PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK
SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN DIPA ALAM VEGANTARA. D14051853. 2009. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Salundik, Msi Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc Industri pengolahan singkong menjadi tepung tapioka dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah, baik berupa cair, padat maupun gas. Limbah-limbah ini apabila tidak dilakukan penanganan secara khusus berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama masih adanya kandungan bahan organik dalam bahan. Limbah cair tapioka terutama berasal dari proses pencucian serta pengendapan sehingga masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi perbandingan yang optimal antara kotoran sapi perah dengan limbah cair tapioka dalam menurunkan beban pencemaran limbah cair tapioka. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan bulan April 2009 di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilakukan dengan menambahkan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka dengan persentase yang berbeda yaitu 100% limbah tapioka (T100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80% limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi (T80S20), 70% limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40) yang difermentasikan secara anaerob selama 30 hari. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dan peubah diamati setiap hari untuk nilai pH dan pada H0, H17 dan H30 untuk peubah Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS) dan Sianida. Perbedaan data sampel setiap peubah antar perlakuan akan dibandingkan menggunakan analisis keragaman rancangan acak kelompok pada tingkat signifikansi 95% menggunakan MINITAB 14. Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mempengaruhi beberapa peubah seperti pH, COD dan TS, akan tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida pada limbah cair tapioka. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan dan penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20% tidak mempengaruhi nilai COD. Penambahan kotoran sapi perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral. Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70% limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam mengolah limbah cair tapioka. Kata-kata kunci : limbah cair tapioka, kotoran sapi perah, fermentasi anaerob ii
ABSTRACT Processing Tapioca Wastewater Using Dairy Manure by Anaerobic System Vegantara, D. A., Salundik, and Y. Retnani The objective of this research was to study the effect of dairy manure on tapioca wastewater characteristics such as total solid (TS), pH, chemical oxygen demand (COD) and cyanide prepared using anaerobic digester system for 30 days. The waste and dairy manure were combined in the ratios 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30% and 60%:40%. The result showed that dairy manure addition in cassava wastewater influenced pH, COD and TS but did not Cyanide. When inoculated with dairy manure, tapioca wastewater obtained indicated increasing on TS and COD. Overall results indicated that the best treatment in this research is combination between waste and dairy manure in the ratio 70% tapioca wastewater and 30% dairy manure to process tapioca wastewater before release at water area. Keywords: tapioca wastewater, dairy manure, anaerobic digester
iii
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK
DIPA ALAM VEGANTARA D14051853
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 iv
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK
Oleh DIPA ALAM VEGANTARA D14051853
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 September 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Salundik, M.Si
Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1986 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Rifai Suardi dan Ibu Noneng Kartini. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Mangasa, Ujung Pandang pada tahun 1992. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Gading Mangu 2 Perak, Jombang yang sebelumnya sampai kelas 4 berada di SDN Gunung Sari II, Ujung Pandang. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Perak, Jombang dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 10 Bandar Lampung. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2005). Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (Himaproter) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi Animal Breeding Club (ABC) periode 2006/2007 dan sebagai staf Informasi dan Komunikasi (Infokom) periode 2007/2009. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi luar kampus yaitu HPMB (Himpunan Pelajar Mahasiswa Bogor) sebagai anggota divisi Kewirausahaan pada periode 2007/2008 dan periode 2008/2009.
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas segala nikmat, rohmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik”. Penelitian ini mengetengahkan pembahasan mengenai pengolahan limbah cair tapioka menggunakan kotoran sapi perah sehingga dapat menurunkan beban pencemaran yang dihasilkan oleh limbah cair. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pengguna hasil penelitian baik mahasiswa peneliti maupun industri pengolahan tepung tapioka. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan dunia peternakan khususnya pada bidang pengolahan limbah ternak. Bogor, September 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..........................................................................................
ii
ABSTRACT .............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................
vii
DAFTAR ISI ............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xii
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang.............................................................................. Tujuan ..........................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
Limbah ......................................................................................... Limbah Peternakan............................................................ Limbah Tapioka ................................................................ Fermentasi Anaerob ...................................................................... Tahap Hidrolisis ................................................................ Tahap Asetogenik.............................................................. Tahap Methanogenik ......................................................... Baku Mutu Limbah Industri Tapioka ............................................ Nilai pH ........................................................................................ Chemical Oxygen Demand (COD) ................................................ Total Solid (TS) ............................................................................ Sianida (CN) .................................................................................
3 3 4 6 6 7 8 8 9 10 10 11
METODE .................................................................................................
12
Lokasi dan Waktu ......................................................................... Materi ........................................................................................... Kotoran Sapi ..................................................................... Limbah Tapioka ................................................................ Instalasi Anaerobik ............................................................ Rancangan .................................................................................... Prosedur ........................................................................................ Persiapan ........................................................................... Pengamatan ....................................................................... Pengukuran Peubah ...........................................................
12 12 12 12 12 13 14 14 14 15
viii
Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
17
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH ..... Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) ................................................ Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total Solid (TS) ..................................................................................... Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida (HCN)...........................................................................................
17
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
25
Kesimpulan ................................................................................... Saran.............................................................................................
25 25
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................
26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
27
LAMPIRAN .............................................................................................
30
19 20 22
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka ..........................
8
2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob ..
18
3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi Anaerob ........................................................................................
20
4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi Anaerob ........................................................................................
21
5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi Anaerob ........................................................................................
23
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka.......................................
5
2. Tahapan Pembentukan Gas Bio.....................................................
7
3. Desain Rangkaian Unit Bioreaktor Sistem Batch...........................
13
4. Nilai pH Selama Proses Fermentasi ..............................................
17
5. Nilai COD Selama Proses Fermentasi ...........................................
19
6. Nilai TS Selama Proses Fermentasi ...............................................
21
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi .............
31
2. Hasil Analisis Sidik Ragam COD Selama Masa Fermentasi ..........
31
3. Hasil Analisis Sidik Ragam TS Selama Masa Fermentasi .............
31
4. Hasil Analisis Sidik Ragam Sianida Selama Masa Fermentasi ......
31
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Air limbah industri mengandung zat-zat atau kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan perlu adanya suatu pengolahan lebih lanjut secara cermat dan terpadu agar dapat meminimalkan volume limbah dan juga konsentrasi kontaminannya sehingga limbah tersebut dapat memenuhi standar baku mutu air yang telah ditetapkan karena apabila tidak ditangani lebih lanjut akan berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia. Industri tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang sangat banyak yang berasal dari proses pencucian dan pengendapan yang mengandung bahan organik yang berpotensi sebagai sumber pencemaran lingkungan apabila tidak diolah. Kualitas tepung tapioka yang dihasilkan suatu industri tapioka selain ditentukan oleh kualitas bahan bakunya juga ditentukan oleh banyak atau tidaknya volume air yang digunakan dalam proses pembuatan tepung tapioka, semakin banyak air yang digunakan maka semakin tinggi pula kualitas tepung tapioka yang dihasilkan. Pengusaha industri tapioka terutama industri kecil dan menengah jarang melakukan pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan. Selama ini limbah cair tapioka yang dihasilkan langsung dibuang ke perairan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu sehingga berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama di sekitar industri. Kurangnya informasi serta besarnya biaya investasi dalam pembuatan fasilitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) menjadi masalah utama bagi industri kecil dan menengah dalam mengolah limbahnya. Salah satu cara pengolahan limbah cair adalah dengan menggunakan IPAL atau UPL sistem pencerna anaerob (anaerob digester). Sistem pengolahan ini tidak memerlukan tempat yang luas serta memiliki biaya investasi yang lebih rendah, selain itu gas metan yang terbentuk selama proses fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi baik sebagai bahan bakar ataupun dikonversi ke energi listrik. Akan tetapi karakteristik dari limbah tapioka yang asam dan beracun (sianida) akan 1
menghambat proses perombakan bahan organik oleh bakteri, sehingga perlu dilakukan penetralan dengan penambahan bakteri yang dapat mendegradasi sianida sebelum limbah cair diolah. Kotoran sapi perah merupakan salah satu bahan yang dapat ditambahkan pada limbah cair tapioka sebelum diolah secara anaerobik. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka serta untuk mengetahui komposisi perbandingan yang optimal antara kotoran sapi perah dengan limbah cair tapioka dalam menurunkan beban pencemaran.
2
TINJAUAN PUSTAKA Limbah Limbah pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah yang berbentuk cair (limbah cair), limbah yang berbentuk padat (limbah padat) dan limbah yang berbentuk gas (limbah gas). Limbah dapat terbuang di tanah, di perairan atau di udara. Besar tidaknya dampak limbah yang terbuang terhadap lingkungan tergantung dari sifat dan jumlah limbah serta daya dukung atau kepekaan lingkungan yang menerimanya (Murtadho dan Said, 1988). Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain rumah tangga, kota, industri, pertanian dan sebagainya. Air limbah dapat menyebabkan kematian organisme air. Bahan buangan yang beracun menyebabkan kematian semua spesies atau perubahan kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Limbah Peternakan Menurut Sahidu (1983) Kotoran ternak adalah hasil buangan metabolisme atau kotoran ternak yang kadang-kadang bercampur dengan urine. Limbah peternakan dapat merupakan pencemaran lingkungan baik yang berupa bau busuk atau pencemaran air terbuka oleh kotoran ternak. Selain itu limbah peternakan dapat mennyebabkan gangguan lainnya seperti gangguan estetika yang terjadi akibat limbah merusak pemandangan, mengundang lalat dan berbau tidak sedap (Azevedo and Strout, 1974). Produksi kotoran setiap spesies ternak merupakan fungsi dari bobot badannya, dimana ternak yang lebih besar memproduksi kotoran lebih banyak. Beberapa gas berbau seperti hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH4) yang dihasilkan mikroba dalam kotoran ternak dapat membahayakan manusia dan ternak jika terakumulasi dalam konsentrasi tinggi, karena keduanya termasuk gas beracun. Gas beracun memiliki nilai ambang batas tertentu terhadap manusia dan ternak, yang jika dilampaui akan mengakibatkan kematian (Curtis, 1972 dalam Fontenot et al., 1983). 3
Limbah Tapioka Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India dan Tiongkok. Ketela pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: M. utilissima Pohl., M. esculenta Crantz sin. (Hambali et al., 2007) Tjokroadikoesoemo (1986), menyebutkan kegunaan ubi kayu sebagai bahan
pokok pangan sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan zaman sebelumnya. Ubi kayu dapat dimakan dalam berbagai bentuk masakan. Di Indonesia ubi kayu dimakan setelah dikukus, dibakar, digoreng, diolah menjadi berbagai macam penganan, atau diragikan menjadi tapai. Industri pengolahan tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian, ekstraksi dan pengendapan. Limbah cair industri tapioka yang masih baru berwarna putih kekuningan, sedangkan limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti pati yang terlarut, jasad renik dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap dengan cepat. Limbah cair tapioka dari hasil pengendapan memiliki nilai BOD sebesar 1450,8–3030,3 mg L-1 dengan rata-rata 2313,54 mg L-1, COD sebesar 3200 mg L-1 dan padatan terlarut 638,0–2836,0 mg L-1 serta kandungan sianida (CN) sebesar 19,58–33,75 mg L-1. Sebanyak 1000 kg ubi kayu yang telah bersih dan terkupas kulitnya (kandungan bahan kering 35%) dapat menghasilkan limbah cair sebesar 514 kg (Tjokroadikoesoemo, 1986). Secara garis besar proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 1. 4
SINGKONG
Pengupasan
Pencucian
Pemarutan
Ekstraksi
Pengendapan
Penjemuran
Penggilingan
Pengayakan
TEPUNG TAPIOKA Gambar 1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka Sumber : Bapedal, 1996
5
Fermentasi Anaerob Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan tidak memerlukan oksigen (Stafford et al., 1980). Menurut Barnett et al. (1978), fermentasi anaerob adalah proses perombakan bahan organik secara mikrobiologis dalam keadaaan anaerob, dimana dihasilkan gas bio berupa campuran gas dimana CH4 dan CO2 merupakan gas yang dominan. Secara sederhana reaksi fermentasi anaerobik tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut (Buswell and Mueller, 1952 dalam Tjokroadikoesoemo, 1986) :
Banyaknya gas yang dihasilkan secara teoritis dapat dihitung berdasarkan kenyataan bahwa tiap 1 kg karbon yang terkandung di dalam substrat akan menghasilkan 1/12 kmol gas atau 1,867 m3 gas pada suhu dan tekanan standar. Fermentasi anaerob terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap asetogenik (pembentukan asam) dan tahap metanogenik (Gambar 2). Tahap Hidrolisis Senyawa-senyawa organik dengan susunan molekul yang amat kompleks itu mula-mula dihidrolisis oleh jasad renik (bakteri-bakteri) menjadi monomermonomernya (glukosa atau selulosa dan selubiosa). Sejumlah bakteri yang berperan pada tahap ini adalah bakteri selulitik dan amilolitik. Bakteri-bakteri tersebut dapat digolongkan menjadi : -
Bakteri mesofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 35 - 40oC
-
Bakteri termofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 55 - 60oC Kerjasama dari kedua golongan bakteri ini di dalam proses fermentasi
anaerobik menghasilkan proses hidrolisis lebih cepat dibandingkan bakteri-bakteri tersebut bekerja sendiri-sendiri. Bakteri selulolitik bekerja secara optimum pada pH sekitar 5,0–7,0 (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis selulosa merupakan tahap yang paling lambat. Produk dari tahap hidrolisis berupa komponen lebih sederhana yang berfungsi mendukung reduksi limbah total, menstabilkan serta merupakan sumber energi penting bagi komponen bakteri (Barnett et al., 1978). Pengubahan selulosa oleh bakteri tergantung pada suasananya, suasana aerob akan dihasilkan 6
karbon dioksida, air dan panas sedangkan pada suasana anaerob akan dihasilkan karbon dioksida, etanol dan panas (Hadiwiyoto, 1983). Selulosa
selulosa
Hidrolisis
glukosa
Glukosa
glukosa
asam laktat
Pengasaman Asam butirat etanol Asam lemak dan Alkohol
Metanogenik
Metan + CO2 Gambar 2. Tahapan Pembentukan Gas Bio Sumber : FAO, 1962.
Tahap Asetogenik Karbohidrat sederhana yang dihasilkan tahap hidrolisis akan menjadi substrat bagi bakteri asetogenik dan difermentasi menjadi H2, CO2, asam format, asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, asam laktat dan asam lainnya serta alkohol sederhana. Susunan atau komposisi dari senyawa-senyawa dari produk proses tahap ini bergantung pada jenis flora di dalam digester, komposisi substrat dan kondisi-kondisi lingkungan bagi flora yang bersangkutan (Tjokroadikoesoemo, 1986). 7
Golongan bakteri pembentuk asam bersifat fakultatif aerob, artinya pada suasana aerob pun bakteri ini masih dapat hidup dan aktif mengadakan perombakan (Hadiwiyoto, 1983). Bakteri ini akan memecah struktur organik kompleks menjadi asam asam volatil (struktur kecil). Protein dipecah menjadi asam asam amino. Karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana. Lemak dipecah menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih jauh menjadi asam asarn volaid. Bakteri asetogenik juga dapat melepaskan gas hidrogen dan gas karbondioksida (Firdaus, 2003). Tahap Methanogenik Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), semua bahan organik terlarut pada tahap methanogenik dikonversikan oleh bakteri-bakteri metanogenik menjadi metana. Energi hampir-hampir tidak diperlukan dalam proses ini. Demikian juga perkembangbiakan bakteri metanogenik juga hampir-hampir tidak ada. Sebagian amonia yang dihasilkan di dalam tahap sebelumnya dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen oleh bakteri-bakteri metanogenik ini. Bakteri metanogenik membutuhkan kondisi potensial oksidasi-reduksi (Eh) yang rendah di dalam substrat (di bawah 330 mV). Kondisi semacam ini juga dihasilkan pada tahap sebelumnya, karena bakteri metanogenik tidak memiliki kemampuan untuk menurunkan Eh. bakteri metanogenik juga sangat peka terhadap perubahan pH. Produktivitas bakteri dalam keadaan optimum pada pH sekitar 6,6 – 7,6, di bawah pH 6,6 produksi akan turun dengan cepat, dan di bawah pH 6,2 sebagian bakteri akan mati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Baku Mutu Limbah Industri Tapioka Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemaran. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang kelingkungan hidup. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: 03/MENLH/1998). 8
Baku mutu limbah industri tapioka yang dipersyaratkan hanya limbah cairnya saja
(Surat
Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan
Hidup
No.
KEP-
1/MenLH/10/1995) dengan karakteristik tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Tapioka Parameter Bioligycal Oxygen Demand (BOD) Chemical Oxygen Demand (COD) Total Solid (TTS) Sianida (CN) pH Debit Limbah Maksimum
Kadar Maksimum (mg L-1)
Beban Pencemaran Maksimum (kg ton-1)
150
4,5
300
9
100 0,3
3 0,009 6,0-9,0 30 m per ton produk tapioka 3
Catatan : 1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk tapioka. Sumber : Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-1/MenLH/10/1995
Nilai pH Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan bahwa pH merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan. Nilai pH merupakan salah satu cara untuk menyatakan konsentrasi ion H+. Nilai pH menjadi suatu indikator dalam proses penjernihan air limbah untuk meningkatkan efisiensi proses penjernihan. Menurut Hardjo et al. (1989), salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroba adalah pH, oleh karena itu pengaturan pH selama fermentasi perlu dilakukan. Kecepatan perkembangan organisme merosot sangat pesat pada pH di bawah enam dan diatas delapan (Mahida, 1984). Konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun air limbah. Air limbah dengan konsentrasi air limbah yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya. Nilai pH yang baik bagi air minum dan air limbah adalah netral (Sugiharto, 1987).
9
Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD selalu lebih besar daripada Biologycal Oxygen Demand (BOD) karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang lebih cepat, yakni dapat dilakukan selama tiga jam (Siregar, 2005). Angka COD adalah jumlah oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam satu liter sampel air, dimana pengoksidasian K2 Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara ilmiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Alaerts and Santika, 1984). Parameter COD atau kebutuhan oksigen kimia, merupakan parameter penting untuk menentukan derajat pencemaran, yakni memberikan ekuivalen oksigen bahan organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kimia kuat (Hartomo dan Widiatmoko, 1994). Total Solid (TS) Total Solid (TS) merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105oC. Total solid terdiri atas bahan terlarut (dissolved solid) dan tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Adanya residu dalam air menyebabkan kualitas air tidak baik, menimbulkan berbagai reaksi dan mengganggu estetika. Pengukuran total solid dengan cara pengeringan sampel pada temperatur tertentu kemudian perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah proses pengeringan menunjukkan konsentrasi solid dalam air (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Adanya padatan dalam air mempengaruhi tingkat kekeruahan air, semakin tinggi muatan padat tersuspensi yang bervariasi dalam ukuran koloid sampai dispersi kasar maka akan semakin keruh. Padatan-padatan (total solid, suspended solid dan disolved solid), serta kondisinya sebagai fraksi volatil dan fixed dapat digunakan untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses (Siregar, 2005). 10
Sianida (HCN) Sianida dimasukkan dalam standar persyaratan kualitas air minum, oleh karena sebagai single-dose, 50-60 mg adalah bersifat fatal; intake sebesar 3-5 mg/hari tidak menimbulkan gangguan begitu juga untuk single-dose sebesar 10 mg. Konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak selama 2 hari. Chlorinasi akan mengubah sianida menjadi cyanogen chloride yang mempunyai oral toxicity yang akut 1/20 dari sianida (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Ubi kayu mengandung racun glukosida sianogenik (linamarin dan lotaustralin) yang sewaktu hidrolisis dapat menghasilkan asam sianida dan glukosa. Racun ubi kayu dalam kadar yang tinggi dapat berakibat fatal atau mengakibatkan penyakit keracunan yang dinamakan tropical ataxic neuropathy. Kandungan tiosianat di dalam serum darah bila cukup tinggi dapat mengganggu pekerjaan kelenjar gondok sehingga penderitanya dapat terserang penyakit gondok (goitre) atau kekerdilan (cretinism) (Tjokroadikoesoemo, 1986).
11
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–April 2009, di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Materi Kotoran Sapi Kotoran sapi perah diperoleh dari lokasi kandang blok A, Bagian Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Kotoran sapi perah yang diambil merupakan kotoran segar. Limbah Tapioka Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan air limbah yang diperoleh setelah tahap pengendapan pati. Limbah tapioka diperoleh dari Usaha Kecil Menengah (UKM) pengolahan tepung tapioka di Desa Cikeas Kecamatan Sukaraja, Bogor. Instalasi Anaerobik Instalasi Anaerobik terdiri dari dua komponen yaitu bioreaktor dan tempat penampungan gas. Bioreaktor terbuat dari jerigen plastik berkapasitas 20 liter yang dikondisikan anaerob, sedangkan tempat penampungan gas terdiri dari dua buah wadah plastik yang berbeda ukurannya serta diberi kran. Bioreaktor dan tempat penampungan gas dihubungkan dengan selang plastik. Tempat penampungan air yang digunakan untuk menampung air yang keluar akibat tekanan gas, air yang keluar volumenya sama dengan volume gas yang menekan. Model instalasi Anaerobik tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
12
Keterangan : A B C D E F G
: Bioreaktor : Penampung Gas : Penampung Air : Lubang pemasukan : Tempat pengambilan sampel dan pengukuran : Selang penyalur gas : Kran
Gambar 3. Desain rangkaian unit bioreaktor sistem batch Sumber: Sahidu, 1983. Rancangan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sebagai perlakuan adalah persentase antara limbah tapioka dan kotoran sapi. Perlakuan terdiri dari lima taraf, yaitu 100% limbah tapioka (T 100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80 % limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi (T80S20), 70 % limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40). Setiap perlakuan diulang empat kali dan setiap ulangan terdiri dari satu instalasi sebagai unit percobaan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain nilai pH, nilai Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS) dan kadar sianida (CN). Sebelum dianalisis, data diuji asumsi yaitu uji kenormalan, keaditifan, kehomogenan dan kebebasan galat, apabila telah memenuhi semua asumsi tersebut maka data dianalisis ragam. Apabila hasil sidik ragam berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1995). 13
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Keterangan : Yij
= Nilai Pengamatan
µ
= Nilai Rataan
αi
= Pengaruh Perlakuan ke-i (T100S0, T90S10, T80S20, T70S30, dan T60S40).
βj
= Pengaruh Kelompok ke-j (kelompok hari pengambilan sampel)
εij
= Galat Perlakuan ke-i, kelompok ke-j
i
= Perlakuan ke-i
j
= Kelompok ke-j Prosedur
Persiapan Instalasi Anaerobik yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan diuji kebocorannya terlebih dahulu, dengan cara mengisinya dengan air dan didiamkan selama 24 jam. Instalasi yang mengalami kebocoran ditandai dengan berkurangnya volume air. Pengujian ini bertujuan untuk menjamin kondisi anaerob dalam instalasi selama proses fermentasi serta tidak keluarnya gas yang telah terbentuk. Kotoran sapi perah yang dicampurkan sebelumnya telah dibersihkan dari bahan-bahan lain seperti potongan rumput, pasir dan sebagainya. Sebelum dimasukkan ke dalam bioreaktor, campuran kotoran sapi perah dan limbah cair tapioka dihomogenkan terlebih dahulu. Perbandingannya antara lain 100% limbah tapioka (T100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80 % limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi (T80S20), 70 % limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40). Masing-masing perlakuan memiliki empat ulangan. Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari untuk pengukuran pH selama 30 hari. Sedangkan untuk peubah lainnya seperti kadar COD, BOD, sianida dan TS hanya dilakukan tiga kali pengambilan sampel yaitu pada awal limbah dimasukkan (H0), pertengahan penelitian (H17) dan saat akhir penelitian (H30). 14
Pengukuran Peubah 1. Nilai pH diperoleh dengan cara mengukur limbah cair dengan menggunakan kertas lakmus universal. 2. Kadar COD diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th 5220 C, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998). a. Bahan-bahan : Amonium Ferro Sulfat 0,1 N, Amonium Ferro II Sulfat 0,25 N, K2Cr2O7 0,25 N, asam sulfat dan indikator ferroin. b. Alat yang digunakan : Alat destilasi, kondensor dan erlemeyer. c. Prosedur kerja : Sampel diambil sebanyak 20 ml, dimasukkan ke dalam labu didih 300 ml, ditambahkan K2Cr2O7 0,25 N; 0,4 gr H2SO4;40 ml asam sulfat yang mengandung silver sulfat dan batu didih. Selama 10 menit dipanaskan dan didihkan dengan direflux menggunakan kondensor. Kemudian dinginkan dan cuci dengan menggunakan 50 ml air suling. Didinginkan kemudian ditambahkan 2 tetes indikator ferroin dan titrasi dengan amonium ferro sulfat 0,25 N hingga terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah kecoklatan. Kemudian mencatat volume yang digunakan. Indikasikan sebagai (B). Dengan melakukan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap blangko air suling sebanyak 20 ml dengan menggunakan 0,25 amonium ferro sulfat. Indikasikan sebagai (A). Perhitungan :
Dimana:
A
= ml titrasi blangko
B
= ml titrasi sampel
M
= molaritas (0,25)
8000
= miliequivalent berat oksigen x 1000 ml/l
3. Total Solid diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th 5540 C, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998). 15
a. Alat yang digunakan : Cawan porselen, silica gel, steam-bath, desikator, oven bersuhu 103105oC, timbangan analitik, stirrer magnetik dan pipet. b. Prosedur kerja: Cawan porselen yang bersih dikeringkan di dalam oven bersuhu 103105oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator, setelah beberapa saat ditimbang. Indikasikan sebagai (B). Sampel sebanyak 200 mg, dimasukkan ke dalam cawan porselen, lalu dipanaskan dan keringkan di dalam oven bersuhu 103-105oC selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator, simpan hingga suhu dan beratnya seimbang. Indikasikan sebagai (A). c. Perhitungan :
Dimana :
A
= berat sampel setelah ditimbang + berat cawan (mg)
B
= berat cawan tanpa sampel (mg)
4. Kadar sianida diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th 3500 CN-, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998). a. Bahan-bahan: Buffer CN (138g NaH2PO4.H2O dalam 1 liter air suling), chloramin T 1%, asam barbiturat-piridin (3 g asam barbiturat ditambah 15 ml piridin dan 3 ml 37% HCL dan ditambahkan aquades hingga volumenya 50 ml). b. Metode : Sampel sebanyak 0,1 ml ditambahkan aquades sebanyak 1,9 ml, ditambahkan 2 ml buffer CN dan 0,5 ml chloramin T 1%. Dihomogenkan menggunakan vortex dan didiamkan selama 2 menit setelah itu ditambahkan 0,5 ml larutan asam barbiturat-piridin, dihomogenkan dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 578 nm.
FP
: faktor pengencer
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai pH yang kecil atau rendah. pH limbah tapioka yang digunakan dalam penelitian ini berkisar pada angka 5. Setelah ditambahkan dengan kotoran sapi perah, pH limbah cair tapioka semakin menuju kondisi netral. Semakin besar persentase penambahan kotoran sapi perah maka nilai pH yang dihasilkan semakin mendekati netral (Gambar 4). Selama masa fermentasi selama 30 hari, pH pada setiap perlakuan mengalami peningkatan (Tabel 2). Kenaikan terbesar dialami oleh perlakuan T60S40 dan T70S30 yaitu berturut-turut sebesar 16,97% dan 15,52%. Meskipun kecil terdapat peningkatan nilai pH pada perlakuan T80S20, T90S10 dan T100S0. Menurut Ginting (2007), air buangan yang memiliki pH tinggi atau rendah menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh mikroorganisme air. pH limbah cair tapioka yang rendah atau asam mengakibatkan tidak seluruh mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya, melainkan hanya beberapa mikroorganisme tertentu saja yang dapat bertahan. Nilai pH yang optimal bagi sebagian besar mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang adalah antara 6,0 - 8,0. Kotoran sapi merupakan salah satu contoh medium yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, hal ini dikarenakan pH-nya yang relatif mendekati
Nilai pH
netral. 8.5 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Hari
Keterangan :
T60S40
T70S30
T80S20
T90S10
T100S0
Gambar 4. Nilai pH Selama Proses Fermentasi 17
Data hasil penelitian tersebut diuji menggunakan sidik ragam dan didapat bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antar perlakuan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan kotoran sapi perah tidak jauh berbeda mulai taraf T80S20 keatas, sehingga pemberian kontoran sapi perah pada limbah cair tapioka sebesar 20% keatas (30% dan 40%) mempengaruhi pH limbah cair tapioka sehingga memenuhi baku mutu limbah cair tapioka yaitu 6,0-9,0. Sedangkan penambahan kotoran sapi perah sebesar 10% meskipun dapat mempengaruhi nilai pH akan tetapi tidak dapat mencapai syarat baku mutu (Tabel 2). Tabel 2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob Perlakuan T060S40 T070S30 T080S20 T090S10 T100S00
Nilai pH Hari 1
Hari 17
Hari 30
Rataan
7,00
7,10
7,42
7,24c ± 0,37
6,63 6,00 5,38 5,00
7,16 6,34 5,99 5,51
7,45 5,96 5,46 5,19
c
7,27 ± 0,41 c
6,17 ± 0,44 b
5,74 ± 0,47 a
5,35 ± 0,55
Kenaikan (%) 16,97 15,52 03,58 03,09 05,73
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
Derajat keasaman yang rendah akan mempengaruhi karakteristik gas bio yang dihasilkan. Uzodinma dan Ofoefule (2008) serta Anunputtikul dan Rodtong (2004) melaporkan bahwa limbah cair tapioka murni tanpa penambahan bahan apapun akan menghasilkan pH yang rendah. Sehingga dalam mengolah limbah cair tapioka mereka menambahkan beberapa jenis bahan dan inokulum sebelum limbah diolah. Beberapa peneliti lain menggunakan berbagai macam jenis inokulum lainnya sebelum mengolah limbah cair tapioka secara anaerob. Razif et al. (2006) menggunakan ragi Candida utilis. Anunputtikul dan Rodtong (2004) menggunakan kotoran sapi dan diinkubasi selama 3 bulan. Hanifah et al. (2001) menggunakan EM (Effective Microorganisms). Penambahan inokulum ini selain untuk memperbaiki pH limbah juga untuk memperbaiki rasio C/N, menambah bahan nutrisi serta menambah jenis dan jumlah mikroorganisme yang akan merombak bahan organik limbah cair tapioka.
18
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak memenuhi persyaratan baku mutu limbah industri tapioka yang sudah beroperasi dalam SK MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 karena kadar COD limbah cair tapioka lebih besar dari pada 300 mg L-1 yaitu sebesar 1822 mg L-1. Selama masa fermentasi selama 30 hari nilai COD dalam limbah berkurang menjadi 546 mg L-1, sehingga belum dapat memenuhi persyaratan baku mutu. Penambahan kotoran sapi perah ke dalam limbah cair tapioka akan meningkatkan nilai COD, karena di dalam kotoran sapi perah juga mengandung bahan-bahan organik yang sulit dirombak oleh mokroorganisme sehingga dapat memperbesar kadar COD dalam limbah cair tapioka. Hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata pada nilai COD setiap perlakuan (P<0,01) dan setelah di uji lanjut (Uji Duncan) didapatkan bahwa penambahan kotoran sapi perah sampai pada taraf 20% (T80S20) tidak mempengaruhi nilai COD limbah cair tapioka, akan tetapi pemberian lebih dari itu (30-40%) akan mempengaruhi nilai COD limbah cair tapioka (Tabel 3). 8000 7000
mg L-1
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 H0
Keterangan :
H17 T60S40
T70S30
H30 T80S20
T90S10
T100S0
Gambar 5. Nilai COD Selama Proses Fermentasi Aktifitas mikroorganisme selama proses fermentasi secara anaerobik mengakibatkan penurunan pada nilai COD. Besaran penurunan COD selama 30 hari 19
pada tiap perlakuan memiliki persentase yang tidak jauh berbeda (Tabel 3). Persentase penurunan terbesar terdapat pada P5 sebesar 70,03%, kemudian berturutturut P2 (66,29%), P1 (59,40%), P4 (46,14%) dan P3 (27,89%). Tabel 3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi Anaerob COD (mg L-1) Perlakuan Penurunan (%) Hari 1 Hari 17 Hari 30 Rataan T060S40
7524
6569,04
3055
5716,01c ± 2353,45
59,40
T070S30
4435
2875,03
1495
2935,01b ± 1470,92
66,29
T080S20
2614
2231,10
1885
2243,37ab ±0364,65
27,89
T090S10
2772
2013,23
1493
2092,74ab±0643,20
46,14
T100S00
1822
1125,04
0546
1164,35a ± 0638,91
70,03
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total Solid (TS) Total solid atau padatan total merupakan bahan terlarut (dissolved solid) dan tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Limbah cair tapioka berwarna putih dikarenakan adanya partikel-partikel pati yang sangat halus dari proses ekstraksi (Bapedal, 1996). Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka akan menambah kandungan TS, hal ini dikarenakan di dalam kotoran sapi perah juga terdapat padatan baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Tabel 4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi Anaerob TS (%) Perlakuan Penurunan (%) Hari 1 Hari 17 Hari 30 Rataan T060S40
5,82
5,04
4,14
5,00d ± 0,84 c
28,87
T070S30
4,39
3,56
2,34
3,43 ± 1,03
46,70
T080S20
1,21
0,96
0,73
0,97b ± 0,24
39,67
T090S10
0,86
0,76
0,63
0,75b ± 0,12
26,74
T100S00
0,54
0,40
0,28
0,41a ± 0,13
48,15
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
20
Hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan (P<0,01), berarti penambahan kotoran sapi perah mempengaruhi nilai TS limbah cair tapioka. Uji lanjut menunjukkan perbedaan tersebut pada setiap perlakuan meskipun antara T90S10 dan T80S20 tidak terdapat perbedaan (Tabel 4). Semakin besar kotoran sapi perah yang diberikan maka nilai TS akan semakin besar dibandingkan nilai TS limbah cair tapioka murni tanpa penambahan kotoran sapi perah. Total Solid yang dimiliki oleh limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.54% yang berarti limbah tersebut menurut SK MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 belum layak apabila langsung dilepaskan ke perairan lepas, yaitu lebih besar dari pada 100 mg L -1 atau 0,01%. Proses fermentasi selama 30 hari telah mendegradasi TS yang terdapat dalam limbah. Perombakan TS oleh mikroorganisme telah mengakibatkan penurunan nilai TS (Gambar 6). Proses fermentasi selama 30 hari ternyata belum mampu menurunkan nilai TS hingga memenuhi syarat, meskipun persentasi penurunan pada perlakuan T100S0 merupakan persentase terbesar dibandingkan perlakuan lainnya. 7 6
Persen (%)
5 4 3 2 1 0
H0
Keterangan :
H17 T60S40
T70S30
H30 T80S20
T90S10
T100S0
Gambar 6. Nilai TS Selama Proses Fermentasi Total Solid dapat berupa karbohidrat, lemak, protein, mineral dan lain sebagainya baik bahan organik maupun bahan anorganik, sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dalam proses metabolisme. Pemanfaatan ini 21
mengakibatkan perubahan bentuk dari rantai yang kompleks menjadi rantai yang lebih sederhana serta timbulnya hasil sampingan seperti CO 2, H2S dan CH4. Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mengakibatkan perbedaan persentase penurunan TS. Setiap perlakuan memiliki besaran penurunan yang berbeda. Persentase terbesar dimiliki perlakuan T 100S0 yaitu sebesar 48,15%, kemudian diikuti secara berturut-turut T70S30 (46,70%), T80S20 (39,70%), T60S40 (28,87%) serta T90S10 (26,74%) yang dapat dilihat pada Tabel 4. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida (HCN) Kadar maksimum sianida yang diperbolehkan dalam baku mutu air limbah industri
tapioka
yang
sudah
beroperasi
menurut
SK
MENLH
KEP-
51/MENLH/I0/1995 adalah sebesar 0,3 mg L-1 dengan beban pencemaran maksimum 0,009 kg/ton produk. Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan adanya sianida dalam perairan dapat membunuh biota yang ada di perairan tersebut, konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak selama 2 hari. Kadar sianida limbah cair tapioka yang digunakan pada penelitian ini telah memenuhi syarat baku mutu tersebut yaitu sebesar 0,162 mg L-1. Data hasil penelitian diuji menggunakan uji sidik ragam dan didapatkan bahwa data tidak berbeda nyata (P>0,05), yang artinya kadar sianida sepenuhnya berasal dari limbah cair tapioka sehingga penambahan kotoran sapi perah sebesar apapun pada limbah cair tapioka tidak mempengaruhi kadar sianida pada masingmasing perlakuan. Selama 30 hari masa fermentasi kadar sianida pada tiap perlakuan mengalami perubahan (Tabel 5). Peningkatan nilai sianida terutama pada pertengahan masa fermentasi dikarenakan sebagian besar bahan organil yang terkandung dalam limbah cair seperti selulosa, lemak, protein dan lain sebagainya telah terdegradasi oleh mikroorganisme, akan tetapi sianida belum terombak seluruhnya. Degradasi sianida dapat terjadi dalam kondisi anaerob dan menghasilkan asam format dan amonia, secara garis besar reaksinya adalah sebagai berikut :
Proses perombakan sianida tergantung pada kadar sianida yang terkandung dalam limbah serta jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses perombakan 22
(Abrar, 2001). Sianida merupakan bahan beracun bagi mikroorganisme sehingga tidak setiap mikroorganisme dapat mendegradasi sianida. Kadar sianida yang tetap sedangkan kadar bahan organik limbah sebagian besar telah berkurang akan meningkatkan konsentrasi sianida dalam limbah. Tabel 5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi Anaerob Nilai CN (mg L-1) Perlakuan Penurunan (%) Hari 1 Hari 17 Hari 30 Rataan T060S40
0,165
0,44
0,047
0,28 ± 0,20
071,52
T070S30
0,078
0,52
0,031
0,21 ± 0,27
060,26
T080S20
0,042
0,41
0,406
0,27 ± 0,21
-866,67
T090S10
0,052
1,73
0,305
0,70 ± 0,91
-486,54
T100S00
0,162
2,29
0,218
0,89 ± 1,21
-034,57
Sianida akan terdegradasi oleh mikroorganisme apabila mikroorganisme perombak sianida yang terkandung dalam limbah telah cukup. Prinsip degradasi limbah sianida adalah mengubah ion sianida yang merupakan bentuk seyawa berbahaya menjadi bentuk yang tidak berbahaya. Selain dipengaruhi oleh ada atau tidaknya bakteri pendegradasi sianida, degradasi dari sianida dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti konsentrasi sianida, pH larutan, suhu dan lain sebagainya. Beberapa perlakuan seperti T100S0, T90S10 dan T080S20 mengalami peningkatan nilai sianida sedangkan pada perlakuan T70S30 dan T60S40 mengalami penurunan meskipun pada pertengahan masa fermentasi (hari ke-17) mengalami peningkatan nilai (Tabel 5). Peningkatan nilai sianida dikarenakan mikroorganisme dalam limbah tidak cukup dalam merombak sianida. Selain itu pH yang asam juga ikut berperan serta dalam peningkatan tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya konsentrasi ion H + pada larutan yang asam sehingga akan mengikat ion CN - yang terurai dari bentuk kompleks. Penurunan kadar sianida terbesar pada T60S40 yaitu 71,52% sedangkan pada T60S40 sebesar 60,26%. Hal ini menandakan penambahan kotoran sapi perah lebih dari 30% pada limbah cair tapioka dapat menurunkan kadar sianida dalam limbah.
23
Meskipun memiliki persentase penurunan terbesar baik untuk TS dan COD, perlakuan T100S0 tidak dapat menurunkan nilai sianida. Selain itu pH yang masih rendah membuat perlakuan T100S0 tidak dapat secara langsung dilepaskan ke perairan lepas. Mikroorganisme yang bekerja pada perlakuan T100S0 sebagian besar adalah bakteri asidogenik. Haryanti (2006) menyebutkan bahwa di dalam digester gas bio terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yaitu bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Keberadaan kedua bakteri ini harus berada dalam kondisi berimbang terutama dalam memproduksi gas bio. Hal ini lah yang mengakibatkan pada perlakuan T100S0 gas bio yang dihasilkan sangat sedikit dan tidak dapat dibakar karena masih banyak mengandung gas karbondiokasida (CO2).
24
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka berpengaruh pada pH, COD dan TS, tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida pada limbah cair tapioka. Penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20% tidak mempengaruhi nilai COD. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan. Penambahan kotoran sapi perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral. Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70% limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam mengolah limbah cair tapioka. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sistem kontinu serta dengan menggunakan jenis inokulum lainnya. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai sludge yang dihasilkan.
25
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan ke kehadirat Alloh SWT atas segala nikmat, rohmat, limpahan karunia, pertolongan dan hidayah-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan rasa hormat dan syukur yang tidak terhingga kepada ibu (Noneng Kartini) dan Bapak (Rifai Suardi) yang tanpa henti senantiasa melimpahkan doa, nasehat, dan kasih sayang kepada penulis. Terima kasih kepada para kakak dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi dan semangat. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ir. Salundik, M.Si dan Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc, selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya selama penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi hingga tahap akhir. Terima kasih kepada Ir. Zulfikar Mooesa, MS selaku pembimbing akademik atas segala bimbingan, saran dan masukannya selama penulis kuliah di Fakultas Peternakan IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Mas Fandi, Opa (Om Paul) dan Ari yang telah banyak membantu dan menemani dalam penelitian, tanpa kalian penelitian ini tidak akan pernah ada.
Seluruh rekan IPTP’42, rekan “Pondok
ASAD”, rekan “Jokam 42” (Alwin, Iwan, Anindra, Opik, Wahyu, Gina dan Laweh), rekan “Griya” dan rekan HPMB terima kasih atas seluruh motivasi, semangat, dan doa, serta seluruh pihak baik yang tidak dapat disebutkan satu persatu maupun yang tidak mau disebutkan namanya yang membantu hingga selesainya skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi dunia peternakan Bogor, September 2009
Penulis
26
DAFTAR PUSTAKA Abrar, A. 2001. Eksplorasi Mikroba Rumen Pendegradasi Sianida. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alaerts, G. dan S. S. Santika. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. Anunputtikul, W and S. Rodtong. 2004. Laboratory scale experiment for biogas production from cassava tubers. The Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)”. 3-017 (O). APHA, AWWA and WPCF. 1998. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 18th Ed. American Public Health Association. Washington. Azevedo, R. S. and P. R. Strout. 1974. Farm Animal Manure : An overview of their role in the agricultural environment. California Agricultural Experiment Station and Extention Service Manual 44, Berkeley. Bapedal. 1996. Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Tapioka di Indonesia. Buku Panduan. Jakarta. Barnett, A., L. Pyle and S. K. Subramanian. 1978. Biogas Technology in The Third Word : A Multidiciplinary Review. International Development Research Center, Ottawa. FAO. 1986. Processing and Utilization of Animal By-Products. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Italy. Firdaus,
I. U. 2003. Energi Alternatif Biogas. http://www.migas-indonesia.com/index.php?module=article&sub=article&act=view&id=432. [24 Agustus 2009].
Fontenot, J. P., L. W. Smith and A. L. Sutton. 1983. Alternative utilization of animal waste. J. Anim. Sci. 57:211-233. Ginting, P. 2007. Sistem Pengolahan Lingkungan dan Limbah Industri. CV. Yrama Widya, Bandung. Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu, Jakarta. Hambali, E. S. Mudjalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Hanifah, T. A., C. Jose dan T. T. Nugroho. 2001. Pengolahan limbah cair tapioka dengan teknologi EM (effective microorganisms). J. Natur Indonesia III (2): 95-103. Hardjo, S., N. S. Indrasti dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. 27
Hariyadi, S, Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi Metoda Penelitian Kualitas Air. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartomo, A. J. dan M. C. Widiatmoko. 1994. Teknologi Membran Pemurnian Air. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Haryati, T. 2006. Biogas : limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Wartazoa Vol. 16 No.3. Junus, M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gasbio. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV Rajawali, Jakarta. Mercel, J. A. 1981. Managing Livestock Waste. The AVI Publishing Company, Inc, Westport. Mulyanto, A. and Titiresmi. 2000. Implementation of anaerobic process on wastewater from tapioca starch industries. Puspiptek Serpong, Tangerang. Murtadho, D dan E. G. Said,. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Petrie, A and P. Watson. 1999. Statistics for Veterinary and Animal Science. Blackwell Science, London. Price, E. C. and P. N. Cheremisinoff. 1981. Biogas Production and Utilization. Ann Arbor Science Publisher, Inc, Michigan. Razif, M., V. E. Budiarti and S. Mangkoedihardjo. 2006. Appropriate fermentation process for tapioca’s wastewater in Indonesia. J. Applied Sci. 6 (13): 28462848. Saeni, M. S. 1996. Kimia Lingkungan. Departemen P dan K, Dirjen Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat IPB 151p. Sahidu, S. 1983. Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press, Jakarta. Siregar, S. A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/I0/1995. Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Stafford, D. A., D. L. Hawkes and R. Horton. 1980. Methane Production from Waste Organic Matter. CRC Press Inc, Florida. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
28
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sutrisno, C. T. dan E. Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta, Jakarta. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia, Jakarta. Uzodinma, E. O and A. U. Ofoefule. 2008. Effect of abattoir cow liquor waste on biogas yield of some agro-industrial waste. Sci. Res. Essays Vol.3 (10). pp. 473-476. Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Ed. III. Penerbit Andi, Yogyakarta.
29
LAMPIRAN
30
Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error total Keterangan : ** * tn
db 4 29 116 149
JK 90.88022 9.3321 20.55028 120.7626
KT 22.72006 0.321797 0.177158
Fhit F0.05 F0.01 128.2477** 2.37 3.32 1.816443** 1.51 1.78
: sangat nyata : nyata : tidak nyata
Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam COD Selama Masa Fermentasi Sumber Keragaman perlakuan kelompok error total Keterangan : ** * tn
db 4 2 8 14
JK 36006560 11565482 5748932 53320975
KT 9001640 5782741 718616.5
Fhit F0.05 F0.01 12.52635** 3.84 7.01 8.047047* 4.46 8.65
: sangat nyata : nyata : tidak nyata
Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam TS Selama Masa Fermentasi Sumber Keragaman perlakuan kelompok error total Keterangan : ** * tn
db 4 2 8 14
JK 48.45796 2.217333 1.4986 52.17389
KT 12.11449 1.108667 0.187325
Fhit F0.05 F0.01 64.67097** 3.84 7.01 5.918413* 4.46 8.65
: sangat nyata : nyata : tidak nyata
Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Sianida Selama Masa Fermentasi Sumber Keragaman perlakuan kelompok error total Keterangan : ** * tn
db 4 2 8 14
JK 0.193862 0.585874 0.305205 1.08494
KT 0.048465 0.292937 0.038151
Fhit 1.270373tn 7.678447*
F0.05 F0.01 3.84 7.01 4.46 8.65
: sangat nyata : nyata : tidak nyata
31