKS (%) BMM
Selisih (%)
EBKS (%) TEL T1 (pertama)
30,28
48,99
18.71**
T2 (kedua)
39,25
56,64
17.39**
T3 (ketiga)
45,22
68,26
23.04**
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji t α = 0.01 Lignin adalah merupakan komponen serat yang paling sulit didegradasi oleh miselium jamur. Peranan utama lignin dalam mendukung pertumbuhan bibit jamur adalah digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Nilai EBKS komponen lignin yang efisien dapat mempengaruhi umur bibit manjadi lebih panjang. Berdasarkan hasil analisis tersebut bahwa bibit turunan satu sampai ketiga untuk metode TEL ebih efisien dan memungkinkan masa kadaluwarsa bibit lebih panjang dibanding metode BMM. Pada
Gambar 2.
Histogram Hubungan Antara Nilai EBKS Lignin (%) Dengan Generasi Bibit Jamur Tiram Putih yang Dihasilkan dengan Metode SDE , BMM dan selisih kedua metode. sn=sangat nyata dengan uji t α = 0.01
Proses degradasi lignin pemecahannya terjadi secara enzimatis oleh miselium jamur tiram putih. Tujuan dari degradasi adalah untuk mendapatkan unsur karbon dan nitrogen yang diperlukan oleh Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
39
jamur sebagai sumber energi dan pembentukan massa sel. Proses tersebut melibatkan enzim peroksidase, lakase, dan aril alkohol (Leisola dan Garcia, 1989, Fiecter, 1993). Aril alkohol berperan sebagai protektor terhadap inaktifasi lignin peroksidase akibat kelebihan H2O2 dan senyawa-senyawa anisil aldehida, yang merupakan suatu produk dari degradasi tersebut, serta sebagai mediator transfer kation-kation radikal bebas (Guiterrez, dkk., 1994, Higuchi, 1993). Perbandingan Efisiensi Biokonversi Serat (EBKS) Selulose Rata-rata nilai EBKS selulose bibit jamur tiram putih yang telah di uji t dengan metode SDE dan BMM pada generasi I sampai III disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3. terdapat selisih EBKS antar metode yang digunakan, selisih yang paling tinggi terjadi pada bibit generasi pertama 20.81 % dan yang paling sedikit pada generasi bibit ketiga 14,27 %. Metode TEL memberikan pengaruh lebih efisien dibandingkan metode BMM. Perhitungan antar generasi bibit mulai dari T1 dengan T2; T2 dengan T3; dan T1 dengan T3 didapatkan untuk metode TEL rata-rata 9,85 % dan untuk metode BMM 6,58 %. Tabel 3. Rata-rata EBKS Selulose bibit Jamur Tiram Putih Pada Generasi I Sampai III dengan Metode TEL dan BMM Metode Generasi Bibit
EBKS (%) BMM
Selisih (%)
EBKS (%) TEL T1 (pertama)
36,72
57,53
20.81**
T2 (kedua)
45,32
65,77
20.45**
T3 (ketiga)
56,42
70,69
14.27**
substansi substrat yang berselulosa, setelah proses degradasi lignin berlangsung. Mekanisme tersebut terjadi karena antara lignin dan selulosa berikatan dalam bentuk senyawa lignoselulosa. Saat memasuki fase pertumbuhan primer induksi hidrolitik selulosa memacu pengurangan karbon, nitrogen dan sulfur (Paterson, 1989, Higuchi, 1980). Sedangkan menuruit Chang, dkk., (1989), Kurtzman dan Zadrazil, (1984), Hadar, dkk., (1993), serta Ardon, dkk., (1998) bahwa untuk menguraikan selulosa jamur tiram putih mengeluarkan enzim selulase dan enzim utama lakase dan peroksidase. Rendahnya degradasi senyawa selulosa disebabkan karena strukturnya berupa kristalin yang tersusun dalam mikrofibril dan bersifat amorf. Ikatan hidrogen dalam bentuk kristalin sulit ditembus oleh enzim selulase, enzim ini hanya mampu bekerja diderah amorfnya saja (Higuchi, 1980, Pearce, 1982, Ardon, dkk. 1998). Bentuk fibril selulosa terdiri dari daerah amorf sekitar 15% dan kristalin sekitar 85%. Daerah amorf dari selulosa mengandung rantai glikosida yang mudah terhidrolisis oleh asam . Struktur kristal dibungkus oleh lignin yang berperan dalam pencegahan terhadap serangan enzim pemecah selulosa, penguraian selulosa itu sebanding dengan banyaknya oksigen yang dibutuhkan selama proses degradasi (Paterson, 1989, Ardon, dkk., 1998). Hubungan antara nilai EBKS Selulose dengan generasi bibit jamur tiram putih yang dihasilkan dengan metode SDE dan BMM disajikan pada Gambar 3.
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji t α = 0.01 Seperti halnya lignin, maka selulose memiliki peranan untuk mendukung pertumbuhan bibit jamur sebagai sumber karbon dan energi. Enzim yang disekresikan oleh miselium jamur tiram putih mengubah Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
40
Gambar 3.
Histogram Hubungan Antara Nilai EBKS Selulose (%) Dengan Generasi Bibit Jamur Tiram Putih yang Dihasilkan dengan Metode SDE, BMM dan selisih kedua metode sn=sangat nyata dengan uji t α = 0.01
Keseimbangan lignin dan selulose mendekati satu, terjadi jika keadaan substrat baru diinokulasi dan proses biokonversi baru berlangsung, karena residu lignin jumlahnya banyak, atau saat proses pengomposan mendekati stabil. Sumber karbon yang dimetabolisir oleh jamur dipilih mulai dari lignin, selulosa dan terakhir hemiselulosa (Ardon, dkk. 1998). Perbandingan Efisiensi Biokonversi Serat (EBKS) Hemiselulose Berdasarkan uji t yang telah dilakukan pada metode TEL dan BMM untuk EBKS Hemiselulose disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel. 4. terdapat selisih EBKS antar metode yang digunakan, selisihnya mencapai hingga 19,45 %. Metode TEL memberikan pengaruh lebih efisien dibandingkan metode BMM. Perhitungan antar generasi bibit mulai dari T1 dengan T2; T2 dengan T3; dan T1 dengan T3 didapatkan untuk metode TEL rata-rata 10,26 % dan untuk metode BMM 10,18 %. Tabel 4. Rata-rata EBKS Hemiselulose Pada Generasi I Sampai III dengan Metode TEL dan BMM Metode Generasi Bibit
EBKS (%) BMM
Selisih (%)
EBKS (%) TEL T1 (pertama)
35,28
54,88
19.6**
T2 (kedua)
49,18
67,66
18.48**
T3 (ketiga)
55,79
75,24
19.45**
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji t α = 0.01
Gambar 4. Histogram Hubungan Antara Nilai EBKS Hemiselulose Dengan Generasi Bibit Jamur Tiram Putih yang Dihasilkan dengan Metode SDE , BMM dan selisih kedua metode sn=sangat nyata dengan uji t α = 0.01 Jika dibandingkan dengan senyawa lignin dan selulose, hemiselulosa lebih mudah didegradasi menjadi gula sederhana, sehingga sering disebut sebagai karbohidrat yang larut dalam alkali lemah. Strukturnya terdiri dari rantai pendek glukan, polimer silosa, arabinosa, manosa, dan galaktosa ditambah polimer asam uronat. Bila gula sederhana tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif, maka EBKS nilainya kecil (Sugianto, 2005). Hubungan antara nilai EBKS hemiselulose dengan generasi bibit jamur tiram putih yang dihasilkan dengan metode TEL dan BMM disajikan pada Gambar 4. Miselium bibit jamur yang efektif memanfaatkan unsur-unsur yang tersedia dalam substrat memacu pembentukan percabangan miselium, sehingga dengan cepat memenuhi media yang berada dalam botol. Sisa hemiselulose yang belum dimanfaatkan memberikan keuntungan, karena digunakan untuk memperpanjang usia bibit sebelum ditanam pada media produksi dalam bentuk bag-log (Sugianto, 2006).
Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
41
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa a. Metode baru yang lebih efektif dan efisien untuk pembibitan jamur tiram putih dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan, bahan, alat, dan kualitas bibit yang dihasilkan adalah metode Tanam Eksplan Langsung (TEL). b. Bibit turunan sampai generasi ke tiga dari bibit yang telah dihasilkan melalui metode TEL lebih baik dibandingkan dengan metode BMM.
Ardon, O., Z. Kerem, and Y. Hadar. 1998. Enhancement of Lignin Degradation and Laccase Activity in Pleurotus ostreatus by Cotton Stalk Extract. J. Microbiol. 44(7) : 676-680. Side Internet. http : //pubs. nrc_cnrc.gc.ca/cgi-bin/rp/rp2abst_e?cjm_w98-054_44_ns_nf_cjm. (06-11-2012). Chang, S.T., and P.G. Miles, 1989, Edible Mushooms and Their Cultivation, CRC Press, Inc., Boca Raton, FL. Fiechter, A. 1993. Function and Synthesis of Enzymes Involved in Lignin Degradation. J. Biotechnol. 30 : 49 – 55
Saran Percobaan pada tahun pertama baru sampai pada pengujian bibit yang diturunkan sampai generasi ketiga, sedangkan untuk pembuatan bibit kering dan menguji kemampuan produksi (budidaya) dan nilai ekonomisnya diperlukan waktu yang panjang yaitu pada tahun kedua. Pengujian pada tahun kedua untuk menentukan kamampuan bibit yang dibuat dengan metode TEL dalam menghasilkan badan buah jamur, efektifitas waktu panen, efisiensi biologi, sampai diperolehnya nilai R/C rasio.
Flegel, T.W. and V. Meevootisom. 1986. Biological Treatment of Straw for Animal Feed. Proc. Conf. 1st Asean Sci. Technol. Week. Vol II. Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur. Gunawan, AW. 2005. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya. Jakarta. Gutierrez, E., H.K. Goering, and P.J. Van Soest. 1994. Forage Fibre Analysys. Agricultural Research Service, USDA Agricultural Handbook, Washington, DC. Hadar, Y.Z. Kerem., and B. Gorodecki. 1993. Biodegradation of Lignocellulosic Agricultural Wastes by Pleurotus ostreatus. J. Biotech. XXX : 139 – 149. Higuchi, T. 1980. Lignin Structure and Morphological distribution in Plant Cell Wall. p: 2-17. In. T.K Kirk, T. Higuchi, and Hou-min Chang (Ed). Lignin Biodegradation. Microbiology. Chemistry, and Potential Aplications, Vol I. CRC Press, Inc., Bocaraton, FL. Kurtzman Jr., R.H., and F. Zadrazil. 1984. Physiological and Taxonomic Considerations for Cultivation of Pleurotus Mushroom. p: 299-344. In S.T. Chang and T.H. Quimio (Ed). Tropical Mushrooms, Biological Nature and Cultivation Methods. The Chinese University Press, Hongkong.
Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
42
Leisola, D.E., and H.D.Garcia. 1989. Principles of Biochemistry, Worth Publisher, Inc, New York. Pearce, G. R. 1982, Plant Cell Wall Structure and the Effect of Pretreatment on Digestibility of Fibrous Residues. Proc, of the FAO / ILCA workshop Held in Dakkar, Senegal, Rome. Sugianto, A. 2003. Penambahan Nutrisi AGS+ dan waktu Cold Shock untuk stimulasi Badan Buah Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus.) J. Botanika. III : (9) 11-16 Sugianto, A. 2004a. Buku Ajar Budidaya Jamur, FP. Unisma. Malang. Sugianto, A. 2004b. Pengaruh Asal Eksplan Terhadap Pertumbuhan Miselium Jamur
Tiram Putih Melalui Metode Pintas dengan Shock Dingin. J. Al-Buhut XXI :(6) 12-16. Sugianto, A. 2005a. Penilaian Tingkat Kontaminasi Pada Pembuatan Bibit Jamur Tiram Putih Dengan Metode Shock Dingin Eksplan (SDE). J. Botanika. V : (15) 1-5 Sugianto, A. 2005b. Respon Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Terhadap Substrat Jerami Padi Bervariasi Rasio C/N dan Penambahan Nutrisi AGS+ Bervariasi Dosis. Media Penelitian Sains : I : (1) 34-41. Sugianto, A. 2006. Teknologi Budidaya Jamur Kayu (Kajian Agronomis dan Praktis) DITJEN DIKTI, Jakarta.
Jurnal Penelitian Al-Buhuts Universitas Islam Malang
43