FORTIFIKASI TEPUNG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DAN TEPUNG IKAN SWANGI (Priacanthus tayenus) DALAM PEMBUATAN BUBUR BAYI INSTAN
Oleh Tendi Chrisyanto Amirullah C34103025
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TENDI CHRISYANTO AMIRULLAH. C34103025. Fortifikasi Tepung Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) dan Tepung Ikan Swangi (Priacanthus tayenus) dalam Pembuatan Bubur Bayi Instan. Dibawah bimbingan PIPIH SUPTIJAH dan ANNA C. ERUNGAN. Ikan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Penyerapan protein ikan ke dalam tubuh lebih tinggi karena daging ikan mempunyai jaringan tenunan pengikat dalam protein lebih sedikit. Oleh karena itu, penggunaan ikan sebagai bahan dalam pembuatan bubur bayi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan konsumsi ikan bagi bayi yang memerlukan zat gizi untuk pertumbuhan. Masalah gizi mulai diperhatikan sejak bayi terutama setelah bayi membutuhkan makanan tambahan yaitu pada umur 6 bulan sampai 5 tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan formulasi bubur bayi instan dengan penambahan tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi yang dikeringkan dengan pengering beku dan pengering drum agar menjadi campuran yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan diantaranya adalah pembuatan tepung ikan, pembuatan tepung beras gelatinisasi, penyusunan formulasi dan pembuatan bubur bayi instan, serta penentuan produk terpilih. Pada tahap pembuatan tepung ikan dilakukan analisis proksimat tepung ikan yang akan digunakan dalam formulasi. Pada tahap formulasi dan pembuatan bubur bayi instan dilakukan uji kadar air, kelarutan, densitas kamba, uji seduh, waktu penyajian, dan uji organoleptik yang akan digunakan dalam menentukan bubur bayi terpilih. Bubur bayi terpilih dilakukan analisis kandungan gizi, daya cerna protein, Total Plate Count (TPC), penentuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi (AKG), serta uji penerimaan pada bayi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa kadar protein untuk tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi berturut-turut adalah 84,47 % dan 83,4 %, kadar lemak sebesar 3,73 % dan 3,3 % serta kadar karbohidrat adalah 1,79 % dan 1,68 %. Berdasarkan hasil analisis tepung ikan dan perhitungan nilai gizi untuk formulasi bubur bayi instan, maka diperlukan penambahan tepung ikan sebesar 9 %. Pengujian yang dilakukan terhadap bubur bayi instan adalah analisis kadar air, kelarutan dalam air, densitas kamba, uji seduh, waktu penyajian dan uji organoleptik. Penentuan produk terpilih berdasarkan waktu penyajian, kadar air, kelarutan dalam air, densitas kamba, uji seduh dan uji organoleptik. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan tepung ikan swangi dan pengering drum merupakan produk terbaik dibandingkan formula yang lain. Produk bubur bayi terpilih memiliki nilai daya cerna 89,64 %, dan nilai TPC 2,85x104 CFU/g. Perhitungan takaran saji terhadap bubur bayi terpilih sebesar 30 g, dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 35 %. Kandungan protein, lemak, karbohidrat, dan jumlah energi dalam 100 g bahan bubur bayi instan terpilih berturut-turut adalah 23,17 %, 6,46 %, 59,87 % dan 390,3 kkal.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Fortifikasi Tepung Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) dan Tepung Ikan Swangi (Priacanthus tayenus) dalam Pembuatan Bubur Bayi Instan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
Tendi Chrisyanto Amirullah C34103025
FORTIFIKASI TEPUNG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DAN TEPUNG IKAN SWANGI (Priacanthus tayenus) DALAM PEMBUATAN BUBUR BAYI INSTAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Tendi Chrisyanto Amirullah C34103025
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: FORTIFIKASI TEPUNG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DAN TEPUNG IKAN SWANGI (Priacanthus tayenus) DALAM PEMBUATAN BUBUR BAYI INSTAN
Nama
: Tendi Chrisyanto Amirullah
NRP
: C34103025
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 131 476 638
Ir. Anna C. Erungan, MS NIP. 131 601 219
Mengetahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 131 578 799
Tanggal lulus : 21 Januari 2008
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, serta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Dra. Pipih Suptijah MBA dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik selama penelitian. 2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Mala Nurilmala, S.Pi. M.Si. selaku dosen penguji tamu, terima kasih atas saran-sarannya. 3. Ibu dan Bapak tercinta, adik-adikku, dan seluruh keluarga atas segala doa restu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. 4. Dosen-dosen, TU, dan seluruh civitas akademik THP yang telah membantu saya dalam menyelesaikan studi. 5. Ibu Diana atas segala kesabarannya dalam membimbing penulis. Pak Basirun, Cak Giran, Bu Sisil, Pak Dicky, Mas Hazil, Bu Netty, Pak Susilo, Pak Didik, Bu Azrina, Pak Dwi dan seluruh staff Laboratorium Pengolahan yang telah memberikan kemudahan dan bantuan selama penelitian di BBP2HP Muara baru. 6. Mang Karim yang telah mempersiapkan penginapan selama di Muara Baru. Teh Nonon yang selalu menyiapkan makan siang selama penelitian. 7. Sigit, Udin, David, Ari Cowo, atas kebersamaan dan bantuan selama penelitian di Muara Baru. 8. Keluarga besar Wisma Az-Zahra: Kiki, Mul, Iqbal Himam, Bagus, Aryo, Wisnu. Keluarga besar Wisma Panggung: Juhli, Bangun, Iqbalpsp, Bowo, Adit, Medi, Indra, Qori, Nando, dan Mammo, terima kasih atas kebersamaan, keceriaan dan bantuannya kepada penulis.
9. PRIANGAN 5: Tope, Aga, Pupunk, Syahrul yang selalu kompak dalam membina dan membangun hubungan rumah tangga di PRIANGAN 5. 10. Keluarga besar THP 40, Dian, Yulya, Budi, Merry, Lusi, Fikri, Wida, Syahrul, David, Abdul, Novita, Riri, Irma, Rhama, Ahmad, Lisda, Bangun, Chacha, Ricci, Luthfi, Tri Hadi, Yunita, Hilman, Eni, Juhli, Tenzo, Nola, Udin, Fina, Pisuko, Edo, Dwi Ari, Ana, Fetty, Pho, Deden, Opik, Ida, Nono, Indrugs, Setyo, Lianny, Ira, Ghea, Roedex, Ari, Gami, Angling, AndriBolga, Ditya, Helda, Astari, Vijey, Aal, Findut, Tomy, Tobi, Windo, Sigit, Iqbal, Dicki, Afiat, Jo, Hoeri dan maaf bagi yang namanya tidak disebut. 11. Keluarga besar THP 39, 41, 42, dan 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kebersamaannya selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi yang tidak dapat saya tulis satu persatu.
Bogor, Januari 2008
Tendi Chrisyanto Amirullah
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Tendi Chrisyanto Amirullah. Penulis dilahirkan di Ciamis, pada tanggal 8 Mei 1985 dari pasangan Bapak Dede Wawan dan Ibu Erlina Setiawati. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SDN Sukasarana dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 1 Pacet dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 5 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) ke Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama Kuliah penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota Hublubin periode 2003-2004, anggota PSDM periode 2004-2005, anggota infokom
periode
2005-2006,
organisasi
daerah
Himpunan
Mahasiswa
Tasikmalaya (HIMALAYA) sebagai anggota periode 2004-2005, dan Forum Keluarga Muslim (FKM) sebagai anggota kewirausahaan periode 2004-2005. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Ikhtiologi periode 2006-2007 dan Ikhtiologi Fungsional periode 2006-2007.
Selain itu penulis juga mengikuti
lomba Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) sebagai finalis tingkat IPB pada bidang Ilmiah tahun 2005-2006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Fortifikasi Tepung Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) dan Tepung Ikan Swangi (Priacanthus tayenus) dalam Pembuatan Bubur Bayi Instan’’ dibimbing oleh Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Ir. Anna C. Erungan, MS.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
x
1. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Tujuan ..............................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
2.1 Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) ...................................
3
2.2 Deskripsi Ikan Mata Goyang/ Swangi (Priacanthus tayenus).............
4
2.3 Makanan Bayi dan Nilai Gizinya ......................................................
5
2.3.1 Pengertian Makanan Pendamping ASI ...................................... 2.3.2 Persyaratan Makanan Pendamping ASI .................................... 2.3.3 Jenis-jenis bubur bayi ...............................................................
5 5 6
2.4 Bahan-Bahan Penyusun.....................................................................
8
2.4.1 Tepung ikan ............................................................................. 2.4.2 Tepung beras ............................................................................ 2.4.3 Minyak/ lemak ......................................................................... 2.4.4 Susu skim ................................................................................
9 9 10 10
2.5 Pengeringan Beku .............................................................................
11
2.6 Pengeringan Drum.............................................................................
13
2.7 Makanan Instan .................................................................................
14
3. METODOLOGI .....................................................................................
16
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................
16
3.2 Bahan dan Alat..................................................................................
16
3.3 Metode Penelitian .............................................................................
16
3.3.1 3.3.2 3.3.3 3.3.4
Pembuatan dan analisis kimia tepung ikan ............................. Gelatinisasi tepung beras ....................................................... Penentuan forumulasi............................................................. Penentuan produk terpilih ......................................................
17 17 18 20
3.4 Prosedur Analisis ..............................................................................
20
3.4.1 Analisis kadar air metode oven (AOAC 1996) ....................... 3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 1996) .......................................... 3.4.3 Analisis kadar protein (AOAC 1996) .....................................
20 21 21
3.4.4 3.4.5 3.4.6 3.4.7 3.4.8 3.4.9 3.4.10 3.4.11 3.4.12 3.4.13
Analisis kadar lemak.............................................................. Perhitungan kadar karbohidrat (By Different) ........................ Densitas kamba (Muchtadi et al. 1992) .................................. Uji seduh (Yoanasari 2003).................................................... Waktu penyajian (Yoanasari 2003) ........................................ Kelarutan (SNI Dekstrin Industri Pangan 1992) ..................... Uji organoleptik ..................................................................... Uji penerimaan bayi............................................................... Total Plate Count (TPC) ........................................................ Daya cerna protein secara in vitro (Sounders et al. 1973) .......
22 22 22 23 23 23 23 24 24 25
3.5 Rancangan Percobaan........................................................................
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
27
4.1 Pembuatan dan Analisis Kimia Bahan Penyusun ...............................
27
4.1.1 Proses pembuatan dan analisis kimia tepung ikan ..................... 4.1.2 Analisis bahan-bahan lain yang digunakan pada formulasi........
27 29
4.2 Formulasi dan Pembuatan Bubur Bayi Instan ....................................
30
4.3 Sifat Fisik Produk Bubur Bayi Instan.................................................
33
4.3.1 Kadar air................................................................................... 4.3.2 Kelarutan dalam air .................................................................. 4.3.3 Densitas kamba......................................................................... 4.3.4 Uji seduh .................................................................................. 4.3.5 Waktu rehidrasi ........................................................................
33 34 36 37 39
4.4 Evaluasi Mutu Organoleptik Bubur Bayi Instan.................................
41
4.4.1 Nilai uji hedonik warna............................................................. 4.4.2 Nilai uji hedonik aroma ............................................................ 4.4.3 Nilai uji hedonik rasa................................................................ 4.4.4 Nilai uji hedonik tekstur............................................................
42 44 45 45
4.5 Karakteristik Bubur Bayi Instan Terpilih ...........................................
46
4.5.1 Kandungan gizi......................................................................... 4.5.2 Daya cerna protein.................................................................... 4.5.3 Analisis mutu mikrobiologi bubur bayi instan........................... 4.5.4 Penentuan serving size dan Angka Kecukupan Gizi .................. 4.5.5 Uji penerimaan pada bayi .........................................................
46 46 48 49 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
52
4.1 Kesimpulan .......................................................................................
52
4.2 Saran .................................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
53
LAMPIRAN .................................................................................................
57
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Syarat mutu makanan pelengkap serealia instan untuk bayi dan anak (SNI-01-3842-1995) ...............................................................................
7
2. Standar tepung ikan menurut FAO ..........................................................
9
3. Komposisi kima tepung beras per 100 g ..................................................
10
4. Perbedaan mutu produk antara pengeringan beku dan pengeringan konvensional ...........................................................................................
12
5. Hasil analisis proksimat ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) dan ikan swangi (Priacanthus tayenus) ..........................................................
27
6. Hasil analisis proksimat tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi .....
28
7. Komposisi bahan-bahan lain yang digunakan dalam formulasi ................
30
8. Standar makanan pendamping ASI..........................................................
30
9. Kandungan gizi formula bubur bayi instan ..............................................
32
10. Perhitungan nilai rata-rata total kesukaan bubur bayi instan hasil uji organoleptik ............................................................................................
41
11. Kandungan gizi bubur bayi terpilih .........................................................
46
12. Nilai daya cerna protein bubur bayi instan terpilih...................................
47
13. Nilai Total Plate Count (TPC) bubur bayi instan terpilih .........................
48
14. Kandungan nutrisi per serving size ..........................................................
49
15. Pemenuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein per serving size........
50
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1.
Ikan tenggiri (Scomberomorus sp.).......................................................
3
2.
Ikan swangi (Priacanthus tayenus).......................................................
4
3.
Alur proses pembuatan bubur bayi instan .............................................
19
4.
Diagram nilai kadar air bubur bayi instan .............................................
34
5.
Diagram nilai kelarutan bubur bayi instant ...........................................
35
6.
Diagram nilai densitas kamba bubur bayi instan ...................................
36
7.
Diagram nilai uji seduh bubur bayi instan.............................................
38
8.
Diagram nilai waktu penyajian pada bubur bayi instan .........................
39
9.
Diagram nilai rata-rata kesukaan bubur bayi instan...............................
42
10.
Diagram pie uji penerimaan bayi..........................................................
51
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Data mentah uji organoleptik...................................................................
57
2. Uji statistik organoleptik .........................................................................
59
3. Data uji kadar air bubur bayi instan .........................................................
60
4. Data uji kelarutan bubur bayi instan ........................................................
62
5. Uji seduh bubur bayi instan (per 100 g bahan).........................................
64
6. Waktu penyajian bubur bayi instan..........................................................
65
7. Densitas kamba bubur bayi instan ...........................................................
66
8. Analisis sidik ragam uji sifat fisik ...........................................................
67
9. Data analisis proksimat bubur bayi terpilih..............................................
69
10. Data analisis daya cerna protein bubur bayi terpilih.................................
70
1. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Secara geografis Indonesia merupakan Negara Maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0,8 juta km2, laut nusantara dengan luas 2,3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif seluas 2,7 juta km2 dan merupakan wilayah laut terluas di dunia. Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Anonim 2007). Luas sebaran ikan Tenggiri di Perairan Indonesia adalah sebesar 4.558 km2 yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km2), Laut Jawa (400.000 km2), Selat Makasar-Laut Flores (605.000 km2), Laut Banda (327.000 km2), Laut Seram-Teluk Tomini (400.000 km2), Laut Arafura (172.000 km2) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik (822.000 km2) (Anonim 2007). Ikan tenggiri merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting dan telah menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Akan tetapi harga dari ikan tenggiri cukup mahal karena permintaan terhadap ikan ini cukup tinggi. Berbeda dengan ikan swangi yang merupakan ikan karang. Ikan ini merupakan salah satu ikan non-ekonomis penting. Berdasarkan data Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 (2006) tangkapan ikan tenggiri tahun 2004 sebanyak 73.855.330 kg dan tangkapan ikan swangi sebanyak 1.342.354.417 kg. Masalah gizi mulai diperhatikan sejak bayi terutama setelah bayi membutuhkan makanan tambahan yaitu pada umur 6 bulan sampai 5 tahun. Masalah ini diakibatkan ASI yang diberikan tidak lagi mencukupi kebutuhan fisiologis bayi untuk tumbuh dan berkembang. Pemberian makanan pendamping ASI pada umur ini merupakan hal yang penting (Anonim 2003). Pada prinsipnya makanan tambahan untuk bayi adalah makanan yang kaya akan gizi, mudah dicerna, mudah disajikan, mudah menyimpannya, higienis, dan harganya terjangkau. Makanan tambahan pada bayi dapat merupakan suatu makanan tambahan campuran, yaitu campuran dari beberapa bahan makanan dalam perbandingan
tertentu agar diperoleh suatu produk dengan nilai gizi yang tinggi. Salah satu bahan makanan yang dapat dijadikan campuran pada makanan bayi adalah ikan. Ikan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Protein menjadi kandungan yang dimiliki ikan meskipun dimiliki sumber lainnya seperti ayam dan sapi, namun penyerapan protein ikan ke dalam tubuh lebih tinggi karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek (Manihuruk 2006). Sumber protein pada makanan instan kering umumnya protein nabati berupa kacang-kacangan dan serealia (Marliyati 2007). Tetapi dalam serealia mengandung asam amino pembatas yaitu lisin, sedangkan dalam kacang-kacangan biasanya asam amino metionin. Kedua protein tersebut tergolong bermutu rendah, sedangkan protein yang berasal dari hewan seperti ikan dan susu dapat menyediakan asam aminoasam amino esensial yang lengkap dan merupakan protein bermutu tinggi. Jika protein bermutu rendah terlalu banyak dikonsumsi dapat mengakibatkan kurangnya asam amino pembatas (Winarno 1992). Perkembangan zaman menyebabkan masyarakat menuntut segala sesuatu yang serba cepat dan praktis. Demikian pula dalam hal makanan, masyarakat cenderung lebih menyukai produk pangan yang berbentuk instan (Fellow dan Ellis 1992). Proses instanisasi produk akhir dalam teknologi pembuatan makanan bayi merupakan tahapan penting karena berfungsi dalam kemudahan penyajian, pengemasan, dan memperpanjang umur simpan. Pembuatan pangan instan dapat mengatasi masalah penyimpanan dan transportasi makin dipermudah. Bentuk pangan instan tanpa air mudah disajikan dengan menambahkan air (dingin atau panas) sehingga mudah larut dan siap disantap (Hartomo dan Widiatmoko1993). 1. 2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengembangkan formulasi bubur bayi instan dengan penambahan tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi yang dikeringkan dengan alat pengering beku dan pengering drum. 2) mengetahui karakteristik serta komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan..
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) Menurut Saanin (1984), taksonomi tenggiri adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Scombridei
Famili
: Scombridae
Genus
: Scomberomorus
Spesies
: Scomberomorus sp.
Gambar 1. Ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) Tenggiri adalah jenis ikan yang tergolong ekonomis penting dan telah menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Ikan ini umumnya hidup disekitar perairan pantai dan sering pula di permukaan dekat perairan karang (Budiman 2006). Tenggiri (Scomberomorus sp.) berada pada habitatnya di seluruh perairan pantai, daerah penangkapannya di perairan pantai. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Madura, Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (ikan-ikan kecil, cumi-cumi) dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis ikan di atas ditangkap saat gelombang dan angin sedang (Anonim 2007)
Ciri-ciri tenggiri (Scomberomorus sp.) adalah mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk torpedo dan merupakan perenang cepat. Secara fisiologi, ikan ini memiliki karakteristik spesifik pada bagian mulut, sirip, dan bagian tubuh. Tenggiri (Scomberomorus sp.) tergolong ikan pelagis besar dan termasuk jenis ikan karnivor yang memakan ikan kecil seperti sardin (Sardinella sp.), tembang (Sardinella fimbriata), teri (Stelophorus sp.), cumi-cumi (Loligo sp), bandeng (Chanos chanos), dan berbagai jenis udang (Budiman 2006). 2.2 Deskripsi Swangi/ Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus) Klasifikasi ikan swangi (Priacanthus tayenus) menurut Richardson 1846 adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Class
: Actinopterygii
Order
: Perciformes
Family
: Priacanthidae
Genus
: Priachanthus
Species
: Priacanthus tayenus
Gambar 2. Ikan swangi (Priacanthus tayenus) Ikan swangi (Priacanthus tayenus) berbentuk bulat agak memanjang dan mata cukup besar dengan bintik hitam pada bagian sirip pektoral. Hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman 150 sampai 200 m lebih pada daerah batu karang, kadang-kadang jumlahnya banyak. Ikan ini memiliki sifat nokturnal pada perairan dalam dengan memakan zooplankton, cacing polikaeta, krustasea dan
ikan-ikan kecil. Pada umumnya penyendiri, tetapi ada beberapa yang membentuk kelompok. Ikan ini dapat tumbuh maksimum memcapai 30 cm dan termasuk ikan non-ekonomis penting, daerah penyebarannya adalah perairan dengan dasar karang berbatu seperti pada laut Arafuru Indonesia (Richardson 1846). 2.3 Makanan Bayi dan Nilai Gizinya Air Susu Ibu dapat mencukupi kebutuhan anak akan zat gizi sampai anak berumur enam bulan, setelah itu jumlah ASI akan semakin berkurang sedangkan kebutuhan anak akan zat gizi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak (Husaini et al. 1984).
Pada usia 6-12 bulan ASI hanya mampu
mencukupi tiga perempat dari kebutuhan gizi anak dan sumbangan ASI tersebut akan semakin menurun dengan bertambahnya umur anak. 2.3.1 Pengertian Makanan Pendamping ASI Menurut Samsudin (1995), makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan atau bayi telah siap menerima makanan orang dewasa. Makanan tambahan bayi umumnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu makanan bayi (infant food) untuk bayi yang berusia dibawah enam bulan dan makanan sapihan (weaning food) untuk bayi berusia 6-36 bulan (Soenaryo 1985). Makanan pendamping ASI umumnya berbentuk bubur atau biskuit bayi. 2.3.2 Persyaratan Makanan Pendamping ASI Sifat umum produk MP-ASI yang dikehendaki adalah padat energi dan padat gizi. Komponen gizi yang dibutuhkan bayi antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Serat makanan yang terlalu banyak dapat menganggu pencernaan bayi. Selain itu produk bayi tidak boleh bersifat kamba (bulky) karena akan cepat memberi rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba umumnya terdapat pada bahan sumber karbohidrat (Astawan 2000). Makanan pendamping ASI juga harus mengandung lemak yang bersifat sebagai sumber energi dan pemberi rasa gurih. Lemak sebaiknya memberikan sumbangan energi sebesar 25-30% dari total energi MP-ASI. Kadar lemak dapat ditingkatkan hingga mencapai 10% sejauh teknologi memungkinkan (Sugiyono 2000).
Standar
makanan
pendamping
ASI
sebaiknya
mengacu
kepada
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3842-1995) tentang Makanan Pelengkap Serealia Instan untuk Bayi dan Anak (Tabel 1).
Standar tersebut mengatur
ketentuan gizi untuk makanan yang khusus diberikan kepada bayi (usia 4 sampai 12 bulan) dan anak (usia 1 sampai 3 tahun). Ketentuan tersebut juga ditetapkan bahwa dalam pembuatan makanan bayi dan anak diharuskan adanya penambahan vitamin dan mineral, serta bahan lain yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi dan anak. 2.3.3 Jenis-jenis bubur bayi Jenis bubur bayi yang beredar dipasaran tidak sebanyak seperti susu bayi. Kondisi tersebut terjadi karena kurang sadarnya ibu-ibu terhadap makanan apa yang harus diberikan kepada bayi.
Mereka menganggap bayi dengan usia
enam bulan sudah siap mengkonsumsi makanan seperti orang dewasa, perbedaannya mungkin dari tekstur yang lebih lembut seperti untuk orang dewasa mengkonsumsi nasi sedangkan untuk bayi bubur atau nasi tim. Hal tersebut tidak menjadi masalah jika makanan yang diberikan kandungan gizinya bagus karena usia 6 bulan adalah masa pertumbuhan bayi. Akan tetapi walaupun demikian pemberian makanan pendamping ASI untuk usia enam bulan keatas adalah hal yang penting, nilai gizi makanan tersebut harus baik dan sesuai dengan kebutuhan bayi. Oleh karena itu, jenis-jenis bubur bayi harus diketahui oleh seorang ibu agar pemberian makanan sesuai dengan kondisi bayi.
Berikut adalah jenis-jenis
makanan bayi yang ada dipasaran (Fatmawati 2004). (1) Dietetic food Dietetic food adalah bubur ayam yang diperkaya dengan vitamin dan mineral lengkap yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Dietetic food dirancang khusus untuk membantu pengobatan bayi dan anak yang sedang menderita gastro enteritis pasca dehidrasi, diare, gangguan pertumbuhan dan gangguan kenaikan berat badan.
Tabel 1. Syarat mutu makanan pelengkap serealia instant untuk bayi dan anak (SNI 01-3842-1995) No 1
Satuan
Persyaratan
2 3
Kriteria uji Keadaan Warna Bau Rasa Kadar air Kadar protein
% b/b % b/b
4 5
Kadar lemak Kadar asam linoleat
% b/b % b/b
6 7
Kadar serat makanan Bahan tambahan makanan a. pewarna buatan b. pemanis buatan c. pengawet d. antioksidan Ø L asam askorbat atau bentuk garam Na dan K Ø Askorbil palmitat Ø Alfa tokoferol e. Penyedap rasa dan aroma Ø Ekstrak vanila Ø Etil vanilin Ø Vanilin Kandungan natrium Cemaran logam a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Seng (Zn) d. Timah (Sn) e. Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba a. Angka lempeng total b. Bakteri bentuk coli c. E. coli d. Salmonella
% b/b
Normal Normal Normal Maks 5 Min 15 (nilai PER min 70% dari mutu kasein) 11 Min 1,2 bentuk gliserida Maks 5
-
Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada
mg/kg mg/kg lemak mg/kg lemak
Maks 50 sebagai asam askorbat Maks 200 Maks 300
mg/kg mg/kg % b/b
Secukupnya Maks 175 Maks 175 0,1
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Mg/kg
Maks 0,3 Maks 0,5 Maks 40,0 Maks 40,0 Maks 0,03 Maks 0,1
Koloni/ g APM/g Koloni/g Koloni/25 g
Maks 104 Maks 20 0 negatif
8 9
10 11
Dietetic food dibuat dengan formula bebas laktosa, akan tetapi mengandung polimer glukosa yang tinggi. Oleh karena itu, produk ini dapat
digunakan untuk membantu masalah lactose intolerance, malabsorbsi lemak dan malabsorbsi glukosa yang biasanya diikuti dengan diare, kekurangan kalori, protein, failure to thrive dan masalah penyerapan gizi lainnya. (2) Bubur beras Bubur beras dibedakan menjadi dua formula, bubur beras putih dengan kacang hijau dan bubur beras merah. Kedua makanan ini tidak termasuk kepada makanan sapihan lengkap, oleh karena itu dalam penyajiannya harus ditambah dengan susu. Bubur beras juga dilengkapi dengan vitamin dan mineral sehingga dapat memenuhi kebutuhan makanan padat pertama secara optimal.
Bubur beras
dirancang untuk konsumsi masyarakat menengah ke bawah dan dianjurkan sebagai makanan padat pertama untuk bayi. Bubur beras merah yang ada di pasar contohnya adalah Cerelac, Milna, Promina, SNM, Creme Nutricia. (3) Bubur susu dan bubur tim ayam Bubur susu dan bubur tim ayam, keduanya termasuk ke dalam formula makanan bayi lengkap. Makanan ini dibuat dari bahan-bahan alami bermutu tinggi dengan komposisi seimbang. Baik bubur susu maupun bubur tim ayam dirancang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dari masyarakat golongan menengah ke atas. Bubur susu berfungsi untuk menunjang ASI dan memperkenalkan makanan padat pertama bagi bayi yang telah berumur empat bulan ke atas. Bubur tim ayam dengan kandungan protein hewani yang cukup tinggi (21%) sangat membantu dalam penyediaan asam amino esensial tubuh. 2.4 Bahan-Bahan Penyusun Makanan pendamping ASI umumnya dibuat dari bahan-bahan serealia dan kacang-kacangan (Puleses atau legumes). Serealia merupakan sumber karbohidrat sedangkan kacang-kacangan merupakan sumber protein, dan beberapa kacangkacangan juga mengandung kadar lemak yang tinggi dengan asam-asam lemak yang esensial.
Selain kacang-kacangan, dapat juga digunakan ikan sebagai
sumber protein. Golongan serealia yang sering digunakan sebagai bahan baku makanan pendamping ASI adalah beras, jagung, gandum dan sorghum. Bahan-
bahan lain yang sering digunakan dalam pembuatan makanan pendamping ASI antara lain adalah susu, minyak atau lemak, gula dan flavor (Fatmawati 2004). 2.4.1 Tepung ikan Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging dan ikan atau bagian yang biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut ikan dan lain-lain) (Ilyas 1982). Tabel 2. Standar tepung ikan menurut FAO Komposisi Protein, min (%) Daya cerna pepsin, min (%) Lisin, min (%) Air, maks (%) Lemak, maks (%) Klorida, maks (%) SiO2, maks (%) Bau, rasa
Tipe A
Tipe B
Tipe C
67.5 92
65 92
60 92
6.5 dari protein 10 0.75 1.5 0.5 Lemah
6.5 dari protein 10 3 1.5 0.5 Tidak ada spesifikasi Sumber: FAO diacu dalam Buckle et al.(1987)
6.5 dari protein 10 10 2 0.5 Tidak ada spesifikasi
Secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar antara 60% hingga 70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang selalu kurang dalam bahan makanan ternak asal nabati (Rasyaf 1990 diacu dalam Mardiyanti 2005). Kandungan nutrisi tepung ikan yaitu bahan kering 92%, protein kasar 61%, lemak 10%, serat kasar 0,5%, Ca 1,23%, Posfor 1,63%, Energi 4094 kkal/kg. (NRC 1994 diacu dalam Mardiyanti 1995). Tepung ikan juga memiliki kelarutan total yang mencerminkan kecernaan dari bahan tersebut. Standar tepung ikan menurut FAO dapat dilihat pada Tabel 2. 2.4.2 Tepung beras Tepung beras adalah salah satu jenis tepung paling sederhana yang mengandung sebagian besar pati. Tepung beras mengandung protein yang jauh lebih sedikit daripada tepung terigu. Protein, vitamin dan mineral terdapat dalam kulit beras (rice bran) (Karta 2006)
Tabel 3. Komposisi kima tepung beras per 100 g Komposisi Satuan Jumlah Protein gram 7,0 Lemak gram 0,5 Karbohidrat gram 80,0 Abu miligram 0,5 Air gram 12,0 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995) Pati yang terdapat dalam beras (tepung) lebih sederhana. Pati adalah rangkaian gula yang saling berikatan yang membentuk rantai. Tepung beras hampir 80% merupakan rantai lurus sederhana yang disebut amilosa (Karta 2006). Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk makanan memerlukan perhatian atas karakteristik tepung beras tersebut. Nisbah amilosaamilopektin dan suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Adanya perlakuan pemanasan menyebabkan pati tergelatinisasi. Suhu dimana granula pati mulai mengembang di dalam air panas disebut suhu gelatinisasi. Umumnya suhu gelatinisasi beras antara 61-77,5 oC (Cecil et al. 1982). Kandungan nutrisi tepung beras tercantum pada Tabel 3. 2.4.3 Minyak/ lemak Perbedaan lemak hewani dan lemak nabati adalah pada kandungan sterolnya. Lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati mengandung sitosterol. Lemak nabati lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh (oleat, linoleat) dari pada lemak hewani (Ketaren 1986). Fungsi minyak dan lemak dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk kelezatan dan tekstur serta cita rasa bahan pangan tersebut (Winarno 1997). 2.4.4 Susu skim Susu skim adalah bagian susu yang ditinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckel et al. 1985). Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori yang rendah dalam makanannya karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi
susu, dan skim juga dapat digunakan dalam pembuatan keju rendah lemak dan yogurt susu skim dapat digunakan sebagai bahan tambahan karena bersifat adesif dan menambah nilai gizi. Aroma produk yang ditambah susu skim dapat meningkat akibat adanya kandungan laktosa dalam susu skim tersebut (Buckle, 1987). 2.5 Pengeringan Beku (Freeze Drying) Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metoda pengeringan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku, dibandingkan metoda lainnya, antara lain adalah (Tambuan dan Manalu 2000): (1) dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma, warna, dan unsur organoleptik lain), (2) dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil), (3) dapat meningkatkan daya rehidrasi (hasil pengeringan sangat berongga sehingga daya rehidrasi sangat tinggi dan sifat fisiologis, organoleptik dan bentuk fisik hampir sama dengan sebelum pengeringan). Bahan yang akan dikeringkan baik dalam bentuk padat-basah maupun cair atau larutan dibekukan di bawah kondisi hampa udara yang diikuti perubahan fase dari bentuk es menjadi uap (sublimasi). Produk yang dihasilkan akan berbentuk massa seperti spon yang mempunyai ukuran seperti bahan asal (beku) sehingga memiliki kelebihan dalam hal stabilitas, rekonstitusi ketika diberi air dingin, dan akan menjaga aroma (flavor) serta tekstur yang menyerupai bahan awal (Wirakartakusumah et al. 1989). Tujuan sublimasi adalah untuk menurunkan kandungan air bahan pangan hingga mencapai 5-10 persen. Setelah mencapai kadar air tersebut, suhu bahan akan dinaikkan lebih tinggi untuk mendesorpsi air terikat, sehinga akan diperoleh bahan pangan dengan kadar air di bawah 5 persen (Desrosier 1988). Proses pengeringan beku daging dapat dilaksanakan dalam ruang pembeku vakum dengan tekanan 1,0-1,5 mmHg pada temperatur plat 43 oC. Selama proses pengeringan beku struktur segar pada bahan dapat dipertahankan yang mengakibatkan bahan berporus dan tidak berkerut dalam keadaan kering. Hal ini menyebabkan proses rehidrasi yang cepat dan cukup sempurna bila produk
ditambahkan air (Soeparno 1992). Penggunaan suhu pengolahan yang rendah akan membantu meminimumkan terjadinya proses browning
enzimatis dan
mempertahankan mutu produk. Tidak adanya fase air dalam proses dan peralihan menjadi keadaan kering dengan cepat akan mengurangi masalah pencokelatan, denaturasi protein dan reaksi enzimatik pada produk kering beku (King 1971 diacu dalam Pauziah 2002).
Perbedaan produk hasil pengeringan beku dan
pengeringan konvensional dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dan Pengeringan Konvensional
Suhu proses
Tekanan Penguapan air Produk Bau Warna Cita rasa Rehidrasi
Pengeringan konvensional 100-200 oC
Pengeringan beku
Cukup rendah untuk mencegah terjadinya pencairan Atmosfir (760 mmHg) Vacum (di bawah titik triple air yaitu 4.7 mmHg) Dari permukaan bahan Sublimasi Kering padat dan Kering dan berongga mengkerut Berubah Tetap Lebih gelap Tetap Berubah Tetap Lambat dan tidak Cepat dan lebih sempurna sempurna Baik Sangat baik
Stabilitas penyimpanan Rendah Biaya Sumber: Fellow (1990)
Tinggi
(1) Proses sublimasi (pengeringan primer) Untuk fase sublimasi dari proses pengeringan, bahan divakum pada tekanan 4,6 mmHg. Sublimasi dari kristal es terdiri dari dua proses dasar yaitu pindah panas (heat transfer) dan pindah massa (mass transfer). Dalam aplikasi nya suhu maksimum yang diizinkan dan tekanan pada sublimasi adalah berkisar antara -9,4 hingga -40 oC dan 2000-100 mikrometerHg (Wirakartakusumah et al. 1989).
(2) Proses desorpsi (pengeringan sekunder) Dehidrasi akhir adalah proses pengeluaran air terikat yang tidak menjadi kristal selama proses pembekuan. Suhu bahan dinaikan hingga
26,7 oC pada
kondisi vakum sehingga air terikat dan oksigen dapat dikeluarkan dari bahan. Kecepatan desorpsi jauh lebih rendah daripada sublimasi. Walaupun air terikat hanya 5-10% dari seluruh air pada bahan, tetapi proses pengeringan sekunder ini memerlukan lebih dari sepertiga dari keseluruhan waktu yang diperlukan untuk pengeringan (Wirakartakusumah et al. 1989). 2.6 Pengeringan Drum (Drum Dryer) Pengeringan drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubuk atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lainnya. Pengering drum bekerja berdasarkan prinsip pengeringan produk cair yang dikenakan pada permukaan silinder dengan kecepatan putarannya dapat diatur. Produk cair yang menempel pada dinding silinder perlahan-lahan akan mengering. Setelah mencapai tiga perempat putaran, produk kering tersebut dikikis dengan pisau pengikis sehingga terpisah dalam bentuk lapisan film (Arsdel dan Coley 1964). Faktor utama yang mempengaruhi mutu produk kering hasil pengeringan silinder antara lain adalah uap. Uap merupakan media penghantar panas yang biasa digunakan dalam pengeringan silinder, yaitu untuk penyedia panas pada permukaan silinder (Toledo 1980). Keuntungan
penggunaan
alat
pengering
drum
adalah
kecepatan
pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis, dapat memperbaiki daya cerna, mempengaruhi sanitasi dan meningkatkan daya awet. Kelemahannya hanya dapat digunakan pada bahan pangan yang berbentuk bubur atau pasta dan bahan pangan yang tahan suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan 1974). Ada empat variabel yang berpengaruh dalam operasi pengeringan drum yaitu: (1) tekanan uap dan suhu medium pemanas yang mengatur suhu permukaan drum, (2) kecepatan putaran yang menentukan waktu kontak antara film dan permukaan drum panas, (3) jarak antara drum yang akan mentukan ketebalan film
yang terbentuk, dan (4) kondisi bahan pangan, misalnya konsentrasi, karakteristik fisik, dan suhu larutan yang dikeringkan (Moore 1995). 2.7 Makanan Instan Makanan instan umumnya berbentuk kering. Makanan instan lebih praktis daripada harus membuat sendiri (Marliyati 2007). Masalah penyimpanan dan transportasi semakin dipermudah dengan adanya produk pangan instan. Pada produk pangan instan air dihilangkan, mutu terjaga, tidak mudah terjangkiti bibit penyakit dan mudah ditangani supaya mudah disantap (Hartomo dan Widiatmoko 1993). Bahan-bahan utama makanan instan adalah sumber energi, protein, vitamin, dan mineral. Untuk sumber energi biasanya berasal dari beras. Sumber protein pada makanan instan kering umumnya protein nabati berupa kacangkacangan. Penggunaan sumber protein hewani jarang digunakan karena proses pembuatan sumber protein hewani relatif mahal (Marliyati 2007). Proses instanisasi produk akhir dalam teknologi pembuatan makanan bayi merupakan tahapan penting karena berfungsi untuk mempermudah penyajian, pengemasan, dan memperpanjang umur simpan. Tujuan proses instanisasi adalah memperbaiki aliran dan penyempurnaan komponen-komponen bubuk. Konsep bubuk instan adalah apabila ditempatkan pada permukaan air yang tidak dipanaskan, maka bubuk akan segera tenggelam dan terdispersi tanpa pengadukan. Bubuk harus mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap air, tenggelam, dan terdispersi (Hartomo dan Widiatmoko 1993). Suatu bahan dapat dibuat instan dengan memberi perlakuan mekanis dengan pemanasan. Partikel bubuk halus bahan tersebut diperbesar menjadi aglomerat berstruktur pori (seperti karang). Karena kapasitas adsorpsi (serapan) besar maka bahan tersebut mudah tenggelam. Pangan instan merupakan bahan makanan yang mengalami proses pengeringan air, sehingga mudah larut dan mudah disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin. Kriteria yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat dibentuk produk pangan instan antara lain: (a) memiliki sifat hidrofilik yaitu sifat mudah mengikat air, (b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan yang dapat menghambat laju pembasahan,
(c) rehidrasi produk akhir tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo dan Widiatmoko 1993). Bubur instan merupakan bubur yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut sehingga dalam penyajiannya tidak diperlukan proses pemasakan. Penyajian bubur instan dapat dilkukan hanya dengan menambahkan air panas atau pun susu sesuai dengan selera (Fellow dan Ellis 1992). Bubur instan memiliki komponen penyusun seperti halnya bubur. Bubur yang telah jadi (masak) mengalami proses instanisasi. Instanisasi dilakukan dengan cara memasak komponen-komponen penyusun bubur yang telah berbentuk tepung sampai menjadi adonan kental. Adonan ini dikeringkan menggunakan pengering drum lalu dihancurkan hingga berbentuk tepung halus berukuran 60 mesh. Bahan tepung yang diperoleh telah bersifat instan dan dikemas menjadi bubur instan (Perdana 2003)
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2007 di
Laboratorium
Kimia,
dan
Laboratorium
Mikrobiologi
Balai
Besar
Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Muara Baru. Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Biotekonologi dan Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi IPB. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tenggiri, ikan swangi, tepung beras, gula tepung, susu skim dan minyak nabati. Bahanbahan yang digunakan dalam analisis adalah asam perklorat 6 %, NaOH 20 %, HCl 0,02 N, H3BO4 3 %, Na2B4O7 0.02 N, indikator fenolftalein, indikator metil merah, kloroform, tablet katalis, kalium sulfat, CuSO4/ CuSO4.5H2O, asam sulfat pekat, hidrogen peroksida 30 %, asam borat 4 %, aquades, NaOH 50 %, Natrium tiosulfat, larutan HCl standar 0,2 N, indikator MM, HCl 0,1 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin, NaOH 0,5 N, Larutan buffer posfat 0,2 M yang mengandung natirium azida 0,05 M, enzim pankreatin, dan media PCA. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan adalah pisau, alat pengukus, alat pengepres, alat penepung, oven, saringan 60 mesh dan kompor. Alat-alat yang digunakan dalam analisis yaitu blender, beaker glass, erlenmeyer, labu takar, corong, kertas saring, burret, peralatan destilasi uap, cawan, oven, spatula, neraca analisis, desikator, alat penjepit, furnace, pemanas listrik, penyangga, kondensor serta ekstraktor soxhlet, labu lemak, selongsong lemak, kertas saring, rotary evaporator, alat destruksi kheldahl, erlenmeyer 250 ml, labu destruksi, statip, pipet volumetrik 25 ml, gelas ukur 50 ml, dan pipet tetes. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan diantaranya adalah pembuatan tepung ikan, pembuatan tepung beras gelatinisasi, penyusunan formulasi dan pembuatan bubur bayi instan, serta penentuan produk terpilih.
Pada tahap pembuatan tepung ikan dilakukan analisis proksimat yang akan digunakan dalam formulasi. Pada tahap formulasi dan pembuatan bubur bayi instan dilakukan uji kadar air, kelarutan, densitas kamba, uji seduh, waktu penyajian, dan uji organoleptik yang akan digunakan dalam menentukan bubur bayi terpilih. Bubur bayi terpilih dilakukan analisis kandungan gizi, daya cerna protein, Totap Plate Count (TPC), penetuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi (AKG), serta uji penerimaan pada bayi. Bayi yang diberi bubur bayi instan sebanyak 15 bayi, yang berumur 6-12 bulan dengan berat rata-rata 8,5 kg. 3.3.1 Pembuatan dan analisis kimia tepung ikan Tahap pertama penelitian adalah pembuatan tepung ikan. Tepung ikan yang dibuat ada dua jenis yaitu tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi. Ikan dicuci untuk menghilangkan lendir-lendir dan kotoran. Kepala, sisik, ekor dan isi perut dibuang. Ikan dicuci sampai bersih dari darah dan kotoran lain kemudian ditiriskan. Ikan yang sudah bersih dilakukan pengukusan dengan uap panas menggunakan alat pengukus. Lama pengukusan kurang lebih 10 menit dihitung sejak air mendidih. Setelah pengukusan, ikan ditiriskan dan didinginkan, kemudian dilakukan pemisahan daging dari kulit dan tulang ikan. Daging yang telah dipisahkan dipotong-potong agar ukuran daging lebih kecil, kemudian dipress selama 10-15 menit untuk memisahkan padatan dan cairan. Ikan yang telah dipress dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60
o
C
selama 20 jam. Ikan yang sudah kering dihaluskan menggunakan penggilingan tepung dan disaring menggunakan saringan 60 mesh. Penambahan tepung ikan tenggiri maupun tepung ikan swangi bertujuan untuk memperkaya kandungan protein pada bubur bayi instan. 3.3.2 Gelatinisasi tepung beras Tahap kedua dilakukan gelatinisasi tepung beras. Tepung beras yang digunakan adalah tepung beras yang sudah ada dipasaran dengan merk Ross Brand. Tepung beras terlebih dahulu digelatinisasi supaya struktur kimianya menjadi lebih sederhana sehingga mudah dikonsumsi. Tepung beras dilarutkan dalam air dengan perbandingan satu bagian tepung beras dalam 3 bagian air. Selanjutnya dilakukan pengadukan sambil dipanaskan sampai mengental. Adonan
diletakkan dalam wadah aluminium. Adonan yang diletakkan di atas aluminium jangan terlalu tebal agar pengeringan tidak memakan waktu lama. Pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60 oC selama 3 jam. Setelah kering dihaluskan menggunakan blender dan disaring menggunakan saringan 60 mesh. Jumlah tepung beras yang ditambahkan adalah 26 % yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatmawati (2004). 3.3.3 Penentuan formulasi Pada tahap ini dilakukan formulasi dalam pembuatan bubur bayi instan. Tujuannya adalah menyusun formulasi bubur bayi instan dari tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi dengan bahan pelengkap susu skim, minyak nabati, dan tepung beras sehingga memenuhi standar kebutuhan gizi dan energi makanan bayi serta memilih satu formula terbaik. Perlakuan yang dilakukan pada pembuatan formulasi bubur bayi instan adalah menyusun campuran tepung ikan (tenggiri atau swangi), tepung beras, susu skim, minyak sawit, dan gula tepung. Penentuan konsentrasi tepung ikan diperoleh berdasarkan perhitungan nilai gizi yang disesuaikan dengan kebutuhan gizi standar sehingga diperlukan nilai gizi tepung ikan yang diperoleh dari uji proksimat. Konsentrasi susu skim, minyak nabati, dan gula tepung untuk setiap formula sama yaitu masing-masing 50 %, 10 % dan 5 %. Formulasi yang diperoleh yaitu bubur bayi dengan penambahan tepung ikan tenggiri dan bubur bayi dengan penambahan tepung ikan swangi masing-masing dikeringkan menggunakan dua jenis alat pengering yaitu pengering beku dan pengering drum sehingga diperoleh empat formula bubur bayi instan (modifikasi dari Fatmawati 2004). Pada empat produk bubur bayi yang dihasilkan dan bubur bayi komersial dilakukan pengamatan dan pengukuran: 1) Formulasi 2) Densitas Kamba (Prasanappa et al., 1972) 3) Kadar Air (AOAC, 1995) 4) Uji Seduh (Yoanasari, 2003) 5) Waktu Penyajian (Yoanasari, 2003) 6) Kelarutan (SNI dekstrin Industri Pangan, 1992) 7) Organoleptik
Ikan segar (tenggiri/ swangi) Tepung beras dan air (1:3)
Penyiangan Pengadukan dan pemasakan sampai mengental
Pencucian Pengukusan (30 menit) 100 oC
Pengeringan (oven) 60 oC, 3 jam
Pemisahan daging Penggilingan dengan blender
Pengepresan (10-15 menit) Pengeringan oven (60 oC, 15 jam)
penyaringan
penepungan
Susu skim
Tepung ikan
Pencampuran dan pengadukan
Tepung gula
Tepung beras gelatinisasi
Minyak nabati
Dilarutkan dengan air
Adonan bubur Pengeringan drum (80 oC, 2 jam)
Pengeringan beku (-50 oC, 24 jam)
Penggilingan
Penggilingan
Penyaringan
Penyaringan Bubur bayi instan
Gambar 3.
Alur Proses Pembuatan Bubur Bayi Instan (Modifikasi Fatmawati 2004)
Keterangan: = Input bahan baku = Proses pembuatan produk = Produk setengah jadi
= Produk akhir
3.3.4 Penentuan produk terpilih Produk terpilih ditentukan dari hasil uji densitas kamba, kadar air, uji seduh, waktu penyajian, kelarutan, dan organoleptik kemudian dilakukan analisis dengan cara mengukur dan membandingkan kadar gizi antara bubur bayi instan terpilih dengan bubur bayi instan komersial. Analisis yang dilakukan: 1. Kandungan Gizi 2. Daya Cerna Protein 3. Analisis Mutu Mikrobiologi 4. Penentuan Takaran Saji dan Angka Kecukupan Gizi 5. Uji Penerimaan Bayi 3.4 Prosedur Analisis 3.4.1 Analisis kadar air Metode Oven (AOAC 1996) Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Selanjutnya cawan yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Sebanyak kurang lebih 2 gram sampel yang telah homogen ditimbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC untuk dikeringkan selama 24 jam atau hingga berat konstan. Setelah itu cawan beserta contohnya dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang. Hasil analisa kadar air ditetapkan dengan presentase kadar air dalam bobot kering dan basah. % Air = (A + B)-C x 100 % B
Keterangan: A
= berat cawan kosong (g)
B
= berat sampel (g)
C
= berat cawan dan contoh setelah dikeringkan (g)
3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 1996) Cawan sebelum digunakan dipijarkan terlebih dahulu pada suhu 550 oC selama 8 jam. Kemudian didinginkan sampai suhu 50 oC. Cawan dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit. Berat cawan kosong ditimbang dengan neraca analitis. Homogenat contoh ditambahkan ke dalam cawan sekitar 2 gram. Crucible yang berisi homogenat contoh dipijarkan di dalam furnace pada suhu 550 oC selama 8 jam atau sampai diperoleh abu berwarna putih. Berat cawan dan abu ditimbang dengan neraca analitis. Kadar abu = (berat abu dan cawan-berat cawan kosong) (g) x 100 % berat contoh (g) 3.4.3 Analisis kadar protein (AOAC 1996) Sampel ditimbang sekitar 2 gram dengan kertas timbang, kemudian dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam labu destruksi. Ditambahkan 7 g K2SO4 dan 0,83 g CuSO4.5H2O. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat (95-97 %) dan 3 ml H2O2 ditambahkan dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Kemudian didetruksi dengan suhu 410
o
C selama kurang lebih 2 jam atau sampai
mendapatkan hasil destruksi yang jernih, setelah itu didiamkan hingga suhu kamar dan ditambah 50 ml akuades. Sebelum melakukan destilasi, alat destilasi dicuci dengan cara melakukan destilasi akuades seperti prosedur. Apabila destilat yang tertampung mengubah warna garam borat (merah menjadi kuning), maka dilakukan pencucian ulang sampai hasil destilat yang tertampung tidak berubah warna. Labu yang berisi hasil destruksi dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Sebanyak 50 ml Na OH 50 % yang mengandung N2S2O3 2,5 % ditambahkan. Destilasi dilakukan dan destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H3BO3 4 % serta dua tetes indikator metil merah hingga volume mencapai minimal 150 ml (hasil destilat akan berubah menjadi warna kuning). kemudian
dititrasi dengan HCl 0,2 N yang sudah terstandardisasi sampai warna merah jambu. Pengerjaan titrasi blanko dilakukan seperti tahapan sampel. Kadar protein(%)= (ml HCL sampel–ml HCl blanko)xN HClx14,007x6,25x100 % g sampel x 1000 3.4.4 Analisis kadar lemak (AOAC 1996) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Homogenat contoh ditimbang sebanyak 2 gram menggunakan kertas timbang, kemudian dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak. dimasukkan ke dalam labu lemak.
Sebanyak 150 ml kloroform
Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
labu ekstraksi soxhlet, dan rangkaian soxhlet dipasang dengan benar. Ekstraksi dilakukan pada suhu 60 oC selama 8 jam.
Setelah itu campuran lemak dan
chloroform dalam labu lemak dievaporasi menggunakan rotary evaporator sampai kering.
Labu lemak yang berisi lemak dimasukkan ke dalam oven
suhu 105 oC selama kurang lebih 2 jam (untuk menghilangkan sisa kloroform dan uap air). Labu dan lemak didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Labu yang berisi lemak ditimbang. Nilai kadar lemak dalam bentuk presentase lemak: Kadar lemak (%) = (berat lemak dan labu – berat labu kosong) g x 100 % Berat sampel (g) 3.4.5 Perhitungan kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (KA + A + P + L) Dimana: KA
= % kadar air
A
= % kadar abu
P
= % kadar protein
L
= % kadar lemak
3.4.6 Densitas kamba (Muchtadi et al. 1992) Gelas ukur 100 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan ke dalamnya sampai volumenya mencapai 100 ml. Usahakan pengisian tepat tanda tera dan
jangan dipadatkan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat menyatakan berat sampel per 100 g. Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml. 3.4.7 Uji seduh (Yoanasari 2003) Sebanyak 24 gram sampel ditambahkan air hangat (60 oC) sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai menjadi bubur dengan kekentalan yang sama dengan bubur bayi instan komersial. Kemudian diukur volume air yang diperlukan. 3.4.8 Waktu penyajian (Yoanasari 2003) Sebanyak 24 gram sampel ditambah air hangat (60 oC) sebanyak 100 ml sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai bubur siap untuk disajikan, kemudian dicatat waktunya. 3.4.9 Kelarutan (SNI Dekstrin Industri Pangan 1992) Sebanyak 2 gram sampel dilarutkan dalam air dingin pada labu ukur 200 ml sampai tanda tera.
Larutan disaring dan sebanyak 10 ml dipipetkan
ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan dan larutan diuapkan dipenangas air. Setelah itu dipanaskan dalam oven selama kurang lebih tiga jam hingga berat konstan. Bagian yang larut dalam air = [(20 x A/ B) x 100 %] A
= berat kering dalam 10 ml larutan (g)
B
= bobot sampel (g)
3.4.10 Uji organoleptik skala hedonik Panelis yang menilai adalah pegawai Balai Besar Pengolahan dan Pengendalian Hasil Perikanan Muara Baru. Panelis diminta untuk menguji tingkat kesukaannya terhadap produk makanan bayi.
Penyajian bisa dilakukan satu
persatu atau sekaligus untuk semua sampel secara bersamaan. Penilaian yang dilakukan oleh panelis tidak dengan membandingkan akan tetapi merupakan reaksi spontan yang disajikan. Oleh karena itu penilaian dapat bernilai sama untuk beberapa sampel. Penilaian dilakukan sesuai dengan instruksi yang terdapat pada form isian. Pengujian dilakukan terhadap 15 orang panelis semi terlatih.
3.4.11 Uji penerimaan bayi Uji penerimaan bubur bayi instan pada bayi dilakukan terhadap bayi berumur 6-12 bulan. Jumlah bayi yang menerima bubur bayi instan untuk uji penerimaan sebanyak 15 bayi. Bayi yang baru tiba di posyandu langsung diberi bubur bayi instan. Bubur bayi instan terlebih dahulu disiapkan dengan menambahkan air hangat sampai homogen. Idealnya bayi yang akan diberi bubur bayi instan ini adalah bayi yang belum diberi makanan pendamping sehingga penerimaan bayi terhadap bubur bayi tersebut menjadi lebih baik. Pemberian bubur bayi dilakukan oleh orang tuanya masing-masing. Bayi diberi suapan pertama kemudian kita lihat reaksi bayi tersebut terhadap penerimaan bubur bayi instan. Jika suapan pertama diterima, maka kita beri suapan yang kedua untuk melihat reaksi penerimaan bubur bayi instan. Jika bayi masih menerima dengan baik, maka diasumsikan bahwa bayi dapat menerima bubur bayi instan. 3.4.12 Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) Untuk uji mikrobiologi dilakukan perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85% steril, kemudian diblender hingga larutan homogen. Campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya hingga pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), diamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 35 oC selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk
meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Total mikroba (CFU/g) = jumlah koloni per cawan x (1/faktor pengenceran) 3.4.13 Daya cerna protein secara in vitro (Sounders et al. 1973) Pengukuran daya cerna protein secara in vitro dilakukan menggunakan 250 mg sampel. Sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 50 ml kemudian ditambahkan 15 ml HCl 0,1 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin. Selanjutnya
campuran
dalam
labu
erlenmeyer
dikocok
menggunakan
shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm dan suhu 37 oC selama 3 jam. Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,5 N yang diukur dengan pH meter kemudian ditambahkan 7,5 ml larutan buffer fosfat 0,2 M (pH 8) yang mengandung natrium azida 0,005 M dan 4 mg enzim pankreatin. Larutan selanjutnya dikocok pada shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm dengan suhu 37 oC selama 24 jam. Padatan yang diperoleh dari akhir pernyaringan disaring dengan kertas whatman 41 (sebelumnya bobot kertas saring dicatat) yang dihubungkan dengan alat penghisap uap. Berat padatan ditimbang, kemudian dianalisis kadar proteinnya (persen protein sisa) menggunakan metode mikro kjehdahl. Perhitungan daya cerna protein dihitung dengan rumus: % daya cerna protein = [(protein kasar-protein sisa)/ protein kasar] X 100 % 3.5 Rancangan Percobaan Data yang diperoleh merupakan hasil pengujian kadar air, kelarutan, densitas kamba, uji seduh, dan waktu penyajian yang dianalsis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) Pola Faktorial dengan dua faktor kombinasi perlakuan tiga kali ulangan, dengan perlakuan jenis tepung ikan (tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi) dan jenis alat pengering (pengering beku dan pengering drum).
Model rancangannya adalah: Yijk =
+ Ai + Bj + (AB)ij +
ijk
(Dimana i = 1, 2; j = 1, 2; k = 1, 2, 3) Keterangan: Yijk
= Respon pengaruh perlakuan tepung ikan ke-i dan pengaruh alat pengering ke-j pada ulangan ke-k = Pengaruh rata-rata umum
Ai
= Pengaruh perlakuan jenis tepung ikan ke-i
Bj
= Pengaruh perlakuan jenis alat pengering ke-j
(AB)ij
= Pengaruh interaksi perlakuan tepung ikan ke-i dengan perlakuan jenis alat pengering ke-j
ijk
= Pengaruh acak (galat percobaan) Analisis data dilakukan menggunakan analisis ragam.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan dan Analisis Kimia Bahan Penyusun Pada tahap ini dilakukan pembuatan tepung ikan dari ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) dan ikan swangi (Priacanthus tayenus). Pada kedua jenis tepung ikan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan protein, lemak dan karbohidrat yang diperlukan untuk menghitung nilai gizi dari formulasi. Selain analisis tepung ikan juga dilakukan analisis bahan-bahan penyusun seperti tepung beras, susu skim, minyak nabati, dan gula halus. 4.1.1 Proses pembuatan dan analisis kimia tepung ikan Proses pembuatan tepung ikan melalui berbagai proses yaitu persiapan sampel, penyiangan, pencucian, pengukusan, pemisahan daging, pengepresan, pengeringan, dan penepungan. Ikan yang digunakan adalah ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) dan ikan swangi (Priacanthus tayenus). Kandungan proksimat kedua jenis ikan tersebut ditunjukan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Ikan Tenggiri (Scomberomorus sp) dan Ikan Swangi (Priacanthus tayenus) Ikan tenggiri (%)
Ikan swangi (%)
Protein
21,4
19,16
Lemak
0,56
0,54
Karbohidrat
0,61
0,51
Air
76,5
78,63
Abu
0,93
1,16
Sumber:BPPMHP (2005) Tahap pembuatan tepung ikan adalah sebagai berikut: ikan dicuci sampai bersih yang bertujuan untuk menghilangkan lendir-lendir dan kotoran yang ada. Pada tahap penyiangan, kepala ikan, sisik, ekor dan isi perut dibuang. Pencucian ikan dilakukan sampai bersih bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang masih menempel pada ikan. Setelah ikan ditiriskan, kemudian dilanjutkan pada tahap pengukusan. Ikan dikukus dengan uap panas menggunakan
alat pengukus. Lama pengukusan kurang lebih 10 menit dihitung setelah air mendidih dengan suhu 100 oC. Setelah dikukus dan didinginkan, daging ikan dipisahkan dari tulang, kulit dan duri. Daging ikan yang telah dipisahkan dipres untuk memisahkan padatan dan cairan. Pengepresan dilakukan selama 10-15 menit. Pengepresan juga bertujuan untuk mengurangi jumlah lemak yang terkandung dalam daging ikan. Daging yang telah dipres kemudian dikeringkan. Pengeringan menggunakan oven dengan lama pengeringan kurang lebih 15 jam pada suhu sekitar 60 oC. Setelah ikan dikeringkan, dilakukan penepungan. Daging ikan yang sudah kering dihaluskan menggunakan blender, kemudian disaring menggunakan penyaring dengan ukuran 60 mesh. Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Tepung Ikan Tenggiri dan Tepung Ikan Swangi Tepung ikan tenggiri (%)
Tepung ikan swangi (%)
Protein
84,47
83,4
Lemak
3,73
3,3
Karbohidrat
1,79
1,68
Air
6,69
6,54
Abu
3,43
5,08
Bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering yaitu desikator. Kadar air tepung ikan tenggiri sebesar 6,69 % dan tepung ikan swangi sebesar 6,54 %. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini untuk tepung ikan tenggiri 3,43 % dan tepung ikan swangi 5,08 %. Perbedaan kandungan abu pada kedua sampel ini karena adanya perbedaan komponen nutrisi pada kedua spesies ikan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada tepung ikan swangi memiliki jumlah mineral yang lebih banyak dari pada tepung ikan tenggiri. Tepung ikan tenggiri mengandung protein 84,47 % dan tepung ikan swangi 83,4 %. Perbedaan kandungan protein pada kedua jenis tepung ikan disebabkan oleh spesies ikan yang berbeda yang memiliki kandungan nutrisi yang
berbeda. Kandungan nutrisi dari jenis ikan sebagai bahan baku tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Sementara untuk kandungan lemak antara tepung ikan tenggiri dengan tepung ikan swangi tidak terlalu jauh perbedaannya, yaitu 3,73 % dan 3,3 %. Kadar karbohidrat diperoleh berdasarkan perhitungan karbohidrat dengan metode by different yaitu merupakan hasil pengurangan seratus persen dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Kadar karbohidrat yang diperoleh adalah untuk tepung ikan tenggiri 1,79 % dan tepung ikan swangi 1,68 %. 4.1.2 Analisis bahan-bahan lain yang digunakan pada formulasi Selain tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi, digunakan juga bahan-bahan lain yaitu tepung beras, susu skim, gula halus dan minyak nabati. Tepung beras yang digunakan adalah tepung beras yang telah mengalami gelatinisasi.
Tujuan proses gelatinisasi
ini
adalah untuk
mendapatkan
tepung beras yang bersifat instan (dapat menyerap air). Proses gelatinisasi ini dianggap perlu karena selain untuk memudahkan dalam penyajian, makanan yang telah tergelatinisasi untuk pati atau terdenaturasi untuk protein akibat pemanasan yang dilakukan akan meningkatkan daya cerna pati maupun protein. Pada Tabel 7 adalah komposisi bahan-bahan lain yang digunakan pada formulasi bubur bayi. Kandungan serat makanan pada tepung beras yang digunakan merupakan faktor pembatas untuk penentuan komposisi tepung beras dalam formulasi. Pada penelitian ini formulasi bubur bayi instan dibuat berdasarkan standar makanan bayi yang ada di Indonesia yaitu SNI 01-3842-1995 yang menyatakan serat makanan pada MP ASI kurang dari 5 g per 100 g bubur bayi. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Fatmawati (2004) serat makanan pada tepung beras tergelatinisasi adalah 8,45 gram per 100 gram. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan suatu formulasi yang sesuai dengan standar menurut SNI 01-3842-1995 dan Codex Alimentarius Commision (1991). Standar Makanan Pendamping ASI tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Komposisi bahan-bahan lain yang digunakan dalam formulasi (per 100 g bahan)a Komponen
Tepung beras
Susu skim
Gula halus
3,5 30,5b 1,0 65,5
5,4 0 0 94,0
Minyak nabati 0 0 100 0
0
0
0
393,00
376,00
900
Kadar air (g) 12,0 Protein (g) 7,0 Lemak (g) 0,5 Karbohidrat 80,0 Serat makanan (g) 8,45b - SMTLc 4,62 - SMLd 3,83 Kalori (kkal) 318,7 a Direktorat Gizi RI (1990) b Fatmawati (2004) c SMTL = Serat Makanan Tidak Larut d SML = Serat Makanan Larut
Tabel 8. Standar Makanan Pendamping ASI (per 100 g bahan)
a b
Zat gizi
Satuan
Kadar
Energi
Kkal
400a
Protein
Gram
Min 15b
Lemak
Gram
11b
Air
Gram
5,0b
Codex Alimentarius Commision (1991) SNI 01-3842-1995
4.2 Formulasi dan Pembuatan Bubur Bayi Instan Formulasi yang dibuat dengan mempertimbangkan standar makanan pendamping ASI sesuai pada Tabel 8. Kandungan nutrisi yang ingin dicapai pemenuhannya terhadap standar produk ini adalah protein. Kandungan protein selain diharapkan sesuai dengan standar MP ASI juga mempertimbangkan AKG yang dianjurkan untuk bayi usia 6-12 bulan, karena protein adalah nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhannya. Pada penelitian ini akan dibuat 4 formula dengan dua peubah yaitu jenis tepung ikan dan jenis alat pengering. Jenis tepung ikan yang digunakan ada dua yaitu tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi, serta jenis alat pengering yaitu pengering beku dan pengering drum.
Keempat formula tersebut
yaitu formula dari tepung ikan
tenggiri menggunakan pengeringan beku (formula 1), tepung ikan tenggiri
menggunakan pengeringan drum (formula 2), tepung ikan swangi menggunakan pengeringan beku (formula 3), dan tepung ikan swangi menggunakan pengeringan drum (formula 4). Keempat formula hanya dibedakan dari jenis tepung ikan dan jenis alat pengeringnya saja, sementara komposisi bahan-bahan penyusun seperti tepung ikan, susu skim, minyak nabati, tepung beras, dan gula tepung tetap. Berdasarkan hasil penelitian Fatmawati (2004) penentuan penggunaan komposisi 9 % tepung kecambah dan 26 % untuk tepung beras diperoleh dengan mempertimbangkan kandungan serat makanan pada kedua tepung tersebut. Berdasarkan perhitungan dengan mengkombinasikan 9 % tepung kecambah dengan 26 % tepung beras maka kandungan serat makanan pada total formulasi tidak lebih dari 5 %. Berdasarkan data tersebut, ditentukan komposisi tepung ikan 9 % dan tepung beras 26 %. Selain memperhatikan kandungan serat makanan, juga perlu diperhatikan kandungan protein formula bubur bayi instan. Berdasarkan SNI 01-3842-1995, untuk bayi usia 6-12 bulan kandungan protein MP ASI minimal 15 %. Bahan lainnya terdiri dari 50 % susu skim, 5 % gula halus, dan 10 % minyak nabati. Formulasi bubur bayi instan dibuat menggunakan tepung ikan dan susu skim sebagai sumber protein, minyak nabati sebagai sumber lemak, tepung beras gelatinisasi sebagai sumber karbohidrat, dan gula tepung. Dasar perhitungan yang digunakan dalam penyusunan formula adalah kandungan protein dan lemak menurut SNI (1995), sedangkan kandungan energi menurut Codex Alimentarius Commision (1991). Kandungan protein, lemak, dan energi untuk 100 gram bahan berturut-turut adalam minimal 15 persen, 11 persen, dan 400 kkal. Kandungan gizi formula bubur bayi instan dengan penambahan tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi kemudian dibandingkan dengan kandungan gizi dari produk bubur bayi komersial (Promina) dengan flavor pisang. Perhitungan kandungan gizi keempat formula MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 9. Formula bubur bayi instan yang ditambahkan dengan tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi dikeringkan dengan dua jenis pengeringan yaitu pengeringan beku dan pengeringan drum. Hasil analisis menunjukan formula bubur bayi instan memiliki kandungan protein, lemak, energi yang lebih tinggi
dari produk bubur bayi Promina. Berdasarkan kandungan protein, lemak, dan energi, formula bubur bayi instan yang dibuat telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam SNI (1995) dan Codex Alimentarius Commision (1991). Tabel 9. Kandungan gizi formula bubur bayi instan untuk umur 6-12 bulan (per 100 gram) Bahan-bahan Protein Lemak Tepung ikan tenggiri 7,6 0,34 (9%) Tepung beras (26%) 1,82 0,13 Susu skim (50%) 15,25 0,5 Gula halus (5%) Minyak nabati (10%) 10 TOTAL 24,67 10,97 Tepung ikan swangi 7,17 0,3 (9%) Tepung beras (26%) 1,82 0,13 Susu skim (50%) 15,25 0,5 Gula halus (5%) Minyak nabati (10%) 10 TOTAL 24,58 10,93 Bubur bayi Promina 14,6 6,25 Standar MP-ASI 15b 11b a hasil analisis b SNI 01-3842-1995 c Codex Alimentarius Commision (1991)
Karbohidrat 0,15
Air 0,6
Kalori (kkal) 34,06
20,8 32,75 4,7 58,4 0,15
3,12 1,75 0,27 5,74 0,59
91.65 196,5 18.8 90 431,01 31.98
20,8 32,75 4,7 58,40 70,8 -
3,12 1,75 0,27 5,73 2,83a
91.65 196.5 18.8 90 430.29 395,8 400c
Penyumbang karbohidrat terbesar adalah susu skim. Hal tersebut karena komposisi susu skim yang digunakan cukup besar yaitu 50 % dari berat total formula bubur bayi instan. Keuntungan digunakannya susu skim dalam jumlah besar adalah kandungan laktosa yang cukup tinggi.
Laktosa adalah bentuk
karbohidrat utama pada ASI. Fungsi laktosa dalam pertumbuhan adalah sebagai bahan pembentuk otak (Packard 1982). Penggunaan laktosa pada makanan bayi mempunyai dampak positif baik ditinjau dari rasa, aroma, mikrobiologi maupun kecepatan penyerapannya. Kemanisan laktosa lebih kurang seperenam sukrosa sehingga dapat berguna bagi kesehatan gigi anak dan mencegah dari kegemukan (Eckles et al. 1951). Menurut Frandsen dan Arbuckle (1961), di dalam setiap 100 gram tepung susu diperkirakan mengandung 0,118 gram kalsium dan
0,093 gram fosfor, sementara itu mineral-mineral tersebut sangat diperlukan bagi pertumbuhan tulang dan gigi. Kadar protein diperhitungkan dalam formulasi karena protein adalah nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhannya. Penggunaan tepung ikan yang terbatas menyebabkan sumbangan protein yang diberikan relatif kecil sehingga ditambahkan pula susu skim sebagai sumber proteinnya. Setelah diperoleh keempat formulasi tersebut lalu dilakukan pembuatan bubur bayi instan dengan cara mencampurkan semua bahan-bahan sesuai dengan komposisinya untuk setiap formula. Pada pembuatan bubur bayi instan dilakukan pencampuran basah. Pencampuran basah yaitu mencampurkan semua bahanbahan dengan menambahkan air. Pencampuran basah dilakukan karena tidak semua bahan-bahan yang dicampurkan dalam bentuk kering dan terdapat minyak nabati yang merupakan bahan dalam bentuk cair. Bahan-bahan dari setiap formula dicampurkan dan ditambah air sampai terbentuk pasta.
Pasta yang
terbentuk dikeringkan menggunakan pengering beku dan pengering drum. 4.3 Sifat Fisik Produk Bubur Bayi Instan Hasil pengujian sifat fisik formula bubur bayi instan dibandingkan dengan nilai pengujian sifat fisik dari bubur bayi komersil (Promina). 4.3.1. Kadar air Air merupakan komponen utama bahan makanan. Air dalam bahan makanan sangat menentukan kesegaran dan daya tahan bahan tersebut karena kandungan air berkaitan dengan perkembangan mikroorganisme dalam produk. Kadar air merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan olahan. Semakin rendah kadar air, semakin lambat pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan tersebut dapat lebih tahan lama (Winarno 1997). Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa kadar air yang dikandung dalam bubur bayi instan
berkisar antara 2,83 % sampai 6,19 %. Analisis ragam
(Lampiran 8a) menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan dan interaksi jenis tepung ikan dengan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air produk bubur bayi instan yang dihasilkan. Akan tetapi
perlakuan alat pengering memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air yang dihasilkan produk bubur bayi instan.
7,00
6,19
6,10
kadar air (%)
6,00 5,00
4,26
4,10 4,00 3,00
2,83
2,00 1,00 0,00 Promina
F1
F2
F3
F4
jenis bubur bayi
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 4. Diagram batang nilai kadar air bubur bayi instan Kadar air yang paling rendah adalah bubur F2 sebesar 4,10% dan yang paling tinggi adalah bubur F3 sebesar 6,19%. Berdasarkan SNI (1995) bahwa kadar air pada bubur bayi instan maksimal 5%. Berdasarkan Gambar 4 dapat kita lihat bahwa kadar air bubur F2 dan bubur F4 memenuhi standar, sedangkan bubur F1 dan bubur F3 tidak memenuhi standar.
Pada bubur bayi Promina
kadar airnya sangat rendah yaitu 2,83%. Jenis alat pengering yang baik untuk pembuatan bubur bayi instan adalah pengering drum yang diperlakukan pada bubur F2 dan bubur F4. Diagram batang nilai kadar air pada bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 4. 4.3.2 Kelarutan dalam air Kelarutan dalam air adalah jumlah suatu bahan yang dapat larut dalam air. Uji ini dilakukan dengan cara melarutkan produk bubur bayi instan di dalam air, kemudian dihitung bagian yang larut airnya.
Hasil pengujian dan analisis ragam (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa keempat formula memiliki daya larut dalam air yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan perlakuan jenis tepung ikan dan jenis alat pengering serta interaksi jenis tepung ikan dengan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan bubur bayi instan. Diagram batang nilai kelarutan bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 5.
39,50
38,99
39,00
kelarutan (%)
38,50 37,71
38,00 37,50
37,05
37,00 36,50
36,25
36,12
36,00 35,50 35,00 34,50 Promina
F1
F2
F3
F4
jenis bubur bayi
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 5. Diagram batang nilai kelarutan bubur bayi instan Kelarutan yang paling baik adalah bubur bayi F2 sebesar 37,71 %, sedangkan yang paling rendah adalah bubur F1 sebesar 36,12 %. Tingkat kelarutan juga dipengaruhi oleh kadar air dari produk bubur bayi. Semakin rendah kadar air atau semakin kering produk maka tingkat kelarutan akan semakin tinggi dan semakin tinggi kadar air memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kelarutan bubur bayi. Bubur bayi Promina memiliki kadar air yang rendah serta memiliki kelarutan paling tinggi. Hal ini diduga bahwa bahan yang sangat kering memiliki tekstur banyak berpori yang lebih terbuka sehingga akan mempermudah air untuk larut ke dalam produk bubur bayi. Selain itu perbedaan jenis tepung tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubur bayi dapat disebabkan bahwa
kedua jenis tepung yaitu tepung ikan tenggiri dan tepung ikan swangi memiliki struktur kimia yang tidak jauh berbeda. Kelarutan bubur bayi instan dipengaruhi oleh kandungan pati yang terdapat dalam tepung beras. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifatsifat sebelum gelatinisasi. Bahan yang telah mengalami gelatinisasi tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar sehingga bahan mudah larut. Jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar yang menyebabkan kemampuan menyerap air sangat besar. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari pada daya tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati (Winarno 1992). 4.3.3 Densitas kamba Densitas kamba ditentukan dengan cara mengukur berat suatu produk yang dibutuhkan untuk mengisi suatu volume tertentu. Densitas kamba suatu bahan menunjukkan tingkat kepadatan bahan tersebut pada suatu volume (ruang) dengan berat tertentu.
Suatu bahan dinyatakan kamba bila mempunyai nilai
densitas kamba yang kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan volume
densitas kamba (g/ml)
(ruang) yang besar. 0,45 0,44 0,43 0,42 0,41 0,40 0,39 0,38 0,37 0,36 0,35 0,34
0,44 0,43 0,42
0,42
0,38
Promina
F1
F2
F3
F4
jenis bubur bayi
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 6. Diagram batang nilai densitas kamba bubur bayi instan
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilai densitas kamba keempat produk bubur bayi berkisar antara 0,42-0,44 g/ml serta tidak berbeda nyata satu sama lain. Analisis ragam (Lampiran 8c) menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan dan jenis alat pengering serta interaksi jenis tepung ikan dan alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas kamba produk bubur bayi instan. Akan tetapi keempat formula bubur bayi memiliki nilai densitas kamba yang lebih besar dibandingkan dengan bubur bayi Promina. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berat yang sama, keempat bubur bayi instan hanya membutuhkan ruang yang lebih kecil pada perut bayi daripada bubur bayi Promina, sehingga bayi menjadi tidak cepat kenyang.
Diagram batang nilai
densitas kamba pada bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 6. Produk bubur bayi tidak boleh bersifat kamba karena akan cepat memberi rasa kenyang. Menurut Hofvander dan Underwood (1987), untuk kepentingan makanan balita dibutuhkan jenis produk pangan yang memiliki kekambaan minimum (nilai densitas kamba tinggi), sebab makanan yang kamba tidak cocok untuk balita mengingat kapasitas perut bayi masih terbatas. Semakin kecil nilai densitas kamba maka semakin sedikit pula kandungan zat gizi yang akan diterima oleh bayi. Densitas kamba yang besar juga sangat bagus pada proses penyimpanan tepung, karena tempat yang digunakan untuk menyimpan tepung dengan berat yang sama akan lebih kecil. 4.3.4 Uji seduh Uji seduh dilakukan dengan cara menambahkan air pada tepung bubur bayi sampai terbentuk adonan yang homogen. Jumlah air yang ditambahkan sampai kekentalan formula bubur bayi instan sama dengan bubur bayi Promina. Berdasarkan petunjuk penyajian bubur bayi Promina, untuk satu kali takaran penyajian sebanyak 24 gram dibutuhkan 100 ml air hangat dengan suhu kira-kira 60 oC..Uji seduh menunjukkan jumlah air yang dibutuhkan untuk membuat bubur bayi instan menjadi homogen dan siap untuk disajikan. Analisis ragam (Lampiran 8d) menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan serta interaksi jenis tepung ikan dengan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah air yang diperlukan dalam setiap penyajian dari bubur bayi instan. Akan tetapi perlakuan jenis alat pengering
memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah air yang diperlukan setiap penyajian dari bubur bayi instan. Diagram batang nilai uji seduh pada bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 7. 120 100 jumlah air (ml)
100 80 60
44,00 33,70
40
44,30 33,30
20 0 Promina
F1
F2
F3
F4
jenis bubur bayi
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 7. Diagram batang nilai uji seduh bubur bayi instan Jumlah air yang dibutuhkan pada keempat bubur bayi formula lebih sedikit dibandingkan dengan bubur bayi Promina. Jumlah air yang diperlukan berhubungan dengan kadar air pada bubur bayi. Produk yang lebih kering lebih banyak menyerap air. Hal ini diduga karena pada produk bubur yang kering memiliki kandungan air yang sedikit sehingga dalam proses rehidrasi dibutuhkan jumlah air yang lebih banyak. Kandungan pati diduga dapat mempengaruhi jumlah air untuk rehidrasi formula bubur bayi instan. Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, maka pati akan mengalami proses gelatinisasi. Air yang sebelumnya berada di luar granula dan bebas bergerak kini berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi karena telah membentuk matriks yang irreversible (tidak dapat kembali kebentuk semula). Pada saat dikeringkan, komponen air menguap meninggalkan matriks sehingga bersifat porous dan dengan mudah dapat kembali menyerap air (Winarno 1992). Adanya ruang-ruang kosong diantara partikel-
partikel serbuk bubur bayi instan akan memudahkan air untuk masuk ke dalam produk. Semakin banyak ruang kosong atau porositas produk maka semakin banyak jumlah air yang dapat masuk ke dalam produk tersebut. Pada bubur bayi Promina air yang ditambahkan lebih banyak dari pada formula bubur bayi instan. Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1993) pada industri pangan umumnya digunakan lesitin sebagai zat penginstan. Penambahan zat penginstan dapat memperbaiki sifat instan bubur bayi Promina. Ketika produk ditambah air maka partikel-partikel mudah terlepas sehingga produk lebih mengembang dan air yang diserap lebih banyak. 4.3.5 Waktu rehidrasi Salah satu syarat suatu makanan dikatakan instan yaitu makanan siap disajikan dalam waktu yang singkat. Waktu rehidrasi bubur bayi dihitung dengan cara melarutkan bubur bayi dengan jumlah air yang sama, kemudian dihitung waktunya sampai bubur tersebut siap untuk disajikan. Indikator bubur bayi instan siap untuk disajikan jika campuran telah homogen. Jumlah air yang ditambahkan adalah 100 ml dengan jumlah bubur bayi sebanyak 24 gram. Jumlah tersebut didasarkan kepada takaran saji dan cara penyajian pada bubur bayi Promina.
70
waktu (s)
50
62,73
61,40 56,53
60
55,87
49,1
40 30 20 10 0 Promina
F1
F2
F3
F4
jenis bubur
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 8. Diagram batang nilai waktu rehidrasi pada bubur bayi instan
Lamanya waktu yang diperlukan dalam penyajian bubur bayi formula dan bubur bayi Promina dapat dilihat pada Gambar 8. Analisis ragam (Lampiran 8e) menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan serta interaksi jenis tepung ikan dengan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah air yang diperlukan dalam setiap penyajian dari bubur bayi instan. Akan tetapi perlakuan jenis alat pengering memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah air yang diperlukan dalam setiap penyajian dari bubur bayi instan. Diagram batang nilai waktu rehidrasi dapat dilihat pada Gambar 8. Waktu rehidrasi bubur bayi instan yang paling singkat adalah pada bubur bayi tepung ikan swangi pengering drum (F4), sedangkan yang paling lama adalah bubur bayi tepung ikan tenggiri pengering beku (F1). Bubur bayi Promina memiliki waktu rehidrasi yang paling singkat yaitu 49,1 detik. Semua produk bubur bayi memiliki waktu rehidrasi yang tidak lama dan memenuhi syarat sebagai makanan instan. Waktu rehidrasi dapat disebabkan oleh kandungan pati yang terdapat dalam bubur bayi instan. Pati yang mengalami gelatinisasi menyebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak menjadi berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas. Ketika pati dikeringkan maka komponen air menguap meninggalkan matriks dan bersifat porous dan dengan mudah dapat kembali menyerap air. Sesuai dengan pendapat Potter (1980) bahwa bahan pangan kering yang sudah menyerap uap air akan terhambat proses rehidrasinya. Artinya bahan pangan yang mengandung air lebih banyak, maka porositas akan semakin sedikit sehingga difusi air yang masuk ketika proses rehidrasi akan semakin lambat. Berdasarkan hasil penelitian Sugiyono et.al (2004) gelatinisasi terjadi karena pemanasan dengan kadar air tinggi sehingga menghasilkan melting yang disertai dengan hidrasi dan pengembangan yang bersifat irreversible. Ketika bubur bayi instant kembali dimasak, ikatan hidrogen antar molekul amilosa lepas dan mengikat lebih banyak molekul air serta sifat amorf membantu kecepatan rehidrasi. Produk yang dihasilkan setelah pengeringan akan mengalami perubahan di permukaannya yaitu berpori yang terbuka memungkinkan proses rehidrasi
sangat cepat (Izza 2005). Difusitas air efektif semakin meningkat seiring dengan porositas yang semakin banyak dan terbuka. (Marubi dan Saguy 2004). Umumnya dalam industri pangan instan ditambahkan zat penginstan agar memiliki sifat instan yang baik. Zat penginstan yang umum digunakan adalah lesitin. Lesitin memiliki beberapa sifat yang dapat memperbaiki sifat instan yaitu: (1) sifat pembasahannya yang besar, sehingga bubur bayi Promina lebih mudah larut dengan air dan waktu rehidrasi cepat (2) sifat pendispersi baik (3) sifat anti endap memadai (4) aglomeratnya menjadi tidak terlalu keras (5) produk lebih mudah mengembang (Hartomo dan Widiatmoko 1993). 4.4 Evaluasi Mutu Organoleptik Bubur Bayi Instan Menurut Soekarto (1985), pengujian secara organoleptik terhadap suatu produk makanan merupakan kegiatan penilaian menggunakan alat pengindera yaitu indera penglihat, pencicip, pembau, dan pendengar. Melalui hasil pengujian organoleptik akan diketahui daya penerimaan panelis (konsumen) terhadap produk tersebut.
Panelis yang menilai produk adalah pegawai Balai Besar
Pengolahan dan Pengendalian Hasil Perikanan Muara baru yang termasuk kedalam panelis semi terlatih. Tabel 10. Perhitungan nilai rata-rata total kesukaan bubur bayi instan hasil uji organoleptik Warna Aroma Rasa Tekstur Rata-rata total
Promina F1 6,13 6,13 5,87 5,93 6,04
F2 5,82 5,00 4,87 5,51 5,41
F3 4,82 5,16 4,96 5,49 5,09
F4 5,96 4,73 4,76 5,67 5,43
5,09 5,02 5,09 5,44 5,21
Parameter yang diuji dalam uji kesukaan (hedonik) adalah warna, aroma, rasa, dan tekstur. Rata-rata nilai hasil pengujian organoleptik pada umumnya berkisar pada angka 5 yang menunjukkan agak suka. Hasil penilaian panelis terhadap bubur bayi instan terutama pada Tabel 10 dan diilustrasikan dalam bentuk diagram batang kesukaan pada masing-masing parameter pada Gambar 9.
5,44
5,49 5,67
5,93
5,51
5,09
4,96
4,76
4,87
5,02
5,16 4,73
5,87
6,13
6,13
5,96 5,09
5,00
5,00
4,82
nilai rata-rata kesukaan
6,00
5,82
7,00
4,00
3,00
2,00 1,00
0,00 WARNA
Promina
F1
AROMA
F2
F3
RASA
F4
TEKSTUR
parameter
Keterangan: F1 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan beku F2 = bubur bayi tepung tenggiri dengan pengeringan drum F3 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku F4 = bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan drum Gambar 9. Diagram batang nilai rata-rata kesukaan bubur bayi instan 4.4.1 Nilai uji hedonik warna Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain cita rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis dan warna. Sebelum faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna akan tampil lebih dulu (Winarno 1997). Faktor warna tersebut akan menjadi pertimbangan pertama ketika bahan makanan itu dipilih. Suatu bahan pangan yang dinilai bergizi dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Soekarto 1985). Nilai kesukaan terhadap warna bubur bayi instan berada diantara 4,82-5,96 yaitu berkisar antara nilai 5 (agak suka) dan 6 (suka). Tingkat kesukaan terhadap warna tertinggi terdapat pada bubur bayi tepung swangi dengan pengeringan beku (F3) dengan nilai rata-rata sebesar 5,96, dan tingkat kesukaan terkecil terdapat pada bubur bayi tepung ikan tenggiri pengering drum (F2) yaitu
sebesar 4,82. Bubur bayi Promina memiliki nilai rata-rata kesukaan terhadap warna sebesar 6,13. Gambar 9 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap warna bubur bayi instan mengalami fluktuasi. Hal ini menunjukkan bahwa bubur bayi instan terbaik pada warna adalah bubur bayi tepung ikan swangi pengering beku yaitu sebesar 5,96.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 2a) menunjukkan bahwa
perlakuan dengan penambahan jenis tepung ikan dan penggunaan jenis alat pengering memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna bubur bayi instan yang dihasilkan (p<0,05). Hasil uji lanjut Multiple comparison menunjukkan bahwa perlakuan tepung ikan tenggiri pengering beku (F1) berbeda nyata dengan perlakuan tepung ikan tenggiri pengering drum (F2) dan perlakuan tepung ikan swangi pengering drum (F4), perlakuan tepung ikan tenggiri pengering drum (F2) berbeda nyata dengan perlakuan tepung ikan swangi pengering beku (F3), dan perlakuan tepung ikan swangi pengering drum (F4) berbeda nyata dengan perlakuan tepung ikan swangi pengering drum (F3). Adapun hasil uji lanjut Multiple comparison dapat dilihat pada Lampiran 2b. Bubur bayi dengan perlakuan tepung ikan swangi pengering beku (F3) paling disukai. Bubur bayi F3 berwarna lebih terang (putih susu). Penggunaan suhu pengolahan yang rendah akan membantu meminimumkan terjadinya proses browning enzimatis dan mempertahankan mutu produk. Tidak adanya fase air dalam proses dan peralihan menjadi keadaan kering akan mengurangi masalah pencokelatan, denaturasi protein dan reaksi enzimatik pada produk kering beku (King 1971). Warna dari produk kering beku tidak mengalami perubahan (Fellow 1990). Perlakuan pengering drum menyebabkan timbulnya warna coklat pada bubur bayi instan. Hal tersebut dimungkinkan karena tepung ikan tenggiri maupun tepung ikan swangi mengandung protein, dan gula pereduksi yang akan mengalami reaksi Maillard jika dipanaskan. Reaksi Maillard dapat menyebabkan terbentuknya warna coklat pada bubur bayi instan (Radley 1976). Panelis tidak menyukai bubur bayi instan yang berwarna lebih gelap dan lebih menyukai produk yang berwarna lebih terang (putih susu).
4.4.2 Nilai uji hedonik aroma Rasa enak suatu makanan banyak ditentukan oleh aroma makanan tersebut. Aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri.
Pembauan manusia dapat mengenal enak atau
tidaknya suatu makanan yang belum terlihat hanya mencium bau makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto 1985).
Aroma lebih banyak berhubungan
dengan panca indera pembau. Bau-bauan baru dapat dikenali, bila terbentuk uap dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus sampai menyentuh silia sel olfaktori. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 1997). Nilai kesukaan terhadap aroma bubur bayi instan berada diantara 4,73-5,16 yaitu berkisar antara nilai 5 (agak suka). Tingkat kesukaan tertinggi terhadap aroma terdapat pada bubur bayi tepung tenggiri pengering drum (F2) dengan nilai rata-rata 5,16 dan kesukaan terkecil terdapat pada bubur bayi tepung ikan swangi pengering beku (F3) dengan nilai rata-rata 4,73. Tingkat kesukaan aroma dari bubur bayi Promina rata-rata 6,13. Diagram batang nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap aroma bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan dan penggunaan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kesukaan terhadap aroma bubur bayi instan yang dihasilkan (p>0,05). Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang tidak berbeda nyata untuk masing-masing produk bubur bayi instan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan bahwa tepung ikan tenggiri maupun tepung ikan swangi memiliki aroma yang tidak berbeda sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap aroma bubur bayi instan. Begitu juga dengan perlakuan alat pengering, meskipun secara umum penggunaan pengering drum lebih disukai, tetapi aroma yang dihasilkan tidak berbeda dengan penggunaan alat pengering beku. Bubur bayi Promina memiliki aroma yang paling disukai dibandingkan dengan keempat produk bubur bayi instan.
Hal ini disebabkan oleh penggunaan flavor pisang pada bubur bayi
Promina sehingga lebih disukai, sedangkan keempat produk bubur bayi instan tidak ditambahkan flavor sehingga aroma yang dihasilkan lebih alami.
4.4.3 Nilai uji hedonik rasa Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan pada keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan, walaupun parameter yang lain baik, tetapi jika rasanya tidak enak atau tidak disukai maka akan ditolak (Soekarto 1985). Kesukaan konsumen terhadap rasa suatu produk juga ditunjang oleh ketertarikan terhadap warna dan aroma produk tersebut. Menurut Winarno (1997) bau yang ditangkap oleh sel olfaktori hidung dan warna yang ditangkap oleh indera pengelihatan mampu merangsang syaraf perasa dan cecapan lidah. Nilai kesukaan terhadap rasa bubur bayi instan berada diantara 4,78-5,09 yaitu berkisar antara nilai 5 (agak suka). Diagram batang nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap rasa bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 9. Bubur bayi instan dengan penambahan tepung ikan swangi pengering drum (F4) cenderung lebih disukai panelis. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung ikan dan jenis alat pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kesukaan terhadap rasa bubur bayi instan yang dihasilkan (p>0,05). Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang tidak berbeda untuk masing-masing produk bubur bayi instan yang dihasilkan dilihat dari rasa. Bubur bayi Promina lebih disukai karena Promina memiliki rasa pisang sehingga lebih disukai dari pada keempat formula bubur bayi instan. 4.4.4 Nilai uji hedonik tekstur Nilai kesukaan terhadap tekstur bubur bayi instan berada diantara 5,44-5,67 yaitu berkisar antara nilai 5 (agak suka) dan 6 (suka). Diagram batang nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap rasa bubur bayi instan dapat dilihat pada Gambar 9.
Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan jenis
tepung ikan dan jenis alat pengering memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tingkat kesukaan terhadap rasa bubur bayi instan yang dihasilkan (p>0,05). Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang tidak berbeda nyata untuk masing-masing produk bubur bayi instan yang dihasilkan dilihat dari tekstur.
4.5 Karakteristik Bubur Bayi Instan Terpilih Bubur bayi yang terpilih diambil berdasarkan hasil uji sifat fisik dari bubur bayi instan. Bubur bayi yang terpilih adalah bubur bayi F4 yaitu bubur bayi menggunakan tepung ikan swangi dan pengeringan drum. Bubur bayi F4 dipilih berdasarkan waktu rehidrasi yang paling cepat, kadar air, kelarutan, densitas kamba, dan uji seduh. 4.5.1 Kandungan gizi Kandungan gizi bubur bayi terpilih didapat dengan uji proksimat. Kandungan gizi yang dihitung yaitu kadar karbohidrat, protein, dan lemak. Data analisis proksimat kandungan gizi bubur bayi terpilih dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis kandungan gizi bubur bayi instan terpilih hampir sama dengan hasil perhitungan terhadap formula bubur bayi tersebut. Akan tetapi kandungan lemak hasil perhitungan lebih tinggi dari pada hasil analisisnya. Hal ini disebabkan oleh perlakuan pengeringan drum yang menggunakan panas dapat menyebabkan turunnya kadar lemak. Tabel 11. Kandungan gizi bubur bayi instan terpilih Kandungan gizi Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Energi (kkal)
Perhitungan formulasi 24,24 10,93 58,85 430,73
Analisis
Promina
23,17 6,46 59,87 390,3
14,6 6,25 70,8 397,85
4.5.2 Daya cerna protein Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna (kecernaan). Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam amino yang diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar protein yang dimakan dibuang kembali dengan feses. Oleh karena itu untuk mengetahui kecernaan protein dalam tubuh manusia biasanya digunakan feses dan urin yang dikeluarkan oleh makhluk tersebut untuk dianalisis.
Mekanisme dari penentuan daya cerna protein secara in vitro dapat dijelaskan sebagai berikut, penambahan air destilata hanya untuk melarutkan sampel dan vorteks digunakan untuk mempercepat proses melarutnya atau tercampurnya sampel dengan air destilata.
Pengaturan pH sampai pH 8,00
dimaksudkan untuk mengkondisikan sampel seperti yang ada dalam saluran pencernaan. Serangkaian penelitian menyebutkan proses pencernaan makanan berjalan paling efektif jika jaringan tubuh dan darah (bukan lambung) dalam kondisi netral cendrung basa, dengan pH 7,35-7,45 (Apriadji 2002). Demikian pula inkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit untuk mengkondisikan agar enzim yang akan ditambahkan terkondisi dengan baik. Penambahan enzim diharapkan mampu memecah protein menjadi asam amino-asam amino dengan melepaskan ion-ion H+. Untuk memberikan lingkungan kerja yang optimal dan waktu berlangsungnya reaksi enzim kimotripsin dilakukan inkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 10 menit. Secara prinsip pada percobaan ini dianggap bahwa dengan adanya enzim akan memecah protein menjadi asam amino-asam amino dengan melepaskan ionion H+ sehingga akan mengakibatkan turunnya nila pH. Turunnya nilai pH dalam kurun waktu tertentu menunjukkan daya cerna protein yang baik. Semakin tajam turunnya nilai pH semakin baik daya cerna dari protein. Tabel 12. Nilai daya cerna protein bubur bayi instan terpilih Jenis bubur
Daya cerna (%)
Bubur bayi instan terpilih
89,64
Promina
91,72
Berdasarkan data Tabel 12 maka dapat diketahui bahwa protein pada bubur bayi instan terpilih memiliki mutu yang baik. Daya cerna protein bubur bayi terpilih yaitu 89,64 persen. Daya cerna pada bubur bayi komersial memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi yaitu 91,72 persen. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya cerna protein adalah adanya anti nutrisi. Faktor anti nutrisi tersebut dapat menurunkan daya cerna protein.
Selain itu pengolahan juga
mempengaruhi daya cerna protein, misalnya reaksi maillard dan adanya
pemanasan (Homisah 1997). Penambahan asam juga dapat mempengaruhi daya cerna protein (Sukarni et al. 1989). Selain beberapa faktor di atas, sisi rantai yang berupa asam-asam amino yang terikat dalam protein dapat bereaksi juga dengan senyawa hasil oksidasi lemak, dimana lemak yang teroksidasi akan menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama dari asam lemak tidak jenuh), yang kemudian membentuk karbonil atau peroksida. Kedua senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan silang dalam rantai protein, melalui ikatan protein-lipid, sehingga terjadi penurunan nilai gizi protein serta kerusakan asam amino-asam amino esensial (Hutagalung 1998). 4.5.3 Analisis mutu mikrobiologi bubur bayi instan Analisis mikrobiologi dilakukan dengan menentukan Total Plate Count (TPC).
Analisis kuantitatif mikrobiologi sangat penting dilakukan untuk
mengetahui jumlah mikroba yang terdapat pada bahan pangan yang dihasilkan. Makanan bayi sangat diperhatikan kehigienisannya, karena makanan bayi termasuk pada golongan makanan beresiko tinggi. Pada Tabel 13 adalah data hasil analisis Total Plate Count yang telah dilakukan terhadap bubur bayi instan. Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bubur bayi instan terpilih Jenis Bubur
TPC (CFU/g)
Bubur bayi instan terpilih
2,85 x 104
Promina
9,2 x 103
Kandungan mikroba yang diperbolehkan berdasarkan SNI 01-3842-1995 adalah 104 CFU/g. Oleh karena itu kandungan mikroba pada bubur bayi instan terpilih yang dihasilkan melebihi standar yaitu 2,85 x 104 CFU/g. Tingginya kandungan mikroba pada bubur bayi instan sehingga tidak sesuai dengan standar karena pembuatan bubur bayi dilakukan secara manual tidak mekanisasi atau komputerisasi seperti pada perusahaan bubur bayi yang telah ada.
Berbeda
dengan hasil uji yang diperoleh pada bubur bayi Promina sebesar 9,2 x 103 CFU/g. Hal
ini
disebabkan
pada
suatu
industri
dalam
proses
pembuatannya
memperhatikan Good Manufacturin Processing (GMP) untuk makanan bayi,
sehingga makanan bayi yang dihasilkan akan sesuai standar. Walaupun pada penelitian ini segi mikrobiologi tidak merupakan tujuan utama, tidak berarti mutu mikrobiologi makanan bayi tidak penting. Mutu mikrobiologi sangat penting dan hal itu dapat dijadikan perhatian bagi industri makanan bayi yaitu dengan benarbenar menerapkan
Good Manufacturing Processing (GMP) dan Hazard
Analytical Critical Control Point (HACCP). 4.5.4 Penentuan takaran penyajian dan Angka Kecukupan Gizi Pada penentuan takaran penyajian yang menjadi bahan pertimbangan utama adalah pemenuhan
AKG protein bayi.
Kandungan nutrisi per
takaran penyajian ditunjukkan pada Tabel 14. Perhitungan takaran saji bubur bayi instan terpilih dijelaskan sebagai berikut: •
Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein yang dianjurkan untuk bayi usia 6-12 bulan adalah 20 g per hari (Widia Karya Pangan dan Gizi 1998).
•
Jika dalam satu hari dua kali makan, maka protein yang terpenuhi 10 g.
•
Jika dalam satu kali makan protein yang ingin dipenuhi dua per tiga dari total protein, maka asupan protein untuk satu kali makan 6,7 g.
•
Protein bubur bayi instan terpilih sebesar 23,17 %
•
Maka perhitungan takaran penyajian secara matematis sebagai berikut: 23,17 = 100 6,7 x x
= 28,9 g
30 g bubur bayi instan
Tabel 14. Kandungan nutrisi per takaran penyajian Komponen gizi
Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Energi (kkal)
Bubur bayi terpilih
Promina
Per 100 g
Per 30 g
Per 100 g
Per 48 g
23,17 6,46 59,87 390,3
7 1,94 17,96 117,3
14,6 6,25 70,8 395,8
7 3 34 190
Setelah penentuan takaran penyajian, kemudian dilakukan penentuan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran penyajian tersebut. Tabel 15 adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran penyajian yang dianjurkan, selain itu
makanan bayi ini dianjurkan dimakan dua kali sehari kecuali apabila asupan protein bayi kurang dari pemberian dapat diberikan lebih dari dua kali per hari. Apabila bayi mengkonsumsi bubur bayi ini per takaran penyajian kebutuhan proteinnya akan terpenuhi sekitar dua pertiga per hari. Sementara itu perkiraan berdasarkan kandungan protein pada Air Susu Ibu 1,06 g/100 ml (Packard 1982) dan volume perut bayi sekitar 300 ml, maka protein yang dapat masuk ke dalam tubuh bayi diperkirakan antara 2,81-5,62 g per hari atau sekitar satu pertiga dari AKG. Menurut Albar (2004) bahwa ASI dapat melengkapi satu pertiga atau lebih energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C yang sangat dibutuhkan oleh anak umur 6-12 bulan.
Maka target pemenuhan protein dua pertiga adalah hal yang tepat. Tabel 15. Pemenuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein per takaran penyajian Bubur bayi terpilih
Promina
Serving size
7
7
AKG
20
20
% AKG
35
35
4.5.5 Uji penerimaan pada bayi Uji penerimaan bubur bayi instan pada bayi dilakukan terhadap bayi berumur 6-12 bulan yang dilaksanakan di posyandu Kemuning kecamatan Cipanas, kabupaten Cianjur. Jumlah bayi yang menerima bubur bayi instan untuk uji penerimaan sebanyak 15 bayi. Bayi yang baru tiba di posyandu langsung diberi bubur bayi instan. Bubur bayi instan terlebih dahulu disiapkan dengan menambahkan air hangat sampai homogen. Idealnya bayi yang akan diberi bubur bayi instan ini adalah bayi yang belum diberi makanan pendamping sehingga penerimaan bayi terhadap bubur bayi tersebut menjadi lebih baik. Tetapi, umumnya bayi yang ada di posyandu sudah diberi sarapan di rumahnya. Pemberian bubur bayi dilakukan oleh orang tuanya masing-masing. Hal ini dilakukan karena orang tua dari bayi lebih mengetahui reaksi bayi ketika menerima atau menolak suatu makanan. Bayi diberi suapan pertama kemudian kita lihat reaksi bayi tersebut terhadap penerimaan bubur bayi instan. Setelah itu diberi lagi untuk suapan yang kedua, apakah bayi tersebut menerima bubur bayi
instan dengan baik atau tidak. Orang tua dari bayi tersebut akan memberi tahu apakah bayi tersebut menerima bubur bayi instan dengan baik atau tidak. Selain itu juga ada bayi yang menolak bubur bayi instan ketika suapan pertama dan langsung dimuntahkan. Jumlah bayi yang menerima formula bubur bayi instan adalah 13 bayi dari 15 panelis bayi. Bayi dapat menerima bubur bayi instan, baik dari segi rasa, aroma, dan tekstur formula bubur bayi instan. Selain bayi, semua orang tua dari 15 bayi menyatakan suka dengan rasa, aroma, dan tekstur formula bubur bayi instan hasil percobaan. Bayi yang tidak menerima formula bubur bayi karena bayi sudah tidak mengkonsumsi bubur bayi walaupun umurnya masih di bawah 12 bulan. Diagram pie uji penerimaan bayi dapat dilihat pada Gambar 10.
13%
87% terima tolak
Gambar 10. Diagram pie uji penerimaan bayi
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Analisis gizi yang diperlukan pada tepung ikan adalah kadar protein, lemak, dan karbohidrat. Kadar protein untuk tepung tenggiri dan tepung swangi adalah 84,47 % dan 79,72 %, kadar lemak sebesar 3,73 % dan 3,3 % serta kadar karbohidrat adalah 1,79 % dan 6,7 %. Berdasarkan analisis tersebut dan perhitungan nilai gizi untuk formula bubur bayi instan, maka penambahan tepung ikan yang diperlukan sebesar 9 %. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan tepung swangi pengering drum lebih baik dibandingkan formula yang lain. Hal ini didasarkan pada kadar air, kelarutan, densitas kamba, uji seduh, waktu rehidrasi dan uji organoleptik. Pada bubur bayi instan terpilih kadar air yang diperoleh sebesar 4,26 %, jumlah air yang ditambahkan untuk rehidrasi sebanyak 44,3 ml dan waktu rehidrasi 55,87 detik. Densitas kamba dan kelarutan bubur bayi instan dari semua perlakuan tidak berbeda nyata. Produk bubur bayi instan terpilih dari semua perlakuan memiliki nilai daya cerna 89,64 %, dan nilai TPC 2,85x104 CFU/g. Perhitungan takaran saji terhadap bubur bayi terpilih sebesar 30 g, dengan persen AKG 35 %. Kandungan protein, lemak, karbohidrat, dan jumlah energi bubur bayi instan terpilih berturut-turut dalam 100 g bahan adalah 23,17 %, 6,46 %, 59,87 % dan 390,3 kkal. Hasil uji penerimaan terhadap 15 orang bayi, ternyata sebanyak 13 orang bayi dapat menerima bubur bayi dengan baik. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah: 1) Perlu diteliti lebih lanjut mengenai nilai gizi dari bubur bayi instan dengan pencampuran kering. 2) Penambahan lesitin agar sifat instan produk lebih baik. 3) Panelis uji hedonik bubur bayi instan sebaiknya dilakukan oleh ibu-ibu yang mempunyai bayi. 4) Perlu diteliti lebih lanjut mengenai metodologi uji penerimaan bayi sebaiknya cara pemberian MP ASI pada bayi, khususnya mengenai takaran penyajian dan waktu pemberian bubur bayi instan.
DAFTAR PUSTAKA
Albar H. 2004. Makanan pendamping ASI. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ Rumah Sakit Umum Pusat dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulawesi Selatan. http:// www.kalbe. co.id/files/cdk/files/145_15MakananPendampingAsi.pdf/145_15Makanan PendampingAsi.html. [28 Juli 2007]. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Anonim. 2003. Pengetahuan dan perilaku ibu rumah tangga yang memiliki anak berusia di bawah dua tahun tentang pemberian Makanan Pendamping ASI di kelurahan Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur. http://www.tempointer aktif.com/medika/arsip/052003/Nusa/med,200305-17,id.html. [17 Agustus 2007] Anonim. 2007. http://www.google.co.id/search?q=potensi+tenggiri&hl=id&cr= countryID&start=10&sa=N. [21 April 2007]. Apriadji WH. 2002. Food combining, jurus baru untuk langsing dan sehat. Sedap sekejap, Edisi I. III; jan. Arsdel WB, Copley MS. 1964. Food Dehydration, 2nd Edition. Wesport, Conecticut: The AVI Publishing Company, Inc. Astawan M. 2000. Persyaratan Gizi MP-ASI. Dalam. Sugiyono (Ed). Modul Studi Operasional Pengadaan MP-ASI Lokal Melalui Pemberdayaan Agroindustri Kecil dalam Rangka Peningkatan Status Gizi Baduta Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2005. Laporan Analisa Komposisi Kimia Ikan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Brennan JG. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ, Ltd. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjamah: Adiono dan Hari Purnomo. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science. Budiman I. 2006. Teknologi Penangkapan dan Pengembangan Usaha Perikanan Tenggiri di Kabupaten Belitung: Suatu Pendekatan Sistem Bisnis Perikanan. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Codex Alimentarius Commision. 1991. Guideine for Formulated Suplementary Foods for Older Infant and Young Children. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2005. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Eckles CH, Combs WB, Macy H. 1951. Milk and Milk Product. New York: Mc Graw Hill Inc.
Fatmawati S. 2004. Formulasi Bubur Bayi Berprotein Tinggi dan Kaya Antioksidan dari Tepung Kecambah Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) untuk Makanan Pendamping ASI. [skripsi]. Bogor: Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fellow . 1990. Food Processing Technology Principles and Practice. New York: CRC Press. Fellow PJ, Ellis. 1992. Food Processing Technology Principles and Practice. London: Ellis Horwood. Frandsen JH, Arbuckle WS. 1961. Ice Cream and Related Product. 3th edition. Wesport, Conecticut: AVI Publishing Company, Inc. Hartomo AJ, Widiatmoko MC. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Yogyakarta: Andi Offset. Hofvander, Undrwood BA. 1987. Processed suplementary foods for older infant and young children, with spesial reference to developing countries. Food Nutrition. Bul.9(1). Husaini E, Suryana, Darwin K. 1984. Pertumbuhan Bayi Sejak Lahir Sampai Berumur 12 Bulan. Bogor: Puslitbang Gizi, Depkes. Hutagalung SU. 1998. Mempelajari mutu biologis protein dan mutu organoleptik tahu dengan dan tanpa menggunakan formalin. [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, FAPERTA. IPB. Izza F. 2005. Pengembangan produk serpihan telur kering sebagai bahan pelengkap pada mie instan. Bogor: Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA. IPB. Karta I. 2006. Tepung beras, kenapa oh kenapa. http://irvankarta. bogspot. com/ 2006/03/tepung-beras-kenapa-oh-kenapa.html. [4 Januari 2008] Ketaren S. 1986. Peran Lemak Dalam Bahan Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Manihuruk V. 2006. Ikan, Protein Penuh Khasiat. http://www.pikiranrakyat.co.id/cetak/2006/092006/23/1001.htm. [7 April 2007]. Marabi A, Saguy IS. 2004. Effect of porosity on rehydration of dry particulate. Journal of The Science of Food an Agriculture. 84(10):1105-1110. Mardiyanti M. 2005. Substitusi Tepung Ikan dengan Bungkil Kedelai dalam Ransum yang Mengandung Ampas Teh (Camelia sinensis) terhadap Performan Domba Lokal Jantan. [skripsi]. Bogor: Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Marliyati SA. 2007. Boleh kok, si kecil diberi makanan instan. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg05956.html. [3 Desember 2007] Moore JG. 1995. Drum Drier. Dalam. Mujundar AS (Ed). Industrial Drying. New York: Marcell Dekker.
Handbook of
Packard VS. 1982. Human Milk and Infant Formula. New York: Academic Press.
Pauziah R. 2002. Daya Terima Konsumen dan Sifat Fisiko-Kimia Bakso Daging Sapi pada Tiga Tingkat Suhu Pengeringan Beku. [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Perdana D. 2003. Dampak Penerapan ISO 9001 terhadap Peningkatan mutu Berkesinambungan pada Proses Produksi Bubur Bayi Instan di PT Gizindo Prima Nusantara. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Potter N. 1980. Food Science. Westport: The AVI Publishing Company Inc. Prihantoro S. 2003. Pengembangan Produk Nugget Berbasis Sayuran dengan Bahan Pengikat Tepung Beras sebagai Pangan Fungsional. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Richardson. 1846. [21 April 2007]
http://www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php.
Riyanto I. 2006. Analisis kadar daya cerna dan karakterisitik protein daging ayam kampung dan hasil olahannya. Bogor: Teknologi Hasil Ternak. FAPET. IPB. Rosdiana I. 2005. Mempelajari Pengaruh Pencucian Daging dan Penambahan Minyak Nabati terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Pasta Daging Domba. [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi dan Teknologi Perternakan. Fakultas Peternakan. IPB. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Vol I dan II. Bandung: Binacipta. 508 hal. Samsudin. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Tumbuh Kembang dan Anak. Dalam. FG Winarno, NL Puspitasari, F Kusnandar (eds). WKNPG Khasiat Tradisional (hal 29-41). Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI. SNI 01-3842-1995. Nasional.
Persyaratan Mutu Makanan Bayi.
Dewan Standardisasi
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bahatara Karya Aksara. Soenaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA. IPB. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. University Press.
Yogyakarta: Gajah Mada
Sugiyono. 2000. Operasional Pengadaan MP-ASI Lokal Melalui Pemberdayaan Agroindustri Kecil dalam Rangka Peningkatan Status Gizi Baduta Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sugiyono, Soekarto ST, Hariyadi P. Kajian optimasi teknologi pengolahan beras jagun instan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 15(2):119-128. Sukarni, Kustiyah ML, A Sulaiman. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: FAPERTA. IPB. Tambuan AH, Manalu LP. 2000. Mekanisme pengeringan beku produk pertanian. Jurnal Sain dan Teknologi Indonesia. 2(3): 66-74.
Toledo RT. 1991. Fundamental of Food Processing Engineering. New York: Chapman and Hall. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Widya Karya Pangan dan Gizi. 1998. risalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Wirakartakusumah MA, Hermanianto D, Andarwulan N. 1989. Bahan Pengajaran: Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Iinstitut Pertanian Bogor. Yoanasari QT. 2003. Pembuatan bubur bayi instan dari pati garut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yudistira. 1999. Analisis Karakteristik Pengeringan Beku dan Menentukan Nilai Sifat Transpor Pasta Jahe (Zingeber officinale. Rosc.) Kering Beku. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data mentah uji organoleptik Tabel 1a. data mentah organoleptik warna Promina 6 6 6 6 7 6 6 7 5 6 7 6 6 6 6
F1 6 6 7 3 7 6 4 7 5 7 7 6 5 6 6
F1 6 6 7 5 5 5 5 7 5 7 5 5 6 6 6
F1 7 6 7 5 6 4 5 7 5 7 6 5 6 6 6
F2 5 3 4 2 3 5 6 5 6 4 5 5 6 5 6
F2 5 5 5 3 3 4 6 5 5 4 6 5 6 5 5
F2 4 5 6 2 4 5 6 6 6 6 5 4 6 5 5
F3 6 6 7 6 5 6 6 7 4 7 6 6 6 6 6
F3 6 6 7 7 5 5 6 7 4 7 6 6 6 6 6
F3 5 6 6 6 5 5 5 7 5 7 7 6 6 6 6
F4 5 5 5 5 3 5 6 6 5 5 7 6 6 5 5
F4 5 4 4 3 2 5 6 6 6 6 6 5 6 5 5
F4 5 4 5 3 4 5 6 6 6 5 6 5 6 5 5
F3 5 5 6 2 4 5 5 6 4 5 6 5 4 5 5
F4 6 5 7 5 4 5 5 6 4 4 6 5 4 5 5
F4 6 6 7 6 3 5 6 5 4 4 5 6 4 5 5
F4 5 6 6 4 5 5 6 5 4 4 5 4 4 5 5
Tabel 1b. data mentah organoleptik aroma Promina 7 6 6 6 6 6 6 7 7 6 7 5 5 6 6
F1 5 6 6 2 6 4 4 6 4 4 6 5 4 5 5
F1 7 6 5 4 6 5 5 6 5 5 4 3 5 5 6
F1 6 5 6 5 6 6 5 6 4 5 4 4 4 5 5
F2 6 6 6 5 5 5 5 6 5 5 6 5 4 5 5
F2 6 6 6 5 4 4 6 6 5 4 5 6 5 5 5
F2 5 6 7 5 5 4 6 6 5 5 3 4 4 5 5
F3 3 5 6 2 3 6 6 6 4 4 4 4 4 4 5
F3 7 6 6 3 3 5 6 6 4 7 3 5 4 5 5
Tabel 1c. data mentah organoleptik rasa Promina 7 6 7 6 6 6 7 7 3 6 7 4 4 6 6
F1 5 6 6 2 5 4 3 6 5 4 6 5 4 5 6
F1 6 6 5 4 4 4 5 6 6 4 6 3 3 5 5
F1 6 6 6 5 5 4 3 6 6 4 6 4 4 5 5
F2 5 6 7 5 6 2 6 6 4 4 3 6 4 5 5
F2 4 5 6 5 5 4 7 6 4 4 6 5 5 5 5
F2 4 5 4 6 6 2 5 6 5 4 6 5 5 5 5
F3 5 6 4 3 5 3 6 6 6 4 6 4 3 5 5
F3 6 6 5 3 5 2 5 6 5 7 4 6 3 5 5
F3 5 6 5 3 5 4 4 6 5 4 6 3 4 5 5
F4 6 6 6 4 6 2 6 6 5 5 4 3 5 5 5
F4 6 6 6 6 3 3 6 6 4 4 7 5 4 5 5
F4 6 6 7 5 5 2 6 6 5 6 6 4 5 5 5
F3 6 6 7 6 5 5 5 6 6 6 5 5 6 6 6
F4 6 6 7 6 4 5 5 6 5 5 5 5 6 6 6
F4 6 6 6 6 3 5 5 6 5 5 5 4 7 5 5
F4 6 6 6 6 4 4 5 6 5 6 5 5 7 6 6
Tabel 1d. Data mentah organoleptik tekstur Promina 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6 7 4 6 6 6
F1 6 6 7 6 5 4 4 6 6 6 6 5 6 6 6
F1 7 6 5 6 5 5 4 6 5 6 5 4 6 5 5
F1 6 6 6 6 5 4 5 6 6 6 5 4 6 6 6
F2 6 6 6 6 5 4 6 6 5 5 4 5 6 5 5
F2 7 6 5 6 5 4 6 6 5 5 5 5 7 6 6
F2 5 5 6 6 5 5 6 6 5 6 5 5 6 6 6
F3 6 6 7 6 5 5 6 6 5 6 5 4 6 6 6
F3 6 6 6 6 4 4 6 6 5 7 5 5 6 6 6
Keterangan: F1 = Bubur bayi dengan penambahan tepung ikan tenggiri pengering beku F2 = Bubur bayi dengan penambahan tepung ikan tenggiri pengering drum F3 = Bubur bayi dengan penambahan tepung ikan swangi pengering beku F4 = Bubur bayi dengan penambahan tepung ikan swangi pengering drum
Lampiran 2. Uji statistik organoleptik Tabel 2a. Uji Kruskal-Wallis Ranks warna
aroma
Perlakuan N Mean Rank perlakuan N Mean Rank F1 rasa F1 45 108.82 88.08 45 F2 F2 45 63.17 90.91 45 F3 F3 45 45 116.59 83.14 F4 F4 45 73.42 99.87 45 Total Total 180 180 F1 tekstur F1 45 91.92 90.62 45 F2 F2 45 98.87 86.36 45 F3 F3 45 45 80.71 99.40 F4 F4 45 90.50 85.62 45 Total Total 180 180
Test Statistics(a,b) Chi-Square
warna 37.867
aroma 3.082
rasa 2.665
tekstur 2.417
3
3
3
3
.379
.446
.490
df Asymp. Sig.
.000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: perlakuan
Tabel 2b. Uji lanjut multiple comparisson Dependent Variable: warna Tukey HSD
(I) perlakuan
(J) perlakuan
F1
F2 F3 F4 F1 F3 F4 F1 F2 F4 F1 F2 F3
F2
F3
F4
Mean Difference (I-J)
1.000(*) -.133 .733(*) -1.000(*) -1.133(*) -.267 .133 1.133(*) .867(*) -.733(*) .267 -.867(*)
* The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error
.203 .203 .203 .203 .203 .203 .203 .203 .203 .203 .203 .203
Sig.
.000 .913 .002 .000 .000 .554 .913 .000 .000 .002 .554 .000
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound .47 1.53 -.66 .39 .21 1.26 -1.53 -.47 -1.66 -.61 -.79 .26 -.39 .66 .61 1.66 .34 1.39 -1.26 -.21 -.26 .79 -1.39 -.34
Lampiran 3. Data uji kadar air bubur bayi instan Tabel 3a. Data kadar air bubur bayi F1 Penepatan duplo
Berat cawan (g) Berat cawan + contoh (g) Berat contoh (g)/ W1 Berat cawan + contoh kering (g) Berat contoh kering (g)/ W2 Kadar air (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
1 2,4156 4,21725
2 1 2 1 2 3,2598 2,7033 2,7730 4,1030 3,2292 5,2899 4,7103 4,7919 5,2242 4.3230
2,0569 4,3720
2,0301 2,0065 1,0189 1,1212 1,0938 5,1694 4,5865 4,7153 5,1589 4,2542
1,9564
1,9096 1,8832 0,9423 1,0559 1,0250
4,8860
5,9357 6,145
7,5179 5,8241 6,2900
Tabel 3b. Data kadar air bubur bayi F2 Penepatan duplo
Ulangan 1
1 Berat cawan (g) 3,2510 Berat cawan + contoh 5,2836 (g) Berat contoh (g)/ W1 2,0326 Berat cawan + contoh 5,1901 kering (g) Berat contoh kering (g)/ 1,9391 W2 Kadar air (%) 4,6002
Ulangan 2
Ulangan 3
2 1 2 1 2 2,6461 2,7426 2,5241 2,4731 3,2583 4,6493 4,7577 4,5428 3,5047 4,2759 2,0032 2,0151 2,0187 1,0316 1,0176 4,5651 4,6759 4,4627 3,4634 4,2313 1,9190 1,9333 1,9836 0,9903 0,9790 4,2033 4,0594 3,9679 4,0035 3,7932
Tabel 3c. Data kadar air bubur bayi F3 Penepatan duplo
Ulangan 1
1 Berat cawan (g) 3,2538 Berat cawan + contoh 5,2936 (g) Berat contoh (g)/ W1 2,0398 Berat cawan + contoh 5,2057 kering (g) Berat contoh kering 1,9719 (g)/ W2 Kadar air (%) 5,1606
Ulangan 2
Ulangan 3
2 2,7039 4,7707
1 2 1 2 3,3633 3,0170 2,8047 3,1609 5,4448 5,1582 3,8256 4,1924
2,0398 4,6348
2,0815 2,0872 1,0209 1,0315 5,3239 5,0955 3,7556 4,1173
1,9039
1,9606 1,9745 0,9509 0,9564
6,06624 5,8083 5,3996 6,8567 7,2807
Tabel 3d. Data kadar air bubur bayi F4 Penepatan duplo
Berat cawan (g) Berat cawan + contoh (g) Berat contoh (g)/ W1 Berat cawan + contoh kering (g) Berat contoh kering (g)/ W2 Kadar air (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
1 2,8160 4,8646
2 1 2 1 2 5,1114 2,7959 2,6859 2,8631 4,0981 7,1361 4,8196 4,7620 3,8970 5,1860
2,0486 4,7767
2,0247 2,0237 2,0761 1,0339 1,0879 7,0448 4,7305 4,6738 3,855 5,1413
1,9607
1,9334 1,9346 1,9879 0,9928 1,0432
4,2907
4,5093 4,4028 4,2484 3,9752 4,0188
kadar air = [(W2-W1)/ W1] X 100%
Lampiran 4. Data uji kelarutan bubur bayi instant Tabel 4a. Data kelarutan bubur bayi F1 Penepatan duplo
Berat sampel awal (g)/ A Berat cawan (g)/ B Berat sampel 2 (g)/ C Berat cawan + padatan (g)/ D Kelarutan (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 2
1 2,0307
1 2,0009
1 2,0058
2 2,0307
2 2,0009
3 2,0058
21,8749 23,6321 23,7821 17,2511 21,6317 15,1770 5,0494 5,0478 5,0811 5,0921 5,0060 5,0794 21,9137 23,6699 23,8179 17,2858 21,6650 15,2147 38,21
37,23
35,78
34,68
33,20
37,59
Tabel 4b. Data kelarutan bubur bayi F2 Ulangan 1
Penepatan duplo
Berat sampel awal (g)/ A Berat cawan (g)/ B Berat sampel 2 (g)/ C Berat cawan + padatan (g)/ D Kelarutan (%)
Ulangan 2
1 2 1 2,0680 2,0680 2,0365
2 2,0365
Ulangan 3 1 2 2,0085 2,0085
5,5287 6,6499 20,3855 18,9229 3,1682 5,0855 5,0386 5,0474 5,0902 5,0220 5,447 5,0397 5,5662 6,6888 20,3769 18,9614 3,2065 5,1244 36,27
37,6
37,71
37,81
38,14
38.74
Tabel 4c. Data kelarutan bubur bayi F3 Penepatan duplo
Berat sampel awal (g)/ A Berat cawan (g)/ B Berat sampel 2 (g)/ C Berat cawan + padatan (g)/ D Kelarutan (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
1 2,0319
1 2,0019
1 2,0052
2 2,0319
2 2,0019
2 2,0552
22,2083 20,0144 19,6884 24,2012 20,2773 3,1627 5,0173 5,0678 5,0590 5,0830 5,0245 5,0998 22,2414 20,0506 19,7250 24,2393 20,3186 3,2088 32,58
35,63
36,57
38,06
41,19
45,98
Tabel 4d. Data kelarutan bubur bayi F4 Penepatan duplo
Berat sampel awal (g)/ A Berat cawan (g)/ B Berat sampel 2 (g)/ C Berat cawan + padatan (g)/ D Kelarutan (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
1 2,0386 23,4602 5,0241 23,4976
2 2,0386 3,1683 5,1047 3,2322
1 2,0701 3,1930 5,0223 3,2028
2 2,0701 2,9306 5,0774 2,9703
1 2,0138 4,5292 5,0301 4,5662
2 2,0138 3,7487 5,0079 3,7844
36,69
62,69
14,88
38,36
36,75
35,46
Kelarutan = 20 x (D-B) x 100% A
Lampiran 5. Uji seduh bubur bayi instan (per 100 g bahan) Tabel. Uji seduh sampel F1 (ml) F2 (ml) F3 (ml) F4 (ml)
ulangan 1 17 23 16.5 22.5
ulangan 2 16.5 21.5 17 22
ulangan 3 17 21.5 16.5 22
ratarata 16.83 22.00 16.67 22.17
Lampiran 6. Waktu penyajian bubur bayi instan Tabel. Waktu penyajian sampel F1 (dtk) F2 (dtk) F3 (dtk) F4 (dtk)
ulangan 1 61 57 64.8 54
ulangan 2 62 56.2 63.2 56.6
ulangan 3 61.2 56.4 60.2 57
ratarata 61.40 56.53 62.73 55.87
Lampiran 7. Densitas kamba bubur bayi instan Tabel. Densitas kamba Sampel F1 (g) F2 (g) F3 (g) F4 (g)
Ulangan 1 1 2 45.00 43.00 41.50 40.00 43.00 41.00 41.80 41.00
Ulangan 2 1 2 46.00 44.00 44.00 42.00 44.00 45.00 43.00 41.00
Densitas kamba = berat sampel/ 100 ml
Ulangan 3 1 2 44.00 42.00 43.00 41.00 41.00 41.00 41.00 42.00
Lampiran 8. Analisis sidik ragam uji sifat fisik Tabel 8a. Analisis sidik ragam kadar air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: d.kamba Source Corrected Model
Type III Sum of Squares .001(a)
3
Mean Square .000
2.176
1
2.176
13056.050
.000
ALAT
.001
1
.001
4.050
.079
TEPUNG
.000
1
.000
1.250
.296
7.500E-05
1
7.500E-05
.450
.521
.000
.852
Sig. .504
Intercept
ALAT * TEPUNG
df
Error
.001
8
Total
2.178
12
F 1.917
Sig. .205
Corrected Total
.002 11 a R Squared = .418 (Adjusted R Squared = .200)
Tabel 8b. Analisis sidik ragam kelarutan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kelarutan Source Corrected Model Intercept ALAT TEPUNG ALAT * TEPUNG
Type III Sum of Squares 5.011(a)
df 3
Mean Square 1.670
16235.428
1
16235.428
8280.178
.000
4.332
1
4.332
2.209
.175
.211
1
.211
.107
.751
.239
.638
.468
1
.468
Error
15.686
8
1.961
Total
16256.125
12
F
Corrected Total
20.697 11 a R Squared = .242 (Adjusted R Squared = -.042)
Tabel 8c. Analisis sidik ragam densitas kamba Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: d.kamba Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares .001(a)
df 3
Mean Square .000
F 1.917
Sig. .205
2.176
1
2.176
13056.050
.000
ALAT
.001
1
.001
4.050
.079
TEPUNG
.000
1
.000
1.250
.296
7.500E-05
1
7.500E-05
.450
.521
.001
8
.000
2.178 .002
12 11
ALAT * TEPUNG Error Total Corrected Total
a R Squared = .418 (Adjusted R Squared = .200)
Tabel 8d. Analisis sidik ragam uji seduh Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: jumlah air Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 341.667(a)
3
Mean Square 113.889
18096.333
1
18096.333
18096.333
.000
341.333
1
341.333
341.333
.000
tepung
.000
1
.000
.000
1.000
alat * tepung
.333
1
.333
.333
.580
8.000
8
1.000
18446.000 349.667
12 11
F 16.602
Sig. .001
Intercept alat
Error Total Corrected Total
df
F 113.889
Sig. .000
a R Squared = .977 (Adjusted R Squared = .969)
Tabel 8e. Analisis sidik ragam waktu penyajian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: jumlah waktu Source Corrected Model Intercept alat tepung alat * tepung Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 106.587(a)
df 3
Mean Square 35.529
41961.013
1
41961.013
19607.950
.000
103.253
1
103.253
48.249
.000
.333
1
.333
.156
.703
3.000
1
3.000
1.402
.270
17.120 42084.720
8 12
2.140
123.707 11 a R Squared = .862 (Adjusted R Squared = .810)
Lampiran 9. Data analisis proksimat bubur bayi terpilih Tabel 9a. Data analisis kadar air bubur bayi terpilih
Ulangan 1 Ulangan 2
Berat cawan (g) 6,6316 2,5553 2,6047 2,4600
Berat cawan + contoh (g) 11,6424 7,6114 7,6835 7,5341
Berat contoh (g) 5,0108 5,0561 5,0788 5,0741
Berat contoh kering (g) 4,7369 4,7758 4,8058 4,8015
Kadar air (%) 5,61 5,54 5,38 5,38
Berat cawan + abu (g) 18,8732 23,7038 16,4190 19,1578
Kadar abu (%) 5,09 4,99 5,01 5,00
Tabel 9b. Data analisis kadar abu bubur bayi terpilih
Ulangan 1 Ulangan 2
Berat cawan (g) 18,6143 23,4536 16,1666 18,9078
Berat cawan + contoh (g) 23,7048 28,4595 21,3083 23,9097
Berat contoh (g) 5,0905 5,0059 5,0417 5,0019
Tabel 9c. Data analisis kadar protein bubur bayi terpilih
Ulangan 1 Ulangan 2
Berat contoh (g) 0.1218 0.1255 0,1267 0,1140
Ml HCl 0.0244N Blanko Contoh 0 13.2 0 13.3 0 13,8 0 12,6
Protein (%) 23.15 22.64 23,27 23,61
Tabel 9d. Data analisis kadar lemak bubur bayi terpilih Berat labu Berat (g) contoh (g) Ulangan 1 Ulangan 2
107,1724 107,1560 106,3553 107,1108
5,0741 5,0513 5,0785 5,0241
Berat labu + lemak (g) 107,4936 107,4005 106,7845 107,4421
Berat lemak (g)
Kadar lemak (%)
0,3212 0,2445 0,4292 0,3313
6,33 4,84 8,45 6,59
Lampiran 10. Data analisis daya cerna protein bubur bayi terpilih Tabel. Data analisis daya cerna protein Berat sampel (g)
Ulangan 1 Ulangan 2
0,2105 0,2578 0,2699 0,2682
Titrasi HCl 0,0210 73371 N 3,05 3,5 2,5 3,9
Protein sisa (%)
Kadar protein (%)
2,58 2,43 2,6 2,61
24,65 24,26 24,80 24,87
Daya cerna protein (%) 89,53 89,98 89,52 89,50
Daya cerna protein = [(kadar protein – protein sisa)/ kadar protein] x 100 %