Pengkajian Usaha Tambak Udang Windu Tradisional di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan 1
2
Usman Mahmud , Komar Sumantadinata dan Nora H. Pandjaitan
2
Abstract The cultivation of tiger shrimp as an export commodity is a prospective business. The Pinrang regency in South Sulawesi, as the central producer of tiger shrimp, yields 4,447 tons, 3,823 tons, 3,290 tons, and 3,079 tons of shrimp respectively in the years of 2000 to 2003 from a pond of 15,735 hectare, with a labor of 17,541 shrimp farmers. The system of cultivation is mostly traditional (approximately 99.7%) using the polyculture and monoculture systems. The study aimed (1) to analyze the business feasibility of tiger shrimp in ponds in the traditional way, using both polyculture and monoculture systems, (2) to analyze the problems faced by traditional farmers of tiger shrimp in ponds. The results of the study were based on the method of income analysis and Benefit Cost (B/C) ratio on ten shrimp farmers using the polyculture system, and on five others using the monoculture system, which showed that it was a feasible business (B/C ratio was greater than 1). The analysis showed that the productivity of the monoculture system was higher than that of the polyculture. As a comparison, the monoculture system produced an average of 567 kg/hectare/year, and made a profit around IDR 15.489.000/hectare/year compared to the polyculture system which produced 197 kg/hectare/year, or equal to the average profit at approximately IDR 4.365.000/hectare/year. Based on the analysis of rentability, only 60% of the total sampling showed a rentability value greater than the interest rate in 2003, which was 7%. The analysis of the survival rate of the monoculture system showed a better average of the survival rate of 33.94% compared to 19.13% of the polyculture system. From these analysis it can be concluded that the higher the survival rate of tiger shrimp (above 10,000 pieces/hectare/season), the higher the production and income. The Strength, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis identifies the factors of the external strategy, such as the opportunity and threat, while the factors of the internal strategy show that the traditional tiger shrimp cultivation in ponds in Pinrang regency needs to be developed and protected against diseases and against demands of improvement of the shrimp quality produced by the shrimp importing countries.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Budidaya tambak udang Windu (penaeus monodon) merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari aspek pasar, terutama pasar dunia dengan tujuan utama ekspor ke Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Areal tambak udang Indonesia mencapai 380.000 hektar dan sekitar 75% masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitas udang yang dihasilkan hanya 260 kg/ hektar/tahun (Suyanto dan Mujiman, 2003). Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah produsen udang terbesar di Indonesia memiliki luas areal pertambakan ± 87.000 hektar dari potensi lahan seluas 150.000 hektar. Luas lahan ini menunjukkan bahwa potensi lahan yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Tahun 1999, produktivitas budidaya tambak udang yang dihasilkan masih rendah (140 kg/hektar/tahun) dengan total ekspor 8.000 ton per tahun (Atjo, 2003). Rendahnya produktivitas hasil budidaya tambak udang di Sulawesi Selatan, antara lain disebabkan gagal panen karena serangan penyakit dan ± 93 % dari luas lahan yang ada dikelola secara tradisional. Dari data produksi udang tambak Sulawesi Selatan terlihat bahwa udang windu adalah produksi terbesar yang dihasilkan petani tambak Sulawesi Selatan, sedangkan jenis udang lainnya relatif kecil (Dinas Perikanan dan Kelautan Prof. Sulawesi Selatan, 2004). Kabupaten Pinrang sebagai bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai lahan tambak seluas 15.735 hektar dari potensi lahan seluas 36.000 hektar atau 18% dari total luas tambak Sulawesi Selatan dan produktivitas udang yang dihasilkan pada tahun 2002 rataannya 209 kg/hektar/tahun, dengan produksi utama udang windu dan merupakan daerah yang mempunyai potensi tambak yang terbesar di Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik, 2002). 1 2
Alumni PS MPI, SPs IPB Staf Pengajar PS MPI, SPs IPB
71
Petani tambak udang sistem tradisional Sulawesi Selatan selain menghasilkan produksi udang windu, juga menghasilkan produksi ikan bandeng melalui pola budidaya polikultur, yaitu memelihara udang bersama dengan ikan bandeng dan pola budidaya monokultur, yaitu hanya memelihara udang windu. Dua pola budidaya ini masing-masing memberikan hasil yang berbeda bagi petani tambak, yaitu pola polikultur memberikan tambahan pendapatan bagi petani dari produksi ikan bandeng dan pola monokultur tidak memberikan tambahan pendapatan selain dari penghasilan produksi udang, tetapi menghasilkan produksi udang lebih tinggi. Selain itu, pada budidaya polikultur jika udang terserang penyakit, misalnya white spot virus (WSV), maka petani tambak masih dapat memperoleh hasil produksi ikan bandeng yang relatif tahan terhadap penyakit, walaupun dengan pendapatan lebih kecil, karena harga jual ikan bandeng lebih murah dibandingkan dengan udang windu. Dari berbagai jenis atau species udang yang telah banyak dikenal masyarakat, petani tambak Sulawesi Selatan pada umumnya melakukan budidaya tambak udang windu, karena jenis udang ini memiliki banyak kelebihan dan mempunyai sifat-sifat (Soetomo, 2000), antara lain : a. Tahan terhadap perubahan kadar garam sampai batas 35 – 45% b. Tahan terhadap perubahan suhu c. Jika dibudidayakan dengan baik, udang windu mampu berkembang dengan pesat, yaitu 4 – 6 bulan dapat mencapai berat 100 – 200 g per ekor. Konstruksi tambak seperti bentuk dan ukuran petakan tambak tidak teratur dan umumnya dengan luas 3 – 20 ha. Dalam tambak dibuat saluran keliling atau disebut caren dengan lebar 5 – 10 m dari sisi tambak dengan kedalaman 30 – 50 cm dari pelataran. Caren adalah tempat berlindung atau berteduh udang dan atau ikan bandeng dari suhu panas matahari pada siang hari dan sebagai sarana untuk memudahkan petani pada saat melakukan panen. Sedangkan bagian dalam tambak lainnya adalah pelataran sebagai tempat tumbuhnya kelekap sebagai makanan alami udang. Kedalaman air di pelataran tambak tradisional adalah 30 – 50 cm. Pada sebagian tambak tradisional terdapat petakan kecil untuk pengipukan benur selama 3-5 minggu sebelum dilepas ke tambak pembesaran. Budidaya tambak udang secara tradisional tidak sering dilakukan penggantian air dan secara normal penggantian air dilakukan dua kali sebulan agar memudahkan petani tambak dalam mengatur sirkulasi air. Pada lokasi tambak yang mempunyai elevasi agak tinggi, biasanya petani menggunakan pompa air untuk mengisi atau mengalirkan air ke dalam tambak. Bentuk tambak sistem tradisional dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, yaitu bentuk tunggal tanpa petak ipukan atau penggelondongan dan bentuk ganda yang mempunyai petakan ipukan dan dibuat dalam bentuk bujur sangkar.
Pintu air
Saluran pemasukan
Caren Pelataran Caren
Caren Caren Saluran pembuangan
Gambar 1. Denah tambak tradisional untuk pemeliharaan udang windu (Suyanto dan Mujiman, 2003)
Budidaya tambak udang secara semi intensif dan intensif menghasilkan produksi tinggi, yaitu sistem semi intensif menghasilkan produksi 500-1.000 kg/hektar/tahun dengan kepadatan jumlah 2 tebaran bibit udang 10.000-50.000 ekor/hektar/musim atau 1 – 5 ekor/m (Suyanto dan Mujiman, 2003). Di Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Pinrang yang dikelola petani tambak cukup luas atau lebih dari 1 ha, baik lahan tambak milik sendiri maupun yang disewa.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
72
Saluran Pembuangan
Caren
Caren
Pelataran
Caren
Caren Caren
Pelataran
Caren
Petak Ipukan Pemasukan air
Caren
Caren Pintu air
Saluran pemasukan Gambar 2. Denah tambak tradisional petak ganda untuk pemeliharaan udang windu (Adaptasi dari Soetomo, 2000) Luas lahan tambak yang digunakan untuk budidaya tambak udang secara tradisional di Sulawesi Selatan sekitar 93% dari luas lahan pertambakan 87.000 hektar, sehingga hanya sekitar 7% saja yang digunakan untuk budidaya secara semi intensif dan intensif. Produktivitas udang yang dihasilkan hanya 140 kg/hektar/tahun (Atjo, 2003). Sedangkan di Kabupaten Pinrang, yaitu salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mempunyai luas pertambakan 15.735 hektar dan sekitar 99,7% dari luas tambak tersebut dikelola secara tradisional (Badan Pusat Statistik, 2002). Berdasarkan data pada Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2004 jumlah petani tambak yang terdapat di Kabupaten Pinrang sebanyak 17.541 orang terdiri dari 17.535 petani tambak sistem tradisional, 5 petani tambak sistem semi intensif dan 1 petani tambak sistem intensif. Perkembangan jumlah petani tambak udang dari tahun 2000 – 2003 di Kabupaten Pinrang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah petani tambak udang di Kabupaten Pinrang pada tahun 2000-2003
S k a l a Tahun
Tradisional
U s a h a
Total
Semi Intensif
Intensif
(orang)
< 2 Ha 2-5 Ha 5-10 Ha >10 Ha 2-5 Ha 5-10 Ha >10 Ha 5-10 Ha >10 Ha
2000 4.581 3.709 2.971 1.112
5
4
0
1
1 12.384
2001 4.452 3.509 2.806 1.124
4
4
0
1
1 11.901
2002 4.737 3.840 3.069 1.151
3
3
0
0
1 12.804
2003 7.308 5.686 3.375 1.166
2
3
0
0
1 17.541
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, 2004. Luasnya pengelolaan dan banyaknya petani tambak secara tradisionil di Kabupaten Pinrang, tidak lepas dari adanya kendala keterbatasan modal untuk mengusahakan budidaya tambak udang secara semi intensif atau intensif yang relatif menghasilkan produksi udang lebih tinggi, serta untuk memperkecil resiko kegagalan usaha yang sewaktu-waktu dapat dialami oleh petani tambak.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
73
2. Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah kajian ini sebagai berikut : a. Apakah sistem polikultur pada budidaya tambak udang windu memberikan hasil pendapatan yang lebih tinggi bagi petani tambak dibandingkan dengan pola monokultur ? b. Apakah jumlah tebaran bibit berpengaruh terhadap ukuran (size) udang yang dihasilkan dan tingkat harapan hidup (survival rate) udang dalam tambak ? c. Apakah budidaya tambak udang tradisional dari segi usaha layak dan menguntungkan bagi petani tambak ? 3. Tujuan a. Mengkaji kelayakan usaha budidaya tambak udang windu secara tradisional, baik dengan pola pengembangan polikultur maupun monokultur di Kabupaten.Pinrang Sulawesi Selatan. b. Mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha budidaya tambak udang secara tradisional untuk menetapkan strategi perbaikan dan pengembangan usahanya.
METODOLOGI 1. Lokasi Lokasi kajian didasarkan adalah sentra produksi udang windu di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. 2. Metode Kerja Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan penarikan contoh. Contoh yang digunakan berasal dari populasi petani tambak udang windu tradisional pola polikultur dan monokultur dengan lapangan pekerjaan pokoknya sebagai petani tambak yang homogen di Kabupaten Pinrang dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Suppa dan Kecamatan Lanrisang sebagai sentra produksi udang windu. Jenis data yang diperoleh/dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer yang langsung diperoleh dari para petani tambak dan penyuluh teknis lapangan budidaya tambak udang windu melalui metode wawancara dan daftar pertanyaan (kuesioner) di kabupaten Pinrang. Jumlah responden adalah 20 orang petani tambak yang memiliki luas pengelolaan lahan bervariasi (luas lahan kurang dari 2 ha, 2–5 ha, 5-10 hektar dan lebih dari 10 hektar, serta jumlah tebaran bibit per hektar yang berbeda) dan telah berproduksi lebih dari dua kali siklus produksi, yang terdiri dari 14 responden dengan pola budidaya polikultur dan 6 responden dengan pola monokultur. Data responden yang dapat diolah hanya 15 petani tambak yaitu 10 petani tambak budidaya polikultur dan 5 petani tambak monokultur, sebagai akibat dari petani yang tidak lengkap dalam memberikan jawaban wawancara. Data sekunder diperoleh dengan studi pustaka, serta menghimpun data dari instansi terkait dalam bentuk yang sudah jadi berupa laporan-laporan resmi yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi. Pengolahan dan analisis data Pengolahan dan analisis data dilakukan terhadap data kuantitatif dengan bantuan aplikasi Microsoft Exel dalam bentuk tabel/tabulasi. Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan : (a) analisis pendapatan atau rugi/laba, (b) analisis rentabilitas, (c) survival rate, (d) analisis SWOT dan (e) analisis B/C ratio. Secara umum pendapatan usaha budidaya tambak udang windu adalah jumlah penerimaan setelah dikurangi dengan jumlah pengeluaran biaya, sedangkan penerimaan adalah hasil penjualan produksi yang dihasilkan. Untuk menghitung pendapatan usaha tani dinyatakan dalam persamaan matematika (Ferguson and Gould, 1975) yaitu : Y Tunai = NP – BT Y Total = NP – ( BT + BD )
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
74
Dimana : - Y Tunai - Y Total - NP - BT - BD
= = = = =
Tingkat pendapatan bersih tunai (Rp) Tingkat pendapatan bersih total (Rp) Nilai jual produk (Rp) Biaya tunai (Rp) Biaya yang diperhitungkan (Rp)
Analisis rentabilitas Perhitungan analisis rentabilitas dapat dilakukan dalam dua cara penilaian rentabilitas, yaitu rentabilitas ekonomi dan rentabilitas modal sendiri. Untuk menghitung analisis rentabilitas digunakan rumus (Riyanto, 1995) : Rentabilitas =
L x 100 % M
Dimana : L = jumlah laba bersih yang diperoleh (setelah dikurangi dengan bunga dan pajak jika ada) atau biasa disebut earning before interest and tax (EBIT) dalam suatu masa atau periode tertentu (Rp). M = modal atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan laba (Rp). Laba dalam perhitungan analisis rentabilitas adalah laba atau keuntungan bersih setelah dikurangi bunga pinjaman dan pajak. Modal dibedakan dalam dua bagian (Riyanto, 1995), yaitu : a. Modal sendiri ditambah dengan modal asing (pinjaman/kredit) yang digunakan untuk menghitung rentabilitas ekonomi. b. Modal sendiri (tampa modal pinjaman) yang digunakan untuk menghitung rentabilitas modal sendiri. Jika usaha budidaya tambak udang yang dikelola oleh petani menggunakan modal pinjaman/kredit maka digunakan analisis rentabilitas ekonomi yaitu penilaian terhadap perbandingan antara laba usaha dengan modal sendiri ditambah modal pinjaman/kredit yang dipergunakan untuk menghasilkan laba dengan rumus (Riyanto, 1995) : Rentabilitas
=
Pendapatan bersih x 100% Jumlah seluruh modal
Jika usaha budidaya tambak udang yang dikelola petani tidak menggunakan modal pinjaman/kredit, maka digunakan analisis rentabilitas modal sendiri dengan rumus : Rentabilitas
=
Pendapatan bersih x 100% Jumlah seluruh modal
Survival Rate Survival rate (SR) digunakan untuk melihat seberapa besar tingkat harapan hidup udang yang dipelihara atau berapa persen udang yang bertahan hidup dalam tambak dari sejumlah benur yang ditebar, dengan membandingkan jumlah hasil produksi (dalam satuan ekor udang) yang dihasilkan dalam satu atau dua siklus produksi dengan jumlah bibit yang ditebar. SR dihitung dalam satuan persen. Untuk menentukan besarnya SR digunakan rumus (Suyanto dan Mujiman, 2003) : SR =
Jumlah ekor produksi x 100% Jumlah bibit ditebar
Cara menghitung dilakukan sebagai berikut : 1) Menentukan ukuran (size) udang yang dihasilkan, yaitu menghitung berapa jumlah ekor udang dalam 1 kg. 2) Jumlah ekor produksi diperoleh dengan membagi jumlah produksi dalam kg dengan ukuran (size) udang dikali 1.000 g.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
75
Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis lingkungan usaha baik lingkungan eksternal peluang dan ancaman maupun lingkungan internal kekuatan dan kelemahan suatu perusahaan, dalam rangka merumuskan strategi-strategi perusahaan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi perusahaan. Untuk menetapkan alternatif strategi dilakukan tahapan kegiatan (Rangkuti, 2003) berikut : 1) Matriks Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Merumuskan EFAS dengan tabel faktor strategi eksternal dengan cara berikut : a) Menyusun kolom peluang dan ancaman b) Memberikan bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) - 0,0 (tidak penting). c) Menghitung rating untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan. Untuk faktor peluang yang semakin besar diberikan rating +4, tetapi jika peluangnya kecil diberikan rating +1. Sedangkan untuk ancaman, jika ancaman sangat besar ratingnya adalah 1 dan jika ancaman kecil ratingnya adalah 4. d) Mengalikan bobot dengan rating masing-masing untuk memperoleh faktor pembobotan. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor) e) Memberikan komentar terhadap faktor-faktor yang dipilih f) Menjumlahkan skor pembobotan untuk menunjukkan bagaimana perusahaan bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternalnya. Skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan yang dianalisis dengan perusahaan lain dalam kelompok usaha sejenis. 2) Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) Merumuskan IFAS dengan tabel faktor strategi internal dengan cara berikut : a) Menentukan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan perusahaan b) Memberikan bobot masing-masing faktor dengan skala 1,0 (paling penting) - 0,0 (tidak penting) c) Menghitung rating masing-masing faktor dengan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) d) Mengalikan bobot dengan rating e) Memberikan komentar terhadap faktor-faktor yang dipilih f) Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor. Nilai total skor menunjukkan bagaimana bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internalnya dan skor ini dapat digunakan untuk membandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. 3)
Matriks Internal Eksternal (IE) Matriks IE digunakan untuk menentukan alternatif strategi yang dapat disarankan dari hasil penggabungan identifikasi faktor-faktor strategi eksternal dan faktor-faktor strategi internal yang bertujuan untuk memperoleh strategi bisnis (9 sel strategi usaha) yang dapat dijalankan dan dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama (Rangkuti, 2003), yaitu : a) Strategi pertumbuhan (growth strategy) yang merupakan pertumbuhan dari usaha atau perusahaan itu sendiri (sel 1, 2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7 dan 8). b) Strategi stabilitas (stability strategy) adalah strategi yang diterapkan tampa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan. c) Strategi penciutan (retrenchment strategi) adalah strategi untuk memperkecil atau mengurangi kegiatan usaha (sel 3, 6 dan 9).
4) Matriks SWOT Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu : a) Strategi SO Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. b) Strategi ST Strategi dengan menggunakan kekuatan usaha yang dimiliki untuk mengatasi berbagai ancaman. c) Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
76
d) Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. B/C Ratio Salah satu alat penilaian kelayakan usaha atas besarnya investasi atau modal yang ditanam untuk melakukan suatu kegiatan usaha baik untuk investasi atas usaha baru maupun yang sifatnya penggantian atau perluasan usaha. B/C ratio adalah perbandingan antara biaya/pengeluaran dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan selama jangka waktu perencanaan investasi atau pembiayaan. B/C ratio dapat dihitung berdasarkan aliran dana atau pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan (cash flow) atau atas dasar laporan pendapatan dan biaya usaha yang telah disusun. Perhitungan B/C ratio dapat dilakukan dengan Net B/C dan Gross B/C dapat dihitung dengan rumus (Pramudya, 2003) berikut : 1. Net B/C : Rumus :
Net B/C
+NPVв-с positif = ــــــــــــــــــــــــــــــــ -NPVв-с negatif
NPVвـс positif
=
n
Bt − Ct
∑ (1 + i)t
untuk semua NPVвـс positif
t =1
n
NPVвـс negatif =
Bt − Ct
∑ (1 + I )t
untuk semua NPVвـс negatif
t =1
2.
Gross B/C
Bt
Gross B/C
=
∑ (1 + i)t t =1
Ct
∑ (1 + i)t t =1
Kriteria : - Jika B/C ≥ 1, proyek layak dilaksanakan Jika B/C < 1, proyek tidak layak dilaksanakan
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Usaha budidaya tambak udang secara tradisional pada umumnya dijalankan sendiri oleh petani tambak selaku pemilik usaha dengan bantuan keluarga sendiri. Jika tambak yang dikelola membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak, maka kekurangan tenaga diambil dari luar (bukan keluarga) dengan membayar upah kerja bulanan dan memberikan insentif (bonus) yang diperhitungkan dari hasil produksi secara keseluruhan. Panen hasil usaha budidaya tambak udang tradisional umumnya dilakukan dalam dua cara, yaitu (1) Panen sekaligus saat udang telah mencapai umur sekitar 4 bulan; (2) Panen dilakukan sebagian dan dipilih udang yang telah besar walaupun umur udang belum mencapai 4 bulan. Panen udang yang dilakukan sekaligus, penanaman bibit dilakukan sekaligus sehingga jumlah produksi udang yang dihasilkan mudah diketahui, baik jumlahnya maupun ukuran berat per ekor per hektar. Sedangkan jika panen dilakukan sebagian-sebagian sulit menghitung atau mengetahui jumlah produksi yang dihasilkan dan jumlah bibit yang ditanam, karena siklus tebar atau tanam bibit dan panen produksi tidak teratur. Dalam studi ini diambil petani yang cara panennya dilakukan sekaligus, dengan maksud untuk memudahkan dalam menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan dan jumlah pendapatan yang diterima oleh petani tambak pada setiap siklus produksi.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
77
2. Hal yang Dikaji Usaha budidaya tambak udang windu yang dilakukan oleh 15 petani tambak udang tradisional yaitu 10 petani tambak pola polikultur dan 5 petani tambak pola monokultur, jika pendapatan dihitung berdasarkan biaya tunai maka seluruh petani tambak (100%) dari petani mengalami keuntungan, baik pola budidaya polikultur maupun monokultur. Namun jika berdasarkan perhitungan pendapatan atas biaya total, yaitu seluruh biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani tambak ditambah dengan biaya diperhitungkan (bukan tunai) biaya penyusutan peralatan, upah kerja anggota keluarga dan upah/gaji pemilik usaha, maka dua petani tambak (13%) mengalami kerugian. Kepadatan rataan jumlah tebaran bibit udang windu dan ikan bandeng dari kedua petani tambak udang pola polikultur yang mengalami kerugian ternyata adalah tergolong rendah dibandingkan jumlah tebaran bibit udang windu maupun ikan bandeng dengan petani tambak lainnya. Jika dibandingkan dengan standar jumlah tebaran bibit dan produksi utamanya udang windu untuk tambak sederhana atau tradisional yang dapat dilakukan sampai dengan 20.000 ekor/hektar/ musim dan dapat menghasilkan produksi sampai dengan 360 kg/hektar/musim, maka jumlah tebaran bibit dan produksi udang dan ikan bandeng yang dilakukan oleh kedua petani tambak yang mengalami kerugian adalah tergolong rendah. Dua pola budidaya tambak udang yang diusahakan oleh petani tambak udang windu tradisional tahun 2003 di Kabupaten Pinrang, jika dilihat dari rataan biaya produksi per hektar per tahun menunjukkan pola budidaya tambak udang monokultur berdasarkan biaya tunai Rp.4.573.000, lebih tinggi dari pada pola polikultur sebesar Rp. 3.141.000. Sedangkan berdasarkan total biaya pola monokultur lebih tinggi Rp. 7.445.000 dibandingkan dengan pola polikultur (Rp. 5.605.000). Namun dilihat dari besarnya pendapatan atau keuntungan yang diraih oleh petani tambak udang tradisional di Kabupaten Pinrang secara rataan per hektar per tahun, menunjukkan bahwa petani tambak udang windu dengan pola monokultur menghasilkan pendapatan atau keuntungan lebih tinggi, baik keuntungan atas dasar biaya tunai sebesar Rp. 18.360.000 maupun atas dasar biaya total (Rp. 15. 489.000) dibandingkan dengan pola polikultur yaitu atas dasar biaya tunai (Rp. 6.829.000) maupun atas dasar biaya yang diperhitungkan atau total biaya (Rp. 4.365.000) dimuat pada Tabel 2. Keuntungan rataan per hektar per tahun yang diperoleh oleh petani tambak udang tradisional dengan pola monokultur lebih tinggi dari pada budidaya pola polikultur, karena tingginya rataan tebaran bibit udang yang dilakukan, karena tingkat rataan harapan hidup lebih tinggi (33,94%), dibandingkan pola polikultur (19,13%). Data tersebut dapat dilihat dari hasil perhitungan pendapatan dan biaya (laba/rugi usaha) berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan (total biaya) dari 15 petani tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang dalam dua siklus produksi Tabel 2. Tabel 2. Rataan pendapatan dan biaya per hektar budidaya tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang (dalam ribuah rupiah)
No.
Petani tambak
Polikultur 1 A 2 B 3 C 4 D 5 E 6 F 7 G 8 H 9 I 10 J Jumlah Rataan Monokultur 1 K 2 L 3 M 4 N 5 O Jumlah Rataan
Luas tambak (Ha)
Rataan pendapatan per hektar
Rataan biaya produksi per hektar Biaya tunai
Biaya diperhitungkan
Rataan total biaya
L/R atas biaya tunai
R/L atas biaya total
1,50 2,30 3,00 5,00 10,00 10,00 12,00 15,00 15,00 25,00 98,80 9,88
10.133 16.630 10.467 3.600 3.940 12.750 16.250 4.933 3.565 17.440 99.709 9.971
2.621 5.067 1.943 2.565 2.607 3.985 2.248 3.123 2.782 4.472 31.414 3.141
4.830 5.239 5.017 2.410 1.263 1.212 1.760 812 859 1.239 24.640 2.464
7.451 10.307 6.960 4.975 3.870 5.197 4.008 3.935 3.640 5.711 56.055 5.605
7.512 11.563 8.523 1.035 1.333 8.765 14.002 1.810 783 12.968 68.294 6.829
2.682 6.324 3.507 -1.375 70 7.553 12.242 998 -75 11.729 43.654 4.365
2,00 5,00 5,00 5,00 12,00 29,00 5,80
6.000 24.000 32.000 32.000 20.542 114.542 22.908
1.315 6.525 4.796 5.284 4.946 22.865 4.573
4.525 2.505 3.109 3.126 1.094 14.359 2.872
5.840 9.030 7.905 8.410 6.040 27.224 7.445
4.810 17.475 27.204 26.716 15.596 91.801 18.360
280 14.970 24.095 23.590 14.502 77.443 15.489
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
78
Untuk mengetahui tingkat efisiensi dari penggunaan luas tambak yang diusahakan oleh petani tambak dengan melihat besarnya jumlah tebaran bibit udang windu dan hasil produksi per hektar/tahun yang dihasilkan nampak bahwa budidaya tambak udang windu dengan pola monokultur lebih efektif dan efisien, dilihat dari rataan tebaran bibit udang 66.000 ekor/hektar/tahun dapat menghasilkan rataan produksi udang windu 567 kg/hektar/tahun, sedangkan budidaya tambak udang polikultur dari rataan tebaran udang 40.014 bibit/hektar/tahun menghasilkan produksi udang windu rataan sebesar 197 kg/hektar/tahun. Sebagai hasil jumlah rataan tebaran dan produksi udang dan ikan bandeng per hektar/tahun yang berpengaruh terhadap besar kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh petani tambak disajikan pada Tabel 3. Dari pembahasan analisis pendapatan, tingkat pendapatan petani tambak udang windu dapat memberikan keuntungan, jika memenuhi hal berikut : a. Jumlah penebaran bibit udang windu dan ikan bandeng per hektar tidak terlalu rendah, baik pola polikultur maupun pola monokultur, agar menghasilkan rataan produksi yang cukup tinggi. b. Tingkat kematian, baik udang maupun ikan bandeng yang dibudidayakan serendah mungkin menghasilkan nilai survival rate tinggi. c. Melakukan pemeliharaan dan pengawasan yang baik sesuai dengan syarat teknis budidaya, agar ukuran (size) dan tingkat harapan hidup udang yang dihasilkan cukup tinggi untuk mendapatkan harga jual tinggi. Tabel 3. Rataan tebaran dan produksi per ha pertanian budidaya tambak udang windu tradisional 15 petani tambak di Kabupaten Pinrang pada tahun 2003 Petani tambak Polikultur 1 A 2 B 3 C 4 D 5 E 6 F 7 G 8 H 9 I 10 J Jumlah Rataan Monokultur 1 K 2 L 3 M 4 N 5 O No.
Luas tambak (Ha)
Rataan bibit per hektar Udang (ekor) Ikan (ekor)
Rataan produksi per hektar Udang (ekor) Ikan (ekor)
1,50 2,30 3,00 5,00 10,00 10,00 12,00 15,00 15,00 25,00 98,80 9,88
66.667 43.478 33.333 30.000 20.000 30.000 50.000 53.000 33.000 40.000 400.145 40.014
1.333 435 1.000 400 1.000 1.050 500 933 667 1.200 8.518 852
167 348 200 80 55 270 333 73 60 380 1.965 197
533 130 2677 80 200 300 167 267 133 320 2.397 240
2,00 5,00 5,00 5,00 12,00
20.000 80.000 100.000 80.000 50.000
0 0 0 0 0
150 600 800 800 483
0 0 0 0 0
Tingkat efisiensi dan efektifitas penggunaan modal untuk menghasilkan keuntungan dari usaha budidaya tambak udang windu tradisional ditunjukkan oleh hasil analisis rentabilitas atau juga disebut profitabilitas dari lima belas contoh petani tambak udang tradisional pola polikultur dan monokultur tahun 2003 di Kabupaten Pinrang, dimana pola budidaya monokultur secara rataan menghasilkan persentase keuntungan lebih tinggi (34,08%) dibandingkan pola polikultur 9,98%. Namun dari 15 petani tambak udang, tersebut 9 petani tambak (60%) lebih efisien menggunakan modal untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi, karena hasil yang dicapai lebih tinggi dari pada tingkat suku bunga yang berlaku tahun 2003 sebesar 7%, sedangkan 6 petani tambak lainnya (40%), menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih kecil atau di bawah tingkat suku bunga dana yang berlaku tahun 2003 (Tabel 3). Tingkat kemampuan petani tambak mengelola modal untuk menghasilkan keuntungan atau rentabilitas yang tinggi, tidak hanya ditentukan oleh luasnya tambak yang dikelola dan besarnya modal usaha yang dimiliki tetapi juga ditentukan oleh besarnya nilai harapan hidup atau SR yang dihasilkan. Semakin tinggi tingkat harapan hidup yang dihasilkan akan semakin memberikan pendapatan lebih tinggi (Tabel 4). Hasil analisis rentabilitas menunjukkan terdapat tiga petani tambak yang mengelola luas tambak 10 - 15 ha memberikan nilai rentabilitas dan SR yang sangat rendah,
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
79
sehingga nampak bahwa tambak yang luas yang dimiliki tidak menjamin akan memberikan pendapatan atau keuntungan yang tinggi bahkan menjadi tidak efisien, karena tidak menghasilkan produksi yang tinggi (Tabel 4). Tabel 4. Rentabilitas usaha tambak Udang Windu tradisional pada tahun 2003 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5
Petani tambak Polikultur : A B C D E F G H I J Jumlah : Rataan Polikultur Monokultur : K L M N N Jumlah : Rataan Monokltur
Luas tambak (Ha)
Modal per hektar (Rp 1.000)
Laba/Rugi per hektar (Rp 1.000)
Rentabilitas (%)
1,50 2,30 3,00 5,00 10,00 10,00 12,00 15,00 15,00 25,00 98,80 9,88
42.741 45.154 42.010 42.605 43.172 44.051 42.502 43.183 43.328 44.830 433.578 43.358
2.682 6.324 3.507 -1.375 70 7.553 12.242 998 -75 11.729 43.654 4.365
6,27 14,01 8,35 -3,23 0,16 17,15 28,80 2,31 -0,17 26,16 99,81 9,98
2,00 5,00 5,00 5,00 12,00 29,00 5,80
41.215 46.015 44.764 45.624 45.833 223.451 44.690
285 14.970 24.095 23.590 14.502 77.443 15.489
0,69 32,53 53,83 51,71 31,64 170,40 34,08
Hasil di atas menunjukkan bahwa petani tambak udang windu tradisional pola monokultur secara rataan memberikan nilai rentabilitas yang lebih tinggi (34,08%) artinya setiap Rp. 1.000 modal menghasilkan keuntungan Rp. 340,80 sedangkan pola polikultur secara rataan memberikan nilai rentabilitas 9,98%, artinya setiap Rp. 1.000 modal menghasilkan keuntungan Rp. 99,80. Hasil analisis rentabilitas dapat dilihat pada Tabel 4. Lima belas petani tambak udang tradisional yang dijadikan contoh, dua diantaranya dengan pola budidaya polikultur menghasilkan nilai rentabilitas minus atau mengalami kerugian usaha masing-masing petani tambak atas nama (1) χ nilai rentabilitasnya minus 3,23%, dan (2) Y minus 0,17%, sedangkan 13 petani tambak lainnya menghasilkan nilai rentabilitas positif, namun 4 petani tambak diantaranya mempunyai rentabilitas lebih kecil dari 7% atau di bawah suku bunga deposito bank yang berlaku pada tahun 2003. Modal yang digunakan oleh lima belas petani tambak udang yang dijadikan contoh tidak ada diantaranya yang menggunakan kredit bank atau pinjaman koperasi dan semuanya menggunakan modal sendiri atau modal keluarga. Survival Rate Jika tingkat harapan hidup udang yang dibudidayakan hasilnya cukup tinggi, maka dapat memberikan hasil produksi tambak udang lebih tinggi, sehingga dapat memberikan pendapatan lebih tinggi bagi petani tambak udang windu. Demikian pula sebaliknya, jika tingkat harapan hidup udang yang dihasilkan rendah atau tingkat kematian udang yang dipelihara dalam tambak cukup tinggi, akan memberikan pula hasil produksi yang lebih rendah, sehingga petani tambak dalam usahanya bisa mengalami kerugian. Hasil perhitungan SR atau tingkat harapan hidup udang dari 15 contoh petani tambak udang sistem tradisional di Kabupaten Pinrang yang terdiri dari 10 petani tambak pola polikultur dan 5 petani tambak pola monokultur, nampak bahwa SR yang dihasilkan dengan pola monokultur, yaitu rataan 33,94% lebih tinggi dari pada pola polikultur (rataan 19,13%). Dilihat dari ukuran udang yang dihasilkan antara pola polikultur dengan pola monokultur, nampak bahwa rataan ukuran udang yang dihasilkan pola polikultur adalah 38 ekor/kg lebih tinggi dibandingkan dengan
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
80
monokultur (rataan 40 ekor/kg). Ini menunjukkan bahwa ada pengaruh dari tinggi rendahnya rata-rata jumlah tebaran bibit terhadap besar kecilnya ukuran udang yang dihasilkan. Sebagaimana data di atas, terlihat rataan tebaran bibit pola monokultur 66.000 ekor/hektar/tahun menghasilkan ukuran udang rataan 40 ekor/kg, sedangkan pola polikultur lebih baik dengan rataan tebaran 40.014/ hektar/tahun menghasilkan ukuran udang rataan 38 ekor/kg. Jika jumlah tebaran ikan pada pola polikultur diperhitungkan dengan mengkonversi jumlah tebaran ikan ke udang dengan perbandingan 10 : 1, artinya jika bibit udang 10 ekor sama dengan 1 ekor ikan, maka rataan tebaran ikan pada pola polikultur 852/hektar/tahun sama nilainya dengan 8.520 ekor udang/hektar/tahun, sehingga jika ditambahkan dengan rataan tebaran udang 40.014 ekor, maka sama dengan 48.534 ekor/hektar/tahun. Jumlah ini masih lebih kecil dari pada 66.000/hektar/tahun, sehingga dalam hal jumlah tebaran, semakin kecil jumlah tebaran bibit akan menghasilkan ukuran udang yang lebih besar dengan harga jual yang lebih tinggi. Hasil perhitungan SR dan size dapat dilihat pada Tabel 5. Korelasi antara besar kecilnya SR yang dihasilkan oleh petani tambak udang windu dengan rataan produksi udang dan pendapatan dimana petani tambak udang windu pola polikultur yang menghasilkan rataan SR yang rendah menghasilkan rataan produksi dan pendapatan yang rendah. Demikian pula sebaliknya petani tambak udang windu yang menghasilkan SR tinggi menghasilkan rataan produksi dan pendapatan tinggi. Dari analisis ini terlihat bahwa petani tambak pola monokultur yang menghasilkan rataan SR 33,94% menghasilkan rataan produksi 567 kg/hektar/tahun dengan tingkat pendapatan total rataan Rp. 15.489.000 lebih tinggi bila dibandingkan pola polikultur yang menghasilkan rataan SR 19,13%, rataan produksi 197 kg/hektar/tahun dengan tingkat pendapatan rataan Rp. 4.365.000/hektar/tahun. Tabel 5. Rataan tingkat harapan hidup udang windu dan ikan bandeng dari petani tambak tradisional di Kabupaten Pinrang pada tahun 2003
No.
Petani tambak
Luas tambak (ha)
Jumlah bibit per hektar Udang Ikan (ekor) (kg)
Jumlah produksi per hektar Udang Ikan (kg) (kg)
Polikultur 1 A 1,50 66.667 1.333 167 533 2 B 2,30 43.478 435 348 130 3 C 3,00 33.333 1.000 200 267 4 D 5,00 30.000 400 80 80 5 E 10,00 20.000 1.000 55 200 6 F 10,00 30.000 1.050 270 300 7 G 12,00 50.000 500 333 1677 8 H 15,00 53.000 933 73 267 9 I 15,00 33.333 667 60 133 10 J 25,00 40.000 1.200 380 320 Jumlah 98,80 400.145 8.518 1.966 2.397 Rataan 9,88 40.014 852 197 240 Monokultur 1 K 2,00 20.000 0 150 0 2 L 5,00 80.000 0 600 0 3 M 5,00 100.000 0 800 0 4 N 5,00 80.000 0 800 0 5 O 12,00 50.000 0 483 0 Jumlah 29,00 339.000 0 2.833 0 Rataan 5,80 66.000 0 567 0 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan, 2004
Jumlah ekor per kg Udang Ikan (size) (size)
Tingkat harapan hidup (SR) Udang Ikan (%) (%)
40 35 37 41 38 40 35 40 38 40 384 38
2 2 3 4 3 3 2 2 3 3 27 2,7
10,00 28,00 22,20 10,93 10,45 36,00 23,33 5,60 6,84 38,00 191,26 19,13
80,00 06,00 80,00 80,00 60,00 85,71 66,67 57,14 60,00 80,00 709,52 70,95
40 40 40 40 40 199 20
0 0 0 0 0 0 0
30,00 30,00 32,00 40,00 37,70 169,70 33,94
0 0 0 0 0 0 0
Budidaya tambak udang windu tradisional dari seluruh contoh petani tambak di Kabupaten Pinrang tahun 2003 menunjukkan hasil rataan SR 26,53%, rataan produksi 382 kg/hektar/tahun dan rataan pendapatan total atau keuntungan Rp. 9.927.000/hektar/tahun (Tabel 6).
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
81
Tabel 6. Rataan tingkat harapan hidup, laba/rugi dan produksi per hektar tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang pada tahun 2003 Bibit per hektar No.
Petani tambak
Polikultur 1 A 2 B 3 C 4 D 5 E 6 F 7 G 8 H 9 I 10 J Jumlah Rataan Monokultur 1 K 2 L 3 M 4 N 5 O Jumlah Rataan Rataan A dan B
Luas tambak (ha)
Produksi per hektar Udang (kg)
Laba/rugi per hektar Thp Thp biaya biaya total tunai (Rp. (Rp.1000) 1000)
Udang (ekor)
Ikan (kg)
Ikan (kg)
1,50 2,30 3,00 5,00 10,00 10,00 12,00 15,00 15,00 25,00 98,80 9,88
66.667 43.478 33.333 30.000 20.000 30.000 50.000 53.000 33.333 40.000 400.145 40.014
1.333 435 1.000 400 1.000 1.050 500 933 667 1.200 8.518 852
167 348 200 80 55 270 333 73 60 380 1.966 197
533 130 267 80 200 300 1677 267 133 320 2.397 240
7.512 11.563 8.523 1.035 1.333 8.765 14.002 1.810 783 12.968 68.294 6.829
2,00 5,00 5,00 5,00 12,00 29,00 5,80 7,84
20.000 80.000 100.000 80.000 50.000 339.000 66.000 53.007
0 0 0 0 0 0 0 0
150 600 800 800 483 2.833 567 382
0 0 0 0 0 0 0 0
40 40 40 40 40 199 20 12.595
Tingkat harapan hidup (SR) Udang (%)
Ikan (%)
2.682 6.324 3.507 -1.375 70 7.553 12.242 998 -75 11.729 43.654 4.365
10,00 28,00 22,20 10,93 10,45 36,00 23,33 5,60 6,84 38,00 191,26 19,13
80,00 06,00 80,00 80,00 60,00 85,71 66,67 57,14 60,00 80,00 709,52 70,95
0 0 0 0 0 0 0 9.927
30,00 30,00 32,00 40,00 37,70 169,70 33,94 26,53
0 0 0 0 0 0 0 0
Analisis SWOT Pada usaha budidaya tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang telah diidentifikasi faktor-faktor strategi eksternal peluang dan ancaman, serta faktor-faktor strategi internal kekuatan dan kelemahan dengan menggunakan EFAS dan IFAS. Berdasarkan identifikasi faktor strategi eksternal dan internal yang diperoleh, selanjutnya ditetapkan alternatif strategi dengan menggunakan matriks IE dan matriks SWOT. Hasil identifikasi matriks EFAS dengan jumlah skor 2,60 dan IFAS dengan total skor 2,75 mengindikasikan bahwa usaha budidaya tambak udang windu dengan pola polikultur dan monokultur “dapat ditingkatkan namun perlu berhati-hati dalam menghadapi ancaman penyakit dan adanya tuntutan perbaikan mutu dari negara-negara importir udang” (Tabel 7 dan 8). Strategi alternatif yang tepat digunakan dapat dirumuskan berdasarkan matriks IE dan matriks SWOT dengan memanfaatkan nilai skor yang diperoleh dari EFAS dan IFAS. Matriks IE dan matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
82
Tabel 7. Faktor EFAS usaha budidaya tambak udang windu tradisional dari 15 Petani Tambak di Kabupaten Pinrang pada tahun 2003 FAKTOR-FAKTOR STRATEGI EKSTERNAL PELUANG : 1. Permintaan pasar tinggi 2. Harga udang windu tinggi 3. Kebijaksanaan pemerintah mengenai ekspor udang mendukung ANCAMAN : 1. Embargo/proteksi dari negara importir udang 2. Peraturan pemerintah negara importir udang 3. Meningkatnya persaingan dari negara produsen udang 4. Adanya wabah penyakit (white spot virus) TOTAL
BOBOT (a)
RATING (b)
NILAI axb
0,30 0,10 0,10
4 4 3
1,20 0,40 0,30
Perlu ekspansi Perlu ekspansi Kerjasama dan kepatutan
0,05
2
0,10
Perlu hati-hati
0,05
2
0,10
Perbaikan mutu
0,10
2
0,20
Perlu hati-hati dan perbaikan mutu
0,30
1
0,30
Hati-hati dan penuhi syarat standar
1,00
KOMENTAR
2,60
Tabel 8. Faktor IFAS usaha budidaya tambak udang Kabupaten Pinrang pada tahun 2003
windu tradisional dari 15 petani tambak di
FAKTOR-FAKTOR STRATEGI INTERNAL KEKUATAN : 1, Spesifikasi usaha yang tetap 2, Pengalaman usaha lebih dari 5 tahun 3, Petani terhimpun dalam kelompok tani tambak udang 4, Penjualan produk di sekitar lokasi usaha 5, Tersedia saluran distribusi pengadaan bibit dan penjualan KELEMAHAN : 1, Sulit mendapatkan bantuan modal bank 2, Sulit mendapatkan bibit unggul
BOBOT (a)
RATING (b)
NILAI (a x b)
KOMENTAR
0,10 0,20
3 4
0,30 0,80
0,10
3
0,30
0,05
3
0,15
0,10
3
0,30
Tidak mudah alih usaha Telah memahami proses produksi Terjadi pertukaran pengalaman usaha Tidak memerlukan biaya transportasi Mudah membeli bibit dan menjual produk
0,20
2
0,40
0,05
2
0,10
3, Proses produksi (R/D) kurang begitu baik 4, Bantuan teknis dari instansi teknis kurang memadai TOTAL
0,10
2
0,20
0,10
2
0,20
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
1,00
2,75
Sulit mengembangkan usaha Harapan hidup udang rendah Harapan hidup udang rendah Harapan hidup udang rendah
83
Tabel 9. Matriks IE usaha budidaya tambak Udang Windu Total Skor Faktor Strategi Internal KUAT
RATA-RATA
4,0
TINGGI
Total Skor 3,0 Faktor Strategi Eksternal MENENGAH 2,0
RENDAH
3,0
LEMAH 2,0
1,0
I
II
III
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Penciutan
IV
VI
Stabilitas
V Pertumbuhan Stabilitas
Penciutan
VII
VIII
IX
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Likuidasi
1,0
Total skor faktor strategi eksternal berdasarkan matriks EFAS sebesar 2,60 dan berada pada alternatif strategi stabil, sedangkan total skor faktor strategi internal berdasarkan matriks IFAS sebesar 2,75 dan berada pada alternatif strategi pertumbuhan II, maka gabungan antara faktor strategi internal dan eksternal didapatkan strategi yang tepat adalah pertumbuhan dan stabilitas. Tabel 10. Matriks SWOT usaha tambak udang Windu tradisional INTERNAL FAKTOR
KEKUATAN
KELEMAHAN
1. Spesifikasi usaha 2. Pengalaman usaha 3. Ada kelompok tani 4. Penjualan mudah 5. Saluran distribusi mudah
1. Sulit memperoleh modal 2. Sulit bibit unggul 3. Proses produksi lemah 4. Bantuan teknis kurang
SO • Meningkatkan produksi udang pola monokultur • Menjalin hubungan dengan Pemilik modal/perbankan
WO • Membentuk asosiasi atau kelompok tani tambak • Memperbaiki proses produksi
ST • Meningkatkan mutu • Pengendalian hama untuk meningkatkan SR
WT • Tetap mengembangkan budidaya polikultur untuk memperkecil resiko • Pengendalian hama
EKSTERNAL FAKTOR PELUANG 1. Permintaan pasar tinggi 2. Harga udang tinggi 3. Kebijakan pemerintah mendukung ANCAMAN 1. Adanya proteksi 2. Persyaratan mutu 3. Persaingan negara produsen 4. Bahaya penyakit
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
84
Dengan strategi pertumbuhan dan stabilitas, maka pertumbuhan dan ekspansi usaha pada usaha budidaya tambak udang tradisional dapat meningkatkan pendapatan petani dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang ada, karena produksi udang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rataan tebaran bibit per hektar dan meningkatkan tingkat harapan hidup. Namun strategi pertumbuhan perlu dilaksanakan dengan tingkat kehati-hatian (stabilitas) yang tinggi terhadap adanya ancaman berupa penyakit, peningkatan mutu atau kualitas udang yang dihasilkan dan adanya saingan dari negara produsen lainnya seperti Cina. Untuk meningkatkan dan memaksimalkan pendapatan petani, gabungan antara SO strategi, ST strategi dan WO strategi adalah strategi yang tepat untuk dipilih oleh petani tambak udang windu tradisional untuk meningkatkan usahanya. Analisis B/C Ratio Hasil analisis B/C ratio dari lima belas petani tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang berdasarkan total cost (biaya tunai dan biaya diperhitungkan) atas penggunaan modal menunjukkan dari 10 petani tambak udang pola polikultur, 2 di antaranya mempunyai nilai B/C ratio yang lebih kecil dari pada 1, yaitu masing-masing (1) D 0,72 dan (2) I 0,98 yang berarti usaha budidaya tambak udangnya tidak layak untuk dilakukan. Kelima responden petani tambak udang pola monokultur semuanya mempunyai nilai B/C ratio lebih besar dari pada 1. Hasil analisis 15 petani tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang menunjukkan tingkat kelayakan usaha sebesar 87%. Pola monokultur mempunyai nilai B/C ratio rataan 2,99% lebih tinggi dibandingkan dengan rataan B/C ratio pola polikultur 1,80%. Hasil perhitungan B/C ratio pada Tabel 11. Analisis B/C ratio dihitung berdasarkan nilai sekarang dari investasi selama jangka waktu 1 tahun menggunakan tingkat bunga (DF) 7%. Hasil B/C ratio tidak akan mengalami perubahan, walaupun tingkat bunga mengalami perubahan, karena nilai keuntungan (B) dan biaya (C) yang diperhitungkan merupakan nilai B dan C untuk jangka waktu 1 tahun. Tabel 11. Arus kas biaya dan manfaat dan perhitungan B/C ratio setiap responden secara rataan (dalam ribuan rupiah) No.
Nama Petani
C
B
DF 7 %
Polikultur A 7,451 10,133 0,935 B 10,307 16,630 0,935 C 6,960 10,467 0,935 D 4,975 3,600 0,935 E 3,870 3,940 0,935 F 5,197 12,750 0,935 G 4,008 16,250 0,935 H 3,935 4,933 0,935 I 3,640 3,565 0,935 J 5,711 17,440 0,935 Jumlah 56,054 99,708 0,000 Rataan 5,605 9,971 0 Monokultur 1 K 5,840 6,125 0,935 2 L 9,030 24,000 0,935 3 M 7,905 32,000 0,935 4 N 8,410 32,000 0,935 5 O 6,040 20,542 0,935 Jumlah 37,225 114,667 0,000 Rataan 7,445 22,933 0 Keterangan tabel : C (Cost) : rataan biaya tunai dan biaya diperhitungkan B (Benefit) : rataan nilai penjualan DF (Discount Factor) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007
Nilai sekarang C B
B/C
6,964 9,633 6,505 4,650 3,617 4,857 3,746 3,678 3,402 5,338 52,388 5,239
9,470 15,542 9,782 3,365 3,682 11,916 15,187 4,610 3,332 16,299 93,187 9,319
1,36 1,61 1,50 0,72 1,02 2,45 4,05 1,25 0,98 3,05 18,01 1,80
5,458 8,439 7,388 7,860 5,645 34,790 6,958
5,724 22,430 29,907 29,907 19,199 107,168 21,434
1,05 2,66 4,05 3,80 3,40 14,96 2,99
85
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Usaha budidaya tambak udang windu tradisional di Kabupaten Pinrang secara umum layak dilakukan, karena 100% petani berdasarkan biaya tunai dan 87% berdasarkan biaya total, memperoleh keuntungan dan mempunyai nilai B/C ratio >1. Hal lainnya, budidaya tambak udang windu tradisional pola monokultur memberikan hasil produksi rataan lebih tinggi (567 kg/hektar/ tahun) dari pada pola polikultur (197 kg/hektar/tahun), rataan pendapatan dari budidaya pola monokultur atas dasar biaya total lebih tinggi (Rp. 15.489.000/hektar/tahun) daripada pola polikultur (Rp. 4.365.000/hektar/tahun). b. Tingkat efisiensi penggunaan modal sendiri dari petani tambak udang tradisional di Kabupaten Pinrang masih kurang tinggi (hanya 60%) petani menghasilkan nilai rentabilitas lebih tinggi dari suku bunga bank yang berlaku tahun 2003 sebesar 7% per tahun. Dalam hal ini diperlukan gabungan antara strategi SO, strategi ST dan strategi WO untuk meningkatkan pendapatannya. 2. Saran a. Petani hendaknya menggunakan saponim dalam jumlah yang memadai agar tingkat kematian udang dalam tambak menjadi kecil atau SR dapat lebih tinggi (> 20%). b. Dinas Perikanan dan Kelautan, perbankan dan pemerintah setempat untuk meningkatkan pembinaan kepada petani tambak tradisional, baik mengenai teknis maupun manajemen pengelolaan usaha. Sedangkan perbankan setempat dan atau lembaga keuangan lainnya dapat mendukung bantuan modal kepada petani tambak udang windu tradisional, karena usaha ini prospektif dan layak (feasible) untuk dibiayai.
DAFTAR PUSTAKA Atjo, H. 2003. Budidaya Udang Yang Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Harapan Otoda 2003, Makassar. Badan Pusat Statistik. 2002. Kabupaten Pinrang Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan. 2004. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Ferguson, C.E. and J.P. Gould, 1975. Micro Economic Theory. Library of Congress, Washington DC. Pramudya, B. dan N. Dewi. 1992. Ekonomi Teknik. JICA-DGHE IPB Project Adaet. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi, IPB, 1991/1992. Bogor. Rangkuti, F. 2003. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Riyanto, B. 1995. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. BPFE, Yogyakarta. Soetomo, M.H.A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algesindo, Bandung. Suyanto, R.S. dan A.Mujiman, 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta.
Jurnal MPI Vol. 2 No. 1. Februari 2007