PENGGUNAAN JALAN KAMPUNG SEBAGAI TEMPAT PELAKSANAAN HAJATAN (Studi Deskriptif tentang Konstruksi Sosial dalam Penggunaan Jalan Kampung) Oleh: Oktavia Yusvitarini (Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga)
SUMMARY The use of the village as a place of celebration is a phenomenon that occurs in the city of Surabaya. Given the way the village becomes the primary means for communities to provide facilities to conduct liaison with other areas, so it is interesting to study because this study aims to identify and explain the construction of the community if there is a neighbor who uses the village as a place of celebration. This involves the construction of tradition that is still carried out in the city of Surabaya and collide with the village road for public use. Peter Berger's theory of social construction into a theoretical framework in this study, through the process of externalization, objectivation and internalization. And then, results of this study we can conclude that the celebration held for the first, grateful for the favors of Allah to see anyway backgrounds of individuals in cultural, economic and religious. Second, the reality of a celebration held to preserve harmony and mutual support among fellow. Third, the reality associated sense of belonging and tolerance and hope to get the same treatment from others is used as a latent function of the execution of a celebration held in the village.
1
RINGKASAN Penggunaan jalan kampung sebagai tempat pelaksanaan hajatan merupakan fenomena yang terjadi di Kota Surabaya. Mengingat jalan kampung menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk memberi fasilitas dalam melakukan perhubungan dengan daerah lain, sehingga menarik untuk diteliti karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konstruksi masyarakat jika terdapat tetangga yang menggunakan jalan perkampungan sebagai tempat pelaksanaan hajatan. Konstruksi ini menyangkut tradisi masyarakat yang masih dilaksanakan di Kota Surabaya serta berbenturan dengan pemanfaatan jalan kampung untuk masyarakat. Teori konstruksi sosial Peter Berger menjadi kerangka teoritis dalam penelitian ini, melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Serta, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hajatan dilaksanakan untuk pertama, mensyukuri nikmat Allah SWT dengan melihat pula latarbelakang individu pada aspek budaya, ekonomi dan agama. Kedua, realita hajatan dilaksanakan untuk melanggengkan kerukunan serta saling membantu antar sesama. Ketiga, realita terkait rasa saling memiliki dan bertoleransi serta berharap mendapatkan perlakuan yang sama dari orang lain ini dijadikan sebagai fungsi latent dari pelaksanaan hajatan yang dilaksanakan di jalan kampung. A. Latar Belakang Jalan kampung merupakan sarana penghubung masyarakat yang paling utama untuk memberi fasilitas kepada masyarakat dalam melakukan kegiatan perhubungan dengan daerah lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan, sosial, agama, kesehatan maupun kebutuhan tersier seperti rekreasi. Hajatan ialah salah satu kegiatan masyarakat dalam rangka melakukan serangkaian bentuk tradisi yang telah menjadi identitas pokok individu bagi masyarakat setempat
2
untuk diterimanya individu dalam komunitasnya. Kegiatan hajatan masyarakat kampung pinggiran biasanya dilaksanakan di jalan kampung pada bulan-bulan tertentu. Dari data tahun 2001, kontribusi yang cukup signifikan membangun perekonomian Kota Surabaya yaitu sektor industri pengolahan (34,29%), kemudian diikuti oleh sector perdagangan, hotel dan restoran (32,47%), sektor bangunan (9,77%), sektor pengangkutan dan komunikasi (9,6%). Sedangkan sektor lainnya (13,87%) meliputi sektor pertambangan, pertanian, jasa-jasa, listrik, dan gas rata-rata 2-3%. (www.surabaya.go.id) Data penggunaan lahan di Surabaya pada tahun 2001, menunjukkan lahan untuk perumahan sebesar 13.711 Ha, 4.982 Ha untuk tambak dan 3.506 Ha untuk sawah, sedangkan untuk tanah kosong hanya 1.784 Ha. Ketimpangan penggunaan lahan ini menyebabkan semakin padatnya kuantitas penduduk sehingga terjadi ketimpangan antara jumlah penggunaan lahan sebagai perumahan dan lahan kosong ini konsekuensinya adalah terbatasnya ruang gerak untuk aktivitas masyarakat yang tinggal di berbagai kecamatan di Kota Surabaya akan sangat terbatas. Kemampuan membeli lahan pada masyarakat kampung sangat terbatas karena kondisi perekonomiannya dari kelas menengah ke bawah hingga kelas menengah. Lahan yang dimiliki masyarakat pedesaan sangat luas mampu menampung seluruh rangkaian kegiatan hajatannya, lahan kosong yang belum dibangun rumah serta tidak akan mengganggu perjalanan pengguna jalan lain, karena masyarakat desa jarang melakukan perhubungan dengan desa lain. Sedangkan, Kota Surabaya memiliki intensitas pengguna jalan yang padat karena perkampungan ialah salah satu akomodasi menuju ke pusat Kota Surabaya. Ketika terjadi penutupan jalan kampung oleh kegiatan hajatan biasanya terjadi kemacetan karena space menjadi berkurang akibat sebagian jalan ditutup untuk tempat pelaksanaan hajatan
3
dan penempatan peralatan hajatan hingga seringkali menggunakan jalan umum, sehingga harus ada izin dari RT dan RW dalam memberikan perizinan dan pelaksanaannya dibantu oleh aparat keamanan desa. Kerugian menggunakan jalan kampung dirasakan oleh tetangga dan masyarakat pengguna jalan tersebut. B. Fokus Permasalahan Penelitian ini melihat dari kenyataan bahwa mayoritas masyarakat kampung pinggiran Kota Surabaya menggunakan jalan kampung untuk melaksanakan hajatan mereka. Untuk itu, penelitian ini fokus pada "Bagaimanakah masyarakat Gununganyar mengkonstruksi tentang hajatan yang menggunakan jalan perkampungan?" akan menjelaskan tentang eksistensi masyarakat kampung pinggiran Kota Surabaya yang masih menggunakan jalan kampung sebagai tempat pelaksanaan hajatan. C. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi manfaat secara akademis untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi perkotaan. Secara khusus membantu mahasiswa dalam mengkritisi permasalahan penggunaan jalan perkampungan yang digunakan untuk tempat hajatan. Sehingga, dapat memberikan solusi terkait dengan permasalahan yang terjadi di perkotaan sesuai dengan bidang kajian Sosiologi. Serta, secara praktis penelitian ini ditujukan kepada masyarakat luas khususnya yang tinggal di perkotaan untuk lebih mengedepankan kontrol sosial agar dapat saling mengingatkan terkait dengan menegakkan hak masyarakat dalam menggunakan fasilitas jalan umum serta, dapat membuka wawasan masyarakat terkait aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah yakni menggunakan fasilitas jalan kampung untuk pelaksanaan hajatan yang dalam hal ini hajatan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Peneliti mampu memberikan saran terkait fokus permasalahan, sehingga besar kiranya masyarakat setempat mempertimbangkan. 4
D. Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger. Pemikiran Berger ini dapat dibagi ke dalam beberapa konsep dasar, diantaranya : Pertama, realitas kehidupan sehari-hari, kenyataan sosial dapat kita dapatkan secara langsung dalam kehidupan ini, kenyataan sosial terjadi secara alamiah artinya tidak ada serangkaian ide yang sengaja dibuat oleh seseorang karena memang individu sangat totalitas terhadap kehidupan yang dialaminya. Kesadaran akan kehidupan nyata ini membuat individu mendalami dan sulit mengabaikan realitas dalam kehidupannya. Individu tidak pernah mempertanyakan dari mana asal datangnya realitas yang dialaminya karena memang individu menerima dengan segala bentuk kewajaran. Kesadaran penuh ini individu tidak memerlukan pembuktian atas kehadiran kejadian yang membuatnya tertekan sekalipun. Individu melihat dari segi ruang dan waktu yang terdekat dari posisinya sekarang. Tidak akan ada pertanyaan tentang realitas yang jauh darinya, dengan datar individu tersebut merespon segala bentuk realitas. Meski individu merasakan respon yang datar terkait kenyataan hidupnya, tetap saja perjalanan hidup seorang individu tidak jarang mendapatkan kesukaran yang membuat individu mencari solusi atas masalah kenyataan yang menyangkut dirinya. Kedua, interaksi Sosial dalam kehidupan seharihari, hubungan individu dengan orang lain sangat mempengaruhi terbentuknya realitas kehidupan, pengalaman dengan sesamanya merupakan bagian-bagian penyusun dari konstruksi sosial pada diri seseorang. Kedua individu yang bertemu melakukan proses pertukaran menatap mimik wajah dan memperhatikan gerak-gerik tubuh (gesture) lawan bicaranya. Pertukaran subyektivitas antar keduanya jika dilakukan secara terus-menerus akan mempengaruhi kualitas interaksi antar keduanya. Maka, proses pertukaran subyektivitas yang pertama sudah berhasil menjadikan kedua individu semakin menguat. Interaksi ketiga, keempat dan seterusnya akan
5
lebih kuat jika hubungan antara keduanya merasakan sama-sama ingin mempertahankan pertukaran yang saling menguntungkan. Ketiga, bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, perlunya individu yang melakukan interaksi dengan orang lain yaitu untuk mendapatkan penafsiran yang tepat terkait seseorang. Maka, ketika seseorang melakukan interaksi dengan orang lain ada cara yang perlu dilakukan yaitu memperhatikan mimik wajah lawan bicara dan tidak lupa menyimpan segala gerak-gerik tubuh (gesture) nya pula. Karena keduanya termasuk bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa sangat penting dalam interaksi karena bahasa menjadi sebuah alat atau cara untuk menyesuaikan diri dengan orang lain (Samuel, 2012: 16-26). Bahasa dalam interaksi memiliki peranan penting karena berhubungan dengan cara memposisikan diri kita terhadap orang lain. Bahasa juga menunjuk pada pranata-pranata yang telah tumbuh dan mewariskan nilai dan norma. Dalam penelitian ini, Berger memberikan kontribusi pemikirannya untuk menjelaskan kontruksi-konstruksi yang dibangun masyarakat dari suatu fenomena yakni masyarakat Gununganyar melihat fenomena hajatan yang menggunakan jalan perkampungan di Surabaya. E. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik penentuan informan menggunakan purposive. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan indepth interview. Penelitian ini melakukan wawancara kepada informan subyek yaitu warga kelurahan gunung anyar. Adapun teknik analisis datanya melalui beberapa tahap yaitu tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, display data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. F. Hasil dan Pembahasan Eksternalisasi
6
Eksternalisasi merupakan proses penyesuaian diri yang dilakukan manusia secara terus menerus, diulang lagi momen yang sama itu pada momen yang akan datang. Manusia melakukan pembiasaan tindakannya itu dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan dalam menelaah situasi yang sama. Penyesuaian diri individu ini menyangkut adanya penyesuaian dengaan kondisi sosiokultural. Istilah culture yang berasal dari bahasa lain colere, artinya mengolah atau mengerjakan yaitu mengolah tanah atau bertani. Kemudian, colere diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 2007: 150). Inilah yang dimaksud dengan proses membangun peradaban yang dicirikan dengan kemajuan teknologi dan seni. Pola pikir baru ini dibangun oleh anggota masyarakat secara primer artinya sosialisasi dilakukan pada tahap kelembagaan terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Manusia memiliki kemampuan beradaptasi dengan alam, fungsi manusia diantaranya: sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan yang senantiasa menjadi makhluk yang beradab pada penciptanya. Kemudian, manusia sebagai individu memiliki arti bahwa individu memerlukan orang lain dalam memahami tentang yang ada pada dirinya sendiri. Terakhir, manusia sebagai makhluk sosial budaya, ialah individu memiliki peran mencari informasi yang diperoleh dengan cara interaksi dengan orang lain. Keluarga terdapat struktur di dalamnya yang menjalankan peran masing-masing sesuai statusnya. Sosialisasi keluarga ini berarti sosialisasi primer yang merupakan lembaga sosial yang akan menanamkan salah satu budaya dan tradisi keluarga sehingga 'melembaga' dan disalurkan kepada generasi penerusnya. Masyarakat Gununganyar juga mengenal dan menggunakan tata cara memanggil dan berbicara dengan orang yang lebih tua. Bu Irsyad, Bu Zuhro, Pak Afandi dan Bu Tasrifah menggunakan Bahasa Jawa Halus dalam percakapan sehari-harinya baik dengan para tetangga maupun anak-anak beliau. Sesekali menggunakan Bahasa Indonesia dengan orang yang
7
baru dikenal. Penggunaan tata cara bahasa ini menandakan bahwa masyarakat Gununganyar menggunakan cara bahasa Jawa. Kemudian, budaya saling menyapa antar tetangga, penduduk Gununganyar bertegur sapa dengan tetangga, ini terbukti ketika terjadi proses wawancara dengan Bu Zuhro dan Pak Afandi, beliau disapa oleh tetangganya yang berjalan melewatinya. Budaya berkumpul di sore hari menjadi rutinitas masyarakat Gununganyar yang sedang tidak memiliki kesibukan. Mereka bersantai dan bersenda gurau dengan tetangga terdekat. Sekedar berbagi informasi hingga membahas tentang topik berat lainnya. Serta, anak-anak kecil yang bermain di sekitar tempat tinggalnya. Pengetahuan agama informan sangat mempengaruhi kehidupan sosialnya. Bu Irsyad merupakan suami dari Pak Irsyad yang menjadi salah ketua Rukun Warga di Kelurahan Gununganyar dan menjadi pengurus organisasi bernama ISHARI. Bu Zuhro dan Bu Tasrifah juga mengikuti kegiatan Nahdlatul Ulama bernama Muslimat dan Fatayat. Pak Afandi juga mengikuti tahlil rutin yang didikuti oleh para bapak di RW 1. Selain itu, informan juga sering mengikuti kegiatan pengajian dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan. Bu Zuhro dan Pak Afandi memiliki beberapa tetangga yang menganut Muhammadiyah, namun beliau tidak pernah membedakan perbedaan ajaran agama karena beliau mengatakan tidak masalah dengan perbedaan yang penting sama-sama agama Islam. Bu Zuhro dan Pak Afandi merupakan informan yang masih mempunyai anak yang masih kecil, mereka mengajarkan pendidikan agama kepada anaknya dengan cara memasukkan anaknya ke Taman Pendidikan Al Qur'an setempat. Aspek ekonomi memang sangat mempengaruhi kegiatan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Bu Tasrifah dan Bu Irsyad merupakan informan yang telah memiliki cucu sehingga pekerjaan sehari-hari hanya menjaga cucunya saja. Bu Tasrifah hanya bergantung dengan anak-anaknya yang telah dewasa dan mempunyai keluarga untuk memenuhi
8
kebutuhannya. Suami beliau mengalami penyakit stroke yang membuatnya hanya duduk di atas kursi roda tidak bisa melakukan pekerjaan yang berat. Sedangkan, Bu Irsyad juga hanya mengharapkan dari pemberian anak sulungnya yang telah memiliki anak. Bu Zuhro memiliki pekerjaan untuk merawat kolam ikan milik orang lain, hasilnya ia pergunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga dan biaya perawatan kolam ikan serta anak yang masih duduk di Sekolah Dasar. Dan, pak Afandi yang bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik yang berada di kawasan SIER dan harus menafkahi istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga dan seorang anak perempuan yang masih seusia SD. Pendidikan terakhir individu juga menentukan pekerjaanya, misalnya Bu Irsyad menempuh Sekolah Menengah Pertama namun belum lulus kini, beliau tidak bekerja di usianya 43 ini. Bu Zuhro berpendidikan terakhir SD begitu pula suaminya. Pak Afandi merupakan salah satu informan yang memiliki lulusan Sekolah menengah Umum, sedangkan pekerjaan sebagai buruh. Bu Tasrifah juga lulus di bangku Sekolah Menengah Pertama, kini juga menjadi pengangguran yang mengurus cucunya, sedangkan Bu Irsyad lebih aktif di pendidikan informal dengan mengikuti lembaga agama. Setelah menjelaskan tentang latar belakang informan dan membedakan berdasarkan karakteristik agama, ekonomi dan pendidikan, kini dapat diketahui pengetahuan informan tentang hajatan. Karena ketiga aspek ini sangat mempengaruhi individu dalam melaksanakan hajatan. Menurut Bu Irsyad, masyarakat Gununganyar ini mayoritas Islam jadi hajatan dilakukan dengan menggunakan walimah, demikian dengan hajatan yang pernah beliau laksanakan juga menggunakan jalan kampung, namun tidak pernah mengetahui ada orang yang melaksanakan hajatan selain menggunakan jalan kampung. Bu Zuhro mengatakan ada orang yang melaksanakan hajatan di gedung dan beliau juga pernah menghadiri acara tersebut, Bu Zuhro
9
yang aktif dalam kegiatan muslimat dan fatayat ini mengatakan jika akan menikahkan anaknya nanti juga akan menyesuaikan dengan tetangga dengan menggunakan jalan kampung karena tidak memiliki modal untuk melaksanakan di gedung. Pak Afandi yang bekerja sebagai buruh pabrik ini juga pernah melaksanakan hajatan dengan menggunakan jalan kampung bahkan tempat tinggal beliau di jalan utama Gununganyar. Begitu pula dengan Bu Tasrifah yang hanya sebagai ibu rumah tangga juga mengatakan tidak pernah menggelar hajatannya di gedung karena tidak ada modal untuk menyewa tempatnya. Dalam melaksanakan hajatan sebagai salah satu bentuk aplikasi dari pranata sosial, pasti terdapat tujuan pelaksanaannya, demikian diantaranya fungsi pranata sosial : Pertama, memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertinghkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kedua, menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau intergrasi mayarakat. Ketiga, berfungsi memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control) (Manggolo, 2004: 218). Tujuan hajatan menurut Bu Irsyad merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan jalan kampung adalah adanya kerukunan yang ingin dibangun antar tetangga. Dengan demikian, kerukunan akan tercapai jika pemenuhan aktor yang membantu peran pemilik hajatan. Jika hajatan dilaksanakan di gedung maka kegiatan membantu hajatan tidak akan terlihat karena segala kebutuhan dikerjakan oleh bantuan CEO. Demikian dengan Pak Afandi juga mengatakan bahwa pelaksanaan hajatan di jalan kampung itu membutuhkan halaman yang luas untuk menampung kebutuhan hajatan, sehingga di sinilah letak kita meminta bantuan kepada orang lain. Bu Zuhro menambahkan jika pelaksanaan hajatan di gedung selain mahal harga persewaannya, tetangga yang pernah melaksanakan di gedung tidak akan mengundang
11
tetangganya di gedung, hanya diperuntukkan kepada teman dekat saja sehingga ada perbedaan persepsi yang muncul jika terdapat tetangga melaksanakan hajatan di gedung tetapi tidak mengundang tetangga di tempat itu pula. Demikian dengan Bu Tasrifah, menurut beliau masyarakat rata-rata memiliki lahan yang sempit tetapi tetap melaksanakan hajatan di area rumah dan akhirnya menutup jalan. Jalan kampung menjadi fasilitas utama dalam penempatan hajatan. Tetapi, kebutuhan untuk saling membantu dengan sukarela inilah yang diharapkan informan agar tetap dijunjung oleh masyarakat. Dengan bantuan yang tanpa balasan itulah yang membuat pelaksanaan hajatan di jalan kampung dinilai sangat murah baik dalam bentuk bantuan tenaga dan pikiran para tetangga. Dan informan juga mengatakan alasannya ingin dibantu juga ketika melaksanakan hajatan. Objektivasi Objektivasi merupakan proses yang dilakukan manusia setelah melalui proses eksternalisasi. Pada momen eksternalisasi dan objektivasi terjadi secara terus-menerus maka proses ini berlangsung dan mengalami berulang-ulang sehingga membentuk 'habitualisasi'. Momen objektivasi ini tipifikasi bersifat memaksa atau koersif dan menjadi institusi sosial. Kesadaran masing-masing individu sangat mendukung terbentuknya pranata sosial yang langgeng. Dengan demikian, pengalaman individu memiliki peran sebagai sosialisasi primer masyarakat. Masyarakat menerima fenomena hajatan yang dilakukan tetangganya di jalan kampung ini karena telah mengalami proses yang berulang-ulang kali. Secara luas kegiatan hajatan dilakukan masyarakat, sehingga menjadi fenomena yang biasa dan wajar. Mereka melihat kebiasaan dari tetangga yang lain sehingga ada proses 'habitualisasi'. Adanya kebiasaan saling
11
memberi satu sama lain membuat aktor merasakan tidak ada masalah dengan sistem memberi seperti ini. Dalam melakukan pembiasaan, timbul tipifikasi-tipifikasi dalam masyarakat misalnya, masyarakat menganggap bahwa tradisi di masyarakat merupakan kebiasaan yang benar adanya jika dilaksanakan dan kurang memuaskan jika tidak sesuai dengan yang diajarkan nenek moyangnya. Adapula tipifikasi apabila ada tetangga yang sedang melaksnakan hajatan, maka sebagai tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan yang baik maka kita harus membantu berupa berupa barang, uang, tenaga ataupun tempat tinggal. Proses objektivasi inilah yang menjadi pemicu munculnya realitas hajatan yang telah menjadi sebuah pranata sosial di masyarakat. Pada awalnya hajatan merupakan sebuah kegiatan individu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kebutuhan peribadatan, namun sekarang menjadi berkembang dan meluas karena hajatan mengalami proses 'habitualisasi'. Di dalam pranata sosial membahas persoalan nilai, norma, pola perilaku yang dibakukan serta sistem hubungan yang menyangkut persoalan peran dan status untuk pengatur pola perilaku masyarakat sehingga menjadi tolok ukur yang baku. Dengan dibakukanya pola perilaku masyarakat yang bersifat memaksa ini diharapkan terjadi kondisi lingkungan yang tertib dan lancar sesuai kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut. Begitu pula dengan hajatan, sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan memiliki kultur yang heterogen maka berbagai 'kebiasaan' masyarakat juga saling mengisi kehidupan sesama individu. Khususnya, polemik kebudayaan yang berada di lingkungan kota besar seperti Surabaya ini. Perkampungan di sekitar kota seperti Gununganyar ini masih menyimpan beragam bentuk 'tradisionalitas' pada
12
masyarakatnya. Secara fisik, daerah ini sudah bercampur dengan beragam simbol modernitas, akan tetapi secara budaya daerah ini masih memegang teguh tradisi hajatan. Manusia menciptakan ide kreatif berupa kegiatan yang kemudian diwujudkan pada kehidupan sehari-hari pastinya memiliki tujuan tersendiri bagi hidupnya. Keuntungan dan rasa nyaman melaksanakan kegiatan dengan mengharapkan hadirnya keteraturan sistem hubungan sosial, melanggengkan sistem dan terdapat misi untuk menjadikan tradisi yang sakral dan mencakup nilai dan norma, perilaku yang dianggap baik. Hajatan yang merupakan telah menjadi pranata sosial di Gununganyar ini, juga perlu tata cara dan pola perilaku sehingga keteraturan tetap terjaga. Siapapun yang melaksanakan hajatan perlu memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang mengikat di daerah tersebut. Hajatan yang dilaksanakan dengan menutup jalan harus mendapat perizinan dari lembaga hukum setepat seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, aparat keamanan (hansip) dan Kepolisian setempat, karena fungsi jalan kampung untuk kegiatan publik. Bu Irsyad mengatakan pernah melaksanakan hajatan dengan meminta izin kepada RT setempat saja, karena lokasi jalan kampung yang beliau gunakan sebagai hajatan terletak di dalam gang sehingga dalam peraturan setempat tidak wajib melapor pada kelembagaan yang lebih tinggi. Bu Tasrifah pernah melaksanakan hajatan tetapi perizinan dilakukanoleh suaminya. Setahu beliau hanya melapor kepada Ketua RT saja. Bu Tasrifah ini juga di sekitar lingkungan gang tempat tinggal Bu Irsyad, sehingga tidak perlu melapor kepolisian juga. Pak Afandi yang tempt tinggalnya terletak di jalan utama Gununganyar sehingga beliau harus melapor dulu ke Ketua RW dan kepolisian Gununganyar. Menurut penuturan beliau, kepolisian setempat memberikan izin pelaksanaan hajatan dengan menutup jalan kampungnya tetapi dengan syarat
13
harus ada jalan pengganti yang disediakan agar pengguna jalan lain juga dapat menggunakan fasilitas jalan kampung serta dengan adanya pelaporan tersebut kepolisian juga turut menjaga keamanan saat hajatan berlangsung. Pada momen objektivasi, masyarakat Gununganyar menyesuaikan diri dengan perilaku yang benar yakni melaksanakan hajatan dengan memperhatikan peraturan penggunaan jalan kampung sebagai tolok ukur yang benar. Diantaranya, masyarakat Jawa patuh pada ketaatan penggunaan penanggalan Jawa sebagai penentuan waktu yang dianggap membawa keberkahan bagi pelaksana hajatan. Informan juga menggunakan tata cara ini. Bu Irsyad dan Bu Tasrifah mengatakan jika waktu pelaksanaan hajatan yang dianggap baik ialah menurut bulan yang baik seperti bulan Maulud dan Besar merupakan istilah bulan yang digunakan oleh orang Jawa untuk pelaksanaan hajatan baik pernikahan maupun khitanan. Bu Zuhro tidak pernah menggunakan penanggalan ini karena beliau belum pernah melaksanakan hajatan yang menutup jalan. Pak Afandi mengatakan waktu pelaksanaan hajatan yakni ketika ada peringaran hari besar Islam seperti Isra' Mi'raj. Kegiatan ini dilaksanakan oleh masyarakat untuk memperingati perjuangan Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan ajaran Islam yakni kewajiban sholat. Jadi, beliau menambahkan pada bulan diperingatinya Isra' Mi'raj seluruh kalangan masyarakat akan melaksanakan bersama-sama dan dengan menutup jalan kampung. Internalisasi Manusia melakukan eksternalisasi, karena kesadaran sosial akan pengalaman bersama sehingga membentuk pemenuhan kebutuhan bersama yang kuat sehingga membentuk 'habitualisasi'. Tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan masyarakat akan berubah, dengan ini Berger menjelaskan kaitannya dengan eksternalisasi. Setelah proses eksternalisasi terjadi, kita
14
perlu telaah terjadinya proses internalisasi yakni keputusan yang diambil aktor setelah melakukan proses eksternalisasi dan objektivasi. Demikian dengan hajatan yang sudah menjadi tradisi ini menyebabkan masyarakat menggunakan tata cara yang ada sebagai tolok ukur yang pasti dalam melakasanakan hajatan, seperti memiliki kegiatan sosial yang dikerjakan oleh tetangga dengan sukarela. Waktu pelaksanaan hajatan juga menjadi patokan dalam menentukan kapan pelaksanaan yang sesuai dengan aturan tradisi Jawa agar terhindar dari 'petaka' atau sesuatu kejadian yang tidak diinginkan. Masyarakat yakin dengan percaya pada pengalaman masa lalu yang kini menjadi pengetahuan oleh turun temurun. Setelah moment objektivasi, kini individu menentukan dengan menelaah dari proses sebelumnya terkait pelaksanaan hajatan yang dilakukan tetangga. Tetangga akan bersedia memberikan tenaga, waktu dan pikiran kepada tetangganya yang melaksanakan hajatan dan memberikan sebagian halaman maupun tempat tinggalnya untuk memasak, mencuci piring, menempatkan sound system dan suara kebisingan pun akan terjadi ketika berlangsungnya hajatan. Hambatan yang dirasakan informan juga dirasakan bila terdapat hajatan di dekat rumahnya mereka rela menempatkan alat transportasinya jauh dari rumahnya agar dapat keluar dari tempat tinggalnya. G. Kesimpulan Serangkaian proses penelitian kualitatif yang menggunakan fenomenologi ini telah dilaksanakan, data diambil berdasarkan wawancara mendalam dan observasi di lokasi penelitian serta melakukan studi pustaka dan website resmi, maka peneliti dapat menyimpulkan menjadi beberapa hasil. Pertama, proses seseorang dalam bentuk internalisasi, perlu melalui proses ekternalisasi dan objektivasi. Hajatan dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat Allah SWT yang
15
diisi dengan walimahan yaitu do'a-do'a yang diucapkan bersama-sama untuk mendapatkan keselamatan dari-Nya. Dengan melihat latarbelakang individu dari karakteristik budaya, agama dan ekonomi, maka kita dapat melihat pula tata cara hajatan yang dilaksanakan. Kedua, realita pelaksanaan hajatan yang menggunakan jalan kampung merupakan bukti adanya tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Gununganyar dengan "melanggengkan" dua tujuan hajatan sebagai aplikasi bentuk rasa syukur atas kondisi yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepadanya dan kerukunan-kerukunan atau kekerabatan yang terjalin ketika hajatan, serta keinginan mendapatkan bantuan sosial dari orang lain juga menjadi pertimbangan masyarakat. Ketiga, realitas terkait ada bentuk rasa saling memiliki dan toleransi sehingga sesama masyarakat ikut membantu secara sukarela tanpa ada uang pengganti atas jasanya membantu pelaksana hajatan, ini merupakan manfaat manifest dari pelaksanaan hajatan tetangga. Mereka memiliki maksud, agar ketika melaksanakan hajatan mereka mendapat perlakuan yang sama dari orang lain, ini juga selalu muncul pada "benak" para informan. Maksud inilah merupakan manfaat latent pelaksanaan hajatan yang selalu dilaksanakan di lingkungan rumahnya. H. Daftar Pustaka Buku : Bachtiar, Wardi. 2006. SOSIOLOGI KLASIK Dari Comte hingga Parsons. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset Bandung. M. Poloma, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Purwadi. 2004. Tata Pernikahan Penganten Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Suyanto, Bagong, dkk. 2005. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
16
Skripsi : Abdulloh, Muhammad Harits. 2014, "Tindakan Sosial Warga Miskin Nahdhatul Ulama Dalam Melaksanakan Tradisinya di Desa Raci Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan". Universitas Airlangga Tamara S, Lisyan. 2007, "Pengambilan Keputusan Mempelai Pria dan Wanita mengenai Penggunaan Tempat Resepsi Pernikahan di Bukit Darmo Golf, Surabaya". Universitas Airlangga Rujukan : BPS Kotamadya Surabaya, 2014. Surabaya Dalam Angka 2014. Surabaya : BPS Kotamadya Surabaya Press. Monografi Tri Wulan 1 Tahun 2015 Kelurahan Gununganyar, Kecamatan Gununganyar. Surabaya. Web : http://ft-sipil.unila.ac.id/ejournals/index.php/jrekayasa/article/viewFile/20/23 tanggal 9 Agustus 2015 jam 12.30 WIB.
diakses
pada
http://www.surabaya.go.id/profilkota/index.php?id=1 diakses pada tanggal 27 April 2015 jam 20.50 WIB.
17