Evidence Based Case Report
Penghentian Lamivudine Sebagai Pencetus Acute on Chronic Liver Failure
dr. Hendra Dw i Kurniaw an 0906646750
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo Juni 2012
BAB I PENDAHUL UAN
Gagal hati dapat berkembang sebagai gagal h ati akut (da lam keadaan tidak adanya penyakit hati yang sudah ada sebelumnya), acute on chronic liver failure (ACLF) (suatu kerusakan akut pada penyakit hati kronis), atau dekompensasi kronis dari penyakit hati stadium akhir.(1) ACLF merupakan kondisi yang serius dengan etiologi dan manifestasi yang bervariasi dan dengan tingkat kematian yang tinggi. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1995 untuk menjelaskan di mana dua keadaan buruk pada hati ter jadi secara bersamaan, salah satunya bersifat kronis dan yang lainnya bersifat akut.(2) Tidak ada definisi yang konsisten dari ACLF dalam literatur. Setiap studi mengenai ACLF telah menggunakan definisi sendiri dan ada tidak ada suara bulat dalam definisi ini dalam hal kriteria untuk gagal hati, kriteria untuk kejadian akut yang menimbulkan ACLF dan kr iteria untuk diagnosis penyakit hati kronis yang mendasari.(1-2) APASL mendefinisikan gagal hati pada A CLF sebagai gangguan hati akut yang ber manifestasi sebagai penyakit kuning (serum bilirub in >5 mg/dL (85 μmol/L) dan koagulopati ( INR >1.5 atau aktivitas protro mbin< 40%), yang diperburuk dalam w aktu 4 minggu oleh asites dan/atau ensefalopati pada pasien yang sebelumnya didiagnosis atau belum didagnosis penyakit hati kronis.(1-3) Pencetus kejadian akut ter masuk infeksi dan non-infeksi dan juga etiologi hepatotoksik yang tidak diketahui. Di antara penyebab infeksi yang dominan adalah virus hepatotropik dan non-hepatotropik. Reaktivasi hepatitis B (overt atau ocult) atau hepatitis C, agen lain yang menular yang menyerang hati yang ter masuk spirochetal, protozoa, cacing atau jamur yang langsung menginfeksi hati, se mentara bakteri atau infeksi parasit lain dapat menyebar ke hati dari tempat lain. Di antara etiologi infeksi, reaktivasi infeksi virus hepatitis B adalah salah satu penyebab utama ACLF di w ilayah Asia. Etiologi infeksi lain yang sangat penting lain sebagai pencetus kejadian akut adalah superinfeksi dengan hepatitis A dan E, terutama pada pasien di sub-benua India. (2) Pada sebagian besar negara-negara Asia, hepatitis B merupakan 70% pencetus ACFL, sedangkan alkohol hanya sekitar 15% dari se mua etiologi ACLF. Penyakit hati autoimun, penyakit Wilson, penyakit hati metabolik dan penyakit ha ti kolestasis kron is menjadi pencetus pada sebagian kecil pasien. NASH, terlepas dari tahap fibrosis, telah dimasukkan sebagai penyakit hati kronis yang mendasari A CLF. Namun, karena steatosis yang simpel tidak selalu progresif, hal ini tidak dimasukkan sebagai penyakit hati kronis yang mendasari untuk ACLF. (12)
Pengobatan infeksi kronis hepatitis b virus ( HBV) dengan lamivudine efektif dan dapat ditoleransi Dengan baik. Penghentian la mivudine, seperti halnya dengan nukleosida analog lain, mengakibatkan terdeteksinya DNA virus hepatitis B (HBV) dalam hampir semua pasien disertai dengan eksaserbasi akut dan peningkatan enzim transaminase pada 19–50% pasien, dan terkait dengan deko mpensasi hati pada sejumlah kecil pasien. Pasien yang menderita kegagalan hati akut setelah penghentian lamivudine telah dilaporkan. Akibatnya, w aktu penghentian elektif lamivudine tidak pasti kecuali pasien yang menjalani serokonversi antigen hepatitis Be (HBeAg).(4-5)
BAB II ILUSTRASI KASUS Seorang w anita, 38 tahun datang dengan keluhan badan tampak kuning sejak 3 hari SMRS. Awalnya kuning hanya terlihat di kedua mata, namun lama-kela maan kuning se makin memberat sehingga seluruh tubuh tampak semakin kuning. Badan terasa gatal. Badan lemas, mual dan muntah setiap kali makan. Muntah 4X/hari berisi makanan. Keluhan muntah darah dan BAB hitam disangkal. Nafsu makan berkurang. Pasien merasa nyeri ulu hati. Pasien demam, tidak ada batuk. Pasien kesulitan tidur saat malam hari. Sejak 10 tahun lalu, pasien diketahui menderita hepatitis B, saat itu terdapat keluhan muntah darah. Kemudian pasien muntah darah 3 bulan kemudian. Pasien tidak dilakukan endoskopi. Pasien ke mudian tidak ada keluhan selama 9.5 tahun ini. Tujuh bulan SMRS, pasien mengeluh lemas, dilakukan pemeriksaan, dinyatakan thalase mia B minor, diberikan transf use 3 bag tiap 3-4 bulan jika Hb turun dan lemas. Empat bulan SMRS pasien mengeluh perut semakin membuncit dan nyeri. Pasien berobat ke RS Koja, dinyatakan perut berisi cairan, sempat diraw at di RS, tidak membaik. Pasien dirujuk ke RSCM, tetapi hanya di IGD selama 1 har i, minta pulang karena tempat penuh. Dua bulan SMRS pasien diraw at kembali di RSCM karena keluhan lemas, perut membengkak dan nyeri perut memberat. Terdapat demam. Pasien diraw at, dan dilakukan EGD juga dinyatakan terdapat varises, dilakukan injeksi hystoacryl pada varises. Pada pasien juga diberikan lamivudine 1X100 mg karena terdapat peningkatan enzim hati. Pasien mendapat lamivudine selama sekitar 1.5 bulan, lalu tidak mendapatkan kembali karena enzim hati tidak terlalu tinggi lagi. Tidak dilakukan pemeriksaan HBV DNA saat itu. Pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit berat, delirium, TD 81/57 mmHg, HR 96 x/mnt, RR 20x/mnt S : afebris, sklera ikterik (+), jantung-paru dalam batas nor mal. Abdomen : buncit, lemas, SD (+), hepar lien tidak teraba membesar, BU (+) normal, ekstre mitas : akral hangat, perfusi perif er baik, palmar eritema (+), flapping tremor(+), edema pitting +/+ Pemeriksaan Penunjang didapatkan 28 April 2012: DPL: 9.45/29.8/24.800/87.700 MCV: 72.7, MCH 23.1 MCHC: 31.7 diff count: 0/0/17/75/5/3 PT 25.6 aPTT: 88.5/35.8 fib: >610 D dimer: 3.600, Ureu m: 21.8, creatinin: 0.23, SGOT: 395, SGPT: 296 albumin: 2.09, globulin: 4.82. bilirub in: 33.14 direk: 21.77 indirek: 11.37. GDS: 91, elektrolit natrium: 134, kalium: 3.95, Clorida: 110, Ul keruh, glukosa trace, prot +2, keton +, darah trace, Bi +1, uro +1, LE +2, leu 2425. Eri 6-8, sil 6-7, Kristal amorf +, bakteri +/ , anti HAV (-)/ HBsAg (+)/ anti HCV (-). 29 April 2012 didapatkan HBeAg (+)/ IgM anti HBc (-)
1/5/12 didapatkan SI 86/ TIBC 88/ ferritin 3730/ SGPT 121/ SGOT 144/ Hb 7,3/ Ht 21,6/ Leu 5.190 (0,4/ 1,2/ 75,3/ 12,5/ 10,6/ Tro mbo 61.000/ Bi T 23,2/ D 20,5/ I 2,7/ alb 1,51 USG hepatologi pada ta nggal 3/5/12: sirosis hati dengan hipertensi portal, penebalan dinding kandung empedu, duktus biliaris nor mal 4/5/12 didapatkan alb 1,83/ glob 4,17. Analisa asites: transudat, sel mesotel reaktif (+) 5/5/12 didapatkan PCT 1,49/ UL bi +3, uro 3,2/ SGPT 85/ SGOT 184/ Hb 9,6/ Ht 28,4/ Leu 6.880/ Tr 61.000/ Bi T 29,72/ D 22,87/ I 6,85 6/5/12 didapatkan AGD 7,395/ 47,1/ 199,5/ 28,8/ 4,4/ 99,3/ Na129/ K 2,65/ Cl 92,5 7/5/12 didapatkan Hb 8,3/ Ht 24,5/ Leu 5,050/ Tr 44.000/ PT 35 (K 12,5)/ aPTT 160,4 (K 34)/ fib 81,7/ D dimer 4700/ SGOT 226/ SGPT 61/ alb 1,73/ glob 4,17/ Bi T 26,39/ D 21,11/ I 5,28/ Ur 43/ Cr 0,8/ Na 124/ K 4,08/ Cl 9,27/ PCT 1,22/ AFP 2,3 9/5/12 didapatkan Hb 8,9/ Ht 26,9/ Leu 12.370/ Tr 63.000/ Bi T 35,88/ D 28,5/ I 7,38/ Ur 49/ Cr 0,9/ SGPT 66/ SGOT 241/ PT 46 (12,6)/ APTT 252 (33,8)/ fib 26,8/ f ib 1900/ PCT 1,82/ alb 2,3/ glob 4,4. Rontgen thorax: 28-4-2012: normal Pada Pasien ditegakkan masalah: Acute on chronic liver failure pada Hepatitis B flare pada Sirosis Hepatis Child Pugh C dengan Ensef alopati Hepatik grade 2, DIC kronik, asites suspek SBP, hipoalbuminemia, varises fundus, hiperbilirubinemia, dispepsia intake sulit, ISK asimtomatik, thalase mia beta minor, dan hiponatre mia. Pasien mendapat terapi: O2 3 L/ menit, diet hati NGT 6 x 200 cc, aminoleban 500 cc/ 24 jam, SNMC 2 ampul per 2 hari, Cefoperazone 2 x 1 g, HP pro 3 x 1, Curcuma 3 x 1, omeprazole 2 x 40 mg, sukralfat 4 x 15 cc, propranolol 2 x 10 mg, lamivudine 1 x 100 mg, Hepsera 1 x 10 mg, Hepamerz drip 4 ampul/ hari, vitamin K 3 x 10 mg, transfusi PRC, cryo. Pada pasien direncanakan untuk pemeriksaan HBV DNA tetapi tidak ada dana. Pasien akhirnya meninggal dunia dengan sebab kematian Acute on chronic liver failure.
Formulasi Pertanyaan
Berdasarkan masalah klinis di atas, diajukan pertanyaan klinis sebagai berikut: apakah penghentian lamivudin dapat mencetuskan terjadinya acute on chronic liver failure?
Metode Penelusuran P enc ar ian liter atur un tuk
menj aw ab masalah k lin is ter sebu t ada lah d eng an meny u sur i
k ep u stak aan sec ar a onli ne d eng an meng gun ak an in stru men p en c ar i P ub med . Kata k unci y ang digunakan ad alah: acute on chron ic liver failure AND lamiv udin e c essation . B atasan
p enc ar ian d ilakuk an atas stud i pada manu sia, pub lik asi bah asa Inggri s. Deng an metode pencar ian ter sebu t di temuk an 5 artikel berb ahasa Inggri s. Dar i 5 ar tik el ter sebut d idap atkan dua artikel y ang re levan b erd asark an ju du l d an ab str akny a ( stud i o leh Pieter Honkoop dkk dan
studi oleh Ji-Ming Zhang dkk). Studi Ji-Ming Zhang dkk tidak digunakan dalam makalah ini karena merupakan laporan kasus. Studi Pieter Honkoop dkk merupakan studi prospektif tanpa randomisasi dan tidak terkontrol.
BAB III HASIL PENEL USURAN
Pieter Honkoop dkk melaksanakan suatu studi prospektif tanpa randomisasi dan tidak terkontrol. Mereka memonitor tiap bulan, 41 pasien yang medapatkan lamivudin sedikitnya selama 3 bulan, dengan waktu monitor 6 bulan atau lebih setelah penghentian lamivudin. Hepatitis flare didefinisikan sebagai peningkatan ALT ≥ 3X batas atas nilai normal. Nilai DNA HBV diukur dengan liquid hyb ridization assay, dengan batas deteksi 1.6 Meq/ml. Jika hasilnya tidak terdeteksi, digunakan pemeriksaan polymerase chain reaction dengan limit 500 genome equivalents/ml. Kadar HbeAg diukur dengan teknologi mico particle enzyme immunoassay. Dilakukan juga pemeriksaan untuk menentukan adanya mutasi pada YMDD. Hasil penelitian:
Didapatkan 7 mengalami hepatitis flare dari 41 pasien (17%) setelah penghentian pengobatan lamivudine. Mean puncak tingkat ALT pada pasien engan flare adalah 997 IU/L. Dua dari pasien tersebut (5%) berkembang menjadi gagal hati (penyakit kuning dan clotting factor < 50%). Akhir dari peraw atan median kadar ALT adalah 36 IU/L (19-104 IU/L), dengan puncak median ALT terjadi (rentang) 16 minggu (7-44 minggu) setelah penghentian terapi. Sembilan
pasien mengalami sirosis hadir pada aw al terapi, salah satu pasien tersebut
mengalami hepatitis flare yang parah setelah penghentian terapi. Pada se mua kasus,
didapatkankadar HBV-DNA yang tinggi pada w aktu puncak ALT (314, 36-1864 Meq/mL; median, rentang). Pada semua pasien yang mengalami hepatitis setelah penghentian lamivudine, kadar HBV-DNA tinggi saat puncak ALT, dan pengurangan spontan aktivitas hepatitis tidak didapatkan. Untuk meminimalkan risiko gagal hati, terapi ulang dengan lamivudine dimulai dalam kasus ikterus. HBV DNA menjadi negatif dalam w aktu 2 minggu; juga seru m transaminases mulai menurun tajam dalam seminggu seperti halnya bilirubin. Terapi ini mengakibatkan normalisasi kadar serum transaminase; HBV-DNA yang tidak terdeteksi dan diikuti serokonversi HBeAg dalam w aktu 2 bulan. Dalam 5 pasien dengan hepatitis flare yang anikterik, terapi ulang dengan
lamivudine tidak dimulai dan semua flare mereda secara
spontan, tetapi tidak didapatkan serokonversi HbeAg.
BAB IV PEMBAHASAN
Meskipun penggunaan lamivudine pada infeksi kron is HBV telah menunjukkan hasil yang dapat ditoleransi dengan baik dan aman, penghentian pengobatan telah ditemukan dapat mengakibatkan hepatitis flare dan penyakit hati yang parah dalam beberapa kasus. Sifat hepatitis flares setelah penghentian lamivudine belum diteliti sampai saat ini. Hal ini tidak jelas apakah respon imun spesifik terhadap HBV sebagai respon atas kembalinya replikasi HBV dan ekspresi gen setelah penghentian lamivudine menyebabkan peningkatan kerusakan hati atau, influks yang masif limfosit non-spesifik dalam menanggapi peningkatan rep likasi HBV dan ekspresi gen dapat menyebabkan cedera hati.(4) Hepatitis flare diamati terjadi pada 8 pasien setelah pemberian plasebo dan 19% pasien setelah penghentian lamivudine. Oleh karena itu, penghentian terapi lamivudine memiliki risiko dua kali lipat untuk terjadinya hepatitis flare dalam masa 6 bulan setelah penghentian terapi, tetapi hal belum sepenuhnya terbukti. Pada pasien dari Asia, insiden spontan flare adalah 13% selama 6 bulan penghentian obat.(6) Kematian kadang-kadang dideskripsikan akibat eksaserbasi yang parah dar i infeksi HBV, dapat spontan setelah terapi sitotoksik, setelah penghentian prednisone, dan setelah penghentian lamivudine.(6) Diduga bahw a hepatitis flare didahului oleh peningkatan levels HBV DNA dan bahw a peningkatan replikasi virus dapat memicu reaksi kekebalan terhadap hepatosit yang terinfeksi. Komponen selular reaktivitas secara imunologi, dipelajari oleh oleh Marinos et al. Mereka menemukan respon peningkatan sel T helper setelah penarikan lamivudine diamati setelah 1 – 3 bulan, dalam menanggapi replikasi virus yang meningkat kembali. Oleh karena itu, peningkatan reaktivitas imunologi telah diamati setelah penghentian terapi lamivudine.(6) Hubungan antara berkembangnya "lamivudine w ithdraw al hepatitis" dan mutan yang resisten terhadap lamivudine belum jelas, karena munculnya keduanya, mutan virus yang resisten lamivudine dan virus wild type setelah penarikan terapi mampu menyebabkan eksaserbasi hepatitis yang berat.(6) Hepatitis flare kemungkinan akan semakin umum ditemui sekarang ini dengan rutinnya pemberian terapi analog nukleosida dalam skala besar dan kemudian dihentikan setelah pengobatan selesai. Salah satu harus yang harus diperhatikan adalah pada pasien yang dihentikan terapi dengan lamivudine. Evaluasi terjadinya hepatitis flare harus dimulai untuk
meminimalkan morbiditas dan kematian, tetapi juga untuk menyelidiki potensi sero konversi HBeAg.(6) Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan setelah 1-tahun pada pasien dengan acute on chronic liver failure adalah 57,6%. Pasien yang tidak diobati dengan obat antiviral memiliki risiko lebih tinggi mengalami kematian. Risiko tertinggi kematian pada pasien dengan ACLF telah dikaitkan dengan hepatorenal sindrom, sementara faktor-faktor penting lain seperti gangguan elektrolit, dan ensefalopati hepatik. Terapi antivirus memiliki efek kuat pada prognosis pasien dengan HBV-ACLF dengan meningkatkan tingkat 1-tahun kelangsungan hidup mere ka.(7-8)
BAB V KESIMPULA N
1. APASL mendefinisikan gagal hat i pada ACLF sebagai gangguan hati akut yang bermanifestasi sebagai penyakit kuning (serum bilirubin >5 mg/dL (85 μmol/L) dan koagulopati ( INR >1.5 atau aktivitas protrombin< 40%), yang diperburuk dalam w aktu 4 minggu oleh asites dan/atau ensefalopati pada pasien yang sebelumnya didiagnosis atau belum didagnosis penyakit hati kronis. 2. ACLF merupakan kondisi yang serius dengan etiologi dan manifestasi yang bervariasi dan dengan tingkat kematian yang tinggi. 3. Pencetus kejadian akut ter masuk infeksi dan non-infeksi dan juga etiologi hepatotoksik yang tidak diketahui. 4. Penghentian lamivudine, seperti halnya dengan nukleosida analog lain, mengakibatkan terdeteksinya DNA virus hepatitis B (HBV) dalam hampir semua pasien disertai dengan eksaserbasi akut dan peningkatan enzim transaminase pada 19–50% pasien, dan ter kait dengan dekompensasi hati pada sejumlah kecil pasien. 5. Pasien yang tidak diobati dengan obat antiviral memiliki r isiko lebih tinggi mengalami kematian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Acute-on-chronic liver failure: consensus recommendations of the Asian Pacific Association for the study of the liver (APASL), (2008). 2. Rajneesh AR, Kavitha Rangan, Thomas. V. Acute on Chronic Liver Failure. Calicut Medical Journal. 2011;9(2). 3. Albert C Chan, Sheung Tat Fan, Chung Mau Lo, Chi Leung Liu, See Ching Chan, Kelvin K. Ng, et al. Liver trans plantation for acute-on-chronic liver failure. Hepatol Int 2009;3:571–81. 4. Ji-Ming Zhang, Xin-Yu Wang, Yu-Xian Huang, You-Kuan Yin, Shihe Guan, Yang Xu, et al. Fatal Liver Failure With the Emergence of Hepatitis B Surface Antigen Variants With Multiple Stop Mutations After Discontinuation of Lamivudine Therapy. Journal of Medical Virology. 2006;78:324-8. 5. S G Lim, C T Wai, A Rajnakova, T Kajiji, Guan R. Fatal hepatitis B reactivation following discontinuation of nucleoside analogues for chronic hepatitis B. Gut. 2002;51:597-9. 6. Pieter Honkoop, Robert A. De Man, Hubert G. M. Niesters, Pieter E. Zondervan, Schalm. SW. Acute Exacerbation of Chronic Hepatitis B Virus Infection After Withdrawal of Lamivudine Therapy. Hepatology. 2000;32(3). 7. Kun Huang, Jin-Hua Hu, Hui-Fen Wang, Wei-Ping He, Jing Chen, Xue-Zhang Duan, et al. Survival and prognostic factors in hepatitis B virus-related acute-on-chronic liver failure. World J Gastroenterol. 2011;17(29):3448-52. 8. Yu-Ming Wang, Tang. Y-Z. Antiviral therapy for hepatitis B virus associated hepatic failure Hepatobiliary Pancreat Dis Int. 2009;8.