LAPORAN AKHIR
PENGGUNAAN TEKNIK REKONSILIASI DATA DAN SISTEM INFERENSI FUZZY UNTUK PERBAIKAN PERFORMANSI STATISTICAL PROCESS CONTROL
PENELITI : KATHERIN INDRIAWATI, ST, MT IMAM ABADI, ST, MT IR. ALI MUSYAFA’, MSc
KOMPETISI PENELITIAN POHON PENELITIAN LABORATORIUM FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2007
0
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Dedikasi untuk melakukan perbaikan pada kualitas produk dan efisiensi operasi adalah penting – tetapi ini saja tidak cukup. Untuk bertahan dan menjadi berhasil dalam lingkungan kompetitif saat ini, sebuah perusahaan harus juga secara efektif mencapai kualitas produk dan efisiensi operasi, yaitu denDgan melakukan berbagai usaha untuk mengurangi variasi produk sebelum produk tersebut dipasarkan ke konsumen. Kegagalan dalam memenuhi harapan konsumen yang terkait dengan variasi produk dan proses dapat meningkatkan biaya produksi yang berpengaruh pada product return, product repair, scarp, dan rework. Meskipun produk dan sistem manufaktur sudah didesain dengan hati-hati, namun perubahan proses yang berpengaruh pada kualitas produk masih tetap terjadi. Adalah hal yang tidak mungkin untuk mengurangi variasi menjadi nol Statistical process control (SPC) adalah salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap performansi suatu proses. Penerapan SPC pada dasarnya ditujukan untuk meminimalkan variabilitas, memperbaiki kualitas produk, membatasi pembuangan dan pengolahan kembali material, serta menjaga kestabilan proses. Teknik ini menggunakan metode statistik untuk memonitor, menganalisa, mengontrol, dan mempengaruhi perbaikan performansi proses dengan menggunakan data hasil pengukuran. Dengan demikian, performansi SPC sangat bergantung dengan kualitas data pengukuran yang diperoleh. Pada umumnya, data hasil pengukuran variabel proses dikorupsi oleh gangguan (noise) yang terdapat pada proses, pada sensor, maupun pada sistem transmisi sinyal hasil pengukuran. Meskipun efek noise terhadap hasil pengukuran dapat ditekan, misalnya dengan memasang filter tertentu, namun hasil pengukuran sejumlah variabel proses yang berbeda dapat menjadi tidak konsisten antara satu terhadap yang lain. Implikasi dari inkonsistensi ini adalah jumlah total flowrate
1
output proses menjadi berbeda dari jumlah total flowrate material input proses, sehingga prinsip kesetimbangan material dan energi menjadi terlanggar. Salah satu teknik yang telah dikembangkan dalam usaha perbaikan akurasi dan konsistensi data proses yang dihasilkan dari sebuah pengukuran adalah dengan menggunakan teknik rekonsiliasi data. Teknik ini lebih bisa menjamin keakurasian data jika dibandingkan dengan teknik – teknik reduksi lainnya karena didalamnya dilakukan proses penalaan terhadap hasil pengukuran sekaligus menjaga konsistensi data melalui model konstrain proses [Narasimhan, dkk, 2000]. Alat SPC yang sering digunakan adalah grafik kontrol. Dibanding dengan alat SPC lain seperti histogram dan kurva distribusi frekuensi, grafik kontrol, yang dibuat pertama kali oleh Shewhart, dapat menggambarkan kondisi statistik suatu sistem dengan melibatkan orde atau urutan waktu kejadian. Grafik kontrol memplot data (yang merepresentasikan output proses) terhadap waktu dalam bentuk yang sederhana. Meskipun demikian, melakukan interpretasi data pada grafik kontrol bukan sesuatu yang mudah. Apalagi jika ada dua grafik kontrol yang digunakan sebagai dasar untuk menganalisis sebuah proses (seperti grafik kontrol Shewhart dan CUSUM) dengan tujuan untuk mendapatkan hasil analisis yang akurat. Oleh karena itu, untuk mempermudah interpretasi data pada grafik kontrol, perlu alat bantu yang pakar dalam memberikan keputusan tentang kondisi proses sebenarnya. Salah satu teknik yang dapat digunakan sebagai alat bantu pembuat keputusan adalah sistem inferensi fuzzy.
I.2
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian yang akan dilakukan ini memiliki tujuan sebagai berikut: -
Mengembangkan teknik rekonsiliasi data untuk memperbaiki kualitas data pengukuran yang dipergunakan dalam menganalisis sebuah proses
-
Membangun sebuah algoritma SPC berbantukan fuzzy yang digunakan untuk menganalisis sebuah proses
2
-
Mengintegrasikan
metode rekonsiliasi
data
dengan metode SPC
berbantukan fuzzy dalam sebuah program perangkat lunak yang diterapkan untuk menganalisis proses pada plant superheater
I.3
Batasan Masalah Pada penelitian ini diambil asumsi dan batasan masalah, antara lain sebagai
berikut :
Plant yang digunakan sebagai studi kasus adalah plant superheater pada power plant PLTU PT.IPMOMI Paiton , Probolinggo
Data yang digunakan adalah data data proses pada bulan....karena dianggap mewakili beban puncak plant.
Asumsi yang digunakan dalam superheater adalah sebagai berikut: - Pada kondisi mantap, tidak terjadi konduksi pada arah aksial, tidak ada backmixing, dan sifat-sifat fluida dingin konstan. - Dinding tube tidak mempunyai resistansi dan kapasitas termal diabaikan
I.4
Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: -
Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Bahan literatur yang dikaji adalah tentang plant amonia, teknik rekonsiliasi data, SPC, dan sistem inferensi fuzzy. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi diagram alir proses dan keterangannya, data pengukuran dan data perawatan (maintenance) yang berkaitan.
-
Pembuatan teknik rekonsiliasi data Langkah – langkah dalam melakukan teknik rekonsiliasi data adalah sebagai berikut: o Pembuatan model konstrain proses o Klasifikasi variabel o Perhitungan solusi rekonsiliasi
-
Pembuatan algoritma SPC berbantukan fuzzy untuk menganalisis proses
3
Algoritma SPC berbantukan fuzzy adalah algoritma berbasis statistik dan aturan fuzzy yang digunakan untuk meningkatkan performansi interpretasi data pada SPC. Dalam hal ini, performansi interpretasi SPC dinyatakan sebagai fungsi kriteria yang harus diminimumkan. -
Penggabungan teknik rekonsiliasi data dengan algoritma SPC berbantukan fuzzy Penggabungan dilakukan dalam sebuah program utama yang dituliskan dalam bentuk m-file pada perangkat lunak Matlab.
-
Validasi dan analisis Validasi ditujukan untuk mengetahui performansi algoritma SPC yang dihasilkan pada penelitian ini. Untuk tujuan ini, maka dipergunakan data pengukuran yang telah diperoleh pada tahap awal penelitian. Hasil dari simulasi dan validasi selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kesimpulan dari kegiatan penelitian ini.
4
BAB II DASAR TEORI
II.1
Grafik Kontrol (Control Chart)
Grafik kontrol merupakan suatu metode grafis yang mengevaluasi performansi proses dan membandingkan dengan spesifikasi proses. Grafik kontrol termasuk suatu metode grafis yang digunakan untuk membedakan antara variasi sebab alami dan variasi sebab khusus. Grafik kontrol dapat dimanfaatkan untuk memutuskan kapan seharusnya menghentikan proses dan merepresentasikan output proses ke dalam sebuah grafik terhadap waktu dalam bentuk yang sederhana sehingga mudah untuk menganalisa apakah proses beroperasi secara normal dimana hanya variasi sebab alami saja yang mempengaruhi proses, atau apakah ada variasi sebab khusus yang telah mempengaruhi proses dan membuatnya bergerak dari kondisi terkontrol secara statistik. Menurut [Tham, 2001] grafik kontrol membuat asumsi tentang data statistik yang di-plot sebagai berikut :
Independent, yaitu nilai data tidak dipengaruhi oleh nilai sebelumnya dan tidak akan mempengaruhi nilai sesudahnya.
Terdistribusi normal, data memiliki fungsi kerapatan probabilitas normal.
Grafik kontrol ini memiliki :
Garis pusat (Center Line) atau target yang merupakan rata – rata kualitas dari proses yang dibentuk atau nilai yang dikehendaki,
Batas kontrol
atas (upper center line / UCL) yang merupakan batas
maksimum kualitas produk dapat diterima.
Batas kontrol bawah (low center line / LCL) yang merupakan batas minimum kualitas produk dapat diterima. Menurut [Bissel, 1996], masing-masing batas kontrol dalam grafik control
memiliki dua jenis batas (limit) yang dapat digunakan untuk menentukan kondisi dari proses yang sedang ditinjau , yaitu:
5
Batas aksi (action limit) yang lebih dikenal sebagai batas upper action limit dan lower action limit.Dimana nilai batas aksi sama dengan batas ± 3σ.
Batas peringatan (warning limit) yang digunakan untuk meningkatkan sensitivitas grafik control. Memiliki 2 warning limit yaitu: upper warning limit dan lower warning limit. Dimana batas aksi sama dengan ± 2σ. Menurut [Tham, 2001], penggunaan grafik kontrol berbeda-beda
tergantung pada sifat alami data. Grafik kontrol yang biasa digunakan adalah :
Untuk data continuous (variable) : -
shewhart sample mean ( Grafik X )
-
shewhart sample range ( Grafik R)
-
shewhart sample ( Grafik X )
-
Moving-Average and Range Chart
-
Cumulative Sum (CUSUM)
-
Exponentially Weighted Moving Average (EWMA)
Untuk data discreate (attribute dan dapat dihitung): -
sample propotion defective (grafik p)
-
sample number of defective (grafik np)
-
sample number of defect (grafik c)
-
sample number of defect per unit (grafik u)
Setiap grafik kontrol memiliki perbedaan kemampuan. Tabel 2.1 menunjukkan keunggulan relative dari beberapa grafik kontrol variabel ketika diaplikasikan untuk mendeteksi perubahan yang tercantum pada kolom pertama. Tabel 2.1. Keunggulan relatif dari beberapa grafik kontrol [Tham, 2001] Jenis Grafik Kontrol Variabel Penyebab Perubahan Gross Error Pergeseran pada rerata Pergeseran pada variabilitas
Rerata
Range
Deviasi
X
R
Standart
CUSUM
6
Fluktuasi yang
pelan Fluktuasi yang
cepat
Tidak semua grafik kontrol digunakan dalam penelitian ini, sehingga pada laporan tugas akhir ini hanya akan dijelaskan grafik kontrol yang digunakan pada penelitian
yaitu grafik kontrol individual-Moving Range dan grafik kontrol
CUSUM.
II.1.1 Grafik Kontrol Individual-Moving Range Ketika hanya dipunyai satu buah data dalam setiap kali pengambilan sample, maka jenis grafik kontrol yang harus digunakan adalah grafik kontrol individual-moving range. Grafik kontrol individual-moving range terdiri atas dua bagian yaitu grafik X sebagai grafik individual dan grafik MR sebagai grafik moving range. Gambar 2.1 dan gambar 2.2 menunjukkan contoh grafik kontrol individual (X) dan moving range Grafik Kontrol X
70
nilai X
65 xi
60 55
x bar UCL LCL
50 45 40 1
21 41 61 81 101 121 141 161 181 Data
Gambar 2.1 Grafik Kontrol X [Nembard, 1999]
7
Parameter grafik X :
Garis referensi pusat (center line) adalah X-bar ( X ), yaitu nilai rata-rata dari sebuah pengukuran. CL
=
(2.1)
X
Untuk menghitung X digunakan
persamaan: X
X1 X 2 X N N
(2.2)
Batas kontrol atas (UCL) UCLx
=
X
+
3
MR d2
X
-
3
MR d2
(2.3)
Batas kontrol bawah (LCL) LCLx
=
(2.4) Untuk menghitung MR digunakan persamaan : MR
=
1 N I N 1 j 2
Xj
–
Xj-1
I
(2.5) Dan nilai d2 adalah 1,128 dan N adalah jumlah data yang digunakan untuk observasi.
8
Grafik Kontrol Moving-Range 16
Nilai Moving Range
14 12 10 8
nilai MR
6
MR rata-rata UCL
4
LCL
2 0 1
23
45
67
89 111 133 155 177 199 Data
Gambar 2.2 Grafik kontrol MR [Nembard, 1999]
Parameter grafik MR:
Grafik MR mempunyai garis referensi pusat MR-bar ( MR ), dengan MRbar menjadi rata-rata dari seluruh nilai moving range. CL
=
=
MR
R
(2.6) Untuk menghitung MR digunakan persamaan 2.5.
Batas kontrol atas (UCL) UCLMR
=
D3
MR
=
D4
MR
(2.7)
Batas kontrol bawah (LCL) LCLMR
(2.8) Dan nilai D3 adalah 0. Sedangkan nilai D4 adalah 3,27.
9
Saat kondisi terkontrol secara statistik terjadi, seluruh titik akan berada diantara batas kontrol atas dan bawah, yaitu batas 3. Pada grafik Shewhart standar, hanya sample dengan periode waktu individual (tidak melibatkan sample dari periode waktu sebelumnya) yang dibandingkan dengan nilai target dan batas kontrol. Jika satu titik sample individual berada di luar batas kontrol, maka proses dinyatakan out-of-control. Kerugian dari pendekatan ini adalah dibutuhkan waktu yang lama bagi satu nilai sample individual untuk melewati batas kontrol, khususnya untuk pergeseran proses yang kecil. Untuk mengatasi hal ini, digunakan batas peringatan (warning limit) dan aturan tambahan berupa pola nonrandom. Batas peringatan adalah garis yang paralel dengan garis target dan berada diantara garis target dan garis batas kontrol, yaitu pada 1 dan 2. Menurut [Mamzic, 1995], penggunaan aturan batas 3 dan aturan pola nonrandom memberikan konsekuensi, berdasarkan hukum statistik, hanya ada 3 titik dari 1000 titik yang memberikan sinyal out-of-control padahal kondisi sistem tetap terkontrol secara statistik . Beberapa pola nonrandom yang terjadi ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Pola nonrandom pada grafik kontrol [Mamzic, 1995] No. 1
2 3
4 5 6
7
Jenis Pola Nonrandom
Keterangan
6 titik berurutan dalam menunjukkan adanya trend yang menandakan satu arah pergeseran dari tujuan (aim) atau tendensi sentral plot 9 titik berurutan berada menandakan pergeseran dari tujuan (aim) atau pada salah satu sisi rerata tendensi sentral plot Pola siklus yang berulang menandakan kesalahan pada pengambilan data, namun tidak ada ketentuan pasti yang menyatakan kapan proses dikatakan tidak terkontrol secara statistik 14 titik berurutan saling menandakan kesalahan pada pengambilan data berubah arah (naik-turun) 2 dari 3 titik berurutan menandakan pergeseran dari tujuan (aim) atau tendensi sentral plot berada diluar batas 2 4 dari 5 titik yang menegaskan adanya pergeseran dari tujuan berdekatan berada pada (aim) atau tendensi sentral plot daerah antara 1 dan 3 8 titik berturut-turut di Pola ini akubat dari pencampuran. luar daerah 1 pada dua
10
8
arah dari pusat 15 titik mengelilingi Pola ini menandakan stratifikasi, dimana terjadi mean di dalam daerah pada 2 mesin beroperasi paralel. 1
II.1.2 Grafik Kontrol CUSUM Menurut [Walpole, 1995], kesulitan grafik kontrol jenis shewhart terletak pada ketidak mampuannya menemukan perubahan yang kecil pada pergeseran proses. Suatu mekanisme pengendalian mutu yang mendapat perhatian cukup besar dalam statistika dan penggunaan dalam industri adalah grafik kontrol CUSUM (Cumulative Sum). Dengan menggunakan grafik kontrol CUSUM akan lebih mudah menemukan perubahan yang kecil dalam pergeseran proses. Menurut [Marquardt, 1995] grafik kontrol CUSUM memonitor kejadian kumulatif dari penyimpangan atau pergeseran proses dengan menggunakan jumlah deviasi dari pengamatan terhadap suatu titik referensi. Grafik kontrol CUSUM dapat langsung mendeteksi pergeseran yang sedang besarnya (dalam orde 1), bahkan melebihi kemampuan pendekatan metode Shewhart. Namun demikian, jika digunakan aturan pola (run-rules) pada grafik Shewhart, maka beda kelebihan tersebut semakin kecil. Pada grafik kontrol CUSUM, deviasi kumulatif dari target diperiksa apakah tetap berada dalam batas yang ditentukan atau tidak. Karena deviasi adalah kumulatif, CUSUM mampu mendeteksi deviasi yang sangat kecil lebih cepat. Ada dua macam penjumlahan kumulatif yang dihitung pada CUSUM standar. Penjumlahan ini menggunakan kriteria batas KU. Menurut Marquardt (1995) persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: SH (i) max 0, ( X AIM ) KU SH (i 1)
(2.8) SL(i) max 0, ( X AIM ) KU SL(i 1)
(2.9)
11
dengan ( X AIM ) adalah deviasi terhadap target (AIM) Persamaan (2.8) digunakan untuk mendeteksi deviasi pada bagian tinggi (sum high), sedangkan persamaan (2.9) digunakan untuk mendeteksi deviasi pada bagian rendah (sum low). Jika harga deviasi melebihi nilai batas KU, maka SH atau SL akan bertambah. Jika deviasi kumulatif bagian tinggi menjadi bernilai negatif, maka SH(i) = 0. Jika deviasi kumulatif bagian rendah menjadi bernilai negatif, maka SL(i) = 0. Setiap kali SH atau SL melampaui batas aksi HU, maka situasi off-aim terindikasi. Gambar 2.3 menunjukkan contoh grafik kontrol CUSUM.
Gambar 2.3 Grafik kontrol CUSUM, untuk SL dan untuk SH [Indriawati, 2005] Harga KU dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan: KU
DELTAU 2
(2.10) dengan DELTAU adalah besar deviasi yang didefinisikan pada awal sedemikian hingga pergeseran pada rerata proses sebesar DELTAU atau lebih dapat dideteksi secara langsung. Nilai DELTAU biasanya didekati dengan nilai deviasi standar variabilitas random pada proses, disebut SPROC. Untuk menghitung SPROC digunakan persamaan berikut :
N X (i 1) X (i) 2 SPROC 2N i
1/ 2
(2.11) dengan X (i ) adalah rata-rata sample untuk sample ke-i 12
N adalah jumlah dari differensi yang berurutan
II.2.3 Ukuran Performansi Grafik Kontrol Menurut [Bissel, 1994], [Montgomery, 1996] dan [Indriawati, 2005], ada dua kesalahan yang dapat terjadi pada grafik kontrol. Kedua kesalahan tersebut adalah:
Kesalahan I: false alarm atau false positive, yaitu grafik kontrol memberikan sinyal adanya kondisi out-of-control tetapi dari investigasi tidak ditemukan adanya perubahan.
Kesalahan II: false detection atau false negative, yaitu grafik kontrol tidak memberikan sinyal adanya kondisi out-of-control padahal terdapat perubahan riil pada proses. Grafik kontrol yang baik seharusnya mempunyai probabilitas false alarm
yang rendah, serta kemampuan untuk mendeteksi kondisi out-of-control dengan cepat. Salah satu ukuran performansi yang sering digunakan adalah average run length (ARL), yaitu nilai rata-rata dari jumlah subgrup yang diamati hingga grafik kontrol memberikan alarm. Ada dua jenis ARL yaitu ARL untuk kondisi incontrol (ARLin) dan ARL untuk kondisi out-of-control (ARLout). Penggunaan ARL untuk mendeskripsikan performansi grafik kontrol mengandung kelemahan yang dikritik oleh para peneliti. Hal ini karena distribusi lebar run (run length) untuk grafik kontrol Shewhart adalah distribusi geometrik. Konsekuensinya, deviasi standar run length sangat besar dan sangat skewed, sehingga nilai rerata distribusi (ARL) tidak mewakili nilai run length yang sebenarnya. Ukuran performansi lainnya adalah average time to signal (ATS). Jika sample diambil pada interval yang tetap, yaitu h, maka: ATS ARL.h
(2.12) 13
ATS bergantung pada besarnya perubahan, semakin besar harga perubahan (baik pada nilai rerata maupun deviasi standar data yang ditinjau) maka semakin kecil nilai ATS. Jika tidak ada perubahan namun nilai ATS besar, berarti nilai ATS tersebut adalah sama dengan waktu rata-rata antar false alarm. Ukuran performansi yang paling mudah digunakan adalah time to first signal, yaitu waktu yang diperlukan untuk mendeteksi adanya sinyal out-ofcontrol. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 2.4. Ukuran performansi ini ditujukan khususnya untuk memeriksa kemampuan grafik kontrol dalam mendeteksi kondisi out-of-control dengan cepat.
Awal perubahan
Perioda waktu
Gambar 2.4 Ilustrasi ukuran performansi time to first signal [Indriawati, 2005]
II.2 Fuzzy
Fuzzy inference system (FIS) adalah proses memformulasikan pemetaan dari input yang diberikan ke suatu output dengan menggunakan logika fuzzy. Pemetaan tersebut selanjutnya menjadi pijakan dalam membuat keputusan. Terdapat dua jenis FIS: jenis Mamdani dan jenis Sugeno. Pada metode Mamdani, baik input (anteseden) maupun output (konsekuen) sistem berupa himpunan fuzzy. Penalaran dengan metode Sugeno hampir sama dengan metode Mamdani, hanya
14
saja output (konsekuen) sistem tidak berupa himpunan fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan linier.
Gambar 2.5. Diagram proses inferensi fuzzy [Indriawati(2005)]
Proses inferensi fuzzy terdiri atas lima tahap, yang diilustrasikan pada Gambar 2.5 dan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Tahap 1. Memasukkan input fuzzy Langkan
awal
adalah
mengambil
input
dan
menentukan
derajat
keanggotaannya sesuai dengan himpunan fuzzy yang terkait, dengan menggunakan fungsi keanggotaan. Input dari tahap ini selalu merupakan nilai numerik yang crisp dan dibatasi oleh universe of discourse dari variabel input, dan outputnya adalah derajat keanggotaan fuzzy pada himpunan linguistik (selalu merupakan nilai dalam interval 0 dan 1). Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaanya (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan. Ada beberapa jenis fungsi keanggotaan yang digunakan, diantaranya adalah kurva segitiga, kurva trapesium, kurva S, dan kurva lonceng (bell curve). Tahap 2. Mengaplikasikan operator fuzzy
15
Input dari tahap ini adalah dua atau lebih nilai keanggotaan dari variabel input yang di-fuzzy-kan, sedangkan output adalah sebuah nilai kebenaran tunggal. Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy. Karena himpunan fuzzy tidak dapat dibagi dengan tepat seperti halnya pada himpunan crisp, maka operator fuzzy diaplikasikan pada tingkat keanggotaan. Tahap 3. Mengaplikasikan metode implikasi Sebelum
mengaplikasikan
metode
implikasi,
bobot
aturan
harus
diperhatikan. Setiap aturan mempunyai sebuah bobot (berupa angka antara 0 dan 1). Umumnya, bobot yang digunakan adalah 1 sehingga tidak berpengaruh pada keseluruhan proses implikasi. Setelah bobot ditentukan pada setiap aturan, metode implikasi diimplementasikan. Input untuk proses implikasi adalah nilai tunggal yang diberikan oleh antecendent, dan output adalah sebuah himpunan fuzzy. Implikasi diterapkan pada setiap aturan. Tiap aturan (proposisi) pada basis pengetahuan fuzzy akan berhubungan dengan suatu relasi fuzzy. Tahap 4. Agregasi semua output Karena keputusan didasarkan pada pengujian dari seluruh aturan pada FIS, aturan harus dikombinasikan dalam rangka untuk membuat satu keputusan. Agregasi adalah proses dengan mana himpunan fuzzy yang merepresentasikan output pada setiap aturan dikombinasikan ke dalam himpunan fuzzy tunggal. Agregasi hanya terjadi sekali untuk setiap variabel output. Input dari proses agregasi adalah urutan fungsi output yang dihasilkan oleh proses implikasi pada setiap aturan. Output dari proses agregasi adalah satu himpunan fuzzy untuk setiap variabel output. Tahap 5. Defuzzifikasi Setelah suatu himpunan fuzzy diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, selanjutnya dilakukan defuzzifikasi untuk menghasilkan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. Jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range tertentu, maka harus dapat diambil suatu nilai crisp tertentu sebagai output.
16
II.3
Teknik Rekonsiliasi Data
Rekonsiliasi data adalah sebuah teknik yang dikembangkan untuk memperbaiki akurasi pengukuran melalui penurunan efek kesalahan acak dalam data. Menurut Narasimhan, perbedaan paling mendasar antara rekonsiliasi data dan filter adalah dalam solusinya, rekonsiliasi data melibatkan model proses yang digunakan sebagai konstrain. Dengan demikian hasil rekonsiliasi harus memenuhi fungsi konstrain. Selanjutnya, penentuan estimasi variabel proses dilakukan dengan penalaan (adjusting) data hasil pengukuran (dalam hal ini dinyatakan sebagai faktor bobot) berdasarkan konstrain tersebut. Besar kecilnya penalaan ini sangat menentukan tingkat akurasi dari sebuah alat ukur. Teknik rekonsiliasi data berperan hanya pada masalah kualitas data, tidak pada kualitas proses. Formulasi dari rekonsiliasi data bisa diperoleh melalui optimasi kuadrat terkecil sebagai berikut [Narasimhan, Jordache, 2000]: n
min w y xi , u j
i 1
i
i
xi
2
(2.13) Fungsi objektif pada persamaan (2.13) mendefinisikan faktor bobot total dari jumlah kuadrat penalaan yang dibuat dalam pengukuran, dimana wi adalah bobot pengukuran variabel proses ke-i , yi adalah hasil pengukuran variabel proses ke- i dan xi adalah hasil rekonsiliasi terhadap variabel proses ke – i. Langkah – langkah dalam melakukan teknik rekonsiliasi data adalah sebagai berikut: o Pembuatan model konstrain proses Teknik rekonsiliasi data membutuhkan model konstrain, yang mana model konstrain ini secara umum
menggunakan hukum kesetimbangan material
yang formulasinya dinyatakan sebagai berikut: input
–
output
–
akumulasi
=
0
(2.14)
17
Untuk kasus dimana proses dalam keadaan tunak, keberadaan akumulasi dapat diabaikan. Sedangkan
untuk proses yang dinamik keberadaan dari
akumulasi ini tidak dapat diabaikan karena model konstrainnya harus dinyatakan dalam persamaan differensial. Bentuk konstrain yang dipakai dalam rekonsiliasi, sangat
tergantung pada ruang lingkup permasalahan
rekonsiliasi serta bentuk dari unit proses. Semakin komplek model konstrain yang dibangun maka akan semakin sulit pula teknik penyelesaian dalam rekonsiliasi data. o Klasifikasi variabel Strategi rekonsiliasi data yang diimplementasikan pada sebuah sistem yang mana didalamnya hanya mengukur sebagian saja variabel flow, akan lebih efisien jika dibandingkan dengan melakukan pengukuran secara keseluruhan. Dalam menyelesaikan masalah rekonsiliasi ini, terlebih dahulu dilakukan teknik dekomposisi matrik untuk mengklasifikasi variabel flow baik yang diukur maupun yang tidak diukur. Dari variabel yang diukur dapat ditentukan variabel mana yang bersifat redundant dan nonredundant. Sedangkan pada variabel yang tidak diukur dapat diperoleh variabel yang teramati dan tidak teramati. Persamaan konstrainnya dapat dinyatakan sebagai berikut: Ax
x
+
Au
u
=
0
(2.15) dimana Ax adalah matrik m x n dan menyatakan variabel yang diukur sedangkan Au adalah matrik m x p dan menyatakan variabel yang tidak diukur. Untuk mendapatkan model konstrain baru yang didalamnya hanya mengandung variabel yang diukur, maka variabel proses yang tidak diukur harus dihilangkan dengan menggunakan teknik dekomposisi matrik. Prosedur untuk mengeliminasi variabel yang tidak diukur dari model konstrain dapat dilakukan dengan cara mengalikan matrik konstrain dengan marik P. Matrik P inilah yang dikenal sebagai matrik proyeksi, dimana matrik P ini harus memenuhi persamaan di bawah ini:
18
P
Au
=
0
(2.16) dan juga memenuhi PAx x = 0 (2.17 ) o Perhitungan solusi rekonsiliasi Berdasarkan matrik kovarian dan matrik reduksi konstrain PAx, solusi rekonsiliasi terhadap hasil pengukuran flow diperoleh melalui pendekatan lagrange multiplier sebagaimana dirumuskan pada persamaan berikut:
xˆ y ( PAx ) T [( PAx ) ( PAx ) T ] 1 ( PAx ) y (2.18 ) sedangkan estimasi secara umum terhadap variabel yang tidak diukur dapat diturunkan melalui persamaan berikut [Narasimhan, Jordache, 2000] [Romagnoli, Sanchez, 2000]:
uˆ ( AuT Au ) 1 ( Ax xˆ ) (2.19)
II.4
Data Rekonsiliasi Steady State Untuk Sistem Bilinier
Sebuah metode untuk melakukan dekomposisi variable proses yang tidak terukur (unmeasured) dari variable yang terukur, dapat dilakukan dengan metode Q-R Orthogonal Transformation. Dengan menggunakan metode faktorisasi QR, maka matrik Au dapat dibentuk kedalam dua buah sub-matrik, yakni matrik Q dan matrik R. Apabila seluruh kolom dari matrik Au adalah linier independent maka faktorisasi Au dapat dinyatakan sebagai berikut: Au
Pu
=
Q
R
=
[
Q1
Q2
]
R1 0
(2.20) 19
dimana Pu adalah matrik permutasi dan
R1 adalah matrik segitiga atas non
singular. Sedangkan Q adalah matrik ortogonal dengan dimensi m x m. Kasus yang dihadapi dalam penelitian ini adalah untuk kondisi permasalahan rekonsiliasi tipe bilinear, maka prosedur yang digunakan sebagai berikut: Set of process constraints sebagai berikut:
A1 O 4
O1 B1
O2 B2
A2 B5
fM f O3 ch 0 B3 fU v
(2.21) Dengan :
A B11 1 O4
O1 O2 B1 B2
A B22 2 B5
O B33 3 B3
Persamaan component mass/energy balancenya :
B1 f ch B2Vd B3v Q (2.22) Persamaan Normalisasinya :
E1 f ch E2Vd E3v E4 f M E5 f u 0 (2.23)
Dimana : fch adalah vektor komponen dari flow enthalpy untuk stream pada kategori 1 d adalah vektor dari temperatur yang terukur untuk stream pada kategori 2 v adalah vektor dari flow enthalpy untuk stream pada kategori 3 fM adalah flowrates yang terukur fU adalah flowrates yang tidak terukur V merepresentasikan matrik diagonal untuk flowrates yang tidak terukur pada kategori 2 20
Maka masalah rekonsiliasi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut:
Min ε
T fM
1 T 1 ψ fM ε fM ε ch ψ ch ε ch θ T ψ θ1 θ
ε fM ,ε ch ,θ
s.t.
B 11
B 22
a 0 B 33 f u 1 E 4 v
~ B 1 fM ~ e E 1 fch
(2.24) fM, ch, , d adalah matrik bobot (matrik kovarian) untuk fM, fch, , dan d. didefinisikan sebagai:
=
V.d.V
(2.25)
Langkah pertama: Dekomposisi Q-R, dengan mengetahui terlebih dahulu nilai dari matrik B33 (mb x nb) B33
Pv
=
[QB]
[RB]
=
[QB1
RB1 0
QB2]
RB 2 0
(2.26) Dimana RB adalah (RB1) dan QB2T merupakan matrik kolom yang bila dikalikan dengan matrik B33 hasilnya adalah nol QB2T
B33
=
0
(2.27)
Langkah kedua: Definisikan matrik baru D yaitu merupakan matrik perkalian antara matrik QB2T dan matrik B22, D
=
QB2T
.
B22
(2.28)
Sehingga transformasi orthogonal Q-R terjadi pada matriks D sebagai berikut : 21
D
Prf
=
[QD]
[RD]
=
[QD1
QD2]
RD1 0
RD 2 0
(2.29) Dimana rf = rank (RD1) dan QD2T merupakan span columns dari matrik D, sehingga persamaan process constraints menjadi : QD2T
.QB2T.B11.
a
=
Ga
.
a
=
QD2T
.QB2T.e
(2.30)
Semua variabel yang tidak terukur dieliminasi dari constraints dengan menggunakan orthogonal transformasi Q-R dan hasil rekonsiliasi linear. Kolom yang berisi nol pada matrik Ga menunjukkan variabel pengukuran yang non redundant sementara kolom yang lain mengisyaratkan variabel pengukuran yang redundant.
Langkah ketiga: Setelah mengeliminasi variabel tak terukur, rekonsiliasi variabel terukur dilakukan dengan meyelesaikan persamaan linier berikut: aT.a-1.a
Min (2.31) s.t. Ga.a = b dengan: Ga
QD2T.QB2T.B11
=
(2.32) b
=
QD2T.QB2T.e
(2.33) Solusi untuk persamaan (2.31) adalah sebagai berikut:
aˆ =
.a-1.GaT.(Ga.a.GaT)-1
.b
(2.34)
22
II.5
Deskripsi Sistem Steam Generator
Prinsip kerja PLTU Paiton unit 7 dan 8 secara umum adalah pembakaran batubara pada boiler untuk memanaskan air dan mengubah air tersebut menjadi steam atau uap yang sangat panas dengan suhu tertentu yang digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan tenaga listrik dari kumparan medan magnet di generator. Sistem Pengaturan yang digunakan pada power plant ini menggunakan sistem pengaturan Loop tertutup, dimana air yang digunakan untuk beberapa proses yang merupakan putaran air yang sama, hanya perlu ditambahkan jika memang level yang ada kurang dari set point yang ditentukan. Bentuknya saja yang berubah, pada level tertentu berwujud air, tetapi pada level yang lain berwujud uap. Proses berawal dari air yang dipompa ke kondenser, kemudian dari kondenser dipompa ke Condensate Polisher untuk diproses agar korosi dan pengendapan hilang , setelah itu dipompa ke Feed Water Heater 1, 2, 3 dan 4 untuk dipanaskan dan kemudian dialirkan ke Deaerator untuk dihilangkan gas – gas O2 dan CO2 kemudian dipompa lagi menuju ke Feed Water Heater 6, 7, 8 yang selanjutnya akan diteruskan di Economizer untuk dinaikkan temperaturnya. Steam panas dari economizer akan dialirkan menuju ke Steam Drum untuk dipisahkan antara uap dan air , setelah itu Superheated (SH) Steam yang ada akan melalui First Superheater, Secondary Superheater dan membentuk Superheated Steam yang akan digunakan untuk memutar HP (High Pressure) turbine sehingga tekanan dan temperaturnya akan turun. Oleh karena itu, SH steam perlu pemanasan ulang yang akan terjadi di Reheater. Dari Reheater ini, SH Steam akan dikembalikan untuk memutar LP (Low Pressure) Turbine. Di dalam turbin ini akan terjadi konversi energi thermal dari Steam menjadi energi mekanis berotasi yang menyebabkan rotor turbin berputar. Perputaran Rotor ini yang akan menggerakkan Generator dan akhirnya oleh generator energi mekanis akan diubah menjadi energi listrik.
23
Gambar 2.6 Proses Alir PLTU 7 & 8
Superheater merupakan kumpulan pipa Boiler yang terletak dijalan aliran gas panas hasil pembakaran. Panas dari gas ini dipindahkan ke Saturated Steam yang ada dalam pipa Superheater, sehingga berubah menjadi Super Heated Steam. Superheater ini ada dua bagian, yaitu Primary Superheater dan Secondary Superheater. Primary Superheater merupakan pemanas pertama yang dilewati oleh Saturate Steam setelah keluar dari Steam drum, setelah itu baru melewati Secondary Superheater dan menjadi Super Heated Steam. SH Steam akan dialirkan untuk memutar High Pressure Turbin, kemudian tekanan dan temperaturnya akan turun. Superheater secara sengaja dibuat untuk menaikkan temperatur uap jenuh kering
dari drum
menjadi 540 derajat celcius (1005derajat farenheit). Uap
dipanaskan lanjut untuk meningkatkan efisiensi siklus turbin. Superheater terdiri dari
lima
tingkat atau bagian; yaitu superheater
vertical platen, atau bagian akhir, bagian SH division panel, bagian low temperature superheater (LTSH) pendant, Bagian LTSH horizontal, bagian dinding back pass dan atap.
24
Bagian superheater vertical platen diletakkan langsung diatas tungku di depan lengkung tungku. SH vertical platen terdiri dari 29 (53.975 dimeter luar tubing) susunan – susunan yang tepat dengan lebar tungku. Bagian SH division panel diletakkan langsung diatas tungku yang berada diantara bagian didinng depan dan SH vertical platen. SH division panel terdiri dari 6 didepan dan 6 di panel pembagi belakang (50.8 mm diameter luar tubing) susunan yang tepat dengan lebar tungku. Bagian LTSH pendant diletakkan di backpass belakang tungku langsung dibalik tubing – tubing penyaring dinding depan backpass dan bagian diatas LTSH horizontal, yang terdiri dari 76 (57.15mm diameter luar) susunan – susunan yang tepat dengan lebar backpass. Bagian LTSH horizontal diletakkan diatas economizer didalam backpass furnace. LTSH horsontal terdiri dari 151 (50.8 mm diameter luar tubing) susunan – susunan bawah LTSH horizontal dan 151 (50.8 mm diameter luar tubing) susunan – susunan atas LTSH horizontal yang tepat dengan lebar backpass. Bagian dinding backpass dan atap membentuk tubing –tubing dinding sisi backpass di depan, tubing –tubing dinding sisi backpass di belakang, tubing – tubing dinding depan , tubing – tubing penyaring dinding depan backpass, tubing –tubing atas backpass, tubing – tubing dinding belakang backpass dan tubing – tubing dinding belakang bawah backpass dari vertical gas pass. Backpass pada tubing –tubing atap depan tungku dan belakang membentuk atap diatas tungku dan lengkungnya. Dari drum uap, aliran uap utama
melewati superheater yang
menghubungkan tubing –tubing ke backpass di header masukan atap. Dari header masukan atap backpass, uap mengalir melalui berbagai jenis tubing –tubing atap backpass dan dinding backpass menuju header masukkan LTSH horizontal. Dari header masukkan header masukkan LTSH horizontal, uap mengalir melalui susunan –susunan
LTSH bawah, atas dan pendant menuju header keluaran
LTSH. Dari header keluaran LTSH, uap mengalir ke SH desuperheater no 1, kemudian header masukkan SH division. Header – header ini mensuplai uap melalui panel – panel SH division menuju header -= header keluaran panel SH division. Dari header keluaran SH division, uap dibawa melalui SH desuperheater
25
no.2 menuju header masukkan SH vertical platen. Header ini mensuplai uap melalui susunan – susunan SH vertical platen menuju header – header SH vertical platen dan aliran SH outlet.
High Temperature Superheater (vertical platen)
Low Temperature Superheater
Steam Drum
Medium Temperature Superheater
Gambar 2.7 Susunan secara umum Boiler
Uap superheated dari header keluaran SH vertical platen menuju tingkat tekanan tinggi turbin melalui jalur uap utama. Setelah melewati turbin dengan tingkat tekanan tinggi, uap dikembalikan ke reheater melalui jalur pemanasan ulang dingin. Dua SH desuperhater (no.1) tipe penyemprot
dipasang
diadalam
sambungan – sambungan yang terhubung diantara header keluaran LTSH dan header masukan SH division, dan dua tambahan desuperheater tipe penyemprot 26
(No.2) dipasang dalam sambungan yang menghubungkan antara header keluaran SH division
dan header masukkan
SH vertical platen yang mengijinkan
penurunan temperatur uap, saat dibutuhkan, dan untuk memperoleh temperatur pada nilai desain,
dalam limit kapasitas nozzle. Penurunan temperatur
disempurnakan oleh air yang disemprotkan ke jalur uap melalui nozzle pada ujung masukkan desuperheater. Lokasi – lokasi dari desuperheater, diantara bagian LTSH Pendant panel SH division dan diantara panel SH division dan SH pendant platen, membantu untuk memastikan air yang dibawa ke turbin tidak ada sama sekali. Sekaligus mengeliminasi kebutuhan akan material tahanan
temperature tinggi didalam
konstruksi desuperheater. Control
valve
yang
dihubungkan
pada
pengendalian
otomasi
meregulasikan aliran suplai air yang disemprotkan ke setiap SH desuperheater. Valve terisolasi yang dioperasikan secara manual diletakkan pada aliran bawah disetiap contrl valve dengan tujuan menentukan pengisolasian saat diperlukan. Valve terisolasi harus digunakan hanya pada saat darurat, atau pada saat control valve otomatis sedang diperbaiki. Pada umumnya, superheater merupakan kumpulan pipa Boiler yang terletak dijalan aliran gas panas hasil pembakaran. Panas dari gas ini dipindahkan ke Saturated Steam yang ada dalam pipa Superheater, sehingga berubah menjadi Super Heated Steam. Superheater secara sengaja dibuat untuk menaikkan temperatur uap jenuh kering
dari drum
menjadi 540 derajat celcius (1005derajat farenheit). Uap
dipanaskan lanjut untuk meningkatkan efisiensi siklus turbin. Plant superheater merupakan pemanas lanjut yang digunakan untuk menghasilkan uap dengan kandungan air nol persen. Superheaater ini digunakan untuk memanaskan uap dari steam and water drum sebelum selanjutnya digunakan untuk proses di turbin. Proses yang terjadi pada superheater adalah proses perpindahan panas seperti yang terjadi pada heat exchanger. Untuk kasus superheater jenis radian, pemanasan yang diabsorbsi oleh fluida dingin adalah melalui kalor radiasi yang dipancarkan oleh furnace. Besarnya kalor radiasi tersebut adalah:
27
4 4 Q AT Ffw T furn Twall
(2.35) dengan : = 5,67.108 W/m2-K AT = luas permukaan total dari superheater yang diekspos ke pembakaran (m2) Ffw = view factor dari pembakaran ke dinding Tfurn = temperatur absolut dari furnace (K) Twall = temperatur dinding superheater (K) Nilai temperatur dinding superheater dapat didekati dengan menggunakan persamaan: tw ts 50 hingga 75C
(2.36) dengan ts adalah temperatur saturasi uap. Sedangkan untuk kasus superheater jenis konvektif, pemanasan yang diabsorbsi oleh fluida dingin adalah melalui kalor konveksi. Besarnya kalor konveksi tersebut adalah: QCSH wg .Cpg .(t g1 t g 2 ) ws (h2 h1 ) U 0 . A0 .(t )logmean
(2.37)
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian yang dilakukan ini, permasalahan yang ditinjau seperti yang telah disebutkan pada Bab I, dipecahkan dengan cara menggabungkan teknik rekonsiliasi data dengan SPC berbantukan fuzzy. Teknik rekonsiliasi data digunakan untuk memperbaiki kualitas data yang digunakan oleh SPC, sedangkan SPC berbantukan fuzzy digunakan untuk menganalisis kondisi proses dalam format yang lebih sederhana.
III.1
Pembuatan Teknik Rekonsiliasi Data Implementasi teknik rekonsiliasi data yang akan dilakukan pada variabel
temperature dan flow pada superheater ,dikerjakan berdasar metode sebagai berikut.
III.1.1 Penurunan Model Konstrain
Sebelum menerapkan teknik rekonsiliasi data terhadap plant, terlebih dahulu dibuat model statenya dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan semua persamaan massa dan energi yang terjadi dalam sebuah sistem superheater dan membuat blok diagram sistem superheater berdasarkan P&ID sistem yang ada di superheater PT. International Power Mitsui Operations and Maintenance Indonesia, juga termasuk pembuatan model konstrain proses.
Desup 1
3
8
Desup 2
5 1
LTSH 2
4
13
10 6
MTSH 7
9
11
HTSH
14
12
29
Gambar 3.1 Diagram blok proses superheater
Dari diagram blok gambar 3.1 tersebut, terdapat beberapa data yang terukur dan tidak terukur , yaitu data flow dan enthalpy (temperature). Berikut ini diberikan data terukur dalam bentuk tabel.
Tabel 3.1 Daftar aliran (stream) yang terukur measurement
stream
Flowrates
1 5 10 14
Enthalpy (temperature)
4 5 6 9 10 11 14
Sehingga didapatkan persamaan total mass balance sebagai berikut : f1 – f4 = 0 f2 – f3 = 0 f4 + f5 – f6 = 0 f6 – f9 = 0 f7 – f8 = 0 f9 + f10 – f11 = 0 f11 – f14 = 0 f12
–
f13
=
0
(3.1) Dan persamaan total heat balance sebagai berikut:
f1`h1 f 2 h2 f 3 h3 f 4 h4 0 f 4 h4 f 5 h5 f 6 h6 0 f 6 h6 f 7 h7 f 8 h8 f 9 h9 0 f 9 h9 f10h10 f11h11 0 f11h11 f12h12 f13h13 f14h14 0 (3.2)
III.1.2 Klasifikasi Variabel dengan Dekomposisi Q-R
30
Melakukan klasifikasi variabel-variabel flow dan temperatur yang terukur (measured) dan tidak terukur (unmeasured) adalah mengklasifikasi variabelvariabel sesuai dengan kategorinya dalam teknik rekonsiliasi data tipe bilinear components, yaitu kategori 1 untuk variabel flow dan temperatur yang sama-sama terukur (measured), kategori 2 untuk variabel flow yang tidak terukur (unmeasured) tetapi variabel temperaturnya terukur (measured) dan kategori 3 untuk variabel temperatur yang tidak terukur (unmeasured) sementara variabel flow dapat terukur atau tidak.(measured / unmeasured). Berikut ini adalah tabel klasifikasi kategori streams untuk tipe bilinear component berdasarkan Sanchez dan Romagnoli (1986).
Tabel 3.2 Klasifikasi kategori [Sanchez, Romagnoli, 1986] Kategori
flow
Temperatur
1
Terukur
Terukur
2
Tidak terukur
Terukur
3
Terukur/ Tidak
Tidak terukur
terukur
Dengan menggunakan matrik-matrik yang telah diklasifikasi sebelumnya seperti pada persamaan (2.21) – (2.23), maka dengan menggunakan software bantu MatLab, dapat dihitung nilai rekonsiliasinya sebagai berikut : Matrik A1 adalah matrik dari flow terukur, yakni streams 1, 5, 10 dan 14. A1 = [ 1 0 0 0; 0 0 0 0; 0 1 0 0; 0 0 0 0; 0 0 0 0; 0 0 1 0; 0 0 0 -1 0 0 0 0]; Matrik A2 adalah matrik dari flow yang tidak terukur (unmeasured) yakni streams 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 11, 12, dan 13.
31
A2 = [ 0 0 -1 0 0 0 0 0 0 0; 1 -1 0 0 0 0 0 0 0 0; 0 0 1 -1 0 0 0 0 0 0; 0 0 0 1 0 0 -1 0 0 0; 0 0 0 0 1 -1 0 0 0 0; 0 0 0 0 0 0 1 -1 0 0; 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0; 0 0 0 0 0 0 0 0 1 -1]; Matrik B1 adalah matrik dari stream kategori 1, yaitu stream 1, 5, 10 dan14 B1 = [ 0 0 0; 1 0 0; 0 0 0; 0 1 0; 0 0 -1]; Matrik B2 adalah matrik dari stream kategori 2 ,yaitu stream 4, 6, 9, 11. B2 = [ -1 0 0 0; 1 -1 0 0; 0 1 -1 0; 0 0 1 -1; 0 0 0 1]; Matrik B3 adalah matrik dari stream kategori 3,yaitu stream 2, 3, 7, 8, 12 dan13 B3 = [ 1 1 -1 0 0 0 0; 0 0 0 0 0 0 0; 0 0 0 1 -1 0 0; 0 0 0 0 0 0 0; 0 0 0 0 0 1 -1]; a. Matrik B5 merupakan representasi dari matrik B2 dengan tambahan pada kolom terakhir matrik matrik zeros (5x6) agar kompatibel. B5 = [B2 zeros(5,6)]; Matrik-matrik O1,O2 ,O3 dan O4 ini adalah matrik-matrik zero, yaitu matrik yang berisi nilai nol, dan ukuran matriknya kompatibel berdasarkan persamaan process constraint.
32
O1 = zeros(8,3); O2 = zeros(8,4); O3 = zeros (8,7); O4 = zeros (5,4); Dan Matrik B33 didefinisikan sebagai berikut: B33=[O3;B3]; Untuk kemudian dengan transformasi orthogonal Q-R terhadap B33 didapat nilainya, [Q,R,E] = qr (B33); Matrik Q2 merupakan representasi matrik R dari persamaan diatas yang berisi nilai nol (zeros) Q2 = [Q(:,10:30)]; Matrik B22 didefinisikan sebagai berikut B22=[A2;B5]; Matrik D adalah matrik baru hasil perkalian antara matrik Q2 dengan matrik B22. D = Q2'*B22; Untuk kemudian dengan transformasi orthogonal Q-R terhadap matrik D didapat nilainya, [Qd Rd Ed] = qr(D); Matrik Qd2 merupakan representasi matrik Rd dari persamaan diatas yang berisi nilai nol (zeros) Qd2 = [Qd(:,9:21)]; Matrik B11 adalah matrik yang mengacu pada persamaan process constraint sebelumnya. B11 = [A1 O1 O2;O4 B1 B2]; Setelah tahapan itu semua akan dapat dicari nilai Ga Ga = Qd2'*Q2'*B11; Kolom yang berisi nol pada matrik Ga menunjukkan variabel pengukuran yang non redundant sementara kolom yang lain mengisyaratkan variabel pengukuran yang redundant.
III.1.3 Perhitungan Solusi Rekonsiliasi Kondisi Tunak Sistem Bilinier
33
Masalah rekonsiliasi data kondisi tunak untuk sistem bilinier telah dijelaskan pada Bab II.4, dan dinyatakan oleh persamaan (2.31) – (2.33). Solusi untuk masalah ini ditunjukkan oleh persamaan (2.34), yang dituilskan kembali sebagai berikut:
aˆ =Error!
Not
a
link..GaT.(Ga.a.GaT)-1.b
valid
(3.3) Solusi rekonsiliasi membutuhkan nilai rata-rata dan nilai varian dari data yang terukur. Kedua nilai tersebut diperoleh dengan mengasumsikan tidak ada perubahan kondisi mantap dalam satu hari, artinya perhitungan parameter statistik tersebut (rata-rata dan variansi) dihitung tiap satu hari. Nilai variansi dan rata-rata dihitung dengan menggunakan program Microsoft Office Excel dan kemudian disimpan untuk selanjutnya pada Matlab diimport dengan dan disimpan dalam file datrec.mat, yang bisa dipanggil setiap saat untuk muncul di workspace Matlab. Nilai variansi disimpan dalam satu matrik bernama varjun, sedangkan nilai ratarata disimpan dalam satu matrik bernama avejun. Nilai
entalpi
yang
terdapat
pada
vektor
fch
dihitung
dengan
mengasumsikan bahwa entalpi pada range temperatur tertentu pada setiap stream dapat direpresentasikan dengan persamaan kuadratik temperatur sebagai berikut: h 6.8909 0.0991 t 1.1081.10 4 t 2
(3.4)
Algoritma perhitungan solusi rekonsiliasi dengan mengacu pada persamaan (3.3) adalah sebagai berikut: [m,n] = size(varjun); for i = 1:n Ym(:,:,i) = diag([varjun(1,i) varjun(2,i) varjun(3,i) varjun(4,i)]); Ych(:,:,i)
=
diag([varjun(6,i)
varjun(9,i)
varjun(11,i)]); Yo(:,:,i) = diag([varjun(5,i)
varjun(7,i) varjun(8,i)
varjun(10,i)]); Ya(:,:,i)
=
diag([diag(Ym(:,:,i))'
diag(Ych(:,:,i))'
diag(Yo(:,:,i))']); 34
Fm(:,i)=[avejun(1,i);
avejun(2,i);
avejun(3,i);
avejun(4,i)]; Fch(:,i)=[avejun(6,i); avejun(9,i); avejun(11,i)]; e(:,i)= -[A1*Fm(:,i); B1*Fch(:,i)]; b(:,i)= Qd2'*Q2'*e(:,i); a(:,i)= Ya(:,:,i)*Ga'*inv(Ga*Ya(:,:,i)*Ga')*b(:,i); end; Hasil rekonsiliasi selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
yˆ y ˆ (3.5) Dengan diperoleh dari matrik aˆ
III.2
Desain Algoritma SPC berbantukan Fuzzy
Implementasi grafik kontrol digolongkan dalam 2 phase yaitu phase I dan phase II. Phase I untuk analisa historical data proses dalam mendeteksi pergeseran yang besar dan terus menerus pada parameter proses. Phase II untuk mengcollect data baru dan memonitoring proses. Pada penelitian ini algoritma SPC berbantukan Fuzzy digunakan untuk phase I. Menurut [Indriawati, 2005], algoritma SCP berbantukan fuzzy merupakan suatu algoritma dengan menggunakan aturan fuzzy untuk meningkatkan performansi SPC. Fungsi kriteria yang harus dinimumkan untuk performansi SPC adalah sebagai berikut: kriteria = jumlah kesalahan riil yang tidak terdeteksi +
jumlah false alarm
yang dibangkitkan + waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi kesalahan Menurut Indriawati (2005), jumlah false detection dapat dimaksimumkan dengan menggabungkan dua grafik kontrol yaitu shewhart dan CUSUM. Penggabungan kedua grafik kontrol tersebut membuat penampakan grafik kontrol lebih kompleks dan membutuhkan pengamatan yang lebih teliti dalam mengambil keputusan 35
tentang suatu proses data yang ditinjau. Dalam penelitian ini penggunaan fuzzy untuk menggabungkan nilai X,R dan cusum dapat menghasilkan output yang lebih sederhana yaitu berupa status proses normal, warning dan action. Inputan yang diberikan pada fuzzy adalah nilai deviasi dari grafik kontrol shewhart (yaitu X dan atau R) dan nilai jumlah kumulatif deviasi tersebut dari grafik kontrol.
III.2.1 Penentuan Batas Kontrol
Pada penelitian ini penggunaan batas kontrol dari grafik kontrol diperlebar dengan tujuan untuk meminimumkan terjadinya false alarm. Hal ini telah dilakukan oleh Indriawati (2005) untuk studi peningkatan kemampuan interpretasi data pada SPC berbantukan sistem Inferensi fuzzy dengan kasus evaluasi kinerja electrostatic precipitator. Dengan memperlebar batas kontrol maka dapat menyebabkan semakin lama waktu untuk mendeteksi false detection. Batas kontrol untuk deviasi X yang digunakan adalah 4σx dengan x diasumsikan sama dengan 2% dari nilai set point yang ditetapkan pabrik. Agar kecepatan mendeteksi false detection tidak lambat maka harus diimbangi dengan nilai cusum pada masing-masing deviasi. Nilai batas untuk cusum bagi deviasi X digunakan nilai kx = x dan hx = 4x. Nilai batas kontrol, nilai k dan nilai h tersebut diberikan pada fuzzy untuk memberikan status. Pada fuzzy ada 1 konfigurasi yang digunakan yaitu: DCSC. Yang diadop dari penelitian yang telah dilakukan oleh [Indriawati, 2005].
III.2.2 Pembuatan Grafik Status dengan Bantuan FIS
Konfigurasi Fuzzy Interferensi System yang digunakan yaitu konfigurasi DCSC(Deviasi X, Cusum, Status). Konfigurasi DCSC ditujukan untuk mendeteksi perubahan pada nilai rerata proses. Lima fungsi keanggotaan dipilih untuk deviasi X, dengan nilai linguistik: rata-rata, positif besar, positif sangat besar, negatif besar, dan negatif sangat besar. Sedangkan untuk cusum, dipilih tiga fungsi keanggotaan, dengan nilai linguistik: kecil, positif besar, negatif besar. Untuk output FIS, yaitu status proses, dipilih tiga fungsi keanggotaan dengan nilai 36
linguistik: normal, warning, dan aksi. Bentuk fungsi keanggotaan ada yang berupa kurva trapesium, kurva gaussian, dan ada yang berupa kurva sigmoid. Konfigurasi DCSC ditunjukkan pada Gambar 3.2. Konfigurasi DCSC menggunakan tujuh aturan untuk menghasilkan keputusan. Ketujuh aturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jika deviasi rata-rata (Av) atau cusum kecil (S), maka status normal (N) 2. Jika deviasi positif besar (PB) dan cusum positif besar (PL), maka status warning (W) 3. Jika deviasi negatif besar (NB) dan cusum negatif besar (NL), maka status warning (W) 4. Jika deviasi positif sangat besar (PH) atau cusum positif besar (PL), maka status aksi (A) 5. Jika deviasi negatif sangat besar (NH) atau cusum negatif besar (NL), maka status aksi (A) 6. Jika deviasi positif besar (PB) dan cusum negatif besar (NL), maka status warning (W) 7. Jika deviasi negatif besar (NB) dan cusum positif besar (PL), maka status warning (W) Secara lebih ringkas, memori asosiasi fuzzy (fuzzy associate memory / FAM) untuk konfigurasi DCSC ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Gambar 3.2 Konfigurasi DCSC Tabel 3.3 Tabel FAM untuk konfigurasi DCSC Cusum S PL NL
Av N
PB W W
Deviasi PH A
NB
NH
W W
A
37
III.2.3 Alur Pengambilan Keputusan
Alur pengambilan keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:
Jika output dari konfigurasi DCSC lebih besar dari batas aksi (dalam hal ini dipilih 0,85), maka diputuskan status proses adalah aksi.
Jika output dari konfigurasi DCSC lebih besar dari batas warning (dalam hal ini dipilih nilai 0,5), maka diputuskan status proses adalah warning.
Jika output dari DCSC kurang dari 0,5; maka diputuskan status proses adalah normal.
Diagram pohon dari algoritma SPC berbantukan fuzzy ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Diagram alir Algoritma SPC berbantukan Fuzzy
38
III.3
Pengambilan Data
Pada penelitian ini, kasus yang ditinjau untuk penerapan teknik rekonsiliasi data bilinier adalah superheater yang ditunjukkan pada gambar 2.7. Hal ini berkaitan dengan pembuatan sistem monitoring dengan algoritma SPC berbantukan fuzzy yang akan diaplikasikan untuk memonitor temperatur uap yang dihasilkan oleh boiler. Dengan demikian, data pengukuran yang diambil adalah data yang terkait dengan proses pada superheater. Sistem pengukuran untuk aliran uap yang terpasang pada plant Superheater di Paiton 7 dan 8 dapat dilihat pada gambar di DCS, yang ditunjukkan pada gambar 3.5. Variabel proses yang diukur ditunjukkan dengan tag number yang merepresentasikan instrumen pengukuran. Daftar variabel proses yang diukur dapat dilihat pada tabel 3.1 dengan mengacu gambar 3.1.
Gambar 3.5 Gambar DCS untuk Superheater PLTU 7 & 8
39
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data selama dua bulan, yaitu bulan Juni dan Juli tahun 2006. Data yang diambil dari DCS adalah hasil pengukuran yang diambil tiap jam, setiap hari.
40
BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1
Hasil Teknik Rekonsiliasi Data Bilinier
IV.1.1 Hasil Dekomposisi Menggunakan Transformasi Orthogonal
Berdasarkan cara yang telah dijelaskan pada Bab II dan III, maka diperoleh hasil sebagai berikut: -
Matrik yang menghilangkan komponen variabel temperatur tak terukur pada persamaan konstrain adalah:
Q2T = -
0 0 0 0 0 -1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 -1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 -1
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Matrik yang menghilangkan komponen variabel temperatur terukur namun flow tak terukur adalah: Qd2T
- 0.3333 0.3333 -
=
0 - 0.3333 - 0.3333 0 0.3333 0 0.3333 0.3333 0 - 0.3333
0 0 0.3333 0.6667 0 0 0.6667 0.3333
Matrik konstrain yang tereduksi adalah:
Ga=
- 0.33333 - 0.66667 - 0.33333 0.33333 0 0.33333 0 0 0 0.33333 - 0.33333 0.33333 - 0.33333 0.33333 -0.33333 0 0.66667 0 0 0 0.66667 - 0.66667 Dengan data pengukuran yang diambil adalah:
41
f1 f 5 f 10 f 14 f m t5 f t ch 10 f d t14 t4 t 6 t9 t 11 Kolom nol dari matrik Ga berkorespondensi dengan variabel terukur yang tak redundan, yaitu t5, t14, t4, dan t6. Dengan demikian, untuk ketiga variabel tersebut hasil rekonsiliasi selalu sama dengan hasil rata-rata pengukuran.
IV.1.2 Hasil Solusi Rekonsiliasi Data Steady State untuk Sistem Bilinier
Nilai adjusment yang dihasilkan dari perhitungan solusi rekonsiliasi data steady state untuk sistem bilinier adalah vektor a (11 x 1). Untuk perhitungan selama sebulan (30 hari), maka ukuran matrik menjadi (11 x 30). Tabel 4.1 menunjukkan nilai terukur dan hasil rekonsiliasi untuk hari pertama, jam pertama. Sedangkan gambar 4.1 menunjukkan grafik dari data pengukuran keluaran superheater HTSH (t14) dan nilai rekonsiliasinya. Dari tabel 4.1 terlihat bahwa nilai variabel yang tak redundan yaitu h5, h14, h4 dan h6 adalah sama dengan nilai rata-rata data pada tanggal 2 Juni 2006 sehingga sedikit berbeda dengan data pengukuran pada jam pertama tanggal 2 Juni 2006. Sedangkan untuk variabel yang lainnya, terdapat perbedaan besar antara nilai pengukuran dan hasil rekonsiliasi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan nilai yang dilakukan oleh teknik rekonsiliasi data. Namun karena data yang digunakan pada kasus ini adalah data lapangan (bukan data simulasi), sehingga nilai benar (true value) dari setiap variabel terukur tidak diketahui secara pasti. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa hasil
42
rekonsiliasi merupakan harga yang paling mendekati nilai benar dibandingkan harga pengukuran.
Tabel 4.1. Nilai pengukuran dan hasil rekonsiliasi untuk data 2 Juni 2006 No Variabel Hasil Pengukuran
Hasil Rekonsiliasi
1
f1
2159.2
2088
2
f5
2.3841
1.398
3
f10
8.1113
16.268
4
f14
2174.7
2101.3
5
h5
13.382
13.501
6
h10
13.766
18.068
7
h14
79.092
78.697
8
h4
57.099
56.987
9
h6
56.25
56.054
10
h9
64.013
96.094
11
h11
63.228
45.514
43
Gambar 4.1 Plot data temperatur keluaran HTSH hasil pengukuran (o) dan hasil rekonsiliasi (•) Gambar 4.1 menunjukkan perbandingan antara data temperatur keluaran HTSH hasil pengukuran dan hasil rekonsiliasi selama satu bulan. Terlihat dari gambar bahwa pencilan (outlier) mempengaruhi hasil rekonsiliasi data sehingga nilainya berbeda cukup besar dengan hasil pengukuran. Data yang digunakan dalam penelitian ini tidak terlebih dahulu dihilangkan pencilannya karena diasumsikan bahwa plant berada pada kondisi normal sehingga tidak diperlukan pendeteksian adanya kesalahan sistematis (gross error) pada tahap ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan teknik
rekonsiliasi
data, nilai pencilan pada data pengukuran akan dikurangi sehingga data keseluruhan menjadi lebih halus (smooth).
IV.2
Grafik Status
44
Data yang diplot pada gambar 4.1 di atas selanjutnya dimasukkan ke dalam algoritma SPC berbantukan fuzzy. Nilai set point yang digunakan adalah 535°C dan batas spesifikasi yang digunakan adalah ±2% dari nilai set point. Hasil grafik status ditunjukkan pada gambar 4.2 untuk hasil pengukuran dan gambar 4.3 untuk hasil rekonsiliasi.
Gambar 4.2 Grafik status untuk data pengukuran tanpa rekonsiliasi Pada gambar 4.2 terlihat bahwa data pencilan hasil pengukuran menyebabkan grafik status mendeteksi adanya kesalahan pada plant sehingga dimunculkan pesan action. Karena asumsi yang digunakan adalah tidak ada kesalahan sistematis yang terjadi pada plant saat pengambilan data bulan Juni 2006, maka status action merupakan keputusan yang salah (false alarm). Sebaliknya seperti yang terlihat pada gambar 4.3, akibat pencilan yang dihilangkan dengan teknik rekonsiliasi data, maka hasil grafik status menunjukkan normal dan tidak terjadi adanya false alarm. Dengan demikian, terbuki bahwa penggunaan teknik rekonsiliasi data dapat memperbaiki performansi grafik status, atau secara umum dapat memperbaiki hasil analisis grafik kontrol terhadap plant.
45
Gambar 4.3 Grafik status untuk data pengukuran dengan rekonsiliasi
46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikerjakan, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: -
Dekomposisi menggunakan transformasi orthogonal atau faktorisasi Q-R terbukti dapat menghilangkan komponen variabel yang tidak terukur sehingga solusi rekonsiliasi dapat ditentukan dengan menggunakan teknik optimisasi biasa. Namun syarat untuk menerapkan cara ini adalah harus ada variabel yang redundan, sehingga untuk system bilinier yang ditinjau, harus ada redundansi pada flow maupun temperatur.
-
Berdasarkan matrik konstrain yang tereduksi Ga, seluruh variable flow terukur adalah redundan namun hanya tiga variabel dari 7 variabel temperatur terukur yang tidak redundan. Variabel temperatur yang tidak redundan adalah temperatur pada keluaran LTSH, keluaran desuperheater 1, masukan MTSH, dan keluaran HTSH.
-
Hasil rekonsiliasi menunjukkan data yang lebih halus dibandingkan dengan hasil pengukuran yang terdapat beberapa nilai pencilan.
-
Penggunaan rekonsiliasi data terbukti dapat memperbaiki performansi dari grafik status, yaitu dengan menggunakan data pengukuran terjadi satu false alarm, sedangkan dengan menggunakan data hasil rekonsiliasi tidak terjadi false alarm.
V.2
Saran
Beberapa saran yang dapat peneliti tuliskan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: -
Teknik rekonsiliasi data dapat diperbaiki performansinya jika ditambahkan algoritma pendeteksian gross erro. Untuk itu dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan pendeteksian gross error untuk sistem bilinier sebelum 47
rekonsiliasi data dilakukan. Namun hal ini mengakibatkan penggunaan grafik kontrol tidak dilakukan bersama dengan teknik rekonsiliasi, karena fungsi grafik kontrol adalah untuk mendeteksi adanya gross error. -
Penggabungan teknik rekonsiliasi data steady state dengan algoritma SPC dapat dilakukan hanya pada plant yang memiliki redundansi pada sistem pengukurannya. Oleh karena itu, untuk plant yang tidak memiliki syarat tersebut harus menggunakan teknik lain untuk memperbaiki data yang digunakan SPC. Masalah ini dapat dijadikan subyek penelitian lebih lanjut.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Imam,dkk, (2005), Studi rekonsiliasi data pada keadaan tunak kasus Amonia refrigeration, thesis, ITB Bagajewicz, M. (1996), On the Probability Distribution and Reconciliation of Process Plant Data,” Comput. Chem.Eng., 813 – 819. Bissel, D. (1994), STATISTICAL METHOD FOR SPC AND TQM”, Chapman&Hall,London, UK. El-Shal, S.M., Morris, A.S. (1999), A fuzzy rule-based algorithm to improve the performance of SPC in quality systems, Proceedings of IEEE International Conference on Systems, Man., and Cybernetics, Tokyo, Japan: 284 – 289. Indriawati, K., (2005), Studi Peningkatan Kemampuan Interpretasi Data Pada SPC Berbantukan Sistem Inferensi Fuzzy: Kasus Evaluasi Kinerja Electrostatic Precipitator, Tesis, PINK – ITB. Madron, F. (1990), Process Plant Performance: Measurement and Data Processing for Optimization and Retrofit,:Ellis Horwood Limited Co, Chichester,West Sussex, England. Mamzic, C.L. (1995), Introduction to statistical process control, dalam Statistical Process Control, Bab 1, Mamzic, C.L, Editor, Instrument Society of America 1 – 58. Montgomery, D.C. (1996), Introduction to Statistical Quality Control, 3rd ed., John Wiley & Sons, New York, NY. Narasimhan, S., Jordache C. (2000), Data Reconciliation and Gross Error Detection, Gulf Publishing Company Houston, Texas Nembhard, Kao, Lim. (1999), “INTEGRATING DISCRETE-EVENT SIMULATION WITH STATISTICAL PROCESS CONTROL CHART FOR TRANSITIONS IN A MANUFACTURING ENVIRONMENT”, Proceedings of the 1999 winter simulation conference, Madison, USA : 701 – 708.
49
Romagnoli, Jose. A., Sanchez, .M.C. (2000), Data Processing and Reconciliation for Process Chemical Operations, Accademic Press, California Woodall, W. H. (2000), Controversies and contradictions in statistical process control, Journal of Quality Technology, 32, no.4, 341 – 350 Tham, M.T.(2001), An introduction to SPC, http://lorien.ncl.ac.uk/ming/spc/spc0.htm, 26 Februari 2005
50