Penggalan isi novel BAB 1
Kotak Kecil Sejuta Mimpi
Kotak kecil yang menyimpan berjuta-juta mimpi dua anak kecil yang bersahabat lama adalah sebuah kenangan yang akan tetap menyimpan cerita indah dan tak pernah lekang oleh waktu sekalipun. Kotak yang berbentuk persegi empat dan berwarna cokelat ini akan tetap menyimpan senyuman, tawa, tangis dan kebahagiaan dua anak manusia yang berjanji akan tetap bersama dan bertemu pada saat dewasa nanti. Tentu semua mimpi hanya akan menjadi mimpi tapi mimpi indah yang membuat kita terbuai dan tak pernah ingin terbangun. “Beep...Beep...Beep...” Bunyi getaran handphone yang diikuti suara merdu Christian Bautista, tergeletak diatas kasur tepat disamping bantal sang pemilik dan dilayar tertera nama kantor memanggil. Sang pemilik handphone tersadar dari mimpinya saat mendengar getaran handphone-nya yang mengenai bantal tempat dimana kepalanya diletakkan. “Halo siapa nih? Pagi-pagi ganggu orang aja!” Ucap pemilik handphone saat mengangkat telepon dengan suara yang masih parau. “Hey non masih niat kerja enggak sih lu? Udah jam setengah delapan dan lu belum sampai kantor juga?” Jawab seseorang diujung telepon sana dengan nada suara yang sedikit agak meninggi karena kekesalannya. Sambil menggosok-gosokkan matanya, sang pemilik handphone lalu melihat pada layar siapa yang meneleponnya di pagi-pagi seperti ini sehingga mengganggu waktunya yang sedang asyik bermimpi. “Astagfirullah gue kesiangan! Maaf-maaf ibu produser yang cantik, gue langsung ngibrit ke kantor.” Jawabnya saat sadar bahwa yang meneleponnya adalah kantor tempat dimana ia bekerja.
Handphone-nya pun dilemparkan begitu saja ke atas kasur setelah menutup telepon tersebut. Dengan tergesa-gesa ia melompat dari tempat tidur yang dilapisi bedcover berwarna biru kesukaannya untuk bergegas mandi sekilat mungkin karena waktu sudah menunjukkan
pukul setengah delapan dari jam dinding yang tergantung dikamar dan itu berarti hanya ada waktu setengah jam untuk dapat sampai ke kantor bagaimanapun caranya. Hari ini adalah hari pertama disetiap awal minggu, hari senin. Itu berarti jalanan akan dipenuhi oleh manusia-manusia yang akan bekerja ataupun sekolah. Dan kemungkinan kecil untuk aku datang ke kantor tepat sebelum jam menunjukkan pukul delapan. “Hem.. ya udahlah ya gue telat lagi masuk kantor. Kena SP satu deh. Sial bener nasib lu dy.” Ucapku dengan menghela napas panjang saat sedang menggosok gigi dan memandangi cermin yang berada tepat dihadapanku.
Dengan terburu-buru dan berlarian tidak karuan, aku segera merapikan diri didepan cermin rias, menarik tas yang tergeletak diatas meja samping cermin, mengambil roti dan berlari ke ruang depan untuk memakai sepatu dengan roti yang tergantung dimulut lalu mengunci pintu rumah kontrakan yang tidak begitu besar tapi dapat melindungiku dari sengatan matahari dan hujan serta tempat dimana aku dapat beristirahat dengan tenang. Aku berjalan meninggalkan rumah pagi ini dengan gembira dan penuh senyum, dengan langkah kaki perlahan namun pasti. Maksud hati untuk menghibur diri dan mempersiapkan muka tembok karena sudah pasti terkena marah akibat aku tak dapat sampai ke kantor tepat pukul delapan.
Namaku Dyandra Agnita. Seorang perempuan asal Bandung berumur 22 tahun yang memiliki kulit putih, tinggi 167 cm dan berat badan setara berat badan model proposional Indonesia. Aku telah menyelesaikan kuliahku dibidang broadcast pada salah satu universitas negeri ternama di Bandung beberapa bulan yang lalu sebagai mahasiswi yang lulus dengan IPK tertinggi dan beasiswa selama berkuliah. Prestasi yang ku miliki ini tidak lantas membuat aku menjadi orang yang sombong dan lupa akan daratan, tapi aku sangat bersyukur karena Allah SWT yang telah memberi karunia yang begitu besar padaku karena aku adalah seorang anak yang mungkin tidak sebahagia anak lainnya. Sejak lahir aku sudah tinggal di panti asuhan yang hanya dapat menampung lima belas anak saja karena hanya bangunan rumah biasa yang dijadikan panti asuhan oleh salah satu orang yang dermawan dan berhati mulia. Entah dimana Ibu dan Ayahku berada, mungkin kehadiranku ini memang tidak pernah di inginkan dan yang aku tahu hanya bu Asni yang mengasuhku sejak bayi yang juga pemilik panti tempatku berada
dan menjadi ibuku sampai kapanpun. Sudah dua tahun aku bekerja menjadi penyiar di Kiss Love Radio, radio anak muda ternama di Bandung. Hari ini aku berpakaian kasual dengan kaos biru bersablon dan celana jeans hitam yang kecil pada bagian paha kebawah, rambut panjang yang diikat dan membiarkan beberapa helai rambut sebagai poni, memakai sepatu kets berwarna biru langit, membawa tas yang terbuat dari kulit berwarna cokelat, menggunakan segala aksesoris berwarna biru dan yang pasti memakai seragam kebanggaan Kiss Love Radio. “Pagi nenek Marwah.” Sapaku penuh senyum saat melintasi rumah nenek Marwah yang hanya terhalang sepuluh rumah dari kontrakanku. “selamat pagi anak cantik.” Balas nenek Marwah dengan penuh senyuman. “Pagi Dyandra.” Sapa seseorang yang berada dibelakangku. “Eh pak Rendra, selamat pagi pak.” “Kesiangan lagi ya hari ini?” “Hehehehe iya pak kemarin saya ada kerjaan ngeMC sampai jam 1 pagi alhasil saya bangun kesiangan lagi.” Jawabku cengengesan. “Oh begitu, tapi saya suka semangat kamu yang begitu menggebu-gebu. Setiap pagi masih bisa tetap tersenyum dan menyapa orang-orang sambil tersenyum padahal kamu sudah terlambat.” “Kalau kita merasa bahagia dalam hidup, maka aktivitas yang kita jalani akan terasa mudah pak. Kalau masalah menyapa dan tersenyum itu kan ibadah pak. Enggak ada salahnya kan kalau saya berbagi kebahagiaan pada semua orang hehehehe.”
Astaga waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat empat puluh lima menit saat aku melihat pada jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sudah tidak ada lagi waktu untuk menghibur hati tapi harus mempersiapkan kaki berlari sekencang mungkin. Jarak kantor dengan rumahku agak lumayan jauh karena harus dua kali menggunakan angkutan umum yang biasa orang-orang menyebutnya angkot. Tapi sudah tidak mungkin kalau aku harus menggunakan angkot dalam waktu lima belas menit karena angkot memiliki rute perjalanan yang begitu panjang dan akhirnya ku putuskan menggunakan taksi saja agar cepat sampai di kantor.
Kiss Love Radio berada dilantai 10 salah satu gedung perkantoran di Bandung dan dengan kencangnya aku berlari dari lobbi gedung tersebut menuju lift dengan tidak memperdulikan sekitar dan beberapa menjadi korban tabrak lariku. “Dyandra Agnita sang penyiar ternama di Bandung, hari ini lu telat untuk keempat kalinya dan kalau gue pemilik radio ini, pasti lu udah gue pecat dari dulu.” Sindir Arcela salah satu produser program acara Kiss Song Request yang biasa aku bawakan setiap pagi dengan wajah agak serius. “Hahahaha muka lu kalau serius gitu bikin geli ya cel hehehe. Emang hari ini gue telat berapa menit?” “Sepuluh menit. Udah deh enggak lucu leluconan lu itu.” “Hehehe sori jangan dianggap serius gitu dong. Oh Cuma sepuluh menit doang. Masih rekor yang minggu lalu dong, gue telat satu jam. Hahahahaha” Tawaku pecah saat mengejek Arcela dan berlari menuju ruang siaran.
Kiss Love Radio memiliki tata ruangan yang nyaman dan enak untuk bersantai-santai. Setelah keluar dari lift, Kiss Love Radio berada tepat dihadapan lift dengan pintu masuk dari kaca bening dan diletakkan meja panjang kayu dimana setiap orang akan disapa dengan ramah oleh dua orang resepsionis cantik (yang pastinya wanita bukan makhluk jadi-jadian). Disebelah kiri terdapat ruangan-ruangan yang disekat dengan dinding triplek yang dicat berwarna-warni yang digunakan sebagai ruangan bekerja para karyawan Kiss Love Radio. Dihadapan ruanganruangan tersebut diletakkan beberapa sofa nyaman berwarna cokelat yang biasa digunakan anakanak SMP dan SMA penggemar Kiss Love Radio untuk kumpul-kumpul dan berbagi cerita dengan sesama penggemar. Disebelah kanan pintu masuk akan terlihat ruang siaran yang dibatasi oleh kaca bening kedap suara dan ruangan love opp yang bertugas mengangkat telepon untuk request atau pembuatan Love ID bagi para penggemar radio ini. Didalam ruang siaran ditata sedemikian rupa agar nyaman dengan dua sofa berwarna merah muda, dua sofa berwarna biru muda dan meja kaca panjang yang disusun tepat dihadapan meja siaran dan jendela dengan kaca bening disebelah kanan meja siaran yang menghadap pemandangan kota Bandung yang menambah kenyamanan bagi siapapun yang berada didalamnya.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan kotak kecil berwarna cokelat yang sudah lima belas tahun ku simpan dengan baik dalam bungkus plastik hitam yang ku taruh dibawah tempat tidur. Kotak itu berisi banyak kenangan masa kecilku bersama Evan Raka Pradipta. Seorang anak diplomat yang tinggal tepat disebelah panti asuhan yang menampungku sejak bayi. Raka yang seumuran denganku yang selalu membuatku dapat menerima bahwa hidup ini tidak selalu buruk karena aku tidak memiliki orang tua sepertinya. “Tok tok tok” Suara Arcela mengetuk kaca ruang siaran dari luar sembari memberi isyarat bahwa aku harus segera memulai siaran. “Oke-oke” Sambil mengangkat jempol, ku arahkan pada Arcela bahwa aku akan segera mengudara. “Kiss Love Radio 91,1 fm Bandung radionya anak muda yang penuh dengan cinta pastinya. Dan seperti biasa di paginya kamu bakal ditemenin gue Dyandra Agnita di Kiss song request sampai jam sebelas nanti. Jadi buat lovers semua yang udah enggak sabar buat denger lagu-lagu favorit lovers diputer, buruan ambil handphone kamu dan gerakin jempol kamu buat kirim sms ke 080825025. Abis dua lagu yang gue puterin, gue bakal baca semua request-an kalian semua.” sambil memainkan jari-jemariku diatas Audio Console (mixing console) ku putarkan lagu Rossa-Menunggu sebagai lagu pembuka siaranku pagi ini.
Pekerjaanku sebagai penyiar ini sebenarnya bukanlah hobbi atau ketertarikan menjadi seorang penyiar, tapi Raka yang membuat aku seperti ini. Masa kecil yang ku habiskan untuk bermain bersama Raka yang menyimpan banyak kenangan dan mimpi-mimpi kami tersimpan dengan baik dalam kotak kecil yang ku impikan pagi tadi. Raka seorang anak tunggal yang berwajah tampan dan berkulit putih karena ibunya berasal dari Filipina adalah anak yang selalu berobsesi menjadi seorang penyanyi terkenal saat dewasa nanti.
Hari itu saat tujuh belas tahun yang lalu saat kami masih berumur lima tahun, langit terlihat sangat cerah hari itu. Raka mengajakku untuk bermain di halaman belakang rumahnya
yang asri dan sejuk, ditumbuhi dengan banyak rerumputan hijau, pohon yang tumbuh tegak dan kokoh yang dengan rindangnya melindungi kami dari sengatan matahari dan langit biru dengan awan-awan yang tampak putih bersih bagaikan kapas halus yang Tuhan ciptakan tanpa noda hitam satu titik pun. Kami pun merebahkan diri diatas rumput dan menghadap langit yang masih biru pagi itu. “Kamu tau kenapa aku ngajak kamu kesini?” Ucap Raka memulai pembicaraan. “Enggak tau, emangnya kenapa?” Jawabku dengan ekspresi polos layaknya anak-anak yang tidak mampu menebak pemikiran temannya saat bermain. “Ditempat ini kita bisa liat langit yang indah dengan sepuasnya. Karena aku tau kita berdua kan sama-sama suka langit jadi aku ajak kamu kesini.”
Langit yang selalu membuat kami bermimpi indah saat kami memandangnya karena langit biru yang membuat kami bermimpi menggapai segala cita-cita setinggi langit. Langit biru dengan awan putih yang membuat kami tenang dan yakin dapat meraih mimpi setinggi langit saat melihatnya. “Saat dewasa nanti aku ingin menjadi penyanyi terkenal dengan lagu-lagu yang disukai banyak orang dan pasti nanti aku ciptain lagu buat kamu. Tapi apa kita bisa terus main bareng kayak gini enggak ya? Apa mungkin kita ketemu saat dewasa nanti?” Ucap Raka yang melanjutkan percakapan yang sempat terputus beberapa detik yang lalu. “Emang kamu enggak mau ketemu sama aku lagi? Kamu mau pergi ninggalin aku? Raka jahat sama Dyandra!” Jawabku merajuk dengan wajah yang memperlihatkan ekspresi agak marah. “Aku enggak akan pergi kemana-mana Dyandra, aku tetep disini disamping sahabat aku selamanya. Tapi kalau aku pergi.....” Kalimat Raka terputus saat melihat mataku yang sudah berkaca-kaca. “Enggak! Raka enggak boleh pergi ninggalin Dyandra. Nanti kalau Raka pergi ninggalin Dyandra terus Dyandra harus main sama siapa? Masa Dyandra harus liat langit sendiri. Terus nanti gimana caranya ketemu Raka kalau Dyandra kangen?” Suasana menjadi hening sejenak. “Kalau gitu pas dewasa nanti kamu jadi penyiar radio aja kan kalau Raka jadi penyanyi, pasti lagunya masuk radio dan nanti Raka bakal diwawancarain di radio. Kalau kamu jadi
penyiar berarti kamu yang wawancarain Raka.” Ide yang terlontar dari mulut Raka yang diiringi dengan senyuman. Raka pun merangkulku sebagai sahabat baik yang tidak akan pernah terpisah sampai kapanpun. Karena hanya Raka yang ku miliki saat ini. Raka yang membuatku kuat, membuatku tegar dan yang selalu membuatku tersenyum setiap kali melihat kelakuannya yang menghibur.
Itulah yang membuat aku menjadi penyiar sampai dengan saat ini. Janji seorang anak kecil yang selama lima belas tahun aku yakini akan terjadi setelah Raka pergi mengikuti ayahnya yang berpindah tugas saat ulang tahunku yang ketujuh pada saat itu dan Raka memberikanku sebuah kotak musik yang dibelikan ayahnya saat bertugas di Jepang. Ya memang benar saat ini aku sudah menjadi penyiar sesuai dengan perkataan Raka saat kami masih berumur lima tahun itu, tapi apa mungkin cita-cita Raka pun terwujud menjadi seorang penyanyi terkenal? Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar seorang penyanyi yang bernama Raka. Lalu jika cita-cita Raka tidak tercapai, untuk apa aku bertahan menjadi penyiar sampai hari ini? Betapa bodohnya aku yang percaya dengan perkataan anak kecil tujuh belas tahun yang lalu. Dan mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan Raka lagi. “Heh ngelamun mulu kerjaan lu. Dasar makan gaji buta!” Ucap Arcela saat masuk ke ruang siaran dan menyadarkanku dari khayalan. “Ngagetin aja lu cel. Masuk enggak permisi dulu. Ketok pintu kek setidaknya.” “Haduh helloohhh ngapain juga gue ketok pintu emang gue mau bertamu. Masa iya gue harus ketok pintu? Tok tok tok permisi Dyandranya ada? Gue ada......” “Enggak ada, Dyandranya lagi ke laut ada kerjaan nguras laut. Hahahaha” Jawabku memotong perkataan Arcela. “Bagus deh emang pekerjaan yang cocok buat lu nguras laut. Udah ah jangan becanda mulu, gue mau serius nih. Gara-gara lu telat, gue jadi lupa bilang kalau hari ini ada satu lagu baru yang masuk ke playlist yang harus lu puter.” “Oh ya? Lagu dari siapa?” “Penyanyi baru. Dia tuh jadi penyanyi juga di Filipina. Asli Indonesia sih sebenernya, tapi emang rezeki dia jadi penyanyi di negeri orang, tapi sekarang dia dapet kesempatan buat
berkiprah di negeri sendiri. Udah seharusnya kan orang-orang berbakat dari Indonesia berkarya di negeri sendiri, jangan di negeri orang mulu. Benerkan?” “Christian Bautista??? hah sumpah lu beneran??” Tanggapanku antusias. “Ye itu sih maunya elu kale ama dia. Lagian Christian Bautista kan Filipina asli dan si doi udah jadi penyanyi internasional jeng.” “Oh iya ya lupa gue ckckck.” Jawabku cengengesan. “Jadi gue lanjutin lagi ya. Si penyanyi baru ini udah dari enam bulan lalu balik ke Indonesia dan katanya dia pacaran ama itu tuh yang maen sinetron anak ditukar apa anak tukartukaran, atau anak tertukar ya itu lah gue lupa judulnya yang pasti dia pacaran sama Alenka Wila dong. Ih enggak banget ama artis kecentilan itu. Liat muka tuh cewek bawaannya pengen ngeremes lobak terus gue parut-parut diatas paku.” “Waduh sadis amat cel idup lu. Eh by the way anyway busway ceritanya udah tamat nih? Enggak sekalian lu ceritain biografi tuh orang ke gue mulai dari berojol ampe segeda sekarang?” “Yee dasar lu ini enggak antusias banget sih ama cerita orang lain. Nyesel deh lu udah ngomong gitu kalau lu liat orangnya ganteng banget dong. Naksir berat lah gue ama dia.” “Ya udah lah ya silahkan anda mengkhayal sendiri diluar sana karena mengganggu gue siaran.” Ucapku sambil mendorong Arcela menuju pintu ruang siaran. “Oke gue mau mengkhayal dulu ah jadi pacar dia. Udah ganteng, suara bagus, tajir ahhh... bahagia banget deh hidup gue.” “Udah keluar sonoh.” “Hahahaha iya bu sabar deh. Eh ini script-nya tentang dia yang harus lu baca oke.” Ucap Arcela saat menyerahkan script dan mengangkat kedua jempolnya padaku. “Iya pergi-pergi.” Kata terakhir yang ku ucapkan sesaat sebelum menutup pintu ruang siaran.
Aku berjalan kembali menuju meja siaran dengan malasnya. Ku letakkan script yang dibawa Arcela diatas meja tanpa membacanya terlebih dahulu. Entah mengapa aku tidak begitu tertarik dengan seseorang yang berada dalam script ini meskipun aku belum mengetahui siapa orang yang dimaksud Arcela tadi. “Balik lagi di Kiss song request. Lagu fireworknya katty perry yang barusan diputer udah direquest sama Cynthia di SMA Setia Sentosa. Sebelum gue lanjutin baca request-an lovers yang
udah masuk, gue mau ngasih tau dulu nih kalau ada satu lagu yang baru masuk ke playlist kita hari ini yang datang dari penyanyi yang baru berkiprah di Indonesia yang katanya dia ini sudah tiga tahun menjadi penyanyi di Filipina. Cowok yang lahir dan asli Indonesia ini terpaksa harus meninggalkan tanah air karena ayahnya yang seorang diplomat namun bukan berarti di negeri orang dia tidak bisa berkembang tapi dia mengukir banyak prestasi baik dibidang pendidikan maupun seni. Waw keren ya lovers prestasinya. Ya udah langsung aja ya kita dengerin lagunya sebelum gue lanjut bacain prestasi-prestasi dia yang lain. This is Mungkin Cinta by.....” Perkataanku terhenti sejenak. Jantungku rasanya berhenti berdetak dan napasku terasa berat bagaikan saluran pernapasan yang tersumbat oleh benda besar yang tidak mengijinkan udara untuk masuk sama sekali. Mataku tetap tertuju pada nama seseorang yang tertera dalam script. Tanganku gemetar saat menggenggam script ini dan keringat bercucuran begitu hebat. “Evan Raka Pradipta.” Ucapku lirih dan terbata-bata pada microphone yang berada dihadapanku. “Yanuuuuuuu.........” Teriakku sembari berlari dengan langkah kaki riang gembira dan memeluk Yanu yang baru saja membuka pintu ruang siaran.
Ardiyanu Mahessa adalah salah satu penyiar di Kiss Love Radio dan kami sudah berteman dekat sejak hari pertamaku bekerja disini. Yanu sang anak keturunan jawa dan Filipina ini, memiliki kulit putih, tinggi 170 cm, berbadan sixpack karena kegiatan olahraganya yang rutin dan wajah yang tampan oriental, kadang membuatku teringat pada Raka. Mereka memang sosok dan pribadi yang berbeda namun kehadiran Yanu merupakan sosok yang mengisi harihariku yang kosong begitu lama sejak Raka harus pergi meninggalkan Indonesia dan Yanu seolah-olah menempati posisi itu sehingga aku merasa Raka tetap disini, disampingku selamanya. “Yanu, gue nemuin Raka.” Ucapku begitu gembira dan penuh semangat saat mengawali pembicaraan. “oh ya? Dimana?”
“Akhirnya dia mewujudkan mimpinya nu. Sumpah gue speechless banget liat lagu dia bisa masuk radio kita.” Senyuman dan tatapan mataku mulai berbinar-binar. “Syukurlah dy, akhirnya pangeran lu dateng juga.” Jawab Yanu dengan senyum simpul. Sekali lagi aku memeluk Yanu dan tersenyum sambil memejamkan mata. Rasanya masih sulit untuk dipercaya bahwa janji anak kecil yang selalu ku katakan bodoh ternyata menjadi kenyataan yang indah. “Nu, you know me love him so much.” Ucapku sembari berteriak dan menghempaskan kedua tanganku keatas. “Kreeekk.” Suara pintu ruang siaran terbuka. “Sori kalau gue ganggu kemesraan kalian berdua, tapi lo dapet telepon dari pak Wira Admadja.” Suara pelan Arman sang love opp mengagetkan aku dan Yanu yang masih berbincang-bincang di depan meja siaran. “Seriusan?” Tanyaku tak percaya. “Yoi, kayaknya lo kena marah kali, soalnya lo enggak nurunin audio microphone dari mixer alhasil percakapan lo berdua jadi konsumsi publik se-Bandung raya.” Lanjut Arman dengan kembali menggunakan suara pelannya. “APAA.....???” Teriakku dan Yanu yang hampir bersamaan. Buru-buru aku dan Yanu menuju ke meja siaran dan berlomba-lomba untuk menurunkan volume audio pada mixer. Yanu menempatkan kedua telapak tangannya diatas meja siaran sembari menundukkan kepala dan menghela napas yang begitu panjang. Mungkin dalam hatinya menangis, meratapi peristiwa tragis yang baru saja ia alami. Miris.
Dengan tangan yang bergetar, ku beranikan diri untuk mengangkat telepon yang tergeletak gagangnya diatas meja ruangan love opp. Sejuta pemikiran datang dan pergi silih berganti. Aduh kenapa marah apa ya gue? Naik gaji? wah enggak mungkin banget. Dimutasi? enggak juga ya kan pak Wira cuma punya satu radio masa iya gue di pindahin jadi montir. Jadi istri kedua? ahhhhhhhhhhh hush hush botak pergi jauh kau khayalan konyol. Buru-buru ku hapus pikiran bodoh itu sembari mengibas-ngibaskan tanganku diatas kepala seperti akan mengusir nyamuk yang berdenging mengelilingi kepala. “Ha ha hal haloo pak Wira.”
“DYANDRAAAAAAA........” Teriak pak Wira diujung telepon sana yang mungkin akan menyakiti setiap telinga yang mendengarnya. “Ehh buset dah suaranya.” Ucapku sembari menjauhkan gagang telepon dari telingaku. “Sabtu nanti kamu temui istri saya di kantor dan minggu depan temui saya setelah saya pulang dari Singapur, mengertiiiiiii......!!!!” Suasana mulai memanas. “Arrrggghhh dasar botak ngomong enggak bisa kurang kenceng lagi ya ampe kuping gue sakit.” Keluh ku dengan suara agak merendah. “Apa kamu bilanggggg????” “Enggak apa-apa pak botak, eh pak Wira maaf-maaf saya harus closing siaran, nanti saya temui bu Kikan ya pak terima kasih.” Ucapku tergesa-gesa dan segera menutup telepon lalu berlari menuju ruang siaran.
Semalaman aku tidak dapat tidur sama sekali, hingga pagi ini aku menatap diri dihadapan cermin. Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit dan aku tetap tertegun melihat diri yang terefleksi di cermin. “Dyandra, sadar hey sadar lu udah ngelakuin hal bodoh berkali-kali.” Ucapku dihadapan cermin sembari menepuk kedua pipiku. “Beep...beep...beep...”Suara handphone-ku yang tergeletak diatas meja rias. Mendengar suara handphone yang terus-menerus menjerit minta diangkat, akhirnya aku berjalan dengan gontai menuju kamar dan meraih handphone tersebut dengan mata yang mulai terlihat terkena serangan kantuk. “Halo nu, ada apa telepon pagi-pagi?” “Gue cuma mau mastiin keadaan lu aja. Lu enggak kenapa-kenapa kan?” “Gue enggak kenapa-napa kok nu, oh ya gue juga minta maaf atas kejadian hari senin itu. Kalo lu kena panggil pak Wira juga, biar gue yang tanggung jawab semua.” “Lu enggak usah mikirin gue dy, justru gue khawatir sama lu. Mudah-mudahan aja enggak ada kabar buruk setelah lu ketemu bu Kikan hari ini.” “Iya thanks nu.”
Pagi ini aku memang tidak ada jadwal untuk bersiaran karena jatahku memang hanya hari senin sampai jum’at pada pagi hari saja dan hari sabtu sampai minggu digunakan bergiliran setiap paginya oleh anak-anak penggemar Kiss Love Radio untuk belajar bersiaran on-air secara gratis. Ya tujuan utamaku datang pagi ini untuk menemui bu Kikan, istri dari pemilik Kiss Love Radio yang memiliki tubuh tinggi, langsing, berkulit putih dan cantik terawat.
Sampe sekarang gue masih heran kenapa ya bu Kikan mau ama pak Wira yang botak? (maaf hehehe) Padahal pak Wira enggak ganteng loh. Menurut gue kalo bu Kikan enggak mungkin kalo enggak laku, orangnya cantik gitu. hahahaha sudahlah lupakan pak botak eh pak Wira.
Aku masih tertegun didepan pintu ruangan bu Kikan bagaikan patung ukir buatan seniman-seniman Bali sebagai simbol sambutan selamat datang. Aku mencoba untuk mengetuk pintunya, tapi kembali ku urungkan niat dan ku tarik kembali tanganku. Entahlah mengapa hari ini semangatku hilang dengan sekejap. Sejujurnya aku takut dan teramat sangat takut untuk dikeluarkan dari radio ini karena aku baru saja menemukan Raka, teman kecil yang selalu ku harapkan kehadirannya bertahun-tahun. Sejenak teringat kenangan tujuh belas tahun lalu ketika aku takut untuk melihat dunia luar, takut untuk bermain dengan anak-anak lain dan takut untuk menjadi anak adopsi dan Raka selalu berkata “Buat apa takut dy. Takut itu cuma bikin kita enggak berani bertindak apapun. Ayo coba pegang dada kamu dan pejamkan mata kamu lalu bilang aku bisa, aku bisa.” Aku mencoba untuk melakukan perkataan Raka itu saat ini. Ku mulai memejamkan mata dan memegang dada. “Aku bisa, aku bisa, aku bisa.” “Lagi ngapain kamu disini?” Tiba-tiba bu Kikan membuka pintu ruangannya dari dalam dan melihatku yang berdiri tepat dihadapan pintunya dengan mulut komat-kamit mengucapkan apa yang dulu Raka pernah ucapkan. “Eh ibu tadi..tadi..saya tadi...” Jawabku dengan salah tingkah “Tadi-tadi apa? mau guna-guna saya ya?” “Ih enggak bu sumpah. Enggak salah gitu maksudnya hehehehehe”
“Dasar anak nakal.” Balas bu Kikan sembari mengetuk pelan kepalaku dan tersenyum manis. Aku pun masuk mengikuti bu Kikan kedalam ruangan kerjanya yang bertatakan dengan rapih dan wangi. Aku duduk diatas sofa nyaman yang menghadap meja kerja bu Kikan dan bu Kikan pun memulai pembicaraan. “Kamu tahu kan untuk apa pak Wira memanggil kamu menemui saya?” Suara lembutnya memulai percakapan. “Tau bu. Saya banyak kesalahan beberapa bulan ini. Terlebih kejadian senin lalu karena kecerobohan saya.” Ucapku lirih lalu menundukkan kepala. “Ya mungkin itu salah satunya. Kemarin sebenarnya pak Wira ingin memberhentikan kamu selama sementara tapi....”
Aku menarik badanku untuk berdiri dengan tumpuan di lutut dan menghadap ke arah bu Kikan sembari menangis-nangis ria dan memegangi tangannya. “Bu jangan pecat saya bu. Saya mohon bu. Kasian saya bu nanti saya enggak bisa beli sesuap nasi dan seonggok berlian bu.” Huuhh ternyata hanya khayalan saja. “Tapi saya membujuknya agar kamu tidak dikeluarkan karena kamu adalah salah satu penyiar terbaik di radio ini.” Perilaku dan tutur katanya yang halus, membuatku tak pernah henti mengaguminya. Rasanya hatiku merasakan perasaan yang sangat dekat dengan bu Kikan. “Dan pada akhirnya pak Wira mengikuti saran saya tersebut.” “Ya Allah betapa baiknya ibu berhati malaikat ini.” Gumamku dalam hati. “Jadi...” Bu Kikan kembali melanjutkan pembicaraan dengan tatapan mata yang serius. “Jadi...???” Tanyaku penasaran sembari menatap bu Kikan dengan senyum lebar dan mata berkedip-kedip. “Jadi….” Tatapan mata bu Kikan semakin serius. “Iya bu iya bu jadi?” Mataku semakin berbinar-binar menunggu pernyataan bu Kikan. Bu Kikan semakin menatapku dengan serius, semakin dalam, dalam, dalam dan…. “Jadi gimana bu?” Gigiku semakin mengering dengan senyuman memaksa agar penderitaan ini cepat berakhir.
“Jadi jawaban apa yang kamu mau dengar dari saya?” “Eeee apa ya bu?” Tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala. “Jadi......jadi saya pindahkan jam siaran kamu ke Love Story yang setiap jam 11 malam itu.” Lanjut bu Kikan dengan senyum sekenanya. “Hah..???”