Sedane, Jurnal Kajian Perburuhan, Vol. 1 No. 1, Desember 2002: 23-34
PENGORGANISASIAN (SERIKAT) BURUH di masa krisis: Membangun BASIS GERAKAN 1 Iman Rahmana
Reformasi perburuhan di masa krisis, merupakan tantangan yang cukup berat buat serikat buruh. Di satu sisi, meski ruang berorganisasi mulai terbuka, tapi negara justru cenderung menarik diri dari posisinya sebagai pelindung kaum yang lemah dan pada sisi lain, industri jangka pendek yang padat karya, yang merupakan basis terbesar serikat buruh selama ini, porak poranda2. Apa yang bisa dilakukan gerakan buruh yang masih sangat muda (untuk tidak mengatakan prematur) berhadapan dengan kondisi politik dan ekonomi yang buruk ini? Intervensi negara dalam relasi buruh-majikan yang terjadi selama Orde Baru jelas menyimpang dari amanat UUD 45 dan beberapa kebijakan perburuhan Orde Lama yang sebetulnya masih berlaku, dimana negara seharusnya berperan sebagai pelindung buruh, tapi yang terjadi justru menjadi fasilitator bagi modal. Kini, saat negara berada dalam kondisi yang sangat lemah, negara semakin terdesak untuk, mau tidak mau, melakukan liberalisasi relasi buruh-majikan. Kebebasan berserikat dijamin, akan tetapi dalam konflik perburuhan, buruh dihadapkan langsung dengan majikan di meja pengadilan,
1
Tulisan ini disarikan dari studi kasus yang dilakukan LIPS dan Lampu Buruh Semarang pada tahun 2001 2 dua bulan lalu pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tata-niaga tekstil dan garmen untuk melindungi industri padat karya ini (Klipping perburuhan LIPS, September 2002)
Iman Rahmana
sebagai individu3 yang equal with pengusaha before the law. Hak berserikat sebagai hak kolektif buruh dikebiri. Kondisi ekonomi yang terus memburuk juga menyulitkan serikat untuk berfungsi dengan baik. Iuran anggota tidak jalan kecuali 5-10% saja (apalagi iuran anggota masih harus didistribukan ke pengurus serikat tingkat pabrik, cabang, wilayah dan pusat) dan serikat masih terus terancam kehilangan anggota akibat PHK massal dampak dari bangkrutnya pabrik-pabrik hingga banyak pengurus dan anggota serikat terpaksa meninggalkan komitmen mereka dalam gerakan buruh karena harus mencari pekerjaan lain. Tambah lagi, banyak pabrik yang masih alergi terhadap serikat buruh memanfaatkan kondisi ini untuk ‘membuang’ mereka dengan alasan bangkrut, downsizing, order turun dan lain-lain. Pengorganisasian merupakan pekerjaan utama serikat dan fundamental untuk membangun serikat buruh yang genuin, demokratis dan independen. Hanya dengan pengorganisasian, serikat buruh mampu (powerful) melakukan perubahan, yakni ketika buruh yang terorganisir secara aktif terlibat dalam setiap aksi dan kegiatan serikat, melimpahkan legitimasi pada serikat, dan menopang sumber keuangannya. Namun, di masa sulit ini kerja pengorganisasian mendapatkan tantangan yang cukup berat. Kelompokkelompok terorganisir yang telah bekerja menggalang solidaritas buruh selama bertahun-tahun, gagap menghadapi perubahan yang begitu mengejutkan ini. Lalu, apa dan bagaimana sebetulnya kerja atau kegiatan pengorganisasian itu? Bagaimana pengorganisasian yang dilakukan serikat buruh selama ini di lapangan? Bagaimana seharusnya mereka mensiasati kerja pengorganisasian di masa krisis ini untuk mempersiapkan basis gerakan buruh dimasa depan?
BELAJAR DARI PENGALAMAN Kerja pengorganisasian hampir semua serikat buruh di masa krisis ini semakin lemah4, atau paling tidak stagnan. Persaingan antar serikat dalam merekrut 3
lihat RUU PPHI dan PPK selain akibat buruk dari tidak menentunya kondisi ekonomi seperti telah disebut di atas, serikat buruh yang ada ternyata tidak solid, terbukti dengan seringnya terjadi perpecahan dalam serikat buruh. Banyak organisasi yang telah terbentuk, pecah 4
24
Pengorganisasian (serikat) Buruh di Masa Krisis: Membangun Basis Gerakan
anggota baru di satu pabrik atau di suatu wilayah, yang sempat saling menjatuhkan, bahkan memicu bentrok fisik, tidak membuat mereka menjadi besar. Kekuatan sebagian serikat dalam memperluas basis bukan karena keterampilan mengorganisir buruh, tapi semata-mata karena mendapatkan dukungan dana yang cukup dari luar. Expansi mereka memang berkembang dengan cepat menjangkau buruh di berbagai propinsi. Keberhasilan kerja mereka tidak diukur dari soliditas buruh, tapi berapa banyak sekretariat perwakilan di banyak daerah yang telah dibentuk. Ketika dukungan dana melimpah, dan mereka ‘terdesak’ untuk segera merealisir ‘proyek’ membangun basis di banyak daerah, mereka terpaksa merekrut ‘sembarang’ orang untuk mengisi pos-pos sekretariat mereka di daerah-daerah itu. Sebagian serikat malah cenderung bersikap pasif, menunggu kesadaran atau kebutuhan buruh sendiri untuk menjadi anggota mereka. Walhasil, meski sampai kini telah dideklarasikan puluhan serikat buruh, jumlah buruh terorganisir tidak juga bertambah5. Beberapa serikat buruh baru memang sempat mengalami peningkatan jumlah anggota yang cukup signifikan selama dua-tiga tahun pertama masa krisis ini, namun perekrutan yang dilakukan bukan karena kerja pengorganisasian, namun karena banyaknya kasus PHK yang dialami buruh secara umum, baik di sektor manufaktur maupun di sektor perbankan, yang mendorong mereka ‘lari’ mencari perlindungan dari serikat buruh. Fenomena temporal ini seolah-olah menjadi
menjadi dua atau lebih, hingga mereka harus memulai konsolidasi organisasi dari nol. Perpecahan yang terjadi selalu perpecahan antar pengurus sendiri, sementara banyak anggota tidak mengerti bahwa mereka telah menjadi anggota serikat buruh baru. 5 Sulit mendapat data yang pasti soal berapa prosentase buruh terorganisir, tapi menghitung klaim serikat-serikat buruh yang ada atas jumlah anggota mereka, menunjukkan angka yang tidak signifikan dibanding jumlah buruh (angkatan kerja), belum lagi sebagian besar serikat buruh memiliki anggota hanya karena faktor historis, artinya diuntungkan oleh kondisi yang terjadi selama Orde Baru yang mewajibkan pengusaha memenuhi persyaratan legal ‘ada serikat’ saja. Tentu saja mereka yang diklaim oleh serikat buruh macam ini bukanlah buruh yang terorganisir, tapi buruh yang ‘dipaksa’ menjadi anggota serikat ini atau itu. 25
Iman Rahmana
momen yang krusial bagi serikat buruh untuk memperbesar jumlah anggota, momen yang tidak ingin dibiarkan lewat begitu saja, saat di mana serikat, terutama serikat baru, semakin bisa mengukuhkan eksistensinya dengan mendapatkan pengakuan dan legitimasi buruh. Di bawah ini kami sajikan dua contoh kasus bagaimana pengorganisasian dilakukan di masa krisis ini. Kasus pengorganisasian buruh PT Chin Haur Indonesia (CHI) Pengorganisasian di CHI dimulai pertengahan tahun 1997. Pengorganisasian di pabrik sparepart sepeda ini merupakan strategi perluasan basis kelompok buruh Jakarta (KBJ) ke wilayah Tangerang. Pilihan pada CHI, hanya karena kebetulan seorang organiser KBJ diterima bekerja di pabrik yang memang belum memiliki serikat buruh. Tahun pertama bekerja, dirinya sudah menjadi pusat perhatian buruh karena sikap kritisnya terhadap kebijakan perusahaan. Popularitasnya kemudian membuka jalan untuk memulai pengorganisasian. Kondisi politik saat itu belum mengijinkan buruh bebas berserikat. Tidak ada pilihan bagi buruh CHI untuk melakukan pengorganisasian tertutup. Mengajak buruh untuk mendiskusikan masalah-masalah (pelanggaran yang dilakukan pengusaha) dengan pendekatan personal. Diskusi rutin kemudian diarahkan pada target melakukan aksi. Agustus 1998, terjadi aksi pertama dan buruh berhasil memenangkan sebagian besar tuntutannya, termasuk tuntutan pembentukan serikat buruh (SBTP). Kemenangan ini telah memberi legitimasi yang cukup kuat bagi organiser, dan dia tidak bisa menolak ketika ditunjuk secara aklamasi menjadi ketua SBTP dan seluruh buruh CHI masuk menjadi anggotanya. Dalam perjalanan berikutnya, SBTP yang merasa sudah memenangkan aksi pertama dan mendapat dukungan seluruh buruh CHI, terus melakukan tekanan terhadap pengusaha untuk memenuhi tuntutan yang belum dipenuhi pada aksi pertama. Dalam satu tahun, mereka melakukan lima kali aksi, dan yang cukup besar adalah aksi menuntut dilakukannya perundingan KKB. Akan tetapi aksi tersebut merupakan aksi terakhir buruh CHI, karena pengusaha merespon dengan PHK massal. November 1999, seluruh anggota serikat buruh yang berjumlah hampir 400 orang di-PHK. Perlawanan untuk bisa diterima bekerja kembali selama hampir dua tahun, 1999-2001, berakhir sia-sia.
Kasus Pengorganisasian buruh PT TCP dan PT CBM
26
Pengorganisasian (serikat) Buruh di Masa Krisis: Membangun Basis Gerakan Pengorganisasian di pabrik kayu ini dimulai Juli 2000, saat gejolak aksi buruh di Semarang muncul cukup kuat. Pengorganisasian ini adalah bagian dari kerja kelompok buruh Mandiri/KBM. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia, atas dasar kesepakatan, kerja pengorganisasian masih dilakukan oleh lembaga support system-nya. Pengorganisasian berawal dari pengaduan kasus buruh. Kemudian organiser, sebagai orang luar, terlibat dalam kelompok arisan buruh sebagai pintu masuk pengorganisasian. Dari sana dia mengajak beberapa buruh untuk membentuk kelompok diskusi. Diskusi yang dilakukan buruh TCP/CBM tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan buruh CHI, yakni diskusi yang berorientasi aksi. Target awal pendidikan kelompok diskusi di TCP adalah buruh mampu memobilisasi temantemannya untuk melakukan aksi. Dalam proses pendidikan muncul calon-calon pemimpin. Ciri-ciri kepmimpinan dilihat dari keberanian atau karena mobilitasnya menggalang dan mengorganisir teman-temannya, kemampuan berbicara dan berpikir analitis, atau bisa juga karena posisi kulturnya yang dihormati masyarakat. Secara bertahab peran dan tugas pengorganisasian dilimpahkan kepada mereka dan mereka bekerja sudah sebagai anggota dan pekerja KBM. Terjadilah aksi pertama yang sudah dipimpin oleh anggota kelompok diskusi. Namun aksi mereka gagal, tuntutan mereka tidak dikabulkan pengusaha. Kegagalan ini mempersempit ruang gerak mereka dan mereka menjadi tidak populer bagi buruh, terutama mereka yang apatis. Namun kenyataan itu tidak mengecilkan semangat mereka, pengorganisasian terus dilanjutkan, bahkan sampai saat ini, dan paska aksi, mereka justru membentuk Tim Persiapan pembentukan serikat buruh tingkat pabrik (SBTP/perwakilan basis KBM).
Dua kasus pengorganisasian di atas memberi pelajaran yang sangat berharga. Apa yang terjadi di CHI maupun di TCP/CBM, adalah fenomena umum di masa krisis yang juga menimpa banyak serikat buruh empat tahun belakangan ini6. Kesamaan kedua kasus pengorganisasian tersebut relatif lebih banyak ketimbang perbedaannya; perluasan basis (pengorganisasian) bukan atas pertimbangan strategis7, kedua kasus terjadi pada ruang waktu yang sama,
6
Studi LIPS-Elsam : Implementasi konvensi ILO 87 tentang hak berorganisasi, tahun 2000 7 teman-teman KBM baru mempertimbangkan pentingnya sektor perkayuan menjadi basis pengorganisasian adalah mengingat jumlah buruhnya yang cukup besar di Jawa Tengah 27
Iman Rahmana
strategi yang dipakai adalah konfrontatif, metode kelompok belajar yang dikembangkan berorientasi aksi, tingkat ketidakpuasan buruh terhadap kondisi kerja tinggi8, dan sama-sama berhadapan dengan kuatnya represi pengusaha. Bahkan posisi organiser, yang satu menjadi buruh dan lainnya sebagai orang luar tidak mempengaruhi pola pengorganisasian. Hal itu disebabkan karena sebetulnya mereka tidak bekerja sendiri, tidak menentukan sendiri bagaimana dan dengan cara apa pengorganisasian dilakukan, atau menetapkan sendiri targetnya. Kedua kasus pengorganisasian itu merupakan bagian dari kerja kelompok buruh di wilayah masing-masing sebagai upaya perluasan basis kelompok. Sejak awal strategi yang akan dikembangkan, cara yang mau dipakai dan target yang harus dicapai sudah ditetapkan. Pengorganisasian di CHI berhasil mencapai target itu, sementara di TCP/CBM pengorganisasian gagal mewujudkan target mereka. Salah satu faktor kegagalan di TCP/CBM adalah aksi yang dilakukan tidak mendapat dukungan mayoritas buruh. Selain itu persiapan aksi baru melibatkan buruh pabrik TCP saja. Minimnya dukungan buruh, dan baru munculnya aksi sepihak di satu pabrik mengurangi daya tawar aksi. Produksi tidak terganggu, sebagian produksi dilimpahkan ke pabrik CBM, karena itu pengusaha tidak merasa perlu mengabulkan tuntutan buruh. Padahal aksi pertama di CHI sudah berhasil memobilisasi mayoritas buruh, yang notabene merupakan satu syarat penting bagi efektifnya impementasi strategi konfrontasi. Hanya saja kemudian buruh CHI lupa bahwa target mereka adalah rekrutmen. Keberhasilan aksi (strategi konfrontasi) untuk mendapatkan sebagian besar tuntutan membuat mereka terus saja mencoba melakukan aksi untuk memaksa pengusaha memenuhi semua tuntutan mereka. Tuntutan aksi, yang sebetulnya merupakan taktik ‘agitasi’ untuk mendapat simpati buruh menjadi tujuan yang harus diperjuangkan sampai tuntas. Bahkan setiap terjadi konflik sekecil apapun, mereka karuan saja menggelar aksi, yang kadang-kadang terjadi begitu saja, atau muncul aksi spontan. Dengan begitu mereka telah kehilangan sense of direction. 8
upah di bawah UMR, lembur tidak dibayar, tidak didaftar menjadi peserta Jamsostek, prosedur cuti dipersulit, upah cuti dipotong, status buruh tidak jelas, tidak ada serikat
28
Pengorganisasian (serikat) Buruh di Masa Krisis: Membangun Basis Gerakan
Kesalahan lain yang juga cukup serius adalah mereka begitu tergesa-gesa membentuk serikat buruh. Kebetulan tengah mereka mempersiapkan aksi, terjadi perubahan politik perburuhan nasional. Ruang berserikat terbuka dan diikuti munculnya banyak serikat baru, termasuk waktu itu kelompok buruh Jakarta juga telah mendeklarasikan diri sebagai serikat. Eforia ini membuat mereka tertarik begitu saja untuk menuntut pembentukan serikat di CHI, yang merupakan salah satu tuntutan yang dikabulkan pengusaha. Nyatanya mereka gagap berserikat, apalagi sadar bahwa mereka kini terpaksa harus berkonfrontasi secara terbuka dengan pengusaha yang anti-serikat. Hal ini nampak ketika mereka tetap mempertahankan pola managemen dan kepemimpinan kelompok kecil dalam menjalankan serikat. Sementara buruh TCP belajar dari kegagalan mereka. Kesulitan membangun solidaritas buruh menyadarkan mereka bahwa posisi politik mereka sangat lemah. Mereka lebih jeli mengantisipasi pengusaha yang masih anti-serikat. Bahkan paska aksi pertama, pengusaha semakin represif dan lebih lagi ia berhasil memobilisasi masyarakat sekitar untuk ikut mengendalikan buruh. Kenyataan ini memaksa mereka memikir ulang strategi dan target pengorganisasian mereka, menahan diri mereka untuk tidak larut dalam eforia kebebasan, membuka mata mereka bahwa saat ini bukan momen kebangkitan gerakan buruh.
SUATU PARADIGMA PENGORGANISASIAN ALTERNATIF Dalam tulisan ini saya tidak sedang menawarkan alternatif model pengorganisasian, melainkan menawarkan kerangka berpikir atau poin-poin yang saya anggap penting, yang selayaknya menjadi pertimbangan serikat buruh ketika merumuskan kerja pengorganisasian.
buruh 29
Iman Rahmana
Catatan pertama; serikat buruh harus tahu persis mencakup kegiatan apa saja kerja pengorganisasian itu. Dalam buku “Organising for power and empowerment”, Jacqueline B Mondros dan Scott M Wilson merumuskan tiga aspek pengorganisasian: 1. Rekrutmen atau pelibatan angota baru 2. Upaya menanamkan motivasi secara terus-menerus pada anggota agar mereka lebih terlibat secara aktif dalam berbagai berbagai aksi dan kegiatan organisasi 3. Usaha memperdalam partisipasi anggota Ketika mayoritas buruh CHI sudah menyatakan diri bergabung dengan SBTP dan sekaligus dengan kelompok buruh Jakarta, mereka juga telah menunjukkan loyalitas pada serikat dengan membayar iuran anggota, kerja pengorganisasian baru memasuki tahab awal, rekrutmen. Mereka kemudian sebetulnya masih dihadapkan pada dua tugas, yang justru merupakan substansi pengorganisasian. Kalau pengorganisasian berhenti sampai pada tahap awal saja, lantas apa bedanya dengan serikat buruh ‘kuning’. Tahap kedua menekankan pentingnya membangun ‘organised workers’. Selama ini banyak buruh yang diklaim serikat sebagai anggotanya, sebetulnya baru merupakan ‘floating mass’, yang memiliki karakter; enggan terlibat aktif dalam kegiatan organisasi, mungkin mereka mau membayar iuran, tapi selalu menagih konsesi pelayanan dan perlindungan yang lebih besar ketimbang jumlah iuran yang diberikan. Mereka bersikap seperti ini karena beranggapan bahwa serikat adalah milik atau identik dengan pengurusnya saja. Tidak heran bila sekali buruh terpilih menjadi pengurus, maka selamanya akan menjadi pengurus, baik di tingkat pabrik, cabang, wilayah atau nasional. Tugas pengorganisasian pada tahab ini adalah meluruskan anggapan serikat sebagai organisasi pelayanan, sampai mereka mengerti bahwa serikat adalah diri mereka sendiri, ekspresi politik mereka, wujud kolektif mereka. Tantangan tahap ini adalah mentransformasikan ‘wage conscious’ buruh menjadi ‘class conscious’ dan memperbanyak prosentase ‘organised workers’ ketimbang ‘floating mass’. Tahap ketiga adalah upaya meletakkan pondasi demokrasi bagi serikat. Semakin tinggi partisipasi anggota dalam setiap kebijakan yang diputuskan serikat, maka
30
Pengorganisasian (serikat) Buruh di Masa Krisis: Membangun Basis Gerakan
semakin demokratis sebuah serikat. Tapi sebalikya, serikat buruh tidak demokratis ketika anggota masih bersikap apatis terhadap apa yang terjadi di tingkat pengurus, apakah pengurus (di segala tingkat) sudah berganti orang baru? Kenapa pengurus berselisih satu sama lain? Kenapa mereka mengganti nama serikat dan melebur pada organisasi lain? Bagaimana pengurus mengelola keuangan serikat? Bagaimana partisipasi anggota bisa terjadi mensyaratkan institusional building yang baik. Serikat yang terlalu berambisi untuk cepat menjadi besar, dalam arti melakukan rekrutmen secara massif untuk menggenjot kuantitas anggota, sering kesulitan mangakomodasi aspirasi anggota dan lebih lagi untuk ‘mengelola’ anggotanya. Serikat buruh macam ini rentan pada perpecahan karena belum menyiapkan mekanisme penyelesaian konflik organisasional. Catatan kedua; pengorganisasian bukan pekerjaan yang berdiri sendiri, tapi selalu menjadi bagian dari ‘grand strategy’ membangun basis gerakan buruh yang berorientasi pada perubahan. Visi pengorganisaian tentang perubahan merupakan pandangan filosofis tentang bagaimana dan mengapa perubahan terjadi, yakni gambaran dari skenario sebab-akibat bagaimana perubahan diyakini terjadi. Orentasi ini mencakup; 1. Kejelasan tentang definisi perubahan atau target perubahan yang mau dicapai 2. Sudah teridentifikasi upaya-upaya ke arah perubahan 3. Mengenali sumber daya yang dimiliki 4. Apa strategi perubahan yang mau dipakai Pengorganisasian di CHI cenderung berorientasi pluralist pressure. Apa yang terjadi di CHI adalah bagian dari strategi yang diterapkan KBJ yang memberi prioritas pada mobilisasi buruh. KBJ membaca krisis sebagai momen untuk menekan negara melakukan perubahan yang lebih luas, terutama perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada buruh dengan tekanan massa yang besar. Konsekwensi melakukan strategi ini adalah ikatan keanggotaan menjadi sangat longgar, mereka adalah ‘floating mass’ yang hanya menjadi objek mobilisasi. Sementara di TCP-CBM, kegagalan telah memaksa mereka cenderung
31
Iman Rahmana
melakukan pengorganisasian yang berorientasi ‘countervailing institution’ (membangun institusi yang kuat sebagai alat perjuangan). Target pengorganisasian adalah adanya organisasi yang mengakar pada basis. Tugas utamanya adalah membangun kelompok yang berdisiplin tinggi hingga muncul kader-kader yang permanen. Catatan ketiga; salah satu tolak ukur keberhasilan pengorganisasian adalah munculnya kader-kader yang memiliki daya tahan yang kuat, memiliki dedikasi dan komitmen. Mereka dituntut kerja dengan jam kerja panjang, uncontrol schedule, dan keterlibatan yang sepenuh hati. Mereka harus punya kemampuan menjaga relasi individual dari perselisihan, ketegangan, dan affair. Kader juga perlu memiliki skill interaksional; membangun komunikasi dua arah, memberi respon dengan empaty dan pandai terlibat dalam pergaulan individual dan kelompok. Kader juga perlu dibekali dengan skill teknis; 1. kemampuan merumuskan isu - Mengidentifikasi isu, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi dan taktik; punya pengetahuan tentang suatu model pengorganisasian dan tahu bagaimana mengimplementasikannya; kemampuan menganalisa, memilah-milah dan mendefinisikan isu untuk memudahkan melakukan tindakan; fokus pada isu sentral; mampu mengubah isu organisasi dengan cepat; mampu merumuskan tujuan dan merencanakan strategi aksi; mampu membuat penyesuaian yang diperlukan; - Mampu mengidentifikasi lawan dan struktur kekuasaan; siapa mengontrol apa, siapa berhubungan dengan siapa dan kenapa, siapa memiliki apa, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan; 2. Kemampuan organisasional; membangun organisasi yang efektif, untuk menjaga kelangsungan tumbuhnya organisasi - kemampuan mendesign training - membangun struktur yang efektif untuk melibatkan partisipasi anggota - mampu membangun kerja kelompok (panitia, pengurus, koalisi) - mampu menggali dana 32
Pengorganisasian (serikat) Buruh di Masa Krisis: Membangun Basis Gerakan
-
mengelola managemen organisasi (planning, programming, resource allocation, budgeting, monitoring, evaluating)
Catatan keempat: pengorganisasian adalah pekerjaan besar membangun basis gerakan buruh. Kita sadar bahwa serikat buruh yang menjadi aktor utama gerakan buruh, saat ini sedang dalam kondisi yang sangat lemah. Situasi politik yang tidak berpihak pada mereka, kondisi ekonomi yang tidak bersahabat, dan keadaan internal mereka yang carut-marut, adalah faktor utama kelemahan mereka. Saat ini bukanlah era kebangkitan gerakan buruh seperti disebut-sebut sebagian kalangan, tapi saat ini adalah masa persiapan. Persiapan hanya bisa dilakukan dengan membangun serikat buruh yang kuat, bukan melakukan hanya mobilisasi buruh secara besar-besaran untuk kepentingan aksi sesaat, tanpa memikirkan keberlanjutan pendidikan buruh. Karena fungsinya yang strategis dalam mempersiapkan gerakan buruh, pengorganisasian yang dilakukan harus dilakukan dengan tepat dan terarah. Tepat artinya pilihan basis pengorganisasian tidak lagi dilakukan semata-mata atas kepentingan rekrutmen, asal mendapat anggota baru, tetapi juga perlu dipertimbangkan posisi basis dalam perkembangan industri ke depan. Apakah buruh tekstile, atau elektronik atau apapun masih cukup strategis menjadi ‘agen’ gerakan di masa depan mengingat trend industri bersangkutan di Indonesia di masa depan. Catatan kelima: tanpa independensi tidak akan pernah ada gerakan buruh yang kuat. memang suatu kenyataan pahit bahwa saat ini belum ada satu serikat pun yang sudah betul-betul independen. Hampir semua serikat menggantungkan beban biaya sebagian aktifitasnya pada dukungan atau bantuan dari luar organisasi. Organisasi sebesar SPSIpun, yang notabene mengklaim memiliki anggota jutaan itu, tetap saja tidak mampu menopang semua beban biaya aktifitasnya dari iuran anggota. Masalahnya saat ini bukanlah apakah suatu serikat sudah independen atau belum, tapi apakah mereka punya visi untuk menjadi independen. Visi independen tidak cukup tertulis dalam garis perjuangan mereka, tapi harus dinyatakan dalam praktek sehar-hari, artinya mereka sudah memulai untuk
33
Iman Rahmana
menjadi independen dari sekarang, sudah ada upaya menjadi independen sejak saat ini juga. Upaya itu nampak dari perencanaan program serikat yang menunjukkan upaya terus menerus mengurangi dependensi pada pihak luar. Misalnya saat ini mereka tergantung 50%, dua tahun lagi atau lima tahun lagi mereka harus sudah bisa mengurangi ketergantungan menjadi hanya 20%. Mereka harus melihat dukungan dari luar sebagai solidaritas, bukan yang utama. Dukungan dana tidak boleh mengikat, baik langsung maupun tidak langsung. Ada sementara serikat yang tidak peduli menerima dukungan dana dari siapapun atau harus menjalankan konsekwensi apapun, yang penting mereka dapat bantuan hingga mereka bisa melanjutkan perjuangan mereka. Bahkan ada juga serikat yang menerima bantuan dana dari orang, atau lembaga atau negara yang sebetulnya mereka anggap musuh mereka. Mereka menganggap diri mereka lebih cerdik dengan memanipulasi laporan penggunaan dana tersebut, padahal pemberi dana lebih cerdik, serikat seperti itu telah menjadi pembenar yang paling efektif bagi funding untuk menghentikan atau menjinakkan atau merusak mental gerakan buruh di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA LIPS, Klipping Perburuhan Januari-Oktober 2002 ____, Refleksi Pengorganisasian Buruh, Lokakarya, 1999 ____, Serikat Buruh di Masa Transisi, Studi lapangan, 1999 LIPS-Lampu Buruh, Pengorganisasian buruh di PT CHI dan PT TCP-CBM, Studi kasus 2001 LIPS-Elsam, Implementasi Konvensi ILO 87 tentang hak berorganisasi, Studi : 2000 Jacqueline B Mondros dan Scott M Wilson, Organizing for Power and Empowerment, Columbia University Press, New York, 1994 H.B. Davis, The Theory of Union Growth, Quarterly Journal of Economics, vol.55, 1941, pp. 611-33 Rancangan Undang-undang tentang Penyelesaian Perselishan Hubungan Industrial dan Rancangan Undang-undang tentang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan
34