PENGGUNAAN RANKING PERTEMANAN UNTUK MENGATASI KENDALA PADA PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Louise M. Saija FKIP Universitas Advent Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRACT: The implementation of cooperative learning have been proven can increased mathematical achievements, but there are still some obstacles occured. One of the obstacle was the students inactive and inrelevan behaviour, because they feel inconfenience in their group. Friendship rank is a friend sign process made by each student showing who are their close friends. It was used as one basis to create groups in three different SMA and SMP classes with three different cooperative learning type. Observation instrument results showed high student activity with no student inrelevan behaviour occured. Key words: Cooperative learning, friendship rank.
Model pembelajaran kooperatif yang bercirikan kerja kelompok sudah dikembangkan sedemikian sehingga memiliki banyak tipe yang memiliki ciri masing-masing, dengan kelebihan dan keterbatasannya. Banyak penelitian yang menggunakan pembelajaran kooperatif telah dilakukan sejak tahun-tahun awal 1970-an sampai sekarang yang pada umumnya bertujuan untuk melihat pengaruhnya terhadap pencapaian siswa (Slavin, R.E., 1996). Pencapaian siswa yang dimaksud disini mencakup banyak subjek pada beragam tingkat pendidikan, termasuk untuk subjek matematika. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif ini efektif dalam membuat kemampuan matematis siswa-siswa yang berada dalam satu kelas meningkat dan menjadi lebih homogen. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Posamentier dan Stepelman (2002) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif atau cooperative learning adalah salah satu model pembe-
lajaran yang dianggap efektif untuk pengajaran matematika. Kolaborasi dan interaksi sosial diantara kelompok siswasiswa mendorong para siswa mendukung pembelajaran satu dengan yang lainnya karena pembelajaran kooperatif lebih dari hanya mengelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan memberi tugas pada mereka untuk diselesaikan, tetapi siswa dituntut untuk menyadari eksistensi rekannya dan berinteraksi satu sama lain dan membangun suatu hubungan simbiotik diantara mereka. Suherman dkk (2001) menyatakan ada beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh setiap siswa anggota kelompok dalam cooperative learning yaitu: 1. Merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai. 2. Menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan keberhasilan kelompok adalah tanggung-jawab bersama seluruh anggota kelompok.
70
71, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
3. Memiliki keinginan untuk mencapai hasil yang maksimum dengan cara berdiskusi satu dengan yang lainnya dalam kelompok. 4. Menyadari bahwa setiap pekerjaan siswa mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya. Walaupun model pembelajaran kooperatif ini sering digunakan dan terbukti dapat meningkatkan kemampuankemampuan matematis siswa, tetap saja ada kendala-kendala dalam pengimplementasiannya. Salah satu kendala yang diamati penulis dari hasil-hasil penelitian rekan-rekan peneliti dan dari hasil penelitian penulis sendiri adalah keengganan siswa untuk aktif dalam kerja kelompok atau grup belajarnya, ataupun adanya siswa-siswa yang berperilaku tidak relevan, misalnya: bermain ataupun tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru. Setelah diteliti ternyata salah satu penyebabnya adalah perasaan tidak cocok atau tidak nyaman bekerja bersama-sama dalam kelompok siswa yang bukan sahabatnya atau teman dekatnya . Zurko (2011) mengungkapkan bahwa pertemanan adalah suatu hubungan yang dipandang sebagai sumber yang memiliki pengaruh yang nyata dalam hidup. Terlebih bagi remaja (adolescence), pertemanan merupakan suatu hal yang khusus penting. Jadi bagi siswa-siswa sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA) yang dikategorikan sebagai remaja pembelajaran kooperatif sangat cocok digunakan, apalagi jika kita mengingat ungkapan Slavin (1988), yaitu bahwa: “Socially, adolescence love to work together”. Tetapi hal tersebut bukan berarti bahwa siswa-siswa tersebut mudah bekerja sama dalam belajar dengan semua orang. Para siswa remaja tersebut suka bekerja sama terutama dengan siswa lain yang dianggapnya sebagai teman dekat atau
sahabat. Jadi dalam pembentukan grup atau kelompok dalam pembelajaran kooperatif, faktor pertemanan siswa sangat perlu diperhatikan. Goodwin (1999) menyatakan bahwa interaksi positif tidak selalu muncul secara alami. Dan, masalah-masalah yang muncul harus diurus dengan kemampuankemampuan sosial (Kagan, 2001). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam adalah melakukan ranking pertemanan sebelum pembelajaran kooperatif diimplementasikan. Dalam pengimplementasian ranking pertemanan ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang guru sebelum model pembelajaran kooperatif: 1. Mencari data kemampuan awal siswa. Data kemampuan awal siswa diperlukan untuk pembentukan kelompokkelompok yang terdiri dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Jadi kelompok yang terbentuk bersifat heterogen berdasarkan kemampuan kognitifnya. Data kemampuan awal siswa ini dapat diperoleh melalui rekaman hasil belajar siswa pada tingkat sebelumnya, atau melalui nilai tes kemampuan awal yang sengaja dibuat oleh guru sebelum pembelajaran dengan model kooperatif dilaksanakan. 2. Mengumpulkan data ranking pertemanan. Data ranking pertemanan diperoleh guru dari siswa-siswa yang diajarnya. Pada langkah ini kepada masing-masing siswa diberikan selembar kertas yang berisikan nama teman-teman sekelasnya dengan jenis kelamin (gender) yang sama saja, atau nama seluruh teman sekelasnya tanpa memperhatikan gender. Masing-masing siswa akan menentukan siapakah temanteman terdekatnya dengan cara mencantumkan ranking untuk setiap nama yang tertera pada kolom yang disediakan.
Louise, Penggunaan Ranking Pertemanan, 72
Ranking nol (0) dicantumkan siswa pada namanya sendiri, ranking satu (1) pada teman sekelasnya, yang sama atau boleh yang berbeda gender, yang dirasakannya sebagai teman terdekatnya, ranking dua (2) pada teman sekelasnya yang dirasakannya nomor dua terdekat setelah teman yang diberi ranking satu, dan seterusnya sampai pengisian ranking nomor terakhir, sesuai dengan jumlah siswa yang satu gender dengannya, atau sesuai dengan jumlah siswa dalam kelasnya. Hal yang penting diperhatikan pada langkah ini 3. Melakukan pencatatan data ranking pertemanan. Pada langkah ini guru akan membuat satu tabel yang berisikan namanama siswa di kelas yang diajarnya, yang diurutkan berdasarkan nilai kemampuan kognitif awal mereka. Tabel tersebut akan memiliki tanda pemisah kelompok kemampuan kognitif awal, biasanya digunakan warna-warna yang berbeda, atau peletakan garis pemisah yang jelas dari satu kelompoknilai ke kelompok nilai berikutnya. Banyaknya warna yang digunakan akan sesuai dengan jumlah siswa dalam setiap kelompok yang direncanakan. Di sebelah kanan atau kiri dari nama-nama siswa tersebut akan dibuat kolom-kolom dengan jumlah maksimal kolom sesuai dengan nilai ranking tertinggi yang diberikan siswa ( sesuai dengan jumlah siswa yang memiliki gender yang sama atau sesuai dengan jumlah siswa dalam kelas). Kolom-kolom tersebut adalah kolom untuk ranking satu, dua, tiga, dan seterusnya. Selanjutnya, guru akan mengisi kolom-kolom tersebut berdasarkan lembaran-lembaran kertas ranking pertemanan yang sudah diisi oleh siswa. 4. Menentukan siswa-siswa dalam kelompok-kelompok. Berdasarkan data yang dimiliki guru pada langkah sebelumnya di atas, guru kemudian memperhatikan nama-
nama siswa dan nama temannya. Selanjutnya, guru akan mampu membentuk kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan kognitif awal yang bersifat heterogen, dan pada saat yang sama merupakan kelompok pertemanan. Kelompok-kelompok tersebut dapat merupakan kelompok satu gender atau kelompok dua gender, yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. METODE Metode penelitian yang digunakan metode experimen. Hal ini disebabkan karena selain melihat keefektifan ranking pertemanan dalam mengatasi perilaku yang tidak relevan, juga akan dilihat keefektifan pembelajaran kooperatif ini dalam meningkatkan kemampuan matematis. Penelitian pertama dilakukan oleh penulis untuk model pembelajaran kooperatif tipe MURDER. Penelitianpenelitian berikutnya dilakukan oleh dua peneliti muda yang penulis bimbing yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Coop-coop dan Snowball throwing. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswa SMA dan SMP. Oleh karena dalam penelitian ini melibatkan tiga tipe pembelajaran kooperatif, berikut adalah keterangan tentang populasi dan sampel secara rinci:
1. Untuk penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe MURDER, populasinya adalah siswa-siswa SMA, dan sampelnya adalah 46 siswa kelas XI SMA Negeri 1 Lembang, Bandung. 2. Untuk penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Coop-coop, populasinya adalah siswa-siswa SMP, dan sampelnya
73, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
adalah 32 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Parongpong, Bandung 3. Untuk penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing, populasinya adalah siswa-siswa SMP dan sampelnya adalah 33 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Parongpong, Bandung. Penelitian untuk efektifitas ranking pertemanan disimpulkan melalui hasil observasi guru peneliti terhadap aktifitas setiap siswa yang dilakukan pada setiap pertemuan kelas, dimana observasi tersebut adalah bagian dari penelitian yang memiliki disain eksperimen. Observasi dilakukan terhadap siswa-siswa yang berada pada kelas atau kelompok experimen, yaitu kelas-kelas dimana pembelajaran kooperatif (MURDER, Coop-coop, atau Snowball throwing) diimplementasikan. Gambar berikut menunjukkan lembar observasi yang digunakan:
Gambar 1. Lembar Observasi
Pada akhir periode penelitian, lembarlembar observasi yang telah diisi oleh guru atau peneliti dikumpulkan dan dilakukan pengamatan atas perilaku masing-masing siswa, khususnya untuk kategori-kategori yang tercantum dalam lembar observasi. Selanjutnya dilakukan perhitungan total dan rata-rata jumlah siswa yang melakukan aktifitas pada setiap kategori. Hasil perhitungan akan menunjukan rata-rata jumlah siswa aktif, yang ditunjukkan siswa melalui mempelajari bahan ajar, aktif bekerja sama dengan teman, menyelesaikan tugas pemecahan masalah, bertanya, menjawab pertanyaan atau mengemukakan pendapat; dan juga rata-rata jumlah siswa yang berperilaku tidak relevan, yang ditunjukkan siswa melalui ketidakseriusan dalam belajar. Efektifitas dari ranking pertemanan secara tidak langsung dapat juga terlihat melalui penelitian atas kemampuan-kemampuan matematis siswa, yaitu apakah kemampuan matematis siswa pada kelas yang memperoleh pembelajaran kooperatif dimana ranking pertemanan dijadikan salah satu dasar pembentukan kelompok lebih baik dari siswa-siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Kemampuan-kemampuan matematis siswa yang dimaksud dalam penelitianpenelitian yang digunakan disini adalah: Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa (untuk implementasi pembelajaran kooperatif tipe MURDER), kemampuan koneksi matematis (untuk implementasi pembelajaran kooperatif tipe Coop-Coop), dan kemampuan komunikasi (untuk implementasi pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dibahas disini dibatasi hanya pada hal-hal yang
Louise, Penggunaan Ranking Pertemanan, 74
berhubungan dengan kendala-kendala dalam pengimplementasian pembelajaran kooperatif sebagaimana telah dibahas pada bagian pendahuluan. Tepatnya akan dilihat apakah terdapat keengganan siswa untuk aktif dalam kerja kelompok atau grup belajarnya, ataupun apakah ada siswasiswa yang berperilaku tidak relevan di dalam kelompok atau kelas. Pengamatan atau observasi telah dilakukan pada setiap pertemuan kelas dalam setiap penelitian. Rekapitulasi hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut yang menunjukkan rata-rata jumlah siswa yang melakukan hal-hal yang diamati pada setiap pertemuan. Tabel Rata-rata Jumlah Siswa Aktif atau Berperilaku Tidak Relevan Kategori*
1
2
3
4
5
MURDER (8 pertemuan, dari 46 siswa) Coop-Coop (6 pertemuan, dari 32 siswa) Snowball Throwing (6 pertemuan, dari 33 siswa)
41
42
39
13
0
32
32
24
21
0
33
24
21
20
0
* 1: mempelajari bahan ajar 2: aktif bekerja sama dengan pasangannya atau temannya 3: dapat menyelesaikan tugas pemecahan masalah 4: bertanya, menjawab pertanyaan atau mengemukakan pendapat 5: berperilaku tidak relevan Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kebanyakan siswa menunjukkan perilaku aktif. Dalam hal mempelajari bahan ajar 89% sampai 100% siswa melakukannya, rata-rata 73% sampai 100% siswa aktif bekerja sama dalam
kelompok, dan rata-rata 64% sampai 85% siswa dapat menyelesaikan tugas pemecahan masalah. Sedangkan untuk hal bertanya, menjawab pertanyaan, atau mengemukakan pendapat, karena para siswa bekerja dalam kelompoknya, maka jika satu siswa melakukannya, hal itu akan didengar dan disetujui oleh teman-teman sekelompoknya. Jadi jika rata-rata 13, 21, atau 20 orang siswa bertanya, menjawab atau mengemukakan pendapat, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh siswa telah terwakili oleh mereka. Selanjutnya, tabel di atas menunjukkan bahwa secara rata-rata tidak ada siswa dalam ketiga kelompok dalam penelitian ini yang berperilaku tidak relevan. Pembahasan Memperhatikan pertemanan dari siswa-siswa dalam pembelajaran adalah sangat penting, ditambah lagi jika kita melihat penelitian yang dilakukan oleh Sartika, W. (2013) bahwa salah satu permasalahan yang terjadi pada siswa di sekolah adalah permasalahan interaksi sosial dengan teman sebaya. Karena jika seorang siswa mengalami permasalahan dalam interaksi sosialnya dengan teman sekelasnya, maka hal tersebut pasti berpengaruh pada keaktifan belajarnya. Selanjutnya, kurang aktifnya siswa dalam belajar akan berpengaruh pada hasil belajarnya, termasuk dalam hasil belajar matematika. Penggunaan ranking pertemanan dalam pembentukan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe MURDER sangatlah tepat. Karena berada sekelompok dengan sahabat terdekat akan menimbulkan mood yang baik dalam belajar, satu hal mendasar dan penting disini. Bukan hanya untuk mood, pertemanan juga berpengaruh dalam tahap detect, dimana siswa tidak akan tersinggung bilamana sahabatnya mendeteksi kesalahan yang dilakukannya,
75, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
bahkan sebaliknya ia akan berterima kasih. Berbeda jika hal tersebut dilakukan oleh siswa lain yang tidak dirasakannya sebagai sahabatnya. Sedangkan untuk tahap elaborate, siswa-siswa merasa bebas berelaborasi dengan sahabat terdekatnya yang sekelompok dengannya. Hal-hal di atas terbukti melalui hasil observasi dalam penelitian yang sudah diterangkan di atas. Selanjutnya, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan ranking pertemanan dalam pembentukan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe Coopcoop juga tepat, karena walaupun sisiwa pada awalnya menyelesaikan soal secara individu, tetapi kemudian siswa tersebut dapat dengan senang hati mendiskusikan jawabannya dengan temannya. Hal yang serupa untuk tipe snowball throwing, siswa-siswa dalam kelompok tidak akan sulit mengutus ketua kelompok yang adalah sahabat mereka untuk mendengarkan pengarahan guru, untuk kemudian menerangkan kembali kepada mereka. Bila ketua kelompok menerangkan, maka sahabat-sahabatnya akan dengan senang hati mendengarkan.
PENUTUP Kesimpulan Dan Saran Kendala-kendala yang mungkin terjadi dalam pembelajaran kooperatif seperti keengganan siswa untuk aktif, bahkan berperilaku tidak relevan, dapat diatasi atau diminimalkan dalam proses pembelajaran di kelas yang menggunakan ranking pertemanan sebagai salah satu dasar pembentukan kelompok. Hal ini terbukti dengan hasil penelitian bahwa secara rata-rata kebanyakan siswa aktif di kelas, dan tidak ada siswa yang berperilaku tidak relevan. Sejauh yang penulis ketahui, ranking pertemanan merupakan suatu hal yang baru, dan penelitian menunjukkan hasil yang positif. Ranking pertemanan juga bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, walaupun guru atau peneliti harus bekerja ekstra untuk menentukan anggota-anggota kelompok.. Oleh karena hal-hal tersebut di atas, penulis menyarankan agar ranking pertemanan siswa ini dapat diimplementasikan oleh para peneliti yang menggunakan model pembelajaran kooperatif. Secara khusus dalam pembelajaran matematika.
DAFTAR RUJUKAN Kagan, 2001. Cooperative Learning Structures can increase student achieven\ment. Kagan Online Magazine. Malau, H., 2013. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Coop Co-op untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Skripsi. Bandung: FKIP, UNAI. Posamentier, A.S. & Stepelman, J., 2002. Teaching Secondary Mathematics Techniques and Enrichment Units
(sixth ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Saija, L., 2010. Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Model Kooperatif Murder Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA. Tesis. Bandung: UPI. Sartika, W. Dkk, 2013. Masalah-Masalah Interaksi Sosial Siswa dengan Teman Sebaya di Sekolah. KONSELOR, Jurnal Ilmiah Konseling, Volume 2 Nomor 1, Januari
Louise, Penggunaan Ranking Pertemanan, 76
2013. Tersedia: http://ejournal.unp. ac.id/index.php/konselor/article/vie w/877/736 Slavin, R.E., 1996. Research on Cooperative Learning and Achievement: What We Know, What We Need to Know. Contemporary Educational Psychology, 21. Tersedia: http://www.konferenslund.se/pp/TAPPS_Slavin.pdf Slavin, R.E., 1988. Educational Psychology, Theory and Practice (second edition). New Jersey: Prentice Hall. Suherman dkk., 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : UPI.
Tarigan, L., 2013. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing. Skripsi. Bandung: FKIP, UNAI. Zurko, M., 2011. Friendship During Adolescence: The necessity for Qualitative Research of close Relationship. Polish Journal of Applied Psychology, Vol. 9