PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Oleh: Bahrudin C34103034
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN BAHRUDIN. C34103034. Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus). Dibawah bimbingan PIPIH SUPTIJAH dan MALA NURIMALA. Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis daging ikan adalah bakso ikan. Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan dan selanjutnya direbus. Bakso kering merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer. Perlu diketahui bahwa manfaat dari pencucian pada surimi dalam pembuatan bakso ikan adalah untuk meningkatkan kemampuan daging dalam membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin. Penggunaan Na-sitrat ditujukan untuk menghasilkan produk yang lebih porous (berongga). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering, mempelajari pengaruh Na-sitrat terhadap jenis tepung yang digunakan dan mempelajari karakteristik bakso kering ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pendahuluan untuk menentukan frekuensi pencucian terbaik dengan uji yang dilakukan adalah derajat putih, Protein Larut Garam (PLG), kekuatan gel, uji lipat serta gigit. Penelitian utama terdapat dua tahap yaitu tahap pertama menentukan bakso terbaik dengan uji yang dilakukan adalah rasio susut masak, rasio rehidrasi dan uji organoleptik skala hedonik, kemudian setelah ditentukan bakso kering terbaik dilakukan tahap dua yaitu membandingkan dua jenis bakso terpilih dengan uji yang dilakukan adalah uji kekuatan gel, kekerasan, Water Holding Capacity (WHC), uji lipat dan gigit, proksimat serta uji organoleptik skala hedonik. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa pencucian terbaik adalah pencucian surimi satu kali dengan nilai kekuatan gel sebesar 1470,95 g.cm, derajat putih sebesar 22,23 %, protein larut garam sebesar 2,70 % serta uji lipat dan gigit sebesar 4,93 dan 8,53. Pencucian satu kali kemudian dipakai untuk penelitian utama, terdapat 6 (enam) jenis bakso yaitu KTT (Kontrol Tepung Tapioka), RTT (Rendam Tepung Tapioka), TTT (Tambah Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), RTS (Rendam Tepung Sagu) dan TTS (Tambah Tepung Sagu) kemudian dilakukan beberapa uji yang menghasilkan bakso jenis TTT dan TTS sebagai bakso kering terbaik dengan rasio susut masak sebesar 81,92 % dan 76,12 %, rasio rehidrasi sebesar 35,98 % dan 25,76 % sedangkan untuk uji organoleptik skala hedonik jenis bakso TTS memiliki nilai tertinggi yaitu 5,33; 5,23 dan 5,90. Jenis bakso TTT dan TTS kemudian dibandingkan, dengan nilai uji yang dihasilkan adalah 370,00 g.cm dan 257,00 g.cm pada uji kekuatan gel; 345,00 g.cm dan 712,50 g.cm pada uji kekerasan; 2,75 dan 3,00 pada uji WHC; 3,20 dan 2,97 pada uji lipat; 6,20 dan 5,70 pada uji gigit. Nilai proksimat untuk bakso jenis TTT adalah kadar air 59,01 %, kadar abu 1,55 %, kadar protein 19,99 %, kadar lemak 1,05 % dan kadar karbohidrat 18,41 % sedangkan untuk jenis bakso TTS adalah kadar air 56,07 %, kadar abu 2,16 %, kadar protein 16,40 %, kadar lemak 0,93 % dan kadar karbohidrat 24,44 %.
PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Bahrudin C34103034
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Nama
:
Bahrudin
NRP
:
C34103034
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 131 478 638
Mala Nurimala, SPi, MSi NIP. 132 315 793
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof.Dr.Ir. Indra Jaya, MSc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, 04 September 2008
Bahrudin C34103034
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 14 Mei 1984, merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Sarih dan Ibu Tihaya Bentih. Penulis menyelesaikan sekolah di SD Assadatu’darain II Pamulang Timur lulus tahun 1997, SMP Arraisiyyah Pamulang Barat lulus tahun 2000, SMU Negeri 1 Pamulang Tangerang lulus tahun 2003. Penulis diterima di IPB pada tahun 2003 melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis aktif berorganisasi menjadi anggota FKM-C (Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) pada tahun 2003-2004. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi pada tahun 2005 di jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan IPB. Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)”. Dibawah bimbingan Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Mala Nurimala, SPi, MSi.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, serta anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Penggunaan Na-sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)”, yang merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Dra. Pipih Suptijah MBA dan Ibu Mala Nurimala SPi, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik selama penelitian. 2. Ibu Dr. Tati Nurhayati SPi, MSi dan Bapak Uju Sadi SPi, MSi selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 3. Ibu dan Bapak tercinta, kakak, seluruh keluarga besar dan Novita Indah Fitriyani atas segala cinta dan kasih sayang-nya, kesabaran, ketegaran, serta do’a dan jerih payahnya, semoga selalu berada dalam lindungan Allah SWT dan sehat wal’afiat. 4. Dosen-dosen, TU, dan seluruh civitas akademik THP yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi. 5. Ibu Diana atas segala kesabarannya dalam membimbing penulis. Pak Basirun, Cak Giran, Bu Sisil, Pak Dicky, Mas Hazil, Bu Netty, Pak Susilo, Pak Didik, Bu Azrina, Pak Dwi dan seluruh staff Laboratorium Pengolahan yang telah memberikan kemudahan dan bantuan selama penelitian di BBP2HP Muara Baru. 6. Mang Karim yang telah mempersiapkan penginapan salama di Muara Baru. Teh Nonon yang selalu menyiapkan makan siang selama penelitian. 7. David, Sigit, Tendi dan Ari cowo, atas kebersamaam dan bantuan selama penelitian di Muara Baru.
8. Keluarga Besar Wisma Az-Zahra, Wisma Panggung, Juhli, Indra, Bangun, Umam, Jule, Matul, Feri dan Beni. 9. Keluarga Besar THP 40, Meri, Nono, Hilman, Abdul, Juhli, Dian, Sigit, Liany, Novita, Pisuko, Setyo, Fikri, Indrugs, Bangun, Nola, Aal, Deden, Tenjo, Angling, Hoe’, Rici, Edo, Roedex, Gea, Windo, Tomi, Tendi, Iqbal, Wida, Yunita, Ira, Gami, Tobi, Riri, dan semua anak THP 40, 39, 41. Terima kasih atas persaudaraan, keceriaan serta cinta kasihnya. 10. Keluarga Besar THP 39, 41, 42, 43, 44 dan 45 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kebersamaannya selama ini. 11. Keluarga Besar Mig33 room IPB BOGOR, Muad, Rae, Yudhi, Ivan, Cydra, Indra, Jule, Juhli, Tendi, Henny, Pikah, Mae, Putri dan seluruh keluarga besar mig33 room IPB BOGOR yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan serta do’a kalian sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, 04 September 2008
Bahrudin C34103034
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
1. PENDAHULUAN......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................
1
1.2 Tujuan..................................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus) ..........................
4
2.2 Daging Ikan .........................................................................................
5
2.2.1 Protein miofibril......................................................................... 2.2.2 Protein sarkoplasma................................................................... 2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma) ...................................................
5 6 6
2.3 Surimi ..................................................................................................
6
2.3.1 Definisi surimi ........................................................................... 2.3.2 Bahan tambahan......................................................................... (1) Garam .................................................................................. (2) Polifosfat.............................................................................. (3) Bahan cryoprotectant ..........................................................
6 7 7 7 8
2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia) ............ 2.3.4 Pengaruh pencucian ................................................................... 2.3.5 Pembentukan gel ikan................................................................
9 9 10
2.4 Bakso Ikan...........................................................................................
11
2.4.1 2.4.2 2.4.3 2.4.4 2.4.5
Definisi bakso ............................................................................ Cara pembuatan bakso ikan ....................................................... Bahan pengisi............................................................................. Bumbu-bumbu ........................................................................... Es atau air es ..............................................................................
11 12 14 17 17
2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku).......................................................
18
2.5.1 2.5.2 2.5.3 2.5.4 2.5.5 2.5.6
Proses pembekuan ..................................................................... Proses pengeringan sublimasi.................................................... Pindah panas dan masa .............................................................. Konduktivitas panas................................................................... Permeabilitas air ........................................................................ Konsentrasi dan suhu bahan ......................................................
18 19 20 22 23 23
2.6 Pengaruh Pembekuan ..........................................................................
23
2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia.......................................................
24
3. METODOLOGI ........................................................................................
27
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
27
3.2 Bahan dan Alat ....................................................................................
27
3.3 Metode Penelitian................................................................................
28
3.3.1 Penelitian pendahuluan.............................................................. 3.3.2 Penelitian utama......................................................................... (1) Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan...... (2) Skema pembuatan bakso pada penelitian utama .................
28 29 30 31
3.4 Metode Analisis Mutu Bakso ..............................................................
31
3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985) .............................................. 3.4.2 Uji fisik ...................................................................................... (1) Kekuatan gel (Gel strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) ........................................................................ (2) Kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986)............................. (3) Derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994) ............................................... (4) Uji pelipatan (Folding test) (Suzuki 1981).......................... (5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981)......................... (6) Rasio susut masak (Soeparno 1992).................................... (7) Rasio rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988).............. (8) Protein larut garam (PLG) ( Saffle dan Galbrcath 1964 diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................ 3.4.3 Uji Kimia ................................................................................... (1) Kadar air (AOAC 1995) ...................................................... (2) Kadar abu (AOAC 1996)..................................................... (3) Kadar protein (AOAC 1996) ............................................... (4) Kadar lemak (AOAC 1995)................................................. (5) Kadar karbohidrat (Winarno 1992) ..................................... (6) TVB (Total volatile base) (Official Journal of the European Union 2005 diacu dalam BBP2HP 2006) ............................ (7) WHC (Water holding capacity) (Grau dan Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................
32 32 32 32 32 33 33 34 34 34 35 35 36 36 37 37 38 38
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................
39
3.6 Perlakuan pada Penelitian ...................................................................
40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
41
4.1 Penelitian Pendahuluan .......................................................................
41
4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 4.1.5
Uji kekuatan gel (Gel strenght) ................................................. Derajat putih (Witheness) .......................................................... Protein larut garam (PLG) ......................................................... Uji lipat (Folding test) ............................................................... Uji gigit (Teeth cutting test).......................................................
41 43 45 46 47
4.2 Penelitian Utama .................................................................................
49
4.2.1 Penelitian utama tahap satu........................................................ (1) Rasio susut masak ................................................................ (2) Rasio rehidrasi ...................................................................... (3) Uji organoleptik.................................................................... (a) Penampakan.................................................................... (b) Tekstur............................................................................ (c) Warna..............................................................................
49 49 52 53 53 54 55
4.2.2 Penelitian utama tahap dua......................................................... (1) Kekuatan gel (Gel strenght) ................................................ (2) Kekerasan (Hardness) ......................................................... (3) WHC (Water holding capacity)........................................... (4) Uji lipat (Folding test) ......................................................... (5) Uji gigit (Teeth cutting test) ................................................ (6) Uji organoleptik................................................................... (7) Kadar proksimat ..................................................................
57 57 58 59 61 62 63 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
66
5.1 Kesimpulan..........................................................................................
66
5.2 Saran....................................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
67
LAMPIRAN....................................................................................................
74
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1.
Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992) ..............................
10
2.
Stabilitas emulsi dari protein larut garam ..................................................
13
3.
Komposisi kimia tepung tapioka................................................................
15
4.
Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain...................................
16
5.
Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan ..............................................
16
6.
Nilai mutu uji pelipatan (folding test) ........................................................
33
7.
Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test).......................................................
33
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus).....................................................
4
2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan 0°C ...........................................
19
3. Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku .......
21
4. a. Skema pembuatan surimi pada penetian pendahuluan (Modifikasi Suzuki 1981) ............................................................................. b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama.....................................
30 31
5. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel kamaboko .
42
6. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap derajat putih gel kamaboko...............................................................................................
44
7. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap PLG kamaboko..............
45
8. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji lipat kamaboko .........
47
9. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji gigit kamaboko.........
48
10. Diagram analisis rasio susut masak bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................
50
11. Diagram analisis rasio rehidrasi bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................
53
12. Diagram nilai rata-rata penampakan bakso kering beku.............................
54
13. Diagram nilai rata-rata tekstur bakso kering beku ......................................
55
14. Diagram nilai rata-rata warna bakso kering beku .......................................
56
15. Diagram perbedaan kekuatan gel pada produk bakso kering beku terpilih ...........................................................................
58
16. Diagram perbedaan kekerasan pada produk bakso kering beku terpilih.....
59
17. Diagram perbedaan WHC pada bakso kering beku terpilih .......................
60
18. Diagram perbedaan uji lipat produk bakso kering beku yang terpilih ........
61
19. Diagram perbedaan uji gigit produk bakso kering beku yang terpilih........
63
20. Diagram perbedaan organoleptik bakso kering beku terpilih .....................
64
21. Diagram perbedaan kadar proksimat pada produk bakso kering beku terpilih ..........................................................................
65
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Score sheet organoleptik .............................................................................. 1.a. 1.b. 1.c. 1.d.
74
score sheet uji gigit .............................................................................. score sheet uji lipat............................................................................... score sheet organoleptik bakso kering skala hedonik .......................... score sheet organoleptik bakso basah skala hedonik ...........................
74 75 76 77
2. Data mentah uji organoleptik .......................................................................
78
2.a 2.b 2.c 2.d 2.e 2.f 2.g 2.h1 2.h2 2.i1 2.i2
Data uji gigit kamaboko ...................................................................... Data uji lipat kamaboko ...................................................................... Data organoleptik bakso kering .......................................................... Data organoleptik bakso basah ulangan1............................................ Data organoleptik bakso basah ulangan2 ............................................ Data uji gigit bakso basah ................................................................... Data uji lipat bakso basah ................................................................... Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 1..................... Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 2..................... Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 1..................... Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 2.....................
78 78 79 81 81 82 82 83 83 84 84
3. Tabel uji statistik ..........................................................................................
85
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8
Uji lipat dan kigit Kamaboko................................................................ Derajat putih kamaboko ........................................................................ Kekuatan gel kamaboko........................................................................ Protein larut garam (PLG) kamaboko ................................................... Rasio rehidrasi....................................................................................... Rasio susut masak ................................................................................. Organoleptik bakso kering .................................................................... Water holding capacity (WHC) ............................................................
85 86 87 89 90 91 93 96
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat tetapi juga untuk kepentingan ekspor. Potensi perikanan Indonesia untuk perikanan laut saja diperkirakan sekitar 6,2 juta ton per tahun (Budiyanto dan Djazuli 2003). Dari seluruh hasil produksi perikanan Indonesia ternyata sekitar 40 % dari jumlah produksi total perikanan Indonesia dijadikan bahan baku untuk produk olahan. Sekitar 80 % dari produk olahan tersebut dijadikan produk perikanan tradisional seperti ikan asin, ikan kering, ikan asap, dan ikan fermentasi. Sisanya sebesar lebih kurang 20 % diproses dengan teknologi modern untuk kepentingan ekspor (Dahuri 2003). Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi yang umumnya disukai oleh masyarakat, baik dari golongan ekonomi rendah sampai golongan
ekonomi
tinggi
karena
harganya
yang
relatif
terjangkau.
Beberapa keunggulan dari ikan, yaitu proteinnya mengandung jaringan ikat lebih sedikit dan kandungan asam amino yang lengkap selain itu asam lemak yang dikandungnya merupakan asam lemak tak jenuh. Kandungan lemak pada ikan rendah dan asam lemaknya sebagian besar merupakan asam lemak tak jenuh ganda terutama asam lemak omega-3 yang dapat menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kecerdasan otak dan mencegah berbagai penyakit degeneratif.
Ikan juga banyak mengandung vitmin A dan
berbagai sumber mineral yang penting seperti besi, posfor, iodin, kalsium, magnesium, selenium, seng dan tembaga (Sudarisman dan Elvina 1996). Ditinjau dari segi ekonomi harga daging ikan relatif lebih murah dibandingkan dengan daging lainnya sehingga dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk meningkatkan konsumsi ikan maka diperlukan adanya usaha-usaha diversifikasi dalam pengolahan produk perikanan sehingga mampu memanfaatkan sumber daya perikanan menjadi optimal dan meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis daging ikan adalah bakso ikan.
Bakso ikan merupakan salah satu jenis produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging ikan yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan, dan selanjutnya direbus (Koswara et al. 2001). Pada dasarnya, hampir semua jenis ikan dapat dimanfaatkan dagingnya untuk diolah menjadi bakso (Wibowo 2006). Bakso ikan memiliki beberapa variasi dalam hal bentuk serta cara penyajiannya, salah satu contoh yang akan dilakukan penelitian adalah bakso dalam bentuk kering yang memiliki keunggulan lebih awet, lebih mudah dalam penyimpanan, bahan pelengkap produk-produk instan dan memiliki potensi yang besar untuk dipasarkan. Bakso kering merupakan salah satu produk pangan yang telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer sampai diperoleh produk akhir bakso kering. Bahan baku utama dalam pembuatan bakso kering ini adalah adalah surimi dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Ikan mata goyang memiliki nama Indonesia swangi/brajanata (Priacanthus tayenus), dengan daerah penyebaranya pada perairan indo-pasifik terutama daerah dengan dasar perairan karang batu. Ikan ini memiliki ciri-ciri khusus yaitu memiliki mata yang cukup besar, sirip dorsal dua buah, bentuk sirip kaudal cagak, warna tubuh merah serta ukurannya panjangnya dapat mencapai lebih dari 30 cm (DKP 2008). Menurut data statistik perikanan tangkap Indonesia (2006), nilai produksi total ikan mata goyang (swangi) pada tahun 2004 sebesar 13.075 ton/tahun dengan kenaikan rata-rata pertahun sebesar 16,19 %. Ikan jenis ini merupakan ikan hasil tangkapan samping yang pemanfaatannya oleh nelayan kurang, ikan mata goyang biasa digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan bakso ikan, sosis ikan, nugget ikan dan lainlain. Pengetahuan mengenai frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi merupakan hal yang penting dalam pembuatan bakso ikan, karena pencucian memiliki manfaat yang sangat besar dalam meningkatkan kemampuan daging membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin dan menurunkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Lee 1984). Penggunaan bahan kimia dalam hal ini Na-sitrat ditujukan untuk mengganggu dan menguraikan struktur protein dari tepung yang terdapat dalam bakso sehingga
produk yang dihasilkan lebih porous (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999). Keadaan porous pada bahan diharapkan akan mempercepat proses rehidrasi bakso kering untuk kembali pada keadaan semula dan memperbesar rasio susut masak. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : − mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering; − mempelajari pengaruh Na-sitrat pada jenis tepung yang digunakan; − mempelajari
karakteristik
(Priacanthus tayenus).
bakso
kering
ikan
mata
goyang
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus) Klasifikasi ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) menurut Richardson 1846 dalam www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Class
: Actinopterygii
Order
: Perciformes
Family
: Priacanthidae
Genus
: Priacanthus
Species
: Priacanthus tayenus
Gambar 1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) berbentuk bulat agak memanjang dan mata cukup besar dengan bintik hitam pada bagian sirip pectoral. Ikan ini hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman 150 sampai 200 m lebih pada daerah batu karang, kadang-kadang jumlahnya banyak. Ikan ini memiliki sifat nokturnal pada perairan dalam dengan memakan zooplankton, cacing polikaeta, krustasea dan ikan-ikan kecil. Pada umumnya ikan ini penyendiri, tetapi ada beberapa yang membentuk kelompok. memcapai
30
cm
dan
termasuk
Ikan ini dapat tumbuh maksimum ikan
non-ekonomis
penting,
daerah
penyebarannya adalah perairan dengan dasar karang berbatu seperti pada laut Arafuru Indonesia (Richardson 1986).
2.2 Daging Ikan Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu atau beberapa jenis ikan. Jenis ikan berdaging putih cocok untuk dibuat bakso karena selain warnanya yang putih, jenis kandungan aktin dan miosin yang cukup tinggi sehingga tekstur bakso yang dihasilkan bagus (Wibowo 2006). Menurut Lembaga Pengawasan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat yang dikutip oleh Tranggono dan Sutardi (1990), daging adalah bagian dari otot hewan yang secara biokimiawi sangat dekat dengan sifat otot manusia. Unit dasar otot adalah serat, multinukleat, sel silindris yang bergabung menjadi satu dan dibungkus oleh jaringan penghubung yaitu epimisium. Otot ikan tidak banyak memiliki jaringan penghubung seperti pada daging hewan lainnya (Tranggono dan Sutardi 1990). Pada ikan yang dimaksud daging adalah otot putih yang memiliki kualitas protein tinggi. Protein ikan berdasarkan sifat kelarutannya dibagi menjadi tiga kelas, yaitu protein larut air, protein larut garam, dan fraksi protein yang tidak larut. Protein yang tidak larut umumnya berupa jaringan ikat, protein ini bersifat tidak larut walaupun pada cairan dengan kekuatan ion yang tinggi (Watabe 1990). 2.2.1 Protein miofibril Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan, dimana protein ini bersifat larut dalam larutan garam (Watabe 1990). Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot.
Protein ini dapat
diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5 M). Penampakan miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, hanya lebih mudah kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasi lebih cepat. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Miosin adalah protein paling penting dari semua protein otot, bukan hanya karena jumlahnya yang besar (50 %-60 % dari total miofibril) (Shahidi 1994) tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi dapat bergabung dengan
aktin membentuk kompleks aktomiosin (Watabe 1990). Aktin merupakan protein miofibril yang paling besar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu sekitar 20 % dari total protein miofibril (Sahidi 1994). 2.2.2 Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan secara normal ditemukan dalam plasma sel dimana protein tersebut berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen (Watabe 1990). Protein sarkoplasma yang mengandung berbagai jenis protein yang larut dalam air disebut miogen.
Kandungan miogen dalam otot ikan
tergantung spesiesnya, namun pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981). Pencucian dengan air terhadap daging lumat ikan sangat diperlukan untuk menghilangkan darah, bau ikan, dan juga membuang protein sarkoplasma yang menghalangi kemampuan pembentukan gel. 2.2.3 Protein jaringan ikat (stroma) Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau garam berkekuatan tinggi (Sahidi 1994). Protein stroma penting dalam industri pengolahan pangan karena stroma memiliki sifat yang mengganggu sifat fungsional daging, yaitu menyebabkan menurunnya kapasitas emulsi daging dan mengganggu water holding capacity daging. Disamping itu protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena mengandung sedikit asam amino essensial (Pomeranz 1991). 2.3 Surimi Surimi merupakan salah satu produk perikanan yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan dengan tahapan proses tertentu. 2.3.1 Definisi surimi Surimi merupakan daging lumat yang dibersihkan dan dicuci berulangulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen, dan lemak hilang.
Jika disimpan, surimi disimpan dalam bentuk beku dengan menambahkan bahan antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al. 1999) Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun demikian, ikan berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik (Peranginangin et al. 1999). Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15 oC akan lebih banyak melarutkan protein larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10 °C-15 oC (Schwarz dan Lee 1988 diacu dalam Andini 2006). 2.3.2
Bahan tambahan Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980). Jenis-jenis bahan yang ditambahkan dalam pembuatan surimi adalah garam, gula, dan polifosfat. (1) Garam Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2 %-0,3 % selama proses leaching memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan Tangkap 1990). Fungsi yang paling utama dalam penambahan garam ini adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat. Selain itu juga digunakan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma, tapi jika digunakan dengan kadar yang cukup tinggi dapat mengubah cita rasa makanan. (2) Polifosfat Polifosfat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah natrium tripolifosfat (STTP).
Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan
dengan miosin. Miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Irianto 1987 diacu dalam Haryati 2001). Penambahan bahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat meskipun bukan berfungsi sebagai cryoprotectant tetapi perlu ditambahkan untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi.
Biasanya polifosfat
ditambahkan sebanyak 0,2 %-0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). (3) Bahan cryoprotectant Cryoprotectant adalah bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Cryoprotectant digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku. Bahan yang dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat
molekul
air
melalui
ikatan
hidrogen
disebut cryoprotectant.
Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein (Zhou et al. 2006). Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturan. Cyoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasi denaturasi protein selama masa penyimpanan beku
(Pipatsattayanuwong
et
al.
1995).
Penambahan
polifosfat
dapat
menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984). Penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) (Peranginangin et al. 1999). Denaturasi protein mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair (Wong 1989). Proses hidrasi hidrofobik ini menghasilkan energi bebas positif.
Perubahan energi bebas positif ini akan meningkatkan permukaan protein. Permukaan protein yang lebih luas ini secara termodinamik tidak stabil dari pada bentuk yang tidak terdenaturasi (Hultin 1985 diacu dalam Fennema 1985). Proses hidrofobik ini dapat dicegah dengan antidenaturan, khususnya gula. Gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein, dan stabilitas protein tetap terjaga (Whistler et al. 1985 diacu dalam Fennema 1985). Dalam pembuatan surimi digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. 2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia) Syarat mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (Standar Nasional Indonesia 1992). Persyaratan mutu surimi beku terdapat pada Tabel 1. Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Rupa dan warna
: bersih, warna daging spesifik jensi ikan
b. Bau
: segar spesifik jenis
c. Daging
: elastis dan kompak
d. Rasa
: netral agak manis
2.3.4 Pengaruh pencucian Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling penting khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah, serta berdaging merah.
Pencucian surimi bertujuan untuk
melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel ikan.
Pengaruh pencucian dalam pembuatan
surimi selain berfungsi untuk mendapatkan warna daging yang putih, juga untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Suzuki 1981).
Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara 5 °C-10 oC (Suzuki 1981). Pencucian dengan air dapat menunjang kemampuan membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan. Protein yang hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25 %. Air pencuci yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila menggunakan air laut atau air garam kehilangan proteinnya akan semakin tinggi (Irianto 1990). Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992) Jenis uji a) Organoleptik • nilai min. a) cemaran mikroba • ALT, maks • E. coli, maks • Coliform, maks • Salmonella *) • Vibrio Cholerae*) b) Cemaran Kimia*) • Abu total, maks • Lemak, maks • Protein, min c) Fisika • Suhu pusat, maks • Uji lipat, min •
Satuan
Persyaratan mutu 7
Koloni/gram APM/gram APM/gram Per 25 gram Per 25 gram
5 x 105 <3 3 Negatif Negatif
% b/b % b/b % b/b
1 0,5 15
o
C
gram/cm2
Elastisitas, min
-18 7 (grade S, tidak retak jika dilipat setengah lingkaran) 300
*Keterangan: ALT= Angka Lempeng Total, APM= Angka Paling Memungkinkan Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1992
2.3.5 Pembentukan gel ikan Daging ikan mentah yang digiling, jika ditambahkan garam maka protein aktomiosin dalam daging akan larut dalam garam membentuk sol.
Bila sol
dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan memberikan sifat dan kekuatan ashi yang berbeda menurut jenis dan kesegaran ikan. Selama proses penggilingan daging dan pencampuran dengan garam (2 %-3 %), akan terbentuk sol aktomiosin yang berbentuk pasta.
Kemudian seiring dengan
kenaikan suhu, perlahan-lahan sol aktomiosin berubah membentuk gel suwari hal ini disebabkan oleh terbentuknya struktur jala yang didominasi oleh ikatan hidrofobik akibat suhu setting kemudian terjadi perusakan gel suwari pada suhu sekitar 60 oC dimana peristiwa ini disebut modori, yaitu proses pelunakan gel (Suzuki 1981) yang kemudian setelah suhu diatas 70 oC, terbentuklah gel kamaboko. 2.4 Bakso Ikan Bakso merupakan salah satu panganan berbentuk bulat yang berisi daging. Produk ini merupakan salah satu produk yang paling banyak disantap orang karena rasanya yang lezat, bergizi tinggi, dapat disantap dengan dan dalam keadaan apapun serta sangat mudah diterima oleh semua kalangan. 2.4.1 Definisi bakso Bakso adalah produk olahan ikan atau daging yang telah dihaluskan kemudian diberi bumbu dan tepung lalu dibentuk bulat (Sudarisma dan Elvina 1996). Daging yang akan dibuat harus sesegar mungkin. Daging yang telah mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang rendah baik mutu maupun rendemennya (Winarno dan Rahayu 1994). Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatanbulatan, dan selanjutnya direbus.
Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa
mengalami proses curing, pembungkusan maupun pengasapan (Koswara et al. 2001). Bakso merupakan salah satu bentuk produk emulsi yang mencengkram air dan minyak dengan baik.
Emulsi daging memiliki karakteristik yang sama
dengan emulsi minyak dalam air, dalam hal ini lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu. Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein khususnya protein yang bersifat larut garam, terutama aktin dan miosin (Kramlich 1971). Fungsi protein daging dalam bakso adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging selama pemanasan dan sebagai emulsifier sehingga produk menjadi empuk, kompak dan kenyal (Winarno dan Rahayu 1994). Kemampuan protein sebagai bahan pengemulsi tergantung pada
konsentrasi protein, kecepatan pencampuran jenis lemak, sistem emulsi, dan jenis emulsi (Carpenter dan Saffle 1965).
Kemampuan daya ikat sebagai akibat
perlakuan fisik atau kimia (Siegel dan Scmidth 1979). 2.4.2 Cara pembuatan bakso ikan Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya.
Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak
permukaan dan jaringan ikat atau urat (Koswara et al. 2001). Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar (Koswara et al. 2001). Pada proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air sebanyak 20 % dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu 1994). Temperatur yang tinggi hingga lebih dari 22 °C akan mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak dan air akan terpisah selama pemasakan akibat terdenaturasinya protein (Wilson 1981). Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara memecah, menggiling, atau mencincang sampai lumat.
Pembentukan adonan dapat
dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk adonan atau menghancurkan daging bersama-sama garam dan es batu terlebih dahulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lainnya (Koswara et al. 2001). Suhu adonan tidak boleh melebihi 20 °C. Pencetakan dilakukan dengan cara adonan dibentuk bulatan-bulatan dengan ukuran yang dikehendaki.
Pembulatan dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin atau dengan cara menggunakan tangan yang dibentuk dengan sendok (Wibowo 2006). Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul membentuk satu jaring-jaring.
Hanya protein yang larut dalam garam yang
berperan dalam pembentukan gel.
Diantara protein miofibril, miosin dan
aktomiosin yang menghasilkan emulsi yang paling stabil, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam No
Protein
pH
Kekuatan Ion
Stabilitas Emulsi
1
Miosin
8
0,35
>4 minggu
2
Sarkoplasma
7
0,35
12 jam
3
Aktomiosin
6,7
0,35
>3 minggu
4
Aktin
7,2
0,35
<36 jam
*Sumber: Wong (1989)
Kepala miosin mulai menggumpal pada pemanasan dengan suhu relatif rendah, kemudian bagian belakangnya membuka dengan semakin meningkatnya suhu. Penggumpalan kepala miosin mengakibatkan perubahan rantai disulfida dan memungkinkan untuk membentuk ikatan intermolekuler rantai samping. Kumpulan antara kepala miosin akan membentuk daerah persilangan miosin untuk membentuk jaringan-jaringan gel. Jaring-jaring gel distabilkan oleh ikatan nonkovalen yang mengikat sisi rantai dan menyebabkan kepala miosin menutup. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah pada kadar garam 0,6 M, pH 6 dan suhu 65 °C (Wong 1989; Pomeranz 1991). Untuk mendapatkan kekuatan gel yang maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara merendam dalam air dengan suhu 28 °C-30 °C selama 1 sampai 2 jam atau pada suhu air 40 °C-45 °C selama 20 sampai 30 menit (Wibowo 2006). Pemanasan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 60 °C sampai 80 °C, sampai bakso mengeras dan mengambang dipermukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Koswara et al. 2001). Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan merebus dalam air yang mendidih. Bakso yang di-“blanching” dengan uap panas atau air panas pada suhu 85 °C sampai 100 °C merupakan bakso terbaik. Proses pemasakan adonan
bakso bertujuan untuk membentuk struktur yang kompak, kenyal, dan padat sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati. 2.4.3 Bahan pengisi Bahan pengisi merupakan merupakan fraksi bukan daging yang biasanya ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti bakso dan sosis. Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi daging, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi. Jenis bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada proses pembuatan bakso adalah tepung berpati, misalnya tepung tapioka, tepung gandum, dan tepung sagu. Tepung pati tidak dapat mengemulsikan lemak tetapi memiliki kemampuan dalam mengikat air karena mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Penggunaan tepung pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya 4 %-5 % dari berat daging, sedangkan pada pembuatan komersial, penambahan tepung berkisar antara 50 %-100 % dari berat daging. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi dan mengurangi harga bakso. Penambahan tepung terlalu tinggi akan menutup rasa daging sehingga rasa bakso kurang disukai konsumen (Koswara et al. 2001). Bakso yang bermutu kadar patinya kira-kira 15 % (Winarno dan Rahayu 1994). Agar bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10 %-15 % dari berat daging (Wibowo 2006). Tepung pati yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso yaitu tepung tapioka dan tepung sagu.
Tepung tapioka merupakan pati (amilum) yang
diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima Phol atau Manihot usculenta crants) setelah melalui cara pengolahan tertentu (DSN 1994). Tapioka mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83 %. Amilosa (larut dalam air panas) memiliki struktur lurus dengan ikatan α(1,4) D-glukosa, sedangkan amilopektin (tidak larut dalam air panas) memiliki struktur bercabang dengan ikatan α(1,6) D-glukosa.
Fraksi amilosa bertanggung jawab atas
keteguhan gel. Sedangkan perbandingan antara kandungan amilosa dan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno 1997).
Tapioka memiliki banyak
kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, dapat memberikan dekstrin dengan kelarutan yang baik, citarasa netral, dan menyebabkan warna terang pada produk. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia tepung tapioka Unsur Gizi
Komposis (%)
Kadar Air
12
Kadar Abu
0,3
Kadar Protein
0,5
Kadar Lemak
0,3
Kadar Karbohidrat
86,9
*Sumber: Direktorat Gizi (1995)
Tepung sagu berasal dari tanaman sagu yang merupakan salah satu tanaman
yang pertama kali digunakan oleh penduduk Asia Tenggara dan Oceania sebagai bahan pangan. Pati merupakan komponen kimia terbesar pada batang sagu. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang (empulur) tanaman sagu. Empulur batang sagu mengandung 20,2 %- 29 % pati, 50,66 % air dan 13,8 %-21,3 % bahan lain atau ampas (Flach 1983). Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 %-60 % pati dan 40 %-46 % ampas. Untuk membebaskan granula pati dari jaringan pengikatnya membutuhkan perombakan dinding sel melalui pemarutan atau penggilingan menggunakan air sebagai pelarut. Pati sagu mengandung 27 % amilosa dan 73 % amilopektin (Flach 1983). Pati sagu mengandung 27,4 % amilosa dan 72,6 % amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat, dan mudah menyerap air (higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1984). Pati sagu memiliki granula berbentuk oval dengan ukuran yang cukup besar yaitu 20 mikron sampai 60 mikron (Cecil et al. 1982). Pati sagu juga mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 ºC. Pati sagu memiliki granula berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar
20 mikron sampai 60 mikron dan suhu gelatinisasi berkisar antara 60 °C-72 ºC (Knight 1989). Karakteristik pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati lain dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain Bentuk Granula
Jenis pati
Ukuran granula (µm)
Kisaran suhu gelatinisai (ºC)
Kandungan amilosa
amilopektin
20-60
27
73
60-70
Sagu
Ellips
Beras
Poligonal
3-8
17
89
61-78
Jagung
Poligonal
5-25
26
74
62-74
Kentang
Bulat
15-100
24
76
56-69
Tapioka
Oval
5-35
17
83
52-64
Gandum
Ellips
2-35
25
75
52-64
Ubi jalar
Poligonal
16-25
18
82
58-74
*Sumber: Knight (1989)
Pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori sagu relatif besar yaitu 333 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1990). Komposisi kimia pati sagu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan Komponen
Jumlah
Kalori (kkal)
353
Protein (g)
0,7
Lemak (g)
0,2
Karbohidrat (g)
84,7
Air (g)
14,0
Fosfor (mg)
13
Kalsium (mg)
11
Besi (g)
1,5
*Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
2.4.4 Bumbu-bumbu Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah garam, bawang merah, bawang putih, dan Monosodium Glutamat (MSG). Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan garam berfungsi sebagai pemberi rasa pada bakso, pelarut protein, pengawet, dan meningkatkan daya ikat air dari protein daging.
Pemakaian garam dalam
pembuatan bakso berkisar antara 5 sampai 10 % dari berat daging. Penggunaan garam yang semakin meningkat (0 sampai 6 %) mengakibatkan semakin tingginya protein yang terlarut. Penambahan MSG umumnya berkisar antara 1,0 sampai 2,5 % dari berat daging (Koswara et al. 2001). Garam dapur dan MSG sama-sama memiliki fungsi sebagai pemberi rasa pada produk bakso. Bakso sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan MSG atau vetsin sebagai gantinya digunakan campuran kombinasi antara bawang putih dengan merica sebesar 2 % dari berat daging atau campuran antara bawang merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006). Penggunaan tepung merica yang berbintik-bintik gelap sebaiknya tidak digunakan karena akan menyebabkan bakso menjadi berbintik-bintik gelap. 2.4.5 Es atau air es Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi.
Air ditambahkan sampai
adonan mencapai tekstur yang dikehendaki. Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20 sampai 50 % dari berat daging yang digunakan.
Jumlah
penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan (Koswara et al. 2001).
2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku) Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. 2.5.1 Proses pembekuan Proses pembekuan pada pengeringan beku akan menentukan hasil akhir produk yang dikeringkan. Laju pembekuan yang digunakan akan menentukan porositas produk kering beku yang dihasilkan. Pembekuan cepat akan menghasilkan produk kering beku yang mempunyai pori lebih kecil, karena laju perpindahan panas dari sistem berlangsung cepat sehingga dihasilkan kristal es yang kecil tersusun secara merata pada jaringan. Pembekuan lambat akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang besar yang tersususn pada ruang antar sel dengan ukuran pori-pori yang besar dan ukuran pori yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan suhu yang digunakan pada proses pembekuan (Heldman dan Singh 1981). Fennema dan Powrie (1964) menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi laju pembekuan bahan pangan, yaitu (1) beda suhu antara produk dengan medium pendingin, (2) cara pindah panas ke dalam produk dan di dalam produk, (3) ukuran, bentuk dan tipe kemasan, (4) ukuran, bentuk, dan sifat termofisik bahan yang dibekukan. Liapis dan Bruttini (1995) mengatakan bahwa proses pengeringan beku melibatkan tiga tahap berikut : (a) Tahap pembekuan; pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan hingga suhu di mana seluruh bahan menjadi beku. (b)
Tahap pengeringan utama; di sini air dan pelarut dalam keadaan beku dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruang harus kurang atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan baku. Karena bahan pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran bersama komponen-komponen lain, maka pembekuan harus dibawah 0 °C dan biasanya
dibawah -10 °C atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira
2 mmHg atau lebih kecil. Tahap utama ini berakhir bila semua air beku telah tersublim.
(c)
Tahap pengeringan sekunder; tahap ini mencakup pengeluaran uap air hasil sublimasi atau air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir.
2.5.2 Proses pengeringan sublimasi Pengeringan beku merupakan suatu teknik pengeringan pada bahan dalam keadaan beku yang dilakukan pada tekanan rendah (Slade 1967). Pada pengeringan beku, bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan dan pada tekanan yang rendah kandungan air bahan yang berupa es akan langsung menjadi uap yang dikenal dengan istilah sublimasi. Proses sublimasi dilakukan pada suhu dan tekanan di bawah titik triple, yaitu pada kondisi suhu di bawah 0 °C dan tekanan dibawah 610 Pa. Hubungan antara tekanan dan suhu yang juga merupakan diagram fase air dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan suhu 0 °C Menurut Harper et al. (1962) untuk merubah fase es pada bahan menjadi fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sekitar 666 kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber panas dari luar bahan. Pada pengeringan beku secara komersial, panas untuk sublimasi diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas didalam ruang pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air pada proses sublimasi. Selanjutnya Harper et al. (1962), menyatakan bahwa proses pengeringan terjadi keseimbangan antara aliran uap yang keluar dari bahan dan panas yang
masuk ke dalam bahan.
Gerakan uap air dapat terjadi oleh adanya gerakan
hidrodinamik akibat adanya perbedaan tekanan parsial uap air. Jika tekanan total pada ruang vakum lebih kecil dibandingkan dengan tekanan uap es pada bahan tersebut, maka proses difusi sangat kecil dibandingkan dengan aliran hidrodinamik. Pada tekanan total yang tinggi perbedaan tekanan antara permukaan sublimasi dengan permukaan lapisan kering biasanya sangat kecil dan aliran uap air terjadi secara difusi. Karena koefesien difusi bervariasi secara berlawanan terhadap tekanan total, maka laju aliran uap air menurun jika tekanan totalnya naik. Tekanan uap air ini tidak boleh lebih dari tekanan kesetimbangan sublimasi uap es pada bahan yang dikeringkan beku.
Pada suhu 0 °C, tekanan
kesetimbangan ini adalah 4,6 mmHg atau 610 Pa, untuk menjaga agar bahan yang dikeringkan berada pada fase beku maka suhunya harus dibawah 0 °C. 2.5.3
Pindah panas dan massa Dalam pengeringan beku terdapat dua macam pindah panas yang dominan,
yaitu pindah panas secara radiasi dan pindah panas secara konduksi, sedangkan pindah panas secara konveksi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Pindah panas secara radiasi berlangsung dari pelat pemanas ke permukaan bahan yang dikeringkan, sedangkan pindah panas secara konduksi berlangsung dari permukaan lapisan kering ke permukaan sublimasi. Radiasi merupakan proses pindah panas dimana panas secara langsung pindah dari satu bagian ke bagian lain yang terpisah oleh radiasi elektromagnetik, yang umumnya terjadi pada suhu tinggi sedangkan pindah panas secara konduksi adalah perpindahan panas di dalam suatu bahan yang satu dengan bahan lainnya yang terjadi karena perubahan energi kinetik diantara molekul-molekulnya tanpa melibatkan perpindahan dari molekul tersebut (Heldman dan Singh 1981). Pada proses pengeringan akan terdapat tiga lapisan pada bahan, yaitu lapisan beku yang terdapat pada bagian dalam bahan, lapisan kering yang terdapat pada bagian permukaan bahan dan lapisan transisi yang merupakan permukaan sublimasi seperti pada Gambar 3. Selama proses pengeringan beku, permukaan sublimasi akan bergerak ke bagian dalam dan lapisan kering yang berada pada bagian luar akan semakin tebal.
Gambar. 3 Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku Panas yang digunakan untuk sublimasi merambat melewati lapisan kering bahan menuju kepermukaan sublimasi secara konduksi. Jika suhu lapisan beku dan suhu permukaan bahan tetap, maka laju panas yang masuk ke dalam bahan akan seimbang dengan laju uap air yang keluar dari bahan yang dikeringkan. Laju aliran panas yang besar akan dapat menaikan suhu lapisan beku sampai tekanan uapnya cukup besar besar untuk meningkatkan aliran uap air untuk keluar sampai kepada permukaan lapisan kering. Menurut Harper et al. (1962), secara prinsip pada pengeringan beku, panas yang masuk dapat dinaikan sampai bahan beku mulai akan mencair, tetapi karena lapisan kering merupakan penghantar panas yang buruk (isolator), maka panas tidak dapat merambat secara maksimal. Pada proses pindah panas konduksi ini terjadi dua kondisi, yaitu kondisi aliran mantap (steady state) dan kondisi aliran tidak mantap (unsteady state). Jika panas yang masuk ke dalam bahan sama dengan panas yang keluar melalui uap air, maka suhu pada beberapa titik pada bahan pangan tidak tergantung pada waktu dan kondisi ini disebut steady state. Sebaliknya jika panas yang masuk tidak sama dengan panas yang keluar dan kandungan panas bahan berubah terhadap waktu, maka hal tersebut menunjukkan keadaan tidak mantap atau keadaan unsteady state (Frank 1986). Menurut Lombrana dan Izkara (1996), variabel kontrol yang paling penting dalam pengeringan beku adalah tekanan dalam ruang pengering, dimana tekanan ini dapat mempengaruhi pindah panas secara konduksi ke permukaan sublimasi dan aliran uap dari permukaan sublimasi ke permukaan lapisan kering. Konduktifitas panas pada lapisan kering akan semakin tinggi dengan semakin
tingginya tekanan di dalam ruang pengering sampai pada tekanan di bawah titik tripel.
Sebaiknya difusifitas uap air pada lapisan kering akan semakin kecil
dengan semakin tingginya tekanan dalam ruang pengering. Tekanan dalam ruang pengering juga menentukan suhu lapisan beku bahan, semakin rendah tekanan semakin rendah pula suhu lapisan beku. Lama pengeringan pada pengeringan beku dipengaruhi oleh kandungan air bahan, ketebalan bahan, suhu dan tekanan dalam ruang pengering.
Suhu
pengeringan ditentukan oleh ketahanan bahan terhadap panas, misalnya terhadap kandungan gula, asam dan komponen volatilnya. Pada pengeringan beku, suhu pengeringan ditetapkan pada jangkauan suhu yang dapat mencegah atau mengurangi kehilangan kandungan gula, asam dan komponen volatilnya (Desrosier 1988). Menurut Lombrana dan Izkara (1996), simulasi pada pengeringan beku hanya dapat dilakukan jika pengetahuan tentang koefesien pindah panas dan fenomena transpor dan hubungannya dengan kondisi pengering dapat dikuasai. Koefesien pindah panas ini harus dilakukan dengan percobaan dengan mengukur massa air yang menguap pada suhu dan tekanan yang telah diatur dengan baik. Pengukuran suhu pada permukaan sublimasi menjadi lebih sulit karena pergerakan permukaan sublimasi tersebut dan merupakan faktor kesalahan yang utama dalam menentukan koefesien pindah panas. 2.5.4
Konduktivitas panas Konduktivitas panas bahan merupakan sifat bahan yang menunjukan
mudah tidaknya bahan tersebut untuk merambatkan panas. Semakin besar nilai konduktivitas panasnya, maka semakin mudah pula bahan tersebut untuk melewatkan energi panas (Kamil 1983). Secara umum nilai konduktivitas panas suatu bahan sudah tertentu, apabila ditelaah lebih lanjut nilai konduktivitas panas ini dapat dipengaruhi oleh suhu bahan tersebut. Panas yang dialirkan secara konduksi melalui medium berpori yang berupa gabungan antara bahan padat dan gas, secara teori kinetik menunjukan bahwa konduktivitas panas dari gas tidak tergantung kepada tekanan jika jarak rata-rata antara molekul gas lebih kecil jika dibandingkan dengan dimensi dari ruang pori. Kondisi ini tidak terjadi pada bahan yang berpori, karena perubahan tekanan akan
mempengaruhi konduktivitas panas gas dan akan mempengaruhi konduktivitas panas bahan. 2.5.5
Permeabilitas air Pada tekanan yang tinggi, aliran gas yang melalui medium yang berpori
akan mengikuti Hukum Darcy yang sama dengan Hukum Poiseulle sebagaimana aliran viskos yang melewati suatu tabung.
Harper et al. (1962) menyetakan
bahwa pada tekanan yang rendah, perbandingan jarak rata-rata antar molekul menjadi nyata terhadap diameter pori bahan dan kondisi ini dikenal sebagai slip flow, dimana keadaan ini terdapat slip aliran gas sepanjang permukaan yang padat dan kecepatannya akan semakin besar dari aliran viskos biasa. 2.5.6
Konsentrasi dan suhu bahan Konsentrasi
bahan
yang
dikeringkan
dengan
pengeringan
beku
mempunyai pengaruh yang besar terhadap karakteristik pengeringan. Suhu bahan (suhu permukaan) sangat berperan dalam proses pengeringan beku, jika suhu permukaan bahan semakin tinggi maka laju dari permukaan bahan ke permukaan sublimasi akan semakin besar. Menurut Wenur (1997), suhu permukaan dan tekanan memberi pengaruh terhadap lama pengeringan beku udang. Semakin tinggi suhu permukaan bahan dan semakin rendah tekanan (tekanan ruang vakum), maka pengeringan akan semakin singkat. 2.6 Pengaruh Pembekuan Pembekuan dan penyimpanan beku akan meningkatkan pengembangan molekul-molekul pati melalui ikatan hidrogen. Proses ini akan melepaskan air yang terdapat dalam sistem gel. meningkatkan
padatan
yang
Pemerasan setelah proses thawing akan
berstruktur mikrosponge.
Setelah proses
pengeringan, padatan kering yang porous ini dapat dengan cepat tergelatinisasi pada waktu rehidrasi dengan air panas.
Proses pembekuan dilakukan untuk
menghasilakan sifat porositas yang tinggi sehingga waktu rehidrasi menjadi lebih singkat (Anjani et al. 2001). Perubahan nyata dalam proses pembekuan adalah kehilangan struktur yang mempengaruhi struktur kristal es yang besar. Seperti retrogradasi, pembentukan kristal es yang besar disebabkan karena proses pembekuan yang lambat.
Freeze drying rice mengakibatkan kernel terbuka lebih lebar dan ini dapat direhidrasi dalam beberapa menit tanpa pendidihan (Kobs 2000). Kandungan amilosa memegang peranan penting dalam mengontrol laju retrogradasi pati. Retrogradasi terjadi lebih lambat pada amilopektin daripada amilosa dan laju ini sangat cepat terjadi pada suhu 32 °F (Kobs 2000). Pembekuan pada suhu 0 °C (32 °F) selama 1 sampai 3 jam dapat menghasilkan struktur kristal es yang besar, proses ini memecahkan struktur koloid pati dan menghasilkan struktur kernel yang porous.
Produk yang
dihasilkan dapat dengan cepat menyerap air pada tahap pemasakan kembali. 2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin maka akan terjadi penyerapan air dan pengembangan garanula pati. Namun demikian jumlah air yang dapat diserap dan pengembangan granula pati ini terbatas. Jumlah air yang dapat diserap berkisar antara 26 % dari berat awal beras (Winarno 1997). Hanya sebagian kecil air yang dapat masuk kebagian yang tidak beraturan pada granula pati (Osman 1972). Ikatan-ikatan intermolekul yang kuat pada bagian kristal pati tidak dapat menyerap air dan menahan pengembangan granula pati selanjutnya. Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Smith et al. (1985) menyatakan bahwa perembesan air ini memperkecil kecendrungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama pemasakan, dimana pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan, waktu perendaman optimum untuk penyerapan air oleh beras dan pengembangan volume beras pada suhu 26,3 °C (suhu kamar) adalah 2 jam. Perendaman dapat dilakukan dengan menggunakan larutan kimia, seperti yang dijelaskan oleh Hubeis (1984), dilakukan dengan merendam beras dalam larutan Na2HPO4 0,2 % selama 18 jam. Pemberian garam natrium mengakibatkan struktur fisik beras pasca tanak lebih porous, sehingga proses penyerapan air akan lebih cepat pada waktu perendaman maupun pada waktu rehidrasi. Penambahan fospat sebagai senyawa yang mengion pada produk yang berasal dari pati dapat mengakibatkan granula pati produk tersebut tahan terhadap retrogradasi selama
pendinginan dan peningkatan suhu setelah pendinginan.
Produk ini akan
memiliki derajat putih yang tinggi, kapasitas pengikatan air yang tinggi dan tidak dapat membentuk gel. Pemberian garam phospat pada pembuatan mie terutama ditujukan untuk menjaga kestabilan tekstur, bentuk dan meningkatkan daya serap air tanpa merusak bentuk pada mie. Kalsium phospat dan kalsium khlorida memudahkan penyerapan air oleh pati dan meningkatkan warna putih pada produk beras, tetapi pengaruh kalsium phospat lebih nyata dari pada kalsium khlorida (Cox dan Cox 1975). Zat kimia yang dapat memodifikasi struktur protein dari beras adalah garam sitrat, antara lain magnesium sitrat, sodium sitrat dan kalsium sitrat.
Garam sitrat ini tidak
banyak berpengaruh bila digunakan tersendiri, oleh karena itu untuk menghasilkan beras instan yang diinginkan, penggunaan garam sitrat dilakukan bersama dengan perlakuan pemanasan (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999). Perendaman beras dalam larutan Na-sitrat akan mengganggu dan menguraikan struktur protein beras, sehingga butiran menjadi porous.
Sodium sitrat juga
digunakan dalam pembuatan dry soup untuk mempercepat waktu rehidrasi. Perendaman dalam larutan asam sitrat dapat menyebabkan produk menjadi lebih jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan.
Diperoleh
kesimpulan bahwa perendaman dalam larutan 1 persen larutan Na-sitrat dan Ca(H2PO4) (1:1) selama 2 jam merupakan hasil terbaik dalam pembuatan bubur nasi kering (Mulyana 1988). Pati bila dipanaskan akan mengalami gelatinisasi dan proses ini merupakan proses yang kompleks. Pada beras, dengan adanya proses gelatinisasi maka akan terjadi leaching dari amilosa dan hilangnya bentuk kristal. Untuk mencegah hal tersebut, maka waktu pemanasan dapat ditambahkan bahan-bahan kimia (Suliantari 1988). Asam natrium pirofospat merupakan preservative, sekuestran dan buffer, dimana keasamannya sedang dengan pH berkisar 4,1. Senyawa ini akan larut dalam air, dengan tingkat kelarutan 15 g dalam 100 ml pada suhu 25 °C dan digunakan pada pembuatan donat dan biskuit untuk pelepasan gas selama pembuatan adonan dan proses pembakaran. Selain itu juga, pada produk ikan kalengan digunakan untuk mengurangi level dari strutive crystals (magnesium
ammonium phosphate hexahydrat) yang tidak diinginkan. Senyawa ini digunakan juga sebagai pengkelat metal pada proses pembuatan kripik kentang (Igoe dan Hui 1996). Sodium sitrat merupakan buffer dan sekuestran. Sodium sitrat anhidrous mempunyai kelarutan dalam air sebesar 57 g dalam 100 ml air pada suhu 25 °C, sedangkan sodium sitrat dihidrat mempunyai kelarutan dalam air sebesar 65 g dalam 100 ml ai pada suhu 25 °C. Senyawa ini digunakan sebagai buffer pada pembuatan minuman berkarbonasi dan untuk mengontrol pH pada pembuatan minuman serta dapat meningkatkan whipping properties pada cream dan menjaga emulsifikasi dan solubilitas protein pada pembuatan keju. Pada pembuatan dry soup, senyawa ini digunakan untuk meningkatkan rehidrasi sehingga mengurangi waktu pemasakan.
Sodium sitrat berfungsi juga sebagai sekuestran pada
pembuatan pudding serta sebagai agen pengkompleks besi, kalsium, magnesium dan alumunium (Igoe dan Hui 1996).
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2007 di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, jalan Muara Baru Ujung Penjaringan Jakarta Utara, Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini ada 3 (tiga) jenis yaitu bahan utama, bahan pendukung dan bahan analisa bakso. Bahan utama bakso ini adalah ikan mata goyang (Priacanthus tayenus); bahan pendukung dalam pembuatan bakso antara lain garam, lada, bawang merah, bawang putih, tepung tapioka, tepung sagu (rose brand 500 g), backing soda (cap koepoe-koepoe) dan air es; sedangkan bahan analisa bakso antara lain chloroform, tablet katalis, K2SO4, CuSO4/CuSO4. 5H2O, H2SO4 pekat, H2O2, H3BO3, aquades, NaOH, Na2S2O3. 5H2O, HCl, indikator merah metil, asam perklorat, NaOH, H3BO4, Na2B4O7, silicon antifoaming agent, indikator fenolftalein, indikator tashiro. Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan bakso kering ikan mata goyang ada 2 (dua) jenis yaitu alat pembuat surimi antara lain talenan, ember, pisau, kain penyaring, sendok, grinder, food processor, timbagan analitik, kertas timbang, alat pengepres surimi, baskom, sealer dan meat bone separator; sedangkan alat untuk analisa bakso antara lain alat pengukur tekstur Analyser TAX2i Stable Micro System , whiteness meter, oven, cawan, desikator, cawan porselin, tanur, labuh kjehdahl, destilasi, erlenmeyer, kondensor, soxhlet, timbangan, pH meter Inolab, freeze drier, crusible, spatula, alat penjepit, neraca analitis, pemanas listrik, labu bulat, selongsong lemak, kertas saring, rotary evaporator, labu destruksi, buret dan statip, pipet volumetrik, pipet tetes, blender, beaker glass, labu takar, corong, dan kertas saring.
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pendahuluan untuk mencari frekuensi pencucian terbaik untuk surimi dan penelitian utama untuk menentukan jenis bakso kering terbaik berdasarkan beberapa pengujian. 3.3.1
Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan ditujukan untuk mendapatkan frekuensi pencucian
terbaik terhadap surimi dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Pembuatan surimi dimulai dengan ikan disiangi dengan cara dibuang bagian isi perut, kepala serta sisik ikan dan kemudian ikan dicuci bersih pada air mengalir lalu dilakukan pem-fillet-an pada ikan tersebut dan daging ikan bisa didapatkan dengan cara diambil/dikerok menggunakan sendok atau menggunakan meat bone separator untuk memisahkan antara daging dengan kulit ikan.
Daging ikan digiling
kemudian dicuci sebanyak 1, 2 atau 3 kali dalam bak atau ember. Suhu pencucian dipertahankan pada 5-10 °C. Setelah proses pencucian ikan dipres sampai kadar air lebih kurang 80-82 %. Langkah selanjutnya adalah proses penapisan (strainer) untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, serat-serat dan duri-duri yang tertinggal. Untuk mendapatkan surimi dengan mutu baik selanjutnya ditambahkan gula 2-3 % dan polifosfat 0,2 % dengan tujuan untuk mencegah penurunan mutu selama proses penyimpanan. Setelah surimi jadi, kemudian diuji derajat putih dan PLG (Protein Larut Garam). Surimi kemudian ditambahkan garam 2,5 % lalu dilumatkan pada alat food processor sampai terbentuk sol. Untuk mengetahui mutu surimi ini maka dibuat kamaboko. Proses pembuatan kamaboko adalah pencetakan surimi di dalam selongsong. Setelah dicetak dilakukan proses pemanasan pada suhu 40 °C selama 20 menit dan pada suhu 90 °C selama 30 menit sehingga terbentuk kamaboko. Setelah terbentuk ini dilakukan pengujian organoleptik, seperti uji lipat dan uji gigit, serta uji kekuatan gel (gel strenght). berdasarkan pengujian maka ditentukan frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan mata goyang (Priacanthus tayenus).
Skema pembuatan surimi pada
penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4.
3.3.2 Penelitian utama Langkah-langkah pembuatan bakso kering dalam penelitian utama adalah surimi terbaik ditambahkan bumbu-bumbu sampai merata dengan menggunakan food processor, kemudian
ditambahkan tepung dengan konsentrasi 12,5 %
dimana jenis tepung yang digunakan ada dua jenis yaitu tepung tapioka dan tepung sagu.
Selanjutnya pada kedua jenis tepung tersebut diberikan dua
perlakuan dengan masing masing terdapat satu kontrol yang tidak diberi Na-sitrat 1 %. Perlakuan tersebut adalah penambahan Na-sitrat 1 % pada adonan bakso dan perendaman bakso dalam larutan Na-sitrat 1 %. Setelah terbentuk 6 (enam) jenis bakso, kemudian bakso dimasukkan ke dalam alat pengering freeze dryer sampai didapatkan produk kering. Setelah jadi produk kering kemudian diuji organoleptik skala hedonik terhadap kesukaan bakso, uji rasio rehidrasi serta uji rasio penyusutan bakso kering, sehingga didapatkan produk terpilih atau terbaik kemudian bakso dimasak kembali lalu diuji seperti uji organoleptik skala hedonik, uji lipat dan gigit, uji kekerasan, WHC, serta proksimat. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4b.
Ikan mata goyang Penyiangan Pencucian pada suhu 5-10 °C Pemfilletan dan penggilingan daging
Daging giling Pencucian 1, 2 atau 3 kali - Rasio Akuades : Daging giling = 4:1 - Suhu 5-10°C - Waktu 15 menit Penambahan Gula 3 % b/b STTP 0,2 % b/b
Pemerasan dan penapisan Surimi
Pengujian derajat putih dan PLG Pengujian lipat dan gigit serta kekuatan gel
- Penambahan 0,3 % b/v NaCl pada pencucian terakhir - Penambahan 2,5 % b/b NaCl - Mixing - Pencetakan - Pemanasan 1. pada suhu 40°C selama 30 menit 2. pada suhu 90°C selama 20 menit (Suhu Setting) Kamaboko
Gambar 4a. Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan *(Modifikasi Suzuki 1981)
Surimi terbaik Penambahan bumbu (garam 2,6 % b/b, lada 0,25 % b/b,bawang merah 1 % b/b, bawang putih 0,5 % b/b, baking soda 0,1 % b/b, air 20-30 % v/b)
Perlakuan
Jenis Tepung Tepung Tapioka (TT)
Tepung Sagu (TS)
Kontrol (K)
KTT
KTS
Rendam (R)
RTT
RTS
Tambah (T)
TTT
TTT
Freeze dryer ± 110 jam Bakso kering
Pengujian -Hedonik -% Rehidrasi -% Susut masak
Bakso terpilih/terbaik Dilakukan pemasakan bakso kering terpilih Bakso Uji hedonik, uji lipat dan gigit, kekuatan gel dan kekerasan, WHC serta proksimat (*) suhu 40°C;±20 menit dan 90°C;±20 menit Gambar 4b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama 3.4 Metode Analisis Mutu Bakso Pengujian terhadap produk bakso meliputi uji organoleptik, seperti penampakan, tekstur, aroma dan rasa; uji fisik meliputi uji kekuatan gel, kekerasan, derajat putih, uji pelipatan, uji gigit, rasio rehidrasi dan rasio susut masak; sedangkan uji terakhir adalah uji kimia yang meliputi kadar protein, air, lemak, abu dan karbohidrat serta Total Volatile Base (TVB), Protein Larut Garam (PLG) dan Water Holding Capacity (WHC).
3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985) Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan penilaian.
Penilaian
organoleptik dengan skala hedonik yang ditransfer dalam bentuk angka, meliputi penampakan, tekstur, aroma dan rasa. 3.4.2 Uji fisik Uji fisik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kekuatan gel, uji kekerasan, uji derajat putih, uji lipat dan uji gigit. (1) Uji kekuatan gel (Gel Strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) Uji kekuatan gel bakso dilakukan dengan alat pengukur tekstur Analyser TAX2i Stable Micro System. Contoh bakso diberi tekanan dengan beban 50 Kg. Contoh bakso dipotong-potong membentuk balok, kemudian diletakan pada meja penahan dan ditekan dengan penahan jenis anvil sampai ketebalan 3 mm. Nilai kekuatan ditentukan dengan satuan kg/mm/luas penekan. (2) Uji kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986) Uji kekerasan bakso secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner RE 3305. Sampel diletakkan di atas meja penahan dan ditekan dengan penahan anvil yang memiliki berat 50 kg hingga sampel pecah. Tinggi puncak tertinggi dibagi dengan panjang kurva disaat grafik mulai meningkat sampai titik akhir memperlihatkan nilai kekerasan bakso, dinyatakan dalam satuan g.cm. (3) Uji derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994) Pengujian derajat putih dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Whiteness meter. Alat ini merupakan alat analisis warna secara objektif untuk mengukur refleksi warna pada permukaan produk. Alat ini menggunakan sistem hunter, dimana produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya terlebih dahulu dengan cara mencocokan warna sampel dengan atribut warna yang ada pada alat whiteness meter. Setelah diketahui nilai kecerahannya, kemudian sampel produk diletakkan pada alat penembak. Dengan jalan memijat tombol pada penembak, maka akan terlihat notasi angka yang menggambarkan penyerapan warna produk yang dianalisis.
(4) Uji pelipatan (Folding test) (suzuki 1981) Sampel diiris setebal 3-5 mm, kemudian diletakan pada telunjuk. Sampel dilipat untuk mengamati adanya keretakan terdiri.
Kriteria mutu dalam
hubungannya dengan uji pelipatan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai mutu uji pelipatan (Folding test) Uji Lipat
Nilai
Tidak retak jika dilipat empat
AA
Sedikit retak jika dilipat empat
A
Sedikit retak jika dilipat dua
B
Retak tapi masih menyatu jika dilipat dua
C
Retak seluruhnya jika dilipat dua
D
*Sumber: Suzuki (1981)
(5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981) Uji ini memberikan taksiran secara objektif dengan melatih 10 orang panelis.
Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sample
antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5-6 mm dan berdiameter 12 mm.
Nilai atau skor sebagai atribut pengujian dalam
hubungan dengan uji potong atau gigit dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test) Nilai
Sifat Kekenyalan
Nilai
Sifat Kekenyalan
10
Amat sangat kuat
5
Dapat diterima, agak kenyal
9
Sangat kuat
4
Kekenyalannya lemah
8
Kuat
3
Kekenyalannya lemah, agak lunak
7
Cukup kuat
2
Kekenyalannya
sangat
lemah, lunak 6
Dapat diterima
*Sumber: Suzuki (1981)
1
Hancur/mushy, sangat lunak
(6) Rasio Susut Masak (Soeparno 1992) Penentuan rasio susut masak dilakukan dengan menimbang berat bakso sebelum pengeringan, dimana mula-mula bakso disobek menjadi 4 (empat) bagian kemudian disusun teratur dalam rak pengering beku. Selanjutnya setelah tersusun rapih, bakso dikeringkan selama 4 hari pada suhu -50 °C dengan tekanan 5 μHg, setelah 4 hari kemudian bakso dikeluarkan dan ditimbang berat bakso setelah dikeringkan dalam
freeze dryer. Berat yang hilang (Penyusutan berat) selama
pemasakan atau yang juga lazim disebut cooking loss dapat diketahui dengan perhitungan sebagai berikut : %susutmasak=
berat sebelum pengeringan − berat sesudah pengeringan x 100 berat sebelum pengeringan
(7) Rasio Rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988) Bakso yang telah dikeringkan dalam Freeze dryer ditimbang, kemudian bakso kering dimasak menggunakan air pada suhu 80 °C-90 °C selama 7 sampai 15 menit kemudian diangkat dan ditiriskan di atas kawat kasa selama ± 5 menit pada suhu ruang (25 °C sampai 28 °C) setelah tiris, kemudian ditimbang kembali beratnya. Rasio rehidrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut : % rasio rehidrasi =
massa sesudah rehidrasi − massa sebelum rehidrasi x 100 massa bakso segar − massa sebelum rehidrasi
(8) Protein Larut Garam (PLG) (Saffle dan Galbrcath 1964 diacu dalam Wahyuni 1992) Penentuan protein larut garam (Salt Soluble Protein) dilakukan dengan metode kjeldahl, dimana mula-mula ditimbang 5 g sampel kemudian dimasukkan ke dalam 50 ml larutan NaCl 5 % dan dihancurkan dengan homogenizer pada suhu tetap rendah. Sampel yang telah homogen disentrifusa dengan kecepatan 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 °C sampai terbentuk tiga fase. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1, filtrat ditampung dalam erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 °C dan diambil sebanyak 25 ml filtrat. Filtrat tersebut dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl dan diuji protein larut garamnya dengan prosedur yang sama dengan penentuan kadar protein dengan menggunakan metode mikro keldahl. Adapun penentuannya, yaitu
pertama-tama ditimbang 0,625 gr CuSO4.5H2O, 5,25 gr K2SO4 dan
10 ml
supernatan diatas dan dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl, setelah itu ditambahkan 15 ml H2SO4 95-97 % dan 3 ml H2O2 kemudian didestruksi selama 2 jam atau sampai diperoleh larutan yang hijau bening. Sambil menunggu destruksi, disiapkan labu erlenmeyer dan dimasukkan kedalamnya 25 ml H2BO3 4 % dan ditambahkan 2 tetes indikator merah metil. Setelah proses destruksi selesai, tabung kemudian didinginkan lalu ditambahkan 50 ml akuades, kemudian tabung dan erlenmeyer tadi dimasukkan ke dalam desikator untuk dilakukan proses destilasi sampai larutan dalam erlenmeyer mencapai volume 150 ml, dan kemudian dititrasi dengan HCl 0,1988 N. Pengukuran juga dilakukan terhadap blanko, dimana tidak ditambahkan supernatan pada tabung kjeldahl. Penetapan kadar protein larut garam ditentukan dengan rumus sebagai berikut : % PLG =
Dimana
(i − j ) × N HCl × 14,001 × 6.25 × fp x 100 % mg sampel
i = Volume titrasi HCl sampel j = Volume titrasi HCl blanko
3.4.3 Uji kimia Uji kimia yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Uji kimia yang dimaksud dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut. (1) Kadar air (AOAC 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 105 °C. Cawan yang akan digunakan terlebih dahulu dimasukan ke dalam oven pada suhu 105 °C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang ± 1-2 gram pada cawan yang telah diketahui beratnya tersebut dan kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 °C selama 3 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang kembali sampai diperoleh bobot tetap (≤ 0,0005 g). Kadar air dihitung sebagai penguirangan berat contoh selama dalam oven dan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar air =
( A − B) x100% C
Ketrangan : A = Berat wadah dan contoh mula-mula (g) B = Berat wadah dan contoh setelah dikeringkan (g) C = Berat contoh mula-mula (g) (2) Kadar abu (AOAC 1996) Sampel sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobot tetapnya, kemudian dimasukan ke dalam tanur dengan suhu 550 °C selama 8 jam atau sampai menjadi abu (berwarna putih). Setelah didinginkan dalam desikator, sampel ditimbang dan diabukan lagi sampai mendapat bobot yang tetap. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar abu =
Bobot abu x100% Bobot sampel
(3) Kadar protein (AOAC 1996) Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dengan kertas timbang, lipat-lipat dan masukan ke dalam labu destruksi.
Ditambahkan 2 butir tablet katalis atau
7 g K2SO4 dan 0,625 g CuSO4 (0,83 g CuSO4.5H2O) serta beberapa butir batu didih, kemudian ditambahkan 15 ml H2SO4 pekat (95-97 %) dan 3 ml H2O2 dan diamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Kemudian didestruksi dengan suhu 410 °C selama ± 2 jam atau sampai mendapatkan hasil destruksi yang jernih, lalu didiamkan hingga suhu kamar dan tambahkan 50 ml akuades. Sebelum digunakan cuci terlebih dahulu alat destilasi dengan cara melakukan destilasi akuades seperti prosedur. Apabila destilat yang tertampung mengubah warna garam borat (merah menjadi kuning) maka dilakukan pencucian/destilasi ulang sampai hasil destilat yang tertampung tidak berubah warna. Kemudian dipasang labu yang berisi hasil destruksi pada rangkaian alat destilasi uap, ditambahkan 50 ml NaOH 50 % yang mengandung N2S2O3 2,5 % kemudian didestilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H3BO3 4 % serta dua tetes indikator merah metil hingga volume mencapai minimal 150 ml (hasil destilat akan berubah warna menjadi kuning), kemudian
dititrasi dengan HCl 0,2 N yang sudah terstandarisasi sampai berwarna merah jambu dan dilakukan pengerjaan titrasi blanko seperti tahapan sampel. Kadar protein sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut : % protein =
( A − B) xN HClx14.007 x6.25 x 100 % mg sampel
Keterangan : A = Titran sampel (ml) B = Titran blanko (ml) 6.25 = Faktor konversi protein untuk ikan Kadar protein dinyatakan dalam satua g/100 g sampel (4) Kadar lemak (AOAC 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110 °C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan kedalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Reflux dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada didalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak =
Berat lemak ( g ) x100% Berat sampel ( g )
(5) Kadar karbohidrat (Winarno 1992) Penentuan kadar karbohidrat menggunakan By different dengan cara : % Karbohidrat = 100% - (KA + KP + KAb + KL) %.
Dimana, KA
= Kadar Air
KL
= Kadar Lemak
KP KAb
= Kadar Protein = Kadar Abu
(6) Total Volatile Base (TVB) (Official Journal of the European Union 2005 diacu dalam BBP2HP 2006) Contoh sebanyak 10 gram (± 0,1 gr) ditimbang dengan menggunakan beaker glass dan ditambahkan 90 ml asam perklorat (PCA) 6 %.
Contoh
dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 2 menit, kemudian contoh disaring dengan kertas saring diameter 150 mm (ekstrak contoh setelah disaring dapat disimpan selama kurang dari 7 hari pada suhu 2-6 oC). Hasil ekstrak dimasukkan sebanyak 50 ml ke tabung destilasi yang ditambahkan beberapa tetes indikator fenolftalein (larutan tidak bewarna dan dalam keadaan asam), beberapa tetes silicon anti-foaming, dan ditambahkan 10 ml NaOH 20 % (pada tahap ini campuran bersifat basa, ditandai dengan warna merah).
Kemudian disiapkan penampung erlenmeyer yang berisi 100 ml
H3BO4 3 % dan 3-5 tetes indikator Tashiro (larutan bewarna ungu) untuk dilakukan destilasi uap selama ± 10 menit sampai diperoleh destilat 100 ml dan pada akhir destilasi diperoleh destilat sebanyak 200 ml larutan bewarna hijau. Destilat tesebut dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya kembali warna ungu. Kadar TVB-N dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. TVB-N (mg/ 100 gr) =
(V1 − V0 ) xN HClxBAN x 2 x100 % Berat contoh ( g )
Keterangan: V1 = volume (ml) larutan HCl peniter contoh V2 = volume (ml) larutan HCl peniter blanko NHCl = konsnetrasi HCl BAN = Berat Atom Nitrogen (14,007) (7)
Water Holding Capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Daya mengikat air (WHC) ditentukan dengan menggunakan alat carver
press. Sampel bakso kurang lebih 0,3 gram diletakkan di kertas saring, kemudian dijepit dengan carver press, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Luas area basah (wetted area) adalah luas air yang diserap kertas
saring akibat penjepitan, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam kertas saring. Pengukuran lingkaran dilakukan dengan planimeter merk Hruden. Kertas saring yang digunakan Whatman 1 No. 40. Bobot air bebas (air bakso yang terlepas karena penekanan) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Berat air =
luas area basah − 8.0 0.0948
% air bebas =
berat air × 100 % 300 mg
dengan mengetahui kadar air total daging, maka air terikat atau WHC dapat ditentukan. WHC = Kadar air total (%) – Kadar air bebas 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian pendahuluan adalah RAL sederhana sedangkan untuk penelitian utama tahap pertama dilakukan dengan uji statistik rancangan acak lengkap pola faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor perbedaan jenis tepung antara tepung sagu serta tepung tapioka sebanyak 12,5 % dan faktor perbedaan penambahan dan perendaman dengan Na-sitrat 1 % serta kontrol. Masing-masing taraf dilakukan 2 kali ulangan. Kemudian untuk penelitian utama tahap kedua, hanya membandingkan data dari 2 (dua) jenis bakso kering terpilih yaitu TTT dan TTS. Model rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1993) adalah : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk, dimana : = Nilai pengamatan = Nilai rata-rata pengamatan = Faktor perbedaan jenis tepung yang digunakan ke-i (i = tepung terigu dan tepung sagu) βj = Faktor perbedaan perlakuan ke-j (j = perendaman Na-sitrat, penambahan Na-sitrat, kontrol) (αβ)ij = Faktor perbedaan jenis tepung yang digunakan ke-i (i = tepung terigu dan tepung sagu) dan perbedaan perlakuan ke-j (j = perendaman Na-sitrat, penambahan Na-sitrat, kontrol)
Yij µ αi
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam uji F tabel. Suatu perlakuan memberikan pengaruh nyata apabila nilai uji F hitung lebih besar dari F tabel dengan derajat bebas tertentu pada taraf 5 %. Sedangkan untuk
analisis data organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji sattistik non parametrik Kruskall-Wallis (Steel dan Torrie 1989). Rumus-rumus yang digunakan dalam uji ini adalah : H= H’ =
R (R ) 12 ∑ i i i − 3(n + 1) n(n + 1) ni
H Pembagi
Pembagi = 1 −
∑T (n − 1)n(n + 1)
T = (t-1) t (t+1) Keterangan : = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ni Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i T = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi Hasil yang berbeda nyata diuji dengan uji lanjut Multiple Comparisson : [Ri – Rj] >< Z/p
( N + 1)k 6
Keterangan : Ri = Rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i Rj = Rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j N = Banyaknya data K = Banyaknya perlakuan 3.6 Perlakuan pada Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pandahuluan bertujuan untuk mencari frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan mata goyang dengan perlakuan banyaknya pencucian, yaitu pencucian 1, 2 atau 3 kali, setelah diketahui frekuensi pencucian terbaik maka dilakukan penelitian utama.
Penelitian utama bertujuan untuk
mencari jenis bakso kering terbaik dengan perlakuan Na-sitrat (perendaman dan penambahan) pada 2 (dua) jenis tepung yaitu tepung tapioka dan tepung sagu sebanyak 12,5 % dengan label KTT (Kontrol Tepung Tapioka), TTT (Tambah Na-sitrat Tepung Tapioka), RTT (Rendam Na-sitrat Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), TTS (Tambah Na-sitrat Tepung Sagu) dan RTS (Rendam Na-sitrat Tepung Sagu).
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan diperoleh hasil rendemen surimi dari ikan mata goyang sebesar 51,15 % selanjutnya surimi yang dihasilkan diberi perlakuan frekuensi pencucian 1, 2 atau 3 kali kemudian dilakukan beberapa analisis yaitu kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), protein larut garam (PLG) dan uji lipat serta uji gigit dengan tujuan mencari frekuensi pencucian terbaik. 4.1.1 Uji kekuatan gel (gel strengtht) Gel adalah suatu sistem koloid antara fase cair yang terdispersi dalam medium padat sebagai fase kontinyu. Gel ikan merupakan air yang terdispersi dalam fungsi kontinyu protein aktomiosin. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekstur gel adalah kandungan air surimi, jumlah garam yang ditambahkan, pH, waktu dan derajat pemanasan (Lee 1984). Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata kekuatan gel kamaboko berkisar antara 1232,08 g.cm pada frekuensi pencucian tiga kali sampai 1470,95 g.cm pada frekuensi pencucian satu kali. Berdasarkan nilai rata-rata kekuatan gel kamaboko yang diperoleh, secara umum perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai kekuatan gel kamaboko. Nilai kekuatan gel kamaboko mengalami penurunan seiring dengan penambahan frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan dengan frekuensi pencucian satu kali memberikan nilai kekuatan gel terbesar, yaitu 1470,95 g.cm.
Hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 5. Berdasarkan hasil analisis statistik rancangan acak lengkap sederhana pada (Lampiran 3.3) menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan gel kamaboko yang terbentuk, pada taraf α=0,05.
Selanjutnya dari uji lanjut BNJ dapat diketahui bahwa
kekuatan gel kamaboko pada frekuensi pencucian satu kali hanya berbeda nyata dengan frekuensi pencucian tiga kali dan tidak berbeda nyata pada frekuensi pencucian dua kali. Frekuensi pencucian satu kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai kekuatan gel kamaboko tertinggi dibandingkan frekuensi pencucian yang lain.
Kekuatan Gel (g.cm)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
1470.95 ± 272.75a
1
1350.39 ± 204.20a
2
1232.08 ± 184.07b
3
Frekuensi Pencucian
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 5. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel kamaboko Adanya penurunan kekuatan gel kamaboko dari frekuensi pencucian satu kali sampai tiga kali disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel yang akan terus menurun seiring banyaknya frekuensi pencucian sehingga kekuatan gel dari kamaboko juga semakin menurun. Terjadinya penurunan kekuatan gel ikan dari frekuensi satu kali ke frekuensi tiga kali diduga akibat bertambahnya kadar air, juga terjadinya penurunan mutu akibat degradasi protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel yang mengakibatkan teksturnya menjadi lembek sehingga kekuatan gelnya menurun (Hendriawan 2002). Pencegahan yang harus dilakukan adalah dipress sampai kadar air sama dengan yang lainnya, juga harus dijaga agar selalu dalam keadaan dingin sehingga tidak terjadi penurunan mutu yang mengakibatkan tekstur menjadi lembek.
Masih adanya kandungan protein
sarkoplasma pada surimi diduga mempengaruhi pembentukan gel pada kamaboko menyebabkan struktur menjadi lembek.
Sarkoplasma tidak berperan dalam
pembentukan gel dan kemungkinan dapat menghambat terbentuknya suatu gel (Haard et al. 1994). Penurunan tingkat kekuatan gel sebanding dengan penurunan PLG dari surimi. Reynold et al. (2002) menyatakan bahwa menurunnya konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula.
Kekuatan gel juga dipengaruhi oleh pH dari surimi. Kualitas surimi yang baik secara umum dipengaruhi oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara lain surimi dengan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dengan perebusan (Suzuki 1981). Nilai pH mempengaruhi kelarutan dari protein larut garam, yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel. Nilai pH antara 6-7 memberikan kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pH kurang dari 6 menyebabkan ketidak stabilan protein larut garam atau protein miofibril
dalam
daging
dan
mengindikasikan
penurunan
kemampuan
pembentukan gel (Suzuki 1981). 4.1.2. Derajat putih (whiteness) Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan alat yang bernama whitenessmeter. Alat ini merupakan alat analisis warna secara obyektif untuk mengukur refleksi warna permukaan produk dengan menggunakan Natrium Karbonat (Na2CO3) sebagai standar yang bernilai 100.
Skala yang
digunakan berkisar antara 0 sampai 100. Semakin besar skala yang diperoleh, maka warna yang dihasilkan semakin mendekati standar. Nilai rata-rata derajat putih gel kamaboko berkisar antara 22,23 % pada frekuensi pencucian satu kali sampai 24,32 % pada frekuensi pencucian tiga kali. Berdasarkan nilai rata-rata derajat putih surimi, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai derajat putih pada surimi. Nilai derajat putih surimi mengalami peningkatan seiring dengan penambahan frekuensi pencucian.
Nilai rata-rata derajat putih dari masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan analisis statistik pada (Lampiran 3.2), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih, pada taraf α=0,05.
Adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih,
sehingga diperlukan adanya uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa derajat putih pada pencucian ke tiga berbeda nyata terhadap semua frekuensi pencucian. Frekuensi pencucian tiga kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai derajat putih tertinggi dibandingkan yang lain.
24.32 ± 0.06c
Derajat Putih (%)
24.5 24 23.5 23 22.5
22.23 ± 0.06a
22.96 ± 0.06b
22 21.5 21 1
2
3
Frekuensi Pencucian
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 6. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap derajat putih surimi Pencucian bertujuan selain untuk meningkatkan kekuatan gel juga meningkatkan derajat putih. Menurut Irianto (1990), warna yang harus dimiliki oleh surimi yang baik adalah putih bersih dan merata. Dari data derajat putih yang diperoleh, nilainya semakin meningkat dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung semua kotoran, lemak, haemoglobin dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel ikut terlarut bersama air pencuci, sehingga semakin banyak pencucian, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak, yang mengakibatkan warna gel semakin bersih dan putih. Reynolds et al. (2002) menyatakan bahwa pencucian pada surimi akan menghilangkan
darah,
mikroorganisme,
dan
lemak
yang
menghalangi
pembentukan gel. Namun tetap ada beberapa senyawa seperti membran lipid yang tidak ikut tercuci dan masih mengandung senyawa yang dapat mengalami oksidasi dan menurunkan derajat putih. Kerusakan lemak yang utama adalah proses ketengikan. Hal ini disebabkan karena proses autooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak (Winarno 1997). Selain itu juga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis lainnya yaitu reaksi maillard. Pada reaksi ini, gugus amina (RNH2) dari protein berikatan dengan gugus OH- dari gula pereduksi. Akibat ikatan ini, hasil yang paling nyata dapat dilihat pada produk adalah perubahan aroma menjadi tidak enak dan warna menjadi coklat yang sering dijadikan pertanda kemunduran mutu (Winarno 1997).
4.1.3 Protein larut garam (PLG) Protein larut garam (PLG) yaitu protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Pengukuran kadar PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel. PLG sangat berperan dalam proses pembentukan gel diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Nilai rata-rata PLG surimi berkisar antara 2,40 % pada frekuensi pencucian tiga kali sampai 2,70 % pada frekuensi pencucian satu kali. Berdasarkan nilai rata-rata PLG surimi diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai PLG. Nilai PLG surimi mengalami penurunan seiring penambahan frekuensi pencucian, dengan nilai PLG tertinggi pada frekuensi pencucian satu kali yaitu 2,70 %. Nilai rata-rata PLG dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
2.8000
2.70 ± 0.20a
PLG (%)
2.7000 2.6000 2.5000
2.42 ± 0.20a
2.40 ± 0.20a
2
3
2.4000 2.3000 2.2000 1
Frekuensi Pencucian
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata.
Gambar 7. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap PLG surimi Berdasarkan analisis statistik pada (Lampiran 3.4), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai PLG, pada taraf α=0,05. Tidak berbeda nyata-nya nilai PLG surimi disebabkan karena penurunan nilai PLG yang tidak terlalu signifikan karena kandungan protein miofibril pada setiap frekuensi pencucian relatif sama, kemungkinan hal tersebut dapat
menyebabkan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai PLG. Penurunan PLG disebabkan karena protein miofibril yang terlarut dalam garam pada frekuensi pencucian satu kali belum banyak hilang, sehingga kandungannya lebih tinggi dibandingkan yang lain. Selain itu juga, penurunan prosentase nilai PLG diduga karena ada sebagian protein miofibril yang ikut larut dalam air pencuci akibat pencucian yang berulang-ulang, maupun menempel pada kain saring pada saat pemerasan. Menurut Lin dan Park (1996), protein miofibril dapat ikut terlarut dalam air pencuci seiring dengan frekuensi pencucian yang berulang-ulang disebabkan karena terjadinya degradasi rantai miosin. 4.1.4 Uji lipat (folding test) Uji pelipatan (folding test) dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel. Menurut Lanier (1992), metode uji pelipatan cocok untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan yang bermutu sangat baik (excellent).
Uji pelipatan ditentukan dengan penilaian
panelis melalui uji sensori. Nilai rata-rata uji lipat kamaboko berkisar antara 4,67 pada frekuensi pencucian dua kali sampai 4,93 pada frekuensi pencucian satu kali, yang termasuk dalam kriteria tidak retak setelah pelipatan pertama sampai pelipatan ke dua. Nilai uji lipat mengalami fluktuasi pada frekuensi pencucian ke satu sampai frekuensi pencucian ke tiga, dengan nilai tertinggi pada frekuensi pencucian satu kali sebesar 4,93. Nilai rata-rata uji lipat dari masing-masing frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan analisis statistik non-parametrik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis seperti pada (Lampiran 3.1), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap uji lipat kamaboko, pada taraf α=0,05.
5
4.93 ± 0.18a 4.87 ± 0.30a
N ilai Mu tu
4.9 4.8 4.67 ± 0.70a
4.7 4.6 4.5 1
2
3
Frekuensi Pencucian
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata.
Gambar 8. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji lipat kamaboko Nilai mutu yang hampir relatif sama pada semua frekuensi pencucian dari uji lipat kamaboko, yaitu dengan ketagori kamaboko yang sedikit retak jika dilipat empat kemungkinan menyebabkan hasil dari analisis statistika pada uji lipat tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada semua frekuensi pencucian, dan juga kemungkinan disebabkan karena pengaruh faktor psikologis dari panelis yang sangat menentukan hasil dari uji lipat. Berdasarkan Gambar 8, dapat diketahui bahwa semakin banyak frekuensi pencucian maka akan semakin menurun nilai pelipatannya. Hal ini diduga karena banyaknya kadar air pada produk gel tersebut, sehingga teksturnya cenderung lembek atau lunak. Hasil uji lipat ini berkaitan langsung dengan tekstur gel, terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang dihasilkan semakin baik (Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997).
Sehingga frekuensi
pencucian pertama memiliki uji lipat terbaik. 4.1.5 Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit (teeth cutting test) juga merupakan cara pengujian mutu gel ikan secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Nilai rata-rata uji gigit kamaboko berkisar antara 6,63 pada frekuensi pencucian dua kali sampai 8,53 pada frekuensi pencucian satu kali yang termasuk dalam kriteria dapat diterima, cukup kuat sampai kuat. Nilai uji gigit mengalami
fluktuasi dari frekuensi pencucian ke satu sampai ke frekuensi pencucian ke tiga, dengan nilai tertinggi pada frekuensi pencucian ke satu. Nilai rata-rata uji gigit dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan analisis statistik non-parametrik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis pada (Lampiran 3.1), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai mutu uji gigit, pada taraf α=0.05. Sehingga diperlukan adanya uji lanjut Multipple comparison. Pada uji lanjut Multipple comparison terlihat bahwa pencucian satu kali hanya berbeda nyata terhadap frekuensi pencucian dua kali sedangkan frekuensi pencucian ke tiga kali tidak memberikan perbedaan yang nyata. Frekuensi pencucian satu kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai uji gigit kamaboko tertinggi dibandingkan yang lain.
10
8.53 ± 1.09a
Nilai Mutu
8
6.63 ± 1.96b
7.30 ± 1.59a
6 4 2 0 1
2
3
Frekuensi Pencucian
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 9. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji gigit kamaboko Berdasarkan Gambar 9, dapat diketahui bahwa semakin banyak pencucian semakin menurun nilai uji gigitnya. Hal ini diduga karena bertambahnya kadar air pada produk gel tersebut pada setiap penambahan frekuensi pencucian surimi, sehingga teksturnya lembek atau lunak. Kisaran uji gigit yang didapat tersebut termasuk produk yang masih diterima konsumen sebagai produk komersial. Menurut Tan (1988) dalam Istihastuti et al. (1997), produk komersial yang masih diterima mempunyai nilai uji gigit antara 5 sampai 6.
4.2 Penelitian Utama Frekuensi pencucian pertama merupakan frekuensi pencucian terbaik pada penelitian pendahuluan, sehingga pembuatan bakso kering menggunakan frekuensi pencucian satu kali. Ada 6 (enam) jenis produk bakso yang yaitu KTT (Kontrol Tepung Tapioka), RTT (Rendam Tepung Tapioka), TTT (Tambah Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), RTS (Rendam Tepung Sagu) dan TTS (Tambah Tepung Sagu). Setelah terbentuk ke-6 (enam) jenis bakso, kemudian bakso tersebut dimasukan kedalam freeze drier selama ± 110 jam sampai menjadi bakso kering yang kemudian diuji melalui dua tahap yaitu penelitian utama tahap satu dan penelitian utama tahap dua. 4.2.1 Penelitian utama tahap satu Penelitian utama tahap satu bertujuan untuk mencari jenis bakso terbaik dari perlakuan Na-sitrat pada dua jenis tepung yang berbeda dengan uji yang dilakukan diantaranya : rasio susut masak, rasio rehidrasi, dan uji organoleptik. (1) Rasio susut masak Suhu sublimasi yang tinggi umumnya menyebabkan penurunan massa yang lebih cepat, karena beda suhu dan tekanan antara permukaan atas dengan lapisan beku dibawahnya semakin besar (Lisnawati 1997 diacu dalam Pauziah 2002). Pengukuran susut masak dilakukan dengan menimbang berat bakso segar (sebelum pengeringan) dan berat bakso setelah pengeringan beku. Pengukuran susut masak bertujuan untuk mengetahui daya susut suatu produk setelah dilakukan proses pengeringan beku. Pada produk bakso ikan, susut pemasakan lebih banyak disebabkan oleh susut cairan, buka penyusutan lemak. Nilai rata-rata rasio susut masak berkisar antara 73,35 % sampai 81,92 % pada tepung tapioka dan 69,85 % sampai 76,12 % pada tepung sagu. Rasio susut masak dari kedua jenis tepung tersebut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan dengan nilai tertinggi sebesar 81,92 % pada tepung tapioka yang ditambahkan Na-sitrat dan 76,12 % pada tepung sagu yang ditambahkan Na-sitrat. Rasio susut masak dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan analisis statistika pada (Lampiran 3.6), Na-sitrat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio susut masak, pada taraf α=0,05. Karena memberikan pengaruh yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa perlakuan Na-sitrat yang ditambahkan pada tepung berbeda nyata terhadap perlakuan Na-sitrat lainnya. Berdasarkan Gambar 10, dapat diketahui bahwa Na-sitrat yang ditambahkan ke dalam adonan memberikan efek terbesar dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena, penambahan Na-sitrat lebih efektif dalam memodifikasi struktur protein dari kedua jenis tepung tersebut mengakibatkan secara fisik bakso yang dihasilkan lebih parous sehingga proses pengeluaran air akan lebih cepat pada pembekuan kering. Penambahan Na-sitrat kedalam adonan menyebar rata pada semua bagian dibandingkan jenis bakso yang direndam Nasitrat hanya terserap pada bagian permukaan saja, sehingga pengaruh yang diberikan Na-sitrat terhadap protein lebih efektif.
Perendaman beras dalam
larutan natrium sitrat akan mengganggu dan menguraikan struktur protein beras,
70
76.12 ± 0.41 c
81.92 ± 0.57 c
71.60 ± 1.44 b
75
74.72 ± 0.11 b
80
69.85 ± 0.32 a
85
73.35 ± 0.21 a
Rasio Susut Masak (%)
sehingga butiran menjadi porous (Mulyana 1988).
Tepung Tapioka Tepung Sagu
65 60 Kontrol
Rendam
Tambah
Perlakuan Na-sitrat
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 10. Diagram analisis rasio susut masak bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda Semakin rendah laju pembekuan maka akan menghasilkan ukuran pori yang semakin besar. Semakin besar ukuran pori dan banyaknya pori pada suatu produk akan mengakibatkan proses pengeluaran air dari bakso dalam proses
pembekuan kering semakin cepat dan lebih efektif sehingga rasio susut masak yang dihasilkan tinggi (Heldman dan Sing 1981). Rasio susut masak juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin dari tiap jenis tepung. Tapioka mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83 %. Amilosa (larut dalam air panas) memiliki struktur lurus dengan ikatan α(1,4) D-glukosa, sedangkan amilopektin (tidak larut dalam air panas) memiliki struktur bercabang dengan ikatan α(1,6) D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas keteguhan gel. Sedangkan perbandingan antara kandungan amilosa dan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno 1997). Pati sagu mengandung 27 % amilosa dan 73 % amilopektin (Flach 1983). Pati sagu mengandung 27,4 % amilosa dan 72,6 % amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1984). Karena komposisi amilosa dan amilopektin antara tepung tapioka dan tepung sagu berbeda, sehingga mengakibatkan rasio susut masak yang berbeda pula dengan jenis bakso TTT memiliki nilai rasio susut masak tertinggi. Lama proses pembekuan juga akan mempengaruhi rasio susut masak. Menurut Muchtadi dan Andarwulan (1988), diketahui bahwa semakin lama produk kamaboko dibekukan maka semakin tinggi rasio susut masak yang terjadi. Rasio susut masak dipengaruhi oleh lama pembekuan, suhu pembekuan dan suhu pencairan (Stansby 1963 diacu dalam Muchtadi dan Andarwulan 1988). Semakin lama proses pembekuan bakso, semakin banyak dan semakin besar kristal-kristal es yant terbentuk didalam bakso. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya rasio susut masak diantaranya adalah luas permukaan produk, teknik pembekuan, teknik pencairan, dan jenis produk (Ockerman 1983 diacu dalam Muchtadi dan Andarwulan 1988).
Menurut Hodge dan Osman diacu dalam Muchtadi dan
Andarwulan 1988, menyatakan keluarnya air dari jaringan gel terutama pada saat
pembekuan disebut sinerisis yang disebabkan melemahnya ikatan hidrogen airpolimer dan ikatan antar polimer. (2) Rasio rehidrasi Rasio rehidrasi merupakan perbandingan dari berat air yang hilang selama proses pengeringan beku dan berat air yang dapat diserap kembali.
Rasio
rehidrasi dapat dipakai sebagai uji kerusakan fisik yang terjadi selama pengeringan beku.
Kerusakan fisik yang dimaksudkan adalah terjadinya
pengkerutan dan kerusakan jaringan oleh kristal es (King 1971). Nilai rata-rata rasio rehidrasi berkisar antara 20,53 % sampai 35,98 % pada tepung tapioka dan 18,835 % sampai 25,76 % pada tepung sagu. Rasio rehidrasi dari kedua jenis tepung tersebut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan dimana nilai tertinggi sebesar 35,98 % pada tepung tapioka yang ditambahkan Nasitrat dan 25,76 % pada tepung sagu yang ditambahkan Na-sitrat. Rasio rehidrasi dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan analisis statistika pada (Lampiran 3.5), perlakuan Na-sitrat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio rehidrasi pada taraf α=0,05. Adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio rehidrasi maka dilakukan uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa perlakuan Na-sitrat yang ditambahkan pada tepung berbeda nyata terhadap perlakuan Na-sitrat lainnya. Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa Na-sitrat yang ditambahkan ke dalam adonan memberikan efek terbesar terhadap bakso kering beku dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena penambahan Na-sitrat lebih efektif dalam memodifikasi struktur protein dari kedua jenis tepung tersebut, mengakibatkan secara fisik bakso yang dihasilkan lebih porous sehingga proses penyerapan air akan lebih cepat pada waktu pemasakan dan pada waktu rehidrasi. Menurut Gregory (1976), zat kimia yang dapat digunakan untuk memodifikasi struktur protein beras adalah garam sitrat, antara lain magnesium sitrat, sodium sitrat dan kalsium sitrat. Garam ini tidak banyak berpengaruh bila digunakan tersendiri, oleh karena itu untuk menghasilkan beras instan yang dinginkan, penggunaan garam sitrat dilakukan bersamaan dengan perlakuan pemanasan.
Kontrol
Rendam
25.76 ± 5.33 c
35.98 ± 3.75 c
14.51 ± 3.03 b
30.55 ± 1.99 b
13.84 ± 3.71 a
20.53 ± 0.32 a
Rasio Rehidrasi (% )
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tepung Tapioka Tepung Sagu
Tambah
Perlakuan Na-sitrat
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 11. Diagram analisis rasio rehidrasi bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda Perbedaan rasio rehidrasi antara jenis bakso TTT dan TTS disebabkan karena perbedaan kandungan dari amilosa dan amilopektin dari kedua jenis tepung yang digunakan, sehingga pada waktu pengukusan terjadi penyerapan air yang tinggi (saat gelatinisasi pati) pada jenis bakso TTT dan pada saat pendinginan beku sebagian besar air yang terperangkap dalam matriks gel bakso membeku. Menurut Muchtadi dan Andarwulan (1988) menyatakan bahwa diduga mekanisme gelatinisasi dari kedua jenis tepung mempengaruhi kemampuan granula pati dalam menyerap air selama proses pemasakan bakso. Kuntz (1971), menyatakan bahwa sifat hidrofilik protein berhubungan dengan gugus polar protein seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil dan sulfhidril. Disamping itu adanya karbohidrat didalam bakso berperan pula sebagai daya serap terhadap air. (3) Uji organoleptik Bakso kering yang dihasilkan dari proses freeze drying kemudian dilakukan uji organoleptik yang meliputi penampakan, tekstur dan warna dari bakso kering. (a) Penampakan Penampakan bagi suatu produk makanan merupakan faktor penarik utama sebelum konsumen mengenal atau menyukai sifat mutu organoleptik yang lainnya.
Dari nilai uji organoleptik (Gambar 12) diketahui bahwa rata-rata
perlakuan KTT, RTT, TTT, KTS, RTS dan TTS memiliki nilai secara deskriftif
5.33 ± 1.24 b
4.30 ± 1.24 a
3.67 ± 1.24 a
4.00
3.77 ± 1.24 a
5.00
4.47 ± 1.24 a
Rata-rata Penam pakan
6.00
4.07 ± 1.24 a
berkisar antara biasa sampai agak suka.
3.00 2.00
KTT (Kontrol Tepung Tapioka) RTT (Rendam Tepung Tapioka) TTT (Tambah Tepung Tapioka) KTS (Kontrol Tepung Sagu) RTS (Rendam Tepung Sagu)
1.00 0.00
TTS (Tambah Tepung Sagu)
Perlakuan Na-Sitrat pada Bakso
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 12. Diagram nilai rata-rata penampakan bakso kering beku Berdasarkan hasil analisis statistik non-parametrik melalui uji KruskalWallis (Lampiran 3.7), perlakuan Na-sitrat pada bakso kering beku memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan bakso kering beku, pada taraf α=0,05 sehingga diperlukan adanya uji lanjut. Berdasarkan uji lanjut Multipple comparison perlakuan TTS memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan bakso kering.
Hal ini ditunjukkan dari warna yang lebih putih
dibandingkan yang lain, begitu pula dengan penampakan yang baik dengan warna putih yang merata serta tingkat keretakan pada bakso kering beku yang relatif rendah. Penampakan pada jenis bakso TTS yang lebih bagus dari jenis bakso yang lain disebabkan karena adanya kandungan amilopektin pada tepung tapioka yang dapat menyebabkan penampakan produk menjadi lebih baik. Selain itu proses pencetakan dapat menjadi penyebab terbentuknya penampakan yang lebih baik pada produk. (b) Tekstur Tekstur adalah pengindraan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan.
Kadang-kadang
tekstur
lebih
penting
dibandingkan
dengan
penampakan, aroma dan rasa karena mempengaruhi citra makanan.
Tekstur
penting pada makanan lunak dan renyah. Ciri-ciri yang paling sering diacu adalah
kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (de Man 1997). Pada bakso kering tekstur dapat diartikan sebagai kekerasan atau keempukan bakso (Pauziah 2002). Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso kering beku didapatkan ratarata tekstur bakso (Gambar 13) pada perlakuan KTT, RTT, TTT, KTS, RTS dan
Rata-rata Tekstur
4.00
5.23 ± 1.17 a
4.40 ± 1.17 a
4.73 ± 1.17 a
4.47 ± 1.17 a
5.00
4.50 ± 1.17 a
6.00
3.88 ± 1.17 a
TTS memiliki nilai secara deskriftif berkisar antara biasa sampai agak suka.
3.00 2.00
KTT (Kontrol Tepung Tapioka) RTT (Rendam Tepung Tapioka) TTT (Tambah Tepung Tapioka) KTS (Kontrol Tepung Sagu) RTS (Rendam Tepung Sagu)
1.00 0.00 Perlakuan Na-Sitrat pada Bakso
TTS (Tambah Tepung Sagu)
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata.
Gambar 13. Diagram nilai rata-rata tekstur bakso kering beku Berdasarkan hasil analisis statistik non-parametrik melalui uji KruskalWallis (Lampiran 3.7), perlakuan Na-sitrat pada bakso kering beku tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur bakso kering beku, pada taraf α=0,05. Hal ini disebabkan karena diduga pemberian Na-sitrat pada konsentrasi yang sama tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap tekstur pada semua perlakuan di produk bakso kering, bahan-bahan dalam pembuatan bakso pun tidak mempengaruhi tekstur karena menggunakan komposisi yang sama pada semua perlakuan sehingga tidak berbeda nyata dalam uji KruskalWallis. (c) Warna Ada beberapa faktor yang menentukan mutu bahan makanan diantaranya warna, cita rasa dan nilai gizinya. Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual, faktor warna lebih berpengaruh terhadap bahan makanan, kadangkadang sangat menentukan untuk penilaian konsumen.
Bahan makanan dinilai bergizi dan rasanya enak, tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap di pandang mata atau memberi kesan menyimpang dari warna aslinya. Selain itu sebagai indikator kesegaran atau kematangan, baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata ( Winarno 1992). Dari nilai uji organoleptik (Gambar 14) diketahui bahwa rata-rata perlakuan KTT, RTT, TTT, KTS, RTS dan TTS memiliki nilai secara deskriftif berkisar antara biasa sampai suka. Berdasarkan hasil analisis statistik non-parametrik melalui uji KruskalWallis (Lampiran 3.7), perlakuan Na-sitrat pada bakso kering beku memberikan pengeruh yang berbeda nyata terhadap warna bakso kering beku, pada taraf α=0,05 sehingga diperlukan adanya uji lanjut. Berdasarkan uji lanjut Multipple comparison perlakuan TTS memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
4.00
5.90 ± 1.07 b
4.30 ± 1.07 a
4.23 ± 1.07 a
5.00
4.33 ± 1.07 a
Rata-rata Warna
6.00
4.17 ± 1.07 a
7.00
4.77 ± 1.07 a
warna bakso kering pada semua perlakuan. KTT (Kontrol Tepung Tapioka) RTT (Rendam Tepung Tapioka) TTT (Tambah Tepung Tapioka) KTS (Kontrol Tepung Sagu)
3.00 2.00
RTS (Rendam Tepung Sagu)
1.00 0.00 Perlakuan Na-Sitrat pada Bakso
TTS (Tambah Tepung Sagu)
Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.
Gambar 14. Nilai rata-rata warna bakso kering beku Jenis bakso TTS memiliki warna yang lebih putih dibandingkan yang lainnya, hal ini disebabkan kemungkinan karena proses pencolatan yang tidak terlalu cepat terjadi pada TTS akibat penambahan Na-sitrat dan juga dipengaruhi oleh perbedaan suhu gelatinisasi antara tepung sagu dan tepung tapioka dengan kisaran suhu gelatinisasi dari sagu lebih tinggi dibandingkan tapioka yaitu pada 60 °C-70 °C sehingga tepung tapioka mengalami proses gelatinisasi berlebih yang mengakibatkan warna yang dihasilkan menjadi tidak bagus.
Warna coklat pada bakso yang dihasilkan diduga berhubungan dengan reaksi pencoklatan karena pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warna menjadi coklat. Reaksi pencokalatan yang terjadi pada makanan disebabkan oleh aktifitas enzimatis dan non enzimatis (Hutching 1994). Reaksi pencoklatan non enzimatik yang paling sering terjadi adalah reaksi antara asam organik dengan gula pereduksi dan antara asam-asam amino dengan gula pereduksi (Reaksi maillard) ( Fajri 2002). Reaksi maillard dimulai dengan terjadinya proses kondensasi yang melibatkan senyawa aldosa dan karbonil heksosa, yang dipecahkan dari reaksi gula dan gugus asam amino bebas dari asam amino protein. Air hilang dari proses ini untuk membentuk schiff base dan memulai proses siklikasi menjadi aldosilamin. Hal ini dimulai dengan proses pengaturan kembali senyawa amadori menjadi ketosamin.
Tahap akhir reaksi ini adalah terbentuknya senyawa
melanoidin yang berwarna coklat gelap (Hutchings 1994). Faktor yang dapat mempercepat prose pencoklatan adalah sifat asam amino dan karbohidrat. 4.2.2 Penelitian utama tahap dua Penelitian tahap dua bertujuan untuk membandingkan dua jenis bakso terbaik terpilih yaitu TTT dan TTS dengan uji yang dilakukan antara lain : kekuatan gel (gel strenght), kekerasan (hardness), water holding capacity (WHC), uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test), uji organoleptik, dan kadar proksimat. (1) Kekuatan gel (gel strenght) Gel adalah suatu sistem koloid antara fase cair yang terdispersi dalam medium padat sebagai fungsi kontinyu. Gel ikan merupakan air yang terdispersi dalam fungsi kontinyu protein aktomiosin. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekstur gel adalah kandungan air surimi, jumlah garam yang ditambahkan, pH, waktu dan derajat pemanasan (Lee 1984 diacu dalam Haryati 2001). Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata kekuatan gel bakso kering beku terpilih berkisar antara 370,00 g.cm pada produk TTT sampai 257,00 g.cm pada produk TTS. Dimana pada Gambar 15 diketahui bahwa produk dengan kekuatan gel terbesar adalah TTT .
Kekuatan gel dari bakso yang telah mengalami proses pengeringan dengan freeze dryer berada dibawah nilai rata-rata kekuatan gel bakso pada umumnya yaitu 490,00 g.cm, hal ini diduga disebabkan karena pengaruh proses pengeringan beku yang menyebabkan denaturasi pada protein yang berperan pada penurunan pembentukan kembali gel dalam bakso tersebut. Ruang-ruang gel yang tadinya terisi air dan kosong saat diisi air menyebabkan kelunakan saat diisi air kembali
K eku atan G el R ata-rata (g .cm )
sehingga kekenyalan tidak kembali seperti awalnya.
400 350
370.00 ± 96.26 257.00 ± 47.14
300 250
TTT
200 150 100
TTS
50 0 Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 15. Diagram perbedaan kekuatan gel pada produk bakso kering beku terpilih Menurut Lanier (1992), faktor penyimpanan pada suhu dingin atau beku dapat mempercepat tingkat kerusakan kekuatan gel karena terjadi proses perombakan aktomiosin (komponen yang bertanggung jawab pada pembentukan gel) menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Kecepatan perusakan ini lebih besar bila dibandingkan dengan penyimpanan bahan pada suhu beku. Selama penyimpanan, kerja enzim lipase tetap berlangsung sehingga turut mempercepat kerusakan gel. (2) Kekerasan (hardness) Kekerasan gel menunjukkan besarnya beban untuk melakukan deformasi gel sebelum terjadi pemecahan gel.
Daya tahan pecah gel merupakan batas
elastisitas gel yang menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi saat gel menjadi sobek (Matz 1959). Pada bakso kering beku tekstur dapat diartikan sebagai kekerasan atau keempukan bakso. Secara objektif (derajat kekerasan) dapat diukur dengan alat
instron. Hasil pengukuran terhadap derajat kekerasan bakso kering beku disajikan pada Gambar 16. Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata kekerasan bakso kering beku terpilih berkisar antara 345,00 g.cm pada produk TTT sampai 712,50 g.cm pada produk TTS, berdasarkan pada Gambar 16 diketahui bahwa produk dengan kekerasan terendah adalah TTT dan merupakan produk dengan kekerasan yang terbaik. Kekerasan yang berbeda dari kedua jenis produk diduga karena karakteristik dari produk akhir yang memiliki kadar air relatif sangat rendah dan adanya perbedaan komposisi dari kedua jenis tepung yang digunakan serta banyaknya porous pada produk yang dihubungkan dengan rasio rehidrasi produk. Karakteristik dari produk kering beku memiliki kadar air akhir yang relatif sangat rendah, sehingga memberi kemungkinan lebih lama dalam waktu penyimpanan
Kekuatan Gel Rata-rata (g.cm)
(Kisdiani 2002). 712.50 ± 197.12
800 700 600 500 400
345.00 ± 86.89
300
TTT TTS
200 100 0 Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 16. Diagram Perbedaan kekerasan pada produk bakso kering beku terpilih (3) Water Holding Capacity (WHC) Water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan suatu bahan atau produk untuk mengikat air yang berfungsi untuk memperbaiki tekstur serta penampakan suatu produk dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Kerusakan membran sel sitoplasma dapat terjadi selama proses pengeringan produk, yang menyebabkan komponen intraseluler dan sel berlubang selama proses pengeringan. Selain itu, dapat pula terjadi kerusakan pada struktur
molekular dari protein dan komponen struktur molekular lainnya. Mudahar et al. (1990) mencatat bahwa, kandungan air yang terikat tidak dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Daya mengikat air ditentukan oleh banyaknya air yang hilang dari bahan yang dikeringkan dengan mengepres sampai 50 % volume awal. Berkaitan dengan hal tersebut maka perubahan reversible dan irreversible mungkin berlangsung di dalam struktur sel dan sifat fisis lain (misalnya turgiditas yang berkurang) selama pengeringan berlangsung. Perubahan irreversible dapat mempengaruhi banyaknya air yang terikat oleh sel, dengan secepatnya mempengaruhi kandungan air yang terserap pada bahan.
3.10
3.05 ± 0.35
Nilai Rata-rata WHC
3.05 3.00 2.95 2.90
TTT
2.85 2.80
TTS 2.75 ± 1.49
2.75 2.70 2.65 2.60 Produk Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 17. Diagram perbedaan WHC pada bakso kering beku yang terpilih Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata WHC bakso kering beku terpilih berkisar antara 2,75 pada produk TTT sampai 3,05 pada produk TTS. berdasarkan pada Gambar 17 diketahui bahwa produk dengan WHC terbesar adalah TTS dan merupakan produk dengan WHC yang terbaik dibandingkan produk TTT. Pori-pori (porous) akan membantu dalam proses penyerapan air oleh pati dan protein pada saat proses rehidrasi semakin banyak pori-pori (porous) yang terbentuk maka penyerapannya air akan lebih baik. Gambar 16 memperlihatkan kemungkinan produk TTS memiliki pori-pori (porous) lebih banyak dibandingkan produk TTT sehingga memiliki nilai WHC tertinggi.
Selain itu WHC juga
dipengaruhi oleh kualitas dari daging ikan dimana daging prerigor memiliki WHC yang tinggi serta pH yang jauh diatas titik isoelektrik dari aktin dan myosin sehingga protein tersebut akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging
akan lebih kering. Daging segar atau prerigor akan menghasilkan produk yang baik karena adanya protein aktin dan myosin dalam bentuk bebas dan dalam bentuk ikatan aktomyosin antara keduanya (Sunarlim 1992).
Hal ini
menyebabkan lebih banyaknya protein yang dapat terekstrak jika dibandingkan dengan daging rigor mortis atau post rigor. Selain faktor diatas peningkatan WHC juga disebabkan oleh sifat pati yang mudah menyerap air. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin dengan protein atau sejenisnya, yang juga disertai oleh pelemahan kekuatan hidrogen. Dengan demikian, molekul air akan menyusup diantara molekul pati dan protein (Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003). Pendinginan bakso akan menyebabkan terjadinya penguatan ikatan hidrogen antara molekul pati, protein dan molekul air.
Penambahan jumlah
tepung tapioka akan meningkatkan zat yang menimbulkan terjadinya ikatan hidrogen sehingga jumlah air yang tertahan akan semakin banyak (Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003). Selain itu, peningkatan daya mengikat air pada produk bakso akan menurunkan susut masak yang dihasilkan (Gaffar 1998). (4) Uji lipat (folding test) Uji lipat merupakan salah satu pengujian terhadap mutu gel bakso. Tingkatan mutu yang digunakan adalah skala 1 sampai 5 (1 = retak seluruhnya jika dilipat dua; 5 = tidak retak jika dilipat empat). Nilai hasil uji lipat yang didapat berkisar antara 2 sampai 4. Nilai rata-rata uji lipat secara berturut-turut dari produk bakso kering beku TTT dan TTS dapat
R a ta -ra ta U ji L ip a t
dilihat pada Gambar 18.
3.30 3.20
3.20 ± 1.12
3.10 3.00
TTT 2.97 ± 0.96
TTS
2.90 2.80 Produk Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 18. Diagram perbedaan uji lipat produk bakso kering beku yang terpilih
Hasil uji lipat pada TTT berkaitan langsung dengan tekstur gel, terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang dihasilkan semakin baik (Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997). Semakin tinggi nilai uji lipat maka semakin baik daya gel produk tersebut, sehingga bakso jenis TTT merupakan jenis bakso dengan daya gel terbaik. Adanya ruang kosong pada bakso kering yang kemudian direhidrasi menyebabkan terisi kembali ruang-ruang kosong dengan air menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan gel pada bakso. Penurunan kekuatan gel juga dapat disebabkan karena berkurangnya elastisitas gel dari bakso, hal ini berkaitan dengan proses pengeringan beku dari bakso tersebut. Adanya kerusakan protein miofibril akibat proses pengeringan beku mengakibatkan ketika bakso direhidrasi, protein miofibril tidak mampu berikatan kembali dengan air sehingga elastisitasnya menurun. Rata-rata uji lipat pada bakso dari tepung tapioka lebih tinggi dibandingkan bakso dari tepung sagu, hal ini berkaitan dengan komposisi dari amilosa dan amilopektin. Winarno (1992) mengatakan bahwa fraksi amilosa bertanggung jawab atas keteguhan gel.
Sedangkan perbandingan antara
kandungan amilosa dan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya.
Karena kandungan
amilosa dari tepung tapioka lebih kecil dari tepung sagu mengakibatkan jenis bakso TTT memiliki nilai uji lipat lebih tinggi. (5) Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit ini memberikan taksiran secara subjektif dengan 15 orang panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan bawah. Tingkatan nilai yang digunakan adalah 10 skala (1 = hancur, sangat lunak; 10 = amat sangat kuat). Nilai hasil uji gigit berkisar antara 3,50 sampai 7,00; nilai rata-rata uji gigit dapat dilihat pada Gambar 19.
R ata-rata U ji Gigit
6.40 6.20
6.20 ± 0.46
6.00
TTT 5.7 ± 0.61
5.80
TTS
5.60 5.40 Produk Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 19. Diagram perbedaan uji gigit produk bakso kering beku yang terpilih. Sama halnya dengan uji lipat, uji gigit juga berhubungan dengan kekuatan gel produk serta komposisi dari kandungan amilosa dan amilopektin. Semakin tinggi nilai uji gigit maka semakin baik daya gel produk tersebut, sehingga TTT merupakan produk dengan uji gigit terbaik. Semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan maka semakin lekat produk olahannya sehingga TTT memiliki nilai rata-rata uji gigit tertinggi. Adanya perbedaan uji gigit terhadap jenis bakso, kemungkinan disebabkan karena terbentuknya porous (pori-pori) pada bakso TTS lebih banyak sehingga ruang kosong yang terbentuk dalam bakso TTS lebih banyak dari TTT. Pada saat direhidrasi menyebabkan terisi kembali ruang-ruang kosong dengan air menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan gel pada bakso TTS. (6) Uji organoleptik Uji organoleptik merupakan uji yang dilakukan oleh panelis dengan menggunakan panca indra. Panelis yang melakukan uji ini merupakan panelis semi terlatih sebanyak 5 orang. Uji organoleptik ini menggunakan 7 skala (1 = sangat tidak suka; 7 = sangat suka). Uji organoleptik merupakan salah satu cara untuk mengetahui penilaian panelis terhadap produk atau sampel yang dibuat. Analisis organoleptik adalah uji yang menggunakan panca indra, dan terkadang disebut juga uji sensori karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensori organ indra (Soekarto 1985).
6.47 ± 0.51
5.37 ± 0.51
4.77 ± 0.79
5.00 ± 0.79
5.07 ± 0.57
5.40 ± 0.57
5.20 ± 0.58
5.57 ± 0.58
5.00
5.70 ± 0.74
6.00
5.73 ± 0.74
Rata-rata Skala Hedonik
7.00
4.00
TTT
3.00
TTS
2.00 1.00 0.00 Penampakan
Aroma
Rasa
Tekstur
Warna
Produk Bakso Kering Beku Terpilih
Gambar 20. Perbedaan organoleptik bakso kering beku yang terpilih Nilai rata-rata uji organoleptik bakso kering beku berkisar antara 3,50 sampai 7,00, dimana bakso kering beku TTT pada umumnya memiliki nilai rata-rata tertinggi dibandingkan bakso kering beku TTS kecuali pada warna bakso kering beku dimana TTS merupakan bakso kering beku tertinggi karena memiliki warna lebih putih dibandingkan TTT sehingga panelis lebih menyukai. Bakso kering beku berdasarkan nilai tertinggi berdasarkan uji organoleptik adalah TTT. (7) Kadar proksimat Kadar proksimat merupakan gambaran nilai gizi suatu produk makanan, dimana semakin baik kadar gizi suatu bahan maka semakin baik bagi konsumen. Kadar proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak serta kadar karbohidrat (metode by different).
Kadar air merupakan
komponen utama bahan makanan, kadar abu merupakan zat anorganik yang terkandung dalam suatu bahan makanan, kadar protein merupakan kandungan protein yang merupakan bagian terbesar ketiga setelah air dan karbohidrat, kadar lemak merupakan banyaknya lemak dalam bahan pangan yang berfungsi sebagai sumber energi sedangkan kadar karbohidrat merupakan selisih dari empat komponen, yaitu kadar air, abu, lemak dan protein dimana kadar karbohidrat diperoleh terutama dari bahan pengisi yang digunakan.
TTS
Ka rb oh id
ra t
24.44 ± 1.65
18.41 ± 0.48
0.93 ± 0.01
1.05 ± 0.04
ak
TTT
Ka da r
19.99 ± 0.97
16.40 ± 0.11
Le m Ka da r
2.16 ± 0.08
Pr ot ei n Ka da r
Ka da r
Ab u
1.55 ± 0.03
56.07 ± 1.63
59.01 ± 0.43
r Ai Ka da r
Rata-rata Kadar Proksimat (%)
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Uji Proksimat
Gambar 21. Perbedaan Kadar Proksimat pada produk bakso kering beku yang terpilih Berdasarkan nilai rata-rata kadar proksimat yang terdapat pada Gambar 21, diketahui bahwa kadar air, kadar protein dan kadar lemak tertinggi terdapat pada produk TTT dengan nilai secara berturut-turut adalah 59,01 %, 19,99 % dan 1,05 % dibandingkan TTS dengan nilainya adalah 56,07 %, 16,40 % dan 0,93 %. Sedangkan untuk kadar abu dan karbohidrat terbesar adalah produk TTS dengan nilai sebagai berikut 2,16 % dan 24,44 % sedangkan TTT sebesar 1,55 % dan 18,41 %. Kadar proksimat ini tidak jauh berbeda dengan bakso kering ikan patin, yaitu kadar air sebesar 69,46 %, kadar abu 1,47 %, kadar protein 19,16 %, kadar lemak 0,46 % dan kadar karbohidrat 16,18 % (Hutabarat 2008). Sedangkan proksimat untuk ikan nila dengan kadar air 59,55 %, kadar protein 18,95 %, kadar lemak 7,05 %, kadar karbohidrat 13,4 % serta abu sebesar 5,11 % (Wibowo 2006), sehingga produk ini dinilai layak untuk konsumsi dengan kadar proksimat tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada penelitian pendahuluam diperoleh hasil rendemen ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebesar 51,15 %, kemudian hasil ini dipergunakan untuk membuat surimi dengan diberi perlakuan frekuensi pencucian 1, 2 atau 3. Berdasarkan uji yang dilakukan, diketahui bahwa secara umum frekuensi pencucian ke satu merupakan frekuensi pencucian terbaik. Pada penelitian utama dilakukan dua tahap pengujian, yaitu tahap satu menentukan produk bakso kering beku terbaik melalui rasio susut masak, rasio rehidrasi dan uji organoleptik dengan bakso yang ditambahkan Na-sitrat memiliki nilai tertinggi pada kedua tepung (TTT dan TTS). Sedangkan untuk tahap dua bakso kering beku terbaik (TTT dan TTS) dilakukan pembandingan satu sama lain. Berdasarkan pembandingan tersebut dihasilkan bahwa produk jenis bakso TTT memliki nilai terbaik berdasarkan uji kekuatan gel sebesar 370,00 g.cm; uji lipat dan gigit sebesar 3,20 dan 6,20; dan analisis proksimat (kadar air sebesar 59,0 %; kadar abu sebesar 1,55 %; kadar protein sebesar 19,99 %; kadar lemak sebesar 1,05 % dan kadar karbohidrat sebesar 18,41 %). Hasil proksimat ini tidak jauh berbeda dengan proksimat pada bakso kering ikan patin serta produk ini layak untuk dikonsumsi. 5.2 Saran − perlu adanya penelitian pendahuluan tentang karakteristik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus); − perlu adanya pengujian kadar air dalam surimi dari kan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai data pembanding; − perlu adanya penelitian lanjutan tentang produk kering beku pada jenis alat pengering lainnya untuk mengetahui kualitas produk yang akan dihasilkan; − perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh komposisi bahan pembuatan bakso terhadap jenis alat pengering lainnya; − ukuran dan preparasi sampel harus disesuaikan dengan jenis alat pengeringnya serta kapaitas muatan (volume) sampel harus disesuaikan dengan jenis alat pengeringnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani G, Arifianto E, Farida D, Afifah K, Maharani. 2001. Pengembangan produk nasi siap santap pop rice berkalsium tinggi dengan teknologi nasi instan [laporan penelitian LKIP]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Apriantono A, Fardiaz D, Puspitasari N, Sedarnawati, Budiyano S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Andini YS. 2006. Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. AOAC.
1995. Official Methode of Analysis. The Association of Official Analytical an Chemist. 16th ed. AOAC. Virginia: Arlington Inc.
AOAC.
1996. Official Methode of Analysis. The Association of Official Analytical an Chemist. 17th ed. AOAC. Virginia: Arlington Inc.
Budiyanto D, Djazuli N. 2003. Konsepsi Percepatan Pengembangan Produk Bernilai Tambah BBP2MHP. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. [BBP2HP] Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan. 2006. Official Journal of the European Union untuk pengujian TVB. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Carpenter JA, Saffle RL. 1965. Some phyysical and chemical factor affecting the emulsifying capacity of meat protein extract. Journal of Food technology 8(1):72-79. Cecil JE, Law G, Heng SH, Ku CK. 1982. The Sago Starch Industry : a technical profile based on a pelimentary study made in Sarawak. London: Tropical Product Institute, Overseas Development Administration. Cox JP, Cox JM. 1975. Quick cooking whole grain rice. Di dalam : Robbin PM, editor. Convenience Food : Recent Technology. New Jersey: Noyes Data Corporation. Page. 37-42. Dahuri R. 2003. Paradigma baru pengembangan Indonesia berbasis kelautan. [Orasi Ilmiah]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Rapat Koordinasi Nasional Tahunan Departemen Kelautan Perikanan. www.dkp.or.id [12 Agustus 2007]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Ikan swangi (Priacanthus tayenus). www.pelabuhanperikanan.or.id [21 Juli 2008]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2004. Jakarta : Biro Pusat Statistik. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan (The Technology of Food Preservation). Muljoharjo M, penerjemah; Jakarta: UI Press.
[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1994. SNI Tepung Tapioka. SNI 01-34511994. Jakarta Direktorat Jendral Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian Fajri I. 2002. Mempelajari proses pembuatan tepung dari whey tahu dengan pengering semprot dan pengering beku serta analisis sifat fungsional tepung yang dihasilkan [program Pascasarjana]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fatriani Y. 2003. Evaluasi penambahan tepung tapioka dan es batu pada berbagai tingkat yang berbeda terhadap kualitas bakso sapi [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Fennema OR, Powrie WD. 1964. Low Temperatur of Food Preservation. Adv. Food Res. 13(3):219. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. 2 ed. Departement of Food Science. New York: University Of Wisconsin-Madison. Flach M. 1983. The Sago Palm : Domestication Exploitation and Product. Rome: Food and Agricultural Organization of the United Nation. Frank Kreith, Bohn MS. 1986. Principles of Food Science Part II. Physical Princoples of Food Preservetion. New Yor : Harper and Row Publisher. Gaffar R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioca [skripai]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Gregory AB. 1976. Chemical treatment and process modification for producing improved quick-cooking rice. Journal of Food Science. 50(!):926-931. Haard NF, Simpson BK, Pan BS. 1994. Sarcoplasmic Proteins and Other Nitrogeneous Compounds. Di dalam: Sirkoski ZE, editor. Seafood Protein. New York: Chapman & Hall. Harper JC, Chichester CO, Roberts TE. 1962. Freeze drying of food: Dielectric heating applied to dehydrated food production. Journal of Agricultural Engineering 2(2):78-90. Haryati S. 2001. Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Process Engineering. 2 ed. Westport, Conecticut, USA: Avi Publishing Company Inc. Hendriawan B. 2002. Kemampuan pembentukan gel surimi daging merah ikan tuna (Thunnus sp.) dengan perlakuan frekuensi pencucian [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hubeis M. 1984. Pengantar pengolahan tepung serealia dan biji-bijian [skripsi]. Bogor: Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hutabarat DH. 2008. Karakteristik bakso kering ikan pati (Pangasius sp) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hutchings JB. 1994. Food Colour and Appearance. London: Blacky academic and professional. Irianto B. 1990. Teknologi surimi sebagai salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan-ikan yang kurang di manfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9(2):35-39. Istihastuti PR TH, Djajali N, Ratnawati, Handayani T. 1997. Pengaruh kesegaran ikan nila (Oreochromis sp.) terhadap gel strenght surimi. Jurnal Pasca Panen Perikanan 7(2):22-27. Igoe RS, Hui YH. 1996. Dictionary of Food Ingredints. 3 ed. New York: Chapman & Hall. Kamil S. 1983. Termodinamika dan Pindah Panas. Jakarta: Penerbit Melton Putra. King CJ. 1971. Freeze Drying of Food. Cleveland-Ohio: CRC Press. Kisdiani. 2002. Mempelajari kondisis operasi dan karakteristik pengeringan beku pasta cabai jawa (Piper retrofractum Vahl) [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Knight JW. 1989. The Starch Industry. Oxford: Pergamon Press Kobs
L. 2000. Frozen pasta and rice http://www.foodproductdesign.com/achieve/2000/1100de.html
dishes.
Koswara S, Hariyadi P, Purnomo EH. 2001. Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press. Kramlich WE. 1971. Sausage Product. Di dalam: Price, Scweigert BS, editor. The Science and Meat Product. Westport, Connecticut: W. H. Freeman and Co. Kuntz ID. 1971. Hydration of macromolecules III. Hydration of polypeptides. J. Am. Oil Chem. Soc 93(2):514. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and fungtional properties. Di dalam: Lanier TC ,Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Lee CM. 1984. Surimi process technology. Journal Food Tech 38(11):69-72. Liapis AI, Bruttini R. 1995. Freeze Drying. Di dalam: Mujumdar AS, editor. Handbook of Industrial Drying. New York: Marcel Dekker Inc. Page.309-343. Lin YW, Park JW. 1996. Extraction of protein frompasific whiting mince at various washing conditions. Journal of Food Science 61(2):432-438.
Lombrana, Izkara J. 1966. Experimental Estimation of Effective Transport Coefecients in Freeze Drying. Drying Technology 24(6):1265-1300. Muchtadi, Andarwulan N. 1988. Karakteristik Jaringan Daging Ikan untuk Pembentukan Gel Ikan. Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Perpustakaan Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Mulyana. 1988. Pengaruh varietas beras, perlakuan kimia dan suhu pengeringan pada pembuatan bubur nasi kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flavour) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Osman EM. 1972. Starch and Other Polysaccarides. Di dalam: Paul PC, Palmer HH, editor. Food Theory and Applications. New York: Jhon Willey & Son. Page. 205-315. Pauziah R. 2002. Daya terima konsumen dan sifat fisiko-kimia bakso daging sapi pada tingkat suhu pengeringan beku [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor. Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut. Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morissey MT. 1995. Functional properties and self life of fresh surimi from pacific whitting. Journal of Food Science 60(6):1241-1244. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Component. 2 ed. New York: Academic Press. Ranggana S. 1986. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Product. New Delhi: Tata Mc Craw Hill Publ Co Ltd. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage condition. Journal of Food Science 67(6):2072-2078. Richardson. 1984. Classification of Priacanthus tayenus. www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php. [21 juli 2007] Saffle RL, Galbreath JW. 1964. Quantitative determination of salt-soluble protein in various types of meat. Journal of Food Technology 72(3):119-120. Sahidi F. 1994. Seafood Protein and Preparation of Protein Concentrate. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood, Chemistry, Processing, Technology and Quality. London: Chapman and Hall. Page. 45-78. Santoso J, Tri Laksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor: Departemen Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page. 425-442. Slade FH. 1967. Food Processing Plantation. London: Leonard Hill Book. Smith DA. 1985. Chemical Treatment and Process Modification for Producing Improved Qiuick Cooking Rice. Journal of Food Science 50(2):926931. Sudarisman T, Elvina AR. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan daging. Jakarta: Penebar Swadaya. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. Suliantari. 1988. Pengaruh penambahan lipid terhadap sifat fisiko kimia beras instan [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. Sunarlim R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium chlorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryanagara P. 2006. Uji kadar air, aktivitas air, dan ketahanan bentukan ransum komplit domba bentuk pelet menggunakan daun kelapa sawit sebagai substitusi hijauan [skripsi]. Bogor: Ilmu Nutrisi Makanan Terna, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. London: Applied Science Publ Ltd. Tranggono dan Sutardi. 1990. Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada. Utomo B. 1999. Perbandingan mutu tanak beras dan ketan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional KPI ikan hiu lunyam (Charcarinus lombatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Watabe S. 1990. The chemistry of protein from marine mamal. In Science of Processing Marine Food Product. Japan: Japan International Agency. Wenur F. 1997. Model silindris untuk pengkajian proses pengeringan beku udang [desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrat. Di dalam Fennema OR, editor. Principle of Food Science. New York: Marcel Dekker. Wibowo S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Wilson NRP, Dyett EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat Product. London dan New Jersey: Applied Science Pub. Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. WinarnoFG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia. Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of starch gelatinitation and water absorption in rice [disertasi]. Madison: Univ. of Wisconsin. Wong DWS. 1990. Mecanisme and Theory in Food Chemestry. New York: Van Nostrand Reinhold. Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
Lampiran 1. Score sheet organoleptik 1.a. Uji gigit Nama panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Contoh
: Kamaboko Ikan Mata Goyang (Priachanthus Tayenus)
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap sifat kekenyalan Kamaboko ini sesuai dengan kolom berikut dan beri tanda √
Nilai
A112
A212
Sampel A312 A121
A221
A321
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Penilaian
:
(10) Amat sangat kuat (9) Sangat kuat (8) Kuat (7) Cukup Kuat (6) Dapat diterima (5) Dapat diterima, agak kenyal (4) Kekenyalan lemah (3) Kekenyalan lemah, agak lunak (2) Kekenyalan sangat lemah, lunak (1) Hancur/Mushy, sangat lunak
1.b. Uji lipat Nama panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Contoh
: Kamaboko Ikan Mata Goyang (Priachanthus Tayenus)
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap sifat keretakan Kamaboko ini sesuai dengan kolom berikut dan beri tanda √ Sampel
Nilai A112
A212
A312
A221
A222
A223
5 4 3 2 1 Penilaian
:
(5) Tidak retak jika dilipat empat (4) Sedikit retak jika dilipat empat (3) Sedikit retak jika dilipat dua (2) Retak tapi masih menyatu jika dilipat dua (1) Retak seluruhnya jika dilipat dua
1.c. Organoleptik skala hedonik Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Contoh
: Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap organoleptik dari bakso kering ikan mata goyang
Spesifikasi
Kode Sampel KTT
RTT
TTT
KTS
RTS
TTS
Penampakan Tekstur Warna Penilaian
:
(1) Sangat Tidak Suka (2) Tidak Suka (3) Kurang Suka (4) Biasa (5) Agak Suka (6) Suka (7) Sangat Suka
1.d. Organoleptik skala hedonik Nama panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Contoh
: Bakso Basah Ikan Mata Goyang (Priachanthus Tayenus)
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap sifat kekenyalan kekenyalan ini sesuai dengan kolom berikut dan beri tanda √ Sampel
Nilai
TTT1
TTT2
TTS1
TTS2
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Penilaian
:
(10) Amat sangat kuat (9) Sangat kuat (8) Kuat (7) Cukup Kuat (6) Dapat diterima (5) Dapat diterima, agak kenyal (4) Kekenyalan lemah (3) Kekenyalan lemah, agak lunak (2) Kekenyalan sangat lemah, lunak (1) Hancur/Mushy, sangat lunak
Lampiran 2. Data mentah uji organoleptik 2.a. Uji gigit kamaboko Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A212 10 9 7 8 10 8 8 9 6 9 9 7 10 8 9
A321 9 9 8 8 10 9 8 10 7 8 9 6 10 9 9
Sampel A312 A221 8 10 7 5 8 4 7 7 7 8 5 4 5 4 9 10 4 4 4 3 8 8 6 5 8 9 9 9 7 7
A112 9 7 5 7 7 5 7 8 5 8 9 7 9 8 8
A121 9 8 5 8 9 5 8 9 5 3 9 5 10 8 9
2.b. Uji lipat kamaboko Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A212 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5
A321 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Sampel A312 A221 5 5 3 4 5 5 5 5 5 5 5 5 4 3 5 5 4 2 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Keterangan: A212 A321 A312 A221 A112 A121
= Frekuensi pencucian ke-1 = Frekuensi pencucian ke-1 (ulangan) = Frekuensi pencucian ke-2 = Frekuensi pencucian ke-2 (ulangan) = Frekuensi pencucian ke-3 = Frekuensi pencucian ke-3 (ulangan)
A112 5 3 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
A121 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5
2.c1. Organoleptik bakso kering Panelis 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Penampakan 2 2 5 6 5 6 5 5 4 4 5 6 2 4 4 4 3 4 6 4 3 4 3 5 5 4 5 3 5 4 2 3 3 4 6 6 4 4 6 6 6 5 4 2 5
Penampakan 4 2 5 6 3 2 4 4 5 4 4 5 3 3 3 3 4 4 7 6 7 5 3 4 5 5 2 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 5 5 6 5 5 5 3
Tekstur 3 6 4 5 6 5 6 3 3 3 6 4 5 3 3 5 6 5 5 6 5 6 3 4 6 6 5 5 3 3 3 4 5 4 6 4 4 3 6 5 5 6 5 6 3
Tekstur 3 6 3 7 6 5 6 3 4 4 6 3 5 3 3 4 6 4 6 5 5 6 3 5 4 5 4 6 3 3 3 4 6 4 6 3 3 3 6 5 5 4 5 6 3
Warna 2 4 3 7 5 3 5 4 4 4 5 6 3 5 4 5 4 3 6 3 3 5 6 4 3 6 5 4 4 4 2 4 3 3 6 5 5 5 6 3 4 4 3 4 3
Warna 3 3 2 6 5 5 5 4 3 2 5 6 4 4 4 4 4 3 6 3 3 6 3 5 3 6 5 5 4 4 5 5 3 6 4 5 5 4 4 3 4 6 5 5 6
2.c2. Organoleptik bakso kering Panelis 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
Penampakan 2 4 3 4 3 2 7 3 3 6 7 5 4 2 2 2 2 6 4 6 6 4 4 7 3 2 6 6 3 3 5 4 7 7 5 6 7 5 6 7 7 5 6 4 3
Penampakan 2 3 6 2 3 2 4 4 5 6 5 3 5 3 3 2 2 6 3 4 3 3 3 4 2 2 3 3 3 3 4 4 7 6 7 5 4 5 7 7 4 5 6 3 2
Tekstur 3 6 2 5 5 5 6 3 4 5 5 4 6 3 3 3 3 5 5 6 5 3 3 6 5 6 5 5 6 4 5 6 6 6 6 5 6 3 6 7 6 5 6 3 5
Tekstur 3 6 4 5 6 5 6 3 4 4 5 4 6 4 4 3 3 5 4 6 5 3 3 6 5 6 2 2 6 3 3 6 6 5 6 5 6 3 6 6 6 5 6 4 3
Warna 3 3 4 4 6 5 7 4 3 5 5 6 4 5 5 5 5 6 6 7 6 5 5 7 6 5 5 6 4 6 6 4 7 7 7 7 7 4 7 6 7 6 6 5 3
Warna 3 3 5 3 3 5 2 3 3 4 3 6 6 4 5 3 3 5 4 4 3 5 5 4 3 5 4 3 4 4 5 5 7 6 7 7 5 5 6 6 6 6 7 5 5
2.d. Organoleptik bakso basah ulangan 1 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 5 6 6 5 6 7 7 7 7 3 4 6 6 6 5
Aroma
Rasa 5 5 5 6 6 6 6 6 5 5 3 6 6 5 6
Tekstur 6 7 7 6 5 7 6 4 5 4 6 5 5 4 6
Warna 6 4 5 6 6 6 6 5 5 4 3 4 6 3 6
5 5 5 6 6 6 5 7 5 4 4 4 5 6 6
2.e. Organoleptik bakso basah ulangan 2 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 7 5 5 5 6 2 7 7 6 6 7 6 6 5 6
Aroma
Rasa 6 6 6 5 3 5 6 6 6 6 6 6 6 6 7
Tekstur 5 5 5 5 6 3 4 6 5 6 6 5 6 6 6
Warna 7 5 6 4 3 3 5 5 6 5 6 6 4 5 5
7 7 6 4 4 3 6 6 5 6 6 5 5 6 6
2.f. Uji gigit bakso basah Panelis
TTT1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TTT2 7 6 8 8 6 6 7 5 6 5 7 7 7 4 5
TTS1 7 5 7 7 5 7 6 4 7 6 8 7 7 5 4
TTS2 6 5 7 6 5 6 6 4 6 5 6 6 6 4 5
7 5 6 7 6 6 7 3 6 5 6 7 7 4 6
2.g. Uji lipat bakso basah Panelis
TTT1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TTT2 3 4 3 4 4 3 2 3 4 4 4 4 4 2 3
TTS1 3 3 3 3 3 4 4 2 3 2 4 3 3 3 2
TTS2 2 3 2 3 2 4 1 3 3 4 4 4 3 2 3
3 2 3 4 2 4 4 3 4 3 3 2 4 2 3
2.h1. Organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 1 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 5 6 6 5 6 7 7 7 7 3 4 6 6 6 5
Aroma
Rasa 5 5 5 6 6 6 6 6 5 5 3 6 6 5 6
Tekstur 6 7 7 6 5 7 6 4 5 4 6 5 5 4 6
Warna 6 4 5 6 6 6 6 5 5 4 3 4 6 3 6
5 5 5 6 6 6 5 7 5 4 4 4 5 6 6
2.h2. Organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 2 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 7 5 5 5 6 2 7 7 6 6 7 6 6 5 6
Aroma
Rasa 6 6 6 5 3 5 6 6 6 6 6 6 6 6 7
Tekstur 5 5 5 5 6 3 4 6 5 6 6 5 6 6 6
Warna 7 5 6 4 3 3 5 5 6 5 6 6 4 5 5
7 7 6 4 4 3 6 6 5 6 6 5 5 6 6
2.i1. Organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 1 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 5 6 6 4 7 6 5 6 7 4 5 6 6 5 7
Aroma
Rasa 6 6 5 5 6 6 6 5 6 4 2 5 4 6 6
Tekstur 5 5 6 4 5 5 6 3 5 4 6 5 6 4 5
Warna 5 5 4 6 6 6 3 5 4 3 3 3 6 3 7
7 6 7 7 6 7 7 7 6 5 5 5 7 7 7
2.i2. Organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 2 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penampakan 6 6 6 5 5 2 7 6 7 7 6 7 6 5 5
Aroma
Rasa 6 5 5 6 2 5 5 6 4 7 6 6 5 5 5
Tekstur 6 4 7 5 5 2 4 5 5 6 5 6 7 5 6
Warna 5 5 5 4 3 3 6 4 6 6 6 6 5 5 5
7 7 7 5 6 4 7 7 7 7 7 7 6 7 7
Lampiran 3. Uji statistik Tabel 3.1 Uji lipat dan gigit kamaboko Ketrenagan: A212 = Frekuensi pencucian ke-1 A312 = Frekuensi pencucian ke-2 A112 = Frekuensi pencucian ke-3 Ranks
Uji Gigit Kamaboko
Uji Lipat Kamaboko
Perlakuan A212
N
Rata-rata 15
30,83
A312
15
17,17
A112
15
21,00
Total
45
A212
15
24,27
A312
15
22,00
A112
15
22,73
Total
45
Tes Statistik (a,b) Uji Gigit Kamaboko Chi-Square
Uji Lipat Kamaboko
8,731
Df Asymp. Sig.
,525
2
2
,013
,769
a Tes Kruskal Wallis b Variabel grup: Perlakuan Uji gigit kamaboko Tukey HSD Perlakuan A312 A112 A212 Sig.
Selang kepercayaan dengan alpa= 0,5
N
1 15 15 15
2 6,63 7,30 ,489
Rata-rata untuk grup yang homogen telah ditampilkan. a menggunakan sample harmonis dengan ukuran= 15,000.
7,30 8,53 0,96
Deskriptif Uji gigit kamaboko Ratarata
N
Std. deviasi
Std. eror
A212 A312 A112
15 15 15
8,53 6,63 7,30
1,093 1,959 1,590
,28 ,506 ,411
Total
45
7,49
1,743
,260
Selang kepercayaan 95% untuk rata-rata Batas Batas min maks bawah atas 7,93 9,14 7 10 5,55 7,72 4 10 6,42 8,18 5 10 6,97
8,01
4
10
ANOVA Uji gigit kamaboko
Antara grup Dengan grup
Jumlah perkalian 27,878 105,867
total
df
Rata-rata perkalian 2 42
133,744
F
13,939 2,521
Sig.
5,530
,007
42
Multiple comparisons Variabel dependen: Uji gigit kamaboko Tukey HSD Rata-rata (l) (J) perbedaan Std. eror Sig. Perlakuan Perlakuan (l-J)
Selang kepercayaan 95% Batas Batas atas bawah ,49 3,31 -,18 2,64
A212
A312 A112
1,90* 1,23
,580 ,580
,006 ,096
A312
A212 A112
-1,90* -,67
,580 ,580
,006 ,489
-3,31 -2,08
-,49 ,74
A112
A212 A312
-1,23 ,67
,580 ,580
,096 ,489
-2,64 -,74
,18 2,08
* Perbedaan rata-rata signifikan pada selang 0,5
Tabel 3.2 Derajat putih kamaboko ANOVA Derajat Putih Kamaboko Jumlah perkalian Antara grup Dengan grup Total
4,500
df
Rata-rata perkalian 2
2,250
,012
3
,004
4,513
5
F 555,605
Sig. ,000
Multiple Comparisons Variabel Dependen: Derajat Putih Kamaboko Tukey HSD Selang kepercayaan 95%
Perbedaan rata-rata (I-J) -,73(*) -2,09(*)
Std. Eror ,064 ,064
Sig. ,003 ,000
(I) Perlakuan A212
(J) Perlakuan A312 A112
A312
A212
,73(*)
,064
,003
,46
1,00
A112
-1,36(*)
,064
,000
-1,63
-1,09
2,09(*) ,064 1,36(*) ,064 * Perbedaan rata-rata signifikan pada selang 0,5
,000 ,000
1,82 1,09
2,36 1,63
A112
A212 A312
Derajat Putih Kamaboko Tukey HSD Perlakuan N 2
A312
2
A112
2
Batas atas -,46 -1,82
Selang kepercayaan dengan alpa = .05 1
A212
Batas bawah -1,00 -2,36
2
3
22,23 22,96 24,32
Sig.
1,000
1,000
1,000
Rata-rata untuk grup yang homogen telah ditampilkan. a menggunakan sample harmonis dengan ukuran= 2,000. Normalitas Derajat Putih Kasus Valid N
Hilang Persen
Derajat Putih
6
N
100,0%
Total Persen
0
N
,0%
Persen 6
100,0%
Tes kenormalan Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik Derajat Putih
df
,236
Shapiro-Wilk
Sig. 6
Statistik
,200(*)
df
,861
Sig. 6
,192
* Ini adalah batas bawah yang benar-benar signifikan. a Perbaikan secara signifikan
Tabel 3.3 Kekuatan gel kamaboko Deskriptif Kekuatan Gel kamaboko N Ratarata
Std. Deviasi
Std. Eror
Selang kepercayaan untuk rata-rata 95% Batas Batas bawah atas 1297,65 1644,25
A212
12
1470,95
272,749
78,736
A312
12
1350,39
204,200
58,947
1220,65
A112
12
1232,08
184,071
53,137
1115,13
Min
Mak
1149
1952
1480,14
1111
1709
1349,04
1010
1614
Total
36
1351,14
238,570
39,762
ANOVA Kekuatan Gel kamaboko Jumlah perkalian Antara grup
342362,075
1270,42
1431,86
1010
df
Rata-rata perkalian
F
Sig.
2
171181,038
3,424
,045
49990,582
Dengan grup
1649689,222
33
Total
1992051,298
35
1952
Multiple Comparisons Variabel dependen: Kekuatan Gel kamaboko Tukey HSD Selang kepercayaan 95%
Perbedaan Rata-rata (I-J) 120,56 238,87(*)
Std. Eror 91,278 91,278
Sig. ,394 ,035
Batas bawah -103,42 14,89
Batas atas 344,54 462,85
(I) Perlakuan A212
(J) Perlakuan A312 A112
A312
A212
-120,56
91,278
,394
-344,54
103,42
A112
118,31 -238,87(*) -118,31
91,278 91,278 91,278
,407 ,035 ,407
-105,67 -462,85 -342,29
342,29 -14,89 105,67
A112
A212 A312
* Perbedaan rata-rata signifikan pada selang ,05 Kekuatan Gel kamaboko Tukey HSD Perlakuan N
Selang kepercayaan dengan alpa = .05 1 2
A112
12
1232,08
A312
12
1350,39
A212
12
1350,39 1470,95
Sig.
,407
,394
Rata-rata untuk grup yang homogen telah ditampilkan. a menggunakan sample harmonis dengan ukuran= 12,000.
Normalitas Kekuatan Gel Kasus Valid N Kekuatan Gel Kamaboko
Hilang
Percent 36
N
100,0%
Total
Percent 0
N
,0%
Percent 36
100,0%
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik
df
Sig.
Kekuatan Gel ,096 36 ,200(*) Kamaboko * Ini adalah batas bawah yang benar-benar signifikan. a Perbaikan secara signifikan
Shapiro-Wilk Statistik ,947
df
Sig. 36
,087
Tabel 3.4 Protein larut garam (PLG) Kamaboko ANOVA PLG Kamaboko Jumlah perkalian
df
Rata-rata perkalian
F
Antara grup
,113
2
,056
Dengan grup
,121
3
,040
Total
,234
5
Sig.
1,399
,372
Multiple Comparisons Variabel dependen: PLG Kamaboko Tukey HSD Selang kepercyaan 95%
Perbedaan rata-rata (I-J) ,01 -,29
Std. Eror ,201 ,201
Sig. ,999 ,435
Batas bawah -,83 -1,12
Batas atas ,85 ,55
(I) Perlakuan A212
(J) Perlakuan A312 A112
A312
A212
-,01
,201
,999
-,85
,83
A112
-,30 ,29 ,30
,201 ,201 ,201
,416 ,435 ,416
-1,13 -,55 -,54
,54 1,12 1,13
A112
A212 A312
PLG Kamaboko Tukey HSD Perlakuan
N
Selang kepercayaan dengan alpa = .05 1
A312
2
2,40
A212
2
2,42
A112
2
2,70
Sig.
,416
Rata-rata untuk grup yang homogen telah ditampilkan. a menggunakan sample harmonis dengan ukuran= 2,000. Normalitas Kasus Valid N
Hilang Persen
PLG Kamaboko
6
N
100,0%
Total
Persen 0
N
,0%
Persen 6
100,0%
Tes kenormalan Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik PLG Kamaboko
,240
df
Sig. 6
,200(*)
* Ini adalah batas bawah yang benar-benar signifikan. a Perbaikan secara signifikan
Shapiro-Wilk Statistik ,880
df
Sig. 6
,270
Tabel 3.5 Rasio rehidrasi Faktor antara subjek Nasitrat Jenis Tepung
1 2 3 1 2
Statistik deskriptif Variabel dependen: % rehidrasi Nasitrat Jenis Tepung Kontrol Tepung Tapioka Tepung sagu Total Rendam Tepung Tapioka Tepung sagu Total Tambah Tepung Tapioka Tepung sagu Total Total Tepung Tapioka Tepung sagu Total
Label nilai Kontrol Rendam Tambah Tepung Tapioka Tepung sagu
N 4 4 4 6 6
Rata-rata 20,53
Std. deviasi ,318
N
13,81 17,17 30,57
3,712 4,436 1,987
2 4 2
14,51 22,54 35,98
3,033 9,506 3,748
2 4 2
25,75 30,86 29,02
5,325 7,004 7,267
2 4 6
18,02 23,52
6,796 8,834
6 12
2
Tes antara pengaruh subjek Variable dependen: % rehidrasi Source Tipe III df Rata-rata F Sig. jumlah perkalian perkalian Model dikoreksi 788,911(a) 5 157,782 13,636 ,003 Intersep 6638,755 1 6638,755 573,724 ,000 NASITRAT 381,074 2 190,537 16,466 ,004 TEPUNG 363,330 1 363,330 31,399 ,001 NASITRAT * TEPUNG 44,507 2 22,254 1,923 ,226 Eror 69,428 6 11,571 Total 7497,095 12 Total dikoreksi 858,339 11 a R dikalikan = .919 (biasa R dikalikan = .852) Multiple Comparisons Variable dependen: % rehidrasi Tukey HSD Selang kepercayaan 95% (I) Nasitrat (J) Nasitrat Perbedaan Std. Eror Sig. rata-rata (I-J) Batas bawah Batas atas Kontrol Rendam Tambah
Rendam Tambah Kontrol Tambah Kontrol Rendam
-5,37 -13,70(*) 5,37 -8,33(*) 13,70(*) 8,33(*)
2,405 2,405 2,405 2,405 2,405 2,405
,144 ,003 ,144 ,031 ,003 ,031
-12,75 -21,08 -2,01 -15,71 6,32 ,95
2,01 -6,32 12,75 -,95 21,08 15,71
Berdasarkan pengamatan rata-rata. • Perbedaan rata-rata signifikan pada selang ,05 % rehidrasi Tukey HSD Nasitrat N Selang kepercayaan dengan alpa = .05 1 2 Kontrol
4
17,17
Rendam Tambah
4 4
22,54 30,86
Sig.
,144
1,000
Rata-rata grup dalam selang kepercayaan yang homogen telah ditampilkan. Didasarkan pada tipe III dari jumlah perkaliam dengan kondisi eror berarti rata-rata perkalian (eror) = 11.571. a menggunakan rata-rata harmonis dengan ukuran sampel = 4,000. b Alpa = ,05. kasus Valid N REHIDRASI
hilang Persen
12
N
Total Persen
50,0%
12
N
50,0%
Persen 24
100,0%
Tes kenormalan Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik REHIDRASI
df
,155
Shapiro-Wilk
Sig. 12
Statistik
,200(*)
df
,949
* Ini adalah batas bawah yang benar-benar signifikan. a Perbaikan secara signifikan
Tabel 3.6 Rasio susut masak Factor antara subjek Label nilai Nasitrat
Jenis Tepung
Sig. 12
N
1
Kontrol
4
2
Rendam
4
3
Tambah
4
1
Tepung Tapioka
6
2
Tepung sagu
6
,627
Statistic deskriptif Variable dependen: % Susut Masak Nasitrat Jenis Tepung Rata-rata Kontrol
Rendam
Tambah
Total
NASITRAT TEPUNG
73,34
,205
2
69,54
,318
2
Total
71,44
2,205
4
Tepung Tapioka Tepung sagu
74,72
,106
2
71,61
1,435
2
Total
73,16
1,984
4
Tepung Tapioka Tepung sagu
81,89
,573
2
76,09
,410
2
Total
78,99
3,370
4
Tepung Tapioka Tepung sagu
76,65
4,113
6
72,41
3,074
6
Total
74,53
4,109
12
Df
Rata-rata perkalian
F
Sig.
5
36,601
80,997
,000
66655,160
1
66655,160
147507,962
,000
125,246
2
62,623
138,585
,000
53,890
1
53,890
119,260
,000
3,866
2
1,933
4,278
,070
,452
NASITRAT * TEPUNG Error
2,711
6
Total
66840,874
12
185,714
11
Total dikoreksi
N
Tepung Tapioka Tepung sagu
Tes pengaruh antara subjek Variable dependen: % Susut Masak Source Tipe III jumlah perkalian Model dikoreksi 183,003(a) Intersep
Std. Deviasi
a R dikalikan = .985 (biasanya R dikalikan = .973) Multiple Comparisons Variabel dependen: % Susut Masak Tukey HSD Selang kepercayaan 95%
Perbedaan rata-rata (IJ) -1,73(*) -7,55(*)
Std. Eror ,475 ,475
Sig. ,025 ,000
Batas bawah -3,19 -9,01
Batas atas -,27 -6,09
1,73(*)
,475
,025
,27
3,19
-5,82(*) ,475 7,55(*) ,475 5,82(*) ,475 Berdasarkan pengamatan rata-rata. Perbedaan rata-rata signifikan pada selang ,05 .
,000 ,000 ,000
-7,28 6,09 4,36
-4,36 9,01 7,28
(I) Nasitrat Kontrol
(J) Nasitrat Rendam Tambah
Rendam
Kontrol Tambah
Tambah
Kontrol Rendam
% Susut Masak Tukey HSD Nasitrat N
Selang kepercayaan dengan alpa = .05 1
Kontrol
4
Rendam
4
Tambah
4
2
3
71,44 73,16 78,99
Sig.
1,000
1,000
1,000
Rata-rata grup dalam selang kepercayaan yang homogen telah ditampilkan. Didasarkan pada tipe III dari jumlah perkaliam dengan kondisi eror berarti ratarata perkalian (eror)) = .452. a menggunakan rata-rata harmonis dengan ukuran sampel = 4,000. b Alpa = ,05.
Normalitas Kasus Valid N % Susut Masak
hilang Persen
12
N
Total Persen
100,0%
0
N
,0%
Persen 12
100,0%
Tes kenormalan Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik % Susut Masak
df
,160
Shapiro-Wilk
Sig. 12
,200(*)
Statistik
df
,917
Sig. 12
,263
* Ini adalah batas bawah yang benar-benar signifikan. a Perbaikan secara signifikan
Tabel 3.7 Organoleptik bakso kering Tes pengaruh antara subjek Variable dependen: Perlakuan Source Tipe III jumlah perkalian Model dikoreksi 241,833(a) Intersep
Df
Rata-rata perkalian
F
Sig.
77
3,141
1,824
,124
702,283
1
702,283
407,777
,000
PENAMPAK
24,537
10
2,454
1,425
,277
TEKSTUR
10,541
6
1,757
1,020
,457
WARNA
67,584
9
7,509
4,360
,010
PENAMPAK * TEKSTUR PENAMPAK * WARNA
14,787
7
2,112
1,227
,360
12,435
5
2,487
1,444
,278
TEKSTUR * WARNA
9,828
4
2,457
1,427
,284
PENAMPAK * TEKSTUR * WARNA
,000
0
.
.
.
20,667
12
1,722
1365,000
90
262,500
89
Eror Total Total dikoreksi
a R dikalikan = .921 (biasanya R dikalikan = .416)
Multiple Comparisons Variable dependen: Perlakuan Tukey HSD (I) (J) Penampakan Penampakan
Rata-rata perbedaan (I-J)
Std. Eror
Sig.
Selang kepercayaan 95% Batas bawah
2
3
3
4
Batas atas
3 3
,07 ,38
,795 ,730
1,000 1,000
-3,03 -2,46
3,16 3,23
4
,27
,634
1,000
-2,20
2,74
4
1,03
,666
,877
-1,56
3,63
5
,48
,628
,999
-1,97
2,93
5
-,11
,692
1,000
-2,81
2,58
6
,00
,692
1,000
-2,69
2,69
6
-,05
,730
1,000
-2,89
2,80
7
-1,67
,928
,764
-5,28
1,95
7
-2,33
1,072
,554
-6,51
1,84
2
-,07
,795
1,000
-3,16
3,03
3
,31
,768
1,000
-2,68
3,31
4 4
,20 ,96
,678 ,708
1,000 ,937
-2,44 -1,79
2,84 3,72
5
,41
,672
1,000
-2,21
3,03
5
-,18
,732
1,000
-3,03
2,67
6
-,07
,732
1,000
-2,92
2,79
6
-,11
,768
1,000
-3,11
2,88
7
-1,73
,958
,757
-5,47
2,00
7
-2,40
1,098
,549
-6,68
1,88
2
-,38
,730
1,000
-3,23
2,46
3
-,31
,768
1,000
-3,31
2,68
4
-,11
,601
1,000
-2,45
2,23
4
,65
,635
,990
-1,82
3,12
5 5
,10 -,49
,595 ,661
1,000 ,999
-2,22 -3,07
2,42 2,08
6
-,38
,661
1,000
-2,96
2,20
6
-,43
,701
1,000
-3,16
2,30
7
-2,05
,906
,508
-5,58
1,48
7
-2,71
1,052
,350
-6,81
1,39
2
-,27
,634
1,000
-2,74
2,20
3
-,20
,678
1,000
-2,84
2,44
3
,11
,601
1,000
-2,23
2,45
4
,76
,521
,906
-1,27
2,79
5
,21
,472
1,000
-1,63
2,05
5
-,38
,553
1,000
-2,53
1,78
6 6
-,27 -,31
,553 ,601
1,000 1,000
-2,42 -2,65
1,89 2,03
7
-1,93
,830
,471
-5,17
1,30
7
-2,60
,988
,327
-6,45
1,25
4
5
5
6
6
2
-1,03
,666
,877
-3,63
1,56
3
-,96
,708
,937
-3,72
1,79
3
-,65
,635
,990
-3,12
1,82
4
-,76
,521
,906
-2,79
1,27
5
-,55
,514
,986
-2,55
1,45
5
-1,14
,590
,689
-3,44
1,16
6
-1,03
,590
,789
-3,33
1,27
6
-1,08
,635
,812
-3,55
1,39
7 7
-2,70 -3,36
,855 1,009
,158 ,120
-6,03 -7,29
,63 ,57
2
-,48
,628
,999
-2,93
1,97
3
-,41
,672
1,000
-3,03
2,21
3
-,10
,595
1,000
-2,42
2,22
4
-,21
,472
1,000
-2,05
1,63
4
,55
,514
,986
-1,45
2,55
5
-,59
,547
,985
-2,72
1,54
6
-,48
,547
,997
-2,61
1,65
6
-,53
,595
,997
-2,84
1,79
7
-2,15
,826
,341
-5,36
1,07
7
-2,81
,984
,242
-6,65
1,02
2 3
,11 ,18
,692 ,732
1,000 1,000
-2,58 -2,67
2,81 3,03
3
,49
,661
,999
-2,08
3,07
4
,38
,553
1,000
-1,78
2,53
4
1,14
,590
,689
-1,16
3,44
5
,59
,547
,985
-1,54
2,72
6
,11
,619
1,000
-2,30
2,52
6
,06
,661
1,000
-2,51
2,64
7
-1,56
.,875
,773
-4,96
1,85
7
-2,22
1,026
,560
-6,22
1,77
2
,00
,692
1,000
-2,69
2,69
3
,07
,732
1,000
-2,79
2,92
3 4
,38 ,27
,661 ,553
1,000 1,000
-2,20 -1,89
2,96 2,42
4
1,03
,590
,789
-1,27
3,33
5
,48
,547
,997
-1,65
2,61
5
-,11
,619
1,000
-2,52
2,30
6
-,05
,661
1,000
-2,62
2,53
7
-1,67
,875
,706
-5,08
1,74
7
-2,33
1,026
,501
-6,33
1,66
2
,05
,730
1,000
-2,80
2,89
3
,11
,768
1,000
-2,88
3,11
3
,43
,701
1,000
-2,30
3,16
4
,31
,601
1,000
-2,03
2,65
4 5
1,08 ,53
,635 ,595
,812 ,997
-1,39 -1,79
3,55 2,84
5
-,06
,661
1,000
-2,64
2,51
6
,05
,661
1,000
-2,53
2,62
7
7
7
-1,62
,906
,768
-5,15
1,91
7
-2,29
1,052
,556
-6,39
1,81
2
1,67
,928
,764
-1,95
5,28
3
1,73
,958
,757
-2,00
5,47
3
2,05
,906
,508
-1,48
5,58
4
1,93
,830
,471
-1,30
5,17
4
2,70
,855
.158
-,63
6,03
5
2,15
,826
,341
-1,07
5,36
5 6
1,56 1,67
,875 ,875
,773 ,706
-1,85 -1,74
4,96 5,08
6
1,62
,906
,768
-1,91
5,15
7
-,67
1,198
1,000
-5,33
4,00
2
2,33
1,072
,554
-1,84
6,51
3
2,40
1,098
,549
-1,88
6,68
3
2,71
1,052
,350
-1,39
6,81
4
2,60
,988
,327
-1,25
6,45
4
3,36
1,009
,120
-,57
7,29
5
2,81
,984
,242
-1,02
6,65
5
2,22
1,026
,560
-1,77
6,22
6
2,33
1,026
,501
-1,66
6,33
6 7
2,29 ,67
1,052 1,198
,556 1,000
-1,81 -4,00
6,39 5,33
Berdasarkan rata-rata yang telah diketahui
Tabel 3.8 Water Holding Capacity (WHC) ANOVA WHC Produk Jumlah perkalian Antara grup
df
Rata-rata perkalian
,090
1
,090
Dengan grup
2,330
2
1,165
Total
2,420
3
F
Sig. ,077
,807