Occasional Paper Series #1
Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan: Metode Teror
Oleh Irawan Saptono
ELSAM Jakarta 2004
Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan: Metode Teror oleh Irawan Saptono
Editor Erasmus Cahyadi T.
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Oktober 2004
Hak terbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM
Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Penerbit ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail:
[email protected],
[email protected]; Web-site: www.elsam.or.id
Daftar Isi: 1. Penghilangan Paksa: Metode Teror 2. Latar Belakang Isu “Enforced Disappearance” 3. Definisi “Enforced Disappearance” 4. Penghilangan Paksa dalam Statuta Roma 5. Statistik Penghilangan Paksa 6. Dampak Psikologis Penghilangan Paksa 7. Pola Penghilangan Paksa di Indonesia 8. Penghilangan Paksa di Aceh 9. Penghilangan Paksa di Papua Profil Elsam
Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan: Metode Teror Irawan Saptono
Some men arrive. They force their way into a family's home, rich or poor, house, hovel or hut, in a city or in a village, anywhere. They come at any time of the day or night, usually in plain clothes, sometimes in uniform, always carrying weapons. Giving no reason, producing no arrest warrant, frequently without saying who they are or on whose authority they are acting, they drag one or more members of the family towards a car, using violence if necessary 1
Penghilangan Paksa: Metode Teror Kutipan laporan Independent Commission on International Humanitarian Issues, London di atas memberi gambaran yang dramatis tentang penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance atau involuntary disappearance). Deskripsi di atas menggambarkan bahwa penghilangan orang selalu dimulai dengan pola demikian: segerombolan pria datang, tidak peduli malam atau siang, mendobrak pintu-pintu rumah, biasanya berpakaian sipil, kadang-kadang berseragam, namun selalu menyandang senjata, tanpa alasan, tanpa dokumen penangkapan, tanpa mengatakan siapa mereka, atau siapa yang memerintahkan mereka, mengambil paksa anggota keluarga, ayah, ibu ataupun anak. Seringkali mereka menggunakan kekerasan. Penghilangan merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat yang mengakibatkan penderitaan ganda: terhadap korban, terjadinya penyiksaan, ketakutan akan kehilangan nyawa, dan terhadap keluarga korban: tekanan psikologis karena menghadapi ketidakpastian keberadaan dan nasib anggota keluarganya yang dihilangkan, dan penantian tanpa harapan, seringkali selama bertahun-tahun menunggu kabar yang tidak kunjung datang. Penghilangan orang biasanya memiliki tiga pola akhir: hilang sama sekali, hilang kemudian mayatnya dibuang di tempat umum, hilang kemudian dilepaskan lagi. Pada pola pertama, dengan asumsi korban sudah dibunuh, akan selalu menimbulkan penderitaan yang panjang bagi keluarganya. Sedangkan pola ketiga akan menyebabkan penderitaan psikis dan psikologis pada korban setelah mengalami perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, dan perlakuan lain yang biasanya menyertai kasus-kasus penghilangan orang secara paksa. Gerakan anti penghilangan paksa internasional mula-mula muncul karena peristiwa-peristiwa penghilangan paksa yang masif di negara-negara Amerika Latin (Guatemala2, Argentina dan Chili) antara 1966-1973. Perhatian dunia tertuju ke Guatemala 1
“Disappearance! Technique of Terror”, Independent Commission on International Humanitarian Issues, London, 1986. 2 Praktik penghilangan orang di Guatemala masih terjadi hingga kini yang menimpa para aktivis gerakan sosial. Kasus ini misalnya menimpa Mayra Angelina Gutierrez Hernandez, seorang profesor di Universitas San Carlos dan seorang aktivis hak asasi manusia. Ia hilang 7 April 2000. Keluarga dan kawan-kawannya memastikan Mayra hilang berkaitan dengan keterlibatannya menuntut keadilan terutama bagi ketiga anaknya yang masih di bawah umur, Julio Gutierrez Hernandez, Brenda Gutierrez Hernandez and Walter Gutierrez Hernandez, korban penghilangan secara paksa pada 1980-an (Nicaragua News Service, A Service of the
1
ketika terjadi penghilangan paksa yang dramatis dan massal pada 1966. Guatemala mengalami situasi politik yang buruk: tiadanya tradisi demokrasi, pengadilan yang tidak efektif, gerilya dan anti gerilya dengan campur tangan militer asing, ketimpangan ekonomi yang mengakibatkan kekerasan sosial sejak 1954 ketika militer mengambil alih kekuasaan dari kaum reformis.3 Di Chili, penghilangan paksa yang sistematis mulai terjadi setelah kudeta militer pimpinan Auguste Pinochet pada 1973. Di Argentina, sejak Maret 1976, setelah kudeta militer dari pemerintahan sipil Peronis, ribuan tahanan politik dihilangkan secara paksa. Sejarah kemunculan gerakan yang datang dari konteks politik kekerasan di Amerika Latin ini cukup mengherankan, mengingat pada periode yang sama, penghilangan orang secara paksa, bahkan praktik-praktik eksekusi di luar pengadilan, terjadi pula di Indonesia dengan korban orang-orang Partai Komunis Indonesia setelah Peristiwa 30 September 1965, di mana kemudian militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil. Literatur-literatur, bahkan dokumen-dokumen Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amnesty International dan studi-studi tentang sejarah gerakan anti penghilangan orang tidak ada satupun yang mengacu pada peristiwa serupa di Indonesia.4 Pola lain penghilangan paksa pada periode 1970-an adalah secret imprisonment, atau pemenjaraan secara diam-diam. Kasus seperti ini misalnya dialami oleh Ali Bourequat, seorang warga negara Perancis keturunan Maroko dan dua orang saudaranya, Midhat Bourequat dan Bayazid Bourequat di Maroko 5 . Mereka ditangkap agen-agen rahasia Raja Hassan II pada 8 Juli 1973 karena kegiatan politik keluarga itu dan baru dilepaskan pada 1991. Bourequat dijebloskan ke dalam penjara rahasia di padang pasir Tazmamert, Maroko. Mereka mendiami sel yang gelap berukuran 2x6 meter, disiksa, mendapatkan perlakuan yang buruk dan tidak manusiawi. Bourequat bersaudara dianggap hilang oleh keluarga dan kawan-kawannya. Penguasa Maroko tidak mengakui memenjara mereka dan tidak bertanggungjawab terhadap kehidupan mereka. Baru pada 1989, seorang bekas tahanan di penjara yang kejam dan tidak manusiawi itu bersaksi bahwa Bourequat bersaudara disekap di penjara itu. Selama lima belas tahun, Bourequat diyakini sudah dieksekusi segera setelah penangkapan mereka. Dua tahun setelah pengakuan bekas tahanan itu, Bourequat bersaudara
Nicaragua Network of Greater New York, 23 April 2000). Kasus serupa menimpa Arnoldo Xi, seorang aktivis pembela hak atas tanah masyarakat Guatemala yang hilang pada 23 Maret 1995. Xi sedang terlibat pembelaan hak atas tanah bagi warga Tixila, Baja Verapaz, melawan tuan tanah setempat (The "Disappearance" of Arnoldo Xi, Amnesty Intenational, 1995). 3 Ibid, hal. 17-18. 4 Baca misalnya “Disappearances A Workbook”, yang diterbitan Amnesty International Amerika Serikat, New York, 1981. 5 Penjara ini sangat kejam, letaknya di suatu tempat yang dirahasiakan di tengah padang pasir Maroko, Afrika Utara. Bourequat bersaudara ditempatkan di sel yang kecil dan gelap. Pada malam hari, sel itu sangat dingin. Mereka tidur di tempat tidur dari semen, diberi makan seadanya berupa sup kacang dan sayur kering, dijatah air sehari hanya 3,5 liter, dua helai selimut, sehelai celana dan kaos untuk setahun. Selama lima belas tahun, mereka tidak diperkenankan keluar dari sel untuk menghirup udara segar. Antara tahanan tidak bisa saling bertemu apalagi berbicara. Satu-satunya cara berkomunikasi antar tahanan adalah dengan cara saling membentur-benturkan batu ke tembok batu penjara. Tidak ada fasilitas perawatan kesehatan, banyak tahanan yang tidak mampu bertahan hidup di penjara rahasia ini. Midhat Bourequat tidak tahan tidur di atas semen karena kesehatannya, kemudian selama bertahun-tahun ia tidur dengan cara duduk di lantai. Aparat intelijen penguasa Maroko menyebarkan isu bahwa Bourequat bersaudara merencanakan kudeta terhadap kekuasaan Raja Hassan II. Setelah Bourequat bersaudara dibebaskan, penjara kejam Tazmamart dihancurkan penguasa Maroko. Untuk mengetahui lebih detail kisah penghilangan ini, Lihat Ali Bourequat, "Eighteen Years of Solitude, Tazmamart", 1993.
2
dibebaskan, berkat tekanan internasional yang digalang antara lain oleh Amnesty International.
Latar Belakang Isu “Enforced Disappearance” Penghilangan-penghilangan secara paksa di Amerika Latin pada periode itu menarik perhatian dunia. LSM-LSM Amerika Latin kemudian menggunakan term "enforced disappearance" untuk kasus-kasus seperti ini. Desakan internasional kemudian membuat PBB, pada Desember 1978 mengeluarkan Resolusi 33/173 tentang disappeared persons. Pada 1980, Komisi Hak Asasi Manusia PBB membentuk Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances yang merupakan tugas lanjutan dari Resolusi itu. Lebih dari satu dekade setelah penghilangan paksa yang terjadi di Amerika Latin dan Asia, PBB baru bereaksi. Temuan awal kelompok kerja tersebut, yang dipublikasikan pada 1981, memberikan gambaran yang mengerikan tentang kejadian-kejadian penghilangan paksa. Pada tahun pertama, kelompok kerja ini telah menemukan 11 ribu kasus orang hilang secara paksa, yang terjadi di 15 negara, antara lain Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Siprus, El Salvador, Etiopia, Guatemala, dan Uruguay, termasuk Indonesia. Dalam waktu yang sama Inter-American Commission on Human Rights (IACHR), sebuah organisasi non pemerintah melakukan investigasi ke Guatemala, Chili, dan Argentina. Selama kunjungan ke Argentina pada 1979, IACHR memperoleh informasi 42 tahanan politik telah hilang. Langkah berikutnya adalah menyusun draft deklarasi anti penghilangan orang secara paksa yang membutuhkan waktu yang panjang. Draft Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearances (Deklarasi tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa) itu baru diterima Sidang Umum PBB pada 1992, dengan catatan bukan merupakan instrumen yang mengikat secara hukum dan hanya sedikit negara yang mengambil peran untuk menerapkan standar ini ke dalam hukum nasionalnya.6 Pada 1998, Sub-Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengadopsi draft International Convention on the Protection of all Persons from Enforced Disappearance berdasarkan deklarasi serupa pada 1992, dengan tambahan penting yakni kewajiban bagi negara-negara penandatangan untuk memasukkan tindakan penghilangan paksa sebagai tindakan kriminal dalan hukum nasional mereka. Standar-standar dalam perlindungan melawan penghilangan paksa kemudian diperkuat di Statuta Roma, yakni statuta tentang Pengadilan Pidana Internasional, kendati statuta ini hanya membatasi diri pada kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity) yang ditunjukkan dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil, bukan terhadap penghilangan paksa seseorang. Kendati demikian Statuta Roma menggolongkan penghilangan paksa sebagai kejahatan melawan kemanusiaan, sebuah terminologi baru dalam hukum pidana internasional.7 Dalam Resolution 2002/41, Komisi Hak Asasi Manusia PBB meminta Working Group untuk menyiapkan draft deklarasi yang memiliki kekuatan mengikat dengan basis deklarasi anti penghilangan orang secara paksa pada 1992. Sesi pertama pembahasan deklarasi yang mengikat baru dilakukan Januari 2003. Usulan utama dalam draft deklarasi yang dibahas tersebut adalah klausul sebagai instrumen HAM yang mengikat negara6
Instrumen yang mengikat secara hukum justru dikeluarkan oleh Inter-American Convention on Forced Disappearance of Persons, yang disahkan dalam sidang umum Organization of American States pada 1994. 7 Lihat Todd McIntyre and Catherine de Gaston, Enforced Disappearance of Persons: Its Inclusion as a Crime against Humanity in the ICC, 2001.
3
negara untuk mengadopsinya dalam hukum nasional yang bisa diaplikasikan baik dalam masa perang maupun masa damai. Ada tiga kategori korban penghilangan orang secara paksa8: (1) Kategori pertama adalah para oposisi politik dan para aktivis non-government organization (NGO) di akar rumput, merupakan mayoroitas target penghilangan orang. Biasanya, para korban ditahan di penjara, di mana mereka disiksa, keluarga dan teman-teman para korban tidak mengetahui keberadaan para korban, atau para korban dibunuh dan keluarganya tidak diberitahu keberadaan mayatnya. Para korban ini tidak mendapatkan perlindungan hukum sama sekali; (2) Kelompok korban kategori kedua adalah keluarga dan rekan-rekan korban penghilangan. Mereka menderita secara emosional, tidak tahu di mana korban penghilangan secara paksa itu berada. Mereka menunggu dalam ketidakpastian tentang nasib korban, tidak tahu korban hidup atau mati; (3) Kelompok korban ketiga adalah para aktivis NGO yang terlibat dalam pengusutan dan kampanye isu tentang korban penghilangan paksa. Mereka seringkali menjadi korban ancaman, dan bahkan mengalami penghilangan secara paksa juga.
Definisi “Enforced Disappearance” Definisi tentang penghilangan orang secara paksa menjadi perdebatan yang panjang sejak isu ini dimunculkan oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia Amerika Latin dan Amnesty International pada 1970-an. Amnesty International mendefinisikan penghilangan orang secara paksa adalah: “disappeared persons as those who have been taken into custody by agents of the state, yet whose whereabouts and fate are concealed, and whose custody is denied”. Amnesty Internasional menekankan peran negara dalam kasus penghilangan orang secara paksa, dan menekankan bahwa orang-orang yang hilang itu tidak benar-benar hilang tanpa diketahui rimbanya, ada otoritas resmi yang menghilangkan secara paksa namun bersikap diam. Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances PBB menggunakan definisi yang cukup panjang dan lebih luas cakupannya. Tekanannya pada peran aparat pemerintah di semua level, kelompok-kelompok terorganisir yang bukan merupakan aparat pemerintah dan orang-orang partikelir, namun bertindak atas nama pemerintah. Lengkapnya sebagai berikut: A person is arrested, detained, abducted or otherwise deprived of his/her liberty by officials of different branches, or levels of government, or by organized groups or private individuals acting on their behalf, or with the support, direct or indirect, consent or acquiescence of the government, followed by a refusal to disclose the fate or whereabouts of the person concerned or a refusal to acknowledge the deprivation of his/her liberty, thereby placing such persons outside the protection of the law.
Fighting Against Forced Disappearances in Latin America (Fadefam), organisiasi hak asasi Amerika Latin yang gigih menentang penghilangan secara paksa, yang berkantor di Caracas, Venezuela, memberi definisi yang memberikan tekanan lebih kuat pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan perhatian pada keluarga korban. Berikut definisi Fadefam: 8
Tentang pengelompokan korban, lihat Reed Brody and Felipe Gonzalez, Nunca Mas: An Analysis of International Instruments on "Disappearances", 19 HUM. RTS. Q. 365, 366-67 (1997).
4
A disappearance may have occurred whenever acts of omissions are committed by government agents or individuals acting with governmental consent or complicity for purposes of intimidation and repression which violate basic human rights, with the intent to harm a person or his or her relatives, and in which public authorities conceal the fate of the victim and deny their own involvement.
Hal penting dalam tiga definisi itu adalah keterlibatan negara, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggungjawab atas penghilangan secara paksa: secara langsung jika negara memerintahkan aparatnya, intelijen, pasukan bersenjata atau polisi untuk menghilangkan orang secara paksa khusus; tidak langsung jika negara tidak memerintahkan penghilangan namun mengizinkan pihak lain melakukannya. Biasanya, dalam dua kasus keterlibatan itu, negara tidak mengakuinya.9
Penghilangan Paksa dalam Statuta Roma Dalam Statuta Roma10 (Rome Statute of the International Criminal Court), atau perjanjian internasional yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), penghilangan orang secara paksa digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Statuta Roma menggolongkan “pelanggaran hak asasi manusia berat” dalam : (a) genosida dan (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pengusiran; (e) perampasan kemerdekaan; (f) penyiksaan; (g) perkosaan; (h) penganiayaan kelompok tertentu; (i) penghilangan orang secara paksa; dan (j) kejahatan apartheid.11 Kejahatan terhadap kemanusiaan, yang di dalamnya menyebutkan penghilangan paksa sebagai jenis kejahatan tersebut, diadopsi oleh Undang-undang Nomor 26 Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000, pada pasal 9, kendati terdapat perbedaan rumusan tentang “kejahatan terhadap kemanusiaan” antara undang-undang tersebut dengan Statuta Roma. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di undang-undang itu, salah satunya adalah kata serangan yang meluas dan sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (widespread) menurut M. Cherif Bassiouni 12 dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity on International Criminal Law (1998) sebagai berikut. Sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau 9
Dalam kasus di Indonesia, negara tidak pernah mengakui penghilangan secara paksa terhadap para aktivis pro-demokrasi pada 1998, padahal perintah penghilangan itu datang dari otoritasnya. Namun dalam kenyataan diredusir menjadi “penculikan” yang dilakukan oleh sekelompok pasukan elite Komando Pasukan Khusus, Angkatan Darat, atas inisiatif sendiri. 10 Statuta Roma disahkan pada 17 Juli 1998, di dalam United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court (Konfrensi Diplomatik Persatuan Bangsa-Bangsa untuk pendirian Mahkamah Pidana Internasional) di Roma, Italia. Statuta Roma, membentuk Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili tindak kejahatan kemanusiaan, dan memutus rantai kekebalan hukum (impunity). Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya. Sampai Juli 2001, baru 37 Negara yang sudah meratifikasi, dan 139 negara lainnya menyatakan persetujuannya. Jumlah ini tidak termasuk Indonesia. 11 Lihat Pasal 7 Statuta Roma. 12 M. Cherif Bassiouni adalah profesor hukum dan Direktur International Criminal Justice and Weapons Control Center pada Universitas DePaul Chicago, Amerika Serikat. Ia adalah Ketua Komisi Ahli PBB untuk bekas Yugoslavia.
5
tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender.13
Statistik Penghilangan Paksa Sulit untuk menyediakan dengan pasti berapa sebenarnya jumlah korban penghilangan orang secara paksa yang terjadi di seluruh dunia. Kebanyakan para keluarga korban di negara-negara yang sangat represif takut untuk melaporkan kasus-kasus ini. Data yang ditemukan UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances, bukanlah angka yang sebenarnya, melainkan hanya sebagian dari kasus-kasus penghilangan paksa yang dilaporkan. Sejak didirikan pada 1980 hingga 1999, UN Working Group telah melakukan klarifikasi 46,054 kasus penghilangan paksa. 14 Selama 1998-1999 Working Group menerima informasi 300 kasus baru penghilangan paksa yang terjadi di 23 negara; 115 di antaranya terjadi pada 1999. Statistik pelaporan orang hilang sejak 1996 bervariasi antara 300 hingga 500 kasus. Pada 1996, Working Group menerima laporan 551 kasus baru di 27 negara. Hingga tahun itu total korban penghilangan yang sudah diklarifikasi berjumlah 43.980. Di sejumlah negara, laporan-laporan yang masuk tidak dapat diklarifikasi mengingat pemerintahnya tidak mengizinkan, dan klarifikasi akan membahayakan baik korban penghilangan itu (jika masih hidup) maupun keluarganya. Inilah sebabnya, mengapa jumlah kasus penghilangan orang secara paksa tidak bisa dihitung dengan pasti.
Dampak Psikologis Penghilangan Paksa Penghilangan orang yang dilakukan secara sistematis dan periodik oleh rezim-rezim otoriter bagaimanapun memberi dampak psikologis yang berat dan meluas baik bagi para aktivis politik, aktivis hak asasi manusia, maupun masyarakat pada umumnya. Penghilangan paksa sebagai sebuah metode untuk menekan perlawanan publik pada negara yang bejat, memang cukup efektif di berbagai negara. Namun dampak psikologis yang paling berat dialami para keluarga korban penghilangan paksa itu. Keluarga korban adalah korban kedua dari kasus penghilangan paksa ini karena selalu dihadapkan pada ketidakpastian akan nasib anggota keluarganya yang dihilangkan secara paksa itu, apakah masih hidup atau sudah mati. Ketidakpastian inilah yang menyebabkan tekanan penderitaan yang berat bagi keluarga korban. Teman-teman dan kerabat korban seringkali juga menerima ancaman kekerasan dari orang-orang tidak dikenal, bahkan bisa mengalami nasib yang sama dengan anggota keluarganya yang hilang. Misalnya kasus Dr. Mayra Angelina Gutierrez Hernandez, proffesor di Universitas San Carlos yang hilang 7 April 2000. Hernandez hilang karena terus menuntut keadilan bagi ketiga anaknya yang masih di bawah umur, Julio Gutierrez Hernandez, Brenda Gutierrez Hernandez and Walter Gutierrez Hernandez, korban penghilangan secara paksa pada 1980-an.15 13
Statuta Roma, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2001 Civil and Political Rights, Including Questions of Disappearances and Summary Executions, Report of the Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances, 1999. 15 Nicaragua News Service, A Service of the Nicaragua Network of Greater New York, 23 April 2000. 14
6
Di Indonesia kasus ancaman dan intimidasi juga diterima kawan-kawan korban penghilangan, misalnya dalam kasus penghilangan secara paksa empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria, yakni Usep Setiawan, Idham Kurniawan, Mohammad Hafiz Azdam, dan Anton Sutton. Kasus yang berawal dari protes mogok makan untuk memperjuangkan hak-hak petani atas tanah di Gedung MPR/DPR, Jakarta, terjadi pada 14 Agustus 2000. Sementara keempat aktivis itu hilang, ancaman yang berkaitan dengan kasus penghilangan ini meluas ke keluarga dan teman-teman korban. Rumah keluarga Usep Setiawan di Bandung, pada 22 Agustus 2000 dimasuki orang ketika adik Usep yang menunggui rumah itu sedang keluar rumah. Pintu depan dan pintu kamar dijebol, kamar istri Setiawan diacak-acak. Pelaku yang berjumlah tiga orang itu datang dengan menggunakan kendaraan jenis jeep. Ketiga lelaki itu berbadan tegap dan berambut cepak. Pada malam sebelumnya, beberapa orang yang mengaku dari KPA juga mendatangi rumah Setiawan.16 Ancaman juga diterima kawan-kawan korban. Seorang warga Bandung yang kebetulan diminta mengambil faksimili di sebuah warung telekomunikasi oleh seorang staf Konsorsium Bandung, mendapatkan ancaman dari tiga lelaki berambut cepak dan berbadan tegap, agar dia tidak berurusan lagi dengan Konsorsium dan meributkan soal penculikan itu.17 Meskipun keempat aktivis itu telah dilepas pada 27 Agustus lalu, kasus ini tidak terselesaikan, para penculik hilang tanpa bekas, dan orang-orang yang melancarkan ancaman tidak muncul lagi. Penderitaan psikologis yang panjang dialami Ny Toeti Kotto, ibu Yani Avri, aktivis pro Megawati Soekarnoputri yang hilang 26 April 1997. Yani adalah satu dari 14 aktivis yang hingga kini belum kembali, sembilan diantaranya dikembalikan dan diakui negara sebagai korban penculikan oleh “oknum-oknum” Komando Pasukan Khusus, Tentara Nasional Indonesia. Ny Kotto hingga kini tak memiliki pengharapan bahwa anaknya masih hidup, kendati dalam hatinya ia berharap Yani masih hdiup. Ia seringkali menangis jika mengingat anaknya, seorang sopir angkutan umum di Jakarta Utara. Ny Kotto hanya ingin tahu anaknya masih hidup atau sudah mati. Kalau pun sudah mati, ia minta mayatnya dikembalikan. 18 Ny Kotto dan keluarga korban penghilangan paksa lainnya di akhir kekuasaan Soeharto, menyatakan sudah lelah berusaha mencari informasi mengenai anakanaknya ke sana kemari, tapi sampai saat ini belum mendapatkan jawabannya.19 Keluarga Wiji Thukul penyair Jaringan Kesenian Rakyat, termasuk yang hilang di akhir 1998, juga mengalami tekanan psikologis yang berat. Istri Thukul, Dyah Sujirah atau yang biasa dipanggil Sipon, perempuan yang tidak tamat sekolah dasar itu, kini sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Anakanak Thukul juga harus menghadapi ejekan dari teman-teman mereka di sekolah tentang aktivitas dan keberadaan ayah mereka. Dampak psikologis serupa terjadi di Chili, Amerika Latin. Sebanyak 203 anak di bawah usia 12 tahun dari keluarga yang anggotanya ditahan atau dihilangkan secara paksa yang diobservasi di klinik kesehatan di Santiago semenjak akhir 1973 hingga 1977, sebanyak 78 persennya menderita symptom isolasi sosial. Tujuh puluh persennya menderita depresi, 78 persen di antara mereka juga menderita trauma psikologis terhadap situasi lingkungan. Mereka trauma ketika mendengar suara sirene, melihat orang-orang berseragam, dan suara sepeda motor di malam hari. Separo dari anak-anak ini kehilangan 16
Kompas, “Pertemuan dengan Menteri Pertahanan Gagal, Keluarga Usep Diteror Agus”, 23 Agustus 2000. Kompas, “Teror Meluas, Keluarga Korban Penculikan Melapor ke Markas Besar Polri”, 24 Agustus 2000. 18 Xpos, No 09/II/11-17 Maret 99. 19 Kompas, “Gus Dur: Habibie Harus Minta Maaf”, 14 Agustus 1998. 17
7
berat badan, gangguan tidur, perilaku yang tertutup, tergantung pada ibunya dan mengalami kemunduran prestasi di sekolah.20
Pola Penghilangan Paksa di Indonesia Penghilangan paksa, baik yang terjadi di Amerika Latin pada 1960-1970, maupun yang terjadi di Indonesia pasca Peristiwa 30 September 1965 hingga berakhirnya rezim Soeharto, merupakan operasionalisasi strategi viktimasi politik. 21 Di negara-negara Amerika Latin seperti disebut di atas, dan di Indonesia di zaman Orde Baru, penghilangan merupakan bagian dari kebijakan sistemik untuk mencapai kapabilitas represi maksimum dengan pertanggungjawaban minimum, sementara di beberapa negara lainnya merupakan praktik politik kekerasan terdesentralisasi. Praktik-praktik penghilangan paksa yang terjadi pada “rezim-rezim demokratis” pasca Soeharto (Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri), tampaknya merupakan praktik politik kekerasan terdesentralisasi, karena praktik-praktik penghilangan paksa yang kebanyakan terjadi di wilayah konflik Aceh dan Papua, dilakukan di luar kendali dan tanpa sepengetahuan pemerintah sipil pusat.22 Kasus penghilangan orang secara paksa di Indonesia bisa dikelompokkan berdasarkan periode waktu dan tempat kejadian. Periode waktu dibedakan antara kasuskasus yang terjadi di zaman Orde Baru dan kasus-kasus yang terjadi di pemerintahanpemerintahan pasca Orde Baru. Tempat kejadian dibedakan terhadap kasus-kasus yang terjadi di wilayah konflik bersenjata antara gerakan kemerdekaan (Aceh, Papua, dan Timor Timur) dan kasus-kasus di wilayah bukan konflik. Sebagian besar kasus-kasus itu, baik di periode Orde Baru maupun pasca Orde Baru, baik di wilayah konflik maupun wilayah bukan konflik, tidak terselesaikan semuanya. Dalam kasus penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi di akhir kekuasaan Soeharto (Februari-Mei 1998) bukanlah penyelesaian yang adil. Sebelas anggota Kopassus diadili untuk kasus penculikan, bukan penghilangan paksa, dan dihukum ringan. Mereka hanya mengakui menculik para aktivis yang selamat dari eksekusi ilegal, dan mengklaim bertindak atas nama pribadi bukan intitusi, sehingga tidak menyentuh para penanggung jawab penghilangan paksa sebagai salah satu metode kerangka systematic policy untuk melenyapkan lawan-lawan politiknya. Kendati penghilangan paksa secara sistematis telah terjadi di Indonesia sejak pasca Peristiwa 1965, namun perhatian yang besar dan meluas terhadap kasus ini terjadi setelah peristiwa penghilangan secara paksa para aktivis pro demokrasi di akhir kekuasaan Soeharto. Organisasi hak asasi manusia yang mengkhususkan kegiatannya pada kasus ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), didirikan pada periode itu, kemudian muncul organisasi keluarga korban penghilangan paksa yakni Ikatan
20
“Children of Prisoners and the Disappeared: A Diagnostic Study,” Santiago, Chilie, 1979. Mulyana W. Kusumah, “Penghilangan Paksa dan Penculikan”, Tempo, edisi 4-10 September 2000. 22 Misalnya penghilangan paksa terhadap Aristoteles Masoka, saksi kunci pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (2001). Eluay dibunuh sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara Nasional Indonesia, dan kasus penghilangan paksa terhadap Musliadi, aktivis Aceh, ketua Koalisi Aksi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (2002) yang terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. 21
8
Keluarga Orang Hilang (Ikohi).23 Kontras didirikan Maret 1998 oleh koalisi yang terdiri dari 12 NGO (Non Government Organization). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) baru membuat pernyataan tentang penghilangan orang secara paksa pada 30 April 1998. Komisi ini menyatakan: Orang-orang yang telah dilaporkan hilang, yang telah dipantau Komnas HAM mengalami penghilangan secara paksa dengan cara penculikan dan bukan menghilang secara sukarela atas pilihan sendiri. Penghilangan orang secara paksa adalah pelanggaran berat hak asasi manusia. Pelanggaran itu merupakan kejahatan, baik menurut pasal 333 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) maupun menurut pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP), dan Deklarasi tentang Perlindungan bagi semua orang dari penghilangan secara paksa.
Menurut Komnas HAM, karena korban (orang hilang) telah ditempatkan di luar perlindungan hukum, maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia. Penghilangan orang secara paksa telah menimbulkan penderitaan pada korban dan juga keluarga, menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat, dan merusak citra bangsa. Komnas HAM mengecam penghilangan orang secara paksa. Dari kasus orang-orang hilang yang dilaporkan kepada Komnas HAM, dapat disimpulkan, bahwa telah terjadi penghilangan orang secara paksa yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir. Telah timbul dugaan kuat di kalangan masyarakat bahwa tidak tertutup kemungkinan unsur aparatur keamanan terlibat dalam penghilangan orang secara paksa. Perubahan rezim ke “rezim-rezim” demokratis ternyata tidak mampu mengungkap dan membawa orang-orang yang bertanggungjawab terhadap peristiwa-peristiwa ini ke pengadilan. Tidak ada pula pernyataan dari pemerintah untuk melakukan pengungkapan, apalagi menyatakan mengambilalih tanggung jawab orang-orang yang dihilangkan secara paksa ini. Kasus-kasus penghilangan paksa, terutama di Aceh dan Papua terus terjadi, bahkan hingga kini. Selama tidak ada perubahan kebijakan politik negara, kasus orang hilang di Indonesia, masih dan akan terus terjadi. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan keadilan terhadap keluarga mereka, sampai saat ini belum mendapat respons yang serius. Setelah peristiwa penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi pada 1998, kasus penghilangan terjadi lagi dua tahun berikutnya, ketika pemerintah sudah berganti, dan dipimpin Presiden KH Abdurrahman Wahid, seorang kiai Nahdlatul Ulama yang toleran dan demokratis. Kasus penghilangan paksa itu menimpa empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria, yakni Usep Setiawan, Idham Kurniawan, Mohammad Hafiz Azdam, dan Anton Sutton. Kasus yang berawal dari protes mogok makan untuk memperjuangkan hak-hak petani atas tanah di Gedung MPR/DPR, Jakarta, terjadi pada 14 Agustus 2000. Pola penghilangan paksa yang menimpa para aktivis Konsorsium ini mirip dengan pola penghilangan paksa yang menimpa para aktivis pada 1998, yakni dikuntit, disergap di jalanan, disekap, dan dilepaskan (jika tidak dihilangkan secara paksa) di kota lain dan diberi tiket pesawat ke Jakarta. Pola seperti ini dialami misalnya oleh Pius Lustrilanang, Desmond Mahesa, dan Haryanto Taslam. Penculikan Lustrilanang dan Mahesa diakui oleh sejumlah anggota Kopassus sebagai perbuatan mereka.24 23
Di Amerika Latin, organisasi serupa sudah lama didirikan, yakni Fighting Against Forced Disappearances in Latin America (Fedefam). Lembaga ini didirikan Januari 1981 di San José, Costa Rica. Fedefam memiliki status sebagai konsultan (kategori II) bagi United Nations Economic and Social Council (ECOSOC). 24 Ketiga korban penghilangan paksa itu juga diberi tiket dan dilepaskan di luar kota di mana mereka diculik. Para korban penghilangan lainnya diculik di jalanan seperti Faizol Reza dan Rahardja Waluyo Jati, dua
9
Keempat aktivis Konsorsium itu juga mengalami pola yang sama, yakni disergap oleh orang-orang bertubuh kekar dan bersenjata api di jalanan (Jl Kebon Kacang, Jakarta). Mereka dibekap dari belakang, dan dicengkeram kuat. Masing-masing aktivis itu dibekap oleh pria-pria kekar itu. Sedetik kemudian, sebuah mobil mendadak muncul di sisi mereka dan mobil yang lainnya menunggu di tempat lain. Seseorang membuka pintu, dan mereka didorong masuk ke dalam mobil. Postur tubuh para penculik tinggi dan besar serta bertenaga kuat. Empat aktivis itu dimasukkan dalam dua mobil yang berbeda masingmasing dua orang. Mereka diancam agar tidak bertindak macam-macam, musik rock disetel keras dan mobil melesat kencang. Selama di dalam mobil kepala diselubungi kain hitam dengan leher dijerat tali. Selama diperjalanan, para penculik hanya berdiam diri. Setelah perjalanan yang lama, mereka sampai di suatu tempat. Mata masih tertutup dan masing-masing orang disekap di kamar yang berbeda-beda. Kamar-kamar berukuran tiga kali empat dengan kasur dan kamar mandi. Udaranya lembab dan kamar mandinya bau. Para penculik hanya muncul dengan kepala ditutup kain hitam. Termasuk pada waktu makan, si penculik datang dengan menggunakan muka tertutup kain hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Setelah tiga hari, mereka dipindahkan. Perjalananan ke tempat baru sangat lama dan melelahkan. Tampaknya berjalan ke luar kota. Ada jalan mendaki dan tikungan. Di tempat penyekapan baru, mereka dipisah di kamar-kamar yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan kamar-kamar penyekapan sebelumnya. Para penculik mulai melakukan interogasi. Mereka ditanyai tentang kegiatan Konsorsium. Para penculik itu menuduh bahwa Konsorsium mendalangi aksi penjarahan tanah oleh petani di daerah-daerah. Para penculik juga menanyai siapa yang membiayai Konsorsium. Berbeda dengan perlakuan terhadap para aktivis yang diculik para anggota Kopassus – yang mengaku disiksa baik fisik maupuk psikis – para aktivis Konsorsium ini hanya mendapat tekanan psikis walaupun tekanan itu sangat kuat. Para penculik mengancam akan membunuh para aktivis Konsorsium jika terus berjuang untuk reformasi agraria. Keempat aktivis itu dilepaskan setelah 13 hari dihilangkan secara paksa. Pada 27 Agustus 2000, Usep Setiawan dilepaskan di bandar udara Adi Sucipto, Yogyakarta dan diberi tiket pesawat dan uang Rp 15.000. Idham dilepaskan di bandar udara Solo dengan modus yang sama. Begitu pula dengan Anton dan Azdam yang dilepaskan di bandar udara Semarang.25 Semua kasus penghilangan orang yang terjadi sejak 1998 hingga 2000 di wilayahwilayah non konflik dilatarbelakangi oleh motif-motif politik dan masalah tanah. Dua motif ini memang selalu melatarbelakangi praktik-praktik penghilangan secara paksa pasca peristiwa 1965. Tabel 1 Motif-Motif Penghilangan Paksa 1965 - 2001 Waktu Hilang Jumlah Lokasi 1965-1966 109 Pemalang, Jawa Tengah 1965
10
Ds.Sukorejo, Sidoarjo, Jawa Timur
Motif Politik (dituduh anggota Partai Komunis Indonesia) Masalah tanah
aktivis Partai Rakyat Demokratik, pada 12 Maret 1998 di Jakarta. Para korban lainnya dicari hingga ke rumah mereka seperti Andi Arief, aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang diculik para anggota Kopassus di rumahnya di Metro, Bandar Lampung pada 28 Maret 1998, juga Suyat, aktivis PRD Solo yang diculik di kampungnya di Gemolong, Sragen pada 12 Februari 1998. 25 Nezar Patria, “Kisah Penculikan Aktivis KPA”, Tempo Interaktif, 1 September 2000.
10
1966 19 Juni 1983 14 Juli 1982
11 1 6
12 September 2001 15 17 Pebruari 198 218 1989-1998 350 27 Juli 1996 16 1997-1998 14 Mei 1998 5 Mei 1999-Feb 2001 284 Sumber: Kontras, 2001.
Ds.Penataran, Blitar Ds. Sepawon Ds. Harjokuncaran, Malang Tanjung Priok, Jakarta
Masalah tanah Masalah tanah Masalah tanah
Talang Sari, Lampung Aceh DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta Aceh
Aktivitas keagamaan Daerah Operasi Militer Aktivitas politik Aktivitas politik Kerusuhan Mei 1998 Operasi Militer
Aktivitas keagamaan
Sepanjang 2002, atau setidaknya setelah kasus penghilangan paksa empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria, Agustus 2000, tidak terjadi kasus penghilangan paksa lagi di wilayah-wilayah non konflik, seperti di Jakarta sebagai pusat kegiatan politik, maupun di kota-kota lain seperti Bandung, Solo, Surabaya dan Yogyakarta. Kasus-kasus penghilangan paksa kebanyakan terjadi di wilayah konflik seperti Aceh dan wilayahwilayah konflik antar pemeluk agama, baik di Poso maupun Maluku. Kendati untuk kedua wilayah itu masih harus diverifikasi apakah kasus-kasus itu merupakan kasus-kasus penghilangan paksa sesuai definisi penghilangan orang secara paksa yang diakui kovenan internasional.
Penghilangan Paksa di Aceh Di wilayah konflik, terutama Aceh, penghilangan paksa terjadi sangat masif dan bisa menimpa siapa saja, baik para aktivis maupun rakyat biasa. Laporan-laporan penghilangan paksa di Aceh, yang disusun oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia setempat sangat mengagetkan jumlahnya, kendati tidak menjadi perhatian nasional. Laporan-laporan penghilangan paksa di Aceh tidak pernah diinvestigasi, baik oleh penyelidik nasional, maupun penyelidik internasional, seperti Working Group PBB atau pelapor khusus PBB. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh melaporkan, selama konflik bersenjata antara pasukan bersenjata Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepanjang Januari-Agustus 2002 (enam bulan), korban jatuh sebanyak 3.503 orang warga sipil, dan 974 di antaranya tewas. Kasus penghilangan secara paksa yang dilaporkan sangat mengejutkan, yakni mencapai angka 223 orang.26 Selain laporan penghilangan paksa, pada periode yang sama juga dilaporkan korban penyiksaan sebanyak 1.486 orang, dan penangkapan sewenang-wenang 820 orang. Sebagai perbandingan, dua tahun sebelumnya (1999), Koalisi NGO Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh melaporkan bahwa sepanjang tahun itu terjadi 128 penghilangan orang secara paksa.27 Namun, jika menggunakan definisi penghilangan secara paksa dari Working Group PBB, deklarasi anti penghilangan orang, maupun Amnesty International yang menekankan peran negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka tidak semua laporan penghilangan orang yang dilaporkan Koalisi NGO HAM Aceh merupakan 26 27
Serambi Indonesia, “8 Bulan, 3.503 Sipil Jadi Korban”, 6 September 2002. Laporan Koalisi NGO HAM Aceh, “Data Korban Penghilangan Secara Paksa di Aceh”, 1999.
11
korban penghilangan orang secara paksa, karena diantara korban yang hilang terdapat anggota angkatan bersenjata Indonesia. Kontras melakukan berbagai aktivitas, yang antara lain menuntut negara agar mengungkap dan bertanggungjawab terhadap kasus penghilangan secara paksa. Selama ini negara memang menolak bertanggungjawab atas kasus-kasus itu. Menurut laporan Kontras, dari berbagai kasus kekerasan dan penghilangan paksa yang terjadi sejak peristiwa 1965 sampai Juni 2002, terdapat 1.246 orang yang menjadi korban penghilangan paksa di Indonesia. Sedangkan sepanjang 2002 terdapat sekurangnya 125 orang dihilangkan secara paksa, diantaranya 116 orang di Aceh berkaitan dengan kasus subversi, atau target operasi militer, tujuh orang di Poso, dan dua orang di Ambon dalam kaitan konflik sosial. 28 Laporan ini tentu saja tidak menggambarkan jumlah yang sebenarnya, karena kalau merujuk dari laporan LBH Banda Aceh, untuk semester pertama 2002 saja, kasus penghilangan orang secara paksa di wilayah Aceh – bukan untuk Indonesia – mencapai 233. Pada 1998 saja, di Aceh, menurut data yang dikumpulkan oleh sejumlah organisasi HAM Aceh dilaporkan 1.679 orang yang hilang. Memang belum ada verifikasi lebih lanjut dari laporan-laporan ini, untuk menentukan apakah mereka termasuk para korban penghilangan secara paksa. Namun setidaknya laporan-laporan yang diperoleh dari keluarga dan teman para korban menghasilkan jumlah yang amat menakjubkan.29 Di Aceh, ketika konflik mulai mereda menjelang ditandatanganinya perjanjian damai di Jenewa, Swiss, 10 Desember 2002, Musliadi, ketua Sekretariat Koalisi Aksi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (Kagempar), dihilangkan secara paksa dengan cara diculik oleh enam orang yang bertubuh kekar di Sekretariat Kagempar, Jl Pari No 10, Lampriet, Banda Aceh, 30 November 2002. Empat lelaki diantaranya, yang seluruhnya berpakaian sipil dan menenteng senjata serbu jenis SS1, memberi salam dan masuk ke rumah. Mereka langsung mengumpulkan penghuni rumah dan memeriksa seluruh ruangan. Musliadi, ketua Kagempar, dibawa secara paksa. Tiga hari berselang, 3 Desember 2002, mayat Musliadi yang kondisinya mengenaskan dengan luka-luka di sekujur tubuhnya, dievakuasi ke rumah sakit umum Zainal Abidin Banda Aceh oleh relawan Palang Merah Indonesia dari sebuah sungai di pegunungan Seulawah. Kasus yang menimpa Musliadi bisa digolongkan sebagai pembunuhan politik, namun juga bisa digolongkan sebagai kasus penghilangan secara paksa dan eksekusi di luar pengadilan. Musliadi, sarjana ekonomi Universitas Syah Kuala, Banda Aceh yang masih berusia 26 tahun, memiliki catatan yang panjang sebagai aktivis hak asasi manusia. Mulamula ia bergabung dengan Forum Peduli-Hak Asasi Manusia, kemudian mendirikan Kagempar. Waktu itu, ia aktif turun ke lapangan – daerah-daerah konflik – melakukan investigasi, dan mendata para korban pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa DOM dan pasca dicabutnya DOM pada 7 Agustus 1998. Musliadi terlibat dalam berbagai aksi anti militer, misalnya aksi Pekan Kampanye Anti Militer 14-21 Juli 2001 yang berakhir dengan pembubaran paksa pada 20 Juli 2001 oleh aparat. Ia juga terlibat dalam Aliansi Anti Kodam (AAK) – penolakan terhadap pembentukan Komando daerah Militer di Aceh – aksi penolakan Inpres No. 7 tahun 2001, Inpres No. 4 tahun 2002. Pada November 2001 ketika Presiden Megawati berkunjung ke
28 29
Kompas, “Negara Dituntut Ungkap Kasus Penghilangan Paksa”, 31 Agustus 2002. Meunasah, “Di Aceh Orang Hilang Capai Angka 1.679”, 31 Juli 1998.
12
Aceh dan menyampaikan pidato di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Musliadi memimpin unjuk rasa di depan masjid itu.30 Penghilangan paksa terhadap aktivis HAM Aceh tidak terjadi sekali ini. Kasus sebelumnya menimpa Jafar Siddiq Hamzah, Ketua Indonesia Forum for Aceh (IFA), yang hilang sejak 5 Agustus 2000 saat melakukan kunjungan ke Medan. Sebelum Jafar, sejumlah aktivis Aceh lainnya juga dilaporkan hilang. Sepanjang 2002, latar belakang dan pola penghilangan secara paksa di Aceh masih memiliki latar belakang dan pola yang sama dengan kasus-kasus serupa, baik di zaman Orde Baru maupun di tahun-tahun sesudahnya. Latar belakang penghilangan paksa merupakan khas wilayah konflik bersenjata menuntut kemerdekaan, yakni penghilangan yang dilakukan secara sistematis untuk menekan gerakan kemerdekaan. Polanya adalah penculikan, mayatnya kemudian ditemukan atau hilang sama sekali. Penghilangan Paksa di Papua Penghilangan paksa di Papua terkait dengan gerakan pro kemerdekaan Papua. Kasus terakhir penghilangan paksa di Papua yang terkait dengan gerakan pro-kemerdekaan, yakni organisasi Presidium Dewan Papua yang dipimpin Thyes Hiyo Eluay. Penghilangan paksa menimpa Aristoteles Masoka, saksi kunci pembunuhan Eluay yang terjadi pada 10 November 2000. Penghilangan-penghilangan paksa sebelumnya, kendati tidak semasif yang terjadi di Aceh, dilatarbelakangi represi terhadap gerakan pro-kemerdekaan di wilayah itu. Extra Judicial Killing Summary Executions atau extra judicial killing sejak 1980-an menjadi perhatian PBB, kendati sangat terlambat, sesuatu yang menjadi kebiasaan organisasi internasional itu. Kendati pada 1968, Sidang Umum PBB pernah menyerukan kepada negara-negara untuk berhati-hati menerapkan eksekusi mati.31 Pada 1980, Sidang Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyinggung tentang summary executions, kendati tidak menyebut secara eksplisit summary executions, yakni Resolusi No 35/172 pada 15 Desember 1980. Pada 1981, PBB pertama kali mengeluarkan Resolution 36/22, 9 November 1981, yang isinya secara eksplisit mengutuk praktik-praktik summary executions, kemudian dilanjutkan dengan resolusi-resolusi serupa tahun 1982 hingga 1988. Baru pada 1989, PBB mengeluarkan dokumen yang khusus mengatur tentang hal ini dengan mengeluarkan Resolusi PBB 1989/65 pada 24 Mei 1989 tentang Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions (Prinsip-prinsip Pencegahan Efektif dan Penyelidikan Eksekusi Ekstra-Legal, Sewenang-wenang, dan Cepat). Dokumen ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian pencegahan dan penyelidikan. Eksekusi Ekstra-Legal menunjuk pada peran negara atau aparat bersenjata negara, yang melakukan eksekusi di luar perintah pengadilan. Bagian pertama mewajibkan negara-negara untuk melakukan pencegahan terhadap perbuatan eksekusi ekstra legal, dan memberikan perlindungan bagi orang-orang yang terancam menjadi korban. Pencegahan itu antara lain negara-negara diwajibkan memasukkan perbuatan eksekusi ekstra legal yang dilakukan oleh aparat mereka sebagai 30
Farizal, “In Memoriam Musliadi, Sang Demonstran, Aktivis HAM dan Kemanusiaan Aceh”, 2002, www. Solidamor.org. 31 UN action, para. 639; General Assembly Resolution 2393 (XXIII), 26 November 1968.
13
perbuatan melanggar hukum (kriminal). Keadaan perang, atau ancaman perang, instabilitas politik dalam negeri, atau keadaan darurat apapun tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan eksekusi ekstra legal. Negara-negara diwajibkan melakukan kontrol yang ketat dalam rantai komando terhadap aparat-aparatnya, dan mewajibkan negara-negara untuk bekerjasama secara sungguh-sungguh dengan penyelidik internasional. Bagian kedua resolusi ini memberi petunjuk tentang bagaimana negara-negara melakukan investigasi terhadap peristiwa eksekusi ekstra legal ini.32 Pada 1982, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menunjuk seorang special rapporteur extra judicial, summary atau arbitrary executions. Extra Judicial Killing di Indonesia Di Indonesia, extra judicial killing terjadi di banyak wilayah, baik di wilayah konflik bersenjata seperti Aceh dan Papua maupun wilayah-wilayah non konflik di luar wilayah itu. Memang kasus-kasus seperti ini paling banyak terjadi di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh, Papua dan Timor Timur (ketika wilayah ini masih menjadi bagian Indonesia), namun kasus-kasus lainnya terjadi di berbagai tempat lainnya, seperti Jakarta dalam kasus-kasus penembakan demonstrasi mahasiswa oleh tentara dan polisi, Porsea dalam kasus aksi anti pembangunan pabrik pulp PT Inti Indorayon Utama, dan lain-lain. Di Aceh, kasus summary excecutions terjadi misalnya di Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur pada 2-3 Februari 1999, ketika aparat keamanan Indonesia menembaki massa dan menyebabkan puluhan orang tewas seusai acara tablik akbar yang dihadiri hampir ribuan orang; penembakan tentara terhadap massa di Simpang Kraft, Lokseumawe, 3 Mei 1999, yang menewaskan puluhan orang dan sebagainya; pembantaian Tengku Bantaqiah dan sekitar 50 orang santrinya oleh tentara Indonesia pada 23 Juli 1999. Di Aceh, extra judicial killing bisa menimpa siapa saja, petani, nelayan, guru, penjual kopi, santri, ulama dan bahkan anak-anak sekolah. Pembunuhan secara kilat yang tragis misalnya terjadi pada 4 September 2002, ketika dua siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) Mutiara, Kabupaten Pidie, ditembak mati saat dalam perjalanan ke sekolah. Kedua korban Ava Novita, 17 tahun, dan Nurul Aida 16 tahun, tewas dengan luka tembak di dada dan kepala.33 Berbagai keterangan menyebutkan, pagi itu mereka menumpung bus angkutan umum dari desanya, Mancang Kecamatan Tiro menuju ke sekolahnya di Beureunuen yang berjarak sekitar delapan kilometer. Di tengah jalan, persisnya di kawasan Desa Geumpueng, bus yang mereka tumpangi dihentikan oleh sekelompok orang bersenjata. Keduanya diturunkan, sementara penumpang lainnya tidak. Orang-orang bersenjata itu memerintahkan sopir bus melanjutkan perjalanan. Namun hanya berselang beberapa menit kemudian terdengar suara tembakan. Orang-orang dalam bus masih dapat melihat kedua korban tersungkur berlumuran darah di areal persawahan. Penyelidikan tentang kasus ini tidak ada. 32
Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia juga menggunakan Manual on the Effective Prevention and Investigation of Extra-Legal, Arbitrary and Summary Executions (Petunjuk Pencegahan Efektif dan Penyelidikan Eksekusi Ekstra-Legal, Sewenang-wenang, dan Cepat), dan Guidelines for the Conduct of United Nations Inquiries into Allegation of Massacres (Petunjuk untuk Pelaksanaan Penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Tuduhan Pembantaian). Kedua buku petunjuk tersebut digunakan Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya ketika menyelidiki peristiwa pembantaian di Timor Timur oleh militer Indonesia, di seputar jajak pendapat di wilayah itu, September 1999. 33 Kompas, “Dua Siswi SMU Ditembak Mati di Pidie”, 5 September 2002.
14
Menurut catatan LBH Banda Aceh, pada Agustus 2002 saja korban pembunuhan kilat dan pembunuhan di luar prosedur hukum di Aceh mencapai 129 orang, meningkat dari 90 orang pada Juli 2002. Korban pembunuhan yang terbanyak terjadi pada Januari 2002, yakni 210 orang.34 Aktivis HAM seringkali juga menjadi target eksekusi di luar pengadilan ini, terutama yang terjadi di Aceh dan Papua. Desember 2000 terjadi pembunuhan terhadap tiga orang pekerja Rehabilitation Action for Victims of Torture in Aceh (RATA), suatu organisasi LSM yang menangani korban kekerasan. Para aktivis itu adalah: Idris Yusuf, Erlita Yeni, Baktiar, dan Rusli diseksekusi satu-persatu oleh aparat gabungan polisi dan tentara yang bertugas di Koramil Tanah Luas pada 6 Desember 2000. 35 Komisi Tinggi HAM PBB dalam sidangnya pada 26 April 2002 mengeluarkan aide-mémoire yang mengecam eksekusi di luar pengadilan terhadap para aktivis HAM di Aceh dan Papua.36 Pekerja HAM sejak 1998 sebenarnya sudah dilindungi oleh deklarasi PBB berjudul "Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms". Extra Judicial Killing di Jalanan Extra judicial killing oleh polisi banyak menimpa orang-orang yang disangka sebagai pelaku tindak kejahatan. Kasus-kasus penembakan sampai mati terhadap para tersangka atau para buronon polisi seringkali sukar dipertanggungjawabkan.37 Penembakan tersangka sebenarnya bisa dibenarkan sepanjang tindakan yang dilakukan polisi itu kontekstual, proporsional, dan ada alasan yang rasional. Adapun “extra judicial killing” yang dilakukan masyarakat terhadap penjahat yang tertangkap basah juga menunjukkan angka yang terus meningkat. Di Jakarta saja, berdasarkan catatan dari Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Jumlah korban pengeroyokan setiap tahunnya naik 30 persen, sedangkan kenaikan jumlah korban tewas akibat senjata api hampir dua kali lipat. Seluruh korban pengeroyokan massa dan korban tewas akibat senjata api ini merupakan para pelaku kejahatan yang dihakimi secara massal oleh masyarakat atau ditembak mati oleh polisi. Pada 1999, korban pengeroyokan massa tercatat sekitar 93 jenazah, angka ini bertambah pada 2000 menjadi 126 jenazah. Di tahun 2001, bertambah lagi menjadi 155 jenazah. Sementara itu, untuk korban yang tewas akibat senjata api di tahun 2000 tercatat sebanyak 108 jenazah, angka ini bertambah menjadi 250 jenazah. Tahun 2002 hingga tanggal 15 Juni 2002 ini, jumlah korban pengeroyokan massa tercatat sebanyak 78 jenazah. Sedangkan korban tewas akibat senjata api terakumulasi 67 jenazah.38
34
Serambi Indonesia, “8 Bulan, 3.503 Sipil Jadi Korban”, 6 September 2002. Tempo Interaktif, “Tiga Aktivis RATA Dieksekusi Aparat TNI/Polri”, 9 Desember 2000. 36 Aide-Mémoire 58th session of the UN Commission on Human Rights 18th March to 26th April 2002, Indonesia: Cycle of Violence. 37 Contoh extra judicial killing yang berhubungan dengan tersangka kejahatan misalnya kasus yang menimpa Rudy Singgih, wartawan yang disangka menjadi penadah mobil curian di Bandung, April 2001. Rudy ditembak hingga mati oleh polisi di atas mobil, setelah satu regu petugas menangkap dan memborgolnya dalam keadaan luka tembak di kaki, dari rumahnya di Bandung (Kompas, “Polda Jabar Siap Jelaskan Kematian Rudy Singgih”, 26 April 2001). Kasus seperti ini banyak terjadi, dan tidak pernah ada penyelidikan terhadap polisi yang terlibat. 38 Kompas, “Harga Nyawa di Ibu Kota Semakin Murah Saja!”, 24 Juni 2002. 35
15
Kini, hampir semua televisi komersial di Jakarta menayangkan program hasil peliputan lapangan bersama polisi menyergap dan menggerebek tersangka kejahatan. Kehadiran kamera televisi mendorong polisi melakukan hal-hal yang lebih eksesif terhadap tersangka karena pengejaran itu direkam dan akan ditayangkan oleh televisi-televisi yang bersangkutan. Seringkali terlihat di layar kaca, polisi mengeluarkan senjata pada situasi di mana seharusnya senjata-senjaja itu tidak perlu dikeluarkan. Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan seorang tersangka kejahatan diesksekusi hingga mati dalam pengejaran. Para crew televisi seringkali juga meminta polisi melakukan tindakan yang “enak” ditonton, mengejar penjahat yang tidak bersenjata dengan menembakkan pistol ke udara atau menembakkan ke kaki tersangka yang sudah tidak berdaya.39 Apa yang dilakukan polisi, yang dipertontontan di depan publik melalui siaran televisi, melanggar Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials).(*)
39
Wawancara penulis dengan beberapa produser televisi swasta di Jakarta.
16