KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) SEBAGAI DASAR PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
THE STRENGTH OF LAW OF AUTHORIZATION LETTER OF CHARGING GUARANTEE RIGHT LOAD IN CREDIT TAXATION
Ferry Assaad, Anwar Borahima, Nurfaidah Said Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Ferry Assaad, S.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 082192257775 Email:
[email protected]
1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hukum dan perlindungan hukum bank selaku kreditor dalam menyalurkan kredit di dalam masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menelaah fakta-fakta yang didapat melaluiwawancara dan pengamatan di lapangan kemudian dikaji berdasarkan peraturan perundangan‐undangan yang terkaitmelalui teknik analisis secara deskriptif kualitatif terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan objek penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga belum sepenuhnya dapat dipergunakan sebagai dasar mengeksekusi jaminan dalam suatu perjanjian kredit. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini juga memiliki jangka waktu sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan pemberian Akta Pemberian Hak tanggungan sebelum jatuh tempo, karena konsekuensinya dapat mengakibatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini batal demi hukum yang mengakibatkan kreditor kehilangan kesempatan membebankan hak tanggungan kepada jaminan yang diberikan oleh debitor. Agar dapat dilakukan eksekusi terhadap jaminan untuk pengembalian kredit, maka Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan ini masih harus dilanjutkan dengan pemasangan Akta Pemberian Hak Tanggungan untuk selanjutnya Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial hingga dapat dijadikan sebagai dasar eksekusi bagi jaminan dengan kekuatan hukum yang tetap. Pembebanan ini harus segera dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah pada Kantor Badan Pertanahan dimana tanah jaminan tersebut berada agar kreditor mendapatkan kepastian hukum terhadap jaminan yang diterimanya. Kata Kunci : SKMHT, Hak Tanggungan
ABSTRACT The aim of the research was to aknowledge the law strentgh and law protection of bank as a creditor in delivering credits to the community. The research employed empirical approach conducted by studyng an analyzing fact collected from interviws, field observation and then studied according to related constitutional rules trough qualitative descriptive analysis technique. the result of the research indicated that letter of authorization of charging guarantee rights has a number of constraints which made it not completely employed as a base of executing guarantee in a credit agreement. This letter of authorization of charging guarantee also has a time limit, so that it should be immediately followed up with an issue of guarantee right charging before expire, the result may cause of the authorization letter postponed based on the law which caused the creditor loose his chance of charging guarantee rights of creditor. To enable the execution of guarantee to return the credit, the letter of authorization indicated shuld still be continued with the use of guarantee right charging certificate for which the National Land Board (BPN) will letter issue certificate of guarantee rights will executional power to be made as execution base for guarantee with fixed lega power. This charging should immediately be executed by the officer of land certificate maker in the office of Land Board from which the guarantee is situated so that the creditor can have legal assurance on the guarantee he received.
2
PENDAHULUAN Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber sumber lainnya.Berarti perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa (Subekti, 1985).Miru (2007) tidak ingin membedakan antara Hukum Perjanjian dan Hukum Kontrak. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam Burgerlijk Wetboek (BW) karena dalam Burgerlijk Wetboek (BW) hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undangundang. Unsur-unsur dalam suatu perjanjian sangatlah penting dan menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bahkan sangat mutlak keberadaanya dan apabila unsur-unsur ini tidak ada maka akan menyebabkan satu perjanjian itu batal demi hukum. Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yaitu : unsur esensialia, unsur naturalia, unsur aksidentalia (Mulyadi, 2003). Menurut Mariam Darus Badrulzaman (Badrulzaman, 2004), Bahwa perjanjian kredit bank ialah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang.Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan antara keduanya.Penyerahan uang bersifat riil, pada saat penyerahan uang dilakukan barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah pihak.Ketentuan yang berlaku dalam perjanjian kredit adalah ketentuan yang ditetapkan sendiri oleh para pihak dan ketentuan umum dalam Buku III KUHPerdata. Menurut Subekti, (2005) "Perkataan kredit berarti kepercayaan.Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank memang adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari bank."Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa: “Dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan terhadap debitor”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 8 tersebut ditegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka pihak bank sebelum memberikan kredit harus melakukan penilaian yang seksama
3
terhadap: Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan), Condition of economy (prospek perusahaan dari nasabah) Perjanjian yang merupakan perikatan antara kreditor dengan dibitor atau pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang timbul dari pemberian kredit.Sifat perjanjian jaminan ini lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian perjanjian pokok.(Sofwan, 1980).Tanah merupakan jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan untuk fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya mudah dijual (marketable), harganya terus meningkat, mempunya tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani dengan hak tanggungan yang memberikan hak istimewa pada kreditor (Perangin, 1991) Jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditor, maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitor, sehingga kreditor yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada kreditor kreditor lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan perlindungan kepada kreditor dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi pemegangnya.Sehingga bank selalu meminta jaminan khusus tersebut pada setiap pemberian kredit. (Bahsan, 2010) Mariam
Darus
Badrulzaman
dalam
buku
Tan
Kamelo
(Kamelo,2006)
mengemukakan sejumlah asas asas hukum jaminan yang objeknya benda adalah Pertama, asas hak kebendaan (real right), Kedua, asas asesor, Ketiga, hak yang didahulukan, Keempat, objeknya adalah benda yang tidak bergerak, Kelima, asas asesi, Keenam, asas pemisahan horisontal, Ketujuh, asas terbuka, Kedelapan, asas spesifikasi / pertelaan, Kesembilan, asas mudah dieksekusi.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai dasar pembebanan hak tanggungan dalam perjanjian kredit serta untuk mengetahui faktor faktor yang menjadi kendala dalam mendaftarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai dasar pembebanan hak tanggungan dalam perjanjian kredit.
4
METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yang menekankan pada penelitian dari hasil kajian pustaka serta realitas sosial yang merupakan penampilan dari argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil berdasarkan kajian pustaka dan hasil persepsi penulis mengenai suatu masalah yang dikaitkan dengan kenyataan yang ada terkait dengan perjanjian kredit yang menggunakan jaminan pada khususnya, artinya fakta-fakta di lapangan dikaitkan dengan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan demi memperoleh data sekunder. Metode Pendekatan/Spesifikasi Penelitian Tipe penelitian ini adalah Tipe Empiris. Penelitian ini mengkaji dasar-dasar teori hukum yang ada dan bahan hukum (perundang-undangan) dalam memecahkan permasalahan penelitian yakni kekuatan hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan dalam perjanjian kredit untuk selanjutnya dihubungkan dengan keadaan di lapangan. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sidenreng Rappang, hal ini disebabkan oleh karena di Kabupaten Sidenreng Rappang salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan yang proses pendaftaran SKMHT terdapat keterlambatan. Di kabupaten ini juga telah terdapat bank baik swasta maupun pemerintah yang dapat mendukung objek penelitian penulis. Jenis dan Sumber Data Data Primer Data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara atau tanya jawab yang dilakukan secara langsung oleh peneliti terhadap responden atau narasumber yaitu Pegawai Bagian Hukum Bank Bukopin, Bank BTN dan Bank Sulsel serta Bagian Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional yang dilaksanakan di lokasi penelitian yang berkaitan dengan masalah penelitian untuk mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan. Data Sekunder Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen seperti buku-buku, Makalah, Jurnal Ilmiah atau tulisan-tulisan melalui internet,
termasuk juga
semua peraturan dan ketentuan yang
berkaitan dengan Perjanjian Kredit Bank dengan Menggunakan Jaminan. Dalam penelitian ini tentunya akan diperoleh data Sekunder dan data Primer .
5
Analisis Data Tahap selanjutnya adalah pengolahan data.Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan kemudian disusun dalam suatu kerangka sistematis.Data tersebut kemudian dianalisis dan diartikan secara langsung, sistematis sehingga kesimpulan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara rasional sistematis, artinya bahwa setiap bagian yang dianalisis saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Hasil analisis tersebut akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dari permasalahan yang diajukan.
HASIL Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yaitu : Sepakat Mereka yang Mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat perjanjian, Suatu hal tertentu serta Causa yang halal.Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian. Perjanjian kredit merupakan salah satu perjanjian yang harus memenuhi keempat unsur tersebut.Bank selaku kreditor dan nasabah sebagai debitor terlebih dahulu harus melakukan perjanjian kredit sebelum melakukan pencairan kredit.Istilah perjanjian kredit pertama kali dikemukakan dalam Undang Undang Perbankan tahun 1967 pasal 1c instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10/1966 no I angka 5 Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan dikatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan (Badrulzaman, 2004). Kredit menurut Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) Pasal 1 (11) yaitu:" kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjamuntuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga."Dari
6
pengertian tersebut, setidaknya terdapat 4 (empat) unsur pokok kredit, yaitu kepercayaan, waktu, risiko, dan prestasi. Kepercayaan berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debitornya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan
(Naja, 2005).Waktu berarti bahwa antara
pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh debitor tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, tetapi dipisahkan dengan tenggang waktu. Risiko berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung risiko didalamnya, yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang waktu kredit semakin tinggi risiko kredit tersebut. Prestasi disini berarti bahwa setiap kesepakatan terjadi antara bank dan debitornya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi. Akibat dari pemberian kredit tanpa pembebanan ini dapat mengakibatkan tidak adanya jaminan pengembalian dari debitor terhadap dana masyarakat yang diberikan kepada masayarakat lainnya yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit. Sehingga bank selaku kreditor selalu meminta jaminan yang dinilai layak untuk menjamin kredit yang telah diberikan oleh bank (kreditor) Khusus untuk benda yang tidak bergerak, pengikatan jaminan telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria yang selanjutnya disingkat UUPA. Dalam Pasal 51 UUPA sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat, yaitu Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti hypotheek dan credietverband. Kedudukan perjanjian penjaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir memperoleh akibat akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain.Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitor untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu (Fuady, 2002). Hak tanggungan adalah salah satu jaminan khusus yang dapat diberikan kepada debitor.Hak Tanggungan awal mulanya berasal dari hak hipothek yang merupakan komponen hukum dan bagian dari hukum benda yang secara substansial diatur dalam Buku II
7
KUHPerdata.Untuk selanjutnya Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Selama prestasi dalam perjanjian kredit yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan dipenuhi dengan baik oleh debitor, maka hak tanggungan sebagai hak jaminan tidak kelihatan fungsinya.Hak Tanggungan baru berfungsi apabila debitor cedera janji.Dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT, Pasal 15 UUHT memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang berbentuk autentik dan harus memenuhi syarat-syarat. Berdasarkan pemaparan hal tersebut di atas, maka penulis secara garis besar masih mengindikasikan adanya kelemahan dalam kuasa untuk membebankan hak tanggungan dalam perjanjian kredit sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut dalam mengetahui hal hal yang melemahkan para pihak dalam perjanjian kredit.Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan inilah yang memiliki celah hukum yang dapat mengakibatkan jaminan tidak dapat dieksekusi oleh bank.Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi. Selain penjelasan Undang-Undang perbankan tersebut, Peraturan Bank Indonesia nomor 7/2/PBI 2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif telah mengatur bahwa bank harus menyiapkan cadangan khusus sebagai antisipasi kredit macet yang diberikan sebesar 100% dikurangi besarnya nilai agunan yang diterima bank. Dengan kata lain jika debitor tidak menyerahkan jaminan yang berupa agunan, maka bank harus menyiapkan 100% dana sebagai aktiva produktif dalam neraca bank tersebut. Hal ini menurut penulis sangat jarang bank yang bersedia mencadangkan dana yang tidak produktif demi menjamin kredit yang telah diberikan.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kredit oleh bank wajib melalui analisa pemberian kredit sebelum dilakukan pencairan kredit. Analisa ini dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bank terhadap debitor yang akan menerima dana. Keyakinan bank lainnya adalah dengan adanya penyerahan agunan yang berupa benda tidak bergerak yaitu tanah kepada bank. Secara garis besar, prosedur untuk memperoleh kredit pada bank umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 diantaranya adalah Agunan/jaminan 8
(Collateral) (salah satu dari prinsip 5C yang diterapkan oleh lembaga perbankan dalam menilai kelayakan pemberian kredit). Analisis terhadap jaminan kredit adalah untuk meyakinkan bank atas kesanggupan debitor dalam melunasi kewajibannya, jaminan dapat berupa jaminan pokok yaitu suatu jaminan yang dibiayai dengan kredit dan jaminan tambahan yang merupakan jaminan selain jaminan pokok.Bila bank memberikan persetujuan, langkah berikutnya adalah penandatangan Perjanjian Kredit (akad kredit) dihadapan notaris, penguasaan dokumen, pengikatan agunan dan realisasi pemberian kredit. Tanah yang dijaminkan tersebut ada yang masih harus melalui proses sebelum dibebankan Hak tanggungan. Adapula yang terletak diluar wilayah PPAT Notaris yang melakukan akad sehingga terlebih dahulu diberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dari debitor atau pemilik agunan kepada kreditor untuk memasang Hak Tanggungan pada sertipikat yang dijadikan jaminan tersebut. Dasar pemberian jaminan kepada bank sesuai Undang Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan dasar hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah mengacu pada pasal 15 Undang Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pembebanan hak tanggungan ini dimaksudkan agar kreditor mendapat jaminan yang mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam mengeksekusi jaminan untuk menutupi utang debitor yang tertunggak. Pembebanan Hak Tanggungan yang didahului pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adanya batas waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk ditindak lanjuti menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan sebelum menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan. Yaitu 1 (satu) bulan untuk tanah yang belum terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk tanah yang telah terdaftar.Dan konsekuensi jika jangka waktu ini dilanggar adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggunganmenjadi batal demi hukum. Hal ini sangat merugikan kreditor mengingat bank dalam perjanjian kreditnya secara eksplisit menyebutkan tanah yang akan dijaminkan dan diberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan namun tidak dapat dipasang Hak Tanggungan dikarenakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah jatuh tempo. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai salah satu sarana yang 9
memiliki dasar hukum dalam mewujudkan kelancaran pelaksanaan perjanjian kredit para pihak khususnya antara bank/kreditor dengan debitor.Untuk dapat berfungsi sebagai sarana hukum, maka Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan memerlukan kehadiran PPAT – Notaris sebagai pihak atau lembaga yang memiliki kedudukan hukum dan dipercaya untuk menfasilitasi kepentingan-kepentingan para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit terutama dalam hal pengaturan objek hak tanggungan. Dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan. b) Tidak memuat kuasa substitusi. c) Mencantumkan secara jelas Objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.Tahap Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dalam Pasal 15 Ayat (6) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (3) atau Ayat (4), ataupun waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (5) batal demi hukum. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut di daftarkan pada Kantor Pertanahan setempat guna untuk melahirkan Sertifikat Hak Tanggungan untuk melindungi Kreditor atas Jaminan Hak Atas Tanah beserta bangunan yang ada di atasnya tersebut. SKMHT sebagai suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan melalui suatu proses pemberian, pendaftaran, dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu, aspek mekanisme (sistem dan prosedur) menjadi penting dalam penyelenggaraan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut. SKMHT sebagai suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan melalui suatu proses pemberian, pendaftaran, dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu, aspek mekanisme (sistem dan prosedur) menjadi penting dalam penyelenggaraan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut. Dengan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang selanjutnya yang diikuti Akta Pemberian Hak Tanggungan menjadikan bank yakin bahwa agunan yang diserahkan dapat dieksekusi untuk melunasi utang debitor yang tertunggak.Hal ini didasarkan 10
pada Pasal 14 ayat 2 dan 3 bahwa : Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat irah irah dengan kata kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan Sertipikat Hak Tanggungansebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Mekanisme pemberian Hak Tanggungan dalam SKMHT merupakan kunci terjadinya proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT bahwa : Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10 ayat (1), (2), (3) UUHT menekankan bahwa, apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan, namun kenyataannya, pemberian Hak Tanggungan melalui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan seringkali tidak dilakukan bersamaan dengan pendaftaran hak atas tanah. Selanjutnya mengenai pendaftaran Hak Tanggungan, yang merupakan salah satu hal penting dalam prosedur pembebanan Hak Tanggungan.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 13 UUHT yang mengatur bahwa, “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Selanjutnya, mengacu kepada ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yang mengatur bahwa, hak atas tanah atau objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (2) memberikan kemungkinan Hak Pakai dijadikan objek Hak Tanggungan.Hal ini pada dasarnya merupakan ketentuan baru, sebab selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan Hak Pakai dijadikan objek Hak Tanggungan. Mengingat tanah dengan hak sebagaimana dimaksud di atas pada waktu ini masih banyak, pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut.Kemungkinan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit.Di samping itu, kemungkinan di
11
atas dimaksudkan juga untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya.Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan. Jika melihat ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT dan penjelasannya, serta ketentuan Pasal 8 UU Perbankan, maka pada tataran hukum formal dimungkinkan untuk menjadikan bukti girik, rincik dan sejenisnya dijadikan jaminan utang, akan tetapi pada tataran operasional bank sulit menerima tanda bukti tersebut. Hal inilah yang menjadi permasalahan, sebab dalam kenyataan bank akan menerima tanah yang akan dijadikan agunan jika tanah tersebut telah memiliki sertifikatnya. Sementara itu, banyak masyarakat di desa termasuk di Kabupaten Sidenreng Rappang yang memiliki tanah namun belum mendaftarkan tanahnya.Masih banyak masyarakat yang mengajukan jaminan tanah hanya dengan rincik ataupun akta jual beli. Padahal bank hanya menerima sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah yang akan dijadikan agunan Pelaksanaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Selanjutnya mengenai pendaftaran Hak Tanggungan, yang merupakan salah satu hal penting dalam prosedur pembebanan Hak Tanggungan.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 13 UUHT yang mengatur bahwa, “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Secara umum, penggunaan atau pelaksanaan SKMHT dalam perjanjian kredit menurut Boedi Harsono (Salim HS, 1999), ada 2 (dua) alasan penggunaan dan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yaitu : alasan subyektif dan alasan objektif. Alasan Subjektif, antara lain : pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaris / PPAT untuk membuat akta Hak Tanggungan, prosedur pembebanan Hak Tanggungan panjang / lama, biaya penggunaan Hak Tanggungan cukup tinggi, kredit yang diberikan jangka pendek, kredit yang diberikan tidak besar / kecil, dan debitor sangat dipercaya / bonafid. Sedangkan alasan objektif antara lain : Sertifikat belum diterbitkan, balik nama atas tanah Pemberi Hak Tanggungan belum dilakukan, pemecahan / penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama Pemberi Hak Tanggungan, dan roya / pencoretan belum dilakukan. Di Kabupaten Sidrap banyak menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan karena menyerahkan jaminan yang terletak di kota lain, seperti Makassar, Jakarta dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena bank selalu menilai rendah tanah yang terletak di
12
Sidrap sedangkan jumlah kredit yang diajukan cukup besar sehingga mengharuskan debitor menambahkan agunannya Dalam perjanjian kredit dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatur bahwa, pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Dalam Penjelasannya lebih lanjut disebutkan : “… perjanjian yang menimbulkan hubungan hutang piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu….”.
Faktor-faktor penghambat pada proses penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan ini adalah biaya yang mahal serta jangka waktu yang singkat. Dalam mengatasi hambatan tersebut dilakukan upaya dengan memperbaharui kembali Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang telah habis masa berlakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta menindaklanjuti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hambatan pada pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan khususnya oleh Notaris / PPAT yang membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut secara yuridis tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah jelas diatur dalam UUHT, akan tetapi hambatan tersebut ditemukan pada pengurusan secara administratif yaitu pada proses penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan. kendala yang ditemui antara lain tidak dipatuhinya ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat dikemukakan kesimpulan adalah Kekuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah dijamin dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah namun belum dapat dijadikan dasar untuk mengeksekusi jaminan. Untuk mengeksekusi jaminan, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus terlebih
13
dahulu didaftarkan dan dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan untuk selanjutnya diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan yang memiliki kekuatan Eksekutorial dan berkekuatan hukum yang tetap.Agar mendapatkan Sertipikat Hak Tanggungan maka pendaftaran Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak boleh lewat jangka waktu yang telah ditetapkan oleh undang undang agar Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak batal demi hukum.Beberapa faktor yang menjadi kendala pendaftaran Surat Kuasa Memebebankan Hak Tanggungan adalahJangka Waktu Masa Berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan kadang tidak cukup untuk dilakukan pendaftaran bagi tanah yang dilakukan pemecahan terlebih dahulu. Idealnya tanah yang dipecah dari sertipikat induk hanya memakan waktu 2 (dua) bulan untuk penerbitan sertipikat baru sehingga tidak lebih 3 (tiga) bulan waktu yag dibutuhkan untuk pendaftaran Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.Biaya pendaftaran Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang cukup mahal dan tidak mengikuti ketentuan pemerintah yang berlaku mengakibatkan pendaftaran SKMHT menjadi berlarut larut karena biaya yang dicadangkan oleh debitur kadang kurang sehingga membutuhkan waktu untuk meminta biaya tambahan terhadap pendaftaran SKMHT tersebut. Berdasarkan uraian kesimpulan, dapat dikemukakan saran untuk mendapatkan kekuatan hukum dan perlindungan hukum bagi kreditor dalam mengeksekusi jaminan, maka pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus segera ditindaklanjuti dengan pemberian Akta Pemberian Hak Tanggungan untuk selanjutnya diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan agar kreditor dapat mengeksekusi jaminan debitor sebagai pengembalian utang kredit yang tertunggak. Pembebanan biaya pendapatan negara bukan pajak dan biaya admisnistrasi lainnya harus sesuai aturan dan Kantor Badan Pertanahan Nasional harus menindak tegas aparat yang memungut biaya diluar dari aturan yang telah ditetapkan oleh negara agar pendaftaran SKMHT tidak berlarut larut.
14
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus.(2004). Kompilasi Hukum Jaminan.CV Mandar Maju.Bandung Indonesia. ---------------------------------------.(1983). Perjanjian Kredit Bank.Alumni.Jakarta Indonesia. Bahsan, M.(2010).Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia.Jakarta Indonesia.PT Rajagrafindo Persada. Erawati, Elly& Herlien, Budiono.(2010).Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian.Jakarta Indonesia. PT. Gramedia. Fuady, Munir. (2002). Hukum Perkreditan Kontemporer.Citra Aditya Bakti. Bandung Indonesia. HS, Salim.(2004).Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia.PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Kamelo, Tan.(2006). Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan.Alumni.Jakarta Indonesia. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Miru, Ahmadi.(2007). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak.Jakarta Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada. Muljadi, Kartini & Widjaja, Gunawan.(2003). Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada Naja, H.R. Daeng.(2005). Hukum Kredit dan Bank Garansi (the Bankers Hand Book).PT. Citra Aditya Bakti.Bandung Indonesia. Perangin, Effendi.(1991). Peraktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit,Rajawali Pers. Jakarta Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Sjaifurrachman, Adjie Habib.(2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Mandar Maju. Bandung Indonesia. Sofwan, Sri Soedewi Masjcoen. (1980). Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok Pokok hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan., Liberty.Yogyakarta Indonesia. Subekti, R. (2005). Jaminan Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti.Bandung Indonesia. Sumardjono, Maria SW.(2001). Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta Indonesia.PT Kompas Media Nusantara. Sutedi,Adrian.(2010). Hukum Hak Tanggungan.Jakarta Indonesia. Sinar Grafika. Syahdeini, Sutan Remy.(1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.Institut Bankir Indonesia. Jakarta. _______.(1999). Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan(Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan).Alumni. Bandung. Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 perubahan Undang Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria Undang Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda Yang berkaitan Dengan Tanah. 15
16