Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
7 Pages
ISSN 2302-0180 pp. 1 - 7
PENGGUNAAN DISKRESI OLEH PEJABAT PEMERINTAH UNTUK KELANCARAN PENYELENGGARAANPEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Penelitian di Kabupaten Pidie) 1)
Teuku Mustafa1,Eddy Purnama2,Mahdi Syahbandir3. Badan Kepegawaian Daerah, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh 2-3) Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala e-mail :
[email protected] Diterima : 20/08/2015 Reviewer : 12/07/2016 Dipublish : 15/05/2016
Abstract : The creativity of local governments’ officials to innovate is possible with the discretion through government law no.30 in the year of 2014 on public administration. This law strictly regulated the usage of discretion by public officials. This often due to the improper administration of public officials alleged to have committed irregularities of authority for issuing a policy. This also occurs in administration in the Pidie district, where many local officials were caught of corruption cases and become the victims of a policy followed in the execution of their daily tasks. Based on the problem, this research used empirical methods.Research results show that the cause of local government officials rarely using discretion hearts regional government is their fears and concerns become corruption suspects because of a difference perception with investigators. It is advisable to review the settlement yang can be reached hearts singer problem is the government and pidie district law enforcement officials must have legal rules or standard operating procedures the principal obviously hearts duties and functions of their day - day and work together to review among them equalize perception and insights thinking. Keywords: Discretion, Public Officials, District Geverment. Abstrak : Kreatifitas pejabat pemerintahan daerah untuk berinovasi dimungkinkan dengan adanya ruang bagi diskresi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang ini mengatur secara tegas ketentuan diskresi oleh pejabat publik. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali akibat kesalahan administrasi pejabat publik dinyatakan telah melakukan pelanggaran hukum, melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan karena mengeluarkan suatu kebijakan. Hal ini juga terjadi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pidie, banyak pejabat pemerintahan daerah tersangkut perkara korupsi dan menjadi korban dari sebuah kebijakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas. Berdasarkan objek masalah, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab pejabat pemerintah daerah jarang menggunakan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah adanya ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi tersangka pelaku tindak pidana korupsi disebabkan terjadinya perbedaan persepsi dengan penyidik. Disarankan untuk penyelesaian yang dapat ditempuh dalam masalah ini adalah Pemerintah Kabupaten Pidie dan aparat penegak hukum harus memiliki aturan hukum atau Standar Operasional Prosedur yang jelas dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka sehari-hari dan bekerjasama diantara mereka untuk menyamakan persepsi dan wawasan berpikir. Kata kunci : Diskresi, Pejabat Pemerintah, Pemerintahan Daerah.
PENDAHULUAN Diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat -1
Volume 4, No. 2. Mei 2016
administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas,
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undangundang(Mustamu 2011). Landasan hukum penggunaan diskresi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UndangUndang Nomor 30 tahun 2014 diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Selain itu, diskresi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi indikator yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ruang lingkup diskresi meliputi adanya kekuasaan pejabat publik untuk bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri baik karena adanya pilihan keputusan atau tindakan, peraturan tidak mengatur, peraturan tidak lengkap, ataupun karena adanya stagnasi pemerintahan. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan atau kewewenangan yang melekat pada pejabat publik tersebut selaku pengambil keputusan. Prinsip dalam penerapan diskresi menyatakan bahwa pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur tidak perlu terlalu dipermasalahkan, sepanjang tindakan yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi serta tetap dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi (Dwiyanto 2001). Pengambilan diskresi juga tidak akan menjadi
masalah selama tidak ada kickback atau niat terselubung dalam menerapkan penggunaan diskresi tersebut dan tidak ada alasan seorang pejabat untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya (Effendy 2010).
Namun demikian kewenangan untuk melakukan diskresi diikat oleh ketentuan hukum yang tidak tidak boleh dilanggar. Menurut Suardja dan Nursidi Pejabat Tata Usaha Negara memang memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, akan tetapi tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum (Suardja and Nursidi 2011).Ini disebabkan karena tidak jarang penggunaan diskresi dijadikan sebagai dalih yang sebenarnya menjadi instrumen untuk memuluskan kepentingan pribadi. Ini sudah disinyalir oleh (Susilo 2015) bahwa mungkin saja ada unsur ironi dibalik penggunaan sebuah diskresi ini. Misalnya seringkali penggunaan diskresi oleh pejabat publik dengan alasan untuk kepentingan umum, tetapi justru diskresi tersebut mengorbankan hak-hak masyarakat baik secara individu maupun kolektif. Pemerintah Kabupaten Pidie juga melakukan diskresi dalam upaya untuk memperlancar penyelenggaraan pemerintahan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Indikator kelancaran penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksud disini adalah tercapainya sasaran ataupun tujuan sebagai penjabaran dari visi dan misi Pemerintah Kabupaten Pidie sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan tersebut, ada yang dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat berjalan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan itu, namun ada pula yang akhirnya menjadi sasaran penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum dengan alasan bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan berpotensi merugikan keuangan Negara. Adanya keadaan sebagaimana dikemukakan di atas antara lain disebabkan ada perbedaan persepsi dalam memahami dan melaksanakan diskresi itu antara aparat penegak hukum dengan penyelenggara pemerintahan daerah.
Volume 4, No. 2. Mei 2016
-2
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Berdasarkan kepada rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengapa pejabat pemerintah daerah khawatir untuk menggunakan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan upaya pejabat pemerintah daerah menerapkan penggunaan kewenangan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
METODE PENELITIAN Penelitian ini memakai metode penelitian hukum yuridis empiris (Soekanto 1986). Penelitian dilakukan di Kabupaten Pidie pada Sekretariat Daerah Kabupaten. Sekretariat Daerah dipilih sebagai lokasi penelitian karena pada instansi inilah berbagai kebijakan sering dibuat dan selanjutnya ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (Bupati, Wakil Bupati, dan Sekretaris Daerah). Di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pidie, terdapat beberapa lembaga pemerintahan yang pejabatnya telah terlibat kasus hukum terkait dengan penerapan diskresi. Penelitian ini mengunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa kajian kepustakaan terhadap peraturan perundangundangan yang terkait dengan kebijakan diskresi. Sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan yang dilakukan melalui wawancara dengan narasumber yang relevan baik dari pihak pejabat pemerintah, mantan pejabat pemerintah yang pernah menjadi obyek penyidikan akibat diskresi, maupun dari pihak penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) di Kabupaten Pidie. Hasil wawancara dengan responden dianalisa menggunakan analisis kualitatif deskriptif. Informasi dari narasumber diuraikan dan dibahas secara deskriptif untuk mengetahui alasan kekhawatiran penerapan diskresi di kalangan pejabat pemerintah dan upaya tindaklanjut dari penerapan diskresi tersebu
-3
Volume 4, No. 2. Mei 2016
HASIL DAN PEMBAHASA Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya di Kabupaten Pidie, pejabat pemerintah daerah lebih merasa aman bekerja dengan mempedomani sepenuhnya kepada aturan yang ada bahkan menerapkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) secara sangat hirarkis dimana pegawai eselon bawah memiliki keengganan dan kekhawatiran untuk berinisiatif dalam pengambilan keputusan. Kekhawatiran utama adalah akan menjadi objek penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum baik Polri maupun Kejaksaan. Kasus Hukum Akibat Diskresi Ada beberapa contoh kasus diskresi yang sudah pernah dilakukan dan telah menimbulkan akibat hukum bagi pembuat diskresi.Misalnya, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang disangka telah dilakukan oleh MT, pekerjaan petugas lapangan keluarga berencana yang bertanggungjawab dalam masalah penyaluran beras untuk orang miskin pada Kantor Camat Grong-Grong. Tersangka diduga telah melakukan tindak pidana korupsi terhadap beras bantuan yang diperuntukkan untuk rumah tangga miskin di 15 (lima belas) gampong dalam Kecamatan Grong-Grong tahun 2008 sebanyak 53.540 kg dengan kerugian negara sebesar Rp.190.000.000,- (seratus sembilan puluh juta rupiah). Kasus yang dialami oleh MT adalah karena MT menambah jumlah pihak yang berhak menerima beras untuk orang miskin di Kecamatan Grong-Grong dengan cara membagikan jatah beras yang ada kepada orang yang lebih banyak dari yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga jatah beras untuk orang miskin itu menjadi berkurang untuk masingmasing penerima, karena telah ditambah jumlah penerimanya oleh MT, dengan alasan agar tidak terjadi keributan di gampong-gampong pada saat beras untuk orang miskin itu dibagikan.
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Selanjutnya kasus dugaan tindak pidana korupsi yang disangka telah dilakukan oleh tersangka AH, pekerjaan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, dan MD, pekerjaan staf Dinas Kesehatan Kabupaten. Kasus ini bermula dari adanya surat Kepala Asuransi Kesehatan Cabang Banda Aceh Nomor : 776/01-0/0806 tanggal 8 Agustus 2006 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie perihal permintaan nomor rekening. Di dalam surat tersebut antara lain ditegaskan bahwa pembayaran dana kapitasi Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) Askes/Askeskin khususnya pembayaran kapitasi RJTP sosial dapat dibayarkan ke Puskesmas langsung (rekening Puskesmas) atau melalui Dinas Kesehatan (rekening Dinkes). Sedangkan kapitasi RJTP Askeskin dibayarkan langsung ke PuskesmasPuskesmas (rekening Puskesmas). Apabila pembayaran kapitasi RJTP Askes/Askeskin dilakukan ke Dinas Kesehatan (tidak melalui Puskesmas), maka terlebih dahulu harus ada kesepakatan hitam di atas putih oleh semua Kepala Puskesmas yang menyatakan tidak keberatan atas hal tersebut dan juga ada surat permintaan dari Dinas Kesehatan yang bersangkutan. Berdasarkan surat dari Kepala Askes Cabang Banda Aceh tersebut, kemudian dibuat Surat Pernyataan tertanggal 16 Agustus 2006 yang ditandatangani oleh 33 orang Kepala Puskesmas se-Kabupaten, yang menyatakan persetujuan atau tidak keberatan dalam pembayaran kapitasi RJTP Askeskin Kabupaten Pidie dibayar langsung/ditransfer ke Kantor Dinas Kesehatan atau ke rekening Dinas Kesehatan Kabupaten atas dasar pertimbangan lebih mudah pengadaan obat-obatan Puskesmas (terkontrol), cetakan rujukan/laporan lebih mudah, mempermudah koordinasi laporan kegiatan Askeskin, pertemuan Kepala Puskesmas dengan PT. Askes, dan karena tidak semua daerah Kecamatan memiliki bank. Selanjutnya berdasarkan notulen rapat rutin Askeskin tertanggal 6 September 2006 yang
ditandatangani oleh 5 (lima) orang Kepala Puskesmas senior yang mewakili seluruh Kepala Puskesmas, disepakati antara lain bahwa khusus untuk pengadaan obat untuk Puskesmas dan Pustu, pengadaannya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten sendiri. Sebelumnya untuk melaksanakan program askeskin ini, telah dilakukan pendataan jumlah masyarakat miskin dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati Pidie Nomor 396 Tahun 2006 tentang Penetapan Data Masyarakat Miskin Per Puskesmas pada Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Tahun 2006, tanggal 30 Mei 2006. Di dalam lampiran Surat Keputusan Bupati tersebut dicantumkan bahwa jumlah penduduk miskin yang berhak atas pelayanan Askeskin dalam Kabupaten adalah sebanyak 363.391 orang. Namun kebijakan yang ditempuh oleh AH selaku Kepala Dinas Kesehatan dan MD selaku Pengelola Askeskin Kabupaten menimbulkan masalah hukum yaitu diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dana Asuransi Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin (Askeskin). Dalam penerapan diskresi, seperti tergambar dalam kasus di atas, terdapat perbedaan pemahaman dan persepsi antara pejabat dan aparat penegak hukum yang menyebabkan pejabat pembuat diskresi harus berhadapan dengan hukum. Misalnya, kasus Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie pada tahun 2006 di atas yang menyangkut penyaluran dana Askeskin. Berdasarkan Surat Edaran dari Kepala Asuransi Kesehatan Cabang Banda Aceh dana Askeskin harus disalurkan ke rekening masing-masing Puskesmas. Namun Kepala Dinas Kesehatan mengambil kebijaksanaan dana Askeskin tersebut lebih mudah disalurkan dan dikontrol penggunaannya jika ditransfer ke rekening Dinas Kesehatan dan hal ini mendapat persetujuan dari semua dokter Puskesmas di Kabupaten Pidie. Tetapi, oleh penyidik hal ini dianggap bertentangan dengan Volume 4, No. 2. Mei 2016
-4
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala peraturan karena tidak mengikuti instruksi yang ada didalam surat edaran dari Kepala Asuransi Kesehatan Provinsi. Sehingga pejabat Kepala Dinas yang bersangkutan tersandung kasus hukum. Dari hasil penyidikan aparat penegak hukum yang kemudian menjadi keputusan pengadilan, pejabat bersangkutan ditemukan menggunakan porsi tertentu dari dana Askeskin tersebut untuk kepentingan operasionalnya untuk proses penyaluran. Menurut Jaksa, penggunaan porsi tertentu tersebut untuk operasional sudah melanggar dan mengorbankan kepentingan orang banyak, yaitu sudah mengurangi jumlah yang seharusnya diterima oleh penerima Askeskin. Inilah yang diprediksi bahwa penggunaan diskresi kadangkadang juga bisa berpotensi merugikan publik sehingga perlu ada ketentuan-ketentuan yang mengatur penggunaan diskresi tersebut (Susilo 2015; Huda 2014). Prediksi Susilo dan Huda bukan tidak beralasan. Diskresi malah sudah diidentifikasioleh Robert Klitgaard sebagai salah satu dari tiga faktor penyebab terjadinya korupsi, disamping kekuasaan ekslusif dan kurangnya akuntabilitas (dikutip dari Sanusi 2009). Potensi konsekuensi hukum inilah yang mengakibatkan munculnya kekhawatiran di kalangan pejabat publik untuk melakukan dan menerapkan diskresi untuk kepentingan yang belum diatur oleh peraturan perundangundangan. Kekhawatiran Pejabat Melakukan Diskresi Akibat dari adanya potensi pelanggaran hukum dalam menerapkan diskresi ini, maka muncullah kecenderungan dari pihak pejabat untuk menghindari melakukan diskresi.Sehingga pejabat pemerintah daerah lebih memilih bertindak berdasarkan pada peraturan semata yang diterapkan dan dimaknai secara kaku. Mereka tidak akan berani untuk berinisiatif mengambil kebijakan, terutama apabila berkenaan dengan pengeluaran anggaran atau membebani keuangan daerah, -5
Volume 4, No. 2. Mei 2016
meskipun ada landasan hukum untuk melakukan diskresi. Hal inilah yang menyebabkan pejabat pemerintah daerah khawatir menggunakan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,yaitu karena adanya ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan sering terjadi perbedaan pemahaman pejabat pemerintah daerah dengan penyidik dalam memaknai ketentuan pasal-pasal tindak pidana korupsi khususnya ketentuan tentang melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara. Kriteria dan indikator bahwa suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah daerah merupakan sebuah diskresi antara lain adalah adanya kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh pejabat kepada masyarakat, karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para pemangku kepentingan dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan. Pejabat pemerintah daerah telah diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi dan bahkan sekarang ini telah memiliki dasar hukum yang kuat, namun diskresi bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk diterapkan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi masih merupakan hal yang belum dipahami benar substansinya sehingga banyak pejabat yang berusaha menghindar dari penerapan diskresi. Peran pimpinan masih terlihat sangat dominan untuk menuntun mereka menjalankan tugas pelayanan. Upaya Tindak Lanjut dari Diskresi Walaupun demikian, ada juga beberapa diskresi yang diambil dan dilakukan upaya tindaklanjut terhadap penerapan diskresiyang bersifat prinsipil dan menyangkut
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala penganggaran tersebut dengan cara menuangkan kebijakan diskresi tersebut dalam bentuk produk hukum tertinggi di daerah berupa Qanun, Peraturan Bupati atau Keputusan Bupati. Di Kabupaten Pidie, beberapa diskresi telah dituangkan kedalam bentuk Qanun. Di antaranya adalah Qanun Nomor 4 Tahun 2010 tentang Bantuan untuk Dayah, Balai Pengajian, Majelis Taklim, dan Taman Pendidikan Alquran, Qanun Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bantuan untuk Anak Yatim/Piatu, Yatim Piatu, dan fakir Miskin, Qanun Nomor 6 Tahun 2010 tentang Bantuan untuk Mesjid dan Remaja Mesjid, dan Qanun Nomor 9 Tahun 2011 tentang Bantuan Modal Usaha Pola Syariah untuk Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan menengah. Selain itu hanya diskresi untuk hal-hal yang tidak bersifat prinsipil yang diterapkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kasus hukum, dan ini pun dilakukan dengan cara mengadakan konsultasi dan mengikutsertakan aparat penegak hukum dalam tim pelaksana kegiatan tertentu yang membutuhkan koordinasi. Selain itu juga telah diintensifkan konsultasi dengan Tim Pengawal Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) yang ada di Kejaksaan Negeri Sigli, khususnya apabila pejabat pemerintah daerah perlu melakukan diskresi untuk hal-hal yang bersifat mendesak. Melalui koordinasi dan konsultasi tersebut, diharapkan diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan daerah di Kabupaten Pidie tidak akan lagi menjadi temuan aparat penegak hukum. Pada sisi lain, penggunaan diskresi akan dapat dilakukan secara tepat sesuai dengan ketentuan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asasasas umum pemerintahan yang baik, pejabat pemerintahan daerah dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dilakukannya, karena aparat penegak hukum telah terlibat sejak awal ketika diskresi masih disusun dalam bentuk draft sampai dengan pelaksanaan diskresi itu di lapangan.
Meskipun ada yang menyatakan bahwa diskresi tidak akan menjadi perkara hukum selama tidak ada niat terselubung dalam pengambilan diskresi tersebut (Effendy 2010; Suardja dan Nursidi 2011), namun pada kenyataannya banyak pejabat seperti yang ditemukan dalam penelitian yang merasa khawatir untuk mengambil kebijakan ini. Hal disebabkan oleh adanya beberapa pejabat yang telah terjerat kasus hukum akibat dari diskresi yang diambil. KESIMPULAN 1. Penyebab enggan
pejabat
pemerintah
menggunakan
penyelenggaraan
daerah
diskresi
pemerintahan
dalam daerah
adalah karena adanya ketakutan dan kekhawatiran
akan
menjadi
tersangka
pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan sering terjadinya perbedaan pemahaman pejabat pemerintah daerah dengan penyidik dalam memaknai diskresi. Pejabat
memaknai
bahwa
apa
yang
dilakukannya adalah sebuah diskresi yang diperbolehkan oleh aturan yang berlaku, sedangkan
para
penegak
hukum
memaknainya sebagai sebuah pelanggaran hukum dan berpotensi korupsi. Pada sisi lain banyak pejabat pemerintah daerah yang menjadi karena
terpidana kasus korupsi
melakukan
diskresi
sehingga
memberikan pengaruh dan trauma berat bagi pejabat pemerintah daerah lainnya untuk melakukan diskresi. 2. Upaya pejabat pemerintah daerah untuk menerapkan diskresi
penggunaan dalam
kewenangan
penyelenggaraan
Volume 4, No. 2. Mei 2016
-6
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala pemerintahan daerah, antara lain dengan cara menuangkan lebih lanjut kebijakan
Soekanto, S. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
diskresi setelah dilaksanakan beberapa lama dalam bentuk produk hukum tertinggi di daerah berupa Qanun, Peraturan Bupati atau Keputusan Bupati agar tidak menjadi temuan sehingga tidak lagi berbentuk diskresi, menggunakan diskresi untuk halhal yang tidak bersifat prinsipil dan tidak membebani
keuangan
daerah,
dan
melakukan
konsultasi
dengan
dan
mengikutsertakan aparat penegak hukum dalam tim pelaksana kegiatan tertentu yang membutuhkan koordinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, A.2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Universitas Gajah Mada,Yogyakarta. Effendy, M. 2010. "Apakah Satu Kebijakan Dapat Dikriminalisasi?" Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LBPFA), Jakarta. Huda, K. 2014. "Pertanggungjawaban Hukum Tindakan Mal-Administrasi dalam Pelayanan Publik." Jurnal Heritage (Universitas Yudharta) 2 (2): 30 - 4, Pasuruan. Mustamu, J. 2011. "Diskresi dan Tanggung Jawab Administrasi Pemerintahan." Jurnal Sasi 17 (2). Accessed Oktober 21, 2015. Sanusi, H.M. A. 2009. "Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan." Jurnal Konstitusi (Mahkamah Konstitusi) 6 (2): 83 - 104. Accessed Mei 2016.
-7
Volume 4, No. 2. Mei 2016
Suardja, T.O. and Nursidi,D. 2011. "Implementasi Diskresi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah." Jurnal Yudistia 1 (1): 14 - 21. Susilo, A B. 2015. "Makna dan Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik." Jurnal Hukum dan Peradilan 4 (1): 133 -
152. Accessed April 2016.