PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM PELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI PULAU PAHAWANG, KECAMATAN PUNDUH PIDADA, KABUPATEN PESAWARAN Oleh: Hartoyo, Erna Rochana, Bintang Wirawan Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung E- mail:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to explain the efforts Pahawang Island villagers to conserve mangrove forests by strengthening social capital. Data were collected by in-depth interviews, observation and documentation. The results found that the strengthening of social capital is very influential in the management and conservation of mangrove forests. The main constraint is the physical condition of the island that are less economically valuable. In addition, there has been no serious effort of local communities, the private sector and the commitment of the local government. Keywords: Social capital, sustainability, mangrove, ecotouris m, Pahawang PENDAHULUAN Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, mulai berjalan tahun 2008, yang dibentuk pada tanggal 02 November 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007, pisahan dari Kabupaten Lampung Selatan. Pada tahun 2010 berpenduduk 397.079 jiwa yang menempati wilayah seluas 117.377 Ha; terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan dan 133 Desa. Kabupaten Pesawaran ini juga memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebanyak 33 buah. Jumlah pulau kecil yang teridentifikasi dan diberi nama sebanyak 23 buah. Pulau-pulau kecil ini terletak di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada. Kabupaten Pesawaran sangat diuntungkan karena memiliki wilayah pesisir dengan potensi hutan mangrove yang cukup luas. Panjang hutan mangrove diperkirakan mencapai 92 km yang terletak di sepanjang garis pantai Kabupaten Pesawaran dan pulau-pulau kecil di daerah itu. Meski ekosistem hutan mangrove berada di pesisir, namun mempunyai peran fisik, biologi dan ekonomi. Menyelamatkan hutan mangrove bagi kehidupan masa depan adalah sebuah langkah yang harus segera direalisasikan. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan potensi hutan mangrove yang ada di dalamnya sudah semestinya dipandang sebagai entitas yang sistemik karena mengandung satu kesatuan sistem ekologi yang tersusun atas komponenkomponen biofisik dan sosial (human system). Namun demikian, wilayah tersebut masih belum dikelola secara optimal dan terintegrasi dalam satu kesatuan program pembangunan daerah. Kondisi tersebut terjadi antara lain karena hambatan sosial, politik dan kultural. Wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil dianggap sebagai obyek yang masih kurang menguntungkan secara ekonomi oleh para elit politik dan elit birokrasi. Wilayah pesisir pantai yang menjadi habitat dan banyak 94
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
tanaman bakau yang oleh masyarakat biasa disebut ―hutan bakau‖, tetapi oleh Pemerintah Daerah tidak ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan. Padahal, perhatian terhadap pentingnya hutan mengrove sudah diatur dalam beberapa kebijakan pemerintah, seperti SK Dirjen Kehutanan No. 60/KPTS/-DI/ 1978 dan Surat Edaran Departemen Kehutanan No. 507/IV-BPHH/1990. Dampak dari kurangnya perhatian pemerintah daerah adalah wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil kemudian masuk dalam ruang ekonomi pasar dan membuka peluang berbagai pihak yang berkepentingan (multistakeholders) saling berbenturan dalam penguasaannya. Kondisi ini terjadi karena wilayah tersebut masih belum menjadi bagian penting yang harus disentuh oleh program pemerintah. Seakan terjadi pengabaian dan tidak secara serius disentuh oleh kebijakan yang terintegrasi atau masih bersifat sektoral, berada pada penguasaan oleh elemen aktor tertentu, sehingga terjadi kerusakan lingkungan terutama karena ulah manusia. Hingga saat ini cukup terasa bahwa wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil mengalami krisis-ekologi, yaitu terjadi kerusakan dan pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada tahun 2009 tercatat kerusakan hutan mangrove sudah mencapai 75 persen, terjadi erosi pantai yang memakan badan jalan, terjadi perluasan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi dan pemukiman, terjadi ekploitasi rumput laut alami dan pengrusakan, dan tingginya sedimentasi (Pemerintah Kabupaten Pesawaran, 2009). Upaya mengurangi kerusakan hutan mangrove saat ini sebenarnya sudah dilakukan, setidaknya berdasarkan komitmen sebagian kecil dari kelompok masyarakat. Akan tetapi, masih perlu upaya ekstra untuk mengubah dan membentuk kemauan masyarakat agar peduli terhadap keberlangsungannya. Apalagi untuk masyarakat yang hidup di pulau dan relatif awam dengan kata konservasi. Salah satu pulau kecil yang berada di wilayah Kabupaten Pesawaran adalah Pulau Pahawang. Pelestarian hutan mangrove di pulau ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat, bahkan sudah banyak orang yang dengan penuh kesadaran mau melestarikannya. Pulau ini memang sudah cukup dikenal sebagai pulau lestari. Bukan hanya alamnya, masyarakatnya juga relatif masih murni dari pengaruh keserakahan duniawi. Tak heran jika banyak elemen masyarakat ingin hadir, menikmati, dan mengabadikan setiap detail pulau ini. Telah terjadi semangat dan kesadaran baru di kalangan masyarakat pulau Pahawang, baik dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Perubahan sosiokultural masyarakat yang berhubungan dengan perbaikan ekosistem dan kelestarian lingkungan hutan mangrove tersebut diduga berkaitan erat dengan kuatnya modal sosial. Penelitian ini bertujuan menjelaskan upaya masyarakat desa Pulau Pahawang dalam pelestarian hutan mangrove dengan memperkuat modal sosial. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di pulau Pahawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Data primer yang dikumpulkan berupa fakta, opini, pandangan dan respon tineliti tentang berbagai unsur modal sosial yang di bangun dalam pelestarian hutan mangrove, serta realitas yang dialami berkaitan dengan 95
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
upaya tersebut. Sedangkan data sekunder berupa teks, gambar dan angka-angka sebagai dokumen dan gambar-gambar hasil pemotretan. Sumber data utama adalah penduduk setempat, yang berperanserta dalam penguatan model sosial, yang secara nyata sebagai pelopor dan diperlakukan sebagai pemimpin oleh masyarakat setempat, dan para pegawai pemerintah dan swasta yang secara langsung melaksanakan dan mendukung program pelestarian hutan mangrove dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat setempat. Data diolah dan dianalisis melalui proses reduksi, penyajian dan verifikasi. Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, digunakan beragam prosedur (triangulation). Mengacu pendapat Stake (2000), trianggulasi yang digunakan adalah mengklarifikasi arti yang dilakukan melalui identifikasi cara yang berbeda dalam mengamati suatu realitas. Artinya, dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda. Dengan demikian, penarikan kesimpulan tidak cukup sekedar olah pemikiran teoritis tetapi harus dibuktikan oleh perilaku, wacana, dan hubungan sosial subyek penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rusaknya Sumbe rdaya Alam Desa Pulau Pahawang memiliki sumberdaya alam yang sangat beragam, dan salah satunya yang ada dipesisir laut adalah mangrove (masyarakat setempat menyebut dengan istilah Hutan Bakau). Keberadaan mangrove seluas 141,94 hektar dengan berbagai jenis tumbuhan bakau, tingi dan nipah. Gosong-gosong yang tersebar di sekitar perairan Pulau Pahawang mencapai 60 buah. Terumbu karang tersebar dan ada disekeliling pulau mencapai 80,52 hektar. Berbagai jenis ikan laut seperti kepiting, simba, ikan tongkol, ikan selar merupakan jenis hewan laut yang ada dan hidup di perairan Pulau Pahawang. Akibat kegiatan-kegiatan merusak ini kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Pahawang sangat memprihatinkan. Di sepanjang pesisir Teluk Lamp ung dan Padang Cermin telah banyak sekali konversi hutan baku menjadi lahan tambak udang. Dampak negatif secara nyata dirasakan masyarakat di pesisir pantai timur yang perkampungannya hancur dan menyatu dengan air laut, akibat abrasi air laut. Selain itu juga limbah dari tambak di sepanjang pesisir ini berdampak pada pencemaran air laut. Inilah salah satu kekhawatiran masyarakat Pulau Pahawang bercermin pada daerah yang telah terjadi. Konversi mangrove menjadi lahan tambak telah teridentifikasi berdampak pada penyebaran wabah nyamuk demam berdarah atau malaria, karena habitatnya yang banyak terdapat di mangrove habis dibabat. Kerusakan mangrove yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu juga terjadi untuk tujuan sebagai bahan dasar pembangunan rumah dan pembuatan arang oleh penduduk setempat. Kerusakan mangrove secara besar-besaran dengan kedatangan perusahaan asing yang berasal dari Taiwan pada tahun 1975 dengan melakukan penebangan secara besar-besaran. Kegiatan itu telah menyebabkan abrasi pantai. Selain itu juga, habitat satwa (monyet dan kera) rusak dan satwasatwa tersebut harus mencari habitat lain untuk mendapatkan makanan. Akibatnya banyak yang ―menyerang‖ tanaman di kebun-kebun petani setempat. Selain itu, yang paling mengganggu adalah hilangnya tempat ikan untuk berkembang biak 96
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
atau bertelur. Penduduk setempat tidak lagi dapat memperoleh ikan dengan mudah di sekitar pantai. Pemetaan Partisipatif Sebagai Dasar Penguatan Modal Sosial Pohon mangrove yang banyak tumbuh di sekitar kawasan pesisir laut di pulau Pahawang memiliki manfaat untuk melestarikan fungsi pantai. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, bahwa perlindungan kawasan pantai berhutan Mangrove dilakukan untuk melestarikannya sebagai pembentuk ekosistem dan tempat berkembang biak berbagai biota laut, di samping sebagai pelindung pantai dari pengikisan air laut. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan No. 550/Kpts-4/1984 mensyaratkan lebar jalur hijau pantai (mangrove) minimal 200 meter dari garis pantai. Peraturan tersebut menjadi landasan hukum yang kuat atas upaya melindungi kawasan ini dari kepemilikan baik perorangan ataupun perusahaan. Di Pulau Pahawang kawasan hutan mangrove yang dibuka dan dijadikan lahan tambak sering menjadi sengketa. Mereka yang membuka kawasan hutan mangrove menjadi lahan tambak adalah pengusaha atau orang-orang lain yang punya modal besar. Pembukaan lahan umumnya dilakukan tanpa pemberitahuan kepada penduduk setempat dan tanpa persetujuan dari pemerintahan desa. Situasi ini di kemudian hari menjadi masalah, yaitu terjadi sengketa, terutama dengan para pemilik kebun di sekitar tambak. Di Pulau Pahawang paling tidak ada sekitar 50 hektar hutan mangrove yang sudah dibuka untuk membuat tambak. Pada umumnya pembebasan lahan rawa di hutan mangrove dibayar dengan harga yang rendah karena pengusaha memakai jasa perantara untuk membelinya dari masyarakat setempat. Akibatnya, hutan mangrove yang merupakan penyaring pengaruh lautan ke daratan maupun daratan ke lautan makin terancam keberadaannya. Masyarakat khawatir bahwa pembabatan hutan mangrove akan berakibat masuknya air laut ke lahan mereka dan juga penggerusan lahan. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi sebab adanya tambak di wilayah pulau Pahawang. Salah satunya adalah perizinan yang sangat mudah didapat yang menjadi daya tarik bagi para pengusaha dari luar desa. Pemberian izin tidak pernah ditindaklanjuti dengan pengawasan, sehingga pembukaan yang merusak kawasan hutan mangrove terus terjadi. Kondisi tersebut antara lain yang mendasari perlunya dilakukan pemetaan partisipatif. Sejarah pemetaan partisipatif diawali oleh kedatangan LSM, yaitu Mitra Bentala. Pada tahun 1997, Mitra Bentala mulai melakukan kegiatan pendampingan di Pulau Pahawang. Pemilihan wilayah ini didasarkan pada pertimbangan semakin rusaknya lingkungan (termasuk hutan mangrove) yang mengancam sumber kehidupan masyarakat setempat. Kristalisasi dari proses pendampingan adalah pelaksanaan pemetaan partisipatif. Metode ini digunakan untuk membangun keterlibatan masyarakat secara penuh dalam upaya mencari penyelesaian masalah. Keterlibatan seluruh masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi ternyata mampu membangkitkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga 97
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
sumberdaya alam. Akhirnya masyarakat dapat mengelola sumberdaya mereka secara mandiri dengan prinsip demokratis dan berkelanjutan. Pada tahun 1997 rangkaian proses pemetaan partisipatif mulai dilakukan. Beberapa peta yang dihasilkan adalah Peta Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional, Peta Sumberdaya Alam Pesisir, Peta Keadaan Terumbu Karang dan Tubiran, Peta Sumberdaya Hutan Mangrove, dan Peta Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove. Selain itu, juga dilakukan pelatihan dengan tema-tema tertentu yang dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang hak- hak mereka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Rangkaian proses pendampingan dilakukan secara intensif hingga tahun 1999. Proses ini dinilai efektif karena dilakukan bersama masyarakat setempat untuk mengidentifikasi berbagai persoalan kehidupan dan cara mengatasinya. Komunikasi di antara mereka berjalan dengan baik, karena setiap permasalahan yang muncul atau agenda-agenda yang terkait dengan pemerintahan setempat di antara mereka saling bahu- membahu. Forum diskusi selalu dimanfaatkan untuk memperkuat relasi, misalnya pertemuan formal yang melibatkan pemerintahan desa dan tidak formal untuk membahas persoalan yang dihadapi para nelayan. Peta yang dihasilkan disosialisasikan kepada masyarakat se tempat dan kepada masyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat di luar Pulau Pahawang, unsur pemerintahan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung dan pihak keamanan (TNI Angkatan Laut), serta pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti nelayan- nelayan tradisional di Teluk Lampung dan perusahaan. Sosialisasi ini terutama berkaitan dengan pengakuan atas hak wilayah tangkap nelayan tradisional. Upaya sosialisasi ke luar dengan mengadakan pertemuan nelayan se-Teluk Lampung di Pulau Pahawang. Pertemuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan hasil pemetaan wilayah sumberdaya alam agar diperoleh kesepakatan bersama mengenai wilayah tangkap nelayan tradisional yang ada dalam wilayah desa. Pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan juga dilakukan da n sebagai dasar untuk memperjuangkan hak-hak nelayan tradisional kepada pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Bentuk lainnya adalah mengikuti pameran, festival Krakatau di Lampung, menjadi peserta perwakilan dari LSM dalam pameran Bakosurtanal di Jakarta. Pengorganisasian dalam Pelestarian Hutan Mangrove Pemetaan partisipatif selain sebagai landasan untuk membuka sudut pandang masyarakat setempat terhadap permasalahan yang mereka hadapi, juga sebagai alat pengorganisasian untuk melindungi dan mengelo la mangrove. Karena dengan pemetaan partisipatif dapat dihasilkan informasi dan gambaran tentang berbagai permasalahan tentang mangrove, maka yang perlu dilakukan kemudian adalah menjaga dan melindunginya dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu cara adalah dengan mengorganisirnya dalam suatu kelompok. Untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan mangrove dibentuklah Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Melalui Surat Keputusan Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 Kepala Desa Pulau Pahawang mensahkan pembentukan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Sebagai organisasi desa yang bersifat otonom 98
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
BPDPM berfungsi melakukan pengawasan terhadap hutan mangrove yang ada di Desa Pulau Pahwang. Kerja-kerja organisasi ini meliputi perencanaan dan penyusunan program kerja, membuat aturan-aturan dalam perlindungan mangrove, pelatihan dan pendidikan, pembinaan dan melakukan pengawasan terhadap ancaman kelestarian dan kerusakan kawasan hutan mangrove. Sebagai sebuah organisasi yang diberikan otonomi untuk mengelola hutan mangrove, selain Kepala Desa sebagai pelindung dan seorang Ketua, juga memiliki empat divisi dalam struktur organisasinya, yaitu devisi administrasi dan keuangan, pengelolaan, hubungan masyarakat, dan pengawasan. Pelindung adalah yang berhak menerima segala pelaporan kerja dari BPDPM, merupakan pelindung tertinggi dalam organisasi dan bertanggungjawab atas keberhasilan organisasi. Ketua adalah koordinator tertinggi kelembagaan BPDPM yang tugasnya melakukan koordinasi dalam organisasi. Divisi Administrasi dan Keuangan mengelola keuangan, menangani surat menyurat, inventarisasi alat-alat (alat tulis kantor dan barang lainnya), serta melakukan inventarisasi dokumen-dokumen lembaga. Divisi Pengelolaan melakukan perencanaan dan pe laksanaan program kerja organisasi dan menetapkan aturan-aturan daerah perlindungan mangrove. Divisi Hubungan Masyarakat melakukan pembinaan pada masyarakat dan melakukan pelatihan dan pendidikan. Divisi Pengawasan melakukan pengawasan terhadap daerah perlindungan mangrove, mecegah terjadinya kerusakan daerah perlindungan mangrove dan menjaga kelestarian daerah perlindungan mangrove. Peta yang dihasilkan juga digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menjaga wilayah mereka. Peta tersebut juga disosialisasikan kepada publik yang lebih luas untuk mendapatkan dukungan serta menjadi faktor pendorong bagi kelompokkelompok yang melakukan kerja advokasi di tingkat nasional dan internasional. Berdasarkan peta tersebut, masyarakat setempat berhasil mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkan peraturan desa tentang perlindungan kawasan Hutan Mangrove (No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006). Peraturan ini memuat arti penting kawasan hutan mangrove sebagai sabuk hijau pada daerah pantai dan pulau-pulau kecil guna menghindari terjadinya pengikisan pantai, tempat perkembangan dan perlindungan berbagai biota dan satwa serta semakin besarnya kerusakan yang dapat mengancam keberadaan hutan mangrove. Penguatan Modal Sosial Dalam Pelestarian Hutan Mangrove Modal sosial yang sudah dibangun dalam memelihara hutan mangrove sudah cukup kuatn dan melembaga. Masyarakat sudah semakin sadar dan lingkungan hutan mangrove menjadi semakin lestari. Proses penyadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove sudah dilakukan sampai pada siswa Sekolah Dasar (SD). Suatu kasus terjadi salah seorang penduduk yang mencari cacing di wilayah tersebut dan diketahui oleh siswa SD, kemudian orang tersebut ditegur bahwa perbuatan itu dapat merusak lingkungan. Tanpa berkomentar akhirnya orang tersebut pergi dan merasa malu telah ditegur oleh anak-anak. Penjelasan tersebut menunjukkan telah terjadi pelembagaan pengetahuan lokal tentang pelestarian hutan mangrove. Dalam kaitan ini pengetahuan lokal berfungsi sebagai: (1) sarana untuk berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal; dan (2) dasar untuk melakukan kajian atau aksi bersama masyarakat yang tepat karena telah mempertimbangkan kendala dan potensi 99
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
pengalaman lokal. Hasilnya dapat memperkuat kelembagaan lokal dan menjadi alat kontrol yang efektif terhadap tindakan penyimpangan. Berkes (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal tentang ekologi sangat penting perananya dalam pelestarian hutan mangrove, dan dengan perananya itu dapat dilembagakan secara berkalanjutan antar generasi. Terdapat tiga kekuatan utama sistem pengetahuan lokal, yaitu: (1) kepentingan pribadi, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting dalam upaya konservasi, karena kekuatannya yang datang dari ―dalam‖ dan bukan dari luar; (2) sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi masyarakat lokal yang telah berlangsung lama; dan (3) pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu merumuskan upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang efekt if, karena dukungan masyarakat lokal, tingkat adaptasi dan mempertimbangkan tingkat kepraktisannya yang tinggi. Pengetahuan lokal tersebut sangat erat hubungannya dengan aspek tatakelola sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu pengetahuan ekologi lokal. Pengetahuan ekologi lokal ini terdiri dari: (1) pengetahuan yang bersifat praktis tentang alam yang dihadapi masyarakat lokal; dan (2) mengetahuan supranatural yang menyangkut nilai- nilai kultural atau dunia subyektif, yang seringkali nilainilai ini mempengaruhi atau menyesuaikan keinginan-keinginan orang-orang atas sesuatu. Ini dapat diamati dari pengetahuan penjelasan, misalnya penjelasanpenjelasan yang berkaitan dengan proses ekologi, dan dari pengetahuan penggambaran, misalnya gambaran tentang ragam komponen tentang ekosistem, apa bentuknya, bagaimana jumlah dan persebarannya. Sedangkan pengetahuan supranatural dapat diamati dengan memperhatikan bentuk-bentuk dasar aturanaturan, norma-norma, nilai- nilai yang dihasilkan oleh budaya, agama dan moral. Nilai-nilai sosiokultural juga penting karena keberadaannya seringkali sangat mempengaruhi keputusan masyarakat lokal untuk bertindak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan. Pada sisi lain, peranan pengetahuan lokal akan menjadi semakin menurun ketika keberadaannya tidak mampu bersinergi dengan semakin kuat masuknya pengetahuan dan kepentingan supra lokal (pihak luar). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan, aturan main atau norma, atau dalam bentuknya yang formal berupa Peraturan Desa (Perdes) atau Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menjadi pegangan tindakan bersama di antara semua pihak dengan beragam kepentingan guna menopang tata-kelola sumberdaya alam dan lingkungan yang baik dan efektif. Jika semua itu belum dapat terumuskan dengan memadai, dan belum ada sinergitas antara masyarakat, pemerintah daerah dan dunia usaha, maka selama itu pula berbagai persoalan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan semakin menguat. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keberhasilan dalam pelembagaan pelestarian hutan mangrove karena kuatnya modah sosial, terutama tentang trust, jaringan, dan norma sosial. Di dalam memperkuat modal sosial, pertama adalah tingkat kepercayaan di dalam kelompok. Pertama, kepercayaan dalam arti confidence berada pada ranah psikologis yang akan mendorong seseorang dalam mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima. Kedua, kerja sama yang menempatkan trust sebagai dasar hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga. Ketiga, penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust 100
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Keempat, ketertiban dimana trust sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan sosial. Kelima, memelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan. Keenam, trust sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien (Dharmawan 2002a; 2002b). Kedua adalah jaringan sosial dan karakteristiknya. Menurut Stone dan Hughes (2002), jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan pada keluarga, pertemanan, pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan masyarakat setempat. Sementara itu, karakteristik jaringan sosial (network characteristics) dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu : bentuk dan luas (size and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density and closure), dan keragaman (diversity). Ketiga adalah norma sosial. Fedderke et al.(1999) menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma- norma berupa aturan-aturan informal dan nilai- nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama. Fukuyama (2001) norma- norma sosial yang menjadi komponen modal sosial misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Norma-norma sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain Kehidupan masyarakat di desa pulau Pahawang semakin menyadari sangat tergantung pada sumberdaya alam yang tersedia disekitarnya, termasuk hutan mangrove. Sistem kelembagan lokal yang di dalamnya mengandung local knowledge atau indigeous knowledge dan kelembagaan lokal (local institution), terdapat pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang digunakan untuk menata dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Kelembagaan lokal pada pengertian yang dikembangkan dan ditransmisikan oleh warga masyarakat setempat, dalam waktu lama, untuk melestarikan hutan mangrove dan lingkungan sosioekonominya bersifat dinamis dan berubah sepanjang waktu. Perubahan dan perkembangannya bisa berasal dari dalam masyarakat sendiri sebagai bagian dari proses adaptasi dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan bisa juga berasal dari proses-proses interaksi dengan pihak luar melalui program-program atau tindakan intervensi. Dalam keadaan dimana terjadi perubahan aspek lingkungan yang lebih luas, masyarakat lokal secara individual mencoba menerapkan inovasi- inovasi baru, untuk menciptakan dan membangun cara-cara mereka sendiri dalam melestarikan hutan mangrove. Oleh karena itu, lahir sistem 101
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
kelembagaan yang selalu diperbaharui sebagai perwujudan kedinamisan dari pengetahuan dan daya adaptasi untuk melestarikan hutan mangrove. Kelembagaan lokal selalu mengalami perubahan, yakni berhubungan dengan proses konstruksi dan rekonstruksi secara terus menerus oleh para anggota masyarakat setempat. Memperhatikan pernah terjadi konflik dalam penguasaan lahan, juga menunjukkan bahwa keberlanjutan pelertarian hutan mangrove tidak dapat dipisahkan dari kebijakan dan program pembangunan yang berkaitan dengan sistem tata-kelola pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pantai. Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir terletak pada pemanfaatan ruang yang dibiarkan masuk pada persoalan ekonomi-politik, sehingga semakin terjebak pada persoalan struktural. Sesuai dengan amanah Undang-undang, maka tatakelola ruang wilayah pesisir yang baik dan berkelanjutan sudah waktunya jika diarahkan dengan menggunakan pendekatan kebijakan yang partisipatif. Pendekatan kebijakan menggunakan sistem tata-kelola lingkungan bermitra merupakan pendekatan yang sangat relevan pada saat ini dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan ini lebih mengedepankan pada proses bottom-up daripada top dawn dengan menghargai partisipasi masyarakat lokal dan menegosiasikan kepentingan multistakeholders dalam konteks kemitraan-partisipatif. Untuk mewujudkan kebijakan dengan pendekatan tersebut perlu didukung oleh penguatan dan pengembangan kelembagaan dan partisipasi aktif masyarakat lokal. KESIMPULAN Upaya untuk melestarikan hutan mangrove berhubungan dengan penguatan modal sosial. Proses penguatan jaringan, kepercayaa n, nilai-nilai dan normanorma sosial, baik dalam jaringan horizontal vertikal lebih banyak dibina, dibimbing secara teknis dan didampingi oleh Lembaga swadaya Masyarakat. Proses penguatan modal sosial bukan hanya memperkuat jaringan internal, tetapi juga dengan memperkuat jaringan eksternal, terutama dengan berbagai pihak yang memiliki kekuatan (power) baik secara personal maupun kelembagaan. Modal sosial telah meningkatkan derajat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya melestarikan hutan mangrove. Kesadaran tersebut menjadi faktor pendorong dalam pelembagaan nilai- nilai dan norma-norma pada semua lapisan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian hutan mangrove. Semua itu sebagai wujud tumbuhnya pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan lokal (indigeous knowledge) tentang pentingnya kelestarian lingkungan, dan kelembagaan lokal (local institution) dalam menjaga kelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Stake, Robert E. 2000. Case Studies dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (editor‘s): Handbook of Qualitative Research. London, United Kingdon: Sage Publication, Inc. Pemerintah Kabupaten Pesawaran. 2009. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pesawaran Tahun 2010-2029. SKPD Kabupaten Pesawaran. 102
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Berkes, F. et.al. 1995. Tradisional Ecological Knowledge, Biodiversity, Resilience and Sustainability, in Perrings, C.A. et. al. (eds.) 1995. Biodiversity Conservation. The Netherland: Kluwer Academic. Dharmawan, A.H. 2002a. Kemiskinan Trust dan Stok Modal Sosial Masyarakat Indonesia Baru. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Kongres Nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia. Bogor. 27-29 Agustus 2002. Dharmawan AH. 2002b. Kemiskinan Kepercayaan (Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial. Perluasan dari makalah atas topic yang sama yang diajukan dalam Seminar dan Kongres Nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia. Bogor. 27-29 Agustus 2002. Fedderke, J., et al. 1999. Economic Growth and Social Capital : A critical Reflection. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Fukuyama, F. 2001. Social Capital, Civil Society, and Development. Third Word Quarterly. Stone, W., Hughes, J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and Measurement Validity. Research Paper No. 27, June 2002. Australian Institute of Family Studies.
103