PENGUJIAN ATAS ASERSI MANAJEMEN DALAM AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI Abstrak
Audit kepabeanan dan audit cukai sebagai salah satu jenis audit semestinya tidak terlepas dari auditing secara umum. Namun sifat audit kepabeanan dan audit cukai yang lebih merupakan audit ketaatan membuatnya tampak lebih fokus kepada pemenuhan ketentuan dibandingkan prinsip-prinsip lain yang lazim diterapkan dalam auditing. Salah satu aspek pengujian dalam auditing adalah asersi manajemen. Apakah dalam audit kepabeanan dan audit cukai juga terdapat asersi manajemen? Jika memang ada, bagaimana asersi manajemen berperan dalam audit kepabeanan dan audit cukai? Apakah pengujiannya dilakukan dalam audit kepabeanan dan audit cukai? Bagaimana cara mengujinya? Prosedur audit kepabeanan dan audit cukai tertuang dalam program-program audit yang dirancang sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Dengan menelaah program-program audit dan membandingkannya dengan prinsip-prinsip asersi manajemen akan dapat diketahui bahwa audit kepabeanan dan audit cukai tidak terlepas dari asersi manajemen sebagaimana dalam audit keuangan. Meskipun dalam audit kepabeanan dan audit cukai tidak secara lugas dinyatakan tentang asersi manajemen, namun substansi yang hendak dicapai ternyata tetap dipengaruhi oleh hasil pengujian terhadap asersi-asersi tersebut. Kata kunci : audit kepabeanan, asersi manajemen, program audit
1
PENGUJIAN ATAS ASERSI MANAJEMEN DALAM AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI Oleh : Ichsan Nafarin - Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
Auditing adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Dalam audit dikenal istilah asersi (assertion) yang didefinisikan sebagai pernyataan yang tersirat atau pun yang dinyatakan dengan jelas oleh manajemen mengenai jenis transaksi dan akun terkait dalam laporan keuangan. Definisi demikian lazim ditemukan dalam konteks audit keuangan yang memang tujuannya adalah memberikan opini atas laporan keuangan. Setiap informasi yang ada dalam laporan keuangan merupakan pernyataan manajemen tentang posisi kekayaan dan kegiatan usaha suatu entitas. Pernyataan inilah yang kemudian diuji oleh auditor sebagai salah satu bahan bukti audit untuk kemudian diberikan opini agar dapat digunakan secara tepat bagi pengambilan keputusan oleh para pengguna laporan keuangan. Berbicara tentang audit kepabeanan dan audit cukai akan selalu berkaitan dengan audit yang dilakukan dalam bidang akuntansi keuangan. Orang yang belum mengerti tentang audit kepabeanan dan audit cukai akan selalu membandingkannya dengan audit keuangan yang dilakukan oleh kantor-kantor akuntan publik (KAP). Bahkan ketika audit kepabeanan dan audit cukai hendak dilakukan, banyak yang mengelak dengan berkata bahwa mereka sudah diaudit oleh KAP. Hal ini adalah hal yang wajar karena memang keduanya sesungguhnya merupakan bagian dari kegiatan audit yang cakupannya meliputi segala bidang dan tidak terbatas pada akuntansi keuangan saja. Segala hal yang merupakan kegiatan menentukan dan melaporkan kesesuaian suatu informasi dengan kriteria-kriteria tertentu adalah kegiatan audit. Meski memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebutan audit selalu diidentikkan dengan audit keuangan yang menjadi cikal bakal berkembangnya ilmu auditing.
2
Karena audit kepabeanan dan audit cukai memiliki latar belakang yang sama dengan audit keuangan, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam audit kepabeanan dan audit cukai seharusnya memiliki kesamaan dengan audit keuangan. Kalau dalam audit keuangan dikenal istilah asersi manajemen maka seharusnya hal ini pun dijumpai dalam audit kepabeanan dan audit cukai. Akan tetapi, menilik kepada peraturan-peraturan terkait audit kepabeanan dan audit cukai termasuk dalam contoh program audit yang termaktub dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai serta PER-7/BC/2012 tentang Standar Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, tidak dijumpai adanya pernyataan tentang pengujian atas asersi manajemen. Sedangkan pernyataan standar audit yang dikenal dalam audit keuangan secara lugas membahas tentang asersi manajemen sebagaimana termaktub dalam Pernyataan Standar Audit (PSA) no. 07 tentang Bukti Audit.
Asersi Manajemen PSA No. 07 mendefinisikan asersi sebagai pernyataan manajemen yang terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Pernyataan tersebut bisa bersifat eksplisit maupun implisit. Pernyataan eksplisit misalnya ketika dinyatakan dalam neraca terdapat piutang senilai Rp. 2.000.000, maka dapat dipahami bahwa manajemen menyatakan keberadaan piutang tersebut dengan jumlah sesuai yang tertulis dalam neraca. Pernyataan tersebut secara implisit juga dapat dipahami, manajemen menyatakan bahwa penyajian piutang tersebut telah dilakukan mengikuti prinsip-prinsip pengakuan dan pelaporan piutang sesuai prinsip akuntansi berlaku umum atau dalam konteks Indonesia sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Asersi manajemen digolongkan dalam lima kategori besar asersi: 1. Asersi mengenai keberadaan atau keterjadian (existence or occurrence). Asersi tentang keberadaan atau keterjadian berhubungan dengan apakah aktiva atau utang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa sediaan produk jadi yang tercantum dalam neraca adalah tersedia untuk dijual. Begitu pula, manajemen membuat asersi bahwa penjualan dalam laporan laba-rugi
3
menunjukkan pertukaran barang atau jasa dengan kas atau aktiva bentuk lain, misalnya piutang, dengan pelanggan. 2. Asersi mengenai kelengkapan (completeness). Asersi tentang kelengkapan berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan telah dicantumkan di dalamnya. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa seluruh pembelian barang dan jasa dicatat dan dicantumkan dalam laporan keuangan. Demikian pula, manajemen membuat asersi bahwa utang usaha di neraca telah mencakup semua kewajiban entitas. 3. Asersi mengenai hak dan kewajiban (right and obligation). Asersi tentang hak dan kewajiban berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu. Sebagai contoh manajemen membuat asersi bahwa jumlah sewa guna usaha (lease) yang dikapitalisasi di neraca mencerminkan nilai pemerolehan hak entitas atas kekayaan yang disewagunausahakan (leased) dan utang sewa guna usaha yang bersangkutan mencerminkan suatu kewajiban entitas. 4. Asersi mengenai penilaian dan alokasi (valuation and allocation). Asersi tentang penilaian atau alokasi berhubungan dengan apakah komponenkomponen aktiva, kewajiban, pendapatan dan biaya sudah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang semestinya. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa aktiva tetap dicatat berdasarkan harga pemerolehannya dan pemerolehan semacam itu secara sistematik dialokasikan ke dalam periode-periode akuntansi yang semestinya. Demikian pula manajemen membuat asersi bahwa piutang usaha yang tercantum di neraca dinyatakan berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasikan. 5. Asersi mengenai penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi tentang penyajian dan pengungkapan berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Misalnya, manajemen membuat asersi bahwa kewajibankewajiban yang diklasifikasikan sebagai utang jangka panjang di neraca tidak akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Demikian pula, manajemen membuat asersi bahwa jumlah yang disajikan sebagai pos luar biasa dalam laporan laba-rugi diklasifikasikan dan diungkapkan semestinya.
4
Audit Kepabeanan Dan Audit Cukai Audit kepabeanan dan audit cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai. Dalam audit kepabeanan dan audit cukai dikenal tiga jenis audit yaitu audit umum, audit khusus, dan audit investigasi. Tulisan ini secara khusus menekankan pada audit kepabeanan dan audit cukai dengan jenis audit umum yaitu audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. Audit ini dilakukan dengan tujuan menguji tingkat kepatuhan auditee atas pelaksanaan ketentuan perundangundangan di bidang kepabeanan dan cukai Dalam audit kepabeanan dan audit cukai, obyek yang diaudit cukup banyak dengan pendekatan program audit yang berbeda-beda karena memang masingmasing jenis obyek audit memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan perundangan di bidang kepabeanan dan cukai. Misalnya pengusaha di Kawasan Berikat memiliki ketentuan-ketentuan khusus yang berbeda dengan ketentuan yang ditetapkan pada importir umum atau produsen yang tidak memperoleh fasilitas kepabeanan dan cukai tertentu. Karenanya, untuk memudahkan pemahaman dalam tulisan ini akan digunakan obyek audit importir umum sebagai sampel dalam pembahasan.
Program Audit Importir Umum Dengan menggunakan program audit importir umum sebagai sampel, berikut ini adalah prosedur-prosedur yang dilakukan dalam contoh program audit importir umum yang termaktub dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor PER-9/BC/2012.
5
Prosedur audit yang dilakukan dalam program audit impor umum adalah sebagai berikut : 1. Lakukan penilaian keandalan pengendalian internal 2. Dapatkan dokumen pemberitahuan pabean beserta lampirannya, lakukan rekapitulasi. 3. Uji kesesuaian jumlah dokumen pemberitahuan impor barang dengan Bukti Audit terkait 4. Pastikan transaksi yang diberitahukan tercatat dalam pembukuan auditee. 5. Dapatkan dan pelajari bukti audit (misalnya sales contract dan perjanjian keagenan) yang terkait dengan transaksi yang sedang diaudit 6. Dapatkan dan evaluasi pembukuan/data akuntansi atau dokumen legal untuk meyakini bahwa persyaratan nilai transaksi terpenuhi. 7. Dapatkan dan evaluasi bukti audit berupa bukti transaksi (misalnya invoice) atau korespondensi, bukti dari pihak ketiga (bila diperlukan), dan pembukuan. 8. Lakukan pengujian bukti audit tersebut dengan pembukuan untuk meyakini harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar untuk transaksi yang diberitahukan. 9. Dapatkan dan evaluasi bukti audit berupa bukti transaksi (misalnya invoice) atau korespondensi, bukti dari pihak ketiga (bila diperlukan), dan pembukuan. 10. Lakukan pengujian bukti audit tersebut dengan pembukuan untuk meyakini besarnya biaya-biaya yang harus ditambahkan pada harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar untuk transaksi yang diberitahukan. 11. Bandingkan hasil prosedur 8 dan 10 dengan nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean. 12. Dapatkan dan evaluasi bukti audit (misalnya packing list dan laporan penerimaan barang). 13. Bandingkan hasil prosedur 12 dengan jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean. 14. Bandingkan klasifikasi dan pembebanan yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). 15. Tentukan klasifikasi dan pembebanan sesuai dengan BTKI apabila hasil pengujian jenis barang tidak sesuai dengan pemberitahuan.
6
16. Bandingkan
pemberitahuan
tarif
pembebanan
dalam
dokumen
pemberitahuan pabean dengan BTKI dan dokumen legal tentang perlakuan khusus tersebut (misalnya Keputusan Kepala BKPM tentang Restrukturisasi).
Asersi Manajemen Dalam Audit Kepabeanan Dan Audit Cukai Dengan Prosedur Audit Importir Umum Sebagai Sampel. Kalau dipandang secara tekstual dalam prosedur audit yang dilakukan dalam audit importir umum, tampaknya asersi manajemen tidak menjadi bagian dari prosedur pengujian. Namun jika diperhatikan secara seksama, ada beberapa prosedur yang punya kesesuaian dengan aspek-aspek asersi manajemen. Asersi mengenai keberadaan atau keterjadian (existence or occurrence). Dalam konteks audit kepabeanan dan audit cukai, keberadaan suatu barang atau orang dan keterjadian suatu transaksi atau tindakan, memiliki arti penting mengingat audit dilakukan untuk menguji ketaatan auditee terhadap ketentuan perundangan di bidang kepabeanan dan cukai. Ketentuan perundangan sebagai produk hukum tentunya berkaitan dengan subyek dan obyek hukum yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum. Dan tentu saja ketentuan perundangan tersebut dapat diterapkan jika subyek dan obyek hukum itu memang benar ada (exist) dan peristiwa hukum itu benar terjadi (occur). Dalam hal kegiatan kepabeanan dan cukai, ketentuan perundangan di bidang kepabeanan dan cukai akan diterapkan jika orang yang melakukan kegiatan kepabeanan dan cukai itu memang ada dan memang ia pelakunya, barang yang terkait kepabeanan dan cukai itu memang ada dan memang betul terkait barang dimaksud, serta kegiatan kepabeanan dan cukai tersebut memang benar-benar terjadi. Atau, dapat dikatakan bahwa orang, barang dan kegiatan kepabeanan dan cukai tersebut bukanlah sesuatu yang fiktif. Prosedur-prosedur audit yang terangkum dalam program audit importir umum juga merupakan upaya memperoleh keyakinan atas asersi keberadaan atau keterjadian. Sebagai contoh, uji dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dengan bukti audit terkait. Dengan menggunakan data SPT Masa PPN, database impor
7
Direktorat IKC, dan data hardcopy PIB yang dimiliki auditee sebagai bukti audit, pengujian jumlah dokumen PIB akan memberikan beberapa kemungkinan hasil :
Terdapat data PIB dalam SPT Masa PPN namun tak ditemukan baik dalam database IKC atau pun maupun hardcopy PIB dari auditee
Terdapat data PIB dalam database IKC yang tidak tercatat dalam SPT Masa PPN dan juga tidak diperoleh hardcopy PIB-nya dari auditee.
Terdapat hardcopy PIB yang datanya tidak tercatat dalam database IKC Dengan menganalisis berbagai fakta yang ditemukan dari perbandingan
tersebut akan dapat diidentifikasi keberadaan PIB fiktif dari berbagai sudut pandang yaitu sudut pandang DJBC, sudut pandang Ditjen Pajak dan auditee. Ketika tim audit membaca data yang disajikan oleh auditee baik berupa SPT Masa PPN maupun hardcopy PIB selama periode audit, maka melalui data tersebut secara implisit auditee menyatakan bahwa PIB yang tercantum dalam SPT Masa PPN maupun hardcopy tersebut benar-benar merupakan kegiatan pemasukan barang yang dilakukan auditee. Ketika kegiatan kepabeanan tersebut ternyata dapat dibuktikan tidak pernah terjadi atau pun pemberitahuan impor itu sebenarnya tidak pernah ada maka
auditee
harus
bersiap
menghadapi
implikasinya
sesuai
ketentuan
perundangan di bidang kepabeanan dan cukai yang berlaku. Asersi mengenai kelengkapan (completeness). Audit sebagai perangkat untuk menilai kepatuhan atau kesesuaian suatu kejadian dengan kriteria yang ditetapkan akan dapat memberikan hasil berupa kesimpulan audit yang akurat jika obyek yang diaudit telah mencakup keseluruhan kejadian yang mempengaruhi. Ketika ada suatu kejadian penting terlewatkan maka kesimpulan audit bisa tidak akurat atau bahkan bisa bertolak belakang dengan yang seharusnya. Audit kepabeanan dan audit cukai sebagai salah satu audit yang menekankan pada tujuan kepatuhan secara implisit menyatakan dalam kesimpulan auditnya bahwa seluruh kegiatan kepabeanan dan cukai yang dilakukan oleh auditee dalam periode yang diaudit, selain dari yang ditemukan adanya penyimpangan, telah memenuhi seluruh kriteria ketentuan di bidang kepabeanan dan cukai. Karenanya aspek kelengkapan kegiatan kepabeanan dan cukai yang dilakukan menjadi aspek penting dalam audit. Ketika ada kegiatan kepabeanan dan cukai yang tidak terekam
8
dalam proses audit maka secara otomatis terdapat ketidakakuratan dalam kesimpulan audit ketika auditor menyatakan kepatuhan terhadap hal yang sama sekali tidak diaudit karena tidak lengkapnya data. Pengujian jumlah dokumen PIB dengan bukti audit terkait disamping untuk mengidentifikasi keberadaan dan keterjadian juga bertujuan untuk memastikan kelengkapannya. Ketika jumlah PIB di SPT lebih banyak dari PIB dalam database impor, maka disamping adanya kemungkinan PIB di SPT ada yang fiktif juga memberikan kemungkinan bahwa PIB dalam database impor tidak lengkap. Hal ini dapat dimengerti karena memang database impor hanya merekam PIB yang disampaikan secara elektronik. Dan juga dalam proses audit memang ada kecenderungan auditee untuk menyembunyikan dokumen audit yang menjadi bahan bukti auditnya karena auditee memandang bahwa semakin sedikit bukti audit maka semakin kecil kemungkinan adanya temuan audit. Memang
kemungkinan
ketidakakuratan
kesimpulan
audit
akibat
ketidaklengkapan telah diantisipasi dengan penegasan tentang tanggung jawab tim audit dan auditee. Tim audit dikatakan hanya bertanggung jawab terhadap kesimpulan audit dan/atau rekomendasi dalam Laporan Hasil Audit berdasarkan data yang diserahkan oleh auditee. Adapun kebenaran dan kelengkapan data yang diserahkan pada tim audit menjadi tanggung jawab auditee. Namun tidak adanya sanksi yang tegas ketika data yang diserahkan tidak lengkap membuat kecenderungan untuk “sengaja” tidak menyampaikan data secara lengkap selalu menjadi kendala sehingga dalam program audit tim audit tetap melakukan prosedur pemeriksaan kelengkapan sebagai suatu prosedur standar yang sesuai dengan aspek asersi completeness. Asersi mengenai hak dan kewajiban (right and obligation). Undang-undang tentang kepabeanan dan cukai merupakan produk hukum yang ketentuannya mengikat subyek-subyek hukum yang terlibat di dalamnya. Karenanya sangat penting untuk memastikan bahwa kegiatan kepabeanan yang telah diidentifikasikan selanjutnya dikaitkan dengan subyek hukum yang tepat sehingga hak dan kewajiban yang timbul akibat kegiatan kepabeanan tersebut akan mengarah kepada pihak yang memang seharusnya memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban tersebut. Ketika hak dan kewajiban terkait kegiatan
9
kepabeanan ternyata salah sasaran maka secara jelas terdapat indikasi bahwa telah terjadi penyimpangan ketentuan kepabeanan dan cukai. Ketika terjadi kegiatan kepabeanan dan cukai, setiap pihak yang terlibat dalam prosesnya seharusnya ditempatkan sesuai posisinya masing-masing. Pembeli yang sebenarnya melakukan pembelian terhadap suatu produk impor seharusnya diposisikan sebagai importir sedang sang penjual diposisikan sebagai eksportir. Keduanya
terikat
dengan
ketentuan-ketentuan
perundangan
yang
memang
diperuntukkan bagi importir atau eksportir. Sedangkan pihak yang hanya berperan sebagai perantara transaksi bukanlah importir atau eksportir sehingga tidak seharusnya diperlakukan mengikuti ketentuan perundangan yang mengikat importir atau eksportir. Sebaliknya, posisi mereka dalam konteks ketentuan perundangan di bidang kepabeanan dan cukai bisa jadi adalah indentor, makelar atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan. Faktanya, dalam pengakuan transaksi seringkali terjadi ketidaksesuaian antara pihak yang mengaku sebagai penjual dan pembeli dengan pihak yang sebenarnya melakukan transaksi jual beli. Pihak yang sebenarnya hanya menjadi perantara dan memang hanya memperoleh fee atas jasanya sebagai perantara transaksi ternyata mengaku sebagai pembeli atau pun penjual. Akibatnya, ketika proses audit menguji kebenaran transaksi, justru data transaksi tersebut tidak dapat ditemukan karena memang sesungguhnya transaksi itu dilakukan oleh pihak lain. Pengakuan akuntansi atas pembelian dilakukan oleh pihak yang sesungguhnya melakukan transaksi sedang pihak yang diaudit ternyata hanya mencatat penerimaan sejumlah fee dan tidak pernah mencatat pembayaran atau pun pengakuan kewajiban. Dalam konteks audit atas importir umum, ketika asersi mengenai hak dan kewajiban tidak terpenuhi maka tidak dimungkinkan untuk melakukan pengujian nilai transaksi suatu transaksi impor karena catatan yang valid atas nilai transaksi tersebut hanya dimiliki oleh pihak yang sesungguhnya melakukan transaksi. Dalam hal ini langkah yang kemudian dilakukan adalah menggugurkan persyaratan nilai transaksi karena tidak adanya transaksi pembelian yang sesungguhnya antara pemberitahu impor (importir) dengan penjual (eksportir) di luar negeri. Dengan gugurnya persyaratan nilai transaksi maka penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
10
transaksi tidak dapat dilakukan dan selanjutnya digunakan metode penetapan lainnya. Asersi mengenai penilaian dan alokasi (valuation and allocation). Ketika menilai sebuah transaksi maka salah satu unsur terpenting adalah nilai yang terkandung dalam transaksi tersebut, sehingga penilaian (valuation) sebuah transaksi harus dilakukan secara akurat sesuai kondisi yang sebenarnya. Dalam konteks kepabeanan dan cukai, penilaian tidak semata tertuju pada nilai ukuran mata uang tetapi juga terkait jumlah satuan kuantitas dari barang yang terkait transaksi tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah ketepatan perhitungan kewajiban kepabeanan dan cukai yang dipengaruhi oleh ketepatan penetapan tarif, nilai pabean dan ketepatan pengukuran nilai transaksi. Sedangkan alokasi suatu nilai memiliki nilai penting karena dalam nilai suatu transaksi tidak semua nilai yang timbul bisa dibebankan dalam transaksi tersebut. Hanya nilai-nilai yang memang relevan yang dapat dimasukkan sebagai unsur nilai transaksi. Kemungkinan lain yang justru lebih lazim terjadi adalah adanya nilai-nilai yang seharusnya dialokasikan sebagai bagian nilai transaksi ternyata tidak dimasukkan sebagai bagian nilai transaksi. Bahkan tidak sedikit yang melandasi tindakannya itu dengan motif menghindari kewajiban kepabeanan. Dalam konteks audit terhadap importir umum, berbagai prosedur pengujian nilai transaksi dengan penelitian terhadap pembukuan bertujuan memastikan penilaian dan alokasi yang tepat dalam penetapan nilai pabean. Demikian pula dengan pengujian terhadap klasifikasi dan pembebanan tarif yang bertujuan untuk memastikan penilaian tarif dan alokasi klasifikasi barang yang tepat sesuai ketentuan. Ketika terdapat penilaian dan alokasi yang salah terhadap nilai pabean dan atau tarif yang diberitahukan berdasarkan hasil audit, Direktur Jenderal akan menetapkan kembali nilai pabean dan tarif yang menghasilkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan atau Nilai Pabean (SPKTNP). Asersi
mengenai
penyajian
dan
pengungkapan
(presentation
and
disclosure). Salah satu faktor utama dalam audit keuangan, berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan
11
diungkapkan semestinya. Apakah pengungkapan aset lancar betul menunjuk kepada aset-aset yang liquid? Ataukah ada noncurrent assets yang diakui sebagai current assets? Kesalahan-kesalahan dalam penyajian dan pengungkapan dalam audit keuangan lebih dimaksudkan sebagai upaya “mempercantik” laporan keuangan agar user yang membacanya memberikan penilaian baik atau sebaliknya berusaha menutupi fakta-fakta tertentu yang memang tidak diharapkan diketahui oleh para user. Dalam audit kepabeanan dan audit cukai, titik kritis dalam penyajian dan pengungkapan ada dalam dokumen pemberitahuan pabean atau dokumen-dokumen pendukungnya semisal invoice dan packing list. Nilai dalam PIB dan invoice misalnya hanya mencantumkan angka yang tidak dirincikan sehingga mempersulit pengujianpengujian dalam kewajaran penyajiannya. Transaksi yang seharusnya di-support oleh beberapa invoice ternyata hanya diungkapkan sebagian saja. Spesifikasi barang dibuat kurang terinci sehingga memungkinkan klasifikasi dan pembebanan tarif yang kurang sesuai. Prosedur pengujian nilai transaksi dan tarif dalam program audit importir umum juga mencakup pengujian terhadap penyajian dan pengungkapan. Namun untuk asersi ini tidak secara langsung berpengaruh kepada timbulnya kewajiban pabean. Rekomendasi terkait asersi penyajian dan pengungkapan lebih merupakan rekomendasi perbaikan terhadap sistem akuntansi serta tata kelola catatan dan dokumen. Atau jika kekurangan dalam penyajian dan pengungkapan tersebut memiliki akibat kepada tidak terpenuhinya syarat-syarat administratif sesuai ketentuan
perundangan,
maka
bisa
berakibat
diberikannya
sanksi-sanksi
administrasi.
Penutup Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa audit kepabeanan dan audit cukai ternyata tidak terlepas dari asersi manajemen sebagaimana dalam audit keuangan. Meskipun dalam audit kepabeanan dan audit cukai tidak secara lugas dinyatakan tentang asersi manajemen, namun substansi yang hendak dicapai ternyata tetap dipengaruhi oleh hasil pengujian terhadap asersi-asersi tersebut.
12
Ketentuan tentang audit kepabeanan dan audit cukai telah memberikan batasan tanggung jawab dalam audit yang menempatkan faktor kebenaran dan kelengkapan data yang diserahkan menjadi tanggung jawab auditee. Hal ini secara implisit mengandung makna bahwa pemenuhan unsur asersi manajemen merupakan area tanggung jawab auditee. Namun secara substansi, tujuan audit adalah untuk menguji kepatuhan auditee, yang berarti lebih menekankan unsur kepentingan negara dalam melakukan pengawasan. Karenanya auditor pun memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya untuk memastikan bahwa aspek asersi manajemen benar-benar telah terpenuhi. REFERENSI : Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai Arens, Alvin A. James L. Loebbecke,2008. Auditing Pendekatan Terpadu, Terjemahan oleh Amir Abadi Yusuf, Buku Satu, Edisi Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. Modul Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, Tim Penyusunan Modul Pusdiklat Bea dan Cukai, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
13