PENGUASAAN DOKUMEN DAN PENGIKATAN AGUNAN DENGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PEMBERIAN KREDIT EXPLOITASI
Sunardi Edirianto, SE ABSTRAKSI Dunia perbankan pada saat ini sangat erat kaitannya dengan perekonomian masyarakat, terlebih lagi bagi masyarakat yang sedang membangun. Perbankan memiliki peran strategis karena fungsi utama bank merupakan wahana yang dapat menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Perbankan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 . Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan ini berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari pemberian kredit tersebut Masalah paling besar yang mungkin timbul dalam pemberian kredit ini dialami oleh semua bank di Indonesia tanpa kecuali adalah Penyelesaian kredit macet yang terjadi pada Bank, sehingga dalam kredit diperlukan adanya suatu jaminan. Untuk itulah dalam penyunusan tesis ini penulis mengambil judul “Penguasaan Dokumen Dan
Pengikatan Agunan Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit Exploitasi” Kemudian dari judul tersebut pokok permasalahan yang penulis kemukakan adalah Mengapa dalam pemberian Kredit Eksploitasi menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai Pengikatan Jaminan Kredit; Bagaimana Prosedur Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi; Kendala-kendala apakah yang timbul dari adanya Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi Dari pokok permasalah tersebut kemudian penulis akan melakukan penelitian/pembahasan mengenai alasan-alasan apa yang dapat dikemukan berkaitan dengan pemberian Kredit Exploitasi dengan mengunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai Pengikatan Jaminan Kredit; bagaimana prosedur Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi; Kendala-kendala yang timbul dari adanya Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi. Dan akhirnya didapat kesimpulan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pokok permasahan tersebut adalah Agunan yaitu hak dan kekuasaan atas barang yang 1
diserahkan oleh debitur dan atau pihak ketiga sebagai pemilik agunan kepada bank guna menjamin pelunasan hutang debitur, apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau addendumnya. Barang agunan berupa barang tidak bergerak adalah dengan cara menguasai dokumen/ buktibukti pemilikan yang sah dari barang tersebut Kata kunci : Penguasaan Dokumen, SKMHT, Kredit Expolitasi
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Pemberian kredit merupakan fungsi strategis yang dimiliki bank dan fungsi ini pula yang sering kali menjadi penyebab bangkrutnya suatu bank. Krisis perbankan yang melanda Asia pada medio 1997 mengingatkan kita tentang hal tersebut. Pemberian kredit memang merupakan kegiatan yang berisiko tinggi, bank harus mampu menganalis dan memprediksi suatu permohonan kredit untuk dapat meminimalkan risiko yang terkandung di dalam penyaluran kredit tersebut. Informasi mengenai calon nasabah debitur merupakan salah satu faktor krusial dalam menentukan tingkat risiko yang akan dihadapi bank. Penentuan eligible atau bankable tidaknya seseorang atau suatu perusahaan tergantung seberapa banyak informasi akurat yang dimiliki bank tentang calon debitur. Secara klasik, bank menggunakan pendekatan 5C untuk menilai calon nasabah debitur. Pendekatan dalam pemberian kredit ini telah digunakan sejak lama dan masih terus dipergunakan sampai saat ini, hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang dikandungnya masih relevan dengan 2
kondisi sekarang. Five C’s of credit, digunakan untuk menilai character, capacity, capital, conditions dan collateral nasabah debitur. Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupa kan salah satu upaya untuk mewujudkan rakyat yang adil dan makmur. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam jumlah yang besar, hal ini berakibat meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat
pentingnya
dana
perkreditan
tersebut
dalam
proses
pembangunan, sudah semestinya pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam Pasal 51 UU No. 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yaitu Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti hypotheek dan credietverband. Selama 30 (tiga puluh) tahun lebih sejak mulai berlakunya UUPA, lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya Undang-undang yang mengatur secara lengkap. Selama kurun waktu tersebut berlangsung Ketentuan Peralihan yaitu Pasal 57 UUPA, masih diberlakukan ketentuan hypotheek sebagaimana
3
diatur dalam buku II KUHperdata, dan ketentuan credietverband dalam Stb. 1908 No. 542 yang telah diubah dengan Stb. 1937 No.190. Ketentuan-ketentuan tersebut berasal dari zaman kolonial Belanda yang didasarkan pada hukum tanah adat yang berlaku, sebelum adanya hukum tanah Nasional. Dalam kenyataannya ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Pada Tanggal 9 April 1996 telah diundangkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) sebagai perwujudan dari ketentuan Pasal 51 UUPA tersebut di atas. Diberlakukannya undang-undang ini sangat berarti dalam menciptakan unifikasi hukum Tanah Nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah. Dalam praktek pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini, telah terjadi hal-hal yang tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktek yang seolah-olah melembagakan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH). UU No 4 tahun 1999 tentang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat didalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu, diantaranya mengenai kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang isinya serta syarat berlakunya, berbeda dengan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH). UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat, diantaranya mengenai
4
kedudukan SKMHT, dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT atau notaris, Pasal 15 ayat (1) UU No 4 Tahun 1996 memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan SKMHT. Pembuatan SKMHT juga dimungkinkan dalam hal hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan belum mempunyai sertifikat, dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) debitur penerima kredit memberikan jaminan berupa rumah dan tanah yang dibeli dari fasilitas kredit bank tersebut. Pihak bank pemberi kredit biasanya hanya sebagai pemegang SKMHT saja, karena sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan belum dilakukan secara individual. Dari uraian tersebut diatas, maka judul yang dikemuakan adalah “Penguasaan Dokumen Dan Pengikatan Agunan Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit Exploitasi”
B.
PERUMUSAN MASALAH Objek Penelitian yang berkaitan dengan Latar belakang Permasalahan tersebut diatas terlalu luas, maka penulis membatasi pembahasan Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa yang merupakan Pengamanann dalam pemberian Kredit khususnya Kredit Exploitasi dan untuk mempermudah dalam pembahasan tesis yang berjudul, “Penguasaan Dokumen Dan Pengikatan Agunan Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit Exploitasi” rumusan masalah yang dikemukan sebagai berikut :
5
1.
Mengapa dalam pemberian Kredit Eksploitasi menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai Pengikatan Jaminan Kredit
2.
Bagaimana Prosedur Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi ?
3.
Kendala-kendala apakah yang timbul dari adanya Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit Exploitasi ?
6
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN TENTANG PENGUASAAN DOKUMEN DAN PENGIKATAN AGUNAN DENGAN SKMHT DALAM PEMBERIAN KREDIT EXPLOITASI
A.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN MENGENAI PEMBERIAN KREDIT EXPLOITASI Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan mengenai permasalahan tersebut diatas maka dapat disajikan hasil penelitian sebagai berikut; Kredit Eksploitasi adalah kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga dapat berjalan dengan lancar. Kredit eksploitasi ini lazim disebut kredit modal kerja karena bantuan modal kerja digunakan untuk menutup biaya-biaya eksploitasi perusahaan secara luas. Kredit ini berupa pembelian bahan baku, bahan penolong, dan biaya-biaya produksi lainnya seperti upah buruh, biaya pengepakan, distribusi, dan sebagainya. Tujuan kredit ini untuk meningkatkan produksi, baik peningkatan kuantitatif maupun kualitatif. Penggolongan kredit jangka pendek untuk modal kerja dibagi dalam 6 golongan, yaitu: 7
1.
Golongan I dengan suku bunga 9% setahun adalah kredit modal kerja untuk pengadaan dan penyaluran beras/gabah/padi dan jagung oleh BUUD/KUD.
2.
Golongan II dengan suku bunga 12% setahun adalah sebagai berikut: a.
Kredit untuk penanaman padi dan palawija dalam rangka Bimas dan Inmas.
b.
Kredit pengumpulan dan penyaluran garam rakyat oleh BUUD/KUD dan PN Garam serta kredit modal kerja PN Garam.
c.
Kredit modal kerja pabrik terigu.
d.
Kredit ekspor dan produsen eksportir.
e.
Kredit produksi, impor, dan penyaluran pupuk dan obat hama.
f.
Kredit impor dan penyaluran barang-barang di luar pangan dalam rangka bantuan luar negeri.
g.
Kredit modal kerja untuk pengumpulan dan penyaluran hasil pertanian, peternakan, dan perikanan oleh BUUD/KUD dan koperasi.
h.
Kredit modal kerja untuk usaha pertanian rakyat dan kerajinan rakyat.
i.
Kredit modal kerja untuk pemeliharaan ternak unggas dan perikanan rakyat.
3.
Golongan III. dengan suku bunga 13,5% setahun adalah: a.
Kredit modal kerja untuk industri dan jasa-jasa. 1)
penggilingan padi/huler
8
2)
gula
3)
minyak kelapa
4)
tekstil
5)
alat-alat pertanian
6)
kertas
7)
semen
8)
pengangkutan umum
9)
percetakan dan penerbitan
10)
pariwisata
b.
Kredit modal kerja untuk produksi lainnya.
c.
Kredit impor dan penyaluran barang-barang yang diawasi.
d.
Kredit untuk pembiayaan persediaan gula.
e.
Kredit perdagangan dalam negeri termasuk antarpulau.
f.
Kredit modal kerja kontraktor untuk proyek-proyek DIK, INPRES yang dibiayai dengan anggaran pemerintah daerah serta perumahan sederhana.
4.
Golongan IV dengan suku bunga 15% setahun, adalah kredit modal kerja untuk kontraktor lainnya yang tidak termasuk dalam butir (3f) di atas.
5.
Golongan V dengan suku bunga 18% setahun, adalah untuk kredit impor dan penyaluran barang-barang impor yang tidak termasuk dalam butir (2e), (2f), dan (3c).
6.
Golongan VI dengan suku bunga 21% setahun, adalah untuk kredit impor dan penyaluran barang-barang impor yang tidak termasuk dalam angka
9
(1) sampai dengan (5). Kemudian ketrekaitannya dengan Agunan bahwa dalam pemberian kredit exploitasi yang mengunakan SKMHT sebagai jamainan dapat diberikan datadata sebagai berikut : 1.
Agunan adalah hak dan kekuasaan atas barang yang diserahkan oleh debitur dan atau pihak ketiga sebagai pemilik agunan kepada bank guna menjamin pelunasan hutang debitur, apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau addendumnya. Suatu barang yang dapat dijadikan agunan kredit harus memenuhi kriteria sbb : a.
Mempunyai nilai yuridis dalam arti dapat diikat secara sempurna berdasarkan ketentuan dan perundang undangan yang berlaku sehingga kreditur memiliki hak yang didahulukan (preferen) terhadap hasil likuidasi barang tersebut.
b.
Mempunyai nilai ekonomis dalam arti dapat dimiliki dengan uang dan dapat di jadikan uang.
c.
Dapat dipindahtangankan kepemilikannya dari pemilik semula kepada pihak lain (Marketable, Executer Baar)
2.
Untuk mengcover risiko kerugian atas penyaluran dana kredit dimaksud, bank menggunakan salah satu alternatif untuk pengamanannya dengan menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai pengikatan jaminan kredit dalam pemberian kredit eksploitasi, yaitu untuk mengantisipasi secara dini. Dan sekaligus untuk memudahkan
10
pihak bank apabila debitur atau pemilik agunan tersebut tidak dapat hadir dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pengikatan Hak Tanggungan (APHT). Namun demikian beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam SKMHT adalah sebagai berikut : a.
Wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta PPAT
b.
Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
c.
Tidak memuat kuasa subtitusi;
d.
Berlaku selama 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar dan selama 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar.
e.
Untuk kredit-kredit tertentu, jangka waktu berlakunya SKMHT adalah sampai dengan saat berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kreditnya atau 3 (tiga) bilan setelah keluarnya sertifikat tanah yang dipergunakan untuk menjamin kredit tersebut, tergantung dari macam kreditnya (Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 4 Th 1996 tanggal 8 Mei 1996)
B.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN TENTANG PROSEDUR PENGUASAAN DOKUMEN DAN PENGIKATAN AGUNAN DENGAN SKMHT DALAM PEMBERIAN KREDIT EXPLOITASI Dari hasil penelitian dan pembahasan pokok permasalahan yang kedua yaitu tentang prosedur penguasaan dokument dan Pengiktan Agunan dengan
11
SKMHT dalam pemebrian kredit Exploitasi maka dapat disajikan data-data hasil penelelitian sebagai berikut : prosedur dari penguasaan dokumen dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatiakan oleh perbankan mengenai Dokumen sebelum diberikan fasilitas kredit prosedur atau hal-hal yang diperhatikan oleh perbankan adalah sebagai berikut :
1.
Barang agunan berupa barang tidak bergerak adalah dengan cara menguasai dokumen/bukti-bukti pemilikan yang sah dari barang tersebut.
2.
Barang agunan berupa barang bergerak, barang agunan debitur harus dikuasai oleh bank secara fisik berikut dokumen-dokumen/bukti-bukti pemilikannya. Jika penguasaan secara fisik dapat
mengganggu
kelancaran usaha debitur dan bank, maka minimum bank harus menguasai dokumen-dokumen/bukti-bukti pemilikan yang asli (antara lain bilyet deposito, Saham Perusahaan, Surat Berharga) atas agunan tersebut. 3.
Dokumen-dokumen/bukti-bukti agunan yang harus dikuasai bank secara umum adalah sbb : a.
Sertifikat hak dan BPKB, apabila agunan berupa alat-alat berat yang memerlukan pendaftaran.
b.
Sertifikat tanah, apabila agunan berupa tanah
c.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), apabila agunan berupa bangunan/rumah. Bagi daerah yang belum mewajibkan adanya IMB, harus dilengkapi dengan surat pernyataan dari Pemda
12
(minimal camat) atau Dinas Tata Kota setempat bahwa di lokasi agunan tidak/belum diwajibkan adanya IMB. d.
Surat Kuasa Notariil dari Pemilik Kepada Debitur ataupun langsung kepada Bank apabila barang-barang jaminan yang bersangkutan bukan milik debitur. Untuk daerah yang tidak terdapat Notaris, Camat atau PPAT, maka Surat Kuasa harus ditandasahkan (dilegisasi) oleh Pejabat yang berwenang.
e.
Invoice atas barang-barang yang dijaminkan apabila barangbarang yang dijaminkan tersebut adalah mesin-mesin/ Peralatan pabrik.
f.
Bukti Pendaftaran Kapal Laut yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
g.
Bukti pendaftaran pesawat terbang yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
4.
Untuk keperluan administrasi dan Pengawasan barang-barang agunan yang dikuasai Bank harus melaksanakan ketentuan, sbb : a.
Terhadap dokumen atau surat-surat pemilikan dan kuasa yang diterima dari debitur dibuatkan surat tanda terima rangkap dua bermaterai cukup, yaitu asli membentuk debitur dan copy untuk Bank. Tanda terima tersebut ditanda tangani oleh pejabat kredit, disimpan
dalam
Folder
Legal
Dokumen
debitur
yang
bersangkutan. a.
Dokumen/ surat pemilikan asli dan akta pengikatan asli harus
13
disimpan dan dikelola oleh Credit Operation Unit. b.
Perlu diperhatikan masa berlakunya ijin-ijin dan sertifikat pemilikan penggunaan tanah/ bangunan : 1)
IMB (Ijin Mendirikan Bangunan)
2)
HGU (Hak Guna Usaha)
3)
HGB (Hak Guna Bangunan)
4)
Sertifikat Hak Pakai
5)
Ijin-ijin dan sertifikat lain yang telah habis masa berlakunya harus segera diperpanjang
6)
Kewajiban untuk membayar PBB atas barang-barang tidak bergerak yang dijaminkan kepada Bank
Hasil penilaian/evaluasi tersebut berpengaruh pada performance bank, yaitu pada pemberian ijin pembukaan cabang baru bank atau perluasan bank melalui merger dan akuisisi. Dalam hal ini, bank tidak diijinkan untuk membuka cabang baru atau melakukan merger dan akuisisi apabila evaluasi atas pelaksanaan ketentuan CRA dinilai jelek (needs to improve atau substantial noncompliance). Dalam mengimplementasikan CRA tersebut dibentuklah suatu lembaga yang secara konsisten memasyarakatkan aturan CRA yaitu The Consumer Compliance Task Force of the Federal Financial Institution Exami nation Council (FFEIC). Lembaga ini bertugas membantu memfasilitasi lembaga penyimpanan dengan masyarakat yang membutuhkan pembiayaan (debitur) dengan cara menerbitkan secara periodic informasi-informasi berkenaan dengan pertanyaan masyarakat tentang CRA, prosedur pelaksanaan
14
dan memberikan panduan keseragaman reporting data. Bagi bank, kredit merupa kan sumber pendapatan utama sekaligus menjadi sumber masalah karena akan menentukan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Dengan adanya kredit bermasalah maka : (i) dapat mengurangi rentabilitas (pendapatan), (ii) terganggunya cash-flow bank (likuiditas menurun), dan (iii) memerlukan biaya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang lebih besar karena modal bank menurun (CAR menurun). Salah satu cara untuk mengantisipasi risiko kegagalan kredit tersebut, bank membutuhkan lembaga yang dapat memberikan jaminan pelunasan kredit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha kecil di Indonesia belum banking minded sehingga kalangan ini sulit mengakses dana dari industri perbankan melalui pemberian kredit dalam meningkatkan volume kegiatan usaha. Dilain pihak, perbankan juga tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan atas kebijakannya yang kurang memberikan perhatian kepada pengusaha kecil (mikro) dalam penyaluran kreditnya. Hal ini mengingat kebijakan bank dalam perkreditan wajib mengikuti prosedur pemberian kredit yang sudah baku. Bahkan seringkali kebijakan tersebut oleh bankers diterjemahkan secara “kaku” seperti keharusan persyaratan dokumentasi permohonan kredit yang sempurna. Persyaratan dokumentasi yang formalistik ini akan sulit dipenuhi oleh pengusaha kecil antara lain karena kemampuan sumber daya manusia yang relative rendah, biaya pengurusan perizinan cukup tinggi, dan pajak atau retribusi yang akan membebaninya jika telah menjadi usaha yamg formal. Dalam tataran operasional, perlunya jaminan bagi pengusaha kecil dan
15
menengah karena sulitnya menerapkan prinsip 5C dalam analisis pemberian kredit bagi mereka sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang Perbankan. Prinsip 5C dalam Bank Indonesia, Direktorat Luar Negeri, “Kajian Berbagai Upaya Yang Dapat Dilakukan Bank Indonesia Untuk Menarik Devisa Hasil Ekspor Dari Luar Negeri. Pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi 5 asas, yaitu: 1.
Character (watak);
2.
Capacity (Kemampuan);
3.
Capital (Modal);
4.
Conditions; dan
5.
Collateral (Jaminan). Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang, ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman.
16
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). Di Indonesia informasi tersebut dapat diperoleh melalui system informasi kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi itu seringkali tidak akurat. Kondisi seperti ini lebih parah bila menyangkut informasi mengenai pengusaha kecil.
C.
KENDALA-KENDALA YANG TIMBUL DARI ADANYA PENGUASAAN DOKUMEN DAN PENGIKATAN AGUNAN DENGAN SKMHT DALAM PEMBERIAN KREDIT EXPLOITASI Dari data-data dilapangan didapatkan hasil penelitian bahwa kendalakendala yang timbul dari adanya penguasaan dokumen dan pengikatan Agunan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangungan dalam Pemberian kredit Eksploitasi terdapat kendala-kendala sebagai berikut : : 1.
Bilamana barang agunan disita, maka SKMHT tersebut tidak dapat ditingkatkan menjadi Hak Tanggungan.
2.
Apabila SKMHT akan ditingkatkan menjadi Hak Tanggungan pada saat kredit sudah macet, maka akan menimbulkan kesulitan dalam pembebanan biaya pembebanan Hak Tanggungan.
17
3.
Dalam hubungannya dengan pemberian kuasa, apabila pemberi kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan ini meninggal dunia/ pailit maka SKMHT menjadi batal.
4.
SKMHT tidak mempunyai hak preferent dan tidak dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengajukan bantuan (derden verzet) bila obyek agunan kredit tersebut disita.
5.
Ketentuan dalam undang-undang Hak Tanggungan menetapkan tentang jangka waktu berlakunya SKMHT, yaitu : a.
Untuk tanah yang sudah bersertifikat adalah 1 (satu) bulan; dan
b.
Untuk tanah yang belum bersertifikat adalah 3 (tiga) bulan.
Terhitung sejak tanggal pemberian kuasa (yaitu tanggal pembuatan SKMHT). Jika selewatnya jangka waktu tersebut bank belum meningkatkannya menjadi Hak Tanggungan maka SKMHT tersebut gugur demi hukum.
18
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari Penjelasan tersebut diatas didapat beberapa data penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Dalam pemberian Kredit Eksploitasi menggunakan Pengikatan Agunan dengan SKMHT sebagai sarana Pengikatan jaminan Kredit, hal-hal yang perlu atau harus diperhatikan oleh perbankan mengenai Agunan adalah sebagai berikut : a.
Agunan adalah hak dan kekuasaan atas barang yang diserahkan oleh debitur dan atau pihak ketiga sebagai pemilik agunan kepada bank guna menjamin pelunasan hutang debitur, apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau addendumnya. Suatu barang yang dapat dijadikan agunan kredit harus memenuhi
19
kriteria sbb : 1)
Mempunyai nilai yuridis dalam arti dapat diikat secara sempurna
berdasarkan
ketentuan
dan
perundang
undangan yang berlaku sehingga kreditur memiliki hak yang didahulukan (preferen) terhadap hasil pelelangan barang tersebut.
2)
Mempunyai nilai ekonomis dalam arti dapat dinilai dengan uang dan dapat di jadikan uang.
3)
Dapat dipindah tangankan kepemilikannya dari pemilik semula kepada pihak lain (Marketable, Executerboar)
b.
Untuk mengcover risiko kerugian atas penyaluran dana kredit dimaksud, bank menggunakan salah satu alternatif untuk pengamanannya
dengan
menggunakan
Surat
Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan sebagai pengikatan jaminan kredit
dalam
pemberian
kredit
eksploitasi,
yaitu
untuk
mengantisipasi secara dini. Dan sekaligus untuk memudahkan pihak bank apabila debitur atau pihak pemilik agunan tersebut tidak dapat hadir dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pengikatan
Hak
Tanggungan
(APHT).
Namun
demikian
beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam SKMHT adalah sebagai berikut :
20
1)
Wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT
2)
Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
3)
Tidak memuat kuasa subtitusi;
4)
Berlaku selama 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar dan selama 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar.
5)
Untuk kredit-kredit tertentu, jangka waktu berlakunya SKMHT
adalah
sampai
dengan
saat
berakhirnya
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kreditnya atau sampai 3 (tiga) bulan setelah keluarnya sertifikat tanah yang dipergunakan untuk menjamin kredit tersebut, tergantung dari macam kreditnya (Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 4 Th 1996 tanggal 8 Mei 1996)
2.
Adapun Prosedur dari Penguasaan dokumen dan pengikatan Agunan dengan SKMHT dalam pemberian Kredit Eksploitasi. Adalah sebagai berikut : a.
Barang agunan berupa barang tidak bergerak adalah dengan cara menguasai dokumen/ bukti-bukti pemilikan yang sah dari barang tersebut.
b.
Barang agunan berupa barang bergerak, barang agunan debitur
21
harus dikuasai oleh bank secara fisik berikut dokumen-dokumen/ bukti-bukti pemilikannya. Jika penguasaan secara fisik dapat mengganggu kelancaran usaha debitur dan bank, maka minimum bank harus menguasai dokumen-dokumen/ bukti-bukti pemilikan yang asli (antara lain Bilyet Deposito, Saham Perusahaan, Surat Berharga) atas agunan tersebut.
c.
Dokumen-dokumen/ bukti-bukti agunan yang harus dikuasai bank secara umum adalah sbb : 1)
Sertifikat hak dan BPKP, apabila agunan berupa alat-alat berat yang memerlukan pendaftaran.
2)
Sertifikat tanah, apabila agunan berupa tanah
3)
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), apabila agunan berupa bangunan/rumah. Bagi daerah yang belum mewajibkan adanya IMB, harus dilengkapi dengan surat pernyataan dari Pemda (minimal Camat) atau Dinas Tata Kota setempat bahwa di lokasi agunan tidak/ belum diwajibkan adanya IMB.
4)
Surat Kuasa Notariil dari pemilik kepada debitur ataupun langsung kepada Bank apabila barang-barang jaminan yang bersangkutan bukan milik debitur. Untuk daerah yang tidak terdapat Notaris, Camat atau PPAT, maka Surat Kuasa harus ditandasahkan (dilegalisasi) oleh
22
Pejabat yang berwenang. 5)
Invoice atas barang-barang yang dijaminkan apabila barang-barang yang dijaminkan tersebut adalah mesinmesin/ peralatan pabrik.
6)
Bukti pendaftaran kapal laut yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
7)
Bukti pendaftaran pesawat terbang yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
d.
Untuk keperluan administrasi dan pengawasan barang-barang agunan yang dikuasai, Bank harus melaksanakan ketentuan, sbb : 1)
Terhadap dokumen atau surat-surat pemilikan dan kuasa yang diterima dari debitur dibuatkan surat tanda terima rangkap dua bermaterai cukup, yaitu asli untuk debitur dan copy untuk Bank. Tanda terima tersebut ditanda tangani oleh pejabat kredit, disimpan dalam Folder Legal Dokumen debitur yang bersangkutan.
2)
Dokumen/surat pemilikan asli dan akta pengikatan asli harus disimpan dan dikelola oleh Credit Operation Unit.
3)
Perlu diperhatikan masa berlakunya ijin-ijin dan sertifikat pemilikan/penggunaan tanah/bangunan : a)
IMB (Ijin Mendirikan Bangunan)
b)
HGU (Hak Guna Usaha)
c)
HGB (Hak Guna Bangunan)
23
d)
Sertifikat Hak Pakai
e)
Ijin-ijin dan sertifikat lain yang telah habis masa berlakunya harus segera diperpanjang
f)
Kewajiban untuk membayar PBB atas barangbarang tidak bergerak yang dijaminkan kepada Bank
3.
Kendala-kendala yang timbul dari adanya Penguasaan Dokumen dan Pengikatan Agunan dengan SKMHT dalam pemberian kredit Exploitasi adalah sebagai berikut : a.
Bilamana barang agunan disita, maka SKMHT tersebut tidak dapat ditingkatkan menjadi Hak Tanggungan.
b.
Apabila SKMHT akan ditingkatkan menjadi Hak Tanggungan pada saat kredit sudah macet, maka akan menimbulkan kesulitan dalam pembebanan biaya pembebanan Hak Tanggungan.
c.
Dalam hubungannya dengan pemberian kuasa, apabila pemberi kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan ini meninggal dunia/pailit maka SKMHT menjadi batal.
d.
SKMHT tidak mempunyai hak preferent dan tidak dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengajukan bantuan (derden verzet) bila obyek agunan kredit tersebut disita.
e.
Ketentuan dalam undang-undang Hak Tanggungan menetapkan tentang jangka waktu berlakunya SKMHT, yaitu :
24
1)
Untuk tanah yang sudah bersertifikat adalah 1 (satu) bulan; dan
2)
Untuk tanah yang belum bersertifikat adalah 3 (tiga) bulan.`
Terhitung sejak tanggal pemberian kuasa (yaitu tanggal pembuatan SKMHT). Jika selewatnya jangka waktu tersebut bank belum meningkatkannya menjadi Hak Tanggungan maka SKMHT tersebut gugur demi hukum.
B.
Saran/Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas maka penulis memberikan saransaran atau rekomendasi sebagai berikut : 1.
Terhadap Bank dalam tindakan pengamanan fasilitas kredit yang disalurkannya dengan menggunakan sarana pengikatan jaminan berupa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), agar segera menindak lanjuti proses pengikatan agunan dimaksud dengan cara Akta Pengikatan Hak Tanggungan.
2.
Bank
seyogyanya
dapat
mempertimbangkan
dalam
pengikatan
agunan/jaminan kredit sebaiknya dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan Akta Pengikatan Hak Tanggungan (APHT). 3.
Peninjauan setempat (On the Spot Inspeetion) untuk memeriksa secara fisik barang-barang agunan berupa Stok dan Piutang dilakukan oleh Unit Bisnis atau Rekanan Bank. Sementara untuk barang agunan bukan
25
berupa Stok dan piutang dilakukan oleh Unit tersendiri atau pihak ketiga Rekanan Bank guna mengecek keadaan fisik dan keabsahan bukti kepemilikan secara obyektif atas barang-barang agunan yang dikuasai.
26