Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Penggusuran Permukiman Liar di Stren Kali Jagir: Sebuah Tinjauan dari Sisi Hukum dan Humanisme Rulli Pratiwi Setiawan1) 1) Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111 email:
[email protected]
Abstract Permukiman liar adalah hunian yang dibangun di lahan yang ditempati secara ilegal, dan biasanya mempunyai kualitas buruk. Fenomena permukiman liar ini berkembang seiring dengan berkembangnya tingkat urbanisasi. Salah satu bentuk permukiman liar yang banyak ditemukan di Surabaya adalah yang terdapat di bantaran sungai. Dalam Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo disebutkan mengenai batas sempadan dan pemanfaatan tanah pada sempadan sungai. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dilakukan melalui sanksi administrasi dan upaya paksa. Upaya paksa inilah yang kemudian identik dengan istilah penggusuran. Namun keabsahan Perda ini masih menjadi perdebatan sehubungan dengan adanya surat klarifikasi dari Mendagri terkait dengan masalah substansi. UN-HABITAT dalam salah satu buku panduan ringkasnya menekankan bahwa hampir semua penggusuran dapat dihindari. Hal yang mendasari adalah bahwa perumahan adalah sebagian dari HAM dan penggusuran merupakan bentuk pelanggaran HAM. Selain itu, penggusuran juga bukan dilihat sebagai sebuah solusi. Makalah ini berupaya mengulas masalah penggusuran terhadap permukiman liar di Stren Kali Jagir beberapa waktu yang lalu, serta pandangan terhadap penanganan terhadap penggusuran tersebut. Kesimpulan yang dapat digarisbawahi adalah konsep “community participation” yang perlu dipertimbangkan dalam proses “resettlement”. Mengelola proses permukiman kembali dengan cara partisipatif ini dapat meminimalkan konflik yang sering terjadi dan dapat menjaga kehidupan masyarakat dan jaringan sosial yang telah terbangun. Kata Kunci: penggusuran, permukiman liar, stren kali, community participation I. PENDAHULUAN Tingginya tingkat urbanisasi yang terjadi di perkotaan mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan seperti permukiman kumuh dan permukiman liar. Permukiman liar ini identik dengan permukiman ilegal (squatter). Permukiman liar adalah hunian yang terletak di lokasi yang peruntukan lahannya tidak untuk bangunan. Di Surabaya, permukiman liar ini banyak ditemukan di bantaran sungai dan tepi rel kereta api. Salah satu permukiman liar yang terletak di bantaran sungai di Surabaya adalah permukiman di Stren Kali Jagir. Secara hukum, jelas bahwa keberadaan permukiman yang terletak di bantaran sungai adalah tidak legal. Namun demikian, solusi yang diambil oleh Pemerintah Kota Surabaya yang berupa penggusuran juga banyak ditentang oleh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat memandang bahwa penggusuran tidak akan menyelesaikan persoalan dan memiliki rumah adalah hak setiap individu. Permukiman di Stren Kali Jagir sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kenyamanan para penduduknya tiba-tiba terusik oleh sebuah berita tentang penggusuran yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Pada bulan Mei 2009 lalu, penggusuran terhadap permukiman liar ini dilakukan. Penggusuran ini mengakibatkan 380 KK kehilangan tempat tinggal. Sebagai solusi dari penggusuran tersebut, Pemkot Surabaya telah menyiapkan Rumah Susun sebagai pengganti tempat tinggal mereka. Dari 380 KK tersebut, yang berhak mendapatkan Rusun yaitu sekitar 236 KK. Dari 236 KK tersebut, hanya 106 KK yang menempati Rusun yang telah disediakan. Sementara 130 KK lainnya tidak jelas ke mana pindahnya atau di mana keberadaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa solusi yang diberikan oleh Pemkot Surabaya tidaklah optimal. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengulas lebih lanjut mengenai penggusuran permukiman liar di Stren Kali Jagir ditinjau dari sisi hukum dan humanisme. Selain itu, usulan penanganan permukiman liar akan diberikan dengan mengadopsi Panduan Ringkas mengenai penanganan masalah penggusuran yang diterbitkan oleh UN-HABITAT sebagai lembaga dunia yang menangani masalah permukiman.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 1
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
II. KAJIAN TEORI Dalam kajian teori ini akan dibahas beberapa kajian mengenai permukiman sebagai hak dasar, perkembangan permukiman liar, permukiman di bantaran sungai, penggusuran, dan upaya penanganan permukiman liar. A. Permukiman sebagai Hak Dasar Hak dasar adalah hak setiap orang untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu hak dasar ini adalah hak atas perumahan. Dalam UUD 1945 pasal 38 H ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dijelaskan mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam hal Perumahan. Hak dan kewajiban tersebut adalah: 1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. 2. Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperanserta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Definisi rumah dalam UU No. 4 Tahun 1992 adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Definisi ini menunjukkan bahwa rumah tidak hanya berfungsi untuk tempat tinggal, melainkan juga untuk membangun hubungan sosial dan lingkungan. Tanpa campur-tangan pihak lain dari luar lingkungan, mereka pun akan mengusahakan penyelenggaraan rumah dan permukimannya sendiri secara mandiri dan berdaulat (Puntarasa, 2009). Dalam Panduan Ringkas UN-HABITAT (2008) disebutkan bahwa hak atas tempat tinggal, sebagaimana dinyatakan dalam hukum internasional adalah kebutuhan dasar menusia untuk dapat hidup layak. Tempat tinggal yang layak menentukan taraf hidup sebuah rumah tangga dan pembangunan sosial dan ekonomi sebuah negara. Apa saja yang menentukan kelayakan sebuah tempat tinggal ini kemudian dijabarkan lebih lanjut, yaitu: Jaminan Kepemilikan Lahan: Setiap orang berhak mendapat perlindungan dari penggusuran, gangguan ataupun bentuk ancaman lainnya. Oleh karenanya, pemerintah harus memastikan bahwa setiap warganya memiliki jaminan kepemilikan lahan, salah satunya melalui konsultasi dengan kelompok yang rentan terhadap hal tersebut. Pelayanan dasar dan infrastruktur: Sebuah tempat tinggal harus memiliki fasilitas yang memberikan kesehatan, keamanan, kenyamanan dan dukungan seperti air minum, bahan bakar untuk memasak, memanaskan, penerangan, fasilitas sanitasi, tempat pembuangan sampah, tempat penyimpanan dan pelayanan untuk kondisi darurat. Keterjangkauan: Biaya yang dibutuhkan untuk tempat tinggal yang layak harus terjangkau agar tidak mengurangi kemampuan sebuah rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya. Dapat ditinggali: Sebuah tempat tinggal harus mampu melindungi penghuninya dari udara dingin, panas, hujan atau ancaman terhadap kesehatan lainnya, serta ruang yang berkecukupan bagi penghuninya. Aksesibilitas: Setiap orang berhak untuk memiliki perumahan yang layak dan kelompok marjinal juga harus memiliki akses terhadap tempat tinggal, yang memprioritaskan hak mereka dalam pengalokasian lahan ataupun perencanaan guna lahan. Lokasi: Sebuah rumah tinggal harus terdapat di lokasi yang memiliki akses terhadap berbagai pilihan tempat kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini berlaku di kota dan desa. Sebuah rumah tinggal juga harus tidak dibangun dekat daerah yang terpolusi ataupun sumber polusi. Mencerminkan budaya: Dalam membangun area perumahan, harus dipastikan bahwa nilai-nilai budaya yang dimiliki penghuninya tercermin di dalamnya, namun tetap menggunakan fasilitas-fasilitas modern. Dalam hal penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah dan pihak penyedia perumahan harus dapat membedakan perbedaan kebutuhan dan perbedaan prioritas dengan penyediaan perumahan untuk golongan menengah dan atas. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dianggap penting bagi kaum miskin dalam usahanya memiliki sebuah rumah menurut UN-HABITAT (2008): 1. Lokasi Kedekatan dengan tempat kerja dan kesempatan kerja adalah faktor utama dalam pertimbangan memilih tempat tinggal. Kedekatan dengan pasar, pabrik, daerah usaha, jaringan transportasi dan lokasi konstruksi berarti penghasilan yang lebih besar, kesempatan kerja yang lebih tinggi dan biaya transportasi yang lebih rendah. 2. Ruang untuk bekerja Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 2
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Bagi kaum miskin, rumah tidak hanya tempat untuk tinggal, tapi juga tempat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Usaha rumah tangga yang dilakukan antara lain yaitu jasa menjahit, produksi kerajinan, penyiapan bahan makanan untuk dijajakan, bengkel perbaikan, kegiatan manufaktur ringan, toko keperluan rumah tangga, dan kos-kosan. 3. Sistem pendukung komunitas Rumah tangga miskin di permukiman kumuh sangatlah tergantung kepada jaringan komunitas di lingkungannya untuk rasa kebersamaan dan dukungan – tidak hanya di saat darurat. Sistem pendukung komunitas ini bisa berupa akses informal ke listrik, penitipan anak, bantuan dalam mencari kerja informasi, peminjaman uang di saat darurat dan membantu memperbaiki barang yang rusak. 4. Biaya terjangkau Bagi rumah tangga miskin, sebagian besar penghasilannya banyak digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, biaya kesehatan, transportasi dan kebutuhan darurat. Sulit bagi mereka untuk membayar biaya cicilan dari penghasilan per bulan yang seadanya. Karena itulah, pembangunan rumah secara bertahap adalah bentuk perumahan yang paling sesuai bagi rumah tangga miskin – karena mekanisme seperti itulah yang mampu meningkatkan kondisi ekonomi mereka. B. Perkembangan Permukiman Liar Permukiman liar biasa disebut dengan permukiman ilegal. UN-HABITAT mendefiniskan permukiman ilegal sebagai daerah perumahan dengan kualitas buruk yang dibangun di lahan yang ditempati secara ilegal. Permukiman liar ini biasanya terdapat di daerah-daerah seperti bantaran sungai, tepi rel kereta api, kolong jembatan dan lain-lain. Permukiman liar tidak sama dengan permukiman kumuh, meskipun demikian, secara realita, permukiman liar ini mayoritas berada dalam kondisi kumuh. Definisi dari rumah tangga kumuh adalah sebagai kelompok orang yang tinggal di atap yang sama di daerah kota yang kekurangan satu atau lebih kondisikondisi sebagai berikut: perumahan yang tahan lama, lingkungan hidup yang cukup layak, akses terhadap air bersih, akses terhadap sanitasi dan kepemilikan yang terjamin (UN-HABITAT, 2008). Dalam uraian selanjutnya disebutkan bahwa permukiman kumuh dan ilegal ada karena kaum miskin tidak mampu atau dapat menjangkau pasar lahan dan perumahan formal. Banyak yang menghadapi hambatan dalam mengakses perumahan dan lahan karena waktu, birokrasi dan kesulitan yang ada. Oleh karena itu permukiman kumuh sebagai alternatif perumahan merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Puntarasa (2009) menyatakan bahwa telah terjadi dikotomi antara aksesibilitas terhadap sumberdaya perumahan dan permukiman yang semakin mahal, dengan kebutuhan akan lokasi tempat tinggal yang aksesibel pada tempat kerja dan usaha, fasilitas umum dan pusat layanan publik. Diperkuat realitas tekanan sosial, ekonomi dan kependudukan, maka situasi inilah yang mendorong terjadinya konsentrasi perumahan dan permukiman yang padat, miskin dan kumuh. Penguasaan dan penggunaan lahan oleh warga masih banyak yang lemah dari sisi hukum dan administrasi seperti: bantaran sungai, pinggiran rel, tanah makam, tanah in-absentia atau menganggur maupun lahan dalam status penguasaan atau pemilikan pihak lain. Dalam paradigma lama dan kepentingan konvensional pembangunan perkotaan, lingkungan demikian sering berhadapan dengan masalah penggusuran. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk konflik sosial pembangunan dan pengingkaran hak dasar atas perumahan dan permukiman di daerah perkotaan. C. Permukiman di Bantaran Sungai Pada masa awal pembangunan, berbagai kawasan perkotaan mengalami pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat tersebut dalam beberapa kasus kurang terkendali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, tidak serasi dengan lingkungan dan tidak selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Permasalahan mulai muncul ketika lahan yang semakin terbatas menjadikan tepian sungai sebagai alternatif bagi kegiatan bermukim, khususnya bagi kaum urban berpenghasilan rendah. Keterbatasan akses untuk mendapatkan hunian yang layak telah memberikan ruang gerak untuk menyusup ke pinggiran kota yang masih murah, termasuk dalam ruang-ruang publik seperti kolong jalan tol, pinggiran rel dan tepian sungai. Mereka mendirikan hunian-hunian permanen maupun non permanen sebagai bentuk okupasi atas lahan di tepian sungai atau yang sering disebut stren kali atau bantaran sungai (Rahmadi, 2009). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa berkembangnya bantaran sungai sebagai kawasan permukiman membawa dampak menurunnya fungsi bantaran sungai sebagai retarding pond, ancaman bencana banjir dan tanah longsor, menurunnya kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi lestari kawasan. Dengan semakin bertambahnya masyarakat yang bermukim di tepian sungai, lambat laun dapat mengakibatkan sungai alamiah yang seharusnya mempunyai stabilitas morphologi dan komponen hidraulis (retensi tebing, dasar sungai, alur sungai serta erosi, sedimentasi dan banjir) yang paling Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 3
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
tinggi itu tidak dapat diminimalisir atau dikendalikan oleh sungai sendiri. D. Penggusuran UN-HABITAT dalam buku Panduan Ringkas untuk Pembuat Kebijakan mendefinisikan istilah penggusuran paksa sebagai pemindahan permanen ataupun sementara yang bertentangan dengan keinginan individu, keluarga dan/atau masyarakat dari tempat tinggalnya dan/atau lahan yang mereka huni, tanpa adanya ketersediaan, dan aksesibilitas, ke berbagai bentuk perlindungan hukum yang memadai. Beberapa penggusuran dipandang absah secara hukum, tapi kebanyakan tetap menyebabkan pemiskinan dan penghancuran terhadap investasi atas rumah dan sistem pengamanan sosial sebagai dampak dari ‘penggusuran paksa’. Dalam Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo, pasal 6, disebutkan bahwa tanah pada daerah sempadan sungai digunakan untuk keperluan a) operasi dan pemeliharaan sungai, b) tempat penimbunan hasil sementara pengerukan sungai, c) pembuatan bangunan sungai dan bangunan-bangunan pengairan, d) bangunan pengelolaan sungai (utilitas sungai), e) bangunan pengambilan dan pembuangan air, f) bangunan fasilitas umum dan g) jalur hijau. Pada Pasal 7 dijelaskan bahwa setiap pemanfatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dan f harus mendapatkan ijin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam Pasal 9 dijelaskan mengenai sanksi administrasi dan upaya paksa. Hal ini dilakukan terhadap pemanfaatan tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dilakukan tindakan administrasi dan upaya paksa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih detail, upaya paksa dalam Pasal 9 tersebut didefiniskan dalam Penjelasan Perda berupa pembongkaran bangunan yang berada pada bantaran sungai dan atau daerah sempadan sungai dan daerah penguasaan sungai yang bertentangan dengan peruntukannya. Keabsahan Perda ini sampai saat ini memang masih menjadi bahan perdebatan. Namun, lepas dari hal tersebut, upaya penggusuran jelas merupakan opsi yang diambil Pemerintah dalam menyikapi masalah permukiman liar. Ada beberapa alasan di balik penggusuran antara lain yaitu: (Asian Coalition for Housing Rights, 2003) 1. Tingkat urbanisasi yang meningkat 2. Proyek infrastruktur skala besar 3. Kekuatan pasar 4. Upaya mempercantik kota 5. Peraturan yang tidak efektif Penggusuran seringkali dilihat sebagai proses pemindahan bagi penduduk yang tidak mau mengikuti peraturan pemerintah. Melalui cara pandang ini, penghuni permukiman ilegal adalah pelanggar hukum dan pemilik lahan adalah korban (UN-HABITAT, 2008). Selanjutnya UN-HABITAT menekankan bahwa perumahan merupakan bagian dari HAM, dan penggusuran sebagai bentuk pelanggaran HAM. E. Upaya Penanganan Permukiman Liar di Bantaran Sungai Hampir seluruh penggusuran dapat dihindari, sementara seluruh kesengsaraan yang dihasilkan oleh penggusuran, atau pengambilan keputusan yang keliru, pengabaian akan pentingnya kesetaraan atau pembangunan yang salah arah, adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari (ACHR, 2003). Secara hukum positif (UUD 1945 pasal 28H, UU HAM dan UU Perumahan dan Permukiman), meningkatkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan HAM, sebagai pemenuhan hakhak dasar warga negara atas rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat. Selain itu, upaya mewujudkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan prinsip pro-poor dalam upaya menanggulangi kemiskinan khususnya di perkotaan. Secara teknis pengelolaan perkotaan, keamanan bermukim adalah strategi untuk menghambat laju pembentukan dan pengurangan permukiman kumuh dan informal (squatter) secara berarti, efektif dan manusiawi. Sebagai contoh, permukiman di bantaran rel kereta dan bantaran sungai tidak dapat diberi status permukiman liar atau illegal, karena warga yang tinggal di situ memiliki hak untuk dilindungi dan diberi keamanan bermukim. Dalam kerangka kategori baru, sebagai contoh, bisa diberikan status tidak resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Contoh penerbitan SK tinggal sementara yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga Negara, BUMN dan sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun pemberian status tidak resmi dan hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai pihak. Program pemberdayaan dan penyediaan tempat tinggal ini merupakan tanggung jawab pemerintah c.q Menteri Perumahan Rakyat atau Dinas Perumahan di daerah (Bappenas, 2009). Rahmadi (2009) menjelaskan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta, Banjarmasin, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya yang memiliki sungai-sungai besar harus dapat mengembalikan fungsi sungai serta bebas dari Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 4
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
sampah, menghidupkan penghijauan tepian sungai serta menjadikannya sebagai halaman muka bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu lama dan membutuhkan daya tahan kesabaran, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif. Selanjutnya Rahmadi menguraikan bahwa secara khusus dalam penanganan squatters (permukiman di atas lahan ilegal) di bantaran sungai baik di perkotaan maupun di luar perkotaan, maka bangunan apapun yang berdiri, direkomendasikan untuk dipindahkan/ direlokasikan ke lokasi yang lebih aman sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, kecuali bangunan atau fasilitas kegiatan terkait dengan pengairan atau infrastruktur untuk kepentingan umum. Bagi masyarakat squatters yang direlokasi atau dipindahkan, perlu disiapkan dulu lokasi atau kawasan yang sesuai dengan kebutuhan dan aksesibilitas yang cukup. Sedangkan penanganan squatters yang berada di luar kawasan garis sempadan sungai antara lain dilakukan dengan: Direkomendasikan status hak atas tanahnya menjadi legal (pemutihan) dalam bentuk hak sewa atau hak guna bangunan dengan batas waktu tertentu sepanjang kawasan tersebut sesuai dengan peruntukan tata ruang. Melakukan penataan permukiman bantaran sungai melalui pemahaman konteks sosial dan budaya masyarakat setempat. Berkaca pada penataan Kali Code Yogyakarta, proses pelibatan masyarakat sendiri yang menjadi concern utamanya. III. METHODE Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif, yaitu mengkaji studi kasus mengenai permukiman liar yang berada di stren kali, mencakup sejarah perkembangan dan kronologi penggusuran di kawasan stren Kali Jagir dan mengkaji studi pustaka terkait yang menunjang permasalahan tersebut. Pandangan mengenai penggusuran akan ditinjau dari sisi hukum dan humanisme (HAM). Sebagai hasil akhir dapat ditarik kesimpulan dari hasil analisa dan pembahasan. IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bagian pembahasan ini akan diuraikan mengenai sejarah munculnya dan berkembangnya permukiman di Stren Kali Jagir, kronologis penggusuran, tinjauan penggusuran dari perspektif hukum dan humanisme serta alternatif penggusuran permukiman di Stren Kali jagir. A. Sejarah Perkembangan Permukiman di Stren Kali Jagir Dari data Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya didapatkan sejarah mengenai pemukiman dan kronologi penggusuran kawasan Jagir Surabaya. Berikut adalah ulasan mengenai sejarah permukiman dan kronologi penggusuran kawasan Jagir Surabaya menurut LHKI Surabaya (2009): Pada tahun 1960, Daerah Jagir Barat (sekarang berada di gang II-IV) merupakan kompleks prostitusi. Sementara daerah sebelah Timur (sekarang di seberang gang IV-perempatan Panjang Jiwo) merupakan tanah kosong yang ditumbuhi ilalang dan pohon krangkong. Pada tahun 1961-1962 terjadi keributan di kompleks prostitusi sampai terjadi kebakaran. Sejak saat itu prostitusi dipindah ke Jarak Surabaya. Pada tahun 1964 ada pemindahan sekitar 50 pedagang dari Pasar Wonokomo oleh Walikota Sukoco karena pembangunan perluasan Pasar Wonokromo. Pedagang yang dipindah ini umumnya adalah pedagang besi yang semula berjualan di bagian Barat Pasar Wonokromo. Karena tempat tersebut akan digunakan sebagai terminal bemo, maka mereka diminta pindah dengan dua pilihan tempat pindah. Pilihan pertama direlokasi ke toko-toko kosong yang ada di dalam pasar dengan ukuan 2,5m x 4 m. Pilihan kedua dipindah ke daerah Jagir-Wonokomo, di tepi sungai. Akhirnya 50 orang memilih pindah ke Jagir-Wonokromo. Mereka mendirikan bangunan untuk berdagang dan tempat tinggal. Janji pemerintah saat itu (Walikota Sukoco) tempat tinggal dan tempat usaha akan dibayar pembangunannya oleh Pemkot dan warga mencicil jika sudah selesai. Tetapi janji tersebut tidak penah terlaksana. Kondisi tanah yang ditempati saat itu masih lebih tinggi dari jalan raya yang ada saat ini. Transportasi darat yang paling disukai adalah becak dan bendi, meski sudah ada bemo. Sungai digunakan oleh pedagang ikan dan bambu dari arah Timur sampai di sebelah Timur pintu air tempat mereka biasanya menggelar dagangan. Penduduk tepi sungai memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari (mandi, cuci, buang air dan masak). Bagian Barat wilayah Jagir (dari rel kereta api sampai seberang kantor Pertamina) ada taman. Di sebelahnya ada bangunan rumah penjaga aspal dan drum Pertamina. Pada tahun 1967 daerah Timur Jagir yang masih berupa tanah kosong penuh ilalang dan krangkong mulai dihuni oleh tukang becak dan beberapa orang yang tidak memiliki lahan di wilayah Barat. Selain rumah tinggal, mereka juga membuka usaha sepeti bengkel, warung kelontong dan lain-lain. Saat itu RK dan pengurus kampung tidak memperhatikan.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 5
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Tahun 1968 Jembatan Nginden dibangun. Tidak lagi ada perahu penjual ikan dan pedagang bambu lewat di sungai. Beberapa orang di Jagir Timur mulai bisa membangun rumah. Saat itu pengurus kampung (ketua RK) dari seberang jalan mendatangi dan melarang mereka mendirikan bangunan. Tetapi setelah bernegosiasi akhirnya mereka diijinkan tinggal dengan membayar Rp 1,00. dan diakui sebagair warga resmi kampung seberang. Tahun 1968 Warga mendapatkan KTP yang beralamatkan di lokasi pemukiman mereka oleh kecamatan Wonokromo. Tahun 1970 Warga penampungan dari Dinas Sosial direlokasi ke wilayah stren kali Jagir (depan Mangga Dua) oleh Dinas Sosial Kota Surabaya. Tahun 1970-1971 Jalan raya Jagir dibangun oleh pemerintah daerah dengan dana yang berasal dari PONSORIA WAWE (semacam SDSB). Setelah ini mulai ramai bemo dan bus Damri. Tahun 1975 Warga mulai membayar PBB (IPEDA). Penghuni mulai berganti karena banyak rumah yang diperjualbelikan hak pakainya. Daerah timur Jagir sampai tugu Panjang Jiwo mulair ramai dihuni. Tahun 1983 PLN masuk ke pemukiman warga dan mulai terpasang instalasi listrik. Tahun 1998 Daerah Barat yang dulu taman mulai dihuni oleh pedagang kayu dan alat memancing. Daerah Timur (Tugu Panjang Jiwo sampai ke Timur) mulai berpenghuni. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang kaki lima dan bengkel kecil.
Gambar 1. Kondisi Permukiman Liar di Stren Kali Jagir (Sumber: http://www.jawapos.com/imgall/1/imgori/66462large.jpg) Dari uraian sejarah permukiman kawasan Stren Kali Jagir dapat diketahui bahwa indikasi penyalahgunaan fungsi tanah di tepi Sungai Jagir muncul pada tahun 1964 karena adanya relokasi pedagang dari Pasar Wonokromo. Alternatif kedua yang ditawarkan, yaitu pemindahan pedagang ke tepi Sungai Jagir tidaklah tepat, karena bagaimanapun, daerah sempadan sungai harus bebas dari segala macam aktivitas yang tidak mendukung fungsi sungai. Kesalahan kedua yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya adalah pemberian KTP kepada warga yang tinggal di tepi Sungai Jagir. Hal ini terjadi pada tahun 1968. Dua tahun kemudian, kesalahan ini ditambah dengan pemindahan penampungan dari Dinas Sosial ke wilayah stren Kali Jagir (depan Mangga Dua) oleh Dinas Sosial Kota Surabaya. Iuran PBB yang diberlakukan kepada warga mulai tahun 1975 semakin memperkuat posisi warga, bahwa status tempat tinggal mereka memang ‘diakui’ oleh Pemerintah. Ditambah lagi PLN yang mulai menyalurkan listriknya kepada warga pada tahun 1983. Dengan adanya fasilitas yang diberikan Pemerintah ini, tidaklah tepat jika semua kesalahan dibebankan kepada warga yang tinggal di Stren Kali Jagir tersebut. B. Kronologis Penggusuran Permukiman di Stren Kali Jagir Penggusuran permukiman di Stren Kali Jagir berawal pada tahun 2002. Dari data LHKI Surabaya (2009) dapat diuraikan kronologisnya sebagai berikut: Tahun 2002 warga yang sudah bertahun-tahun bermukim di Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo dikejutkan dengan adanya Surat Perintah Pembongkaran II (SP II). Itu dilakukan tanpa ada proses sosialisasi, bahkan ada beberapa kampung seperti Karang Pilang baru mengetahui adanya SP II tersebut setahun kemudian. Pada tanggal 10 Juni 2003, Menteri Kimpraswil, Ir. Soenarno berdialog dengan perwakilan warga stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo yang terancam akan digusur. Dalam dialog tersebut juga hadir anggota Komisi IV DPR RI, Sekda propinsi Jawa Timur, Komisi D DPRD Jawa Timur, Walikota Surabaya, Kepala PU Pengairan Jawa Timur, serta sejumlah pejabat dari Instansi terkait. Adapun hal penting dalam dialog di Gedung Wanita Surabaya tersebut adalah sebagai berikut:
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 6
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
1. Menteri Kimprawil minta kepada Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya untuk menghentikan penggusuran sampai disahkannya Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Jawa Timur yang mengatur tentang Bantaran Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. 2. Untuk penerbitan PERDA Menteri akan membentuk TIM Teknis yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, Akademisi Independen, LSM dan wakil warga yang tergusur maupun yang terancam digusur. 3. Menteri Kimprawil sepakat dan sangat tetarik dengan konsep warga stren kali “masyarakat penjaga sungai” dalam hal menjaga fungsi sungai. Pada tanggal 18 September 2003, Tim Teknis yang sudah disepakati belum juga terbentuk, warga pun menanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PU Pengairan dan PU Pemukiman Jawa Timur. Ternyata pada hari yang sama Gubernur Jawa Timur menyerahkan Raperda Stren Kali Surabaya kepada Komisi D DPRD Jatim untuk dibahas dan direncanakan akan disah menjadi Perda. Pada tanggal 23 September 2003, menyikapi Raperda tersebut, perwakilan warga dan LSM Jerit menemui Komisi D DPRD Jawa Timur minta agar Raperda Stren kali tersebut tidak dibahas karena Raperda tersebut tidak disusun Tim Teknis sesuai kesepakatan saat dialog dengan Menteri Kimpraswil. Pada tanggal 1 Oktober 2003, warga ikut bersama Komisi D DPRD Jawa Timur yang melakukan pertemuan dengan Menteri Kimpraswil untuk membahas Raperda Stren Kali tersebut. Akhirnya Sidang paripurna DPRD Jawa Timur memutuskan Raperda yang diajukan Gubernur tidak bisa disyahkan karena ada kesepakatan yang dilanggar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam Sidang paripurnanya. Pada tanggal 23 Oktober 2003, Gubernur Jawa Timur membentuk Tim Kajian Teknis dan mulai bekerja pada tanggal itu juga. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dan pembahasan Tim Kajian Teknis dimana di dalam ada perwakilan warga Stren Kali terlibat menghasilkan sebuah kajian teknis yang akan disampaikan ke Menteri Kimpraswil. Selain ada beberapa hal yang berhasil disepakati, namun ada juga yang tidak berhasil disepakati antara Tim Wakil pemerintah (didukung dari kalangan Perguruan Tinggi) dengan Tim Perwakilan warga. Beberapa hal yang berhasil disepakati bahwa antara lain: 1. Program normalisasi sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo harus meminimalkan terjadinya penggusuran 2. Penataan sungai akan ditata terintegrasi dengan penataan permukiman yang mengacu pada konsep renovasi. Apabila hal tersebut tidak bisa dilaksanakan, maka diperlukan perumusan rencana detail dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya dan teknis, sehingga apabila terjadi relokasi setempat, atau terpaksa pada lokasi sekitar/ lainnya, masyarakat tidak menjadi lebih buruk kondisinya. 3. Penataan tidak akan menghilangkan akses warga stren terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, permukiman, jaringan ketetanggaaan/kekerabatan, kehidupan keagamaan yang sudah ada selama ini. Pada tanggal 26 Maret 2004 hasil kerja Tim Kajian Teknis Stren Kali Surabaya disampaikan kepada Menteri Kimpraswil. Apa dan bagaimana hasilnya, Menteri melihat masih harus dilakukan kajian lebih detil lagi. Pada tahun 2007 Pemprov Jawa Timur untuk kesekian kalinya mengusulkan kembali Raperda penataan sempadan Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. Pada tanggal 1 Oktober 2007, Hasil Pansus Stren kali telah menghasilkan Draft Raperda Penataan Sempadan Kali Surabaya dan Kali Wonokromo yang kemudian disahkan sebagai Perda pada tanggal 1 Oktober 2007, dan kemudian dicatatkan dalam lembaran daerah dengan Perda Nomor 9 tahun 2007. Pada tanggal 23 April 2009, Surat Peringatan dari Kecamatan Wonokromo dibagikan oleh Satpol PP kepada warga Jagir. Surat berisi peringatan untuk membongkar sendiri bangunan milik warga. Bila hal ini tidak dilakukan, maka akan dilakukan pembongkaran pada tanggal 30 April 2009. Surat tersebut merupakan hasil rapat antara Dinas PU Pengairan dengan Pemerintah Kota Surabaya. Perda yang dijadikan acuan penggusuran adalah peraturan yang lama, tidak menyinggung Perda terbaru No. 9 tahun 2007 sama sekali. Pada tanggal 27 April 2009, DPRD Kota Surabaya Komisi C mengundang rapat beberapa instansi terkait untuk menyikapi surat peringatan Kecamatan Wonokromo pada tanggal 23 April 2009. Pada tanggal 28 April 2009, warga melakukan aksi di Dinas Pengairan. Ketua Dinas PU Pengairan, Mustofa menemui warga dan mengatakan bahwa tidak ada rencana penggusuran dan tidak mengakui adanya rapat dengan Pemkot Surabaya. Dari Dinas Pengairan warga mendatangi DPRD Jawa Timur Komisi D. Komisi D mengadakan rapat bersama perwakilan warga. Dalam rapat dinyatakan bahwa Surat Kecamatan Wonokromo perihal penggusuran Strenkali telah melanggar kewenangan provinsi Jawa Timur khususnya terkait Perda No.9 tahun 2007. Di pertemuan juga tebukti bahwa Rapat Dinas Pengairan dan Pemkot ternyata benar-benar terjadi dan DPRD Jawa Timur merasa tersinggung karena dilangkahi.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 7
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Pada tanggal 29 April 2009, Rapat di DPRD Kota Surabaya yang juga dihadiri Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim, Perum Jasa Tirta, Dinas Bina Marga dan Pematusan, Camat Wonokromo, Lurah Jagir, Perwakilan warga dan LSM Jerit memutuskan: 1. Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim menghormati Perda No.9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Wonokromo. 2. Surat Kecamatan Wonokromo batal demi hukum dan diminta untuk melakukan pencabutan Surat Peringatan. 3. Hasil Rapat berlaku di seluruh kecamatan di wilayah sempadan sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. Pada tanggal 30 April 2009, JTV mengundang perwakilan warga untuk hadir dalam acara “Nyelatu Show” sebuah acara debat antara kedua belah pihak. JTV juga mengundang Walikota Surabaya dan Pemkot, tapi tidak ada yang datang. Pada tanggal 4 Mei 2009, penggusuran terjadi di kawasan Jagir. Aparat gabungan Satpol PP dan polisi yang turun sebanyak 2.500 orang plus anjing polisi, melebihi jumlah warga di Jagir. Penggusuran dilengkapi dengan 1 Unit Canon Water Car, 1 unit Buldozer dan 3 unit Excavator. Peristiwa penggusuran yang terjadi di Stren Kali Jagir bulan Mei 2009 mengakibatkan tergusurnya 380 KK. Dari 380 KK tersebut, ada 236 KK yang berhak mendapatkan Rusun sebagai pengganti tempat tinggal mereka. Sementara data yang diperoleh setelah penggusuran, hanya sekitar 106 KK yang menempati Rusun yang disediakan. 130 KK lainnya tidak diketahui keberadaannya (Lihat Tabel 1). Tabel 1. Jumlah Korban Penggusuran di Permukiman Stren Kali Jagir No. 1
Keterangan
Jumlah KK tergusur a. KK yang berhak mendapat Rusun b. KK yang tidak berhak mendapat Rusun 2 Jumlah KK yang berhak mendapat Rusun a. KK yang tinggal di Rusun (Wonorejo dan Randu) b. KK yang tidak jelas keberadaannya Sumber: Jawa Pos, 2009, diolah oleh Penulis
Jumlah KK 380 236 144 236 106 130
Prosentase 62.11% 37.89% 44.92% 55.08%
C. Penggusuran Permukiman di Stren Kali Jagir dalam Perspektif Hukum dan Humanisme Peristiwa penggusuran yang terjadi di Stren Kali Jagir pada bulan Mei 2009 lalu didasarkan atas Perda Provinsi Jatim No.9/2007. Dasar hukum lain yang digunakan dalam penggusuran ini adalah Perda nomor 7 tahun 1992 tentang IMB. Sedangkan keabsahan Perda No. 9/2007 yang telah disahkan ini ternyata masih menjadi polemik. Perda ini berawal dari penggusuran ratusan pemukiman di Stren Kali Wonokromo tahun 2002, yang mana dasar penggusuran pada waktu itu hanya SK Gubernur jatim 134/1997 tentang sempadan Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. Hal ini mengundang protes dari Paguyuban Warga Strenkali Surabaya, sehingga akhirnya pada tanggal 10 Juni 2003 dilakukan dialog antara Menteri Kimpraswil dengan Warga strenkali dihadiri Gubernur Jatim, Walikota Surabaya dan instansi terkait. Kesepakatan 10 juni 2003 adalah: (1) pengusuran dihentikan, (2) perlu ada perda yang mengatur tentang sempadan kali Surabaya dan Kali Wonokromo, dan (3) untuk menyusun Raperda perlu dilakukan kajian teknis yang melibatkan warga, pemerintah, LSM dan perguruan tinggi. Dengan dasar kesepakatan tersebut, akhirnya DPRD Jawa Timur mensahkan Perda No. 9/2007 tanggal 5 Oktober 2007. Proses pembahasan Raperda tersebut melibatkan warga yang terancam digusur. Solusi yang dituangkan dalam Perda 9/2007 merupakan solusi yang sudah mempertimbangkan aspek teknis sekaligus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ekonomi. Dimana kampung yang sudah ada di stren kali dipertahankan dan warga menghadapkan rumah ke sungai, ada jalan inpeksi 3-5 meter, sampah diolah, limbah cair diolah, sanitasi diperbaiki, rumah direnovasi dan penghijauan ekologis. Setelah 1,5 tahun, Tim Verifikasi Mendagri baru mengeluarkan surat klarifikasi yang isinya mengubah total prinsip dasar Perda No 9/2007, dari penataan menjadi penggusuran. Dalam surat tersebut, Mendagri juga merevisi batasan sempadan lima meter yang sudah diatur dalam Perda nomor 9/2007 menjadi 11 meter, sesuai dengan Kepmen Kimpraswil No. 380/KPTS/M/2004. Kepmen ini juga dinilai masih bermasalah karena menuai protes dari warga yang merasa tidak dilibatkan dalam proses dialog dengan Tim Teknis Pemerintah. Sebagai kesepakatan akhir, aturan tentang sempadan dikembalikan ke Pemerintah Provinsi terkait. Polemik Perda No.9/2007 terus berlanjut hingga sekarang. Gubernur Jatim Soekarwo mengakui adanya surat dari Mendagri yang meminta agar Perda Nomor 9 Tahun 2007 tidak diberlakukan lebih dulu. Sayangnya ketidaksepahaman masih juga terjadi menyangkut keabsahan Perda ini. Anggota DPRD Jatim ada yang Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 8
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
berpendapat bahwa sebelum ada penyempurnaan, sampai saat ini Perda Nomor 9 Tahun 2007 tetap sah dan berlaku. Bila masalah penggusuran permukiman di Stren Kali Jagir dikaitkan dengan beberapa alasan penggusuran yang diungkapkan oleh Asian Coalition for Housing Rights, maka alasan penggusuran di Stren Kali Jagir lebih terkait dengan dua alasan terakhir, yaitu peraturan yang tidak efektif dan upaya mempercantik kota. Mengapa dikatakan terkait dengan peraturan yang tidak efektif? Berbagai macam peraturan yang ada di Indonesia, sering kali tumpang tindih dan bahkan tidak sinkron. Demikian pula peraturan yang mengatur tentang batas sempadan sungai. Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 Tahun 2007 ini adalah salah satu buktinya. Perda No. 9/2007 mengatur batas sempadan Kali Surabaya dan Wonokromo antara tiga meter hingga lima meter. Sementara itu, berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 380/KPTS/M/2004, Mendagri memberikan rekomendasi klarifikasi perda tentang batas garis sempadan menjadi minimal 11 meter. Ketidaksinkronan peraturan ini berdampak terhadap pengambilan keputusan ataupun kebijakan yang diambil oleh Pemerintah terkait dalam mengatasi permasalahan yang ada. Langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah akan dengan mudah menuai protes dari warga karena ketidakjelasan peraturan ini. Ada beberapa hal yang dapat dikaji dalam kasus penggusuran di Stren Kali Jagir. Salah satunya adalah dasar hukum yang digunakan dalam penggusuran ini bukan merupakan dasar hukum yang kuat, karena status ‘kelegalan’ Perda No. 9/2007 masih diperdebatkan. Namun dalam peraturan perundangan di atas Perda tersebut, yaitu Permen PU No. 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, jelas disebutkan bahwa pemanfaatan lahan di daerah sempadan dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti kegiatan budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diijinkan, kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan, pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan, pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum, pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api, penyelenggaraan yang bersifat sosial dan masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai dan pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Peraturan ini jelas tidak menyatakan bahwa bantaran sungai bisa digunakan untuk bangunan permukiman penduduk. Permasalahan yang muncul kemudian adalah saling mencari kesalahan di balik peristiwa penggusuran tersebut. Dalam kasus penggusuran permukiman di Stren Kali Jagir, bukan hal yang sulit untuk mencari ‘benang merah’ dari masalah tersebut, karena kronologis perkembangan permukiman ini sudah diketahui. Kesalahan yang ada di masa lalu tidaklah tepat jika dibebankan sepenuhnya kepada warga permukiman Stren Kali Jagir, karena tanpa pengakuan status warga dan pemberian fasilitas seperti listrik, permukiman ini tidak akan tumbuh dan berkembang menjadi rumah-rumah permanen. Masalah penggusuran permukiman erat kaitannya dengan masalah kemanusiaan, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa “Perumahan adalah sebagian dari HAM, dan penggusuran merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM”. Aspek hukum biasanya mempunyai sisi yang ‘berlawanan’ dengan aspek humanisme. Dalam hal ini diperlukan adanya tinjauan yang seimbang dalam melihat permasalahan penggusuran dari sisi hukum dan kemanusiaan. UN-HABITAT sebagai salah satu wadah organisasi dunia di bidang perumahan dan permukiman telah banyak memberikan panduan dalam menyikapi masalah penggusuran ini. Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi kemanusiaan, membiarkan warga tetap di lahan yang sama dan memberikan hak kepemilikan lahan merupakan alternatif penggusuran terbaik. Jaminan kepemilikan lahan ini merupakan salah satu syarat kelayakan sebuah hunian. Namun jaminan kepemilikan lahan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan syarat kelayakan hunian yang lain. Dalam kasus permukiman di Stren Kali Jagir, faktor keamanan merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan. Daerah di bantaran sungai, tepi rel kereta api atau di tebing yang rawan longsor merupakan lokasi yang tidak aman untuk dihuni. Sesuai dengan PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai, harus dibedakan antara definisi bantaran sungai dan garis sempadan sungai. Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Fungsi bantaran sungai adalah tempat mengalirnya sebagian debit sungai pada saat banjir (high water channel). Oleh karena itu pemberian hak kepemilikan lahan dalam hal ini bukanlah suatu hal yang tepat. Sementara, definisi dari garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai dan daerah sempadan adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk sungai buatan yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 2.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 9
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Gambar 2. Bantaran Sungai dan Garis Sempadan Sungai (Sumber: http://bebasbanjir2025.files.wordpress.com/2008/11/sg5.jpg, diedit oleh Penulis) D. Alternatif Penggusuran Permukiman di Stren Kali Jagir Dalam kasus tertentu, penggusuran memang dapat dihindari dan jaminan kepastian hukum dan perbaikan permukiman setempat merupakan solusi terbaik. Namun untuk kasus lain, penggusuran merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan. Melihat dari perkembangan kasus yang menimpa penduduk di Stren Kali Jagir, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan. Sebagai solusi awal, Pemerintah memang perlu untuk menyosialisasikan masalah ‘kelegalan’ status permukiman yang terletak di bantaran sungai. Selanjutnya, kajian hasil Focus Group Discussion (FGD) dari Bappenas terkait dengan upaya menanggulangi kemiskinan melalui pembangunan perumahan dan permukiman dapat diadopsi sebagai upaya penanganan permukiman liar di Stren Kali Jagir, yaitu pemberian status tidak resmi (informal) dan hak tinggal sementara. Pemberian status tidak resmi (informal) dan hak tinggal sementara ini harus diiringi dengan pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai pihak. Jika penggusuran dinilai sebagai solusi terakhir yang harus dilakukan, maka upaya ini juga mempunyai prosedur yang harus dijalankan, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Solusi penggusuran hampir dipastikan akan disertai dengan upaya relokasi atau pemukiman kembali. Upaya pemukiman kembali inilah yang menuntut pelibatan masyarakat secara aktif. Dalam hal ini, Panduan Pemukiman Kembali dari UNHABITAT dapat dipertimbangkan. Beberapa panduan tersebut antara lain yaitu: 1. Melibatkan penduduk yang tergusur Masyarakat akan lebih dapat menerima jika dilibatkan dalam seluruh tahap perencanaan pemukiman kembali. Dengan demikian diharapkan agar mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik dan terjamin di tempat barunya. 2. Masyarakat harus diorganisir Masyarakat harus dirorganisir dan disiapkan agar mampu menegosiasikan bentuk pemukiman kembali yang baik, dan juga dapat membangun permukiman baru secara kolektif agar relokasi yang terjadi tetap memenuhi kebutuhan setiap warganya. 3. Pemberian informasi mengenai kegiatan pemukiman kembali Forum publik harus disiapkan jauh sebelum kegiatan pemukiman kembali, untuk menjelaskan proses pelaksanaannya, kondisi kepemilikan lahan di tempat barunya, serta jumlah biaya yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dan pelayanan dasarnya. Sosialisasi semacam ini yang biasanya tidak dilakukan dalam proses relokasi korban penggusuran. 4. Melakukan survey masyarakat Sebaiknya survei lengkap dilakukan untuk membantu komunitas dan pihak terkait membuat keputusan mengenai siapa yang berhak atas kepemilikan lahan di tempat pemukiman kembali. Survey data yang diverifikasi oleh kedua belah pihak harus dilakukan untuk memastikan proses pemberian lahan yang adil dan transparan. 5. Menyiapkan rencana baru Masyarakat memerlukan waktu dan pendampingan untuk mengorganisir dirinya pindah serta memilih tipe rumah sebagai dasar pertimbangan luas lahan yang dibutuhkan, tipe rumah yang terjangkau, serta fasilitas dan ruang publik seperti apa yang ingin didapatkan di permukiman baru. Jika lokasi baru telah ditentukan sebelumnya, maka rencana baru ini bisa dikaitkan dengan perencanaan kebutuhan calon penghuni di tempat yang telah ditentukan. 6. Memilih lokasi baru Lokasi harus memiliki akses ke pelayanan dasar seperti air, listrik dan drainase, serta juga fasilitas seperti sekolah, klinik, tempat keagamaan dan transportasi publik. Pilihan lokasi baru harus telah disepakati oleh orang Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 10
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
yang terkena dampak, sehingga lokasi yang ditetapkan ini dapat digunakan secara optimal oleh korban penggusuran sebagai tempat tinggal baru. 7. Menyiapkan lokasi permukiman baru dan proses perpindahan Masyarakat baru boleh pindah ke lokasi permukiman barunya pada saat lokasi tersebut sudah difasilitasi dengan berbagai pelayanan dasar, perumahan dan sistem pendukung. Hal ini untuk menghindari adanya protes dari warga yang merasa bahwa lokasi permukiman barunya bukan merupakan lokasi yang layak huni. 8. Pengorganisasian proses pemindahan Kegiatan ini harus pada waktu tertentu, dan transportasi harus tersedia untuk membantu masyarakat membawa harta benda serta bahan bangunan yang dibutuhkan di permukiman barunya. Bantuan semacam ini sangat penting sebagai bagian dari upaya pemberian dukungan moral kepada korban penggusuran. V. KESIMPULAN Rumah adalah hak dasar dari setiap individu. Pemenuhan kebutuhan perumahan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Masalah yang sering timbul adalah bagaimana menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dilema penggusuran permukiman liar terus bergulir dari waktu ke waktu. Tidak dapat dipungkiri, kesalahan ini tidak hanya terletak pada warga permukiman liar, namun juga Pemerintah terkait, yang telah memberikan ‘pengakuan’ dan fasilitas kepada permukiman liar ini. Tinjauan dari sisi hukum dan humanisme di atas setidaknya dapat memberikan masukan kepada semua pihak bagaimana menangani kasus permukiman liar di perkotaan dengan atau tanpa penggusuran. Jika penggusuran merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan, pelibatan masyarakat dalam proses relokasi sejak awal sampai dengan pemindahan ke lokasi baru adalah hal yang mutlak diperlukan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari penggusuran dapat diminimalkan. VI. DAFTAR PUSTAKA PUBLIKASI Asian Coalition for Housing Rights (ACHR). 2003. Special Issue on How Poor People Deal with Eviction. Newsletter of the Asian Coalition for Housing Rights, Number 15. Bangkok. Rahmadi, Deva Kurniawan. 2009. Permukiman Bantaran Sungai: Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air dalam Buletin Tata Ruang edisi ke-5, September – Oktober 2009, Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air. Jakarta: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN. Siswono, Yudohusodo. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta: Bharakerta. UN-HABITAT. 2008. Quick Guide for Policy Makers No.4. Eviction: Alternatives to the whole Scale Destruction of Urban Poor Communities. Nairobi: UNESCAP dan UN-HABITAT. UN-HABITAT. 2008. Quick Guide for Policy Makers No.2. Low-Income Housing: Approaches to Help the Urban Poor Find Adequate Accommodation. Nairobi: UNESCAP dan UN-HABITAT. United Nations. 1991. Universal Declaration of Human Rights: General Comment 4, The Right to Adequate Housing. Geneva. PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 380/KPTS/M/2004 tentang Perubahan Batas Garis Sempadan pada Sebagian Sungai Kali Surabaya di Kota Surabaya. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. WEBSITE Direktorat Permukiman dan Perumahan dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2009. Kajian Hasil Focused Group Discussion: Menanggulangi Kemiskinan melalui Pembangunan Perumahan dan Permukiman. http://perkimbappenas.info/doc/pdf/publikasi/Hasil%20FGD%20NANGKIS.pdf. Diakses tanggal 31 Januari 2010. Lembaga Hukum & HAM Indonesia (LHKI) Surabaya. 2009. Sejarah Pemukiman dan Kronologi Penggusuran Kawasan Jagir Surabaya. http://lhkisby.blogspot.com/2007 _12_01_archive.html. Diakses tanggal 31 Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 11
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Januari 2010.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 12