Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
PENGKLASIFIKASIAN SPARE PART DAN MODEL PEMILIHAN VENDORNYA PADA METERING STATION DI PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA Hendra Wahyu Nugroho dan Iwan Vanany Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Cokroaminoto 12A Surabaya 60264 Email:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK PT. Chevron Pacific Indonesia merupakan salah satu perusahaan pengelola minyak dan gas bumi di Indonesia yang ditunjuk oleh SKKMIGAS melalui kontrak kerja sama. Salah satu area penting sebagai support proses operasi penyaluran minyak mentah kepada customer adalah Metering Station dimana berfungsi sebagai alat kalkulasi. Oleh karena itu kehandalan peralatan tersebut sangat diperlukan, sehingga proses maintenance dan kesiapan spare part yang baik sangat diperlukan. Untuk mempermudah dalam pemenuhan kebutuhan akan spare part diperlukan sistem common stock yang akan secara sistematis ter-generate pada inventory management system. Analisis berdasarkan kekritisan, nilai, lead time, dan frekuensi penggunaan akan membantu dalam menentukan safety stock yang akan digunakan sebagai acuan sistem common stock. Sebanyak 190 jenis spare part dengan nilai biaya sebesar US$ 778.573,78 diklasifikasikan berdasarkan kekritisan komponen dan perhitungan safety stock yang menghasilkan kategori common stock order sebesar 77,89% dan uncommon stock sebesar 22,11% dari jumlah total spare part. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan klasifikasi berdasarkan nilai dengan ABC analisis dan klasifikasi berdasarkan kekritisan lebih sesuai digunakan pada Metering Station. Selain itu model penentuan vendor juga diperlukan guna mempercepat proses pengadaan spare part. Model penentuan vendor menggunakan kerangka kerja Fun dan Hung dimana menggunakan landasan kriteria quality, cost, delivery, responsiveness, dan TKDN. Sehingga berdasarkan penelitian ini mempermudah proses ordering secara sistematis yang berdampak terpenuhinya kebutuhan akan spare part dengan kualitas bagus dan terhindar dari stock out. Kata kunci: Pengadaan, Spare Ppart, Common Stock, Kekritisan, Nilai, Lead Time, Safety Stock.
PENDAHULUAN Pengadaan barang dan jasa sangat penting pada perusahaan minyak dan gas, karena hal tersebut merupakan titik paling ujung dalam proses kegiatan hulu migas. Nilai ekonomis investasi di bidang migas sangat ditentukan oleh ketersediaan dari spare part yang cenderung berteknologi terbaru. Disamping itu pengadaaan barang terutama spare part yang cepat, konsisten, dan memiliki kualitas yang tinggi akan sangat membantu proses maintenance jika terjadi kegagalan operasi. Salah satu kegiatan yang penting pada PT. CPI adalah proses pengiriman minyak mentah kepada customer, dimana diperlukan peralatan yang memiliki realibility yang tinggi agar tidak terjadi kegagalan yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman minyak mentah.
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Gambar 1. Sistem Operasi Minyak Mentah PT. Chevron Pacific Indonesia
Metering Station untuk custody transfer merupakan bagian dari proses pengiriman minyak mentah langsung ke customer, dimana berfungsi sebagai alat kalkulasi. Kehandalan alat ini sangatlah penting mengingat bahwa berdasarkan alat inilah dapat diketahui jumlah yang dikirimkan apakah sesuai dengan permintaan dan kondisi aktual. Sehingga jangan sampai terjadi kesalahan yang akan merugikan salah satu pihak yang berakibat pada kerugian negara. Ada 190 jenis spare part pada Metering Station, sehingga pengklasifikasian diperlukan. Tujuan pengklasifikasian adalah untuk memprioritaskan pengadaan spare part yang penting. Pengklasifikasian spare part yang dilakukan PT. CPI untuk area metering station masih belum ada, sehingga menyebabkan lambatnya sistem order yang terjadi antara requestor dengan pihak procurement. Ada beberapa dasar pengklasifikasian spare part yang bisa digunakan yaitu berdasarkan kekritisannya, berdasarkan nilainya, berdasarkan lead time dan berdasarkan frekuensi penggunaannya. Berdasarkan pengklasifikasian, pihak procurement akan dapat menentukan spare part mana yang pengadaannya didasarkan permintaan atau berdasarkan safety stock-nya. Disisi lain, ketersediaan spare part sangat tergantung dengan proses pengadaannya. Seperti Kriteria TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan vendor pemenangnya. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pengklasifikasian spare part di Metering Station yang sesuai dan bagaimana model pemilihan vendor pada pengadaan spare part-nya. Sehingga tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui jenis klasifikasi dari keseluruhan spare part yang ada pada Metering Station. 2. Membuat model pemilihan vendor termasuk mekanismenya untuk spare part pada metering station.
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
METODA PENELITIAN Identifikasi Alur Proses Spare Part Identifikasi alur proses pengadaan barang/spare part bertujuan untuk membatu menentukan permintaan baru user dan maintain permintaan user. Hal ini memiliki tujuan yang lebih spesifik yaitu memastikan tidak ada barang/spare part yang stock out. Sehinggga data dari maintenance team/bagian yang membutuhkan spare part mengenai routine stock, non routine stock, dan critical stock kepada Planner/Materials Analyst sangat penting. Alur Proses Permintaan Spare Part Baru Dari User Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menambahkan persediaan ke warehouse antara lain adalah: 1. Spare part tidak dapat diperoleh pada suatu periode saat dibutuhkan. Hal kunci yang perlu diperhatikan adalah siklus waktu/ketersediaan, kekritisan, dan penggunaan yang diharapkan / spesifikasi. 2. Spare part yang dipertimbangkan penggunaannya secara berkesinambungan. Variabel seperti intensitas penggunaan dan waktu tunggu untuk mendapatkan material / spare part akan mempengaruhi pada kebutuhan untuk melakukan stok atau tidak. Alur Proses Maintain Permintaan User Terhadap Spare Part Yang Pernah Diorder Dalam maintain persediaan, perlu diperhatikan identifikasi penggunaannya secara periodik dan tingkat kekritisan barang/spare part tersebut. Dimana historikal penggunaan secara periodik dapat membantu menentukan minimum stok yang harus terjaga dan maksimum stok yang menunjukkan batas aman. Perhitungan minimum dan maksimum persediaan tidak lepas dari ROP (Reordering Point), ROQ (Reordering Quantity), MOQ (Maximum Ordering Quantity) dan Lead time. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan menyangkut lead time adalah proses dokumentasi, penentuan supplier, dan proses delivery oleh supplier ke warehouse/end user. Identifikasi Pengadaan Spare Part Kritis Ketersediaan barang/spare part yang dianggap kritis sangat diprioritaskan dibandingkan dengan yang bukan merupakan barang/spare part yang kritis. Jika dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pergerakan dari barang/spare part tersebut, maka bisa dipastikan bahwa barang/spare part tersebut merupakan slow moving inventory. Fast moving inventory dapat diketahui dari banyaknya barang/spare part yang di-order dan seberapa sering di-order. Penggunaan barang/spare part dikategorikan cepat jika dalam 1 tahun dibutuhkan 6 barang/spare part. Barang/spare part yang digunakan ini tidak terbatas hanya untuk 1 equipment saja, melainkan bisa lebih dari 1 tetapi dengan catatan type yang sama. Identifikasi Pengadaan Spare Part Secara Common Stock atau Uncommon Stock Pengadaan spare part yang kritis akan sangat terbantu jika proses pengadaannya dengan sistem common stock. Dengan sistem common stock secara otomatis sistem akan mengenerate permintaan spare part tersebut. Sedangkan sistem uncommon stock cocok digunakan jika kebutuhan akan spare part rendah (slow moving inventory). Sistem common stock dapat diidentifikasi dengan mengetahui berdasarkan historical pembelian spare part. Berapa banyak spare part yang digunakan dalam jangka waktu 1 tahun.
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Identifikasi Jenis Kontrak Untuk Pengadaan Spare Part Ada beberapa jenis kontrak yang dapat digunakan untuk proses pengadaan spare part, diantaranya adalah: 1. Kontrak Bersama Pengadaan Barang/Jasa (Joint / Sharing Contract) 2. Sistem Kontrak Kemitraan (Strategic Alliance) 3. Perjanjian Pemasokan Berdasar Permintaan (Call Off Order) 4. Perjanjian harga (Price agreement) 5. Perjanjian Dengan Beberapa Penyedia Barang/Jasa (Multi Standing Agreement) Evaluasi Kontrak Yang Berjalan Evaluasi sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat pencapaian. Dengan adanya evaluasi akan diketahui berapa banyak vendor yang dapat memenuhi kewajibannya dan ada berapa banyak yang tidak sepenuhnya mampu memenuhi kewajibannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut apakah kontrak yang telah berjalan akan dilanjutkan kembali atau tidak. Berdasarkan evaluasi ini akan diketahui sejauh mana pihak PT. CPI akan memberikan sanksi jika tidak terpenuhinya kewajiban vendor. HASIL DAN DISKUSI Kondisi Existing dan Penggunaan Spare Part Pada penelitian ini spare part yang dijadikan data historis adalah penggunaan dan pembelian spare part dari tahun 2009 hingga 2012. Spare part tersebut merupakan spare part yang digunakan untuk kebutuhan maintenance secara rutin maupun untuk keperluan saat break down dengan jumlah 190 jenis spare part dengan nilai barang sebesar $ 778,573.78. Analisa Klasifikasi Spare Part Berdasarkan Kekritisan Komponen Klasifikasi kekritasan equipment diperoleh dari assessment yang dilakukan oleh tim yang ditunjuk di HCT-CTOM. Adapun klasifikasi penilaian didasarkan pada aspek keselamatan, lingkungan, production lost, repair lost, dan reliability menggunakan balance scorecard. Pembagian spare part yang ada di metering station didasarkan atas historical pembelian sebelumnya. Spare part dari equipment dengan tingkat kekritisan 1 akan menjadikan spare part dengan klasifikasi tingkat kekritisan 1 (C1), begitu juga hingga klasifikasi tingkat kekritisan 3 (C3). Klasifikasi spare part berdasarkan tingkat kekritisannya terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Spare Part Berdasarkan Kekritisan Komponen
Kategori Total Spare Part % Total Spare Part Total Harga (USD) % Total Harga 42 22.10% 446,687.72 57.37% C1 52 27.37% 98,387.62 12.64% C2 96 50.53% 233,498.44 29.99% C3 Total 190 100 % 778,573.78 100%
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Klasifikasi Spare Part Berdasarkan Nilai Menggunakan ABC Analysis Keanekaragaman jenis spare part yang terdapat pada Metering Station, memerlukan pengelolaan berdasarkan nilai menggunakan ABC analysis dengan beberapa tingkat kategori seperti berikut: 1. Kategori “A” paling kritis (mewakili sekitar 15% total spare part, dan 80% dari total penggunaan biaya tahunan). 2. Kategori “B” (mewakili sekitar 35% dari total spare part, dan 10-20% dari total penggunaan biaya tahunan). 3. Kategori “C” memiliki dampak yang tidak signifikan terhadap aktivitas gudang dan keuangan ( mewakili sekitar 50% dari total spare part, dan 5-10% dari total penggunaan biaya tahunan). Untuk memaksimalkan analisis ini, digunakan data penggunaan spare part dari tahun 2009-2012. Klasifikasi spare part berdasarkan nilai menggunakan abc analysis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Spare Part Berdasarkan Nilai Total Spare Part 29 66 95 190
Kategori A B C Total
% Total Spare Part 15.26% 34.74% 50.00% 100 %
Total Harga (USD) 650,650.63 118,118.69 9,804.46 778,573.78
% Total Harga 83.57% 15.17% 1,26% 100 %
Pengelompokan berikutnya berdasarkan jumlah spare part yang sering digunakan. Analisis ini menggunakan prinsip Pareto (80/20 rule). Semakin sering dalam proses order dan penggunaannya, spare part ini masuk dalam kategori fast moving. Sedangkan spare part yang jarang dalam penggunaannya, termasuk dalam kategori slow moving. Spare part yang dalam kurun waktu 5 tahun tidak ada penggunaannya, akan dikategorikan sebagai non-moving spare part. Tahapan pengelompokkan berdasarkan pergerakan/jumlah spare part yang tersedia di warehouse: 1. Berdasarkan jumlah spare part, urutkan dari yang terbesar hingga terkecil, kemudian jumlah tersebut dikalikan dengan harga persatuan. 2. Hitung % komulatif total biaya dan juga komulatif total barang. 3. Fast moving adalah barang yang termasuk dalam 80% total biaya komulatif, sedangkan 20% sisanya adalah barang slow moving. Pengelompokan ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Spare Part Berdasarkan Permintaan Kategori Fast Moving Slow Moving Total
Total Spare Part 149 41 190
% Total Spare Part 95.62% 4.38% 100%
Total Nilai (USD)
% Total Nilai
624,497.70 154,076.08 778,573.78
80.21% 19.79% 100%
Lead Time Lead time merupakan batas waktu yang dibutuhkan untuk proses pengadaan spare part, mulai dari spare part dipesan oleh user sampai dengan barang diterima di warehouse. Berbagai jenis spare part dan klasifikasinya membuat lead time antara satu spare part dengan spare part yang lainnya dapat berbeda, sehingga ditetapkan sesuai dengan kondisi yang telah
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
berlangsung pada perusahaan. Pada penelitian ini, data lead time didasarkan pada historical masing-masing spare part yang kemudian digunakan untuk menentukan reorder point. Analisa Min-Max Kebutuhan Spare Part Sebagai Penentuan Common-Uncommon Stock Pengadaan spare part tidak lepas dari penentuan reorder point (R), persediaan pengaman (SS), dan tingkat persediaan maksimum (M). Untuk menghitung ketiganya digunakan model Min-Max System. Adapun yang harus ditentukan pertama adalah perhitungan jumlah pemesanan optimal (Q). Q=
(1)
Q digunakan sebagai jumlah yang akan dipesan kembali setelah tercapai jumlah minimum spare part yang diisyaratkan untuk mulai melakukan pemesanan (reorder point). Sebagai pertimbangan dalam menentukan biaya yang berhubungan dengan pemesanan optoimal spare part, berikut merupakan besarnya biaya berdasarkan asumsi yang diperoleh dari bagian keuangan: 1. Biaya pengadaan (procurement cost/$) : $30 2. Biaya persediaan meliputi capital cost 11%, space cost, inventory service cost 2%, dan inventory risk cost 6%. Semua biaya tersebut berdasarkan dari biaya per unit spare part kecuali space cost. Masing-masing spare part memiliki biaya persediaan yang berbedabeda karena perbedaan harga tiap unit spare part. Biaya penyimpanan (space cost) terinci seperti terlihat pada Tabel 4 masih berupa perhitungan secara general belum dialokasikan untuk biaya per satuan spare part. Untuk alokasi biaya per satuan spare part akan terlihat pada contoh Screw: For Model 4200 Adjustor”. Tabel 4. Total Biaya Penyimpanan Jenis Biaya Biaya (USD) / Bulan Biaya Bangunan 4,000.00 Biaya Listrik 1,500.00 Biaya Perlengkapan 10.00 Biaya Pemeliharaan 5,250.00 Total Biaya Penyimpanan 10,760.00
Berikut merupakan contoh perhitungan biaya persediaan untuk spare part “Screw: For Model 4200 Adjustor”: 1. Persentase biaya = harga satuan x total permintaan / total biaya barang = (6 x 40) / 778,515.86 = 0.03% 2. Biaya satuan barang = % biaya x total biaya penyimpanan = 0.03% x 10,760 = $ 3.32 3. Biaya gudang = biaya satuan barang / (jumlah permintaan/bulan) = 3.32 / (40/12) = $ 0.99 4. Biaya modal = 11% x harga satuan = 11% x $ 6 = $ 0.66 5. Biaya asuransi = 2% x harga satuan = 2% x $ 6 = $ 0.12 6. Biaya keusangan = 6% x harga satuan = 6% x $ 6 = $ 0.36 7. Total biaya persediaan = 0.99 + 0.66 + 0.12 + 0.36 = $ 2.13 Titik pemesanan kembali (reorder point) (2) ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Persediaan pengaman (safety stock) SS = (3) Diasumsikan peluang waktu tunggu sebesar 95%, maka berdasarkan distribusi normal didapatkan nila z sebesar 1.64. Sehingga maksimum tingkat pemesanan (M) dapat diketahui berdasarkan penjumlahan antara jumlah pemesanan optimal (Q) dan reorder point (R). Tidak semua spare part bisa dipesan kembali. Ada beberapa hal dimana spare part hanya bisa dipesan kembali jika termasuk dalam kategori permintaan regular. Pola permintaan ini dapat dilihat berdasarkan perbandingan nilai rata-rata permintaan (d) dan standar deviasi (d).
=
∑
(
)
(4)
Berdasarkan perbandingan tersebut akan terlihat bahwa permintaan regular akan terindikasi jika d ≤ ̅ dan bisa digunakan sebagai dasar common stock order, sedangkan permintaan lumpy jika d ≥ ̅ dan dikategorikan spare part dengan uncommon stock order. Adapun dari hasil perhitungan dapat terlihat pada Tabel 5 berapa banyak spare part yang dapat dikategorikan untuk common stock order dan uncommon stock order. Tabel 5. Kategori common stock – uncommon stock
Kategori Common stock Uncommon stock Total
Total Spare Part 148 42 190
% Total Spare Part 77.89% 22.11% 100%
Total Nilai (USD) 628,231.16 150,342.62 778,573.78
% Total Nilai 80.69% 19.31% 100%
Pemilihan Vendor Pemilihan vendor didasarkan pada spare part dengan kategori pengadaan common stock saja. Hal ini dikarenakan spare part dengan kategori ini paling banyak dibutuhkan oleh matering station. Kriteria Pemilihan Vendor Kriteria yang digunakan dalam pemilihan vendor adalah berbasis QCDR (quality, cost, delivery, dan responsiveness) mengadopsi dari kerangka kerja Fun dan Hung (1997). Kriteria flexibility tidak digunakan karena didasari atas kurang efektifnya kriteria ini. Spare part yang dibutuhkan sangat tergantung dengan spesifikasi dan merk yang tidak bisa disubstitusi. Selain 4 kriteria tersebut, ada 1 kriteria lagi yang ditambahkan yaitu TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Hal ini dilandasi oleh peraturan Pedoman Tata Kerja SKKMIGAS Nomor: 007 Revisi-2/PTK/I/2011 yang bertujuan untuk mengutamakan produksi dalam negeri. Adapun kiriteria pemilihan vendor yang dijadikan sebagai landasan penilaian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Pemilihan Vendor
No 1 2 3
Kriteria Quality Cost Delivery
4
Responsiveness
5
TKDN
Indikator
Ketepatan spesifikasi Harga spare part & Discount rate % ketepatan kuantitas yang dikirim & % ketepatan waktu % vendor merespon masalah, permintaan perubahan kuantitas, dan permintaan perubahan jadwal kirim % buatan dalam negeri, material dalam negeri, dan supplier dalam negeri
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Penentuan Bobot Kriteria Bobot kriteria menggunakan model weighted point, dimana penentuan bobotnya didasarkan atas kesepakatan dari para penanggung jawab pengadaan. Adapun hasil dari bobotnya untuk masing-masing kriteria adalah seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Bobot Kriteria Pemilihan Vendor
Kriteria Quality Cost Delivery Responsiveness TKDN Bobot
0.26
0.23
0.22
0.16
0.13
Hasil Pemilihan Vendor Sistem penilaian dengan menggunakan skoring dengan skala likert 1 sampai dengan 5. Adapun standar penilaiannya adalah berdasarkan kondisi aktual sampai ke warehouse dibandingkan dengan standar yang harus dipenuhi oleh vendor. Skala kriteria penilaian dilandasi oleh pendekatan PAP (Penilaian Acuan Patokan) skala 5 yang dimodifikasi. Adapun klasifikasinya terlihat seperti di bawah ini: 1) ≤ 40 % 2) > 40% - 60% 3) > 60% - 80% 4) > 80% - 100% 5) > 100% Berikut merupakan contoh penilaian vendor untuk spare part “Bearing MRC 316M”: 1. Quality Vendor men-supply sesuai dengan spesifikasi, sehingga bisa dikategorikan mendapatkan skala 5. 2. Cost Perbandingan harga yang di tawarkan oleh vendor dengan OE (owner estimate), akan dapat diketahui % yang menunjukkan apakah lebih besar atau lebih kecil dari OE. Tabel 8. Daftar Biaya
Vendor
Supplied Date
Price (USD)
OE (USD)
Gain (%)
Scale
A
7-Sep-06
366.3
228
62.24
3
3. Delivery Penilaian untuk proses delivery didasarkan pada perhitungan lamanya dari mulai tanggal pemesanan hingga tanggal yang disanggupi oleh vendor dibandingkan dengan lamanya dari tanggal pemesanan hingga tanggal sampai ke warehouse. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Waktu Pengiriman
Vendor
Order Date
Promissed Delivery
Lead Time
Received Date
Actual Lead Time
Gain (%)
Scale
A
28-Jul-06
5-Sep-06
39
6-Sep-06
40
97.50
4
4. Responsiveness Penilaian terhadap responsiveness vendor berdasarkan tingkat respon jika terjadi permasalahan, mampu mempercepat proses pengiriman saat dibutuhkan, serta mampu melakukan pemenuhan kebutuhan jika terjadi perubahan jumlah pemesanan. Proses penilaian yang selektif terhadap spare part saat tender serta pengecekan oleh user saat tiba
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
di warehouse menyebabkan hal ini jarang terjadi. Sehingga penilaian terhadap vendor pada skala 5. 5. TKDN Penilaian TKDN didasarkan pada spare part yang di supply oleh vendor yang memiliki barang dengan TKDN kurang dari 25% (dua puluh lima persen) namun sama atau lebih besar dari 10% (sepuluh persen). Selain itu vendor merupakan perusahaan dalam negeri yang terdaftar dalam Apresiasi Produksi Dalam Negeri (APDN) dengan pencapaian TKDN minimum 15%. Tabel 10. Penilaian BerdasarkanTingkat Komponen Dalam Negeri Barang Pabrikan DN
Vendor
> 15%
15% - 10%
< 5%
0
0
1
A
Terdaftar dalam APDN
Total
%
Scale
0
1
50%
2
Berdasarkan perhitungan seperti di atas, maka dapat dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Skala yang diperoleh pada perhitungan sebelumnya dikalikan dengan bobot pada masing-masing kriteria, sehingga akan terlihat total nilai dari masing-masing vendor. Tabel 11. Penilaian Vendor Kriteria
Bobot
A
B
C
D
E
F
Quality Cost Delivery Responsiveness TKDN
0.26 0.23 0.22 0.16 0.13
5 3 4 5 2
5 5 5 5 2
5 5 1 5 2
5 4 5 5 2
5 4 5 5 2
5 3 3 5 2
3.93
4.61
3.73
4.38
4.38
3.71
*Total
*Telah dikalikan dengan bobot Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa vendor A memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan vendor yang lainnya dan memiliki prioritas utama dalam pertimbangan sebagai vendor untuk men-supply spare part “Bearing MRC 316M”. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi vendor yang lain menjadi prioritas utama, karena penunjukan satu vendor dilandasi karena kondisi yang mendesak dan tidak adanya penawar lain yang mengikuti tender. Selain itu penunjukkan langsung pada pelelangan terbatas harus memenuhi kriteria 3 penawar. Sehingga mempermudah kita karena berdasarkan analisa ini terlihat 3 vendor yang memiliki keunggulan. KESIMPULAN Spare part yang dijadikan bahan penelitian sebanyak 190 jenis, dengan total biaya spare part keseluruhan adalah US$ 778,573.78. Sehubungan dengan beragamnya spare part, maka dilakukan pengklasifikasian berdasarkan kekritisan, nilai, lead time dan frekwensi penggunaan. Berdasarkan pengelompokkan tersebut dapat diketahui nilai optimum kuantiti order, safety stock dan reorder point. Sehingga dapat ditentukan berapa banyak spare part dengan sistem common stock order dan uncommon stock order. Untuk spare part dengan klasifikasi critical 1 sebanyak 99.95% spare part dengan sistem common stock order, klasifikasi critical 2 sebanyak 94.23% spare part dengan sistem common stock order, dan klasifikasi critical 3 sebanyak 61.46% spare part dengan sistem common stock order.
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013
Pemilihan vendor berdasarkan kriteria quality, cost, delivery, responsive, dan TKDN yang dinilai berdasarkan historisnya. Adapun metode penilaiannya dengan menggunakan skoring dengan skala likert 1 sampai dengan 5. Berdasarkan analisa tersebut akan diperoleh vendor dengan skor tertinggi yang menunjukkan kualitas dalam menyediakan spare part. DAFTAR PUSTAKA Beamon, B. M., 1999. Measuring Supply Chain Performance. International Journal of Operation and Production Management, Volume 19, pp. 275-292. Chan, F., 2003. Performance measurement in a Supply Chain. International Journal of Advance Manufacturing Technology, Volume 21, pp. 534-548. Funk, Mark, et al., 2006. Looking For The Future: Managing Procurement And Supply Chain In A New Environtment For Oil And Gas. USA: Booz Allen Hamilitom Inc. Gunasekaran, A., Patel, C. & Tirtiroglu, E., 2001. Performance Measures and Metrics in a Supply Environment. International Journal of Operation and Production Management, Volume 21, pp. 71-87. Hakansson, 2001. Designing and Managing The Supply Chain: Concept, Strategies, and Case Studies. Singapore: McGraw-Hill. Indrajit, R. E. & Djokopranoto, R., 2002. Konsep manajemen Supply Chain: Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jakarta: Grasindo. Li Y. C, Fun,Y. P, and Hung J. S, (1997), “A new measure for supplier performance evaluation”, IIE Transaction 29, 753-758
Maggie, T. & Tummala, 2000. An Appllication Of The AHP In Vendor Selection Of A Telecommunications System. International Journal of Management Science, Volume 29, pp. 171 - 182. Pedoman Tata Kerja BPMIGAS Nomor: 007 Revisi-2/PTK/I/2011 (2011). Pedoman Tata Kerja SKMIGAS Nomor: 007 Revisi-2/PTK/I/2009 (2009). Permadi, B., 1992. AHP. Jakarta: PAU-EK, UI. Pires, S. R. & Aravechia, C. H., 2001. Measuring Supply Chain Performance. Orlando: s.n. Ram, N., 1983. An Analitycal Approach Supplier Selection. Journal of Purchasing and Materials Management, 19 No.4(Liberatore MJ), pp. 27-32. Saaty, T., 1993. Decision making for Leader: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Pittsburgh: Prentice Hall Coy : Ltd. Syntetos, A. A. & M. Z, M. K., 2009. Demand categorization in a European spare parts logistics network. International Journal of Operation & Production Management, Volume 29.
ISBN : 978-602-97491-8-2 A-12-10