Penggunaan Fuzzy Cognitive Mapping Dalam Konstruksi Analisis Sosial Hokky Situngkir (
[email protected]) Bandung Fe Institute
Abstrak Makalah ini membedah teknik pemodelan berdasarkan logika dan himpunan fuzzy, secara khusus, Fuzzy Cognitive Mapping (FCM). Dalam hal ini dibedah berbagai teknik pemodelan dengan menggunakan FCM dalam menelaah dinamika sistem sosial secara spesifik. Makalah berusaha mempertemukan pemodelan sistem dinamik dengan teknik FCM dengan upaya untuk memperoleh berbagai hal yang berkenaan dengan kelebihan yang dimiliki oleh FCM dibanding berbagai model dinamik yang lazim, misalnya persamaan diferensial. Di bagian akhir dibahas pula beberapa hal yang menjadi kelemahan model ini serta beberapa riset metodologis lebih jauh yang mungkin dapat memperkuat posisinya sebagai salah satu model terbaik perkembangan ilmu kompleksitas sosial. Kata Kunci:
Ada sebuah anekdot satir dari kalangan matematikawan terhadap kalangan ilmu sosial: Jika terdapat 6 orang ilmuwan sosial berkumpul dan berdiskusi dalam satu ruangan untuk merumuskan solusi bagi satu masalah spesifik, maka setelah beberapa jam berdiskusi, mereka akan keluar dari ruangan tersebut dengan menghasilkan 7 solusi yang berbeda-beda… 1. Latar Belakang Di Indonesia, ada kecenderungan ilmu sosial merupakan ilmu hafalan yang diskusi di dalamnya diwarnai dengan perdebatan yang seringkali menggunakan berbagai terminologi yang “memikat” dan cenderung ke perdebatan asumsi dasar. Di sisi lain, permasalahan sosial terkadang perlu mendapatkan alternatif solusi dalam waktu yang
singkat yang artinya adalah perumusan masalah dengan segera pula. Axelrod (1976) menunjukkan bagaimana keputusan politik dibuat dengan skema struktur keputusan politik dalam bentuk peta kognitif (cognitive maps). Peta kognitif adalah sebuah skema yang menggambarkan interaksi antar faktor-faktor yang diperhitungkan dalam membedah sebuah permasalahan sosial. Hal ini dilakukan dengan menggambarkan relasi-relasi antara berbagai variabel sistem sosial yang diyakini memiliki kaitan dengan permasalahan yang hendak dibedah. Landasannya tentunya adalah keahlian (expertise) dari peneliti atas permasalahan yang bersangkutan. Psikolog
kenamaan,
Tony
Buzan
(1984)
semenjak
tahun
1970-an
mengkampanyekan penggunaan peta pikiran (mind-map) dalam menggambarkan dan mengkomunikasikan cara berfikir secara terstruktur1. Dalam peta pikiran a la Buzan, kita menggambarkan berbagai hal yang kita anggap berkenaan dengan sistem yang kita dekati dalam gambar-gambar, warna-warna, dan kata-kata garis besar (highlited words) yang kita anggap penting. Hal ini dianggap dapat memudahkan proses pengajaran dalam pendidikan atau mengkomunikasikan sesuatu hal peda orang lain. Namun tentu saja, kegunaan dari peta pikiran ini lebih kepada antar muka (interface) antara masyarakat terdidik. Peta pikiran semacam ini tentu dapat dianggap sebagai bentuk primer dari peta kognitif. Peta kognitif yang dimaksud di sini adalah abstraksi permasalahan yang ditemui oleh pengamat (observer) yang kemudian dapat digambarkan dalam model peta diagram kausal (causal loop diagram). Dari sini kita dapat mendefinisikan: Definisi 1: Peta diagram kausal adalah skema graf berarah yang menggambarkan hubungan/relasi sebab-akibat antara variabel-variabel permasalahan yang diamati berdasarkan keyakinan dari pengamat. Dalam konstruksi diagram kausal ini, kita dituntut untuk tidak memandang sistem yang hendak diamati sebagai sistem yang statik. Karena A maka terjadilah B, merupakan sebuah proposisi yang melihat dinamika sistem. Itulah sebabnya pemodelan sistem dinamik, khususnya dalam sistem sosial menggunakan diagram kausal sebagai landasan meta-teorinya.
1
Bentuk-bentuk mengkomunikasikan pikiran melalui peta-pikiran a la Buzan dapat diakses di: http://www.mind-map.com/ dan secara teknis di: http://www.aston.ac.uk/welfareservices/studyskills/mmappingeg.htm
Halaman 2 dari 11 halaman
Pemodelan sistem dinamik secara komputasional saat ini tengah berkembang dengan sangat pesat, bahkan di beberapa negara maju telah diterapkan pada siswa-siswi sekolah dasar agar mereka terbiasa dengan pemikiran konstruktif yang terstruktur2. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa diagram kausal dan sistem dinamik memberikan kesempatan reasoning yang lebih baik dengan dimungkinkannya dilakukan berbagai simulasi atas model yang kita implementasikan sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimiliki. Simulasi sistem dinamik dengan sistem diagram kausal mendasarkan diri pada persamaan diferensial dan keketatan logika tradisional antara yang benar dan salah. Yang ingin kita ketengahkan dalam makalah ini adalah bentuk lebih jauh, yakni bentukbentuk diagram kausal yang titik-titiknya disusun dengan elemen-elemen logika fuzzy, yakni logika yang tidak bersandar pada absolutisme “benar” dan “salah” dengan menggunakan konsep “agak benar” atau “agak salah”. Peta kognitif fuzzy ini dikenalkan oleh guru logika fuzzy, Bart Kosko (1986), sebagai perpaduan antara logika fuzzy dan model jaring saraf3.
Gambar 1 Tahapan-tahapan dari peta kognitif hingga simulasi dinamika sistem fuzzy
Dalam hal ini, kita dapat mendefinisikan peta kognitif fuzzy (fuzzy cognitive mapping) sebagai: Definisi 2. Peta Kognitif fuzzy (FCM) adalah graf berarah dengan konsep-konsep kualitas yang disusun sebagai anggota himpunan fuzzy berupa keputusan, kejadian dan sebagainya yang digambarkan sebagai titik dan sifat kausal yang menggambarkan keterhubungan antar konsep tersebut sebagai sisi.
2
Hal ini dilakukan dengan proyek pengadaaan program sistem dinamik berbasis simulasi komputer yang diprakarsai pakar sibernetisi Jay Forrester (1961). Proyek ini yang digunakan untuk menerangkan berbagai hal mulai dari plot cerita Hamlet hingga analisis fisika dan biologi sederhana dengan software berhak cipta (copyrighted) STELLA dan i-THINK. Proyek-proyek ini dapat dilihat di: http://www3.hps-inc.com. Program serupa namun memiliki antar muka ke sistem komputasi dan pemrograman adalah proyek perangkat simulasi sistem dinamik DYNAMO. Proyek yang diprakarsai oleh Mathias Trabandt ini dapat diakses di: http://www.wiwi.huberlin.de/wpol/html/toolkit/dynamo.html 3
Untuk pengantar lebih lanjut tentang model jaring saraf (neural network), lihat Situngkir & Surya (2003). Halaman 3 dari 11 halaman
Aspek-aspek dan contoh atas definisi dari FCM ini akan kita bahas dalam bagian berikutmya. 2. Aspek-aspek Fuzzy Cognitive Mapping (FCM) Sebagai contoh, kita akan mengkonstruksi sebuah model dengan hubungan sebab-akibat sebagai berikut: Æ Karena A maka terjadi B Æ Karena B maka terjadi C dan D Æ Karena C maka terjadi D Æ Karena D maka terjadi A Hal ini digambarkan dalam gambar 2.
Gambar 2 Contoh diagram berarah dari pemetaan kognitif
Hubungan kausal antara tiap titik dalam FCM (A dan B, dst.) dapat berhubungan lurus (biasanya diberi tanda “+1” atau “+” saja. Artinya jika kualitas dari konsep A membesar maka kualitas konsep B juga membesar, sebaliknya jika kualitas konsep A mengecil maka kualitas konsep B juga mengecil. Di sisi lain, hubungan kausal ini pun dapat berkebalikan, biasanya diberi tanda “-1” atau “-“ saja. Dalam hal ini, jika kualitas konsep A membesar maka kualitas B mengecil dan sebaliknya. Hubungan antara titik-titik dalam FCM yang tidak diberi garis tepi (keterhubungan) dikatakan sebagai tidak memiliki hubungan sebab-akibat secara langsung. Keterhubungan ini biasanya diberikan tanda “0”. Namun tentu saja, keterhubugan antara dua konsep dalam FCM tidak melulu {-1,0,1}.
Halaman 4 dari 11 halaman
Keterhubungan tersebut pada dasarnya dapat berupa anggota bilangan riil antara 0 dan 1 dan lawannya. Definisi 3. FCM dengan hubungan kausalitasnya ditentukan sebagai anggota himpunan {-1,0,1}disebut sebagai FCM sederhana. Definisi 4. Dalam FCM sederhana, dua titik Ci dan Cj yang dihubungkan memiliki tiga kemungkinan bobot tepi (eij), yaitu: eij>0, artinya kedua konsep memiliki kausalitas positif (berhubungan lurus) – membesarnya dan mengecilnya nilai kualitas Ci akan mengakibatkan membesarnya dan mengecilnya nilai kualitas Cj sekaligus. eij<0, artinya kedua konsep memiliki kausalitas negatif (berlawanan) – membesarnya dan mengecilnya nilai kualitas Ci akan mengakibatkan mengecilnya dan membesarnya nilai kualitas Cj sekaligus. eij=0, artinya kedua konsep tidak memiliki hubungan kausalitas langsung. Dalam contoh kita di atas, tiap titik digambarkan sebagai A, B, C, dan D. Keterhubungan (kausal) antara konsep-konsep ini pada dasarnya dapat kita ubah ke dalam matriks keterhubungan FCM yang kita definisikan sebagai: Definisi 5. Misalkan tiap titik dalam graf FCM kita simbolkan sebagai X1, X2, …Xn, dan keterhubungannya masing-masing diboboti oleh bobot tepi eij, maka matriks keterhubungan FCM, kita simbolkan M, didefinisikan sebagai M=(eij) di mana nilai eij adalah bobot kausal antara Ci dengan Cj. Dari sini kita dapati matriks keterhubungan FCM dari contoh di atas sebagai matriks dengan diagonalnya selalu bernilai “0” kareba diasumsikan tidak ada sebab sekaligus sebagai akibat bagi dirinya sendiri. ⎛0 ⎜ ⎜0 M= ⎜ 0 ⎜ ⎜−1 ⎝
1 0 0 0
0 0⎞ ⎟ 1 1⎟ 0 − 1⎟ ⎟ 0 0 ⎟⎠
Lebih jauh, tiap titik yang mewakili konsep tertentu direpresentasikan pula dengan vektor keadaan C yang menunjukkan nilai tiap konsep (dari sejumlah n konsep) dan matriks tepi di atas, yaitu M . Tiap nilai dari C dihitung sebagai4:
4
Persamaan ini serupa dengan persamaan updating nilai pada model jaring saraf (Situngkir & Surya, 2003). Halaman 5 dari 11 halaman
⎛ n ⎞ Ct +1 = f ⎜⎜ ∑ CtW ji ⎟⎟ ⎝ j =1, j ≠i ⎠
…(1)
Pada persamaan tersebut, nilai Wji adalah nilai bobot dari Cj ke Ci dan fungsi f adalah fungsi yang mentransformasikan hasil dari perkalian dalam interval [0,1] yang menjadi nilai dari tiap konsep. Persamaan ini dalam bentuk yang lebih umum dapat ditulis sebagai: Cbaru = Clama × F
…(2)
bahwa vektor matriks C adalah hasil perkalian dari nilai C yang lama dengan matriks tepi
F. Bagaimanakah teknis penggunaan praktis dari FCM ini dalam analisis sosial? Hal ini dilakukan dengan menggunakan bagan FCM dari beberapa ahli sekaligus yang menentukan keterhubungan dan nilai awal tiap titik dan bobot tepi berdasarkan pemahamannya. Secara praktis hal ini dapat dilakukan dalam bentuk poll yang ditujukan pada beberapa orang ahli masalah spesifik. Pada praktiknya tentu dapat terjadi beberapa orang ahli yang masing-masing memiliki kredibilitas yang berbeda-beda dan dengan FCM yang berbeda pula. Untuk ini dilakukan pembobotan kredibilitas (bernilai non-negatif), bk, sebelum menggabungkan beberapa matriks FCM yang berbeda-beda. FCM gabungan kemudian dapat dikonstruksi sebagai:
N
Fgabungan = ∑ bi • Fi
…(3)
i =1
di mana Fi adalah matriks FCM dari tiap ahli yang memiliki pembobotan bi tertentu untuk sejumlah N ahli yang membuat FCM. Inilah yang membuat teknik pemodelan FCM benar-benar baik untuk konstruksi pemodelan permasalahan sosial, tiap ahli berkesempatan berdasarkan kredibilitasnya membuat pemetaan kognitifnya untuk kemudian mengkonstruksikan gabungan pemikiran yang ada. Hasil dari penggabungan ini tentu akan dapat disimulasikan untuk melihat bagaimana deskripsi dari para ahli tersebut untuk kemudian dicari alternatif solusi dan kebijakan yang mungkin diambil.
Halaman 6 dari 11 halaman
3. Contoh kasus: peran moralitas dalam pemberantasan korupsi Dalam Kosko (1994:222-5) secara populer diterangkan beberapa contoh kasus penggunaan analisis FCM terhadap beberapa masalah yang ada. Pada makalah ini kita akan mencoba mengkaji sebuah permasalahan populer tentang keterkaitan tegaknya moralitas individual masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi, seringkali kita mendengar dalam perdebatan tentang permasalahan sosial yang mengetengahkan ungkapan seperti, “… semua berpaling kepada yang bersangkutan…” yang menekankan pentingnya penegakan moralitas (norma atau nilai kejujuran individual) sebagai upaya mewujudkan kejujuran teragregat sistem sosial. Pendapat ini dapat kita gambarkan dalam gambar 3. Asumsi Pertama: Meningkatnya jumlah mereka yang jujur oleh kampanye/himbauan penegakan moral sebagai kontraindikasi merebaknya kasus korupsi diharapkan akan menurunkan jumlah kasus korupsi.
Gambar 3 FCM dari pandangan mereka dengan asumsi pertama
Di sisi lain, ada pula anggapan bahwa upaya pemberantasan korupsi dengan mengandalkan kesadaran individual tidak akan memberikan hasil apapun malahan hal yang semakin memperparah keadaan. Asumsi Kedua: Meningkatnya kampanye kejujuran tanpa disertai dengan upaya hukum (law-enforcement) akan memperparah kondisi karena jumlah mereka yang menyalahgunakan jargon moralitas justru akan bertambah dan menimbulkan peluang terjadinya korupsi di
Halaman 7 dari 11 halaman
balik nilai-nilai moral individual tersebut. Asumsi ini dapat digambarkan sebagai FCM dalam gambar 4.
Gambar 4 FCM dari pandangan mereka dengan asumsi kedua
Untuk
masing-masing
graf
FCM
tersebut
dapat
kita
lihat
bahwa
matriks
keterhubungannya sebagai:
⎛0 ⎜ ⎜0 ⎜0 Mpertama = ⎜ ⎜−1 ⎜0 ⎜ ⎜0 ⎝
1 0 0 −1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0⎞ ⎟ 0⎟ 0⎟ ⎟ 0⎟ 0 ⎟⎟ 0 ⎟⎠
dan
⎛0 ⎜ ⎜0 ⎜0 Mkedua = ⎜ ⎜0 ⎜0 ⎜ ⎜1 ⎝
1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0⎞ ⎟ 0⎟ 1⎟ ⎟ 0⎟ 0 ⎟⎟ 0 ⎟⎠
Halaman 8 dari 11 halaman
Dari kedua pendapat ini, jika kita gabungkan maka kita akan mendapatkan gambaran FCM gabungan yang digambarkan gambar 5 dan hasil penjumlahan dari kedua matriks keterhubungan FCM sebagai:
⎛0 ⎜ ⎜0 ⎜0 Mgabungan = Mpertama + Mkedua = ⎜ ⎜−1 ⎜0 ⎜ ⎜1 ⎝
2 0 0 −1 0 0 0 0 0 1 0 0
0 0 1 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0⎞ ⎟ 0⎟ 1⎟ ⎟ 0⎟ 0 ⎟⎟ 0 ⎟⎠
Gambar 5 FCM hasil gabungan kedua asumsi.
Dalam hal ini kita menggunakan persamaan (3) dengan b=1 dengan asumsi bahwa kedua pembuat FCM tersebut memiliki kredibilitas yang sama. Hal yang menarik dari pemetaan ini adalah bahwa jika seandainya kita memasukkan sebuah matriks input sistem
I = (1 0 0 0 1 1) kedalam FCM gabungan kita tersebut maka kita akan memperoleh hasil akibat dari input tersebut dapat kita nyatakan sebagai hasil perkalian dari matriks I dan matriks keterhubungan FCM kita di atas, dan menghasilkan:
Halaman 9 dari 11 halaman
O = (1 2 1 0 0 0) yang memberikan pengertian bagi kita bahwa untuk sistem dengan keberadaan tindakan korupsi dan orang yang memanfaatkan jargon moralitas dan bahkan melakukan tindakan korupsi berkedok moralitas menunjukkan pola ekuilibrium sistem dengan tindakan korupsi yang dibarengi dengan penegakan moral namun juga terjadi dekadensi akan nilai moral tersebut. Lebih jauh jika kita masukkan sebuah sistem sosial yang di dalamnya tidak ada tindak korupsi namun teradapat penegakan moralitas namun sekaligus dirundung dekadensi nilai moral, dengan vektor:
I = (0 1 1 0 0 0) maka situasi ekuilibtrium yang diperoleh adalah
O = (0 0 − 1 1 1 1) yakni sebuah sistem di mana korupsi tetap tidak ada, dan adanya penyeimbangan antara upaya penguatan moralitas. Setidaknya, dari hasil ini, kita mendapatkan gambaran bahwa dari kedua pendapat dalam FCM ini menunjukkan bagaimana moralitas tidak berkenaan langsung dengan tindakan korupsi. Secara kualitatif hal ini bersesuaian dengan simulasi dinamika korupsi yang dilakukan pada Situngkir (2003). 4. Pengembangan lanjut & Catatan Simpulan Makalah menunjukkan bagaimana FCM memberi peluang untuk menjadi media komunikasi dalam konstruksi analitik permasalahan pada sistem sosial. Dalam hal ini FCM merupakan bentuk analisis sistem sosial yang diperuntukkan untuk melihat sistem sosial sebagai sebuah sistem dinamik dalam berbagai variabel sistem yang berbeda-beda. Jelas bahwa FCM merupakan perangkat analitik sistem kompleks dan dinamik secara topdown namun melihat bagaimana satu faktor berkenaan dengan faktor lain. Proses belajar konstruksi model FCM juga dapat dikategorikan sebagai sistem belajar (learning) dengan supervisi atau analisis dengan hal yang melibatkan perangkat keahlian (expertise) dari manusia untuk mendefinisikan persoalan yang dihadapi. Halaman 10 dari 11 halaman
Pengembangan lebih jauh dari analisis ini adalah penggunaan simulasi sistem dinamik yang dilakukan dengan perangkat-perangkat teknis dari himpunan fuzzy, salah satu upaya untuk melakukan ini secara spekulatif dapat dilihat pada Mohr (1997). Hal ini tentu akan terus senantiasa berkembang bergantung pada kompleksitas dari permasalahan yang hendak dibedah dengan menggunakan teknik FCM tersebut.
Pengakuan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rendra Suroso (Dept. Cognitive Science BFI) atas diskusi tentang pemetaan kognitif manusia pada saat penyusunan makalah ini. Kesalahan yang mungkin timbul adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. Referensi Axelrod, R. eds. (1976). Structure of Decision: The Cognitive Map of Political Elites. Princeton University Press. Buzan, T. (1984). Make the Best of Your Mind. Colt Books Ltd. Chaib-draa, B. & Desharnais, J. (1998). “A Relational Model of Cognitive Maps”. International Journal of Human-Computer Studies 49:181-200. Academic Press. Forrester, J. W. (1961). Industrial Dynamics. MIT Press. Kandasamy, W.B.V. & Smarandache, F. (2003). Fuzzy Cognitive Maps and Neutrosophic Cognitive Maps. Kosko, B. (1986). “Fuzzy Cognitive Maps”. International Journal of Man-Machine Studies 24:65-75. Kosko, Bart. (1994). Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic. Flamingo Mohr, S. T. (1997). Software Design For a Fuzzy Cognitive Map Modeling Tool. Master Project. Rensselaer Ploytechnic Institute. Situngkir, Hokky. (2003). “The Dynamics of Corruption in Indonesia: Artificial Society Approach”. Journal of Social Complexity 1(3):3-17. Pracetak: arxiv:nlin.AO/0403042 Situngkir, Hokky & Surya, Yohanes. (2003). Keuangan Komputasional: Jaring Saraf Buatan untuk Prediksi Data Deret Waktu Keuangan. Working Paper WPE2003. Bandung Fe Institute. Situngkir, Hokky & Siagian, Rio. (2003). NGOs and the Foreign Donations: The Possibilities of Fuzzy Corruption in the Fuzziness of Social Empoweement(?). Working Paper WPN2003. Bandung Fe Institute. Stylios, C.D. & Grumpos, P.P. (1998). “The Challenge of Modeling Supervisory Systems using Fuzzy Cognitive Mapping”. Journal of Intelligent Manufacturing 9:339-45. Kluwer Academic Publ. Tsadiras, A. K. & Margaritis, K. G. (1999). A New Balance Degree for Fuzzy Cognitive Maps. ERUDIT 1999. http://www.erudit.de/erudit/events/esit99/12594_p.pdf
Halaman 11 dari 11 halaman
PETUNJUK PENGGUNAAN DOKUMEN BFI 1. Tentang Dokumen Dokumen ini adalah hasil riset sebagai sikap umum dari Bandung Fe Institute (BFI). Dokumen ini telah melalui proses seleksi dan penjurian yang dilakukan oleh Board of Science BFI bersama dengan penulisnya dan beberapa narasumber terkait. Tanggung jawab terhadap kesalahan yang mungkin terdapat dalam isi dari masing-masing makalah berada di tangan penulisnya. Segala bentuk usulan perbaikan, tambahan analisis, maupun penerapan harus dilakukan dengan konsultasi dengan penulis bersangkutan melalui Kantor Administrasi BFI (alamat di bawah). 2. Tentang Ketersediaan & Penggunaan Dokumen • Dokumen ini disediakan secara gratis dalam bentuk kopi elektronis yang dapat diakses melalui alamat web: www.geocities.com/bandungfe. Siapapun yang berkeinginan untuk melihat dan memiliki kopi elektronis dari dokumen ini dapat memperolehnya secara gratis dengan men-download dari alamat tersebut. • Dokumen yang di-download dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. • Hard-Copy dari dokumen ini dapat diperoleh dengan permintaan tertulis kepada Kantor Administrasi BFI pada alamat di bawah. Hard-Copy dapat diperoleh dengan membayar uang pengganti cetak dokumen. Hard-Copy dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. • Segala kebijakan teknis, implementasi apapun yang dilakukan berdasarkan usulan teknis dari dokumen ini tanpa melalui koordinasi langsung di bawah arahan peneliti BFI yang bersangkutan dan tanpa melalui persetujuan dengan kantor administrasi BFI bukan merupakan tanggung jawab BFI sebagai institusi ataupun peneliti yang bersangkutan secara individual. Hak-hak intelektual BFI dan penelitinya dilindungi oleh undang-undang. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah bentuk pelanggaran hukum dan mendapat ancaman hukuman/sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Kantor Administrasi BFI dengan alamat: BANDUNG FE INSTITUTE Jl. Cemara 63 Bandung 40161 JAWA BARAT – INDONESIA URL: http://www.geocities.com/bandungfe Mail:
[email protected] Ph./Fax.: +62 22 2038628