PENGGUNAAN POLA DAN BENTUK KOMUNIKASI DALAM PENERAPAN FUNGSI DAN PERAN KELUARGA Oleh Afrina Sari (Dosen Tetap Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa Universitas Islam ‗45‘ Bekasi) Abstract This study aims to explain the use of patterns and forms of communication will be undertaken in the application of the function and role of the family. The research method uses descriptive correlational survey. Analyzed using the chi square (X ²) with inferential statistics, frequencies and percentages. Results showed that families of migrants who come from ethnic Malay, Batak, Nias, Minang, Palembang, Madurese, Bugis, Papua states that laissez-faire communication patterns include frequent and very often done by both types of families both families. Protective communication patterns are also included in the category often and very often done in communicating to both families both newcomers and families families resident natives. Pluralistic communication communication patterns fall into this category and included've often done in the family. Communication pattern is consensual communication patterns that include frequent and very often used in both types of families. Use of Communication patterns of laissez-faire, protective, pluralistic and consensual on the application of religious function, social function of culture, charity functions, protection functions, the function of reproduction, socialization function of education, economic functions, and environmental functions of all the family considers important and even essential. Key words: Patterns and forms of communication, Function and role of the family PENDAHULUAN Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota keluarga, secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga. Dimana masing-masing individu akan mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang berlandaskan struktur tersebut. Pengembangan Karakter manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi. Untuk berhubungan dengan orang lain dibutuhkan suatu pola komunikasi yang baik. Komunikasi antar pribadi akan sering terjadi dalam pembentukan karakter seseorang. Menurut Verdeber (1986) dalam Liliweri (1994) komunikasi antar pribadi merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan-gagasan maupun perasaan. Ketika orang berkomunikasi maka nampaknya yang terjadi adalah suatu proses transaksional yang dapat diartikan bahwa; (1) siapa yang terlibat dalam suatu proses komunikasi saling membutuhkan tanggapan demi suksesnya komunikasi itu; (2) komunikasi melibatkan interaksi dari banyak unsur. Beberapa unsur yang dimiliki secara tetap oleh setiap bentuk komunikasi termasuk komunikasi antar pribadi adalah; (a) konteks, (b) komunikator-Komunikan, (c) pesan, (d) saluran, (e) hambatan, (f) umpan balik dan (g) model proses. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 1
Menurut Devito (1997) melalui komunikasi antarpribadi anda berinteraksi dengan orang lain, mengenal mereka dan diri anda sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain. Lebih lanjut Devito mengatakan bahwa dalam penyampaian pesan komunikasi selalu menyangkut aspek isi( content) dan asepk hubungan(relation). Peningkatan kualitas hidup manusia secara umum menjadi tanggungjawab negara, dan secara khusus menjadi tanggungjawab keluarga. Pemerintah telah memberikan intervensi dengan program pendidikan dan kesehatan melalui departemen yang terkait. Sasaran intervensi adalah keluarga-keluarga yang ada di seluruh Indonesia. Keluarga dinilai sebagai unit pertama yang menciptakan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas bagi negara. Sehingga keluarga dituntut untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan global. Sementara masih banyak keluarga yang masih belum melaksanakan intervensi tersebut dengan berbagai alasan, di antaranya karena faktor kemiskinan. Dalam keluargalah anak pertama-tama memperoleh bekal-bekal untuk hidupnya di kemudian hari, melalui latihan-latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spiritual. Kegiatan dalam memenuhi fungsi sebagai keluarga unit sosial tadi hidup dalam satuan yang disebut rumahtangga, Deacon dan Firebaugh (1961) di acu dalam Soekanto (2004) mengatakan bahwa fungsi keluarga adalah bertanggungjawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggotaanggotanya, dengan demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia yaitu: (1) pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial; (2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, emosional dan spiritual, dengan memperhatikan kebutuhan dasar dari anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas dapat dibangun. Melalui kesempatan berkembang yang lebih luas ini, individu dan keluarga akan mampu menampakkan diri lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan mereka misalnya dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Deacon dan Firebaugh (1961) diacu dalam Soekanto(2004) mengatakan bahwa keluarga merupakan subsistem dari sistem masyarakat. Keluarga terdiri dari subsistem personal dan subsistem manajerial. Subsistem manajerial mempunyai fungsi untuk merencanakan dan melaksanakan penggunaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan, subsistem personal merupakan bagian yang berhubungan dengan interaksi dinamis dari jalinan hubungan sosial yang akhirnya memberi ciri pada kepribadian seseorang, yang akan memberi pengaruh pada kemampuan manajerial, misalnya dalam proses kognitif dari suatu pengambilan keputusan. Sedangkan subsistem personal memberi kontribusi terhadap subsistem manajerial, karena subsistem manajerial adalah sebuah proses berpikir dan bertindak dimana berbagai sumber daya dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan orientasi tujuan, oisentasi pengembangan, prestasi personal, dapat memprakarsai respon manajerial sebagai rangkaian keputusan dari suatu proses perencanaan hingga implementasi secara terus menerus melibatkan sistem nilai seseorang sebagai pilihan yang harus dibuat. Untuk memenuhi tujuan keluarga, sistem keluarga mengendalikan masukan, dan memproses serta merubahnya. Proses transformasi terjadi pada subsistem personal dan manajerial dan antara kedua subsistem tersebut dalam sistem keluarga. Proses transformasi ini berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Proses ini berdampak kepada kualitas keluarga. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 2
Fungsi dan peran keluarga terhadap generasi mudanya adalah mempersiapkan generasi tersebut untuk dapat berkembang menjadi SDM yang berkualitas melalui berbagai upaya pembinaan dan intervensi. Upaya tersebut bertujuan antara lain untuk meningkatkan kualitas keluarga serta melindungi anak dari ancaman tindakan kekerasan. Berbagai kasus di Indonesia menunjukkan banyak kekerasan dalam keluarga yang sasaran korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Kekerasan secara fisik berdampak kepada kerusakan secara jasmani, tetapi kekerasan secara kejiwaan merusak perilaku dan pola tindakan pada individu yang mengalaminya. Model komunikasi yang salah dalam keluarga membawa dampak yang sangat besar dalam pola bertindak individu. Agar proses tumbuh kembang anak terjamin dan berlangsung secara optimal, maka kebutuhan dasar di tingkat keluarga harus dipenuhi. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang orangtua maupun anggota keluarga lainnya. Menurut beberapa penelitian, sekitar 90% faktor penyebab rasa rendah diri dan krisis kepercayaan diri yang diderita oleh banyak orang dewasa berasal dari perlakuan yang dialaminya pada masa kecil ( Bandura 1986). Banyak keluarga yang melakukan komunikasi yang salah dalam memberikan informasi atau menyampaikan sesuatu kepada anak mereka. Tidak jarang anak-anak mendapat perlakuan kasar dan bahkan kekerasan hanya karena salah memaknai pesan yang disampaikan orangtuanya atau anggota keluarga lainnya. Sebagai tunas bangsa anak merupakan generasi penerus dan komponen sumber daya pengerak pembangunan yang utama di masa mendatang, ia harus dilindungi dari hal-hal yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan rohani dan sosialnya. Hakekat seorang anak tergambar dalam bentuk bermain dan belajar. Untuk itu, anak harus diberi kesempatan secukupnya untuk mengembangkan kemampuan fisik, mental intelektual dan sosial mereka. Pola komunikasi keluarga menurut Wood dalam Iriani (1998) dapat dibagi dalam pola komunikasi terbuka dan komunikasi tertutup. Pola komunikasi terbuka lebih memberikan keluwesan pada aturan yang berlaku. Misalnya apa yang dikatakan orangtua tetap penting tetapi masih memungkinkan bagi anak untuk mengemukakan pikirannya, berupa ide, pendapat, saran, saling mendengar Balswick dan Balswick (1990). Bentuk komunikasi ini memberikan lebih banyak kesempatan untuk menjelaskan permasalahan yang muncul dan ada banyak kemungkinan bagi anak untuk mengekspresikan eksistensinya sebagai bagian dari komunikasi yang berlangsung. Apalagi jika diperkuat dengan pernyataanpernyataan yang membesarkan hati. Bentuk komunikasi ini memiliki persamaan dengan gaya orangtua yang berwibawa dalam mengasuh anak, yaitu orangtua yang bersikap tegas, rasional, menghormati kepentingan anak, dan anak dituntut untuk bertindak menerima norma-norma secara umum McDavid dan Garwood dalam Iriani (1998). Bentuk komunikasi terbuka lebih memungkinkan bagi anak untuk dapat melihat masalah, memecahkan atau mengatasinya, karena ada interaksi dalam komunikasi, tentunya dengan tetap memperhatikan norma-norma dan tanpa menghilangkan eksistensi sebagai orangtua maupun anak. Pola komunikasi tertutup membatasi ruang untuk memperbincangkan atau untuk mendiskusikan sesuatu. Misalnya keharusan melakukan apa yang dikatakan ibu, tidak boleh berdebat dengan ayah, atau harus melakukan apa yang telah ditentukan. Ada persamaan komunikasi tertutup dengan komunikasi orangtua yang otoriter yaitu berbicara sedikit dengan anak, tindakan keras, otoritas kewenangan orangtua begitu dominan. McDavid dan Garwood (Iriani 1998) Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 3
menyebutkan bahwa sering pula komunikasi seperti ini disebut dengan komunikasi satu arah. Keadaan tidak memungkinkan anak dapat menyampaikan opini dikarenakan aturan yang kaku, dapat menyebabkan anak hanya mengetahui tentang hal yang tidak boleh, dan belum tentu mampu untuk mengemukakan hal yang sebenarnya atau hal yang harus dilakukan. Komunikasi tertutup dalam keluarga sepertinya hanya ada satu cara untuk memecahkan permasalahan. Jelas, dalam komunikasi tertutup ini ada keterbatasan untuk mengekspresikan emosi. Atau sebaliknya, antara pesan verbal dan pesan nonverbal ada kesenjangan, yang kadang-kadang menyebabkan anak menjadi bingung, sering disebut dengan double bind. Hal seperti ini dapat menyebabkan anak tidak memberi respons pada kedua pesan dengan waktu yang bersamaan. Apabila orangtua dan anak tidak bicara secara terbuka, komunikasi menjadi tidak wajar dan dapat merusak interaksi dalam keluarga. Komunikasi keluarga dikemukakan oleh McLeod dan Chaffee dalam Limbong (1996), mengemukakan komunikasi yang berorientasi sosial dan komunikasi yang berorientasi konsep. Komunikasi yang berorientasi sosial adalah komunikasi yang relatif menekankan hubungan keharmonisan dan hubungan sosial yang menyenangkan dalam keluarga. Komunikasi yang berorientasi konsep adalah komunikasi yang mendorong anak-anak untuk mengembangkan pandangan dan mempertimbangkan masalah dari berbagai segi. Hal tersebut digambarkan sebagai berikut: Gambar 1. Pola komunikasi keluarga menurut McLeod dan Chaffee Komunikasi yang berorientasi sosial Rendah Tinggi A
A
B
B X
Komunikasi yang berkonsep
Laisser-Faire
X
Protektif
A
A B
B X
X Pluralistik
Konsensual
Keterangan: A = anak B = Orangtua X = Topik Pembicaraan.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
4
1) Komunikasi keluarga dengan pola laissez-faire, ditandai dengan rendahnya komunikasi yang berorientasi konsep, artinya anak tidak diarahkan untuk mengembangkan diri secara mandiri, dan juga rendah dalam komunikasi yang berorientasi sosial. Artinya anak tidak membina keharmonisan hubungan dalam bentuk interaksi dengan orangtua. Anak maupun orangtua kurang atau tidak memahami objek komunikasi, sehingga dapat menimbulkan komunikasi yang salah. 2) Komunikasi keluarga dengan pola protektif, ditandai dengan rendahnya komunikasi dalam orientasi konsep, tetapi tinggi komunikasinya dalam orientasi sosial. Kepatuhan dan keselarasan sangat dipentingkan. Anakanak yang berasal dari keluarga yang menggunakan pola protektif dalam berkomunikasi mudah dibujuk, karena mereka tidak belajar bagaimana membela atau mempertahankan pendapat sendiri. 3) Komunikasi keluarga dengan pola pluralistik merupakan bentuk komunikasi keluarga yang menjalankan model komunikasi yang terbuka dalam membahas ide-ide dengan semua anggota keluarga, menghormati minat anggota lain dan saling mendukung. 4) Komunikasi keluarga dengan pola konsensual, ditandai dengan adanya musyawarah mufakat. Bentuk komunikasi keluarga ini menekankan komunikasi berorientasi sosial maupun yang berorientasi konsep. Pola ini mendorong dan memberikan kesempatan untuk tiap anggota keluarga mengemukakan ide dari berbagai sudut pandang, tanpa mengganggu struktur kekuatan keluarga. Penelitian ini mengamati hubungan antara tiga peubah yaitu peubah bebas sering juga disebut sebagai peubah pengaruh, peubah antara serta peubah tidak bebas atau sering juga disebut sebagai peubah terpengaruh (Singarimbun & Effenddi 1995). Dalam penelitian ini peubah pengaruh (anteseden) yang diteliti yaitu pola komunikasi keluarga yaitu meliputi (1) Pola Laizsez Faire, (2) Pola Protektif, (3) Pola Pluralistik dan (4) Pola Konsensual. Peubah antara yang diamati adalah komunikasi verbal dan non verbal yang dipakai dalam komunikasi keluarga Peubah terpengaruh atau peubah konsekuen yaitu: fungsi & peran keluarga dalam menghadapi tumbuh kembang anak meliputi:. (1)Fungsi Pendidikan. (2).Fungsi Sosialisasi anak. (3) Fungsi Perlindungan. (4). Fungsi Perasaan. (5) Fungsi Religius. (6) Fungsi Ekonomis.(7). Fungsi Rekreatif. (8) Fungsi Biologis. (9).Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman Untuk mendapatkan gambaran Kerangka pemikiran mengenai penelitian ini dikemukakan bagan antar peubah (gambar 1)
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
5
Gambar 2. Komunikasi Keluarga Dalam Penerapan Fungsi dan Peran Keluarga Peubah bebas Pola Komunikasi Keluarga: 1. Pola Laizsez Faire 2. Pola Protektif 3. Pola Pluralistik 4. Pola Konsensual
Peubah antara
Bentuk Komunikasi: - Verbal - Nonverbal
Peubah Terikat Fungsi dan Peran Keluarga: 1. Fungsi Pendidikan 2. Fungsi Sosialisasi anak 3. Fungsi Perlindungan. 4. Fungsi Perasaan 5. Fungsi Religius 6. Fungsi Ekonomis 7. Fungsi Rekreatif 8. Fungsi Biologis 9. Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman
METODE PENELITIAN Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek, atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2002). Nazir (1988, diacu dalam Sari,2006) mengatakan populasi adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya. Kemudian populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif dari pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap. Jadi populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah keluarga yang tinggal di wilayah Kota Bekasi, dimana keluarga tersebut mempunyai orangtua lengkap, Bapak dan ibu yang memiliki anak laki-laki dan perempuan. Keluarga yang dijadikan unit analisis adalah keluarga yang dianggap sebagai penduduk asli dan penduduk pendatang. Untuk Kriteria Penduduk asli adalah: penduduk yang lahir di Kota Bekasi mempunyai Silsilah keturunan (Ranji) yang menunjukkan penduduk asli minimal 2 generasi dan menempati rumah sendiri bukan rumah keluarga. Sedangkan Penduduk pendatang adalah Penduduk yang tinggal karena membeli rumah pemukiman di Kota Bekasi dan asal daerah di luar Kota Bekasi. Teknik Pengambilan Sampel Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini; yaitu Pola komunikasi Keluarga dalam penerapan fungsi dan peran keluarga. Sehingga untuk menghindari adanya distorsi hasil penelitian, pengambilan sampel dikerjakan memakai teknik Disproportionate Stratified Random Sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pengambilan sampel yang berstrata, kemudian di ambil acak untuk menentukan kuota sampling, artinya setelah dilakukan pengelompokkan berdasarkan strata populasi, maka ditentukan sampel secara Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 6
mewakili strata, kemudian sampel yang telah ditunjuk dapat diambil secara acak, dimana keluarga yang ditunjuk secara acak sesuai dengan karakteristik (ciricirinya) maka keluarga tersebut dapat digunakan sebagai sampel (Riduwan 2004). Berdasarkan data penduduk yang memiliki keluarga lengkap di seluruh wilayah Kota Bekasi dari 12 Kecamatan dengan identifikasi; berkeluarga dan mempunyai Anak adalah 275.474 KK. Adapun deskripsi wilayah Bekasi yang terdiri dari 12 Kecamatan dengan karakteristik yang dibedakan oleh jumlah kelurahan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Distribusi wilayah dan jumlah keluarga di Kota Bekasi tahun 2007 No.
Kecamatan
Kelurahan
1
Bekasi Utara
6
Jumlah keluarga KK 39.429
2
Bekasi Selatan
5
26.934
3
Bekasi Timur
4
36.766
4
Bekasi Barat
5
38.219
5
Bantar Gebang
4
7.441
6
Jati Asih
6
19.088
7.
Pondok Gede
5
26.240
8.
Jati Sampurna
5
7.451
9.
Rawa Lumbu
4
25.155
10
Medan Satria
4
21.951
11
Mustika Jaya
4
13.756
12
Pondok Melati
4
13.317
Total
56
275.474
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Bekasi, 2010
Berdasarkan data di atas, maka peneliti menentukan secara acak daerah yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan tipe wilayah yang melihat kepada jumlah kelurahan, yaitu: kecamatan dengan tipoplogi enam kelurahan diwakili oleh kecamatan Bekasi Utara, kecamatan dengan tipologi lima kelurahan diwakili oleh kecamatan Pondok Gede, dan kecamatan dengan tipologi empat kelurahan diwakili oleh Kecamatan Pondok Melati. Populasi respondennya adalah keluarga dari masing-masing kecamatan terpilih tersebut adalah: 1. Kecamatan Bekasi Utara Jumlah penduduk 2. Kecamatan Pondok Gede Jumlah Penduduk 3. Kecamatan Pondok Melati Jumlah Penduduk
= 39.429 KK = 26.240 KK. = 13.317 KK. 78.986 KK
Merujuk pada pendapat diatas maka penentuan jumlah sampel dapat dirumuskan sebagai berikut : Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
7
N n = ----------N.d² + 1 Dimana: n = jumlah sampel N= Jumlah Populasi d²=Presisi 10% yang ditetapkan peneliti. Sehingga jumlah Populasi dalam penelitian ini adalah 78.986 KK Maka berdasarkan rumus Taro Yamane dapat dihitung sebagai berikut: N 78.986 78.986 n= ---------- = --------------------= ------------ = 99,87 - 100 responden N.d² + 1 78.986(0.01)+1 790.86 Berdasarkan data tersebut maka pengambilan sampel berstrata dengan rumus Ni ni = ------n N Dimana : ni = Jumlah sampel menurut stratum n = Jumlah sampel seluruhnya Ni = Jumlah Populasi menurut stratum N = Jumlah Populasi seluruhnya Jadi dapat dihitung : Untuk sampel di kecamatan Bekasi Utara adalah ; Ni 39.429 ni =--------x. n = ----------x 100= 49,91 ----- 50 responden N 78.986 Untuk sampel di kecamatan Pondok Gede adalah ; Ni 26.240 ni =--------x. n = ----------x 100 = 33,62 ----- 34 responden N 78.986
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
8
Untuk sampel di kecamatan Pondok Melati adalah ; Ni 13.317 ni =--------x. n = ----------x 100= 16,45 ----- 16 responden N 78.986
Karena dalam penelitian ini di klasifikasi menjadi 2 (dua ) kelompok yaitu kelompok Keluarga Penduduk Pendatang dengan kelompok Keluarga Penduduk Asli, maka akan dilakukan pembagian secara tetap yaitu : Tabel 2. Distribusi sampel. Kecamatan
Jumlah Sampel
Keluarga Penduduk Asli
Keluarga Penduduk Pendatang
Bekasi Utara
50
25
25
Pondok Gede Pondok melati Total
34 16 100
17 8 50
17 8 50
Desain Penelitian Penelitian ini memakai Metode penelitian survei yaitu penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis (Kerlinger 1996). Metode penelitian Survey adalah usaha pengamatan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas terhadap suatu masalah tertentu dalam suatu penelitian. Penelitian dilakukan secara meluas dan berusaha mencari hasil yang segera dapat dipergunakan untuk suatu tindakan yang sifatnya deskriptif yaitu melukiskan hal-hal yang mengandung fakta-fakta, klasifikasi daan pengukuran yang akan diukur adalah fakta yang fungsinya amerumuskan dan melukiskan apa yang terjadi (Ali 1997). Berkaitan dengan pengertian metode deskriptif, dijelaskan bahwa penelitian apabila ditinjau dari hadirnya variabel dan saat terjadinya, maka penelitian yang dilakukan dengan menjelaskan atau mengambarkan variabel masa lalu dan sekarang (sedang terjadi), adalah penelitiaan deskriptif yang artinya mengambarkan atau membeberkan (Arikunto 1998). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Nazir (1988) bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia suatu objek, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Berdasarkan pengertian pakar di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa metode survey deskriptif korelasional cocok untuk digunakan dalam penelitian ini karena sesuai dengan maksud dari penelitian, yaitu untuk Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
9
memperoleh gambaran pola komunikasi keluarga terhadap penerapan fungsi keluarga dalam tumbuh kembang anak (Studi kasus; Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat). Data dan Instrumentasi Data Data primer yakni data tentang karakteristik keluarga internal dan eksternal serta pola komunikasi keluarga yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuisioner. Selain data Primer juga akan dikumpulkan data sekunder untuk memperkuat data yang diperoleh dari pemerintahan setempat serta instansi yang terkait. Instrumentasi Instrumen yang dipergunakan adalah kuisioner yang dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama: terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan identitas keluarga yang meliputi: Umur anggota keluarga, lama berkeluarga, pendapatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan peubah pengaruh yaitu: pola komunikasi keluarga laissez faire, pola komunikasi protektif, pola komunikasi pluralistik, pola komunikasi konsensual. Ketiga peubah antara yaitu: komunikasi verbal dan nonverbal, Keempat, pertanyaan yang berkaitan dengan penerapan fungsi dan peran keluarga yang meliputi: 1. Fungsi Pendidikan 2. Fungsi Sosialisasi anak 3. Fungsi Perlindungan. 4. Fungsi Perasaan 5. Fungsi Religius 6. Fungsi Ekonomis 7.Fungsi Rekreatif 8. Fungsi Biologis 9. Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman Pengukuran Alat ukur penelitian ini yang menggunakan daftar berbentuk angket dengan tingkat pengukuran ordinal, kategori jawaban terdiri atas 5 tingkatan. Untuk analisis secara kuantitatif, maka alternatif jawaban tersebut dapat diberi skor nilai 1 sampai 4 sebagai berikut: 1. Ada lima alternatif jawaban untuk variabel faktor internal dan eksternal keluarga yaitu: 4 = Sangat sering 3 = Sering 2 = Pernah 1 = Tidak pernah 2 Ada lima alternatif jawaban untuk variabel pola komunikasi dalam penerapan fungsi dan peran keluarga yaitu: 4 = Sangat sering 3 = Sering 2 = Pernah 1 = Tidak pernah 3. Ada analisis secara kualitatif terhadap jawaban digali secara indept reporting (wawancara mendalam) yang mengali tentang pola yang digunakan oleh keluarga dalam interaksi setiap harinya.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
10
Validitas dan Reliabilitas instrumentasi Validitas Agar Instrumen yang digunakan benar-benar valid dan dapat mengungkapkan data yang diperlukan maka instrumen berupa pertanyaan yang ada harus mempunyai nilai validitas yang tinggi (Black & Champion 1992 diacu dalam Sari 2006) mengingat pentingnya validitas instrumen yang dipergunakan, maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner disusun berdasarkan referensi kepustakaan yang releevan dengan penelitian ini (validitas konstruk) Berkaitan dengan pengujian validitas instrumen Arikunto (1995) diacu dalam Sari (2006) menjelaskan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur. Untuk menguji validitas alat ukur dicari nilai korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan dengan mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir, dengan rumus Pearson Product Moment adalah: n(∑XiYi) – (∑ Xi) . (∑ Yi) r.hitung = --------------------------------------------√ { n.∑ Xi² - (∑ Xi)²} . { n. ∑ Yi² - (∑ Yi)²} Dimana: R hitung ∑Xi ∑ Yi n
= Koefisien korelasi = Jumlah skor item = Jumlah skor total (seluruh item) = Jumlah Responden
Distribusi (tabel t) untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk = n-2) Kaidah keputusan: Jika t hitung > t tabel berarti valid Jika t hitung < t tabel berarti tidak valid Jika instrument valid, maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya (r) sebagai berikut: Antara 0,800 sampai dengan 1.000 : sangat tinggi Antara 0.600 sampai dengan 0.799 : tinggi Antara 0.400 sampai dengan 0,599 : cukup tinggi Antara 0.200 sampai dengan 0.399 : rendah Antara 0.000 sampai dengan 0.199 : sangat rendah (tidak valid).
Reliabilitas Sebuah Instrumen penelitian yang dipergunakan untuk mengukur dua gejala yang sama dan memperoleh hasil yang relatif sama atau konsisten maka instrumen tersebut disebut handal atau reliabel (Singarimbun 1995 diacu dalam Sari 2006). Sebelum mengadakan penelitian maka untuk menguji keandalan instrumen dalam penelitian ini dilakukan uji reliabilitas instrumen dengan mempergunakan uji reliabilitas menggunakan metode Alpha yaitu menganalisis alat ukur dari satu kali pengukuran (Riduwan 2004) rumus yang digunakan adalah Alpha sebagai berikut: Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
11
k ∑Si r¹¹ = {-----}{1- ----} k-1 St Dimana: r¹¹ = nilai reliabilitas ∑Si =jumlah varians skor tiap item St =Varian Total k = Jumlah item Analisis Data Data yang diperoleh akan ditabulasi dalam bentuk tabel frekuensi dan dianalisa berdasarkan analisa deskripsi Korelasional. Disebabkan tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran pola komunikasi keluarga dalam penerapan fungsi dan peran keluarga menghadapi perubahan sosial. Serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi keluarga tersebut. Maka peneliti menggunakan sofware SPSS versi 13 dan memakai analisis statitik Non parametrik test Chi-Square. Test Chi-Square (X²) dapat digunakan untuk menguji adakah terdapat perbedaan yang signifikan antara banyak yang diamati (observed) dari objek atau jawaban yang masuk dalam masing-masing kategori dengan banyak yang diharapkan (expected) berdasarkan hipotesis nol (Siegel 1994 diacu dalam Sari 2006). Test chi-Square (X²) ini dipergunakan karena dianggap tepat untuk menganalisa data-data yang terkait dalam jawaban responden.
HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Keadaan Geografis Lokasi penelitian terdiri dari 3 kecamatan dari 12 kecamatan yang ada di Kota Bekasi yaitu: kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Pondok Gede, dan Kecamatan Pondok Melati. Berdasarkan data yang diperoleh, Kecamatan Bekasi utara terdiri dari 6 kelurahan dengan total Kepala Keluarga sebanyak 39.429 orang. Kecamatan Pondok Gede terdiri dari 5 kelurahan dengan total 26.240 orang. Sedangkan Pondok Melati terdiri dari 4 Kelurahan dengan total Kepala Keluarga sebanyak 13.317 orang. Tiga kecamatan yang dijadikan wilayah penelitian merupakan daerah pengembangan tempat tinggal bagi penduduk DKI Jakarta. Hampir seluruh wilayah tiga kecamatan tersebut merupakan tempat pengembangan perumahan. Ke tiga wilayah kecamatan tersebut berupa tanah datar, ada beberapa kali dan sungai yang membatasi antara wilayah kecamatan dengan kecamatan lainnya. Terutama di Wilayah Bekasi Utara, merupakan tempat pengembangan Islam terbesar di Daerah Jawa Barat. Pola Komunikasi Keluarga berdasarkan Tipologi responden Tipologi responden dalam penelitian ini yaitu membedakan jenis keluarga yang di katakan sebagai penduduk pendatang dan keluarga sebagai penduduk asli. Kategori penduduk pendatang yaitu keluarga yang bukan berasal dari daerah yang di tempatinya, mereka merupakan pendatang dari luar pulau jawa. Sedang sebagai penduduk asli yaitu penduduk yang sudah dinyatakan sebagai penduduk asli dan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
12
memiliki kerabat yang tinggal pada lokasi yang sama dan dinyatakan sebagai suku Betawi. Tabel 3. Pola Komunikasi Keluarga berdasarkan Tipologi responden
Keluarga dari pendatang berasal dari suku Melayu, Batak, Nias, Minang, Palembang, Madura, Bugis, Papua. Pola komunikasi laissez-faire termasuk sering dan sangat sering di lakukan oleh kedua jenis keluarga baik keluarga penduduk pendatang maupun oleh keluarga penduduk asli. Pola komunikasi protektif juga termasuk dalam kategori sering dan sangat sering di lakukan dalam berkomunikasi bagi kedua keluarga baik keluarga penduduk pendatang maupun keluarga penduduk asli. Pola komunikasi komunikasi pluralistik termasuk dalam kategori pernah dan termasuk sering dilakukan dalam keluarga baik pada penduduk pendatang maupun keluarga penduduk asli. Pola komunikasi konsensual merupakan pola komunikasi yang termasuk sering dan sangat sering digunakan pada kedua jenis keluarga tersebut. Pola Komunikasi Keluarga berdasarkan Lokasi penelitian Lokasi penelitian yaitu di tiga kecamatan yang ada di kota Bekasi yaitu: kecamatan Bekasi Utara, kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Pondok Melati. Jumlah responden pada kecamatan Bekasi Utara yaitu 50 responden, 34 responden di kecamatan Pondok Gede, dan 16 responden di kecamatan Pondok Melati.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
13
Tabel 4. .Pola Komunikasi Keluarga berdasarkan Lokasi Penelitian
Pola komunikasi laissez-faire di Bekasi Utara masuk dalam kategori pernah, sering dan bahkan sangat sering di gunakan dalam keluarga baik penduduk pendatang maupun penduduk asli. Keluarga pada kecamatan pondok gede pernah menggunakan pola komunikasi laissez-faire, tapi lebih cenderung kepada sering dan sangat sering dalam penggunaan pola komunikasi laissez-faire dalam keluarga. Keluarga di Pondok Melati termasuk dalam kategori sering dan sangat sering dalam penggunaan pola komunikasi laissez-faire. Artinya penduduk pendatang maupun penduduk asli pada ketiga kecamatan sama menggunakan pola laissez-faire dalam kategori pernah, sering dan sangat sering dalam setiap berinteraksi dengan keluarganya. Pola komunikasi Protektif hampir sama pada ketiga kecamatan yaitu dalam kategori pernah, sering dan sangat sering di gunakan dalam keluarga. Pola Komunikasi Pluralistik di kecamatan Bekasi Utara termasuk dalam kategori pernah dan sering, di kecamatan Pondok gede termasuk dalam kategori pernah, sering dan sangat sering, dan di kecamatan Pondok Melati termasuk dalam kategori sering dan sangat sering. Artinya ketiga kecamatan memakai pola komunikasi pluralistik dalam kategori pernah sering dan sangat sering. Pola Komunikasi Keluarga Laissez-faire terhadap fungsi dan Peran keluarga. Fungsi dan peran keluarga yaitu menyangkut fungsi agama, fungsi sosialbudaya, fungsi cintakasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
14
sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan. Pola Komunikasi laissez-faire pada fungsi agama dianggap penting dan sangat penting, walaupun keluarga tersebut tidak melakukan pola laissez-faire dalam berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Artinya keluarga menganggap bahwa fungsi agama adalah sesuatu yang penting dan sangat penting dalam kehidupan. Tabel 5. Pola Komunikasi Keluarga Laissez-faire terhadap Fungsi dan Peran Keluarga
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
15
Tabel 5 menunjukkan bahwa pola komunikasi laissez-faire terhdap fungsi sosialbudaya menunjukkan bahwa walaupun responden termasuk dalam kategori tidak pernah sampai sangat sering melakukan pola komunikasi laissez-faire, tetap menganggap bahwa sosialbudaya merupakan sesuatu yang cukup penting, penting dan sangat penting di terapkan dalam pembinaan keluarga. Begitu juga dengan Fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan merupakan suatu hal yang cukup peting, penting dan sanagt penting dalam keluarga. responden dalam penelitian ini melihat bahwa fungsi-fungsi keluarga tersebut merupakan hal yang utama. Pola Komunikasi Keluarga Protektif terhadap fungsi dan Peran keluarga. Pola komunikasi Protektif termasuk kategori pernah, sering dan sangat sering dilakukan oleh keluarga dari penduduk pendatang maupun keluarga dari penduduk asli. Keluarga pada penduduk pendatang menganggap bahwa pola komunikasi protektif perlu dilakukan untuk membatasi aktivitas anak dan menjaga dari segala yang membahayakan kehidupan anak. Tabel 6. Pola Komunikasi Keluarga Protektif terhadap Fungsi dan Peran Keluarga
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
16
Pada tabel 12 menunjukkan bahwa fungsi agama merupakan suatu hal yang penting dan sangat penting yang harus dilakukan. Keluarga mengarahkan anak kearah yang diinginkan agama menjadi keharusan bagi keluarga untuk mengajak anak-anaknya. responden juga menganggap bahwa Fungsi Sosialbudaya merupakan suatu hal yang penting mapun sangat penting di lakukan oleh setiap keluarga. Keluarga penduduk asli dan keluarga penduduk pendatang mengatakan bahwa cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi pendidikan, ekonomi dan lingkungan menganggap bahwa penting dan bahkan sangat penting dalam kehidupan berkeluarga. fungsi yang harus dilakukan oleh keluarga. responden menganggap bahwa setiap keluarga harus menyiapkan dirinya untuk menjalankan fungsi keluarga tersebut. Pola komunikasi protektif baik yang pernah, sering dan bahkan sangat sering dilakukan dalam pola komunikasi keluarga di keluarga penduduk asli maupun penduduk pendatang menganggap bahwa penting dan sangat penting untuk di lakukan. Pola Komunikasi Keluarga Pluralistik terhadap fungsi dan Peran keluarga. Pola komunikasi Pluralistik termasuk dalam kategori tidak pernah, pernah, sering dan sangat sering dilakukan dalam berinteraksi dengan keluarga. Tabel 7. Pola Komunikasi Keluarga Pluralistik terhadap Fungsi dan Peran Keluarga
Ada keluarga yang tidak pernah melakukan pola komunikasi pluralistik dalam berinteraksi dengan anggota keluarganya. Hal ini karena mereka lebih Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
17
mengaut paham pola komunikasi yang lebih protektif. Keluarga yang melakukan pola komunikasi pluralistik dalam kategori pernah dan sering, menganggap bahwa fungsi agama merupakan suatu hal yang penting dan sangat penting untuk dilaksanakan. Data penelitian menunjukkan bahwa responden yang lebih cenderung menjalan pola komunikasi pluralistik menganggap bahwa fungsi sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi pendidikan, ekonomi dan lingkungan merupakan hal yang penting dan bahkan sangat penting untuk di laksanakan oleh keluarga. Pola Komunikasi Keluarga Konsensual terhadap fungsi dan Peran keluarga. Pola komunikasi Konsensual termasuk dalam pernah, sering dan sangat sering dilakukan dalam interaksi keluarga. Tabel 8. Pola Komunikasi Keluarga Konsensual terhadap Fungsi dan Peran Keluarga
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
18
Pada table 8 menunjukkan bahwa keluarga dari penduduk asli maupun penduduk pendatang menganggap bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi dengan keluarga dan seluruh anggota keluarga, terutama kepada anak usia balita yang mereka miliki, mereka mengunakan pola komunikasi konsensual dalam kategori pernah, sering dan sangat sering. Mereka juga menganggap bahwa fungsi agama, fungsi sosial budaya fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi lingkungan merupakan suatu yang penting dan sangat penting. SIMPULAN 1 Pola dan bentuk komunikasi dalam menerapkan fungsi dan peran keluarga di kota Bekasi lebih di lakukan dengan model kombinasi antara pola laissezfaire, pola protektif, pola pluralistik, pola konsensual. Berdasarkan hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, sebenarnya taraf kekerasan bisa di kurangi apabila kedua orangtua dapat mengontrol pola komunikasi yang bersifat kombinasi tadi. lebih mementingkan kebutuhan dan keselamatan anak. 2 Keluarga dari pendatang berasal dari suku Melayu, Batak, Nias, Minang, Palembang, Madura, Bugis, Papua. Pola komunikasi laissez-faire termasuk sering dan sangat sering di lakukan oleh kedua jenis keluarga baik keluarga penduduk pendatang maupun oleh keluarga penduduk asli. Pola komunikasi protektif juga termasuk dalam kategori sering dan sangat sering di lakukan dalam berkomunikasi bagi kedua keluarga baik keluarga penduduk pendatang maupun keluarga penduduk asli. Pola komunikasi komunikasi pluralistik termasuk dalam kategori pernah dan termasuk sering dilakukan dalam keluarga baik pada penduduk pendatang maupun keluarga penduduk asli. Pola komunikasi konsensual merupakan pola komunikasi yang termasuk sering dan sangat sering digunakan pada kedua jenis keluarga tersebut. 3 Pola Komunikasi laissez-faire, protektif, pluralistik dan konsensual pada fungsi agama, fungsi sosial budaya fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi lingkungan dianggap penting dan sangat penting. DAFTAR PUSTAKA Arikunto.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Cetakan ke-8. Yokyakarta: Rieneka Cipta, BKKBN.2002. Penerapan nilai-nilai moral melalui delapan Fungsi keluarga, Badan Koordinasi Keluarga berencana nasional. Direktorat Pengembangan Ketahanan Keluarga. Badan Pusat Statistik(BPS). 2006. Statistik Indonesia 2006. Jakarta: BPS Daniel J.and Cody. 1995. Interpersonal communication (seventh Edition). New York: Harper Collins College Publishers. Devito,JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Indonesia Professional Books Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
19
Liliweri. 1994. Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi. Bandung; PT Aditya Bakti. Riduwan. 2004. Metode & teknik Menuyusun Thesis. Bandung: Penerbit Alfabeta Soekanto. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Rineka Cipta. Toomey & Stella. 1999. Communication Across cultures. New York: The Guilford Press. Turner & West. 2006. The Family Communication Sourcebook. SAGE Publication Inc World Development Report. Salemba Empat.
2006.
Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta:
Zanden & Knopt. 1985. Human development. Edisi ke 3. New York Ohio State (edisi ke3) USA: Ohio State University. ---------------------------------------------. (1990). Sosiology The Core. (edisi ke 2 ). USA: Graw Hill
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
20
PERAN INTERNAL COMMUNICATION DALAM UPAYA PENCITRAAN PERUSAHAAN ( Studi Kasus Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk ) Oleh Tatik Yuniarti (Dosen Tetap Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa Universitas Islam ‗45‘ Bekasi) Abstract Public Relations at a company are required to establish a positive image. Public relations activities include not only the external relations and communications, but only internally. The success of these programs depends on the company's internal communication is conducted by public relations in conveying the message. Internal communications is related to the goals of the organisation and its stage of development. The unit of analysis in this research is Public Relations of PT Lippo Cikarang, Tbk. The aim of research is to analyze internal communication of Public Relations and aspects of consideration from the strategies at PT Lippo Cikarang, Tbk. The methodology applied is qualitative descriptive, aiming to describe the data systematically, factual, and accurately. Data collection was done through indept interview, observation, and documentation from media relations activities by Public Relations of PT Lippo Cikarang, Tbk. The analysis was conducted by using interactive model with Miles and Huberman model consisting of 3 components: data reduction, data display, drawing and verifying conclusions. Internal communications within the company is required to establish a good relationship between employees, between employees and leadership with all stakeholders in the company. Internal communications are conducted by the Public Relations of PT Lippo Cikarang, Inc. proved to be very effective for the success of the activities carried out. Uniformity of all employees on the meaning of a message is the key to creating a good image and reputation to maintain in the public eye externally. Key words: Internal communication, Public relations, Lippo cikarang PENDAHULUAN Dalam melakukan aktivitasnya, public relations tidak serta merta menyelenggarakan kegiatan (event) tanpa adanya kerjasama dengan seluruh karyawan. Public relations membutuhkan bantuan dari semua pihak di dalam perusahaan agar semua kegiatan yang diselenggarakan dapat berjalan dengan lancar. Komunikasi yang dilakukan terutama dilakukan dengan pimpinan perusahaan, karena sebagai top management mempunyai andil yang besar dalam menentukan setiap kebijakan. Peran inilah yang akan menyatukan semua karyawan di dalam perusahaan. Permasalahan yang kerap dihadapi di dalam suatu perusahaan adalah banyaknya perbedaan persepsi antar karyawan dalam menyikapi setiap kebijakan. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 21
Hal tersebut tak jarang menjadi hambatan tersendiri bagi perusahaan dalam mensukseskan setiap rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Contoh dari hambatan tersebut adalah tidak antusiasnya karyawan dalam setiap acara yang diselenggarakan oleh perusahaan. Minimnya keikutsertaan karyawan dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan menjadi indikator tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perusahaan. Pimpinan akhirnya terpaksa menerapkan sanksi tegas bagi karyawan yang tidak menghadiri suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya kesadaran yang timbul dari karyawan dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan. Sikap acuh terhadap kegiatan yang diselenggarakan di dalam internal perusahaan tentu menjadi masalah yang cukup besar. Hal tersebut bahkan dapat menjadi kendala bagi kemajuan perusahaan. Hal inilah peran dari Public Relations dalam menyikapi permasalahan tersebut. Cutlip menyatakan bahwa public relations adalah fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut (Cutlip, 2007:6). Berdasarkan pengertian tersebut, public relations dituntut melakukan komunikasi dengan publik untuk dapat menunjang fungsi dan tujuan dari manajemen. Public relations juga diharuskan untuk melakukan komunikasi dengan publik agar dapat mempengaruhi pandangan/ persepsi terhadap perusahaan maupun organisasi. Definisi yang disampaikan Cutlip tersebut menempatkan public relations sebagai fungsi manajemen, yang berarti sebuah perusahaan atau organisasi harus memperhatikan public relations dalam menjalankan program-programnya. Hal itu dikarenakan peran public relations dalam fungsi manajemen menjadi salah satu bagian yang menentukan kesuksesan atau kegagalan program perusahaan atau organisasi. Perintis pendidik public relations, Rex Harlow menyatakan pandangan yang sama tentang pengertian public relaions, Public relations is a distinctive management function which helps establish and maintain mutual lines of communication, understanding, acceptance and co-operation between an organisation and its publics; involves the management of problems or issues; helps management to keep informed on and responsive to public opinion; defines and emphasises the responsibility of management to serve the public interest; helps management keep abreast of and effectively utilise change, serving as an early warning system to help anticipate trends; and uses research and ethical communication techniques as its principal tools (Theaker. Alison, 2004:4). Berdasarkan pengertian tersebut fungsi public relations dalam suatu manajemen memiliki tugas yang jelas dalam menjalankan perannya melayani setiap informasi yang diperlukan oleh publik. Public Relations adalah bagian dalam suatu manajemen yang bertugas memberikan pemahaman mengenai segala macam informasi melalui proses komunikasi. Public Relations membantu manajemen dalam menyebarluaskan informasi kepada publik baik secara internal maupun eksternal. Menjadi seorang public relations juga harus selalu dapat mewaspadai setiap terjadinya perubahan dalam menerapkan programnya. Hal yang sedang trend akan menjadi perbincangan publik, sehingga seorang public relations harus dapat memanfaatkan hal tersebut untuk menciptakan image perusahaan. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 22
Pernyataan yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa keberadaan public relations di dalam perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan komunikasi secara eksternal namun juga internal perusahaan. Kesamaan persepsi di dalam internal perusahaan menjadi salah satu kunci keberhasilan public relations dalam kegiatan eksternal. Untuk itulah kegiatan komunikasi secara internal perusahaan (internal communication) harus selalu dilakukan oleh public relations. Hubungan internal adalah bagian khusus dari kerja public relations yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan saling bermanfaat antara manajer dan karyawan tempat organisasi menggantungkan kesuksesannya. Menurut Alvie Smith, mantan direktur komunikasi corporat di General Motors, ada dua faktor yang menjelaskan mengapa manajemen menghormati salah satu aspek dari fungsi public relations ini, yakni : 1. Arti penting pemahaman, teamwork, dan komitmen karyawan dalam mencapai hasil standar. Aspek positif dari perilaku karyawan ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi dua arah yang interaktif di seluruh organisasi. 2. Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi-manajer, jaringan yang membuat supervisor di setiap level bisa melakukan komunikasi secara efektif dengan karyawannya. Kebutuhan ini bukan sekadar informasi yang berkaitan dengan tugas dan harus mencakup isu publik dan isu bisnis penting yang mempengaruhi keseluruhan organisasi (Cutlip dkk, 2007:11). Inti dari berkomunikasi adalah penyampaian pesan, dimana jika ada dua orang yang saling bercakap-cakap, satu dari mereka berperan sebagai pengirim pesan dan lainnya menjadi penerima pesan. Apabila ada kesamaan makna dari penyampai dan penerima pesan, maka proses komunikasi sudah dilakukan. Proses komunikasi tersebut menjadi tugas utama seorang public relations. Hal itu untuk menciptakan pemahaman antara manajemen organisasi dengan karyawannya, dan antara organisasi dengan publiknya atau pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Komunikasi adalah proses timbal balik (resiprokal) pertukaran sinyal untuk memberik informasi, membujuk, atau memberi perintah berdasarkan makna yang sama dan dikondisikan oleh konteks hubungan para komunikator dan konteks sosialnya (Cutlip, 2007:226). Berdasarkan hal tersebut, internal communication dapat dimaknai sebagai penyampaian informasi di dalam lingkup internal suatu perusahaan untuk mendapatkan persamaan persepsi. Publik internal perusahaan yang dimaksud antara lain karyawan, pemegang saham, dan management. Ketiga kelompok publik internal tersebut memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan program yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam penelitian ini subyek yang dipilih adalah Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk. Perusahaan ini merupakan bagian dari Lippo Group dan anak perusahaan PT Lippo Karawaci, Tbk yang berada di Tangerang. PT Lippo Land Development, Tbk yang berada di Tangerang beroperasional di Indonesia mulai tahun 1987 sampai dengan 2001. Mulai tahun 2002 PT Lippo Land Development Tbk berubah nama menjadi PT Lippo Karawaci Tbk. Perusahaan ini berada di bawah naungan Lippo Group Asia International dengan nama PT Lippo Land Development, Tbk. Selain di Indonesia, proyek Lippo Land berada di Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan dan negara asia lainnya. Proyek Lippo Land juga mencakup beberapa negara di Amerika, Eropa dan Australia. Lippo Group merupakan salah satu perusahaan properti terbesar dan terbaik di Indonesia dan masuk dalam daftar perusahaan properti terbesar dan terbaik dengan urutan peringkat ke-8 di Asia Pasific Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 23
PT Lippo Cikarang, Tbk adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kota yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lippo Cikarang memiliki luas lahan 3.000 hektar. Dalam mengembangkan kawasannya, sejumlah perusahaan besar digandeng Lippo Cikarang, seperti perusahaan Jepang yang dikenal sebagai East Jakarta International Park (EJIP) dan perusahaan Korea yang bernama Hyundai Inti Development. Di kawasan Lippo Cikarang juga terdapat branded mark automotif manufaktur berskala Internasional, seperti Danon Dairy Indonesia, Panasonic, Sanyo, Toshiba, dan Indonesia Epson Industry. Sebagai kawasan yang tumbuh pelbagai macam industri, Lippo Cikarang berupaya untuk menyediakan fasilitas pendukung yakni tempat tinggal bagi pekerjanya dan sarana rekreasi. Sejumlah cluster perumahaan saat ini telah tersedia di Lippo Cikarang yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya seperti sekolah, mall, tempat hiburan. Kawasan ini semakin berkembang dengan diterapkannya kawasan hijau dan ramah lingkungan melalui konsep tata ruang 60 persen bangunan dan 40 persen kawasan hijau. Realisasi dari konsep tersebut terlihat dari Kawasan Industri yang dikenal sebagai ‗Light Industry‘ atau industri ringan (non polluted) yang artinya bebas polusi suara dan udara. Semua keistimewaan dan keunggulan kawasan tersebut, Lippo Cikarang semakin dikenal sesuai motonya: The best place to live, work and play. To Live diartikan sebagai kawasan yang telah mengembangkan pelbagai fasilitas dan infrastruktur modern yang menjamin rasa aman dan kehidupan yang nyaman bagi warganya. Lippo Cikarang juga menyediakan tempat hunian, taman umum dan taman bermain, sekolah negeri dan swasta serta transportasi umum, yakni perhentian dan halte bis yang berada pada setiap jarak 200-400 meter untuk mempermudah akses ke layanan ―shuttle bus‖ ke Jakarta dan di dalam Lippo Cikarang 24 jam sehari. Menciptakan reputasi bahwa kawasan Lippo Cikarang sebagai ―The best place to live, work and play” membutuhkan waktu yang cukup lama. Seorang Public Relations membutuhkan pelbagai strategi yang tepat untuk menciptakan image tersebut betul-betul tertanam di benak masyarakat. Lippo Cikarang yang merupakan salah satu anak perusahaan dari Lippo Group juga menjadi tantangan bagi Public Relations-nya untuk menjaga nama besar Lippo tetap positif di mata masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan public relations PT Lippo Cikarang, Tbk adalah dengan selalu melakukan komunikasi secara internal yang baik dalam setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Sehingga seluruh karyawan dapat memahami dan juga menerapkan program-program yang dilakukan public relations. Hal tersebut berdampak pada kekompakan yang tercipta di luar perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran public relations PT Lippo Cikarang, Tbk melakukan komunikasi internal yang baik (internal communication) guna menciptakan citra yang baik bagi perusahaan. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian kualitatif yang menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Dalam penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari lainnya (Rachmat Kriyantono, Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 24
2007:58). Metode kualitatif digunakan oleh peneliti untuk melihat bagaimana tindakan yang terjadi secara alami tanpa harus meniru dalam suatu eksperimen atau penelitian survey. Teknik penelitian kulitatif dapat meningkatkan pengetahuan mendalam peneliti dalam mengkaji suatu fenomena. Khususnya fenomena yang sebelumnya belum diinvestigasi. Hal tersebut dijelaskan oleh Wimmer dan Dominick sebagai berikut, The methods allow a researcher to view behavior in a natural setting without the artificiality that sometimes surrounds experimental or survey research. In addition, qualitative techniques can increase a researsher’s depth of understanding of phenomeon under investigation. This is especially true when the phenomenon has not been investigated previosly ( Wimmer. Dominick, 2003:47 ) Menurut Bognan (1975 ) metode penelitian kualitatif diartikan sebagai prosedur-prosedur penelitian yang digunakan untuk menghasilkan data deskriptif, yang ditulis atau yang diucapkan orang dan perilaku-perilaku yang diamati (research procedures which produce descriptive data: people’s own written or spoken words and observable behavior) (Pawito, 2007:84). Berdasarkan pengertian tersebut, pada penelitian ini data yang dihasilkan bersumber dari ucapan orang dan diperkuat dengan hasil pengamatan langsung di lapangan dan dokumentasi. Pendekatan diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2007:69). Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut (Moleong, 2010:11). Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis menguraikan bagaimana internal communications yang terjadi di dalam PT Lippo Cikarang, Tbk, khususnya ketika public relations akan menyelenggarakan kegiatan (event). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam dengan public relations PT Lippo Cikarang, Tbk. Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan pada kegiatan yang dilakukan oleh public relations PT Lippo Cikarang, Tbk. Dokumentasi juga dilakukan untuk merekam setiap kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi PR PT Lippo Cikarang, Tbk dengan pihak internal perusahaan. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa interaktif (interactive model of analysis). Teknik analisis data model Miles dan Huberman (1994) terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions) (Punch, 1998: 202-204). Lebih jelas mengenai metode teknik analisis data model interaktif dari Miles dan Huberman dapat dilihat pada gambar berikut.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
25
Gambar 1. Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Huberman
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data Simpulan
Sumber : Miles dan Huberman (1994:12)
Untuk lebih mengetahui keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi data, yaitu, teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. PEMBAHASAN Komunikasi internal dalam perusahaan sangat besar perannya untuk keberhasilan komunikasi yang efektif secara eksternal. Seorang public relations harus mengkomunikasikan pesan kepada publik luar dari setiap kegiatan yang diselenggarakan sampai pada terjadi krisis atau masalah di perusahaan. Kesuksesan dalam berkomunikasi secara eksternal tersebut akan sukses apabila didukung oleh kesepakatan dan pemahaman yang sama dari semua karyawan. Apabila hal ini tidak terjadi, maka komunikasi secara eksternal dipastikan tidak akan berjalan dengan baik, dan dampak yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan. Pesan yang dikirim dan diterima di dalam batas-batas organisasi dinamakan komunikasi internal. Tipe komunikasi internal formal antara lain pernyataan kebijakan, notulen perubahan prosedur operasi, dan instruksi atasan. Jenis yang kurang formal antara lain percakapan di tempat kerja dan telepon di rumah. Pesan terbagi dalam tiga arah: ke bawah, ke atas, dan horizontal. Komunikasi ke bawah adalah pesan dari atasan kepada bawahan. Ada 5 tipe komunikas ke bawah di dalam organisasi, antara lain : 1. Instruksi kerja: pesan yang menyebutkan cara melakukan tugas 2. Alasan di balik tugas: pesan yang menjelaskan mengapa tugas mesti dilakukan dan bagaimana tugas itu berkaitan dengan aktivitas lain dalam organisasi. 3. Prosedur dan Praktik: Pesan yang menginformasikan kepada anggota organisasi tentang tanggung jawab, kewajiban dan privilese organisasi. 4. Tanggapan: Pesan yang menginformasikan tentang kinerja karyawan di organisasi. 5. Indoktrinasi Tujuan: Pesan yang mengajar setiap karyawan soal misi, tujuan dan sasaran organisasi. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
26
Komunikasi ke atas adalah pesan dari bawahan kepada atasan. Empat tipe komunikasi ke atas adalah : 1. Merefleksikan kinerja karyawan dan problem pekerjaan 2. Mengungkapkan informasi tentang sesama karyawan 3. Mengkomunikasikan sikap dan pemahaman tentang praktik dan kebijakan organisasi 4. Melaporkan aktivitas dan tugas yang diasosiasikan dengan pencapaian tugas Komunikasi ke atas memiliki beberapa kelebihan, antara lain membuat atasan tahu apakah bawahannya menerima ide, rencana dan kebijakannya. Komunikasi ke atas juga memberi bawahan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan keputusan, sehingga dapat memuaskan kebutuhan karyawan. Komunikasi horizontal adalah pesan yang terjadi pada level hirarki yang sama. Beberapa fungsi komunikasi horizontal adalah : 1. Memfasilitasi pemecahan masalah 2. Memungkinkan sharing informasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda 3. Meningkatkan koordinasi kerja antara departemen atau tim 4. Memperkuat semangat 5. Membantu menyelesaikan konflik (O‘Hai dkk, 2009:55-58) Menurut Alison Theaker, komunikasi internal sangat berhubungan dengan visi dan pengembangan dari suatu perusahaan (internal communications is related to the goals of the organisation and its stage of development). Hal tersebut berarti bahwa seluruh bagian dalam internal organisasi harus dapat memahami apa yang menjadi tujuan dan visi dari perusahaan. Pemahaman terhadap visi tersebut akan berakibat pada kekompakan dalam kinerja karyawan. Cutlip menyatakan kesuksesan atau kegagalan di sebuah organisasi tergantung bagaimana komunikasi internal diterapkan. Lebih lengkap pernyataannya sebagai berikut, The goals of employee communication are to identify, establish and maintain mutually beneficial relationships between the organisation and the employees on whom its success or failure depends ( Theaker, 2004:166) Berdasarkan pernyataan tersebut dijelaskan bahwa berkomunikasi kepada karyawan memiliki tujuan tidak hanya untuk dapat mengidentifikasi, namun juga untuk menetapkan dan memelihara hubungan yang baik antara management dengan karyawan. Komunikasi Internal yang Efektif Sistem komunikasi internal yang efektif harus memperkuat kepercayaan bahwa karyawan adalah aset berharga bagi perusahaan. Penguatan ini dapat terjadi hanya jika manajemen percaya kalau itu benar (Argenti, 2010:214). Dalam implementasi yang dilakukan oleh public relations PT Lippo Cikarang, Tbk, sebelum membuat program langkah yang dilakukan adalah mengkonsolidasikan program tersebut dan mengkomunikasikannya kepada semua bagian di dalam perusahaan, khususnya pada pimpinan. Berdasarkan wawancara dengan public relations Lippo Cikarang, Tbk RS, menyatakan bahwa PR diberikan keleluasaan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 27
untuk membuat program yang berhubungan dengan kegiatan PR. Setelah program disusun, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah komunikasi kepada semua bagian di perusahaan, khususnya kepada pimpinan. Salah satu contoh ketika PR memiliki program CSR melakukan penghijauan di kawasan Lippo Cikarang. Sebelum usulan program tersebut mendapat persetujuan, PR Lippo Cikarang melakukan konsolidasi dengan bagian-bagian lain di perusahaan yang dapat membantu kesuksesan program tersebut. Secara struktur setelah mendapat kesepakatan dengan direksi yang berhubungan, langkah berikutnya adalah mengkomunikasikan kepada semua karyawan. Berikut ini kutipan wawancara dengan PR Lippo Cikarang, Ria Sormin : ―Saya juga menghandel CSR program, dimana sebelum kita melaunching itu ke publik disosialisasikan di perusahaan, ada dialog dengan pimpinan, direksi kemudian dibentuk tim, sampai kita mempunyai kelompok employee gerak penghijauan karyawan. Ada semacam satu gerakan penghijauan, kita melakukan gerak jalan, terdiri dari karyawan terlibat, kita memperkenalkan produk knowledge internal, kita memperkenalkan bagaimana secara internal ikut penghijauan, sehingga tumbuh kecintaan gerakan penanaman pohon di kalangan internal‖. Dari pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kekompakan karyawan dapat digunakan sebagai alat melakukan kegiatan bersama yang dapat mewujudkan citra bahwa karyawan Lippo Cikarang peduli dengan lingkungan melalui gerakan penanaman pohon. Melalui komunikasi internal yang baik, maka akan memberikan dampak eksternal yang positif bagi perusahaan. Salah satunya adalah meningkatnya kepercayaan publik terhadap program-program yang diselenggarakan oleh perusahaan. Seperti kegiatan penanaman pohon bersama semua karyawan Lippo Cikarang tersebut akan menghasilkan persepsi yang positif di mata publik luar. Dalam melakukan komunikasi yang efektif kepada seluruh karyawan, ada empat tahap yang bisa dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Cutlip dalam The Public Relations Handbook , antara lain sebagai berikut : Four stages of employment where effective communications are vital: (1) The start – attracting and inducting new employees, (2) The work – where instruction, news and job related information should be disseminated, (3) The rewards and recognition – promotions, special events, awards, (4) The termination – breakdown of equipment, layoffs, dismissals ( Theaker, 2004:165). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, empat tahap komunikasi yang efektif dilakukan kepada karyawan bisa dilakukan dari awal dengan memberikan informasi yang menark kepada karyawan baru, kemudian menyebarluaskan berita dan informasi kepada karyawan. Hal yang paling penting adalah dengan memberikan penghargaan kepada karyawan atas prestasi yang raih. Penghargaan bisa diberikan pada saat kegiatan promosi ataupun pada event khusus. Sebuah survei Towers Perrin pada Januari 2005 yang melibatkan 25.000 karyawan dari bermacam-macam industri di seluruh dunia, mendefinisikan komunikasi efektif dari perspektif karyawan adalah terdiri dari elemen-elemen berikut ini: pertukaran informasi yang terbuka dan jujur, materi-materi yang jelas dan mudah dimengerti, distribusi tepat waktu, sumber-sumber yang dapat Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
28
dipercaya, sistem umpan balik dua arah, demonstrasi yang jelas dari ketertarikan kepemimpinan senior pada karyawan, perbaikan terus-menerus dalam komunikasi, dan konsisten antar sumber. Idealnya, kedua departemen komunikasi korporat dan sumber daya manusia dalam perusahaan-perusahaan besar memiliki seseorang yang bertugas pada sistem komunikasi internal. Jika kepala departemen komunikasi korporat atau PR melapor kepada wakil direktur yang bertugas di bidang itu, dan kepala departemen sumber daya manusia kepada wakil direktur yang bersangkutan, masing-masing seharusnya memiliki hubungan garis putus-putus dengan wakil direktur di bidang lain. Perusahaan-perusahaan lain menempatkan para komunikator yang difokuskan kepada isu-isu sumber daya manusia, termasuk tunjangan dan pengalaman penerimaan karyawan baru. Dalam bidang komunikasi korporat atau PR, untuk menciptakan keberlangsungan antara strategi komunikasi umum dan yang berhubungan dengan SDM dan eksekusinya. Perusahaan-perusahaan besar dan multidivisi sering memiliki wakil-wakil sistem komunikasi internal di dalam setiap divisi yang melapor bersama kepada kepala staf untuk manajemen per divisi dan kepada departemen komunikasi korporat seluruh perusahaan. Idealnya, setiap divisi saling berbagai praktikpraktik terbaik dalam penyampaian pesan-pesan tingkat tinggi kepada para karyawan di bidang-bidang yang bersangkutan—mengerti akan kebutuhankebutuhan dan nuansa-nuansa tertentu dari karyawan, yang sebaliknya mempengaruhi baik konten maupun nada komunikasi (Argenti, 2010:215-216). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam menyampaikan pesan kepada seluruh karyawan di Lippo Cikarang, PR memanfaatkan jaringan komunikasi antara komunikator di setiap divisi. Dalam praktiknya, pesan yang disampaikan PR diteruskan kepada komunikator di setiap divisi, kemudian pesan disampaikan kepada karyawan lainnya. Sehingga semua karyawan mengetahui informasi baru yang terjadi di perusahaan. Untuk memperkuat penjelasan tersebut, berikut pernyataan Ria Sormin ketika diwawancarai, ―Kalau untuk menyebarkan pesan, saya cukup kasih tahu orang-orang yang biasa menyebarkan info ke teman-teman lain. Di setiap lantai saya sudah memiliki orang-orang yang bisa meneruskan informasi yang saya sampaikan. Melalui mereka, informasi lebih mudah tersebar luas ke semua karyawan‖ Selain dengan menggunakan metode tersebut, komunikasi dilakukan dengan menggunakan intranet di perusahaan. Perkembangan teknologi dengan munculnya internet sangat memudahkan penyebaran informasi kepada seluruh karyawan. Sehingga cara tersebut juga dilakukan agar informasi baru mudah tersebar secara luas. SIMPULAN Komunikasi internal dalam perusahaan sangat diperlukan untuk menjalin hubungan yang baik antara karyawan, antara pimpinan dengan karyawan dan seluruh stakeholders di perusahaan tersebut. Komunikasi internal yang dilakukan oleh Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk terbukti sangat efektif untuk mensukseskan kegiatan yang dilakukan. Keseragaman seluruh karyawan dalam memaknai suatu pesan merupakan kunci untuk menciptakan citra yang baik dan mempertahankan reputasi di mata publik secara eksternal. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
29
DAFTAR PUSTAKA Argenti, Paul. A. Diterjemahkan Putri Aila Idris. 2010. Edisi Kelima, Komunikasi Korporat. Jakarta: Salemba Humanika Cutlip, M Scott, Allen H. Center, Glen M. Broom diterjemahkan oleh Tri Wibowo. 2007. Efektif Public Relations Edisi kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikas. Jakarta: Prenada Media Group Miles, & Huberman, A.M. 1994. 2nd ed, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. Newbury Park: CA Sage Publications Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya O‘Hair, Dan, Friedrich, Gustav W, & Dixon, Lynda Dee diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S. 2009. Edisi Keenam, Strategic Communication in Business and The Professions. Jakarta: Prenada Media Group Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Punch, Keith F. 1998. Introduction To Social Research: Quantitative & Qualitative Approaches. London: Sage Publications dalam Pawito: Penelitian Komunikasi Kualitatif. 2007. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Theaker, Alison. 2004. The Public Relations Handbook. London: Routledge Wimmer, D Roger & Joseph R. Dominick. 2003. Seventh Edition, Mass Media Research. Canada: Wadsworth
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
30
ANALISIS PROMOSI DALAM UPAYA MEMPERKENALKAN POTENSI PARIWISATA KOTA BEKASI (Studi Kasus Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Kepariwisataan Kota Bekasi) Oleh Siti Khadijah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract The development in tourism has several impacts – supporting the society’s economic growth, preserving the cultural and art legacy, increasing the local revenue dan involving all stakeholders in synergy. Bekasi has tourism potential which can be seen from the availabilty and variety of tourism products such as family recreations, shopping arcades, historical tours, educational and cultural tours, and industrial tourism, but the number of local tourists visit is only 7.1% of the total Bekasi’s population number. Impact of tourism development has increased the welfare of the community, maintaining the cultural heritage and artistic heritage, increasing revenue (PAD) and involving all stakeholders in synergy. Bekasi has tourism potential, seen from the availability and variety of tourism products such as family recreation attractions, shopping malls, historical tours, educational tours and cultural and tourism industries, but the number of local tourists visit only 7.1% of the total population numbering 21 Bekasi thousand people. Lack of promotion and efforts to introduce tourism products Bekasi to tourists and local communities, has been a problem in developing local tourism. The result shows that Bekasi has the cultural and artistic heritage. However, the condition of the cultural site is not well-maintained. Bekasi City Government activities, particularly by promoting Bekasi Disporbudpar so far has not been maximized. Activities undertaken only 2 (two), which follows the exhibition organized by the election of brother Mpok APEKSI and Bekasi. The relationship between the promotion of Bekasi tourism with an increasing number of tourists visiting Bekasi is not significant. The number of local and foreign tourists do not show the numbers mean. Factors affecting the increase in tourism visits Bekasi is the unavailability of tourism products that can attract tourists both local and international. As a result, the tourism industry in Bekasi is slow. Key words : promotion, Bekasi tourism.
PENDAHULUAN Kota Bekasi sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta memiliki perkembangan yang cukup pesat. Beberapa indikator perkembangan, diantaranya (1) Daya dukung lingkungan, (2) Kependudukan dan (3) Perekonomian, (4) Pemanfaatan ruang, (5) Struktur pelayanan kegiatan kota, (6) Transportasi, (7) Sarana dan fasilitas dan pelayanan kota, (8) Utilitas, (9) Pembiayaan pembangunan, dan (10) Kelembagaan. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 31
Pengembangan kepariwisataan memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Pengembangan kepariwisataan memiliki dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, mempertahankan peninggalan warisan budaya dan seni, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan melibatkan seluruh stakeholders dalam suatu sinergitas. Secara umum terdapat beberapa permasalahan pengembangan perekonomian wilayah di Kota Bekasi terkait dengan pengembangan pariwisata antara lain (RIPDA Kota Bekasi, 2010:1) : 1. Pendapatan daerah dari sub sektor pariwisata di Kota Bekasi belum dapat diperhitungakan. 2. Pengembangan wilayah Kota Bekasi yaitu pembangunan JORR (Jakarta Outer Ring Road) sangat berdampak terhadap bangkitan jumlah pergerakan eksternal melalui Kota Bekasi yang akan berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata Kota Bekasi. 3. Kota Bekasi dalam konstelasi JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dapat terlihat dari fungsi kota sebagai bagian atau buffer city bagi perkembangan pusat Ibukota yaitu DKI Jakarta, sehingga dalam struktur ruang Kota Bekasi lebih cenderung untuk mendukung pusat DKI. Hal ini berdampak pada skala pelayanan Kota Bekasi yang cenderung berkembang dalam skala pelayanan dalam kota, sedangkan untuk pelayanan regional tetap akan tercakup dalam pelayanan DKI Jakarta. Padahal apabila melihat potensi yang ada di Kota Bekasi, skala pelayanan Kota Bekasi memungkinkan untuk berkembang menjadi skala pelayanan regional ataupun nasional sehingga secara otomatis Kota Bekasi akan menjadi pusat baru selain DKI Jakarta. 4. Kota Bekasi dalam konstelasi Jawa Barat menempatkan Kota Bekasi sebagai wilayah metropolitan BODEBEK (Bogor, Depok, Bekasi). Akan tetapi diketahui bahwa perkembangan Kota Bekasi lebih mengarah pada konstelasi perkembangan DKI Jakarta, sehingga dapat ―dikatakan‖ bahwa tarikan Kota Bekasi lebih erat ke dalam wilayah DKI Jakarta. Industri kepariwisataan merupakan salah satu sub sektor pembangunan yang secara terus menerus dikembangkan agar dapat dijadikan sebagai salah satu andalan kegiatan perekonomian Kota Bekasi yang dapat berimplikasi kepada kesejahteraan masyarakat lokal. Melihat kondisi pariwisata Kota Bekasi saat ini terlihat dari ketersediaan dan variasi produk wisata kota (urban tourism) seperti wisata rekreasi keluarga, wisata belanja, wisata sejarah, wisata pendidikan dan budaya serta wisata industri yang didukung prasarana dan sarana pariwisata yang memadai. Meningkatnya jumlah wisatawan ke Bekasi dari tahun ke tahun memberi optimisme tersendiri bagi pemerintahan Kota Bekasi, walaupun peningkatannya tidak signifikan. Pada tahun 2011 penduduk Kota Bekasi berjumlah 2.098.805 jiwa (Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 201/ http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/75), jumlah kunjungan wisatawan lokal hanya 7,1 % dari total penduduk Bekasi. Walau begitu Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Kepariwisataan tetap optimis karena Kota Bekasi pada tahun 2009 dikunjungi sebanyak 150-an ribu wisatawan nusantara (lokal) dan seribuan wisatawan mancanegara. Selama semester I 2010 meningkat 10 persen dibanding periode yang sama pada 2009. (Vibizdaily.com. Rabu, 16 Juni 2010) Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
32
Namun dibalik itu, terdapat permasalahan besar, seperti kurangnya promosi dan upaya memperkenalkan produk pariwisata Kota Bekasi kepada wisatawan dan masyarakat lokal, kurang berkembangnya pameran atraksi seni dan budaya, pemeliharaan dan pembinaan warisan budaya dan seni Betawi. Selain itu, kurangnya terjalinnya kerjasama dan komunikasi antar lembaga guna mendukung pengembangan kepariwisataan daerah. Dalam melakukan perjalanan wisata, umumnya motif seseorang untuk melakukan perjalanan adalah karena promosi yang ditampilkan dalam iklan dan promosi tersebut ditampilkan secara berulang-ulang kembali dalam semua brosur pariwisata dan katalog (Ross, 1998 :34) Pariwisata seyogyanya dapat berperan sebagai salah satu sektor yang mendorong kepada terwujudnya kualitas kota, antara lain melalui penguatan kualitas hubungan antar lembaga - antar stakeholders. Promosi dan pengembangan berbagai potensi pariwisata dengan segala fasilitas pendukungnya memerlukan upaya dan usaha dari berbagai pihak terutama instansi/lembaga pemerintah, swasta, dunia usaha dan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang pembangunan kepariwisataan, sehingga segala program dan kegiatan antar sektor tersebut dapat terpadu dan pelaksanaan kegiatan pembangunan kepariwisataan di Kota Bekasi dapat berjalan secara efisien dan efektif. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana kondisi dan potensi kepariwisataan yang terdapat di Kota Bekasi ? 2. Bagaimana konsep dan strategi pemasaran Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dalam memperkenalkan potensi pariwisata daerah Kota Bekasi dilihat dari marketing mix ? 3. Bagaimana strategi promosi Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dalam upaya memperkenalkan potensi pariwisata daerah Kota Bekasi ? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi meningkatnya kunjungan pariwisata Kota Bekasi dilihat dari promotional mix? Maksud dan Tujuan Adapun tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan potensi pariwisataan yang terdapat di Kota Bekasi ? b. Untuk mengetahui kegiatan Pemerintah Kota Bekasi, khususnya yang dilakukan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayan dan Kepariwisataan dalam mempromosikan Kota Bekasi ? c. Untuk mengetahui sejaumana hubungan antara promosi kepariwistaan Kota Bekasi dengan peningkatan jumlah kunjungan wisata Daerah Kota Bekasi? d. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi meningkatnya kunjungan pariwisata Kota Bekasi dilihat dari promotional mix?
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang merupakan upaya untuk menghasilkan data deskriptif. Metode ini dipilih, karena dalam Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
33
penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya (Rachmat Kriyantono, 2007:58). Dalam penelitian ini, peneliti terlibat langsung menentukan jenis data yang diinginkan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kota Bekasi, khususnya Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Kepariwisataan (Disporbudpar), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Dewan Kesenian Bekasi (DKB), Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA). Unit observasinya adalah individu, yang diambil berdasarkan teknik snowballing (Bungin, 2011: 138). Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kualitatif menggunakan metode pengamatan yang umumnya digunakan dari tradisi kualitatif yaitu (Bungin, 2011 : 77) : a. Data Primer Teknik pengumpulan data primer adalah dengan wawancara yang mendalam (in-depth interview) terhadap narasumber. Wawancara dilakukan dengan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Kepariwisataan Kota Bekasi, yang diwakili oleh bapak Krisman yang khusus menangani promosi pariwisata Kota Bekasi. Selain itu interview juga dilakukan kepada Ketua Dewan Kesenian Bekasi (BKD) bapak Ridwan, Sekretaris ASITA ibu Titin, PHRI ibu Rini. b. Data Sekunder Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan berupa literatur datadata tertulis yang sudah ada di Disporbudpar yang berkaitan dengan upaya promosi yang dilakukan oleh Disporbudpar. c. Observasi Teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan data yang berhubungan dengan strategi promosi Disporbudpar dalam memperkenalkan Kota Bekasi kepada wisatawan lokal dan Internasional. d. Dokumentasi Pendokumentasian berkaitan dengan strategi promosi yang dilakukan oleh Disporbudpar dalam upaya memperkenalkan Kota Bekasi, diantaranya brosur, buku Panduan Wisata, dan kegiatan lainnya. Analisis SWOT Sebagai Alat Formulasi Strategi Salah satu alat untuk menjabarkan strategi analisis promosi pariwisata adalah analisis SWOT. Analisis SWOT sebagai identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi promosi pariwisata Kota Bekasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses perumusan perencanaan strategis selalu berkaitan dengan mengembangkan strategi dan kebijakan yang dibuat (dalam hal ini strategi promosi pariwisata)
PEMBAHASAN Kebijakan Pengembangan Kepariwisataan Kota Bekasi Kota Bekasi memiliki kewenangan keluasan dalam melaksanakan berbagai aspek pembangunannya, namun di sisi lain Kota Bekasi mempunyai tanggung jawab yang semakin berat untuk membiayai pembangunan termasuk Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013 34
pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi. Kota Bekasi dalam mengembangkan kepariwisataannya memiliki arah yang terlihat dalam misi pariwisatanya, yaitu : a. b. c. d. e. a. b. c. d.
Citra destinasi wisata Penyebaran pertumbuhan kawasan pariwisata Partisipasi stakeholder Professional aparatur kelembagaan Kualitas SDM Sementara itu tujuan dari pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi adalah : Iklim kepariwisataan yang kondusif Pengembangan kualitas destinasi wisata Peluang investasi dan bisnis (usaha pariwisata) Meningkatkan daya saing pemasaran dan sistem manajemen informasi
a. b. c. d. e.
Pengembangan rencana induk pariwisata mencakup 5 komponen, yaitu : Aktraksi Wisata Promosi Infrastruktur Pelayanan Hospitality ( keramah tamahan )
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi terkait dengan penataan tata ruang kota, berdasarkan RT/RW terbagi atas (RIPDA Kota Bekasi 2010) : Gambar 1. Wilayah Pengembangan Kepariwisataan Kota Bekasi
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
35
Sedangkan pengklasifikasian area-area berpotensi wisata secara umum telah dibagi menjadi 11 (sebelas) bagian yang mencakup : 1. Cagar Cagar merupakan bukti peninggalan sejarah Kota Bekasi yang dapat menggambarkan kondisi Bekasi dari masa lampau. Bukti cagar budaya Kota Bekasi diantaranya (Buku Panduan Wisata Kota Bekasi 2010) : Tabel. 1 Cagar Budaya Kota Bekasi No Nama Cagar Budaya Alamat 1. Monumen Sejarah Perjuangan Kali Bekasi Jl. Juanda Kota Bekasi 2. Tugu Resolusi Masyarakat Kota Bekasi Jl. Veteran (Alun-Alun) 3. Gedong Papak Jl. Ir. H. Juanda 4. Sumur Badung Kel. Jati Raden 5. Sumur Binong Kel. Jati Raden 6. Sumur Batu Kel. Sumur Batu 7. Makan Mbah Kumpi Manis 8. Makan Mbah Raden Kel. Jati Raden 9. Tugu Jl. Agus Salim 2.
Budaya Keragaman seni daerah Bekasi seiring dengan beranekaragamnya etnis dan unsur budaya yang masuk ke daerah tersebut. Bukti masuknya unsur budaya pendatang dapat dilihat dari bentuk seni budaya yang ada, yaitu : a. Tari Topeng b. Kesenian Lenong c. Wayang Kulit d. Tanjidor e. Wayang Golek f. Kesenian Ujungan
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
36
g. Tradisi Berebut Dandang Rawa gede Rawa pulo Wisata heritage Taman festival Taman kota Wisata sungai Sport Sentra kerajinan Boneka Ecopark Permasalahan-nya adalah area-area berpotensi pariwisata tersebut belum optimal untuk konsumsi sebagai produk pariwisata dikarenakan belum mengindikasikan pengelolaan yang terpadu, sehingga pengembangan kepariwisataan akan menjadi suatu tantangan besar dalam mengintegrasikan kepengelolaan antara kepentingan instansi atau lembaga lintas sektoral termasuk dengan para stakeholders pariwisata (pengusaha, LSM, dan masyarakat). Dari paparan diatas memperlihatkan bahwa rencana pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi telah disusun dengan cukup baik sehingga dapat dibuat strategi yang tepat dalam rangka pembangunan Kota Bekasi ke arah yang pengembangan kepariwisataan. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Upaya Promosi Kota Bekasi Melalui Bauran Pemasaran 1. Product Promosi pariwisata tidak terlepas dari produk pariwisata yang ditawarkan. Produk pariwisata merupakan bagian penting dalam bauran pemasaran (marketing mix). Sebelum promosi dilakukan, syarat yang harus dipenuhi adalah ketersediaan produk. Produk wisata berupa barang dan jasa yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dalam berwisata. ―Pengalaman‖ yang dirasakan oleh wisatawan merupakan oleh-oleh ketika ia berada dalam wilayah destinasi wisata. ―Pengalaman‖ tersebut diperoleh melalui atraksi wisata, aktivitas yang dilakukan, fasilitas yang digunakan, aksebilitas yang ditempuh selama berwisata, paket wisata yang ditawarkan serta pendukung lainnya terkait dengan kegiatan wisata. Hal-hal tersebut diatas merupakan produk wisata yang sangat vital untuk menunjang promosi kepada ―user”. Kota Bekasi sendiri telah merumuskan pengembangan produk pariwisata yang dibagi atas 3 (tiga) wilayah pengembangan, yaitu : 1. Wisata Budaya (Culture Tourism) Creative Spectacles yaitu tontonan pertunjukan yang menarik Creative Space yaitu ruang budaya yang menarik Creative Tourism yaitu aktivitas budaya interaktif 2. Wisata Edukasi (Education Tourism) Agro Tourism Farm Tourism Education Park Eco Park 3. Sport Tourism Sport Spectacles yaitu tontonan olahraga Active sport, yaitu kegiatan olahraga bagi wisatawan Sport appreciation yaitu pengumpulan memorabilia atau museum olah raga Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
37
Berikut gambaran produk wisata yang ditawarkan oleh Pemda Kota Bekasi melalui buku Panduan Wisata Kota Bekasi: Gambar 2. Rumah Tradisional di Jalan Raya Hankam Pondok Melati
Potensi wisata budaya, khususnya di kawasan Kota Bekasi bagian Selatan memiliki keragaman diantaranya rumah tradisional Betawi. Kehidupan masyarakatnya yang religi dan sistem kekerabatan yang masih kuat, karena umunya masih satu suku yaitu suku Betawi. Gambar 3. Kondisi GOR Kota Bekasi
Saat ini Pemda Kota Bekasi tengah membangun GOR yang berada di Jalan Ahmad Yani. GOR tidak hanya dijadikan sebagai tempat olah raga, tetapi juga sekaligus tempat wisata keluarga, karena biasanya pada hari libur GOR banyak dikunjungi oleh penduduk Kota Bekasi membawa serta keluarga.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
38
Gambar 4. Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bekasi
Pusat perbelanjaan menjadi salah satu produk wisata yang banyak dikunjungi oleh penduduk Kota Bekasi, karena kurang tahunya masyarakat tentang produk wisata lainnya. Metropolotan Mall merupakan Mall yang memiliki letak cukup strategi berada ditengah kota dan dapat ditempuh oleh semua kendaraan dari berbagai penjuru. Selain itu juga letaknya bersebelahan dengan Hotel terbesar di Kota Bekasi. Gambar 5. Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi dan Lingkungan Sekitar
Monumen ini didirikan pada tahun 1975 pada masa pemerintahan Bupati Abdul Fatah, dan diresmikan oleh Gubernur Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat. Monumen ini melambangkan perjuangan yang gigih dan patriotisme yang
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
39
tinggi bangsa Indonesia dalam memperjuangkan daerah front perjuangan di daerah Bekasi, sehingga monumen ini disebut " Tugu Perjuangan Rakyat di Bekasi ", karena di wilayah Bekasi berbagai penjuru pejuang datang dari wilayah lain berkumpul dan berjuang mempertahankan. 2. Place Selain menciptakan produk yang menarik untuk dikunjungi oleh user, tempat yang menarik, mudah dijangkau menjadi pertimbangan bagi wisatawan atau user. Lokasi Kota Bekasi yang relatif dekat dengan pusat industri Kabupaten Bekasi dan Ibukota Jakarta yang secara umum mudah dijangkau dengan jalan darat. Hal ini menjadikan jalur, jadwal dan kapasitas angkutan darat akan sangat mempengaruhi pertumbuhan wisatawan nusantara ke Kota Bekasi. Namun disi lain fasilitas berupa sarana dan prasarana berupa jalan, terlihat tidak begitu baik. Susana kemacetan dan kondisi ruas jalan terlihat berlobang. Gambar 6. Suasana Kemacetan Ruas Jalan Kota Bekasi
Gambar menunjukan kemacetan dibeberapa lokasi di Kota Bekasi, seperti Kawasan bekasi Utara, Medan Satria, dan Bekasi Barat. Kemacetan menyebabkan banyak waktu habis terbuang dan lelah sebelum sampai ke tujuan wisata. Kemacetan terjadi di kawasan industri dekat jalan raya. Hal ini terjadi karena banyak kendaraan berbeban berat melewati jalan sehingga menimbulkan kemacetan dan kerusakan jalan seperti di Bekasi Utara, perbatasan antara Bantar Gebang dan Mustika Jaya, Bekasi Barat, Medan Satria. Selain kondisi jalan dan kemacetan lalulintas, belum tertibnya tempat pemberhentian kendaraan menyebabkan kemacetan dan jalan menjadi semerawut. Hal ini perlu diperhatikan mengingat jalan merupakan aksesibilitas menuju tempat destinasi wisata. 3.
Price Umumnya produk-produk wisata yang ditawarkan oleh pemda yang tertuang dalam ―Buku Panduan Kota Bekasi‖ tidak memperlihatkan harga. Namun demikian dari pengalaman peneliti dan masyarakat Kota Bekasi produk wisata yang ditawarkan tidaklah terlalu mahal, melainkan terjangkau.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
40
Bahkan wisatawan dapat melihat beberapa cagar budaya, seperti Gedong tinggi, papak, tanpa dipungut biaya. Tidak ada harga yang spesifi yang tercantum secara resmi untuk produk wisata yang ditawarkan. 4.
Promosi Berdasarkan hasil interview dengan Disporbudpar jumlah kunjungan wisatawan pada saat ini belum signifikan bila dikaitkan dengan promosi pariwisata. Kunjungan wisatawan tidak sepenuhnya hasil adanya program promosi pariwisata, namun disebabkan pada keingintahuan wisatawan yang besar terhadap Kota Bekasi dengan sumber informasi yang diupayakan sendiri, mengingat masih terbatasnya ketersediaan informasi pariwisata Kota Bekasi. Selain itu minimnya petunjuk arah tentang keberadaan tempat wisata dan minimnya sarana informasi bagi wisatawan menyebabkan banyak masyarakat tidak mengetahui keberadaan tempat wisatawan. Penduduk Kota Bekasi yang kebanyakan bukan pendududuk asli tentu tidak mengetahui produk wisata berupa peninggalan sejarah seperti gedung tinggi, gedung cibuaya dan lain sebagainya. Saat ini upaya promosi yang dilakukan oleh Porbudpar diantaranya : 1. Buku Panduan (guide book) Wisata Kota Bekasi. Tidak terdapat materi tercetak seperti brosur, leaflet, folder, tourist map, display material yang dipajang di hotel-hotel. 2. Event rutin berskala nasional. Event yang diikuti berupa pameran rutin yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Pada pameran tersebut biasanya dilaksanakan Indonesia City Expo berupa pameran kerajinan tangan khas Bekasi seperti kerajinan kulit kerang, boneka, juga memperkenalkan kuliner khas daerah. Tempatnya terselenggaraan event setiap tahunnya selalu berpindah-pindah. 3. Event berskala lokal yang diselenggarakan oleh Disporbudpar yaitu yang ―Pemilihan Abang Mpok Kota Bekasi‖. Event ini diselnggarakan pada bulan Juni sampai dengan Juli. Abang Mpok diseleksi melalui penjurian yang ketat dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Namun event rutin yang diselenggarakan setiap tahun ini belum mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan Kota Bekasi apabila pemanfaatan Abang Mpok belum maksimal.
Promosi dan pengembangan berbagai potensi pariwisata dengan segala fasilitas pendukungnya memerlukan upaya dan usaha dari berbagai pihak terutama instansi/lembaga pemerintah, swasta, dunia usaha dan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang pembangunan kepariwisataan, sehingga segala program dan kegiatan antar sektor tersebut dapat berjalan sinergis. Belum terjalinnya komunikasi dan kerjasama antar lembaga menghambat laju pertumbuhan sektor industri. ASITA (Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies), PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), selama ini belum diajak untuk duduk bersama dalam membuat program berupa event lokal yang memperkenalkan pariwisata Kota Bekasi baik untuk masyarakat lokal maupun luar. Informasi wisata biasanya didapat dari Biro/ Agen perjalanan
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
41
wisata yang mulai berkembang di Kota Bekasi dan Beberapa hotel. Hasil interview peneliti dengan ASITA dan PHRI memperlihatkan bahwa lembaga yang terkait dengan kepariwisataan Kota Bekasi juga tidak memperlihatkan keseriusan dalam mempromosikan Kota Bekasi. Hal ini disebabkan karena produk pariwista Kota Bekasi kurang menarik. Umumnya wisatawan yang berkunjung hanya ditawarkan wisata belanja. Package tour harusnya bisa menjadi solusi alternatif promosi bekerjasama antara Pemda, BKD, ASITA, dan PHRI. Jalinan kerjasama dengan PHRI dapat menyajikan atraksi budaya apabila kedatangan tamu rombongan. Tari Topeng, Wayang Golek Ajen, bisa dijadikan alternatif atraksi yang mengangkat seni dan budaya lokal di hotel-hotel Kota Bekasi. Namun sebelum membuat Package tour terlebih dahulu harus diperbaiki dan diciptakan produk pariwisata, selain itu juga penyediaan fasilitas dan infrastruktur menjadi catatan penting. Analisis SWOT Salah satu alat untuk menjabarkan strategi analisis promosi pariwisata adalah analisis SWOT. Analisis SWOT sebagai identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi promosi pariwisata Kota Bekasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Dengan perincian sebagai berikut: 1. Kekuatan (Strength) • Aksesibilitas ke Jakarta relatif lancar • Kawasan industri terbesar di Asia Tenggara • Penyangga Ibu Kota Jakarta • Memiliki produk seni dan budaya yang menarik • Kuliner bercita rasa tinggi • Lonjakan jumlah penduduk cukup besar 2. Kelemahan (Weakness) • Kurang terpeliharanya produk wisata Kota Bekasi berupa peninggalan warisan sejarah budaya • Masih kurangnya jalinan kerjasama dan komunikasi antar lembaga baik sesama Dinas, PHRI dan ASITA serta lembaga terkait • Komitmen Pemda belum mendukung pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi • Promosi kepariwisataan belum berjalan optimal • Fasilitas pendukung pariwisata masih minim 3. Peluang (Opportunities) • Program Visit Indonesia 2008 wajib dijalankan oleh semua daerah • Dikenal dunia internasional sebagai daerah industri • Integrasi Kepariwisataan sekitar wilayah Jabodetabek 4. Ancaman (Threats) • Produk pariwisata dari luar lebih kompetitif • Isu keamanan dan kenyamanan berwisata (ancaman terorisme) • Alasan datang ke Bekasi karena bisnis semata
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
42
• Waktu kunjungan Wisatawan relatif pendek Tabel 2. Analisis SWOT Internal Strenghtness Weakness (Kekuatan) (Kelemahan)
Aksesibilitas Ke Jakarta relatif lancar
Kawasan industri terbesar di Asia Tenggara
Penyangga Kota Jakarta
Ibu
Memiliki produk seni dan budaya yang menarik
Kuliner bercita rasa tinggi
Lonjakan penduduk besar
Kurang terpeliharanya produk wisata Kota Bekasi berupa peninggalan warisan sejarah budaya Masih kurangnya jalinan kerjasama dan komunikasi antar lembaga baik sesama Dinas, PHRI dan ASITA serta lembaga terkait Komitmen Pemda belum mendukung pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi Promosi kepariwisataan belum berjalan optimal Fasilitas pendukung pariwisata masih minim
Eksternal Opportunity Threat (Peluang) (Ancaman)
Program Visit Indonesia 2008 wajib dijalankan oleh semua daerah
Produk pariwisata dari luar lebih kompetitif
Dikenal dunia internasional sebagai daerah industri
Isu keamanan dan kenyamanan berwisata (ancaman terorisme)
Integrasi Kepariwisataan sekitar wilayah Jabodetabek
Alasan datang ke Bekasi karena bisnis semata
Waktu kunjungan Wisatawan relatif pendek
jumlah cukup
Tabel 3. Penentuan Bobot dan Rating Kota Bekasi SWOT
ANALISIS LINGKUNGAN
Skala Share Bobot
Rating
Skor
INTERNAL Kekuatan (S)
Aksesibilitas Ke Jakarta relatif lancar Kawasan industri terbesar di Asia Tenggara Penyangga Ibu Kota Jakarta Memiliki produk seni dan budaya yang menarik Kuliner bercita rasa tinggi Lonjakan jumlah cukup besar
penduduk
4
18,18
0,09
3
0,27
4
18,18
0,09
3
0,27
4
18,18
0,09
4
0,36
3
13,64
0,07
3
0,20
3
13,64
0,07
3
0,20
4
18,18
0,09
4
0,36
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
43
Kelemahan
(W)
Total Kurang terpeliharanya produk wisata Kota Bekasi berupa peninggalan warisan sejarah budaya Masih kurangnya jalinan kerjasama dan komunikasi antar lembaga baik sesama Dinas, PHRI dan ASITA serta lembaga terkait Komitmen Pemda belum mendukung pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi Promosi kepariwisataan belum berjalan optimal Fasilitas pendukung pariwisata masih minim Total
22
100,00
0,50
20
1,68
4
20,00
0,10
4
0,40
4
20,00
0,10
4
0,40
4
20,00
0,10
4
0,40
4
20,00
0,100
4
0,40
4
20,00
0,100
4
0,40
20
100,00
0,50
20
2,00
Peluang pasar bebasa ASEAN pada tahun 2015 Dukungan pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata Integrasi Kepariwisataan sekitar wilayah Jabodetabek
3
33,33
0,17
3
0,50
3
33,33
0,17
3
0,50
3
33,33
0,17
4
0,67
Total Produk pariwisata dari luar lebih kompetitif Isu keamanan dan kenyamanan berwisata ancaman terorisme) Alasan datang ke Bekasi karena bisnis semata Waktu kunjungan Wisatawan relatif pendek Total
9
100,00
0,50
10
1,67
4
30,77
0,15
4
0,62
3
23,08
0,12
3
0,35
3
23,08
0,12
3
0,35
3
23,08
0,12
3
0,35
13
100,00
0,50
13
1,65
EKSTERNAL
Peluang (O)
Ancaman
(T)
Rating Kekuatan dan Peluang Sangat berpengaruh = 4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2 Tidak berpengaruh = 1
Rating Kelemahan dan Ancaman Sangat berpengaruh =4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2 Tidak berpengaruh = 1
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
44
conservative
agressive
2.0 1.0 0.0
O
W
S T
diversive
defensive
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa strategi kepariwisataan di Kota Bekasi berada dalam area depensive, artinya adalah strategi diatas dilakukan melakukan konsentrasi antara peluang dan Ancaman, sebagai berikut: Tabel 4. Strategi antara Peluang dan Kelemahan PELUANG (O) Peluang pasar bebas ASEAN pada tahun 2015 KELEMAHAN (W) Kurang terpeliharanya produk wisata Kota Bekasi berupa peninggalan warisan sejarah budaya Masih kurangnya jalinan kerjasama dan komunikasi antar lembaga baik sesama Dinas, PHRI dan ASITA serta lembaga terkait. Komitmen Pemda belum mendukung pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi Promosi kepariwisataan belum berjalan optimal Fasilitas pendukung pariwisata masih minim
Dukungan pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata
Integrasi Kepariwisataan sekitar wilayah Jabodetabek
Peningkatan Kulitas Promosi Pariwisata daerah yang berdaya saing Tinggi
Alokasi dana untuk pembangunan infstruktur kepariwisataan
Identifikasi potensi pengembangan destinasi pariwisata
Pengembangan kelembagaan kepariwisataan
Identifikasi potensi pengembangan destinasi pariwisata
Identifikasi potensi pengembangan destinasi pariwisata
Peningkatan Kemitraan Pariwisata antar lembaga
Pengembangan kelembagaan kepariwisataan
Pengembangan kelembagaan kepariwisataan
Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
Pengembangan SDM Kepariwisataan yang Profesional
Alokasi dana untuk pembangunan infstruktur kepariwisataan
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat ditetapkan beberapa strategi pengembangan promosi kepariwisataan sebagai berikut: 1. Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
45
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Alokasi dana untuk pembangunan infstruktur kepariwisataan Identifikasi potensi pengembangan destinasi pariwisat Pengembangan kelembagaan kepariwisataan Pengembangan SDM Kepariwisataan yang Profesional Peningkatan Kuliatas Promosi Pariwisata daerah yang berdaya saing Tinggi Peningkatan Kemitraan Pariwisata antar lembaga
Sebagai bagian rekomendasi dalam penelitian ini, menindaklanjuti kondisi dan strategi promosi keparwisataan di Kota Bekasi, maka dapat dirumuskan pengembangan kegiatan yang dapat dilakukan di Kota Bekasi, sebagai berikut:
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
46
Tabel 5. Matrik Program Kegiatan Pengembangan Promosi Kepariwisataan di Kota Bekasi NO
Strategi
Tujuan
Sasaran
Indikator Keberhasilan
KEGIATAN PENUNJANG Identifikasi Potensi Pasar Wisata di Kota Bekasi
1
Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Bekasi
Promosi destinasi dan Pembangunan infrastruktur
2 Alokasi dana untuk pembangunan infstruktur kepariwisataan
Meningkatkan kunjungan wisata melalui pengembangan destinasi wisata dan dukungan infrastruktur
Meningkatkan partisipasi investor dalam pembangunan infrastruktur kepariwisataan
Meningkatnya jumlah kunjungan wisata dan terwujudnya destinasi wisata baru
Untuk mengidentifikasi potensi dan mengambangkannya
Pembuatan Dokumentasi Wisata dan Budaya Kota Bekasi (Buku, Booklet, Film profil objek wisata, Brosur, Pamflet Dsb) Promosi Wisata Seni dan Budaya Daerah Bekasi
Meningkatnya investasi dalam bidang kepariwisataan
3 Identifikasi potensi pengembangan destinasi pariwisata
Meningkatnya pendapatan daerah dari sektor pariwisata dari pajak dan retribusi sebesar 15% / tahun
Tersedianya alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur kepariwisataan Tersedianya obyek Wisata di Kota Bekasi
Teridentifikasinya potensi dan destinasi pariwisata
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
Tersedianya Dokumen Perencanaan Kepariwisataan
47
Pelatihan Pemandu Wisata dalam mendukung Promosi Paket Wisata Daerah Tersedianya mapping plan produk wisata Kota Bekasi Identifikasi kebutuhan untuk pengembangan kepariwisataan Kota Bekasi Identifikasi Obyek Wisata dalam Rangka Pengembangan Paket Wisata Unggulan Daerah (Wisata Rekreasi, Wisata Olahraga, Wisata Belanja dsb.) Sebagai Pengembangan Kawasan Pariwisata (PKP)
Terlestarikannya budaya dan kesenian daerah yang ada di kota Bekasi
Pusat Wisata Kuliner FS Cagar Budaya (Jati Rangga, Jalan Mayor Oking) Pembangunan Gedung Pusat Promosi Pariwisata dan Budaya Bekasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kepariwisataan Pelestarian Fisik Benda Bersejarah Kota Bekasi Penyusunan Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya dan Benda Bersejarah Kota Bekasi Pembuatan Sistem Informasi dan Database Pariwisata Kota Bekasi
4
Pengembangan kelembagaan kepariwisataan
untuk meningkatkan peran dan partisipasi lembaga kepariwisataan
Meningkatnya peran dan partisipasi lembaga kepariwisataan
5
Pengembangan SDM Kepariwisataan yang Profesional
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM kepariwisataan
terpenuhinya kebutuhan SDM Kepariwisataan yang profesional
Terwujudnya pola kemitraan dan partisipasi masyarakat dan stakeholder dalam Pengembangan Kepariwisataan
Tersedianya SDM (Apartur, Pelaku Jasa Usaha Kepariwisataan) yang Profesional
Kajian Pengembangan Pariwisata dan Kebudayaan Potensial Kota Bekasi berbasis IT Fasilitasi Pembentukan kemitraan usaha profesi antar daerah dalam mendukung Pengembangan Budaya Lokal di Kota Bekasi Analisa Kebutuhan dan Model Pengembangan SDM Pariwisata (Apartur, Pelaku Pariwisata, dan Masyarakat) Sosilisasi Program Pengembangan SDM di Bidang Pariwisata Pelatihan SDM Bidang Pariwisata dan
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
48
Budaya Terpadu
6
Peningkatan Kualitas Promosi Pariwisata daerah yang berdaya saing Tinggi
7 Peningkatan Kemitraan Pariwisata antar lembaga
Meningkatkan kunjungan wisata melalui peningkatan kualitas promosi
Meningkatnya jumlah kunjungan wisata dan terwujudnya pariwisata daerah berdaya saing tinggi
Untuk meningkatkan kesadaran dan sense of belonging antar lembaga yang terkait dengan kepariwisataan
Meningkatnya kesadaran dan sense of belonging antar lembaga yang terkait dengan kepariwisataan
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
Meningkatnya pendapatan daerah dari sektor pariwisata dari pajak dan retribusi sebesar 15% / tahun
Pemberdayaan Pedagang Kecil dan Menengah melalui Peningkatan SDM, Akses pasar dan Kemitraan Usaha Pengembangan Pusat Informasi Paket Wisata Unggulan Daerah berbasis IT Kampanye dan Sosilisasi Sadar Wisata
Meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi Pertemuan rutin antar lembaga terkait Terwujudnya peran serta masyarakat dan stakeholder dalam mengembangkan Kepariwisataan Kota Bekasi
49
Silang ide antar lembaga dalam mengembangkan kepariwisataan Kota Bekasi
50 SIMPULAN a.
b.
c.
d.
Potensi pariwisata Kota Bekasi telah ada melalui peninggalan cagar budaya dan seni. Hanya saja kondisi cagar budaya dan seni tidak terawat dengan baik, bahkan terkesan terabaikan. Sudah ada program dari pemerintah terkait dalam menciptakan produk pariwisata Kota Bekasi, tetapi komitmen dalam pelaksanaannya belum ada. Kegiatan Pemerintah Kota Bekasi, khususnya yang dilakukan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayan dan Kepariwisataan dalam mempromosikan Kota Bekasi sejauh ini belum maksimal. Kegiatan yang dilakukan hanya 2 (dua), yaitu mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh APEKSI dan pemilihan abang mpok Kota Bekasi. Hubungan antara promosi kepariwistaan Kota Bekasi dengan peningkatan jumlah kunjungan wisata Daerah Kota Bekasi belum signifikan. Jumlah wisatawan lokal maupun luar tidak menunjukan angka yang berarti. Tidak ada catatan resmi berapa jumlah pasti wisatawan yang berkunjung ke Bekasi. Hal ini menunjukan perhatian Pemda terhadap pengembangan kepariwisataan daerah kurang serius. Bahkan Pemda Kota Bekasi sendiri menyatakan bahwa belum ada masukan yang signifikan antara industri pariwisata Kota Bekasi dengan PAD Kota Bekasi Faktor yang mempengaruhi meningkatnya kunjungan pariwisata Kota Bekasi bila dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Pemda, adalah belum tersedianya produk pariwisata yang menarik bagi wisatawan sehingga menyebabkan perkembangan industri pariwisata di Kota Bekasi lamban. Sementara dari sisi promosi, belum optimal dilakukan oleh Pemda, khususnya Disporbudpar, karena itu tidak bisa dinilai faktor mana yang lebih berpengaruh.
DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta Bennet, MM. 1995. Marketing for Tourism. Prentice Hall Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Effendy, Onong Uchjana. 2000. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Gitosudarmo, Indriyono. 1995. Manajemen Pemasaran, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE Iriantara, Yosal. 2004. Manajemen Strategis Public Relations. Jakarta: Simbiosa Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
50
51 Kusmayadi, Sugiarto, Endar. 2000. Metodologi penelitian dalam bidang kepariwisataan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Maleong, Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Mill, Robert Christie. 2000. Tourism: The International Busuness. Jakarta: Rajagrafindo Persada Ross, Glenn F. 1998. Psikologi Pariwisata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Ruslan, Rosady. 2003. Manajemen Public Relations dan Media komunikasi, persepsi dan aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers Seaton, A.V and Bennet M.M. 1996. Marketing Tourism Products: Concepts, Issues, Cases. London: International Thomson Business Press Smith, P.R. 1993. Marketing Communications an Integrated Approach. Kogan Page Soekadijo. R.G.2000. Anatomi Pariwisata, Memahami Pariwisata Sebagai Sistematic Linkage, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Swastha,Basu. DH. 2000. Asas-Asas Marketing, Edisi III. Yogyakarta: Liberty Yoeti, Oka. A.1995. Pengantar Pariwisata. Jakarta: Angkasa
Sumber Lain Data Sosial Ekonomi BPS 2010 ww.kbr68h.com/berita/nasional/17285-kementerian-pariwisata-targetkan kunjungan-wisman-2012
8-juta-
Kompas, 5 Januari 2012 Vibizdaily.comRabu, 16 Juni 2010 http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
51
52 PROPAGANDA DALAM EDITORIAL MEDIA INDONESIA Oleh Winda Primasari Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Though it was introduced more than fifty years ago at the era of cold war, the term propaganda is still relevant to be discussed and studied further. The purpose of propaganda is still the same – to make the audience or mass receive all kinds of information produced by propagandist without any doubts and hestitations. The practice of propaganda nowadays is not restricted in the war domain but also in any social domains. This study tries to find out how the media use editorial page as a mean of propaganda and what kind of propaganda strategies used. With social semantic approach, it is revealed that the propaganda in media are conduceted in three ways; by creating a field of discourse that oppose the goverment and label it negatively; by involving high-rank tenor of discourse such as the Ministers and Secretary Generals; by applying hiperbolic, rhetoric and ironic mode of discourse to support the field and tenor of discourse. The propaganda strategies used are mostly name calling, glittering generality, bandwagon, and testimonial. Key words: Propaganda of the media, editorial, social semantic PENDAHULUAN Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan jenis media massa lainnya. Surat kabar biasanya memuat berita atau artikel yang dikategorikan berdasarkan tema-tema seperti sosial, humaniora, internasional, ekonomi, politik, teknologi, dan olah raga. Selain berita dan artikel, di dalam surat kabar juga terdapat kolom khusus untuk opini dan editorial/ tajuk rencana. Secara historis, kolom opini dan editorial tidak banyak dibaca kecuali topiknya kontroversial (Rolnicki, et al., 2008: 134). Seorang pembaca ketika berhadapan dengan surat kabar cenderung akan terfokus pada informasi utama jarang sekali langsung mencari dan membaca kolom editorial. Hal ini menyebabkan kebanyakan surat kabar tidak menaruh editorial pada halaman muka. Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah satu dari beberapa surat kabar nasional yang memilih menempatkan kolom editorialnya pada halaman depan. Sedangkan dalam format majalah, GetLife disebut sebagai majalah yang mengedepankan kolom editorial dengan nama ―Readmefirst‖. Kolom editorial tidak selalu hadir dengan nama editorial. Setiap media menamai kolom editorial sesuai dengan ciri khas dari media yang bersangkutan. Pada surat kabar, editorial diberi nama sebagai ―Tajuk Rencana‖ (Kompas) dan ―Tajuk‖ (Seputar Indonesia). Pemberian nama yang berbeda tidak hanya terdapat Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
52
53 pada surat kabar, tetapi juga pada majalah. Pada majalah editorial juga disebut sebagai ―Dari Kami‖ (Intisari), ―Prologue‖ (PC Media), ―Mata‖ (Mata Baca) dan ―Dari Meja Redaksi (Buletin Pillar). Meskipun masing-masing media cetak baik surat kabar maupun majalah memberikan nama yang berbeda-beda terhadap kolom editorial, pada dasarnya merupakan kata pengantar dari redaksi. Menurut Ensiklopedia Umum terbitan Yayasan Kanisius (1973) editorial adalah: ―Induk karangan (dalam surat kabar); berbeda dengan berita sebab mengandung pendapat.‖ Lebih lanjut dijelaskan pula mengenai tajuk rencana, yakni: ―Artikel dalam suratkabar yang mengemukakan pendapat suratkabar tentang sesuatu soal yang aktual pada waktu itu.‖ William G. Ward dalam buku Writing Editorial menjelaskan: ―Tajuk rencana menawarkan sebuah pendapat. Tujuannya memengaruhi pembaca agar menerima pendapat tersebut. Bila itu terjadi, penulis dan pembaca dapat menghimpun kekuatan untuk melakukan perubahan menghapuskan atau menghilangkan kesulitan atau melindungi suatu ‗status quo‘ atau keadaan yang tetap pada suatu waktu tertentu.‖ (A Shahab, 2008: 116). Berdasarkan dua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tajuk rencana atau editorial dalam surat kabar merupakan tulisan artikel yang mengemukakan pendapat atau garis kebijaksanaan dari surat kabar atau majalah mengenai suatu peristiwa yang penting dan aktual, terutama yang banyak menjadi perhatian pembaca. Oleh karena editorial adalah suara surat kabar, maka editorial memiliki tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan dari surat kabar. Philip I. Gayelin dalam buku The Editorial Page menjelaskan tujuan utama dari editorial adalah memberitahu, menjelaskan, bahkan mendidik pembaca mengenai hal-hal penting dari suatu kejadian/ peristiwa dan latar belakang terjadinya peristiwa tersebut berdasarkan sudut pandang surat kabar (A. Shahab, 2008: 118). Sementara Floyd G. Arpan seperti dikutip Drs. Rochady dalam buku Wartawan Pembina Masyarakat menuliskan bahwa ―fungsi tajuk rencana adalah melayani kebutuhan rakyat (pembaca) dan menghimpunnya untuk dibawa ke arah yang berguna.‖ (Ibid.). Dari sinilah dapat dipahami bahwa kehadiran editorial penting dan memberi warna atau ciri khas bagi surat kabar. Melalui editorial ini pula, media memiliki kesempatan untuk memengaruhi opini dan pemikiran masyarakat, khususnya pembaca mengenai isu atau peristiwa tertentu yang dibahas di dalam editorial. Hal lain yang perlu dicermati dalam editorial adalah adanya kecenderungan surat kabar untuk menggunakan kolom editorial sebagai alat propaganda. Propaganda dalam media massa ditujukan kepada kelompok atau organisasi tertentu bahkan pemerintah yang berkuasa. Tujuan utama dari propaganda adalah mempengaruhi sikap dan perilaku yang dijadikan sasaran propaganda. Propaganda menjadi efektif ketika diletakkan di dalam sebuah kolom yang memiliki tujuan yang sama. Melalui editorial dalam surat kabar, propaganda bisa dilakukan secara terang-terangan yang diintegrasikan ke dalam pemberitaan. Teknik propaganda secara terang-terangan ini disebut oleh William E. Daugherty dalam buku A Psychological Warfare Casebook sebagai White Propaganda Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
53
54 (propaganda putih) (Effendi, 2011: 164). Propaganda putih adalah propaganda yang diketahui sumbernya. Propaganda jenis ini dapat mudah ditemukan dalam media massa, baik dalam ajang kemiliteran, politik maupun ekonomi. Selain propaganda putih, beberapa media massa juga menerapkan propaganda hitam (black propaganda) dan propaganda kelabu (gray propaganda). Propaganda hitam adalah propaganda yang menunjukkan sumbernya, tetapi bukan sumber yang sebenarnya. Propaganda ini disebut juga sebagai covert propaganda (propaganda terselubung) ( Effendy: 2008, 164). Sedangkan propaganda kelabu adalah propaganda yang menghindari identifikasi, baik sebagai sumber yang bersahabat, maupun sebagai sumber yang mempunyai sikap permusuhan. Keefektifan propaganda melalui media cetak, khususnya surat kabar inipun diakui oleh Napoleon Bonaparte yang harus mengambil langkah-langkah khusus untuk membendung dan menghalangi propaganda melalui media (Nurudin, 2008: 35). Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, diantaranya: mengekang kebebasan dan melakukan sensor media, memenjarakan dan membunuh wartawan, mengurangi jumlah surat kabar yang beredar – dari 13 surat kabar menjadi 4, serta melarang pers mengkritik kebijakan pemerintah. Melihat adanya kecenderungan di dalam media cetak, khususnya surat kabar untuk menjadikan editorial sebagai alat propaganda untuk membentuk opini publik, maka penelitian ini memfokuskan pada bagaimana media cetak, khususnya surat kabar, melakukan praktik propaganda menggunakan kolom editorial/ tajuk rencana serta muslihat dan jenis propaganda apasajakah yang terdapat di editorial dalam menanggapi peristiwa yang terjadi di daerah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis isi berita dan istilahistilah yang digunakan dalam menanggapi konflik atau peristiwa di daerah yang digunakan sebagai bahan propaganda dan mengetahui muslihat propaganda media. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis lima editorial dari Surat Kabar Media Indonesia. Tema editorial yang dipilih oleh peneliti adalah tema-tema yang menggambarkan dan menghadirkan konflik ataupun peristiwa yang terjadi di daerah di luar Ibu kota Jakarta. Editorial ini dipilih oleh peneliti karena secara jelas menunjukkan propaganda yang dilakukan oleh media, khususnya surat kabar. Dengan mengangkat isu maupun peristiwa yang terjadi di daerah, media mencoba bertindak sebagai kelompok ―penekan‖ bagi pemerintah yang berkuasa. Berikut adalah kelima editorial yang digunakan dalam penelitian ini.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
54
55 Tabel 1. Daftar Editorial yang Dianalisis No Judul Editorial 1. Toleransi Kian Mahal
Edisi Sabtu, 31 Desember 2011
2.
Penjara yang Manusiawi
Sabtu, 25 Februari 2012
3.
Pembangkangan Kepala Daerah
Selasa, 3 April 2012
4.
Insiden LP Pekanbaru
Kamis, 5 April 2012
5.
Rakyat Papua Butuh Didengar
Rabu, 11 April 2012
Ringkasan Isi Editorial Editorial di akhir tahun ini menyoroti para pelaku kekerasan terkait isu kebebasan beragama yang terjadi di dalam wilayah negara Indonesia. Editorial ini menyikapi tentang kericuhan yang berakhir tragis di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, Bali. Kerusuhan dipicu ketidakpuasan narapidana atas penanganan keributan yang terjadi di LP tersebut. Editorial ini membahas tentang surat teguran yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Garmawan Fauzi kepada dua kepala daerah yang aktif berdemonstrasi menolak kenaukan harga BBM. Kedua kepala daerah ini adalah Wakil Walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono dan Wakil Walikota Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo. Editorial ini membahas tentang kelakuan negatif yang dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana saat mengunjungi LP Pekanbaru. Editorial ini menyoroti tentang rangkaian kekerasan yang terjadi di Papua yang telah membuat penduduk setempat kehilangan rasa aman.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
55
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan analisis semiotika sosial. Metode semiotik ini menghendaki pengamatan secara menyeluruh dari semua isi berita (teks), termasuk cara pemberitaan (frame) maupun istilah-istilah yang digunakannya. Peneliti diminta untuk memperhatikan makna antarbagian dalam teks itu dan koherensi teks dengan konteksnya. Karena itu dalam penelitian ini pun analisis dilakukan terhadap semua isi berita, termasuk judul, subjudul, istilah-istilah dan cara pemberitaan yang digunakan media yang dijadikan sampel. Seperti halnya dalam analisis wacana, pada umumnya ada tiga jenis masalah yang hendak diulas dalam analisis semiotik. Pertama, masalah makna (the problem of meaning). Bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang dikandung dalam struktur sebuah pesan? Kedua, masalah tindakan (the problem of action) atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga, masalah koherensi (problem of coherence), yang menggambarkan bagaimana membentuk pola pembicaraan masuk akal (logic) dan dapat dimengerti (sensible) (Littlejohn, 1996: 83-84). Dalam semiotik sosial, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual, yaitu: (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2000: 23) 1. Medan Wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (media massa) mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa. 2. Pelibat Wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya. 3. Sarana Wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip); apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar.
PEMBAHASAN Propaganda Media Propaganda dan media massa tidak dapat terpisahkan. Hampir setiap jam propaganda media memenuhi arus informasi utama masyarakat. Praktik propaganda melalui media di Indonesia tercatat mulai dilakukan sejak jaman kolonial. Saat pers mulai berkembang, pemerintah Belanda telah menguasai dan menggunakannya sebagai alat propaganda, salah satunya adalah melalui surat kabar Memorie Dex Nouvelles (Woodier, 2008: 145). Propaganda melalui media massa, baik cetak maupun elektronik sangat mungkin dilakukan karena karakteristik dari media massa yang mampu menjangkau khalayak luas dan mempengaruhi masyarakat lewat stimulusstimulus yang diberikan secara audio, visual maupun audiovisual. Philip Boardman (1978) dalam O‘Saughnessy (2004: 19) secara jelas menyatakan bahwa strategi propaganda saat ini semakin berkembang, tidak hanya sekedar retorika, tetapi juga lewat bahasa menggunakan simbol-simbol, bahasa dan mitos yang menciptakan makna baru yang dapat memanipulasi dan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
56
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu permasalahan. Lebih lanjut Boardman mengatakan propaganda bisa berupa ―...a White Paper, a Manifesto, an editorial, a book.” (O‘Saughnessy, 2004: 19). Propaganda bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti yang tercantum pada sebuah publikasi yang berjudul The Fine Art of Propaganda pada tahun 1963 (Effendy, 2008; 165). Muslihat propaganda ini terdiri dari tujuh jenis, sebagai berikut: a. Name calling (penggunaan nama ejekan) Ini merupakan suatu cara dengan jalan memberikan nama-nama ejekan kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras, dan lainlain agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kebenarannya. Sebagai contoh misalnya di dalam pemberitaan media massa seorang pemimpin partai disebut sebagai orang yang korup, plinplan, dan penjilat. b. Glittering generality (penggunaan kata-kata muluk) Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik name calling yakni menggunakan kata-kata muluk (virtue words) dengan tujuan agar khalayak menyetujui tanpa memeriksa kebenarannya. Sebagai contoh adalah penggunaan frasa ―Pulau Dewata‖ untuk menggambarkan Bali atau ―Pejuang Rakyat‖ untuk menggambarkan tokoh masyarakat yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. c. Transfer (pengalihan) Teknik transfer ini adalah cara propaganda dengan menggunakan autoritas atau prestise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu. Contohnya penggunaan gambar dan lambang Ka‘bah oleh salah satu partai politik. d. Testimonial (kutipan) Teknik testimonial ini adalah cara melancarkan propaganda dengan mengutip kata-kataa orang terkenal mengenai baik-tidaknya suatu ide atau produk. Teknik propaganda ini paling banyak digunakan dalam iklan, terutama produk terbaru. Sebagai contoh dalam salah satu iklan jamu, yang menyatakan bahwa orang pintar minum jamu tersebut. e. Plain folks (perendahan diri) Plain folks merupakan cara yang digunakan oleh seseorang untuk meyakinkan bahwa ia dan gagasannya itu baik karena ―demi rakyat‖. Teknik ini banyak digunakan dalam poitik untuk memikat simpati rakyat. Contoh: penyambung lidah rakyat dan abdi rakyat. f. Card stacking (pemalsuan) Teknik ini merupakan upaya untuk menutup-nutupi hal-hal yang faktual atau sebenarnya seraya mengemukakan bukti-bukti palsu sehingga khalayak dibuat terkecoh. g. Bandwagon (hura-hura) Teknik ini berupaya untuk mengajak khalayak beramai-ramai menyetujui suatu gagasan atau program dengan terlebih dahulu meyakinkan mereka bahwa sebagian besar kawan-kawan lain telah menyetujuinya. Ketujuh muslihat propaganda yang telah dijabarkan di atas, memiliki tujuan yang sama yakni membuat khalayak ―terbius‖ dan menerima segala bentuk informasi yang diterima tanpa perlu menyaring, mengkritisi dan mempertanyakan kebenaran atas fakta-fakta yang digunakan untuk menyusun Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
57
informasi maupun argumen dari agen propaganda, dalam hal ini media massa. Meskipun ditampilkan beberapa puluh tahun lalu, namun sampai saat ini masih relevan untuk digunakan sebagai referensi dalam membongkar praktik-praktik propaganda yang telah berkembang seiiring dengan kemajuan jaman. Selayang Pandang Media Indonesia Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada tanggal 19 January 1970. Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media Indonesia adalah Yayasan Warta Indonesia. Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha. Dihadapi dengan realitas ini serta didukung dengan kesadaran untuk terus maju, Teuku Yousli Syah selaku pendiri Media Indonesia menggandeng Surya Paloh, mantan pimpinan surat kabar Prioritas di tahun 1988. Dengan kerjasama ini, dua kekuatan bersatu : kekuatan pengalaman bergandeng dengan kekuatan modal dan semangat. Maka pada tahun tersebut lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru dibawah PT. Citra Media Nusa Purnama. Surya Paloh sebagai Direktur Utama sedangkan Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin Umum, dan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Sejarah panjang serta motto "Pembawa Suara Rakyat" yang dimiliki oleh Media Indonesia bukan menjadi motto kosong dan sia-sia, tetapi menjadi semangat pegangan sampai kapan pun. Sejak Media Indonesia ditangani oleh tim manajemen baru di bawah payung PT Citra Media Nusa Purnama, banyak pertanyaan tentang apa yang menjadi visi harian ini dalam industri pers nasional. Meski demikian, hal ini tidak membuat Media Indonesia gentar dalam mempertahankan eksistensinya dan menghadapi persaingan. Surya Paloh sebagai penerbit Harian Umum Media Indonesia, tetap gigih berjuang mempertahankan kebebasan pers. Wujud kegigihan ini ditunjukkan dengan mengajukan kasus penutupan Harian Prioritas ke pengadilan, bahkan menuntut Menteri Penerangan untuk mencabut Peraturan Menteri No.01/84 yang dirasakan membelenggu kebebasan pers di tanah air. Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, oleh Surya Paloh dipercayai untuk memimpin harian Media Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaff dipercaya sebagai Corporate Advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah : Direktur Utama dijabat oleh Lestari Moerdijat, Direktur Pemberitaan dijabat oleh Usman Kansong dan di bidang usaha dipimpin oleh Alexander Stefanus selaku Direktur Pengembangan Bisnis.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
58
Medan Wacana: Negara Alpa, Aparatur Arogan, Rakyat Menderita Berdasarkan analisis terhadap lima editorial mengenai peristiwa yang terjadi di daerah, ditemukan bahwa Editorial Media Indonesia berusaha menggambarkan peristiwa/ isu yang terjadi di daerah sebagai persoalan negara yang genting dan harus segera ditangani. Penggambaran ini terlihat dari beberapa medan wacana yang diusung. Pertama, editorial menuliskan peristiwa itu sebagai bentuk dari ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menangani dan mengawasi dinamika kondisi dan situasi di daerah. Ketidakmampuan pemerintah ini dituliskan secara tegas dan tampak jelas dengan menggunakan teknik propaganda name calling (penggunaan nama ejekan). Salah satu bentuk dari name calling dalam editorial berjudul Toleransi Kian Mahal adalah sebagai berikut: ―Maka, tidak mengherankan kalau masyarakat kita bukan saja tidak merasakan hadirnya negara, tapi lebih dari itu mereka kian melihat negara yang alpa akan tugas-tugasnya.” (MI, 31 Desember 2011). Selain teknik propaganda name calling, Media Indonesia juga menggunakan teknik plain folks (perendahan diri) dengan menuliskan kalimat yang menunjukkan salah satu tugas utama negara yakni melindungi rakyatnya seperti yang tertulis dalam Editorial berjudul Rakyat Papua Perlu Didengar: ―Harus tegas dikatakan bahwa tugas negara ialah memberi rasa aman kepada setiap warga. Negara terkesan lari dari tanggung jawab itu. Papua ialah contoh negara salah urus daerah berstatus otonomi khusus.” (MI, Rabu 11 April 2012) Selain ketidakmampuan negara, editorial MI juga menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah sebagai bentuk dari arogansi pemerintah pusat yang tercermin dalam perilaku pejabat pemerintahan pusat maupun organisasi milik pemerintah yang semena-mena, acuh, dan tidak bekerja secara maksimal. Hal ini dapat ditemukan pada pernyataan-pernyataan berikut: “...Itulah tugas yang mesti diemban Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dibentuk Presiden, yang hingga sekarang pun apa pekerjaan mereka tak terdengar.” (MI, Rabu 11 April 2012) “...Mendagri tidak punya kekuasaan memberikan sanksi, apalagi memecat kepala daerah di tingkat kabupaten/ kota yang dianggap membangkang...Pejabat pusat yang gemar main pecat kepala daerah tidak lebih dari upaya menyuburkan benih kekuasaan sentralistis.” (MI, Selasa 3 April 2012) “Membantah kelakuan negatif sepertinya sudah menjadi kebiasaan elite bangsa ini...kita khawatir tim pencari fakta itu tidak bekerja secara objektif. Kita khawatir tim pencari fakta kelak menarik kesimpulan yang menguntungkan Denny sebab perkara ini melibatkan pejabat negara...Penganiayaan terhadap petugas LP Pekanbaru jelas bukan semata persoalan pejabat yang overacting, melainkan pelanggaran hukum.” (MI, Kamis 5 April 2012) “Karena itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin tidak cukup hanya berdiri menunggu di emperan toko di seberang LP Kerobokan untuk menyelesaikan persoalan di LP secara lebih substantif.” (MI, Sabtu 25 Februari 2012) Guna mempertegas medan wacana arogansi pejabat, organisasi, serta pemerintah pusat digunakanlah teknik propaganda name calling, glittering generality dan bandwagon. Teknik name calling dapat ditemukan pada Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
59
penggunaan frasa ―membantahf‖ dan ―overacting” untuk mendefinisikan perilaku pejabat negara. Penerapan teknik glittering generality dapat dilihat pada pernyataan ―...membuka ruang dialog seluas-luasnya dan setulustulusnya.‖ Sedangkan teknik bandwagon digunakan oleh media dalam pernyataan ―itu harus dilawan!‖ dalam editorial edisi Selasa, 3 April 2012 dan ―Kalau unit itu gagal, kenapa tak dibubarkan saja?‖ dalam editorial edisi Rabu, 11 April 2012. Dengan ini media mencoba untuk mempengaruhi khalayak untuk tidak mempercayai pemerintah dan mengambil posisi oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, ada upaya dari media untuk membentuk opini publik bahwa pemerintahan yang berkuasa memiliki banyak kelemahan dalam menangani permasalahan bangsa. Medan wacana ketiga yang ditemukan adalah ketidakberdayaan dan kegelisahan rakyat yang tinggal di dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan mengenai penderitaan, kecemasan dan ketakutan rakyat adalah sebagai berikut: ―...Mereka (narapidana) mengamuk karena mendapat perlakuan diskriminatif dari petugas...negara harus membangun penjara baru agar narapidana dapat menjalani hukuman lebih manusiawi...kondisinya harus tetap layak agar narapidana tidak berubah menjadi individu yang lebih jahat.‖ (Editorial MI, Sabtu 25 Februari 2012) ―Cemas dan waswas karena hari-hari ini wajah Republik didominasi pentas kekerasan dan intoleran akut yang dipertontonkan oleh anak bangsa, khususnya oleh negara.‖ (Editorial MI, Sabtu 31 Desember 2012) ―Penduduk Papua kini telah kehilangan rasa aman untuk hidup di tanah leluhur mereka...setelah satu dekade otonomi khusus, justru terjadi peningkatan penduduk miskin...Bumi (Papua) yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan.‖ (Editorial MI, Rabu 11 April 2012) Teknik propaganda yang digunakan untuk mendukung wacana ―rakyat menderita‖ adalah name calling dan glittering generality dan plain folks. Kata dan frasa seperti ―mengamuk‖ untuk mendeskripsikan narapidana, ―pentas kekerasan‖ untuk mendeskripsikan Indonesia, dan ―intoleran akut‖ untuk mendeskripsikan warga dan negara merupakan bentuk name calling. Sedangkan teknik glittering generality terdapat pada frasa ―anak bangsa‖. Penerapan teknik name calling dan glittering generality ini semakin mempertegas bahwa Indonesia adalah negeri yang tidak aman karena baik negara maupun warganya merupakan orang-orang yang memiliki perilaku negatif dan pengumbar kekerasan. Oleh karena itu, rakyat pun menderita. Tabel 2. Ringkasan Medan Wacana “Pemerintah Alpa, Aparatur Arogan, Rakyat Menderita” Judul Editorial Toleransi Kian Mahal
Medan Wacana Teknik Propaganda Pemerintah belum Name calling bertindak tegas dalam (Penggunaan nama menangani tindakan ejekan) intoleran beragama dan Glittering generality berkeyakinan. (Penggunaan katakata muluk) Rakyat diliputi rasa cemas dan waswas
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
60
Penjara yang Manusiawi
Pembangkangan Kepala Daerah
Insiden Pekanbaru
LP
Rakyat Papua Perlu Didengar
dengan keadaan yang Bandwagon tidak menentu akibat hara) intoleransi bergama dan berkeyakinan. Kementrian Hukum dan HAM belum maksimal dalam mengawasi kondisi dan situasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni LP menjalani masa-masa hukuman dengan tidak manusiawi. Pejabat pemerintah pusat belum memahami hubungan pusat-daerah dan UU Nomor 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Arogansi pejabat pemerintah pusat yang membantah perlakuan negatif yang dilakukannya terhadap penjaga LP dan petugas LP lainnya. Pemerintah belum tegas memberikan sangsi terhadap pelaku kekerasan. Rakyat hidup tidak tenang dan diliputi keresahan.
(Huru-
Pelibat Wacana: Superior versus Inferior Dari kelima editorial, empat diantaranya memiliki sumber atau pelibat wacana yang dituliskan secara jelas. Media Indonesia mengutip dan menyebutkan sumber-sumber resmi yang dapat dipercaya, dari individu maupun kelompok/ organisasi. Sumber-sumber secara individu seperti Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana, Kakanwil Hukum dan HAM Riau Djoni Muhammad, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM Sihabudin, serta Petugas LP Pekanbaru Darso Sihombing dan Khoyril. Sedangkan sumber secara kelompok/ organisassi seperti the Wahid Institute, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pusat Statistik (BPS). Selain kedua sumber tersebut, argumen di dalam editorial Media Indonesia juga dibangun berdasarkan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semua sumber yang memiliki kedudukan atau posisi di pemerintahan ini digambarkan sebagai sosok yang superior dan memiliki sifat-sifat yang kurang baik seperti pengecut, arogan, berkuasa, semena-mena, dan acuh. Sebagai contoh, Wakil Menteri Hukum dan HAM digambarkan sebagai tokoh Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
61
elit yang gemar membantah kelakuan negatif yang dilakukannya serta kontroversial (Editorial MI, Kamis 5 April 2012). Sedangkan sumber yang tidak bertitel pejabat seperti petugas LP, digambarkan sebagai sosok yang lemah, teraniaya dan tidak berdaya namun berani melaporkan tindakan sewenang-wenang pejabat. Penyebutan sumber secara jelas dalam empat editorial mengindikasikan bahwa Media Indonesia menggunakan White Propaganda atau propaganda putih. Hal ini tentunya sesuai dengan etika jurnalistik yang mewajibkan media dan pekerja media untuk mencantumkan nara sumber yang dapat dipercaya. Akan tetapi, ada satu editorial berjudul ―Penjara yang Manusiawi‖ yang tidak menyebutkan nara sumber. Satu nama yang disebutkan namun diposisikan sebagai obyek dari sikap media adalah Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Hal ini menjadikan editorial berjudul ―Penjara yang Manusiawi‖ tergolong ke dalam jenis black propaganda atau propaganda hitam atau propaganda terselubung. Para pelibat wacana yang tercantum di dalam editorial memiliki peran penting untuk mendukung medan wacana yang dibangun oleh Media Indonesia bahwasanya pemerintah telah lalai dan lengah dalam menjaga keamanan, kesejahteraan dan kestabilan masyarakat di daerah apapun posisi dan kedudukan masyarakat di daerah tersebut. Tabel 3. Ringkasan Pelibat Wacana “Superior versus Inferior” Judul Editorial
Pelibat Wacana
Penggambaran sifat
Toleransi Kian Mahal
Penelitia n the Wahid Institute tidak disebutk an
Jujur, terbuka, Testimonial peneliti (Pengutipan)
Penjara yang Manusiawi Pembangka ngan Kepala Daerah
Menteri Dalam Negeri dan UU Nomor 32/ 2004 tentang Pemerint ahan Daerah Insiden LP Wakil Pekanbaru Menter i Hukum dan
Teknik Propaganda
Superior versus Inferior
Superior versus inferior
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
Jenis Propaganda White Propaganda (Propaganda putih) Black Propaganda (Propaganda hitam) White Propaganda (Propaganda putih)
White Propaganda (Propaganda putih)
62
Rakyat Papua Perlu Didengar
HAM Kakan wil Hukum dan HAM Direktu r Jendera l Lemba ga Pemas yarakat an Kemen kum dan HAM Menter i Hukum dan HAM DPR Petuga s dan Penjag a LP Pekanb aru Data Superior versus BPS Inferior Septemb er 2011 tentang pendudu k miskin di Papua dan Papua Barat.
White Propaganda (Propaganda putih)
Sarana Wacana: Gaya Bahasa Retoris, Hiperbolis dan Ironi O‘Saughnessy dalam bukunya Politics and Propaganda menyebutkan bahwa teks media tidak memiliki satu makna (2004; 26). Hal ini berarti bahwa teks di dalam media tersusun dari banyak makna yang saling berkesinambungan dan mendukung ide sentral satu sama lainnya. Untuk mendapatkan sinergitas makna maka Media Indonesia menggunakan gaya bahasa seperti hiperbolis, retoris, dan Ironi. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
63
Gaya hiperbolis mendominasi hampir keseluruhan isi dari editorial Media Indonesia. Tampaknya, hal ini sengaja dilakukan sebagai upaya untuk memprovokasi dan membangun emosi khalayak sehingga membuat khalayak terlena dan menerima pemikiran yang disampaikan secara apa adanya. Sedangkan gaya bahasa retoris dan Ironi frekuensi kemuculannya tidak sesering hiperbolis. Berdasarkan analisis, gaya bahasa retoris hanya terdapat pada dua judul editorial yakni ―Pembangkangan Kepala Daerah” dan ―Rakyat Papua Perlu Didengar”. Ironi terdapat pada editorial berjudul ―Rakyat Papua Perlu Didengar” dalam bentuk kalimat ―Bumi yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan.” Selain untuk memprovokasi dan membangun emosi khalayak, penggunaan gaya bahasa hiperbolis, retoris, dan ironi ini juga ditujukan untuk membentuk dan menegaskan citra atau labelisasi negatif terhadap para pelibat wacana: pemerintah, aparat, dan rakyat. Citra pemerintah yang ditampilkan adalah pemerintah yang tidak bertanggungjawab dan tidak bisa memimpin dengan baik. Pemberian label negatif terhadap pemerintah diperkuat dengan memberikan kata-kata dan frasa-frasa negatif pada aparat pemerintahan seperti ―membantah‖ dan ―gemar main pecat.‖ Sedangkan label negatif pada rakyat seperti ―narapidana‖, ―massa yang geram‖, ―rakyat tetap yatim piatu‖.
Tabel 4. Ringkasan Sarana Wacana: Gaya Bahasa Retoris, Hiperbolis dan Ironi Judul Gaya Bahasa Editorial Toleransi Hiperbolis Kian Mahal ―Kita songsong 2012 dengan menyisakan ruang kecemasan yang masih tetap lebar.‖ ―Peristiwa itu kian membuat menganga luka akibat cabikan laku intoleran di wilayah lain.‖ ―Rakyat tetap menjadi yatim piatu.” “Republik (Indonesia) didominasi pentas kekerasan dan intoleran akut yang dipertontonkan oleh anak bangsa, khususnya negara” Penjara Hiperbolis yang ―Penjara justru Manusiawi membuat perilaku
Peranan Bahasa Membentuk citra pemerintah, aparat dan rakyat. Membangun emosi khalayak. Memprovokasi khalayak. Menguatkan dan mempertegas medan wacana.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
64
Pembangka ngan Kepala Daerah
Insiden LP Pekanbaru
Rakyat Papua Perlu Didengar
kriminal lebih buruk.‖ Hiperbolis ―Pejabat pusat yang gemar main pecat kepala daerah tidak lebih dari upaya menyuburkan benih kekuasaan sentralistis.” Retoris “Itu harus dilawan!” Hiperbolis ―Membantah kelakuan negatif sepertinya sudah menjadi kebiasaan elite bangsa ini‖ Ironi ―Bumi yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan” Hiperbolis “Papua menjelma menjadi ladang pembunuhan‖ Negara lari dari tanggung jawab‖ “ruang dialog yang seluas-luasnya dan setulus-tulusnya” Retoris ―Kalau unit itu gagal, kenapa tidak dibubarkan saja?”
KESIMPULAN Media, disadari atau tidak, telah melakukan praktik propaganda. Praktik propaganda ini salah satunya dapat ditemukan pada kolom editorial yang berisikan opini atau sudut pandang media dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi. Melalui semiotika sosial yang terdiri dari medan wacana, pelibat wacana dan sarana wacana dapat dilihat bagaimana media, khususnya Media Indonesia melakukan propaganda. Jenis propaganda yang terdapat dalam editorial media berbentuk propaganda putih dan propaganda hitam dengan menggunakan muslihat propaganda name calling, glittering generality, dan bandwagon pada medan wacana, serta muslihat testimonial pada pelibat wacana. Dengan melakukan propaganda, media berupaya untuk membuat khalayak menerima ide-ide serta pandangan media yang tidak sejalan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
65
dengan pemerintah dan menegaskan posisi media sebagai ―penekan‖ pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro dan Erdinaya, Lukiati Komala. 2005. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Effendy, Prof. Drs. Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi – Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. Fifth Edition. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company. Littlejohn, Stehen dan Karen A. Foss. Ed. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California, USA: SAGE Publications. Nimmo, Dan. 2006. Komunikasi Politik; Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2008. Komunikasi Propaganda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. O‘Saughnessy, Nicholas Jackson. 2008. Politics and Propaganda. USA: The University of Michigan Press. Rolnicki, Tom. E, et al. 2008. Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastic Journalism), terj. Jakarta: Kencana Prenada. Shahab, A. A. 2008. Cara Mudah Menjadi Jurnalis. Jakarta: Diwan Publishing. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Woodier, Jonathan. 2008. Media and Political Change in Southeast Asia. UK: Edward Elgar Publishing Limited. Sumber lain Kuntjara, Esther. Eufinisme dan Bahasa Perempuan. faculty.petra.ac.id/estherk/EUFEMISME.doc (diakses 16 Mei 2012)
http://
Kurnia, RS. Editorial: Sekadar Pengantar. http://pelitaku.sabda.org/editorial_sekadar_pengantar_0 (diakses 15 Mei 2012). Anonim. Sejarah Singkat Media Indonesia. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/02/23/38398/11/11/Sejarah_Singka t (diakses 15 Mei 2012).
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
66
HAMBATAN KOMUNIKASI DALAM PERKULIAHAN (Studi Kasus Mahasiswa Universitas Islam “45” Bekasi) Oleh Kartini Rosmala D.K. Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Effective communication is communication in which between the source / communicator and the communicant has the same meaning. However, when communicating, noice occurs frequently. Thus, the shared meaning between communicator and communicant is distracted that leads to miscommunication. This study aims to analyze the noises occur in classroom where students and lecturers interact. The subjects of this study are students of communication department. The result shows that the noise is not only from the channel, as Weaver and Shannon’s Communication Model shown, but also from the internal and external factor of the communicants. The internal factors found in the students such as (1) Drowsiness: lack of sleep / tired from work or other activities (2) State of mood ( boredom, lazyness) (3) Personal problems (family, friends, or tasks), (4) Unorganized schedule, (5) Lack of confidence. As for the external factors come from the environment of the students such as noisy classroom and friends during the lesson. Key words: Communication, channel, noise PENDAHULUAN Miskomunikasi atau gagalnya komunikasi memang sering terjadi dalam komunikasi, baik komunikasi antarpribadi, kelompok/organisasi, ataupun media. Gagalnya komunikasi ini akan terlihat jelas ketika manusia melakukan interaksi atau komunikasi interpersonal/antarpribadi. Sebab dalam komunikasi antarpribadi, dapat mengetahui secara jelas hambatan apa saja yang menyebabkan miskomunikasi. Hal inilah yang banyak terjadinya konflik dalam komunikasi antarpribadi. Konflik tersebut terjadi oleh siapapun, dimanapun atau kapanpun. Khususnya di kalangan mahasiswa saat kuliah di Perguruan Tinggi, baik swasta maupun negeri. Pada saat kuliah terkadang mahasiswa memiliki hambatan/hambatan komunikasi dalam menerima materi yang disampaikan oleh dosen. Seperti rasa malas ataukah kurang/tidak fokus saat kuliah. Terkadang rasa malas ini timbul karena mood (suasana hati) yang muncul dalam diri atau bisa juga akibat rangsangan dari luar, misalnya saja dari dosen yang kurang jelas dalam memaparkan materi, sehingga mahasiswa merasa jenuh/malas/bosan dalam mengikuti kuliah. Tapi ada juga mahasiswa yang berusaha untuk mengikuti kuliah, baik waktu pagi, siang, atau sore/malam. Perasaan atau sikap inilah yang timbul dari mahasiswa ketika ada hambatan-hambatan komunikasi yang terhambatnya pesan (berupa materi kuliah) dalam komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Hambatan ini bisa karena faktor dari luar diri mahasiswa (lingkungan) atau bisa karena faktor dari dalam diri mahasiswa itu sendiri.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
67
Jika dilihat dari segi kajian komunikasi, penulis mengangkat komunikasi antarpribadi sebagai topik utama dalam tulisan ini. Karena komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pertanyaan menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal ataupun nonverbal (Mulyana, 2007:81). Selain itu juga, komunikasi antarpribadi tidak akan pernah terlepas dalam kehidupan sehari-hari baik saat berinteraksi dalam keluarga, lingkungan masyarakat ataupun dalam sebuah lembaga/instansi, baik pendidikan, politik, dll. Dalam penelitian ini, penulis lebih fokus pada penelitian di dunia pendidikan yaitu dunia kampus (kuliah). Karena kuliah adalah proses belajar dalam jenjang pendidikan lebih tinggi setalah tamat sekolah menengah atas. Proses kuliah ini akan menentukan mahasiswa bisa dibentuk menjadi lulusan terbaik dan berprestasi. Adapun pemilihan objek penelitian dilakukan pada mahasiswa Unisma (Universitas Islam ―45‖) Bekasi. Perguruan Tinggi (PT) ini, Unisma, dipilih karena salah satu Universitas tiga terbesar yang ada di Bekasi. Selain dari universitas Islam satu-satunya di Bekasi, Unisma juga adalah Perguruan Tinggi tertua di Bekasi. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui dan mengidentifikasikan hambatan apa saja yang menyebabkan kuliah terhambat dalam proses komunikasinya antara dosen dengan mahasiswa. Penulis juga ingin mengetahui bagaimana hambatan itu bisa terjadi, sehingga menghambat aktivitas kuliah. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menggali dan menganalisis proses komunikasi dengan menggunakan prespektif mekanistik. Perspektif ini menggali makna yang berfokus pada saluran. Saluran secara klasik ada dua medium yang menghadirkan pelbagai pesan dalam komunikasi antarmanusia, yaitu suara (audio) dan cahaya/sinar (yang menghantarkan penglihatan kita secara visual, teraba, dan tercium wujudnya) (Liliweri, 1994:15). Dalam proses komunikasi, perspektif tersebut menggunakan model Sahnon dan Weaver. Model ini akan diterapkan dalam komunikasi tatap muka antara dua orang yaitu pengirim dan penerima. Terlihat bahwa pengirim lebih dahulu mengkode pesan ke dalam unit bahasa ucapan yang diterima melalui gelombang suara kepada pesan-pesan itu. Sementara hambatan dalam model ini hanya terjadi pada saluran (Liliweri, 1994:85). METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat interpretatif (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam menelaah masalah penelitiannya (Mulyana, 2008:5). Sedangkan dalam mengumpulkan data penulis melakukan wawancara mendalam kepada mahasiswa Unisma Bekasi. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai (Bungin, 2011:111). Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hambatan komunikasi yang terjadi pada mahasiswa dalam aktivitas kuliah (studi kasus mahasiswa Unisma Bekasi).
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
68
PEMBAHASAN Konsep Dasar Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 2011:9). Jadi, dalam penegertiannya komunikasi adalah proses yang terus berlangsung dan dinamis menerima dan mengirim pesan dengan tujuan berbagi makna (Mulyana, 2009:76). Effendy (2011) menjelaskan dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, bahwa kalau ada dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Dapat disimpulkan bahwa Dr. Evert Kleinjan menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian kekal manusia seperti halnya bernafas, sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi. Khususnya komunikasi antarpribadi, yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal ataupun nonverbal (Mulyana, 2009: 81). Perpsektif Mekanisme Seperti dijelaskan di atas, bahwa komunikasi akan berjalan dengan lancar ketika antara pemberi pesan (komunikator) dan penerima pesan (komunikan) memiliki sama makna. Makna, sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih daripada sekedar penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak pemahaman – aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para komunikator. Akan tetapi, aspek kebersamaan itu tidaklah mesti menunjukkan bahwa semua peserta dalam proses komunikatif memiliki pemahaman yang identik tentang lambang atau pikiran-pikiran (atau apapun), namun pemahaman tertentu menjadi milik bersama mereka semua. Komunikasi yang ditinjau secara mekanistis adalah dalam saluran, secara logisnya itu berarti bahwa suatu bahasan mekanistis tentang makna tentu berfokus pada saluran. Saluran secara klasik ada dua medium yang menghadirkan pelbagai pesan dalam komunikasi antarmanusia, yaitu suara (audio) dan cahaya/sinar (yang menghantarkan penglihatan kita secara visual, teraba, dan tercium wujudnya) (Liliweri, 1994:15). Pesan pada saat penyampaian (misalnya, menyandi dari suatu pikiran) adalah suatu tempat yang praktis untuk memulainya. Karena itu, pandangan mekanistik mungkin saja menyatakan bahwa pesan pada satu titik saluran sebagai pikiran dapat saja mempunyai satu makna dan pada makna yang lain waktu disandi dan disampaikan sebagai pesan. Sudah tentu, hambatan dapat merusak tingkat kepercayaan atau kejelasan pada suatu titik manapun pada saluran – baik di luar maupun di dalam para komunikator. Perspektif mekanistis komunikasi manusia akan mengangap makna amat berbeda begitu rupa, sehingga setiap siklus komunikasi yang mekanistis Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
69
akan mengandung makna yang berlainan dari pesan yang sama. Paling tidak, makna yang majemuk ini akan mencakup: (1) makna pesan sebelum penyandian, (2) makna pesan yang disandi dan disampaikan, (3) makna pesan yang diterima, (4) makna pesan saat dialih sandi, (5) pesan penganggapan (yakni, umpan balik) sebelum disandi, (6) pesan itu disampaikan, (7) yang diterima, dan (8) yang dialih sandi. Makna pesan dalam perspektif mekanistis bergantung pada penyampaian/penerima pesan pada saluran. Masalah penyampaian informasi yang ditransformasikan itu dari suatu cara ke cara yang lain dan masalah hambatan (termasuk ―hambatan‖ salah tafsir) merupakan masalah yang secara langsung berasal dari titik berat perspektif mekanistis (Fisher, 1978:350-351). Dalam perspektif ini, Shanon dan Weaver menggambarkan dalam bentuk model transformasi informasi (lihat gambar 1). Model tersebut akan diterapkan dalam komunikasi tatap muka antara dua orang yairu pengirim dan penerima. Terlihat bahwa pengirim lebih dahulu mengkode pesan ke dalam unit bahasa ucapan yang diterima melalui gelombang suara kepada pesanpesan itu. Hambatan hanya terjadi pada saluran. Tujuan dari komunikasi semacam ini adalah mengalihkan pesan dari sumber kepada penerima dengan sedikit hambatan yang bisa terjadi (Liliweri, 1994:85). Gambar 1. Model Transmisi Informasi dari Shanon dan Weaver Sumbe r
Encode
Pesan Sumber : Liliweri (1994:85)
Salura n
Peneri ma
Decode
Ganggua n
Pesan
Keterangan: - Sumber : komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. - Encode : penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. - Pesan : pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. - Decode : pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. - Penerima : komunikan yang menerima pesan dari komunikator. - Saluran : dua medium yang menghadirkan pelbagai pesan dalam komunikasi antarmanusia, yaitu suara (audio) dan cahaya/sinar (yang menghantarkan penglihatan kita secara visual, teraba, dan tercium wujudnya). - Hambatan : hambatan yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
70
Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara kepada 20 mahasiswa Unisma Bekasi – secara acak tanpa melihat identitas secara spesifik – tentang hambatan yang terjadi pada mereka saat kuliah. Namun, disini penulis lebih spesifik pada tingkat semester yang diikuti mahasiswa pada semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012. Pada tingkatan ini, penulis mengklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu semester 2 (dua), 4 (empat), dan 6 (enam). Hasil wawancara Hasil identifikasi ini diwawancara 20 mahasiswa dengan 6 mahasiswa pada semester 2, 12 mahasiswa pada semester 4, dan 2 mahasiswa pada semester 6. Wawancara ini dilakukan secara personal, dengan mengajukan 16 (enam belas) pertanyaan, yang mencakup hambatan dalam aktivitas kuliah (belajar) dengan membagi dua hambatan yang terjadi, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal di sini dimaksudkan hambatan yang ada dalam diri mahasiswa itu sendiri dan dalam wawancara, penulis membuat 4 (empat) pertanyaan. Sementara hambatan eksternal adalah hambatan di luar dari dirinya dan penulis membuat 9 (sembilan) pertanyaan. Pada bagian 2 (dua) pertanyaan terakhir, penulis mengajukan pertanyaan lebih fokus terkait pengaruh dan mengurangi hambatan. Secara spesifik akan di jelaskan pada bagian hasil wawancara. Di bawah ini, penulis menganalisis hasil wawancara yang akan membagi tiga sub pembahasan. Pertama hambatan internal menurut tingkat semester, hambatan eksternal menurut tingkat semester, dan hambatan secara umum. A. Hambatan Internal 1. Tingkat Semester 2 Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa hambatan internal lebih banyak disebabkan karena malas dan tidak fokus. Faktor penyebab, diantaranya karena banyak tugas, kurang istirahat, bangunnya telat jadi malas untuk masuk kuliah. Ada juga karena masalah pribadi baik masalah keluarga ataupun masalah dengan teman se-kelas yang menyebabkan tidak fokus saat di kelas. Alasan terakhir karena faktor bekerja setelah pulang kuliah, sehingga harus membagi waktu untuk kuliah, mengerjakan tugas, dan bekerja. 2. Tingkat Semester 4 Pada tingkat ini, ditemukan bahwa dari 12 orang, satu diantaranya tidak memiliki masalah hambatan dalam diri (internal). Karena satu mahasiswa ini memiliki orientasi belajar yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh motivasi tersendiri yaitu dorongan orang tuanya, yaitu ibu. Sehingga pada saat kuliah memang harus serius dan fokus dalam mendengarkan dan memperhatikan dosen. Sementara dari 11 orang, satu diantaranya masalah terbesar dalam dirinya, yang membuat adanya hambatan-hambatan komunikasi saat kuliah (belajar), karena malu atau tidak percaya diri. Alasannya karena takut untuk berbicara di kelas dan menganggap dirinya tidak mampu melakukan apapun, sehingga lebih baik diam. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
71
Kemudian dari 10 orang, tiga di antaranya, beralasan malas kuliah sehingga tidak fokus, karena mood-mood-an atau tergantung moodnya. Kalo bagus mood-nya belajar bisa fokus, tetapi kalau lagi tidak mood, kurang atau tidak fokus. Faktor ini bisa menyebabkan jadi merasa cepat bosan di kelas dan mengantuk saat dosen menerangkan. Selain itu juga malas mengerjakan tugas. Dari 7 orang, satu orang memiliki alasan tersendiri, hambatan terbesar dalam dirinya ketika sedang datang bulan (haid), sehingga malas dan tidak fokus. Selain itu, juga tidak bisa mengatur waktu yang baik antara urusan kuliah dan banyaknya tugas dengan urusan di luar kuliah. Sehingga bingung untuk memulai atau mengerjakan yang mana terlebih dahulu. Adapun 6 orang sisanya, juga malas dan tidak fokus karena mengantuk. Alasannya hampir sama dengan mahasiswa semester 2, yaitu karena kurang tidur baik karena terbiasa tidur malam ataupun lelah karena aktivitas di luar kampus dan badan tidak fit (kurang sehat). Ada juga alasan lain, yaitu karena ada masalah pribadi, sehingga terus memikirkan pada saat kuliah ataupun melamun di kelas. 3. Tingkat Semester 6 Masalah hambatan dalam aktivitas belajar hanya dua, yaitu kurang tidur karena terbiasa tidur malam dan memikirkan masalah baik pribadi ataupun pekerjaan. Dari hambatan internal ini, dapat dirincikan sebagai berikut : 1. Ngantuk, faktor penyebabnya ada dua tingkatan. Tingkat pertama, yang paling banyak, yaitu karena kurang tidur. Terbiasa tidur malam dan mengerjakan tugas mendadak untuk keesokan harinya menyebabkan ngantuk di kelas. Tingkat kedua, alasanya karena lelah bekerja dan aktivitas organisasi di luar kampus. Pada tidak keduanya, dari 20 mahasiswa hanya 5 orang yang bekerja, sehingga hanya 25% hambatan pada saat kuliah karena lelah bekerja. Dari 20 mahasiswa hanya 1 orang (5%) lelah karena mengikuti organisasi di luar kampus. Sementara 73% sisanya karena faktor tingkat pertama. 2. Mood (suasana hati), alasan ini yang lebih banyak sifat malasnya, mulai dari masuk kuliah hingga mengerjakan tugas. Karena banyak sifat malasnya mengakibatkan tidak fokus secara otomatis saat kuliah. Dari 20 mahasiswa, 8 diantaranya beralasan ini, yaitu 40%. 3. Ada masalah, alasan ini disebabkan karena memikirkan pribadi, baik teman, keluarga, ataupun pekerjaan, sehingga tidak fokus. Presente yang diperoleh adalah 25%, ini dilihat dari 20 mahasiswa, 5 diantaranya beralasan ini. 4. Tidak bisa mengatur/memanaj waktu dan tugas/kewajiban, alasan keempat ini, lebih karena faktor banyaknya tugas, sehingga sulit mengerjakan dan tidak bingung untuk memulai pekerjaan yang mana dulu yang akan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
72
5.
dikerjakan. Yang pada akhirnya, tidak bisa mengatur waktu dengan baik dan tugas tertumpuk-tumpuk, serta mendadak dalam menyelesaikannya. Dari 20 mahasiswa, hanya 3 orang yang beralasan ini. Jika dipresentasekan menjadi 15%. Malu / tidak percaya diri (PD) persentasinya hanya 5%, karena dari 20 mahasiswa yang diwawancara hanya satu orang yang memiliki alasan ini.
Dari rincian di atas dapat disimpulkan ada tiga penyebab yang mendasar dalam hambatan komunikasi (internal), pada mahasiswa saat kuliah berlangusung: Tabel 1. Hambatan Internal Hambatan Penyebab Persentase Internal 1. Malas - Mengantuk karena kurang tidur 15 % (kebiasaan) - Tergantung Mood (suasana hati) 2. Tidak Fokus - Masalah pribadi (teman, keluarga, 20 % pekerjaan) - Lelah (bekerja & aktivitas organisasi di luar kampus) - Badan tidak fit (kurang sehat) - Banyak tugas 3. Malas & Tidak Fokus 50 % 4. Alasan Lain Malu / tidak PD 5% 5. Abstain : tidak ada alasan untuk tidak fokus dan malas atau 5% alasan apapun, karena oreintasinya fokus kuliah. Gambar 2. Hambatan Internal
5% 5%
15%
Malas 20%
50%
Tidak Fokus Malas & Tidak Fokus Malu/Tidak PD Abstain
B. Ganguan Eksternal Dalam wawancara, penulis membuat 10 pertanyaan tentang hambatan komunikasi secara eksternal (di luar diri) pada mahasiswa saat kuliah (belajar). Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
73
Pertanyaan pertama berupa pertanyaan tertutup dengan dua pilihan ―ya‖ dan ―tidak‖. Pertanyaan ini akan menentukan apakah akan dilanjutkan pada pertanyaan selanjutnya. Karena jika menjawab ―tidak‖, maka wawancara tidak diteruskan. Dari 20 mahasiswa semua menjawab ―ya‖. Dan pertanyaannya ini adalah apakah pada saat kulah juga ada hambatan eksternal. Pertanyaan selanjutnya, terkait dengan hambatan yang terjadi pada saat kuliah. Penulis membuat tujuh hambatan yang membuat adanya hambatan komunikasi saat belajar/kuliah, dianataranya yaitu: 1. Suasana kelas, hal ini terkait dengan ruangan, mulai masalah teknis (suhu atau AC) sampai teman di kelas yang membuat kelas jadi berisik. 2. Suasana di luar kelas, ini dilihat dari cuaca dan suasana lainnya seperti adanya mahasiswa lewat, diskusi/ngobrol sehingga berisik di luar kelas. 3. Waktu, ini dilihat dari jam kuliah, apakah kuliah pagi, siang, dan sore. 4. Dosen, ini dilihat dari bagaimana cara mengajarnya di kelas. 5. Materi, ini dilihat dari bahan atau teori/konsep yang diberikan kepada mahasiswa untuk dipelajari. 6. Teman kelas, artinya teman dengan satu mata kuliah yang sama. 7. Alasan lain yang menyebabkan hambatan internal/dalam diri terganggu, misalnya karena urusan keluarga, bentrok kuliah karena organisasi, pacar, dan administaris kampus. Dapat dirincikan hambatan eksternal di atas pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Hambatan Eksternal Penyebab
1.
2.
Hambatan Persentase* Eksternal Suasana Kelas - AC nya tidak menyala atau AC Terganggu = 80% nya terlalu dingin Tidak = 20% - Suasana berisik di kelas, khususnya kelas yang berjumlah mahasiswa penuh dalam kelas, apalagi mahasiswa yang duduk di bagian belakang - Suasana hening (terlalu diam), sehingga bingung apakah teman mengerti atau tidak
Suasana luar kelas
Ket: dari 20 mahasiswa hanya 4 orang yang menjawab tidak ada masalah dengan suasana kelas. di - Kalau hujan atau mendung buat Terganggu = 45% ngantuk dan malas kuliah. Tidak = 55% - Panas membuat tidak fokus, karena daerah asal sejuk,
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
74
sekalipun pada siang hari.
3.
Waktu
Ket: dari 20 mahasiswa hanya 11 orang yang menjawab tidak ada masalah dengan suasana di luar kelas. A. Waktu kuliah : A. waktu kuliah : 1. pagi : telat/kesiangan, malas 55% bangun pagi, dan karena tidur B. menunggu kelas malam. : 25% 2. Waktu siang : ngantuk, tidak C. tidak ada mood dan kurang tidur. Serta alasan: 20% konsentrasinya kurang, malas. 3. Waktu sore : malas, karena waktunya santai B. Menunggu kuliah terlalu lama dari kuliah pagi jam 8, harus menunggu kuliah siang jam 13.00, jadi malas dan bosan. C. Tidak ada masalah dengan suasana di luar kelas.
4.
Dosen
Ada dua hal yang menjadi A. Metode/cara hambatan pada saat kuliah: pengajaran : A. Metode/cara pengajaran : 70% 1. tidak jelas menerangkan B. Secara pribadi 2. dosen tidak memperhatikan tidak dilihat mahaiswa, hanya mengajar dari cara pada diri sendiri mengajarnya: 3. tidak interaktif hanya ceramah 20% saja C. Tidak ada 4. suaranya pelan masalah 5. cepat dalam menjelaskan dengan dosen: 6. menjelaskan di luar materi 10% 7. menggunakan bahasa yang sulit dimenengerti atau terlalu tinggi 8. menggunakan bahasa asing 9. terlalu tegang 10. terlalu tegas 11. kurang tegas 12. pelit nilai
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
75
13. tugasnya kurang paham 14. literatur sulit dicari 15. dosen tidak menguasai materi B. Secara pribadi tidak dilihat dari cara mengajarnya: 1. dosennya telat 2. jarang masuk 3. penampilan dosen yang kurang rapi
5.
Materi
6.
Teman kelas
7.
Alasan lain
Tidak ada masalah dengan dosen: dari 20 mahasiswa hanya 2 orang yang tidak ada masalah dengan dosen dalam mengajarnya, karena setiap dosen memiliki karakter dan gayanya masing-masing. 1. Materinya sulit dimengerti/kurang jelas/bahasa asing/tidak ada penjelasan dalam handout/tidak ada contoh 2. Referensi buku, bahasanya kurang dimengerti atau bahasa asing 3. Tidak ada masalah Alasannya: - diajak ngobrol/curhat atau teman bertanya saat dosen menerangkan - diajak telat masuk kelas oleh teman - karena sendirian pada saat kuliah, jadi malas masuk kelas dan lebih baik menunggu teman datang baru masuk kelas. - Berkelompok-kelompok di dalam kelas duduknya. Tidak ada alasan: Alasanya : - Suara handphone - Keluarga (masalah, membantu kerjaan di rumah, selisih paham
60%
25% 15% Ada alasan : 80% Tidak ada alasan : 20%
Alasanya : 50% Tidak ada alasannya : 50%
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
76
dengan orang tua) - Administrasi kampus - Pacar - Kendaraan - Lapar - Bentrok jam kuliah dengan kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Kampus Ket: dari 20 mahasiswa, separuh darinya tidak ada alasan untuk hambatan luar selain keenam hambatan sebelumnya. Ket: *Dihitung masing-masing hambatan dilihat dari 20 mahasiswa di setiap item.
Dari ketujuh alasan di atas, penulis mendapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Jika dilihat dari paling dominan/banyak hambatan komunikasi secara eksternal saat kuliah, maka ditemukan tiga alasan yang dipilih oleh mahasiswa : a. Suasana kelas, karena berisik di kelas sehingga tidak fokus. b. Dosen, karena metode pengajarannya kurang dimengerti/dipahami oleh mahasiswa dan secara pribadi, dosen tidak disiplin dan penampilannya kurang menarik. c. Teman, alasannya karena sering diajak ngobrol pada saat dosen mengajar atau teman bertanya – baik berkaitan dengan materi ataupun di luar materi – sehingga buyar/tidak fokus. Ditambah lagi malas masuk kelas, jika teman mengajak telat kuliah, bisa banyak sebab diantaranya karena dosennya sering telat, jarang masuk, tidak menarik kuliahnya, atau dosennya tidak mempermasalahkan mahasiswa jika telat. 2. Jika dilihat dari tingkatannya, ketujuh hambatan di atas dapat di gambarkan sebagai berikut :
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
77
Gambar 3. Tingkatan Hambatan Eksternal
Teman Suasana di luar Kelas
Alasa n Lain
Wakt u
Mate ri
Dose n Paling Paling sedikit banyak Sama-sama gangguan gangguan pengaruhnya Sama-sama besar & saling pengaruhnya terkait besar & saling terkait Gambar di atas menunjukkan bahwa tingkatan hambatan terendah adalah suasana di luar kelas. Kemudian dilanjutkan ke alasan lain dan waktu. Tiga hambatan ini memang tidak terlalu signifikan menjadi hambatan komunikasi saat kuliah. Karena masih bisa di antisipasi atau dikendalikan oleh individu itu sendiri. Sementara untuk tingkatan berikutnya, yaitu teman dan suasana kelas membentuk garis yang berbeda dari pada garis sebelumnya. Yaitu membentuk garis vertikal bukan horizontal. Hal ini dikarenakan hambatan teman dan suasana kelas memiliki tingkat hambatan sama besar yang dipilih oleh mahasiswa dan saling terkait. Sebab, teman merupakan bagian dari suasana kelas yang akan mendukung berjalannya proses belajar atau kuliah di kelas. Banyak yang mengeluhkan di kelas menjadi berisik karena teman mengajak ngobrol atau bertanya sesuatu ataupun sebelum masuk kuliah, teman sering mengajak untuk telat masuk kelas. Tetapi, penulis melihat dari hasil wawancara bahwa antara teman dan suasana kelas, pengaruh terbesar hambatan saat kuliah adalah teman, karena teman inilah yang mempengaruhi kondisi di kelas. Untuk tingkatan yang paling atas atau yang paling banyak hambatan eksternal saat kuliah berlangsung adalah dosen dan materi. Disitu digambarkan bahwa antara dosen dan materi saling terkait. Karena materi akan mengerti jika dosen menerangkan meterinya dengan jelas. Begitu juga sebaliknya. Dosen akan mudah dipahami penjelasannya jika materi yang disampaikan mudah dipahami oleh mahasiswa, termasuk bahan materi/handout dan referensi buku yang digunakan. Tetapi, penulis melihat dari hasil wawancara ditemukan yang lebih dominan hambatan terbesarnya adalah dosen. Karena dosen adalah pelaku yang bertindak sebagai pengajar dalam memberikan ilmu kepada mahasiswanya. Dari kedua hambatan di atas (internal dan eksternal), penulis mengajukan satu pertanyaan tentang manakah yang lebih mempengaruhi gagalnya komunikasi dalam proses belajar mengajar atau kuliah. Pilihan yang diberikan ada tiga, yaitu apakah hambatan internal, atau apakah hambatan Suasa na Kelas
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
78
eksternal, ataukah kedua-duanya (internal & eksternal). Di bawah ini adalah tabel yang menjelaskan pertanyaan tersebut: Tabel 3. Hambatan Yang paling Mempengaruhi Komunikasi Hambatan yang paling Persentase: Alasannya: mempengaruhi: a. Internal 20% Ketidaksiapan diri sendiri untuk menangkap materi, penyebabnya: ngantuk/kurang tidur atau badan tidak fit. b. Eksternal 40% - Materinya sulit apa yang disampaikan dosen - Dosen kurang bagus menjelaskannya - Suasana kelas tidak mendukung, berisik di kelas - Pengaruh teman: telat masuk & diajak ngobrol saat kuliah - Suasana kelas yang tidak mendukung, seperti berisik c. Kedua-duanya 30% Saling terkait antara hambatan internal dan eksternal. Jika secara pribadinya (internal) malas & tidak fokus, maka hambatan internal ini akan mempengaruhi eksternal atau hambatan komunikasi di luar dirinya. Apakah karena tergantung mood, teman, tidak PD di kelas, lelah, atau suasana kelas yang berisik. Abstain 10% Tidak ada alasan untuk menjawab pertanyaan ini. Kesimpulan: Dari hasil wawancara, penulis menyimpulkan bahwa hambatan eksternal lebih dominan mempengaruhi jalannya proses belajar saat kuliah. Ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh, yaitu sebesar 40%.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
79
Gambar 4. Hambatan yang paling mempengaruhi 40% 30% 20% 10%
Internal
Eksternal
Internal & Eksternal
Abstain
HASIL PENELITIAN Dalam perspektif mekanistik, komunikasi ditinjau dalam saluran, artinya mekanistis disini tentang makna yang berfokus pada saluran. Hal ini dilihat dari model Shanon dan Weaver yang menggambarkan komunikasi antarpribadi. Model ini menekankan bahwa dalam saluran komunikasi terdapat hambatan (noise). Hambatan tersebut yang menjadi hambatan besar ketika berkomunikasi, khususnya komunikasi tatap muka. Hasil wawancara ditemukan ada dua identifikasi hambatan yang terjadi saat kuliah. Pertama, hambatan internal terdapat dalam diri mahasiswa. Hambatan internal ini memiliki 5 faktor penyebab sehingga mahasiswa menjadi malas dan tidak fokus pada saat kuliah. Yaitu (1) mengantuk karena kurang tidur atau lelah bekerja atau ada mengikuti organisasi diluar kampus; (2) tergantung mood (suasana hati), ini faktor yang menyebabkan tingkat kejenuhan atau kebosanan saat kuliah; (3) ada beban masalah pribadi (baik keluarga, teman, atau tugas kuliah); (4) tidak bisa/mengatur/memanaj waktu dengan baik, sehingga bingung dalam mengerjakan tugas mana yang harus dikerjakan; (5) Malu/tidak percaya diri (PD), sehingga tidak berani tampil maju ataupun tidak aktif di kelas. Kedua, hambatan eksternal terdapat di luar diri mahasiswa saat menerima materi kuliah. Dari hasil penelitian hambatan ini terjadi karena tiga sebab: (1) suasana kelas yang tidak kondusif, seperti berisik, sehingga tidak fokus menerima materi, ditambah lagi (2) karena dosen yang kurang jelas dalam menjelaskan materi, apakah karena cara mengajarnya dengan suara pelan, terlalu cepat, dan penjelasannya sulit dimengerti, kemudian hambatan terakhir adalah (3) ketika teman mengajak ngobrol atau bertanya tentang materi/di luar materi sehingga tidak/kurang fokus. Ketiga hambatan ekstarnal inilah yang lebih banyak terjadi saat kuliah, khususnya saat dosen menjelaskan materi. Hambatan eksternal ini jika dalam model Shanon dan Weaver hanya terletak pada hambatan komunikator saja dalam mengirim pesan, yaitu saat Dosen memberikan matakuliah. Maka, jika diuraikan dengan menggunakan model Shanon dan Weaver, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Sumber/Pengirim pesan/komunikator, yaitu dosen.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
80
2.
3. 4. 5. 6.
7.
Encode/penyandian, proses dimana dosen melakukan pengalihan pikiran ke dalam bentuk gambar/lambang-lambang dalam menyampaikan materi/pesan kepada mahasiswa pada saat kuliah. Pesan, berupa materi yang disampaikan oleh dosen. Penerima, yaitu mahasiswa. Decode/pengawasandian, proses dimana mahasiswa menetapkan makna lambang-lambang yang diterima dari pesan dosen. Saluran, berupa suara (audio) dan panca indera (penglihatan/visual, pendengaran, dll.) yang dimiliki oleh dosen dalam menyampaikan pesan kepada mahasiswa. Begitu juga sebaliknya, yang dimiliki mahasiswa untuk menerima pesan dari dosen saat kuliah. Hambatan, berupa hambatan yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan (mahasiswa) yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator (dosen) kepada mahasiswa. Hambatan ini terjadi pada saluran komunikasi dan terbagi menjadi dua: hambatan dari dosen (saat menjelaskan) dan materi yang disampaikan.
Jika digambarkan dengan model Shanon dan Weaver terlihat seperti gambar berikut: Gambar 5. Hasil penelitian dengan menggunakan model Shanon dan Weaver Encode: pengalihan pikiran dalam bentuk lambang
Sumber: Dosen
Pesan: Materi Kuliah
1.
2.
Metode pengajaran dosen kurang dimengerti/dipahami oleh mahasiswa, Secara pribadi, dosen tidak disiplin dan penampilannya kurang menarik
Saluran: audio dan visual dari Dosen
Encode: pengalihan pikiran dalam bentuk lambang
Gangguan
Penerima: Mahasiswa
Pesan: Materi Kuliah
1.
2.
Materinya sulit dimengerti/kurang jelas/bahasa asing/tidak ada penjelasan dalam handout/tidak ada contoh Referensi buku, bahasanya kurang dimengerti atau bahasa asing
Namun, dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa hambatan eksternal (di luar diri komunikan/mahasiswa) juga bukan terjadi pada saluran saja. Tetapi, hambatan ini juga karena faktor luar sumber/komunikator (dosen) dan dari mahasiswa itu sendiri. Yang dimaksud dengan faktor luar dosen adalah suasana kelas yang kurang kondusif, seperti berisik. Serta ketika diajak ngobrol/bertanya saat dosen sedang menjalaskan materi. Maka secara otomatis suasana kuliah jadi terganggu dan tidak/kurang fokus. Kemudian hambatan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
81
dalam diri mahasiswa juga menjadi penghambat jalannya proses kuliah, misalnya rasa tidak mood, mengantuk, lelah, dan ada masalah pribadi yang membuat mahasiswa malas dan tidak/kurang fokus, serta malu/tidak PD di kelas. Jika digambarkan dengan menggunakan model maka akan terlihat sebagai berikut: Gambar 6. Hasil penelitian dengan menggunakan model komunikasi Garis lingkaran: Gangguan Faktor Luar, seperti suasana kelas yang kurang kondusif, seperti berisik. Serta teman mengajak ngobrol/bertanya saat kuliah
Gangguan dalam diri Mahasiswa: (1) Mengantuk: kurang tidur/lelah bekerja/mengikuti organisasi diluar kampus; (2) tergantung mood (suasana hati), cepat jenuh/bosan; (3) masalah pribadi (baik keluarga, teman, atau tugas kuliah); (4) tidak bisa/mengatur/memanaj waktu dengan baik; (5) Malu/tidak PD.
Encode: pengalihan pikiran dalam bentuk lambang
Sumber: Dosen
Saluran: audio dan visual dari Dosen
Encode: pengalihan pikiran dalam bentuk lambang
Penerima: Mahasiswa
Gangguan Pesan: Materi Kuliah 1.
2.
Pesan: Materi Kuliah
Metode pengajaran dosen kurang dimengerti/dipahami oleh mahasiswa. Secara pribadi, dosen tidak disiplin dan penampilannya kurang menarik.
1.
2.
Materinya sulit dimengerti/kurang jelas/bahasa asing/tidak ada penjelasan dalam handout/tidak ada contoh Referensi buku, bahasanya kurang dimengerti atau bahasa asing
Atau jika dibentuk dalam sebuah model baru yang dikembangkan dari model Sahnon dan Weaver, maka akan tampak seperti dalam gambar di bawah ini Gambar 7. Hasil Penelitian: Model Komunikasi Gangguan dalam diri
Lingkaran gangguan luar Sumbe r
Encode
Pesan
Salura n
Ganggua n
Peneri ma
Decode
Pesan
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
82
SIMPULAN Berdasarkan analisis penelitian di atas ditemukan bahwa dalam proses komunikasi pada model Shanon dan Weaver ditemukan bahwa hambatan bukan hanya terjadi pada saluran, tetapi juga terjadi pada diri komunikan/penerima pesan dan faktor dari luar komunikan. Hasil penelitian menemukan ada dua hambatan yang terjadi. Pertama, hambatan internal komunikan yaitu hambatan terdapat dalam diri mahasiswa, seperti (1) Mengantuk: kurang tidur/lelah bekerja/mengikuti organisasi diluar kampus; (2) tergantung mood (suasana hati), cepat jenuh/bosan; (3) masalah pribadi (baik keluarga, teman, atau tugas kuliah); (4) tidak bisa/mengatur/memanaj waktu dengan baik; (5) Malu/tidak PD. Kedua, hambatan eksternal (di luar diri) komunikan (mahasiswa) yang mempengaruhi seluruh unsur-unsur komunikasi, seperti suasana kelas yang kurang kondusif, seperti berisik. Serta teman mengajak ngobrol/bertanya saat kuliah. DAFTAR PUSTAKA Budyatna, Muhammad dan Leila Mona Ganiem. 2012. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Prenada Media Group. Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Fisher, B. Aubrey. 1978. Teori-Teori Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Littlejhon, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika. Kriyanto, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Cetakan Ketiga. Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relation, Advertising, Komunikasi Organasisai, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Mulyana Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Cetakan kesembilan (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy, dan Solatun. 2008. Metode Penelitian Komunikasi: Contohcontoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
83
PARADIGMA STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PERPUSTAKAAN DAERAH YANG REPRESENTASIF DI KOTA BEKASI Oleh Andi Sopandi Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract In the realm of Islam, the word library is known as “maktabah” derived from “kitab” means the book. In America and Europe, the word “library” taken from the Latin “liber” means the book. There is a similar term “bibliography”, which is in the library called catalogue. In Bahasa, the word library (perpustakaan) is taken from the Sanskrit to refer to the book. Library has been part of human life. Therefore, the issue of library development is inseparable from commitment, facilities, collections, resources, budget and technology and government policy. Local library is often in a poor condition viewed as an object that is less liked by the students, especially by business people. As a result, it’s not surprising if students described library as a "spooky" or "haunted" place. Also, when students are asked how often they visit library in a month, the answer is “sometimes or never at all”. The efforts to develop and improve the quality of local libraries in Bekasi, can not be separated from a shared commitment to both government and its officials, community and business / industry to build the whole person not just imposed on educational institutions. Key words: Goverment Policy, Commitment, Facilities, Library collections, and Resources PENDAHULUAN Perpustakaan adalah temuan manusia di abad ilmu, dalam setiap sejarah peradaban manusia dengan latar agama dan kultur yang berbeda-beda perpustakaan menjadi kebutuhan yang menyertainya. Library sebutan perpustakaan, dikenal di Amerika-Eropa bertalian dengan kata liber (bahasa latin) yang berarti buku. Ada istilah mirip yaitu bibliography, yang di perpustakaan disebut sebagai katalog buku. Khazanah Islam menyebut perpustakaan dengan maktabah berasal dari kata kitab tidak lain berarti buku. Di Indonesia perpustakan terambil dari kata pustaka, bahasa sansekerta untuk menyebut buku. Perpustakaan telah menjadi bagian kehidupan manusia, membentuk sejarah dan perubahan hingga hari ini. Kepedulian pemerintah adalah wajib, karena setelah menunaikan kewajibannya masyarakat boleh meminta haknya. Hak untuk mendapatkan akses informasi yang disinergikan sebagai hak intelektual, benihnya telah dijamin oleh UUD (pasal 28 (hak berpendapat) dan pasal 31 (hak mendapat pendidikan)). Bagaimana mereka (masyarakat) dapat memberikan pendapat yang benar kalau kebutuhan otaknya tidak tercukupi. Pendidikan yang diterima hanya itu-itu saja tanpa materi pengayaan karena buku-buku mahal dan tak terjamah.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
84
Fasilitas tersebut adalah Perpustakaan Umum, dalam konteks ini perpustakaan daerah. Menurut Undang-Undang Perpustakaan No. 43, disebutkan bahwa Perpustakaan Umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Apa sumbangsih perpustakaan selama ini tentu tidak sekedar jargon-jargon saja, karena ia ada tentu bekerja, ia ada digunakan ia ada menghasilkan sesuatu. Tidak seperti ada tapi tiada. Adanya bermanfaat dan dapat dimanfaatkan perpustakaan. Di Bekasi saja kita memiliki Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda) di tiap wilayah kota administrasi yang merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan. Perpustakaan umum berciri khusus dan terasa spesial. Alasan yang dapat dikemukakan, Perpustakaan adalah tempat yang jauh dari gaduh. Instruksi tak tertulis ini tidak dimiliki tempat lain. Tempat yang demokratis sekaligus tidak mengikat pengguna pada afiliasi partai apapun. Tempat untuk mendapatkan hak untuk mengetahui sesuatu. Tempat dimana anak-anak menikmati sentuhan pertamanya kepada literasi. Tempat yang dapat membuka cakrawala dunia, karena koran-koran dan majalah disediakan, novel-novel bercita rasa daerah lokal dapat dinikmati sambil santai bersama sanak famili, mencari bacaan sesuai umur dan kesukaan. (Greenhalgh, Warpole and Landry, 1995). Sebagaimana pernyataan Greenhalgh, Warpole dan Landry mengenai Perpustakaan Umum di Negara Inggris yang telah maju. Perpustakaan Umum dapat digunakan sebagai tempat belajar dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat masih buta mengenai manfaat terbesar tersebut. Berikut ini akan penulis utarakan manfaat dari melek perpustakaan.
Perpustakaan Umum Daerah Sebagai Media Edukatif Inilah tempat yang bukan teori saja untuk menyimpan dan melestarikan semua khazanah keilmuan. Tempat yang perduli kepada sesama, kepemilikan yang semu di mana perpustakaan terbiasa mengalirkan distribusi koleksinya kepada siapa saja yang menginginkannya. Teori kapitalisme dan pengeruk keuntungan tidak dapat menembus keberpihakan perpustakaan kepada sesama, non profit dan tidak menjadikan ladang usaha. Contoh yang paling tepat dan mudah ditemukan adalah perpustakaan umum. Di dalamnya tidak ada pembedaan latar belakang sosial ekonomi, sosial budaya, atau perbedaan lainnya yang bisa dikatakan sebagai diskriminasi informasi. Secara lebih khusus tanggung jawab sosial sebuah perpustakaan adalah dalam memberikan layanan informasi kepada pemakai dengan kemungkinan tidak membayar, cuma-cuma dan memberikan kesempatan yang sama, demokratis, merata dan adil. Suluh ilmu pengetahuan ini adalah persinggahan awal (masa anakanak) dan akhir (manula) masyarakat. Disini tidak secara khusus dibedakan orang yang mengaksesnya. Artinya setelah individu-individu dalam kotakkotak pribadi sebagai masyarakat sekolah, masyarakat kampus akan kembali ke masyarakat umum. Perpustakaan umum akan menjadi partner di kemudian hari karena letaknya dan koleksinya. Maka tidaklah berlebihan dikatakan Perpustakaan Umum dikenal sebagai wahana Life Long Learning. Menjadi manusia pembelajar terus
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
85
menerus selama hayat dikandung badan, sebagaimana kalimat bijak, ‗Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.‘ Koleksi Perpustakaan Umum daerah juga hendaknya memperhatikan pengguna terbesar yang dilayaninya. Koleksi yang banyak dan melimpah tentu baik, namun koleksi yang tepat adalah yang terbaik. Pustakawan mesti jeli dan memperhatikan aspek-aspek sosial kultural. Jumlah koleksi sebagaimana dikatakan Thompson bisa menjadi bumerang, banyak koleksi tetapi siapa pemakainya. Ditambahkan lagi bahwa pustakawan bukanlah insyinyur elektro yang menghitung pekerjaannya pada kuantitas. Pustakawan tidak sepatutnya menghitung-hitung kemampuan dan prestasi berdasarkan jumlah konkrit dari koleksi yang dikelola. (Pendit 1992). Akan tetapi, bagaimana pustakawan dapat menjembatani kebutuhan pemakai, kebutuhan informasinya lewat buku, jurnal dan media informasi lainnya yang berkembang pesat di jaman internet saat ini. Masih mengenai koleksi, keterbatasan dana yang sering dikeluhkan untuk pembelian koleksi.karena keinginan perpustakaan ingin mengoleksi seluruh ilmu pengetahuan adalah baik namun hal ini tidaklah tepat. Beberapa perpustakaan yang ada di Bekasi. Umumnya perpustakaan yang ada hanya di lingkungan kampus atau sekolah saja. Sebagian besar pengelolaan di lingkungan Kampus dan di beberapa sekolah telah mulai melakukan penataan karena tuntutan akreditas program studi dan institusi. Sementara itu, di wilayah tetangga seperti Jakarta justru tumbuh perpustakaan yang dikelola swasta, di antaranya adalah Perpustakaan CSIS (Center for Social Information Strategy)- Jakarta dan Perpustakaan British Council (BC) dapat dijadikan teladan. Koleksi mereka mungkin tidak meliputi seluruh kajian DDC (Dewey Decimal Classification) akan tetapi efektif. Koleksinya pada subyek tertentu, misalnya pengembangan kebahasaan sastra Inggris (BC) atau bidang ilmu sosial (CSIS). Distingsi ini dapat memudahkan kerja dari perpustakaan semakin fokus pada pengembangan koleksi dan pemustaka. Perpustakaan juga tidak melulu soal buku, perpustakaan BC lebih bersifat kultural misalnya memfasilitasi acara-acara yang dapat diikuti pengguna entah pertunjukan film, musik dan diskusi buku soal kesusastrean Inggris. Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda) dapat mengambil ciri khas koleksinya masing-masing. Tidak hanya satu subyek mungkin dua atau tiga subyek keilmuan. Sehingga perpustakaan ini dapat berjejaring antara perpustakaan umum, memberi rujukan sehingga penanganan pemakai lebih baik. Hal yang tidak kalah penting adalah budenganet untuk mengadakan koleksi yang efektif dan terarah. Pembeda perpustakaan lainnya adalah pada local content. Hasil-hasil cultural entah kesenian, cerita rakyat, kebahasaan, fakta-fakta historis menjadi kekuatan dan daya tarik perpustakaan. Hasilnya adalah pemberdayaan perpustakaan untuk kemudian memberdayakan pengetahuannya masyarakat di luar lingkungannya.
Pemberdayaan Perpustakaan umum dan masyarakat Masyarakat dalam semua strata adalah pengguna informasi. Kebutuahan informasinya akan berbeda-beda sebagaima latar belakang dan pendidikannya. Jika meliahat masyarakat dari sisi aset (SDM), maka yang berwenang (pemerintah) perlu memfasilitasinya. Kebutuhan ilmiah manusia Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
86
perlu disalurkan dan diasah terus menerus. Fasilitas perpustakaan perlu dikenalkan, setelah terbebas dari buta huruf, mesti ‗dibebaskan‘ dari buta perpustakaan lewat pemberdayaan pemakai. Pemberdayaan masyarakat perpustakaan disini, adalah masyarakat pemakai. Pemustaka yang aktif tentu dapat dengan mudah untuk mendapat informasi. Masyarakat sebagai pengguna pasif dan aktif dapat dilibatkan dalam hal isi koleksi perpustakaan. Pengguna dapat dijadikan barometer pelayanan, dan juga sebaliknya dapat menjadi dermawan untuk menyumbangkan koleksi. Masyarakat kita mungkin belum mencapai tingkat kesadaran masyarakat maju (Amerika-Eropa) Namun lain ceritanya apabila perpustakaan dapat bekerja professional dan amanah. Setiap orang - mayoritas perpustakaan di kampus dibuka untuk umum-bisa mengakses buku. Oleh karena itu, orang Amerika tidak punya kebutuhan untuk menyimpan buku-buku dalam jumlah besar di rumah mereka. Setiap kali membutuhkan sebuah buku, mereka akan mencarinya di perpustakaan, atau membeli dan kemudian menjualnya kembali setelah dibaca. Buku-buku yang disimpan di rumah biasanya dipilih sangat selektif, sebagai koleksi pribadi. (Altbach and Tefferra, 2000). Membeli buku bekas dengan kualitas bagus dari para pengguna dapat dilakukan juga, artinya beragam cara digunakan untuk menyiasati anggaran yang minim. Tidaklah merendahkan sebuah institusi terlebih dilakukan di negara maju sekalipun, koleksi bekas namun isinya bermanfaat besar bagi yang membutuhkan. Teknologi internet yang semakin canggih, dapat dipergunakan dengan tujuan menambah jelajah dan materi pengayaan perpustakaan. Iklan– iklan dan propaganda perpustakaan bisa diinformasikan kepada khalayak, situs-situs dan jejaring sosial yang berbasis internet, di antaranya adalah memanfaatkan situs jejaring sosial www.blogger.com, www.facebook.com, www.friendster.com dapat digunakan. Pustakawan bisa menjadi semacam penunjuk, karena dalam tugas referral disebutkan bahwa kita dapat menjadi penunjuk berbantuan ensiklopedi, kamus, indeks dan alat lainnya. Informasi yang terjadi di dunia lain yaitu dunia maya, menyebabkan ledakan informasi. Orang akan disediakan data yan berlimpah-limpah. Penggunaan kata kunci menjadi andalan untuk mendapatkan raihan dengan hasil maksimal. Mesin-mesin canggih yang bekerja pada mesin pencari –www.google.com, www.yahoo.com -- telah menjadi andalan bagi pencari informasi.Kemajuan teknologi informasi semakin pesat, buku-buku manual kini telah berhadapan dengan buku digital. Teknologi ICT (Information and Communication Technology) telah membawa perubahan tersebut. Bahkan perpustakaan telah berlomba-lomba membuat perpustakaan dengan label digital. Bagaimana nasib pepustakaan-perpustakaan kecil, yang lemah dari segi koleksi dan peralatan canggih tersebut. Mengutip istilah Yohanes Surya, yaitu teori mestakung (semesta mendukung) keterlibatan kekuatan-kekuatan informasi milik Negara. Untuk pemerataan informasi berbantuan internet perpustakaan tidak hanya menjadi tanggung jawab kita. Pemerintah dalam hal ini kementerian informasi dan komunikasi, PDII-LIPI (Pusat Data dan Informasi Ilmiah, Perpustakaan Nasional dan Mendiknas bertanggung jawab untuk memikirkan dan memberi solusi bagi pemerataan teknologi di perpustakaan. Jaring-jaring informasi hingga pelosok desa terpencil dapat disalurkan melalui perpustakaan perpustakaan umum. Konten dunia yang berisi temuantemuan ilmiah dalam bentuk jurnal buku-buku elektronik dapat dilanggan dan Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
87
pemakaian dapat dilakukan bersama, sinergi yang telah lama didambakan oleh masyarakat, karena selama ini kondisi perpustakaan banyak yang masih jauh baik dari segi sarana dan prasarana. Dengan konsep pemerataan informasi ini memberikan angin segar bagi perpustakaan untuk menjaring pemakai, menggiatkan keilmuan. Arah Pengembangan Perpustakaan Daerah Kota Bekasi Ke Depan Istilah perpustakaan daerah sebenarnya tidak berbeda dengan arti dan fungsi perpustakaan itu sendiri. Tetapi arti perpustakaan daerah biasanya menunjukan letak dan penanggungjawab perpustakaan ada pada pemerintahan daerah, misalkan perpustakaan daerah kota A atau perpustakaan daerah kabupaten B. Seandainya kita melihat bagaimana kondisi perpustakaan daerah saat ini, rasanya tidak akan berbeda dengan apa yang penulis simpulkan, walaupun kesimpulan ini belum tentu benar. Kondisi perpustakaan daerah seringkali menjadi suatu objek yang kurang bahkan tidak disukai oleh pelajar sekalipun, apalagi oleh pelaku bisnis. Tidak heran kalau mendengar seorang pelajar yang mengatakan kata ―seram‖ atau ―angker‖ jikalau ditanya tentang perpustakaan. Dan jika ditanya berapa sering melakukan kunjungan dalam satu bulan, maka tidak heran pula jika mendapat jawaban ―kadang-kadang atau tidak pernah sama sekali‖. Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat saat ini, perkembangan informasi secara global sudah demikian hebatnya, kondisi perpustakaan daerah seperti laksana ―hidup segan mati tak mau‖. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi perpustakaan memang perlu dilakukan, dalam rangka memberikan peningkatan fungsi dan peran perpustakaan daerah terhadap masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa. Itulah sedikit gambaran tentang kondisi sebuah unit pelayanan yang ada di masyarakat yang secara langsung berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Kondisi lainnya yang terjadi saat ini di masyarakat dan pemerintahan, yaitu tentang otonomi daerah yang telah memberikan peluang sebesar-besarnya bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat daerah masing-masing dengan mengeksplorasi sumber daya yang dimiliki dan pengembangan serta pendayagunaan melalui pemberdayaan perpustakaan daerah yang memadai Arah Pengembangan Perpustakaan ke depan yang diharapkan dalam membangun budaya baca masyarakat sebagai media informasi yang efektif di antaranya adalah: Pendayagunaan Sumber Daya Perpustakaan Sumber daya perpustakaan meliputi: (a) Manusia; (b) Sumber Pembiayaan; (c) Mesin-mesin; (d) Benda atau barag inventaris: (e) Metode; (f) Pengguna/pemakai/pelanggan, dan (g) Pembina dan pengembang pengguna. Pemberdayaan sumber daya Manusia perpustakaan daerah merupakan Unsur utama dan pertama. Mereka adalah sekumpulan para pemikir, perencana, pelaksana dan pengawas (sistem spesialisasi, profesionalisasi,spesifikasi). Oleh sebab itu, diperlukan keahlian, kemampuan, kekuatan, pengalaman dan potensi pengembangan perpustakaan yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pimpinan perpustakaan harus mampu memperhatikan unsur kemanusiaan (kelemahan, keterbatasan, kejenuhan, kesejahteraan, penghargaan, dan kesempatan, dalamm pengembangan karier. Di sisi lain juga Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
88
diperlukan upaya meningkatkan pengembangan Sumber Daya Manusia dibidang perpustakaan dan kearsipan yang profesional dan berkualitas yang mampu bersaing di bidangnya. Pendayagunaan Koleksi Perpustakaan Bahan pustaka yang disediakan dibaca dan dipergunakan pengguna, oleh sebab itu, perpustakaan hendaknya menyediakan berbagai jenis bahan pustaka sesuai dengan jenis perpustakaan yang dirumuskan dalam konsep dan strategi layanan perpustakaan. Di mana Indikator keberhasilan perpustakaan daerah dilihat dari koleksinya adalah: volume dan intensitas pengunjung dan transaksi informasi jangka pendek. Bentuk penggunaan jasa perpustakaan dapat meliputi: dibaca, diteliti, dikaji, dianalisis, dan dikembangkan untuk berbagai keperluan pengguna. Pengembangan koleksi terbaru berorientasi kebutuhan pengguna (supply and demand). Oleh sebab itu, upaya yang harus dilakukan oleh perpustakaan daerah adalah melakukan identifikasi kebutuhan koleksi buku dan referensi yang dibutuhkan oleh masyarakat (baik pada tingkatan pelajar, guru dan dosen, mahasiswa, karyawan, pelaku usaha, pegawai negeri) yang menjadi mitra sekaligus pengguna jasa perpustakaan daerah sehingga perpustakaan hadir dan memenuhi aspirasi kebutuhan stakeholder tersebut. Pendayagunaan Sarana dan Prasarana Perpustakaan Semua barang/inventaris adalah milik perpustakaan, yang perlu ditunjang dengan berbagai penunjang penyelenggaraan kegiatan perpustakaan (Budaya baca, diskusi, seminar, lokakarya, bedah buku dan film, komunitas baca dan sebagainya). Dengan demikian, penggunaan jasa dan pelayaan perpustakaan daerah dapat lebih maksimal sehingga produktivitas perpustakaan berdampak positif pada pengguna/pemakai perpustakaan. Penggunaan sesuai dengan prosedur, tatacara, dan tujuan. Di sisi lain, Lokasi perpustakaan daerah harus strategis dan mudah dijangkau oleh pengguna jasa dan layanan perpustakaan daerah dengan jumlah dan volume yang memadai, Terkontrol dengan baik dan penanggungjawab/pengurus harus memelihara dan merawat sarana dan prasarana perpustakaan daerah. Meningkatkan pengadaan sarana dan prasarana pendukung Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Bekasi untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan peningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Khusus berkaitan dengan Gedung Perpustakaan Daerah Ke depan hendaknya didisain bagi muka dan ruang koleksi lebih menarik dan nyaman, dapat dikombinasikan dengan arsitektur modern dan tradisional sehingga memberikan daya tarik pengunjung atau pengguna jasa perpustakaan. Pendayagunaan Anggaran Perpustakaan Perpustakaan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, dengan disediakannya anggaran dana perpustakaan daerah yang memadai dan pemberdayaan secara sederhana, efektif, dan efisien, di mana persyaratan pengelolaan perpustakaan yang efektif adalah: a) Perencanaan yang jelas, terstruktur, mudah dipahami, dan dilaksanakan b) Prosedur penggunaan (hati-hati, teliti, berdasarkan aturan dan tatacara yang sudah ditentukan) c) Langkah dalam administrasi keuangan dapat dipenuhi
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
89
d) Pengelola (ahli dan pengalaman, jujur, luwes) serta mampu menyimpan rahasia keuangan e) Mekanisme pengawasan yang jelas (prosedur keuangan dijalankan dengan baik, seua arus pengelolaan keuangan harus dapat diawasi, monitor diperiksa) f) Pemanfaatan dana secara efektif dan efisien serta optimal sesuai dengan prosedur administrasi keuangan g) Tidak terjadi pemborosan dan penyimpangan h) Pendayagunaan Sistem atau Metode Perpustakaan i) Sistem dikaji, dianalisis dan diujicobakan j) Efektif, sesuai dan praktif serta ekonomis k) Penerapan standard sistem yang konsisten (disiplin, tegas, dan patuh terhadap prosedur yang baku) l) Perubahan sistem harus dikaji jauh-jauh hari dan diperhitungkan dampak positif dan negatifnya m) Hindari metode/sitem yang tidak konsisten yang berdampak pada pengguna perpustakaan Tujuan : mempermudah, memperlancar, dan membantu pengguna perpustakaan menggunakan sistem yang simpel, danmudah dipahami Sistem disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna Peningkatan pembinaan dan pengembangan perpustakaan di Kota Bekasi, sehingga terlaksana pengkajian dan pengembangan perpustakaan dan dengan baik. Pengembangan Minat dan Budaya baca kepada anak-anak, pelajar (usia dini), mahasiswa dan masyarakat umum untuk meningkatkan ilmu pengetahuan masyarakat Kota Bekasi khususnya. Pengembangan Sistem Manajemen Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai peningkatan mutu pelayanan publik. Berkaitan dengan pengembangan sistem manajemen pengelolaan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai peningkatan mutu pelayanan public, maka pengembangan perpustakaan ke depan adalah diarahkan kepada digital library sebagai media cyberlibrary. 1.
Peran perpustakaan daerah sebagai penyedia informasi melalui digital library Sebagai bagian dari pemanfaatan teknologi informasi tersebut pada sistem perpustakaan konvensional, sehingga terciptanya suatu bentuk baru dari sebuah perpustakaan yang disebut sebagai Digital library. Digital library merupakan suatu sistem yang dibangun dan dimanfaatkan sebagai: Membantu memenuhi kebutuhan informasi bagi pemakai (societies) Menyediakan layanan informasi (scenarios) Mengorganisasikan informasi sehingga dapat digunakan (structures) Menyajikan informasi sehingga mudah dimanfaatkan (spaces) Menyampaikan informasi kepada pengguna (streams)
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
90
Sumber: Knowledengane Management Research Group, KMRG-ITB
Segala bentuk informasi berupa video, audio, teks, secara integral dikemas menjadi suatu informasi yang mudah dimanfaatkan dan diakses secara digital. Pemberdayaan dan pendayagunaan telematika melalui digital library sebuah perpustakaan daerah akan secara lansung dirasakan tidak hanya oleh masyarakat daerah tersebut, tetapi juga nasional bahkan global. 2.
Peran perpustakaan daerah sebagai mediator melalui Cyberlibrary Cyberlibrary dalam hal ini lebih diartikan sebagai suatu nama untuk sebuah perpustakaan yang memberikan suatu layanan akses informasi yang bersifat digital, terinterkoneksi dengan jaringan cyber Internet yang bersifat global. Perpustakaan daerah menjadi mediator bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan pengetahuan yang bersifat digital melalui terminalterminal akses yang disediakan di perpustakaan daerah. Sekilas mungkin dapat dikatakan bahwa cyberlibrary tidak lebih dari sebuah warnet yang letaknya berada di perpustakaan. Pendapat seperti itu secara umum dapat dikatakan benar, tetapi terdapat banyak perbedaan antara sebuah cyberlibrary dan warnet. Cyberlibrary memperhatikan aspek layanan yang bersifat tidak hanya berlandaskan profit saja, tetapi juga layanan bersifat sosial misalkan melalui layanan pengembangan sumber daya manusia melalui training-training bebas biaya, proses magang bagi anak sekolah, dan aplikasi digitalisasi perpustakaan yang mengimplementasikan digital library. Dengan demikian dapat membangun satu unit cyberlibrary, maka setidaknya satu bentuk program lain berupa digital library dapat pula direalisasikan. SIMPULAN Upaya pengembangan peningkatan kualitas perpustakaan daerah di Kota Bekasi, tidak terlepas dari Komitmen bersama baik pemerintah maupun aparatnya, masyarakat dan dunia usaha/Industri untuk membangun manusia seutuhnya tidak hanya dibebankan pada lembaga pendidikan tetapi juga komitmen untuk mendukung kualitas perpustakaan umum di daerah. Di sisi lain, kebijakan juga menjadi pendukung utama bagi pengembangan lebih lanjut. Selanjutnya, apresasi gesung perpustakaan dan sarana pendukung yang representatif, koleksi yang beragam baik referensi, dokumentasi, kearsipan, maupun fasilitas digital library dan cyberlibrary. Demikian juga, anggaran operasional perpustakaan, pembinaan dan pelatihan sumber daya manusia, dan upaya menumbuhkembangkan budaya baca dan komunitas baca.
DAFTAR PUSTAKA Athoillah, Anton. 2010. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung : Pustaka Setia . Saleh, Abdul Rahman dan Komalasari, Rita. 2010. Manajemen Perpustakaan. Jakarta : Universitas Terbuka. Schroeff, Van Der and Makaliwe, Willem H. 1990. Manajemen dan organisasi perusahaan. Jakarta : Galia Indonesia. Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
91
Siregar, A. Ridwan. 2008. Peran Pustakawan dalam Manajemen Perpustakaan di Era Globalisasi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sutarno NS.2006. Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Sagung Seto. Stueart, Robert D. and Eastlick, John Taylor. 1981. Library management. 2nd Edition. Litteton : Libraries Unlimited.
THE CONJUNCTION OR IN THE ELABORATION PARATACTIC RELATIONAL IN THE ENGLISH CLAUSE COMPLEX: A FUNTIONAL GRAMMAR APPROACH Oleh Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
92
Novita puspahaty Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Judul penelitian ini adalah ―Conjunction Or in the Elaboration Paratactic Relational in the English Clause Complex: A Functional Grammar Approach‖ (Kata Penghubung Atau pada Hubungan Elaborasi parataksis: Sebuah Kajian Tata Bahasa Fungsional). Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan makna apa yang biasanya muncul setelah ada kata penghubung atau terutama pada hubungan elaborasi parataksis. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan utama yaitu pengumpulan data dan penganalisisannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua bagian yaitu metode pengumpulan data dan teknik studi. Analisis ini secara garis besar dilakukan berdasarkan teori-teori yang dikemukakan oleh Halliday, Martin, Saeed, Quirk, dan Gerot dan Wignel. Data-data yang diperoleh dari dua novel The Lord or the Ring oleh J.R.R. Tolkien dan Silas Marner the Weaver of The Raveloe oleh George Eliot dianalisis berdasarkan teori-teori tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada dua macam kata penghubung atau pada hubungan elaborasi parataksis, yaitu atau inklusif, dan atau eksklusif. Kata penghubung atau memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai peringatan, paraprase,dan sebagai alat pembenaran diri sendiri. Fungsi dari kata penghubung atau dapat diinterpretasikan lebih dari satu makna. Makna ini bergantung pada sudut pandang pembicara atau pembacanya. Kata kunci: Kata Penghubung Atau, Klausa Komplex, Elaborasi Parataksis. INTRODUCTION Time goes by; English grows from the simple one as traditional grammar, turns into transformational grammar, and to be more complicated one as functional grammar. Each grammar has a strong relationship, because it is connected to each other. We will not hard to understand functional grammar if we have already mastered or understand transformational grammar, as well as when we master traditional grammar we will master the transformational easily. Functional grammar is different from traditional and transformational grammar, in traditional and functional grammar the largest unit of grammatical organization is sentence and a sentence can be a simple sentence or complex sentence. But in functional grammar, Halliday (Martin, 1997: 165) argues that when clauses combine to form a clause complex, they do not thereby create a new grammatical unit of higher rank. In other word, clause is the higher rank of grammatical organization in functional grammar. Each clause has relationship, whether it is an elaboration relationship, extension relationship, or enhancement. And each relationship could be parataxis and or hypotaxis clause complex. Elaboration parataxis occurs when one clause expands another by elaborating on it (or some position of it): restating in other words, specifying in greater detail, commenting or exemplifying. In other word, one clause elaborates on the meaning of another Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
93
by further specifying or describing it. The secondary clause does not introduce a new element into the picture but rather provides a further characterization of one that is already there, restating it, clarifying it, refining it, or adding a descriptive attribute comment (Halliday, 1985; 196). Based on the characteristics of the qualitative research by Bodgan and Biklen (1992), a researcher of qualitative research is the key instrument. It means that the researcher plays a dominant role in deciding which data to include and which one to exclude. First the writer finds the clause complexes that consist of conjunction or, then the writer analyzed whether it is an elaboration relationship, extension relationship, or enhancement relationship. After the writer classifies the clause, in this case, the elaboration relationship clause complex, the writer classifies the elaboration relationship clause complex according to the types of interdependency, whether it is parataxis or hypotaxis relation. After that the writer classify whether it is an inclusive or, or an exclusive or. And the last step is the writer classifies the clause complex whether the conjunction functions as warning, paraphrase, or self correction device. Functional Grammar As mentioned before, there are three kinds of grammar in English, and Functional grammar according to Gerot and Wignell (1994: 6) views language as a resource for making meanings. This grammar attempt to describe language in actual use and so focus on texts and their contexts. They do not only concern with the structure, but also with how those structures construct. Functional grammar start with the question ―how are the meanings of this text realized‖. Functional grammar was introduced by Michael Halliday on 1985. For Halliday, language is ‗a system of meanings‘. That is to say that, when people use language, their language acts the expression of meaning. From this point of View the grammar becomes a study of how meanings are built up through the use of words and other linguistic forms such as tone and emphasis (Bloor and Bloor, 1995: 1). Tabel 1. The Main Differences in Perspective among Three Grammars
Primary Concern
Unit of analysis Language level Of concern Language
Formal + Traditional grammar How is (should) this sentence be structured?
Sentence
Functional Grammar How are the meanings of this text realized? Whole text
Syntax
Semantics
= a set of rules for sentence construction
= a resource for
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
94
= something we know
meaning making =something we do
(Gerot and Wignell, 1994: 7) Semantics As mentioned in table 1 functional grammar primary concerns in semantics. According to O‘Grady, (1987: 268) semantics is the study of meaning in human language. Semantics refers to the systems of meaning in language, for example, how sentences relate to the real world of people, actions, places, and so on ( Lock, 1996: 4). While Yule (1996:134) states that semantics is the study of how words literally connect to things, or more generally, the investigation of meaning as encode in language. Lyons (1995:3) argues that semantics is traditionally defined as the study of meaning. The noun ‗meaning‘ and the verb ‗mean‘, from which it derives, are used, like many other English words, in a wide range of contexts and in several distinguishable senses. For example, to take the case of the verb: if one says 1. Mary means well One implies that Mary is well-intentioned, that she intends no harm. This implication of intention would normally be lacking, however, in an utterance such as 2. That red flag means danger In saying this, one would not normally be implying that the flag had plans to endanger anyone; one would be pointing out that it is being used (in accordance with previously established convention) to indicate that there is danger in the surrounding environment, such as a crevasse on a snowy hillside or the imminent use of explosives in a nearby quarry. According to Levinson (1983:58) as in now common in logical semantics, we view a proposition as a function from possible worlds to truth values (i.e. as an abstract assignment of the value true to just those states of affairs which the proposition correctly describes). Then one way in which we can accommodate context is a function from possible worlds and that context to truth values. Elaboration in Parataxis An elaborating clause does not add any essentially new element to the message, but gives more information about what is already there. It may relate to the whole message or just to one part of the message; and it may restate it, or it may clarify or exemplify it; or it may add extra information about its attributes, including the speaker‘s comment. As with all clause complexes, the paratactic-hypotactic distinction applies (Thompson, 1996: 201) As mentioned before, elaboration occurs when one clause elaborates on the meaning of another by further specifying or describing it. The secondary clause does not introduce a new element into the picture but rather provides a further characterization of one that is already there, restating it, clarifying it, refining it, or adding descriptive attribute or comment. If the ‗elaborating‘ Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
95
relationship is encoded as a relationship between process, we get an appositive clause complex. Many paratactic elaborating clauses are traditionally said to be in opposition to the preceding clause, especially when they restate the same message in different words, or make a nonspecific. For example: 1. I’ve had no nastiness, everyone’s been fabulous 2. When you set out to fail, one thing is certain-you can’t be disappointed One clause expands another by elaborating on it (or some position of it): restating in other words, specifying in greater detail, commenting or exemplifying. In other word, one clause elaborates on the meaning of another by further specifying or describing it. The secondary clause does not introduce a new element into the picture but rather provides a further characterization of one that is already there, restating it, clarifying it, refining it, or adding a descriptive attribute comment (Halliday, 1985; 196). Elaboration parataxis (notation 1 = 2). The combination of elaboration with parataxis yields three types, the first two of which could be regarded as apposition between clauses (Halliday, 1985; 203). Generally, the relationship in paratactic elaboration can be paraphrased as ‗in other words‘, ‗to be precise‘ or ‗for example‘ (Halliday, 1994:226). In spoken discourse, paratactic elaborating clauses are often difficult to distinguish from separate clause complexes since, as the examples show, there may be no explicit conjunctive signal of the relationship – the two clauses are simply juxtaposed. The main clue is in the intonation: if the speaker intends the clauses to be an elaborating complex, they will both have the same intonation pattern. Exposition Here the secondary clause restates the thesis of the primary clause in different words, to present it from another point of view, or perhaps just to reinforce the message; for example: 1. The clock doesn’t go; it’s not working 1 =2 2. She wasn’t a show dog; I didn’t buy her as a show dog 1 =2 3. Each argument was fatal to the other: both could not be true 1 =2 The relationship may be made explicit by conjunctive expression s such as or (rather), in other words or that is to say; or in writing, i.e. Conjunction Or Conjunction or coordination, is the process of combining two constituents of the same type to produce another, larger constituent of the same type. In traditional grammar, this has been called compounding; for example, two sentences that are combined by means of a comma plus a connecting word make a ‗compound sentence‘, two subject NPs that are combined with the word and are called a compound subject (Murcia and Freeman, 1999:469). In functional grammar, the semantic system whereby speakers relate clauses in terms of temporal sequence, consequence, comparison and addition. A further factor which is relevant to the types of conjunctive relation found in English is whether the conjunction is paratactic (coordinating) or hypotactic (Gerot and Wignell, 1994; 180). Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
96
A conjunction is a ‗joining word ‗. Its main role is to link together two parts of a sentence. There are two types of conjunction: coordinating and subordinating conjunction. Coordinating conjunction, join equal parts of a sentence, e.g. two clauses which make up a sentence. While subordinating conjunction, join a subordinate clause to main clause (Leech at al, 2001; 98). Richard et al. (1985; 58) states that conjunction is a word that joins words, phrases, or clause together, such as but, and. Units larger than single words which function as conjunctions are sometimes knows as conjunctive adverb, for example: however, and nevertheless. Furthermore Richard mention that conjunction is the process by which such joining takes place. There are two types of conjunction: 1. Coordination, through the use of coordinating conjunctions (also known as coordinations) such as and, or, but, these join linguistic units which are equivalent or of the same rank 2. Subordination, through the use of subordinating conjunctions, (also known as subordinators) such as because, when, unless, that. These join an independent clause and a dependent clause connecting words, including conjunctions and certain types of subordinators (despite this…; although they had left when he arrived…), are also important in expressing the logical connection between clauses in a discourse and thus also express textual meaning. Both coordination and subordination involve the same rank; but in coordination the units are constituents at the same level of constituent structure, whereas in subordination they form a hierarchy, the subordinate unit being a constituent of the superordinate unit. The opposition between coordination, and that between parataxis and hypotaxis, are often treated as equivalent. But we may distinguish them as follows. Paratactic applies not only to coordinate constructions, but also to other cases where two units of equivalent status are juxtaposed (Quirk, 9185: 919). Discussion Kinds of Conjunction Or Inclusive Or Data, conjunction or in elaboration paratactic relational in the English clause complex, which are taken from the resource books have various kinds and functions. One of the two kinds of conjunction or found in this research is inclusive or. (1) He wondered if he was awake or still sleeping (LR: 1) 1.
Conjunction or in he was awake or still sleeping indicate an inclusive or. It shows that or has the characteristics of showing alternative. The first alternative is true and the second alternatives are also true, in this case it is possible to having a condition between awake and still sleeping, it means that the statement is true. 2. One of the alternatives is true, in this case it is possible to having one of the conditions, whether awake or sleeping, it means that the statement is true. 3. If both alternatives is false, it means that the statement is false According to Saeed there are two logical connectives which can correspond to English or. The first is called inclusive or and is symbolized as Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
97
^, thus giving follows: p T T F F
logical forms like p ^ q. the truth table for this connective is as q T F T F
p
^ T T T F
q
The elaboration paratactic relational table for this clause complex is: ║ He was awake or still sleeping ║ 1 ^ =2 P ^q From the semantic point of view, he was awake or still sleeping, means that the speaker wants to communicate that he wonders whether he is a sleep or has awake. On in other word, he is unconscious because he does not know whether he is a sleep or has awake. (2)
Yet the herdsman and the husbandmen that dwelt there were not many, and the most par of the people of Gondor lived in seven circle of the city, or in the high vales of the mountain borders. (LR: 5)
1.
Conjunction or in clause complex above shows that or has the characteristics of showing alternative. The first alternative is true and the second alternatives are also true, in this case it is possible whether the people of Gondor lived in seven circle of the city or lived in the high vales of the mountain borders , it means that the statement is true. 2. One of the alternatives is true, in this case it is possible the people of Gondor lived in seven circle of the city, or lived in the high vales of the mountain borders; this means that the statement is true. 3. If both alternatives is false, it means that the statement is false Because both alternative could be true, so the clause complex above is an inclusive or. And the elaboration paratactic relation table for this clause complex is: ║Yet the herdsman and the husbandmen that dwelt there were not many, ║ and the most 1 +2 +3 p Part of the people of Gondor lived in seven circle of the city, ║ or in the high vales of the ^ =4 ^q mountain borders. ║ From the semantic point of view, the people of Gondor lived in seven circle of the city, or in the high vales of the mountain borders means that the people of Gondor is lived in two different places, that is the seven circle of the city or in the high vales of the mountain. Exclusive Or
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
98
The second connective which can correspond to English or is called exclusive or, which can symbolize as ^‘ (Saeed, 1997: 83). This connective has the truth table as follows: p q p ^‘ q T T F T F T F T T F F F (3) And ever as they talked Beregond was more amazed, and looked with greater wonder at the hobbit, swinging his short legs as he sat on the seat or standing tiptoe upon it to peer over the sill at the lands below (LR: 20) Conjunction or in clause complex above indicate an exclusive or. It shows that or has the characteristics of showing alternative. The elaboration paratactic relational table for this clause complex is: ║And ever as they talked Beregond was more amazed, ║ and looked with grater wonder 1 +2 at the hobbit, ║swinging his short legs as he sat on the seat║ or standing tiptoe upon it =3 ^‘ =4 p to peer over the sill at the lands below║
^‘q
The explanation for this clause as follows: One of the alternatives is true, in this case it is possible to having one of the conditions, sat on the seat or standing tiptoe, it means that the statement is true. 2. If both alternatives is true, it means that the statement is false 3. If both alternatives is false, it also means that the statement is false Because both alternative could not be true, it means one of the statement should be false, so this clause complex is an exclusive or. From the semantic point of view, this clause complex means Beregond was amazed with the hobbit, who swinging his short legs as he sat on the seat or standing tiptoe upon it to peer over the sill at the lands below. 1.
Proposition of Conjunction Or Or as Warning (6) And now all realms shall be put to the test, to stand or fall-under the shadow (LR: 24) According to Murcia (1999), Or may have additional senses that go beyond the inclusive-exclusive distinction. One involves an imperative, or quasi-warning, clause complex followed by a statement of sequences. In case of conjunction or as warning, it can only be an exclusive or, because it would be unfair if we warn someone of something, but still he/she get the consequence. 1. One of the alternatives is true, in this case it is possible to having one of the conditions, whether stand or fall under the shadow Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
99
2. If both alternatives are true, it means that the statement is false 3. If both alternatives are false, it also means that the statement is false In such cases or may be paraphrased lexically as otherwise. This clause complex may also be naturally paraphrased syntactically with such conditional structures as: If all realms shall not be put to the test, (then) it would fall-under the shadow The elaboration paratactic relational table for this clause complex is: ║ And now all realms shall be put to the test, ║ to stand or fall-under the shadow ║ 1 =2 p ^‘q From semantic point of view, clause complex and now all realms shall be put to the test or fall under the shadow means that all sectors should be have a test, if it do not have a test, then all sectors will be fall under the shadow. (7) The men in under your command or do you ask for my judgment on all your deed? (LR: 77) 1. One of the alternatives is true, in this case it is possible to having one of the conditions, whether the men is under his command or he ask for my judgment on all your deed 2. If both alternatives are true, it means that the statement is false 3. If both alternatives are false, it also means that the statement is false This clause complex may also be naturally paraphrased syntactically with such conditional structures as: If the men are not under your command, (then) I will judge on all your deed The elaboration paratactic relationship table for this clause complex is: ║the men in under your command ║ or do you ask for my judgment on all your deed? ║ 1 ^‘=2 p ^‘q From semantic point of view, clause complex ‗the men in under your command or do you ask for my judgment on all your deed?’ means that someone should admit that the men is under his command, if nobody admit it, then the one who is in the court will be judge for all what he did.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
100
Or in paraphrases (8) I counsel that we rest now, and set out hence by night, and so time our going that we come upon the fields when tomorrow is as light as it will be, or when our lord gives the signal (LR: 92) 1. Clause complex above shows that or has the characteristics of showing alternative. The first alternative is true and the second alternatives are also true, in this case it is possible to say that I counsel that we rest now, so time our going that we come upon the fields when tomorrow is as light as it will be or I counsel that we rest now, so time our going that we come upon the fields when our lord gives the signal. 2. One of the alternatives is true; in this case it is possible to say I counsel that we rest now, so time our going that we come upon the fields when tomorrow is as light as it will be or I counsel that we rest now, so time our going that we come upon the fields when our lord gives the signal. 3. If both alternatives is false, it means that the statement is false Because both alternative could be true, so the clause complex above is an inclusive or. And the elaboration paratactic relation table for this clause complex is: ║ I counsel that we rest now, ║ and set out hence by night, ║ and so time our going that 1 +2 +3 p we come upon the fields when tomorrow is as light as it will be, ║ or when our lord gives ^=4 ^q the signal║ Because both alternative could be true, so the clause complex above is an inclusive or. The clause complex is also a paraphrase since light is one of many kinds of signal. The speaker seems to be saying: ―We can refer to come upon the fields when tomorrow is a light as it will be, or when our lord gives the signal” Since there is a possibility here of choosing the other option, or both, the logician‘s definition still seems to hold true. From semantic point of view, this clause complex means I suggest that we rest now, so time our going that we come upon the fields when tomorrow is as light as it will be or we can go when our lord gives the signal. Or as Self Correction Device (10) Messengers always ready to go at the urgent command of Denethor or his chief captains (LR: 19) According to Murcia, at the causal level, this metalinguistic version of or shows up in what often appear as self corrections when a speaker has not expressed himself or herself satisfactorily. 1. Clause complex above shows that or has the characteristics of showing alternative. The first alternative is true and the second alternatives are Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
101
also true, in this case it is possible to say that Messengers always ready to go at the urgent command of Denethor or Messengers always ready to go at the urgent command of his chief captains. 2. One of the alternatives is true; in this case it is possible to say Messengers always ready to go at the urgent command of Denethor or Messengers always ready to go at the urgent command of his chief captains. 3. If both alternatives is false, it means that the statement is false Because both alternatives could be true, so the clause complex has an inclusive or. Here, the or may be interpreted in reference to the prior statement itself in such a way as to suggest, ―What I intended in the first clause complex was messengers always ready to get to the urgent command of his chief captains‖ These uses of or do not necessarily match the full range of uses of any single word in other languages. The elaboration paratactic relational table for this clause complex is: ║ Messengers always ready to go at the urgent command of Denethor ║ or his chief 1 ^=2 p ^q captains║ From semantic point of view, this clause complex means that: 1. The messengers ready to go at the urgent command of Denetor anytime. 2. The messengers ready to go at the urgent command of his chief captains anytime. Conclusions Based on the main theories used to analyze all data from the resource book, it can be concluded that there are several findings concerning the conjunction in the elaboration paratactic relational. The findings are: 1. There are two kinds of Conjunction Or; Inclusive or and Exclusive or. Inclusive or occurs when the truth conditional way: any clause complex ―X‖ or ―Y‖ is true as long as one of its conjuncts is true. If both of the conjuncts are false, then the statement is false; if both are true, the statement is true. Exclusive or occurs when the conditional way: any clause complex ―X‖ or ―Y‖ is true as long as one of its conjunct is true. If both of the conjunctions are true or false, the statement is false. 2. The proposition that usually appears after conjunction or especially in elaboration paratactic mainly functions as: a. Warning Conjunction or can function as warning as in (Dt. LR: 103). This proposition can only an exclusive or. Because exclusive or seems to have an implicit qualification of ‗but not both‘ thus it would be unfair if we warn some one of something, but still he/she get the consequence. b. Paraphrase Or is frequently used at the phrasal level in definitions of phrases. The speaker seems want to say: ‗You can refer to this as ―…‖ or as ―...‖ for Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
102
example ―We can refer to say I seldom find myself thinking of Silas Marner without hearing a line of Browning with it has no definite relation or I seldom find myself thinking of Silas Marner without hearing a line of Browning with it has no obvious relation‖ (DT. 20) Since there is a possibility here of choosing the other option, or both, the logician‘s definition still seems to hold true. That is why, this proportion can only in inclusive or. c. Self Correction Device At the causal level, this metalinguistic version of or shows up in what often appear as self corrections when a speaker has not expressed himself or herself satisfactorily. Here, the or may be interpreted in reference to the prior statement itself in such a way as to suggest, ―What I intended in the first clause complex was…‖ These uses of or do not necessarily match the full range of uses of any single word in other languages. Thus, this proportion can be an inclusive or or an exclusive or. BIBLIOGRAPHY Bloor, Thomas and Meriel Bloor. 1995. The Functional Analysis of English A Hallidayan Approach. Londo:. Arnold. Gerot, Linda and peter Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Australia: Antipodean Educational Enterpress. Halliday, M. A. K., 198). An Introduction to Functional Grammar. London: The Chauser. Lock, Graham. 1996. Functional English Grammar An Introduction for second Language Teachers. Australia: Cambridge Language Education.
Martin, Christian M I M Matthiessen & Clare Painter. 1997. Working with Functional Grammar. London: Arnold. Murcia, Marianne Celce & Freeman, Diane Larsen. 1999. The Grammar Book An ESL/EFL Teacher’s Course. London: Arnold O‘Grady, William. 1987. Contemporary Linguistics. London: Arnold Quirk, Randolph, et. Al. (1985). A Comprehensive Grammar of the English Language. England: Longman. Saeed, John I. 1997. Semantics. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. Thompson, Geoff. 1996. Introducing Functional Grammar. London: Arnold. Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
103
Makna
ISSN 2086-7069
Jurnal Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra
Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab Dekan Fakultas Komunikasi, Bahasa dan Sastra (Andi Sopandi, SS, M.Si.) Pembina Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi (Tatik Yuniarti, S.Sos., M.I.Kom) Ketua Program Studi Sastra Inggris (Endang S. Priyatna, S.S.) Ketua Penyunting Dr. Afrina Sari, Dra, M.Si. Sekretaris Siti Khadijah, S.Sos. Bendahara Juju Juharoh, A.Md. Penyunting Pelaksana Nuryadi, S.S, M.Hum. Heri Yusup, S.S Sirkulasi & Distribusi Rido Budiman, S.S. Widya Iswari
Alamat Redaksi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi Jalan Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113 Telp: 021-8803153 Fax: 021-8801192 Email:
[email protected]
Penerbit Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
104
Makna
ISSN 2086-7069
Jurnal Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
DAFTAR ISI DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI 1-20 PENGGUNAAN POLA DAN BENTUK KOMUNIKASI DALAM PENERAPAN FUNGSI DAN PERAN KELUARGA Afrina Sari 21-30 PERAN INTERNAL COMMUNICATION DALAM PENCITRAAN PERUSAHAAN ( Studi Kasus Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk ) Tatik Yuniarti
UPAYA
31-51 ANALISIS PROMOSI DALAM UPAYA MEMPERKENALKAN POTENSI PARIWISATA KOTA BEKASI (Studi Kasus Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Kepariwisataan Kota Bekasi) Siti Khadijah 52-75 PROPAGANDA DALAM EDITORIAL MEDIA INDONESIA Winda Primasari 76 - 83 HAMBATAN KOMUNIKASI DALAM PERKULIAHAN (Studi Kasus Mahasiswa Universitas Islam “45” Bekasi) Kartini Rosmala D.K. 84-91 PARADIGMA STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PERPUSTAKAAN DAERAH YANG REPRESENTASIF DI KOTA BEKASI Andi Sopandi 92-103 THE CONJUNCTION OR IN THE ELABORATION PARATACTIC RELATIONAL IN THE ENGLISH CLAUSE COMPLEX: A FUNTIONAL GRAMMAR APPROACH Novita Puspahaty
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
105
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya, penyusunan Jurnal Makna Volume 3. Nomor 1. dapat diselesaikan. Jurnal yang memuat kajian ilmiah tentang ilmu komunikasi, sastra dan bahasa ini menyajikan artikel ilmiah, baik hasil penelitian maupun kajian pustaka. Komunikasi, sastra dan bahasa merupakan fenomena sosial yang berada di tengahtengah kehidupan kita sehari-hari. Usaha untuk menjelaskannya dan menggambarkannya telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati melalui penelitian, pengajaran dan penulisan ilmiah. Jurnal ilmu komunikasi, sastra dan bahasa ini berusaha untuk ikut berperan aktif memberikan gambaran berkala melalui penulisan ilmiah sebagai hasil penelitian atau kajian sesuai dengan prinsip-prinsip akademik. Tulisan-tulisan yang ada dalam jurnal ini merupakan hasil kajian ilmiah yang dilakukan untuk ikut berkontribusi dalam dunia akademik dengan harapan dapat memberikan sumbangsih kepada pihak yang berkepentingan. Tak ada gading yang tak retak, namun milik kami adalah gading gajah Afrika. Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Demikian pula dengan segala kekurangan yang ada dalam edisi kali ini. Namun demikian, kami berusaha memberikan tulisan yang terbaik sebagai kajian ilmiah. Akhir kata, semoga paparan dalam jurnal ini dapat memberikan nuansa baru bagi pembaca guna pengembangan ilmu pengetehuan, khususnya pada bidang komunikasi, sastra dan bahasa serta kebudayaan.
Bekasi, 01 Juli 2012
Redaksi
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
106
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL I.
ARTIKEL YANG DIPUBLIKASIKAN 1. Artikel merupakan ringkasan hasil penelitian, baik penelitian lapangan atau kajian pustaka di bidang Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra Inggris. 2. Artikel yang dikirim ke redaksi bersifat orisinil/belum dipublikasikan sebelumnya. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia baku atau Bahasa Inggris.
II. SISTEMATIKA PENULISAN 1. JUDUL Judul ditulis secara singkat dan mencerminkan isi tulisan. Jika judul terlalu panjang, maka dipecah menjadi judul utama dan sub judul. 2. NAMA PENULIS Nama penulis dicantumkan tanpa gelar. Di bawah nama penulis dicantumkan afiliasi institusi/alumni. 3. ABSTRAK 1) Abstrak ditulis sebanyak 100-200 kata, diketik dengan huruf miring dengan menggunakan Bahasa Inggris bagi artikel yang menggunakan Bahasa Indonesia dan sebaliknya. 2) Jika artikel yang ditulis merupakan hasil penelitian, maka abstrak harus mengandung tujuan penelitian, metode yang digunakan, hasil penelitian dan kesimpulan. 3) Kata kunci sebanyak 3-5 kata dicantumkan di bawah abstrak. 4. STUKTUR NASKAH 1) Hasil Penelitian memuat: Pendahuluan, Metode Penelitian, Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. 2) Kajian Pustaka memuat: Pendahuluan, Sub topik disesuaikan dengan kebutuhan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), Daftar Pustaka, dan Lampiran (jika perlu). III. FORMAT PENULISAN 1. Panjang naskah 15-25 (maksimal) halaman kuarto, menggunakan program Microsoft Word, spasi ganda (spasi 2), jenis huruf Time New Roman, ukuran 12, marjin kanan-kiri, atas-bawah 3 cm. 2. Tabel, gambar, dan bagan diberi nomor judul serta sumber. 3. Tabel diketik 1 (satu) spasi, nomor tabel berurut sesuai dengan penyebutan dalam teks. Setiap kolom diberi sub judul singkat. Jumlah tabel maksimal 5 buah. 4. Kutipan menggunakan catatan perut. Contoh:… (McQuail, 1994: 40) 5. Sub judul tidak diberi nomor, dicetak tebal, huruf kecil dan font 12 6. Penulisan daftar pustaka menggunakan model: Nama Belakang, Nama Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (Cetak Miring). Kota: Penerbit. Contoh: Creswell, John W. 1998. Qualitaive Inquiry and Research Design; Coosing Among Five Traditions. London: Sage Publication 7. Semua rujukan yang dirujuk/dikutip dalam artikel harus dituliskan dalam Daftar Pustaka dan sebaliknya, karya-karya yang tidak dirujuk, tetapi ditulis di Daftar Pustaka akan dihilangkan oleh penyunting. 8. Naskah diserahkan dalam bentuk 1 (satu) cetakan (hard copy) dan 1 (satu) soft copy yang disimpan dalam CD dengan format RTF. 9. Naskah diserahkan paling lambar 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: JURNAL MAKNA Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi Jalan Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113 Telp: 021-8803153 Fax: 021-8801192 Email:
[email protected] 4. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis. 5. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat akan dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Makna, Volume 3, Nomor 2, Sept 2012 – Feb 2013
107