PENGGUNAAN FREE & OPEN SOURCE SOFTWARE (FOSS) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK BIOFISIK DAERAH ALIRAN SUNGAI MANIKIN Norman P.L.B Riwu Kaho, SP, M.Sc Abstract All the impacts from climate change that take places in the land it also will occurs in the watershed. Indonesia Goverment Regulation No. 37/2012 about Watershed Management were clearly stated the identification of watershed characteristics as the first step to achieve integrated watershed management in order to solve many problems including the negative impacts of climate changes. From this perspective, Geographic information system (GIS) can be used as the key to fullfil this needs regarding to the rapid improvement in the geospastial packages nowadays. One evidence is can be seen from the avability of free and open source softwares (FOSS) of GIS as solution for many problems related with the commercial GIS packages without loosing of functions and many others advantages. The aim of this research is to determine the characteristics of Manikin Watershed by the application of FOSS GIS. This research was conducted in Manikin watershed that located in West Timor during September-November 2015. This research was carried out by the intepretation on free data of LANDSAT and digital elevation model (DEM) and used FOSS GIS (SAGA GIS & Quantum GIS) to analysis these data. Furthermore, this research is divided by two step (preprocessing and analysis) in order to analyse several indicators of watershed biophysic that consist of description of watershed location in the districs and sub districs level, the average and pattern of annual rainfall, topography, morphometric and land cover. The result has shows that Manikin watershed is located in the “transboundary” administration area although more dominantly in the Kupang Distric. This watershed also have 1.628 mm/year in average of annual rainfall that can be classify as low annual rainfall. In the northern area tends to be more plain and have lower elevations rather than in the southern area that dominating by steeper slopes and higher elevations that indicating the watershed divide area (lower to upper) in this respect. The size of Manikin watershed is relatively small (11.235,63 hectares) and it will influence the water yield to be lower regarding to the small area of catchment during the rainy season. Also, with strahler order classification shows that there are 5 different types of streamline order. Land cover in Manikin watershed was dominanting by shrubland that occupying 50.61% of entire watershed, while forest land cover is only found in the relatively small area (13.64%). Moreover, although in this research is only used FOSS GIS packages and free data (Landsat & DEM) but it can give the similar results of watershed characteristics identification like the commercial GIS softwares. Keywords : Free & Open Source, GIS, Watershed characteristics, Manikin Watershed LATAR BELAKANG Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh pegunungan/perbukitan yang sama yang memiliki fungsi hidro-orologis, yaitu menampung air, menyimpan dan mengalirkan air hujan melalui satu outlet utama (Asdak, 2002; Musy & Higy, 2011). Pengelolaan lingkungan berbasis DAS dapat memadukan semua komponen dalam ekosistem DAS tanpa ada sekat-sekat wilayah administratif (Gregersen, et al, 2007). Dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan DAS, maka menyimak laporan penilaian ke-5 (fifth assesment report) oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) (2014) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim diproyeksikan akan mereduksi, baik kuantitas
maupun kualitas, air permukaan dan air tanah sehingga dapat memicu terjadinya kompetisi terhadap sumber air yang terbatas untuk berbagai kepentingan. Selain itu, perubahan ikllim juga dapat menjadi powerfull stressor bagi ekosistem air tawar dan teresterial ketika terdapat aktivitas negatif seperti perubahan penggunaan lahan sehingga dapat mempengaruhi keragamanhayati. Hal ini dapat bermuara pada dampak negatif terhadap produksi pangan dan makanan secara global yang menyinggung isu terkait keamanan pangan (food security). Dalam konteks ini jika seluruh ruang daratan akan terbagi habis kedalam DAS, maka apa yang diproyeksikan oleh IPCC terkait dampak perubahan iklim ini juga pasti terjadi pada wilayah DAS. Asdak (2002) menyatakan bahwa pengelolaan DAS yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk meminimalisasi dampak eskternalitas negatif dari sejumlah permasalahan tadi. Terdapat beberapa tahap dalam pengelolaan DAS yang jika mengacu dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasal 22 Ayat (a) mengamanatkan pentingnya melakukan identifikasi karakteristik DAS sebagai dasar penyusunan rencana pengelolaan DAS. Karakteristik DAS merupakan suatu sifat yang khas yang melekat pada DAS tersebut yang menjadi komponen “proses” dalam bagan input-proses-output sebagaimana yang digambarkan oleh Asdak (2002). Proses identifikasi dan analisis karakteristik DAS dapat menjadi pekerjaan yang sulit jika tanpa kecukupan informasi. Salah satu solusi adalah dengan menggunakan system informasi geografis (SIG). Lyon (2003) menyatakan bahwa SIG dapat digunakan untuk berbagai studi DAS termasuk pembagian pewilayahan DAS, identifikasi jaringan sungai, karakter kemiringan dan orientasi lereng, struktur konfigurasi DAS, dan penelusuran aliran air dalam DAS. SIG akan memberikan tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan metode tradisional seperti kertas peta yang lebih rentan terhadap error dan memakan waktu yang lebih lama (time-consuming). Kennedy (2013) menyatakan SIG merupakan suatu system yang berkaitan dengan spasial (keruangan) yang berfungsi dalam pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis dan penayangan (display) data spasial. Meski demikian, salah satu permasalah dalam ekstensifikasi penggunaan SIG adalah keterbatasan pengetahuan dan mahalnya biaya lisensi software SIG komersial. Namun dewasa ini terjadi peningkatan yang pesat dalam hal ketersediaan perangkatlunak (software) serta data geospasial yang yang gratis dan sumber terbuka (free and open source/FOSS) dapat meminimalisasi atau bahkan menghilangkan persoalan berkaitan SIG tadi. Namun perlu dicatat bahwa meski paket software geospasial ini tersedia secara gratis dan terbuka, tetapi FOSS SIG dipertimbangkan lebih aman, lebih terpercaya dan lebih mampu beradaptasi jika dibandingkan software komersial (Fisher, et al, 2016; Nasr, 2007; Sui, 2014; Tsou & Smith, 2011). DAS Manikin yang terletak pada wilayah Timor Barat memiliki peranan signifikan terutama jika ditilik sebagai salah satu sentra wilayah pertanian di kedua wilayah ini. Jika
dicermati dari perspektif DAS, maka kawasan pertanian ini berada pada wilayah hilir DAS yang berarti merupakan wilayah pemanfaat dari hubungan eksternalitas “hulu-hilir” DAS tersebut. Dengan demikian, perlu untuk diketahui informasi tentang DAS Manikin yang terhisab dalam karakteristik DAS. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software SIG yang gratis dan terbuka dalam mengidentifikasi dan menganalisis karateristik biofisik DAS Manikin. METODE PENELITIAN Alat dan Data Adapun beberapa alat dan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah (1) data digital elevation model (DEM) SRTM v.3 (resolusi 30 meter); (2) citra Landsat 8-OLI/TIRS dicuplik pada 6 Juli tahun 2015; (3) data iklim curah hujan tahunan dari pos hujan yang berada disekitar DAS Manikin dari BMKG Lasiana; (4) data wilayah administrasi (Kecamatan dan Desa/Kelurahan), baik pada wilayah Kabupaten Kupang maupun Kota Kupang; dan (5) perangkatlunak (software) FOSS SIG yang digunakan yaitu SAGA (System for Automated Geoscientific Analyses) versi 2.3.1 dan Quantum GIS versi 2.16 Cara Analisis Secara umum metode identifikasi karakteristik DAS Manikin merupakan metode interpretasi yang dilakukan pada citra penginderaan jauh (remote sensing) yang kemudian dianalisis berbasis SIG. Penelitian ini terbagi dalam 2 tahap yaitu (a) tahapan preprocessing, dan (2) tahapan analisis sebagaimana yang terlihat pada bagan alir penelitian berikut.
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian A. Tahap Sebelum Proses Analisis (Preprocessing) Sebelum dilakukan analisis, maka terdapat tahap preprocessing yang meliputi koreksi radiometrik dan geometrik pada citra Landsat dan melakukan fill sinks untuk menghindari pengaruh surface depression pada (algoritma Wang-Liu) yang dilanjutkan dengan melakukan
filter terhadap DEM dengan menggunakan module Mesh Denoising. Seluruh proses dikerjakan menggunakan software SAGA GIS. B. Analisis Karakteristik Biofisik DAS 1. Lokasi DAS pada Wilayah Administrasi. Analisis dilakukan dengan memotong wilayah administrasi (Kabupaten/Kota dan desa/kelurahan) dengan poligon DAS kemudian dihitung luas masing-masing wilayah administrasi tersebut. 2. Karakteristik Klimatologi Curah Hujan DAS. Metode untuk menggambarkan curah hujan menggunakan metode poligon Theissen dengan rerata hujan tahunan dihitung dengan persamaan berikut: dimana P1, P2, …., Pn merupakan curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, …,. A1, A2, … An adalah luas areal poligon 1, 2, …, n. Dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.
Untuk melihat pola curah hujan pada DAS Manikin dilakukan interpolasi data curah hujan tahunan dari setiap pos hujan menggunakan metode inverse distance weighted (IDW) untuk menghasilkan grid raster rerata hujan tahunan yang kontinu. 3. Topografi. Karakteristik topografi dibagi ke dalam 2 indikator, yaitu ketinggian (elevasi) DAS dan kemiringan lereng DAS dengan menggunakan data DEM yang kemudian dilakukan pengkelasan ulang (reclassify). 4. Morfometri DAS. Komponen morfometri DAS yaitu (1) luas DAS, dan (2) analisis jaringan sungai yang dilakukan dengan metode Strahler Oder. 5. Penutupan Lahan. Analisis penutupan lahan (land cover) dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis pixel (pixel-based) yang dilakukan tanpa terbimbing (unsupervised). Klasifikasi dilakukan pada citra Landsat 8 menggunakan band 3,4,5, dan 6 dengan klasifikasi K-Means clustering yang dilakukan dengan metode iterative minimum distance. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. LETAK WILAYAH ADMINISTRASI DAS MANIKIN Secara administrasi maka wilayah DAS Manikin tergolong sebagai “DAS Lintas” pada 2 wilayah administrasi sekaligus, yaitu Kabupaten Kupang dan Kota Kupang (Gambar 2). Dalam konteks ini, maka Gregersen, et al (2007) menyatakan bahwa (1) air yang mengalir dari hulu ke hilir akan “mengabaikan” semua batas administrasi atau politik dalam aliran air tersebut; dan (2) apa yang dilakukan oleh masyarakat pada daerah hulu akan berakibat terhadap kuantitas, waktu pengaliran dan kualitas air sebagaimana pada hilir DAS Manikin yang ditemukan lokasi persawahan dan budidaya tanaman pertanian lain sehingga konsekuensinya produktivitas pada
area hilir akan berbeda-beda bentuknya. Dari sudut pandang ini maka pengelolaan DAS yang terpadu antara kedua wilayah administrasi tersebut wajib untuk dilakukan.
Gambar 2. Peta Wilayah Administrasi DAS Manikin Meski demikian, jika ditilik dari perimbangan wilayah menunjukkan DAS Manikin (Tabel 1) hampir seluruhnya termasuk dalam wilayah adminstrasi Kabupaten Kupang (20 desa/kelurahan) dengan luas 10.920,05 ha atau 97,2% dari keseluruhan wilayah DAS, jika dibandingkan wilayah Kota Kupang yang mencakup hanya pada wilayah Kelurahan Kolhua dengan luas 314,71 ha. Dimana jika dilihat berdasarkan perimbangan luas wilayah administrasi desa dalam DAS, maka Desa Baumata Timur, Desa Oben dan Desa Oelnasi merupakan 3 desa terluas dengan wilayah administrasinya masuk kedalam DAS Manikin. Tabel 1. Wilayah Administrasi dalam DAS Manikin Wilayah Administrasi KOTA KUPANG
KABUPATEN KUPANG
No 1
Nama Desa Kel. Kolhua
No
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Desa Mata Air Kel. Tarus Desa Noelbaki Desa Penfui Timur Desa Oelnasi Desa Baumata Barat Desa Baumata Utara Desa Baumata Timur Desa Baumata Desa Oeltua
Luas dalam DAS (Ha) 281,02 314,77 191,86 496,92 1.244,14 9,27 761,76 1.264,20 435,93 278,00
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Luas dalam DAS (Ha) 314,71 Luas dalam Nama Desa DAS (Ha) Desa Oeletsala 853,99 Desa Kuaklalo 436,34 Desa Bokong 758,16 Desa Tunbaun 406,74 Desa Toobaun 507,17 Desa Soba 755,48 Desa Oben 1.237,58 Desa Bismarak 327,74 Desa Niukbaun 349,72 Kel. Teunbaun 9,25
2. RATA-RATA CURAH HUJAN TAHUNAN Analisis rerata curah hujan tahunan menggunakan metode poligon thiessen berdasarkan 4 stasiun pos hujan BMKG yang berada di sekitar DAS menunjukkan pada DAS Manikin memiliki rerata curah hujan tahunan sebanyak 1.628 mm/tahun. Jika mengacu pada Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS (Dirjen BPDAS-PS, 2013), maka curah hujan tahunan pada DAS Manikin tergolong rendah. Ditilik dari pola curah hujan pada DAS Manikin sebagaimana lazim yang terjadi pada wilayah Nusa Tenggara akan dipengaruhi oleh pola iklim monsoonal yang dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (puncak pada bulan Januari) dan cenderung mengumpul pada periode hujan yang relatif singkat (3-4 bulan).
450
Curah Hujan (mm)
400 350 300 250 200 150 100 50 0 JAN
PEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOP
DES
Gambar 3. Rerata Curah Hujan Bulanan pada Stasiun Klimatologi Lasiana (Data Time-Series 1986-2015) Secara spasial berdasarkan hasil interpolasi menggunakan metode IDW, maka terlihat terdapat kecenderungan bahwa semakin ke arah selatan dari DAS Manikin akan memiliki rerata curah hujan tahunan yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Diduga curah hujan yang rendah pada sebagian wilayah bagian utara (Desa Oben, Desa Niukbaun, dan Desa Soba) lebih dipengaruhi oleh lokasi pos hujan Baun yang hanya memiliki rerata curah hujan 1.434 mm/tahun, padahal pos hujan Oekabiti yang juga terdapat pada bagian selatan DAS Manikin tercatat memiliki rerata curah hujan 1.694 mm/tahun. Diduga faktor topografi yang menyebabkan pola hujan orografik oleh karena efek daerah bayangan hujan (rain shadow) sehingga pos hujan Baun memiliki curah hujan tahunan yang rendah. Meski demikian, hal ini masih hanya sebatas dugaan sementara dan perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui penyebab yang lebih tepat.
Gambar 4. Peta Rerata Curah Hujan Tahunan Hasil Interpolasi IDW pada DAS Manikin 3. TOPOGRAFI Elevasi (ketinggian) pada DAS Manikin secara umum didominasi oleh dataran rendah yang ditandai dengan dominasi elevasi 100 s/d 300 mdpl dengan luas mencapai 5.913,42 ha atau 52,63% dari keseluruhan wilayah DAS Manikin. Tabel 3. Elevasi (Ketinggian) pada DAS Manikin Elevasi 0 - 99 mdpl 100 - 199 mdpl 200 - 299 mdpl 300 - 399 mdpl 400 - 500 mdpl
Luas (Ha) 2.141,30 2.906,26 3.007,16 2.153,41 1.027,50
% 19,06 25,87 26,76 19,17 9,15
Selain itu, jika dicermati dari persebaran spasial kelas elevasi menunjukkan bahwa wilayah bagian selatan dari DAS Manikin akan memiliki elevasi yang lebih tinggi jika dibandingkan wilayah bagian utara pada DAS yang sama. Hal ini sekaligus mengindikasikan pola pewilayahan DAS hulu-hilir dimana pada wilayah dengan elevasi yang lebih tinggi merupakan daerah tangkapan air (catchment area) sedangkan semakin rendah elevasinya merupakan wilayah hilir sebagai zona pemanfaat.
Gambar 5. Peta Elevasi DAS Manikin Tabel 4. Kelas Lereng DAS Manikin Kelas Lereng 0–3% 3–8% 8 - 15 % 15 - 30 %
Topografi Datar Landai Agak Miring/Bergelombang Miring/Berbukit
Luas_Ha 2.112,27 3.279,71 3.422,95 2.420,71
% 18,80 29,19 30,47 21,54
Dugaan ini makin menguat ditilik dari kelas lereng DAS Manikin yang menunjukkan bahwa pada bagian selatan dari DAS Manikin merupakan daerah hulu dikarenakan didominasi kemiringan lereng > 8-15% dam 15-30%. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Asdak (2002) bahwa DAS hulu biasanya dicirikan merupakan daerah konservasi, kemiringan lereng besar (>15%), bukan merupakan daerah banjir, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Brooks, et al (2013) menyatakan bahwa DAS hulu yang juga disebut sebagai headwater watershed merupakan area yang penting karena pada lokasi ini akan mentransformasi input hujan yang jatuh untuk kemudian mengalir pada sungai. Penciri khas dari DAS hulu ini adalah didominasi oleh topografi pegunungan dengan kemiringan yang cukup tinggi dan lembah dengan bentuk seperti huruf V. Meski demikian, dari sumber bacaan yang sama juga menunjukkan bahwa dikarenakan pada DAS hulu memiliki kelerengan yang cukup oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS wajib diarahkan pada ekosistem hutan yang merupakan suatu ekosistem yang didominasi
oleh pepohonan dalam berbagai stratanya. Tetapi jika mencermati hasil analisis penutupan lahan, terdapat indikasi kawasan hulu pada DAS Manikin tidak cukup optimal dalam menjalankan fungsi utama kawasan hulu yaitu sebagai penampung, penyimpan dan pengalir air hujan yang jatuh pada setiap outletnya untuk kemudian dialirkan ke sungai. Hal ini bisa saja berdampak kepada flutuasi koefisien rejim sungai (KRS) dan koefisien simpan sungai (KSS) yang tergolong buruk, tingginya tingkat erosi dan sedimentasi yang berkorelasi positif dengan limpasan permukaan (surface run-off), tingginya velocity air sungai dan kekeruhan, dan sebagainya. Sebaliknya pada bagian utara dari DAS Manikin yang lebih landai-datar mengindikasikan bahwa pada wilayah ini merupakan DAS hilir yang oleh Asdak (2002) dinyatakan sebagai daerah pemanfaatan, kemiringan lereng cukup rendah / landai (<8%), beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), jenis vegetasi didominasi oleh crop.
Gambar 6. Peta Kelas Lereng DAS Manikin 4. MORFOMETRI DAS Jika ditilik dari peranan hidro-orologi DAS dalam menampung, menyimpan serta mengalirkan air hujan yang dibandingkan dengan ukuran luas DAS maka dapat dikatakan bahwa semakin luas suatu DAS, hasil akhir (water yield) yang diperoleh akan semakin besar, karena hujan yang ditangkap juga semakin banyak. Ataupun sebaliknya, semakin kecil suatu DAS maka
kemampuan untuk menangkap, menyimpan dan mengalirkan air akan semakin terbatas dengan demikian ini akan berimplikasi pada hasil air yang akan semakin sedikit. Dari hasil analisis SIG menunjukkan bahwa DAS Manikin memiliki luas 11.235,63 ha yang jika mengacu pada Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS (Dirjen BPDAS-PS, 2013), maka DAS Manikin terklasifikasi sebagai DAS kecil. Oleh karena itu dengan bentuk penampang DAS yang berukuran kecil yang notabene berfungsi sebagai processing dari input presipitasi, maka dapat diperkirakan persoalan ketersediaan dan kontinuitas ketersediaan air dapat menjadi salah satu faktor penghambat dalam pengembangan wilayah di DAS Manikin, jika praktek-praktek konservasi tanah dan air luput untuk dilakukan untuk menahan selama mungkin air permukaan ataupun air tanah yang merupakan aliran dasar (base flow) saat musim kemarau serta memperkecil peluang terjadinya erosi dan sedimentasi yang membawa dampak negatif, baik on-site maupun off-site. Tabel 5. Orde Sungai DAS Manikin Orde Sungai 1 2 3 4 5
Jumlah 94 38 23 20 6
Panjang Kumulatif (km) 70.545 36.816 19.811 13.411 3.309
Jika ditilik orde sungai berdasarkan sistem klasifikasi Strahler, maka terdapat 5 orde sungai dengan panjang sungai yang bervariasi pada setiap ordenya (Gambar 7). Bentuk DAS Manikin cenderung seperti membulat pada bagian hulu dan tengah namun outlet pada hilir akan cenderung menyempit sehingga akumulasi aliran cenderung tinggi pada lokasi ini. Selain itu, kemiringan yang lereng yang datar-landai pada daerah hilir akan menyebabkan kecepatan aliran sungai akan melambat pada daerah hilir dengan demikian akan terjadi sedimentasi material yang terbawa sehingga risiko banjir akan semakin lebih tinggi pada kawasan hilir terutama jika tidak diinstalasi infrastruktur pengendali pada daerah hilir DAS Manikin.
Gambar 7. Peta Orde Sungai DAS Manikin 5. TUTUPAN LAHAN DAS MANIKIN Jika ditilik dari aspek bentuk penutupan lahan, maka menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan DAS Manikin merupakan penutupan semak belukar yang ditemukan mulai dari wilayah hulu hingga ke hilir dengan luasan 5.686,7 ha atau 50,61% dari keseluruhan wilayah DAS. Ini kemudian diikuti oleh padang rumput dengan luas 2.679,47 ha (23,85%) dan hutan yang mencakup luasan 1.532,07 ha (13,64%). Tabel 6. Tutupan Lahan DAS Manikin Tutupan Lahan Hutan Padang Rumput Pertanian/Perkebunan Semak Belukar Tanah Terbuka/Lahan Tidur Tubuh Air
Luas_Ha 1.532,07 2.679,47 674,86 5.686,70 163,10 499,42
% 13,64 23,85 6,01 50,61 1,45 4,45
Gambar 8. Penutupan Lahan DAS Manikin Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pada daerah dengan elevasi yang lebih tinggi dan memiliki kemiringan lereng yang agak curam-curam sebagai penanda wilayah hulu justru formasi hutan tidak menjadi tutupan lahan yang dominan. Bentuk penutupan lahan ini sangat paradoks jika dikaitkan dengan apa yang disampaikan oleh Asdak (2002) yang menyatakan sebagai akibat implikasi keterkaitan biogeofisik hulu-hilir, maka kawasan hulu merupakan zona konservasi yang mestinya didominasi oleh vegetasi hutan. Wilayah hulu merupakan daerah tangkapan air (catchment area) yang penting sehubungan dengan pasokan air melalui orde sungai primer ke orde sungai lainnya. Bentuk penutupan lahan ini pula juga mendominasi di wilayah Timor bagian Barat yang oleh Riwu Kaho (2005) memberikan justifikasi bahwa sebenarnya semak-belukar merupakan klimaks vegetasi yang disebabkan akibat poliklimaks, baik derivasi oleh sebab alami (topografi, edafik, pola iklim kering), namun juga disebabkan oleh antropogenik (man-made). Apabila pendapat ini benar, maka jika dikaitkan dengan corak teknis dominan di Timor dalam pengelolaan agroekosistem lahan terdapat indikasi rejim gangguan (disturbance) yang cukup tinggi pada area semak-belukar ini dalam bentuk kebakaran lahan (wildfire), sistem ternak lepas dengan pola semi-ekstensif yang dilakukan dengan pengawasan minim, maupun pola-pola usahatani yang minim perspektif konservasi tanah dan air.
Semakin bergerak ke arah hilir, maka seiring dengan makin landainya topografi menunjukkan ciri khas DAS hilir sebagai zona pemanfaatan. Hal ini dapat dijustifikasikan melalui bentuk penutupan lahan pertanian/perkebunan, tanah terbuka/lahan tidur, serta tubuh air yang mencirikan wilayah hilir sebagai tempat akumulasi pengaliran (flow accumulation). Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Hasil analisis karakteristik DAS Manikin menunjukkan bahwa (a) DAS Manikin merupakan “DAS lintas” wilayah administrasi, meski sebagian besar (97,2%) wilayah DAS terletak pada Kabupaten Kupang; (b) DAS Manikin memiliki rerata curah hujan tahunan sebanyak 1.628 mm/tahun yang tergolong rendah dengan kecenderungan semakin ke arah selatan dari DAS Manikin maka akan memiliki rerata curah hujan tahunan yang lebih tinggi, dan sebaliknya; (c) elevasi (ketinggian) dan kelas lereng pada DAS Manikin secara umum didominasi oleh dataran rendah dan kelerengan yang datar-landai pada wilayah utara DAS dan sebaliknya pada wilayah selatan DAS yang menunjukkan keragaman pewilayahan DAS hulu-hilir; (d) DAS Manikin memiliki luas 11.235,63 ha yang dapat diklasifikasikan sebagai DAS kecil yang berarti hasil air (water yield) yang diperoleh diduga tidak melimpah oleh karena hujan yang ditangkap juga sedikit. Selain itu, jika ditilik orde sungai berdasarkan sistem klasifikasi Strahler, maka terdapat 5 orde sungai dengan panjang sungai yang bervariasi pada setiap ordenya; dan (e) sebagian besar kawasan DAS Manikin berpenutupan lahan semak belukar yang ditemukan dari wilayah hulu hingga hilir dengan luasan 5.686,7 ha (50,61%). Dimana tutupan hutan hanya mencakup luasan 1.532,07 ha (13,64%). 2. Meski gratis dan terbuka (free & open source/FOSS) namun software SIG (SAGA & QGIS) dan data penginderajaan jauh (DEM & Landsat) yang gratis dapat digunakan untuk menginventarisasi dan menyelidiki karakteristik DAS Manikin sama seperti paket SIG komersial lainnya. Daftar Pustaka Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Brooks, K.N., P.F Ffolliott & J.A Magner. 2013. Hydrology And Management of Watershed (Fourth Edition). John Wiley & Sons, Inc, USA. Dirjen BPDAS-PS Kementerian Kehutanan. 2013. Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS. Kementerian Kehutanan RI. Jakarta. Fisher, R.P., S. Hobgen., N.P.L.B Riwu Kaho & I. Mandaya (2016). SAGA GIS 2.3 (Satellite Image Analysis and Terrain Modelling – Buku Panduan Geospasial Gratis untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam, Risiko Bencana & Perencanaan Pembangunan). Australian Aid-GPFD Funded Project. Kupang. Gregersen, H.M., P.F Ffolliott & K.N Brooks. 2007. Integrated Watershed Management (Connecting People to Their Land and Water). Cambridge University Press, United Kingdom (UK). Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). 2014. Climate Change 2014 (Impacts, Adaptation, and Vulnerability). Cambridge University Press. New York, USA. Kennedy, M. 2013. Introducing Geographic Information Systems with ArcGIS® Third Edition (A Workbook Approach to Learning GIS). John Wiley & Sons, Inc. USA. Lyon, J. G. 2003. GIS for Water Resources and Watershed Management. Taylor & Francis Inc. London. Musy, A & C. Higy. 2011. Hydrology (A Science of Nature). CRC Press, Science Publisher, USA. Nasr, M.R. 2007. Open Source Software : The Use of Open Source GIS Software and Its Impact on Organizations. Thesis in Business Information Technology, Middlesex University Riwu Kaho, L.M. 2005. Api dalam Ekosistem Savana : Kemungkinan Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Riwu Kaho, N.P.L.B. 2010. Hubungan Antara Penggembalaan Lepas dan Kebakaran Hutan Lahan terhadap Pola Tegakan Ampupu (Eucalyptus urophylla) di CA Gunung Mutis, Timor Barat. Thesis pada Pasjasarjana, Fakultas Kehutanan, UGM. Jogjakarta. Riwu Kaho, N.P.L.B. 2016. Modul Pelatihan SAGA GIS. Tidak Diterbitkan. Kupang. Sui, D. 2014. Opportunities and Impediments for Open GIS. Research Article in Transaction in GIS, 2014, 18(1):1-24 Tsui, M-H & J. Smith. 2011. Frree and Open Source Software for GIS Education. National Geospatial Technology Center of Excelence. USA