BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku 2.1.1. Pengertian Perilaku Perilaku yaitu suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya, baik yang diamati secara langsung ataupun yang diamati secara tidak langsung. Pada umumnya perilaku manusia berbeda, karena dipengaruhi oleh kemampuan yang tidak sama. Pada dasarnya kemampuan ini amat penting diketahui untuk memahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang lain. Jadi dengan kata lain perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme yang bersangkutan( Thoha, 1979) Menurut Notoadmodjo (2003) seseorang yang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya dalam 3 tahap, yaitu : pengetahun, sikap, praktek atau tindakan (practice).
2.1.2 Pengetahuan Pengetahuan merupakan Justified true believe. Artinya seseorang individu membenarkan kebenaran atas kepercayaan berdasarkan observasinya mengenai dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia menciptakan pemahaman atas suatu situasi baru dengan cara berpegang pada kepercayaan konstruksi dari
Universitas Sumatera Utara
kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief system) dimana perasaaan atau system kepercayaan itu bisa tidak disadari. Misalnya, seorang waria mempunyai pengetahuan mengenai kondom setelah dia dapat melihat atau memegang dan menggunakan kondom tersebut. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus dihayalkan. Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di atas kertas, diformulasikan dalam bentukbentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Untuk mengenali nilai dari pengetahuan hayalan dan memahami bagaimana menggunakannya. Misalnya, seorang waria dapat mengetahui mengenai kondom dengan memperoleh gambaran dari seseorang tanpa harus dia melihat gambar atau bentuk kondom tersebut. Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Konteks yang dimaksud adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Misalnya, seseorang dianggap mengetahui tentang kondom dan kegunaannya setelah dia mendapat penjelasan dari orang lain atau melihat orang lain menggunakannya atau mengetahui dari media.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Sikap Sikap bisa diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Konsep
itu
kemudian
berkembang
semakin
luas
dan
digunakan
untuk
menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol terhadap respons pada keadaan tertentu (YOUNG, 1956). Adapun menurut Ancok (1985) yang mengartikan sikap adalah suatu bentuk sikap positif atau negatif, tergantung pada segi positif atau negatif dari komponen pengetahuan. Misalnya, seorang waria akan mempunyai sikap positif atau tertarik menggunakan kondom setelah dia mengetahui manfaat penggunaan kondom tersebut. 2.1.4 Tindakan Terdapat hubungan yang erat antara sikap dan tindakan. Hal ini didukung oleh pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak. Tindakan akan tampak lebih konsisten dengan sikap bila suatu sikap individu dapat melakukan negosiasi dengan kelompok atau bagian dari anggotanya. Menurut
Notoatmojo
(2003)
terdapat
beberapa
tingkatan
dari
tindakan/praktek, yaitu : a. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. b. Respons terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar atau sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
Universitas Sumatera Utara
c. Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. d. Adaptasi, yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
2.2 Perubahan Perilaku Menurut Skinner (1999), prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinfoncer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi pelaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasikan komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dibentuk. c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah lama tersusun itu. Menurut Green (2004) kesehatan sesorang dipengaruhi faktor perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh 3 domain utama, yaitu pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan, factor demografis. Faktor Enabling terkait dengan akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan. Faktor Enabling juga berasal dari komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap suatu objek perilaku
Universitas Sumatera Utara
kesehatan. Faktor reinforcing berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan. Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan perilaku tersebut dapat diterangkan sebagai berikut : a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Contohnya : agar seorang waria mau menggunakan kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran waria tersebut tentang kondom. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan kondom. b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat pembelian kondom, tempat konsultasi, tempat berobat, ketersediaan kondom/kemudahan mendapatkan kondom dan sebagainya. Untuk perilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasana pendukung, misalnya penggunaan kondom. Waria yang mau menawarkan kondom tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan waria tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh kondom. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor – faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
Universitas Sumatera Utara
c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku menawarkan kondom terhadap pelanggan, serta kemudahan memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan waria menawarkan kondom kepada pelanggan, serta kemudahan memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan Waria menawarkan kondom kepada pelanggannya dan tidak boleh melayani jika tidak mau memakai kondom. Perilaku seseorang menurut World Health Organization/WHO (1984) adalah karena adanya alasan pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek. Pengetahuan dapat membuat keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut yaitu dapat diperoleh dari pengalaman bemacammacam sumber misalnya media massa, media cetak, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media, poster, brosur, teman dan sebagainya.
2.3 Perilaku Seksual Seksualitas merupakan suatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata seks yang merupakan kegiatan hubungan fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat juga menunjukan gambaran kualitas kehidupan manusia, terkait dengan perasaan
Universitas Sumatera Utara
paling dalam, akrab dan intim yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam, dapat berupa pengalaman, penerimaan dan ekspresi diri manusia (Salbiah, 2003). Dalam kehidupan bisa terjadi perilaku seksual yang meyimpang seperti homoseks, sodomi, dan pemaksaan seksual. Mereka berperilaku seperti itu karena situasi dan kondisi yang mereka rasakan sebagai akibat kerasnya hidup. Perilaku seks tersebut dipengaruhi oleh kekurangmampuan untuk mengontrol dorongan seksnya sehingga timbul keinginan untuk mencoba. Pada masa remaja dorongan seksualitas muncul sangat tinggi untuk mencoba hubungan seks. Kesederhanaan pola pikir seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan yang dimilikinya menyebabkan dia menuruti saja apa kata hatinya (Dharmo, 1999).
2.4 HIV/AIDS 2.4.1
Cara Penularan HIV/AIDS Pada manusia, virus HIV paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma
dan cairan vagina. Virus ini juga bisa terdapat pada cairan tubuh lain, seperti cairan ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-19% akibat alat suntik yang tercemar ( terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfuse darah yang tercemar. (Global Summary of the AIDS Evidemic, December 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Perjalanan Infeksi HIV sampai AIDS Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5 – 10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia, maka selama 2 - 4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Maka dalam kondisi ini yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah. Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti sel darah putih dan setelah 5 – 10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi infeksi seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam waktu 1 – 2 tahun kemudian karena infeksi tersebut. 2.4.3 Kelompok Masyarakat Yang Berisiko Tinggi Tertular HIV Ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi tertular dan menularkan Virus HIV baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pekerjaannya. Kelompok itu adalah wanita pekerja seks (WPS) maupun pria pekerja seks (PPS) serta pelanggan dan pasangan pelanggannya, waria yang bekerja sebagai pekerja seks serta pelanggannya dan pasangan pelanggannya, pengguna narkotik suntik dan pasangannya, janin yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV, penerima transfuse darah dan para petugas kesehatan yang tidak menerapkan perlindungan perorangan secara umum (Universal Precaution=UP) dalam melaksanakan tugasnya. Kelompok resiko tinggi inilah yang menjadi kelompok sasaran untuk dideteksi keberadaan virus HIV
Universitas Sumatera Utara
dalam darahnya. Apabila ditemukan virus HIV setelah melalui prosedur konseling, diupayakan agar tidak berkembang menjadi AIDS dan dihimbau untuk tidak menularkan kepada pasangan seksualnya. Namun apabila belum ditemukan virus HIV, maka upaya yang dilakukan adalah pencegahan agar tidak tertular. 2.4.4 Pencegahan AIDS Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus AIDS, karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual. Penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual, atau jika terpaksa harus melakukan hubungan seksual dengan orang yang beresiko tinggi diharuskan memakai kondom. Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C-D-E, A adalah abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom, D atau no drugs, artinya tidak menggunakan narkoba dan E untuk educative yang berarti selalu mensterilkan peralatan yang dipakai. 2.4.5 Upaya Penanggulangan HIV/AIDS Menurut Sasongko (2006), di dalam menyusun kebijaksanaan menghadapi masalah AIDS perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain : -
Indonesia merupakan Negara terbuka sehinnga masuknya AIDS tidak bisa dihindarkan.
Universitas Sumatera Utara
-
AIDS telah melanda sebagian besar Negara di dunia yang menjadi masalah internasional
-
Penanggulangan AIDS terpadu yang disebut Global Program on AIDS (GPA) yang dicanangkan oleh WHO yang dibantu oleh badan-badan internasional lainnya.
-
Infeksi HIV mempunyai konsekuensi penting bagi perorangan keluarga sehingga tidak memandang tingkat sosial, ekonomi dari suku bangsa.
-
Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV
-
Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan AIDS
-
Masalah AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan lainnya. Agar penanggulangan dan menurunkan tingkat penularan HIV/AIDS,
diperlukan upaya perubahan perilaku yang dapat menjangkau sebagian besar kelompok beresiko. Diharapkan agar upaya penanggulangan di masa datang dapat secara serius didukung oleh semua komponen bangsa agar dampak buruk epidemik HIV/AIDS dapat dicegah (KPAN, 2002). Berkerja sama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah epidemik HIV/AIDS. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak perlu diperlakukan secara diskriminatif, mereka masih dapat bekerja secara produktif dan juga terlibat secara aktif dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS (KPAN, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, sasaran program penanggulangan HIV/AIDS adalah sebagai berikut : a. Masyarakat umum b. Petugas kesehatan c. Perorangan dan Lembaga – lembaga d. Waria, WTS, Dan lain-lain e. Para pengidap HIV/AIDS
2.5 Waria Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan Waria mulai muncul. Mungkin kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya. Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang
artinya
”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17). Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury (Nadia, 2005 : 51). Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian perempuan. Mereka biasanya memiliki kesaktian dan ditakuti orang. Dukun-dukun
Universitas Sumatera Utara
semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona, kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal dengan Xanith. Konon, Xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, Xanith kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai Xanith mengandung dua fungsi yaitu sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transsexual atau sekedar gejala transvestet. Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman, Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita dapat menemukannya, misalnya pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang harus dijalaninya. Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia 9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan kebutuhan seksual kepada sang Warok. Kebutuhan seksual ini membuat para Warok selalu memilih gemblakan laki-laki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang dinikahinya.
Perlakuan warok terhadap para gemblak
inilah yang dapat
menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya. 2.5.1 Jenis-Jenis Waria Kemala Atmojo (Nadia, 2005 : 40) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai berikut : a.
Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
b.
Transsexual
homoseksual,
yaitu
seorang
transsexual
yang
memiliki
kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap transsexual murni. c.
Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah. Adapun penyebab dari waria (transsexual) ini masih menjadi perdebatan;
apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan (nurture) seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa
teori
tentang
abnormalitas
seksual
menyatakan
bahwa
keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami atau terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar, misalnya dorongan kelompok tempat ia tinggal, pendidikan orangtua yang menjurus pada benih-benih timbulnya penyimpangan seksual, dan pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunikasi intens dalam lingkungan abnormalitas seksual. Di dalam penelitian ini ketiga subyek penelitian termasuk transsexual homoseksual, hal ini disebabkan karena waria (transsexual) sebagai subyek penelitian memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum mereka sampai ke tahap transsexual murni. Pada saat usia Sekolah Dasar (SD) mereka mulai tertarik dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka
belum berani
mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang waria. Dan setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) mereka mulai berani berdandan, bersosialisasi dan mengaktualisasikan diri sebagai waria di tempat “cebongan” (tempat pelacuran) tanpa sepengetahuan orangtua atau keluarga. 2.5.2. Ciri-Ciri Waria Menurut Maslim (2003 : 111), ciri-ciri transsexual adalah : a. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.
Universitas Sumatera Utara
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya. c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis menurut Tjahjono (1995 : 98), yaitu : a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu. b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya. c. Minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya. d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya. e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak di lingkungannya. f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri transsexual adalah : (1) individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu minimal dua tahun, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari lawan jenisnya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk berpakaian dan berperilaku menyerupai lawan jenis kelaminnya. 2.5.3 Faktor Pendukung Terjadinya Waria Puspitosari (2005 : 12) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transsexual adalah :
Universitas Sumatera Utara
a.
Disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik seseorang. Hermaya (Nadia, 2005 : 29) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu : 1) Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, seseorang ada yang berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan kromosom X. bisa XXY, atau XXYY. Diduga, penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh terhadap proses reproduksi. Artinya bahwa semakin tua seorang ibu, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan, sebagai akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada anaknya. 2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko (Nadia, 2005 : 31) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan ibu. Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis : a)
Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang.
b) Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar.
Tubuhnya
mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad (alat yang
Universitas Sumatera Utara
mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid. c) Female-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria. d) Male-pseudohermaprodite,
penderita
ini pada dasarnya
memiliki
kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita. b.
Disebabkan oleh faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis. Ibis (Nadia, 2005 : 27) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu : 1) Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual. 2) Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh adanya pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989 : 263) mengatakan bahwa sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kondom dan Cara Pemakaian Kondom Ahli anatomi Italia bernama Fallopius pada 1664 memperkenalkan pelindung sejenis kondom yang terbuat dari kain linen. Kemudian pelindung dari usus binatang mulai dipopulerkan pada abad 18 dan dinamakan “kondom”. Pada saat itu kondom dimasyarakatkan sebagai alat untuk mencegah penyakit kelamin dan mencegah bertambahnya anak haram. Dengan ditemukannya karet vulkanis pada tahun 1844 produksi masal kondom dari latekspun dimulai (Hatcher, Stewart, Trussel, et all) 1990 dalam Lembar Informasi IPM (1998). Rajapitayakorn (1993) menyatakan ada orang yang merasa bahwa kondom tidak efektif, 30-60% pria mengaku selalu menggunakan kondom, tetapi diantara mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara benar. Pemakaian kondom yang salah bisa mengakibatkan kondom itu lepas atau robek. Begitulah bila kita tidak memakainya secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak akan efektif. Hasil dari penelitian kondom yang terus menerus oleh LARFP Counsil memperkirakan adanya hubungan yang kuat antar lingkar penis dan terlepasnya kondom, regangan kondom dan tip pemakainnya. Selanjutnya dikatakan pula ukuran penis yang diukur oleh pasangannya yang menggunakan kit special termasuk didalamnya cara-cara menggunakan kondom, dan adanya dua garis merah pada kertas, dimana garis pertama mengukur panjang penis dan garis yang satunya lagi untuk lingkaran penis (Setiner, M, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Kegagalan pemakaian kondom tergantung pada karakteristik pemakai seperti sejarah kegagalan dalam pemakaian kondom seperti robek atau terlepas, kurangnya pengalaman pemakaian kondom, usia yang muda, pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah dan ukuran penis yang besar (Spruyt, Steiner, Joanis et all, 1998). Dalam mempromosikan kondom, kondom harus tersedia dengan baik, dan untuk meningkatkan penggunaan
kondom
adalah dengan meningkatkan kualitas
kondom yang membuat hubungan menjadi lebih nikmat dan nyaman. Selanjutnya ditemukan bahwa pasangan yang tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual didapati jumlah kasus baru HIV dengan pasangan yang menggunakan kondom. Penelitian pada 343 pasangan tetap pria yang terinfeksi HIV, insiden HIV rata-rata 7,2/100 orang/tahun yang tidak menggunakan kondom, dibandingkan dengan yang selalu menggunakan kondom rata-rata 1,1/100 orang/tahun (Finger, W,R. 1996) Pada penelitian Lubis, dkk (1992), pemakaian kondom pada waria selama lima kali hubungan seks yang terakhir, sebanyak 65,9% tidak pernah memakai kondom, memakai sekali (7,8%), memakai kondom dua kali (14,8%), memakai kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom 4-5 kali (9,9%). Perubahan perilaku di kalangan waria sangat sulit karena diketahui masih rendahnya pemakaian kondom di kalangan waria (9,9%).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan pengunaan Kondom . Kegiatan penanggulangan HIV adalah mengupayakan peningkatan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks beresiko. Pengalaman dibanyak Negara menunjukkan dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks beresiko mampu mencegah penularan HIV, terlihat dengan semakin rendah kasus penularan infeksi yang ditularkan secara seksual, termasuk HIV. Pengalaman Negara Muangthai dan juga Kamboja menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan kondom 100% perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Bila peningkatan pengunaan kondom tidak dapat dipertahan kan akan terjadi peningkatan laju penularan HIV. Pengunaan kondom ini dipengaruhi juga terhadap tiga faktor, yaitu kualitas, cara memakai dan melepaskanya karena ini tidak diikuti efektevitas perlindungan tidak terjadi. (http//www.teryata org/hiv/report_on_hiv/HIVInd).
2.7. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kondom Anderson (1974) menggambarkan model system kesehatan (health system model) yang berupa kepercayaan kesehatan terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan. 1. Karakteristik Predisposisi, digolongkan dalam 3 kelompok a) Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur b) Struktur sosial seperti : tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dsb
Universitas Sumatera Utara
c) Manfaat kesehatan seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses kesembuhan penyakit. 2. Karakteristik pendukung (Enabling Characteristics) Mencerminkan bahwa meskipun punya predisposisi untuk menggunakannya ia tak akan bertindak menggunakannya, kecuali ia mampu menggunakannya. 3. Karakteristik Kebutuhan (need Characteristics) Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana predisposisi dan enabling itu ada. 2.7.1 Faktor Pemudah 2.7.1.1 Umur Sutrisna, B (1986) menyatakan bahwa umur adalah variable yang selalu diperhatikan dalam penyidikan-penyidikan epidemologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam semua keadaan menunjukan umur. Sedangkan beberapa penelitian mengatakan bahwa usia mempengaruhi tingkat keaktifan seksual seseorang (Patriani, 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa usia mempengaruhi hubungan seks dan umur termasuk dalam kelompok aktif seksual dimana frekuensinya lebih sering daripada umur di atas 40 tahun. Sedangkan menurut Astawa (1985) umur merupakan salah satu variable yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seksualnya. Semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin matang dalam mengambil sikap sehingga nantinya dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Selanjutnya sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada pelaut di Bali variable umur diperkirakan mempunyai peranan yang cukup besar dalam hubungannya dengan
Universitas Sumatera Utara
tingkat pengetahuan. Dimana semakin dewasa umur seseorang berarti semakin banyak pengalaman dan semakin matang dalam menanggapi suatu masalah dalam hal ini kaitannya dengan AIDS, dimana pelaut yang rata-rata pengetahuan paling tinggi adalah umur 20 – 39 tahun dan pengetahuan yang paling rendah adalah umur dibawah 20 tahun. Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari dalam masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan kebiasaan hidup, misalnya : kebiasaan hidup orang yang sudah dewasa dalam hal ini pola perilaku hubungan seks berbeda dengan remaja ( Azwar, 1988) Ditinjau dari umur dan distribusi umur penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa Dan Afrika jauh berbeda, kelompok terbesar umur 30 – 39 tahun, menurun pada kelompok yang lebih besar dan lebih kecil. Ini membuktikan bahwa trasmisi utama. Dan infeksi terbesar terjadi pada kelompok seksual yang paling aktif yaitu 20 -30 tahun. Hal tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Utami, Dwi dan Leibo (1998) pada gelandangan Yogyakarta bahwa frekuensi melakukan hubungan seksual pada umur 25 – 45 tahun sebesar 76,2% dan menurun frekuensinya pada umur yang lebih besar (46 – 56 tahun) sebesar 12,69% dan umur yang lebih kecil (13 – 24 tahun) sebesar 11,11%. 2.7.1.2 .Pendidikan Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk mengembangkan diri. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima
Universitas Sumatera Utara
serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sedangkan semakin meningkat produktivitas, semakin meningkat kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang secara teoritis semakin positif dalam perilaku kesehatan mereka, termasuk juga dalam hal perilaku seksualnya dalam hubungannya dalam penularan AIDS (Astawa, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Olenik (1998) yang melakukan penelitian pada pria di Mexico, Philipina dan Republik Dominica menganalisa bahwa karakteristik peserta ditemukan bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan kegagalan kondom. Dari penelitan-penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan kegagalan kondom. Dari penelitian – penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan formal para PSK pada umumnya rendah 40% tidak lulus SD bahkan 1/3nya tergolong buta huruf, yang merupakan kendala apabila hendak melakukan penyuluhan pada PSK. 2.7.1.3 Pendapatan dan Pekerjaan Sutrisna (1986), yang sering dilakukan ialah melihat hubungan antara tingkat penghasilan dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan secara popular keadaan keluarga baik perorangan maupun keluarga lebih dikenal dengan sebutan status ekonomi keluarga yang berperan di dalam pengambilan keputusan bertindak utama terhadap tindakan yang berkaitan dengan keuangan keluarga. Karena status ekonomi yang rendah di desa kebanyakan penduduk pindah kekota untuk mencari nafkah. Para pendatang ini seringkali menetap di daerah
Universitas Sumatera Utara
perkotaan untuk jangka waktu yang lama dan secara pelan-pelan manjadi bagian dari penghuni lingkungan kumuh perkotaan. Status pekerjaan sebagian penduduk perkotaan dapat dikategorikan sebagai “sector formal:”, seperti : pegawai kantoran, pegawai negeri, dsb. Dan sebagian lagi yang lebih besar bekerja disektor informal (pedagang asongan, pencari kerja, gelandangan, petani, nelayan, pengrajin, pelacur dsb) yang sifatnya tidak tetap dan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. (Iskandar, M, dkk, 1996) Tingginya angka Pelacuran di Indramayu, menemukan bahwa factor kemiskinan merupakan penyebab utama (46%), kemudian tingkat pendidikan (28%) (Wibowo, dkk, 1989 dalam Hull, T, dkk, 1997), pelacur adalah sekelompok perempuan yang melakukan aktivitas hubungan seksual secara berulang-ulang diluar perkawinan yang sah untuk mendapatkan uang, materi atau jasa bagi kalangsungan hidup. Kebanyakan mereka menawarkan pelayanan seksual kepada laki-laki, hanya sedikit yang melakukannya kepada perempuan. Selanjutnya Emma Goldman, dalam Husein (1997) bahwa seorang aktivis abad 19 yang mengatakan mengapa anda buang-buang waktu untuk beberapa shilling dengan menjadi tukang cuci piring, bekerja seminggu, delapan belas jam sehari, sementara wanita bisa mendapat bayaran yang lebih tinggi dengan menjual tubuh mereka. Jika dilihat dari definisinya maka Pekerja Seks komersial adalah seorang yang bekerja menjaul jasa melayani nafsu seksual dari pasangannnya (pelanggan) dengan imbalan bayaran (Roberts,N, 1992 dalam Husein, A, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Browfield, 1992 dalam Iskandar, M, 1996 menyatakan bahwa setiap laki-laki di Surabaya yang seksual aktif bisa dicurigai menjadi klien industry seks sebagian besar klien adalah orang Indonesia, baik yang datang maupun yang menetap di Surabaya, walaupun sejumlah pendatang asing turut ambil bagian dalam pelayanan industri seks ini. Sedangkan klien waria bisa dijumpai di berbagai sosio ekonomi, tetapi mempunyai cirri-ciri yang berbeda. Banyak remaja pria memakai pekerja seks waria dikarenakan : a. Karena larangan agama untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan membuat waria menarik bagi mereka yang tidak mau menggunakan industri seks. b. Karena klien pendapatan yang rendah hanya berminat pada harga yang murah, dan waria sering memberikan pelayanan secara Cuma-Cuma terhadap klien yang dianggap menarik. c. Untuk klien yang heteroseksual, waria menyediakan pelayanan seks oral/anal sambil
berperilaku
seperti
wanita
kepad
pasangannya.
Serta
untuk
mendapatkannya murah karena tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk menyewa penginapan. Sanjay (1996) & Elifsa (1994) dalam Cathy & Emilia (1997) menyatakan bahwa adanya hubungan diskriminasi jender, akses legal dan social, diskrominasi pekerjaan dengan menjadi pekerja seks, sebanyak 37% dari sempel melaporkan beberapa diskriminasi pekerjaan seperti tidak diterima pekerjaan atau kehilangan
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan karena jender yang dimilikinya sekarang. Karena hal tersebut sehingga memaksa untuk tidak mempunyai pilihan dan akhirnya menjadi pekerja seks 2.7.1.4 Tingkat Pengetahuan Sumantri (1984) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segenap apa ayng diketahui manusia tentang objek tertentu. Termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada manusia, bertujuan menjawab permasalahan yang dihadapi sehari-hari untuk mempermudah manusia itu sendiri. Pengetahuan diibaratkan merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tatapi penggunaannya tergantung manusia itu sendiri. Dalam kaitannya dengan berbagai penelitian kesehatan Reproduksi, khususnya tentang PMS, HIV/AIDS maka studi Lubis (1991/1992) menyatakan bahwa pada waria di Jakarta adanya kecendrungan yang cukup membaik dalam persepsi bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan yaitu pada tahun 1991 64,5% waria menyatakan tidak tahu ada resiko tertular pada dirinya, sedangkan pada tahun 1992 telah menurunkan banyak menjadi 18,0% dan resiko pada temennya menurun 70,4% menjadi 20,1%. Sehingga sebaliknya persepsi akan adanya tertular AIDS menjadi meningkat dari hanya 29,1% menjadi 49,3% pada dirinya dan 23,8% menjadi 36,6% pada temennya. Yang masih mengganggap tidak ada resiko tertular AIDS ternyata menjadi naik menjadi 6,4% menjadi 32,5% menjadi 43,7% untuk temannya. Hal terakhir ini mungkin dijawab oleh waria berusia atau waria yang mempunyai partner seks satu orang.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1.5 Sikap Menurut Suyatinah (2000) yang mengutip pendapat Soemadi Suryobroto bahwa perilaku dipengaruhi oleh lingkungan, elementaristik, peranan reaksi, mekanisme terbentuknya hasil belajar, sehingga sikap seseorang tergantung pada lingkungan dan hasil belajar orang tersebut. Makin banyak seseorang belajar tentang kondom maka makin banyak pengetahuan tentang kondom dan hal ini membuat sikap positif tentang menawarkan kondom akan terbentuk.
2.7.2 Faktor Penguat 2.7.2.1 Petugas Kesehatan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenderwis (2008) menunjukkan bahwa andil petugas kesehatan tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai tawar kondom oleh PSK. Hal ini bertentangan dengan pendapat Green (2004), bahwa perilaku dipengaruhi oleh factor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang termasuk petugas kesehatan. 2.7.2.2 LSM Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan tawar PSK dalam penggunaan kondom kepada pelanggannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djauzi (2006) yang menyatakan bahwa LSM sangat besar perannya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terutama dalam memberikan penyuluhan kepada PSK dan pelanggannya agar mau menggunakan kondom setiap melakukan transaksi seksual.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2.3 Stakeholder Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dikungan fasilitas saja. Melainkan diperlukan perilaku acuan dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama.
2.8 Komunikasi Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dan menjalankan seluruh kehidupannya sebagai individu dalam kelompok maupun
masyarakat.
Dalam
kehidupan
sosial, komunitas, organisasi, sehari-hari,
setiap
manusia
berinteraksi,membangun relasi dan transaksi social dengan orang lain. Oleh karena itu manusia tak dapat menghindari komunikasi antar personal, komunikasi dalam kelompok, komunikasi dalam organisasi dan public, dan komunikasi massa. Menurut Hybel dan Weafer II dalam Liliweri (2007) komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan dan perasaan . Proses ini meliputi informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dengan kata-kata (verbal), atau yang disampaikan dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, mengunakan alat bantu disekeling kita sehingga sebuah pesan menjadi lebih kaya. Secara fungsinya komunikasi mempunyai lima kategori yakni: 1.
Sumber atau pengirim menyebarluaskan informasi agar dapat diketahui penerima.
2.
Sumber menyebarluaskan informasi dalam rangka mendidik penerima.
Universitas Sumatera Utara
3.
Sumber memberikan intruksi agar dilaksanakan penerima.
4.
Sumber mempengaruhi konsumen dengan informasi yang persuasive untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku penerima.
5.
Sumber menyebarluaskan informasi untuk menghibur sambil mempengarui penerima . Dalam buku Silent Messages (1971), Aibert Mehrabian mengemukakan
bahwa manusia berkomunikasi secara verbal dan non verbal. Bila kita membandingkan prosentase pengunaan pesan, maka total 7%, verbal feeling + 38%, vocal feeling + 55%, facial feeling. Ini berarti bahwa 93% dari prilaku komunikasi kita, dalam hal ini pengalihan pesan, mrnggunakan pesan symbol non verbal, sisanya 7% mengunakan pesan verbal. Komunikasi verbal merupakan pengertian pesan-pesan verbal atau pesan berupa kata-kata yang diucapkan (vocal), ditulis (visual). Konsep komunikasi verbal ini tidak bisa dilepaskan dari ilmu bahasa atau linguistic. Dalam praktiknya, cara manusia berkomunikasi melalui bahasa yang secara formal dilakukan melalui bahasa lisan dan tulisan. Morris (1977) dalam Liiweri (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut: 1.
Kinesik adalah pesan non verbal yang implementasikan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh. Untuk itu ada beberapa isyarat tubuh lainnya : a.
Gestures merupakan bahasa isyarat yyang ditampilkan oleh gerakan tubuh misalkan, V artinya dia berhasil dan jempol kebawah artinya gagal
Universitas Sumatera Utara
b.
Experesi Wajah merupakan pernyataan atau suatu makna misalkan, suatu senyuman bisa berarti senang bisa juga sinis.
c.
Bersalaman merupakan sesuatu yasng lazim dilakukan ketika kita bertemu seseorang.
d.
Kontak mata merupakan symbol non verbal yang penting karena akan dapat memancarkan kita senang maupun tidak.
2.
Proksemik yaitu bahasa nonverbal yang ditunjuk oleh ruang dan jarak antara individu dengan orang lain waktu ber komunikasi atau antara individu dengan objek.
3.
Haptik disebut juga zero proxemics, artinya tidak ada jarak lagi diantara dua orang waktu komunikasi . Atas dasar itu maka ada ahli komunikasi non verbal yang mengatakan haptik itu sama dengan menepuk-nepuk,meraba-raba, memegang, mengelus dan mencubit.
4.
Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia bermanfaat jika kita hendak menginterpretasi symbol herbal.
5.
Arifak dalam komunikasi non verbal dengan pelbagai benda material disekitar kita.
6.
Logo dan warna, kreasi perancang untuk menciptakan logo dalam penyuluhan merupakan karya komunikasi bisnis,namun model kerja ini dapat ditiru dalam komunikasi kesehatan. Biasanya logo dirancang untuk dijadikan symbol dari suatu organisasi. Bentuk logo biasanya berukuran kecil dan berwarna warni.
Universitas Sumatera Utara
Warna berkaitan dengan budaya audiens. Oleh karena itu pemilihan warna yang salah dapat mempengaruhi penerimaan pesan yang salah oleh audiens. 7.
Tampilan fisik tubuh, acapkali anda mempunyai kesan tertentu terhadap penampilan fisik tubuh lawan bicara anda.kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya,tipe tubuhnya (kurus,gendut dll). Tipe tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu.
2.9 Landasan Teori Konsep umum yang disajikan sebagai landasan teori dalam penulisan ini adalah konsep Lawrence W Green (2004), yaitu konsep yang digunakan untuk mendiagnosa atau menilai perilaku individu atau kelompok masyarakat di mana perilaku individu ataupun kelompok masyarakat dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu faktor pendukung (predisposing), faktor pemungkin (enabling), dan faktor penguat (reinforcing), seperti tergambar pada kerangka teori berikut :
Universitas Sumatera Utara
Faktor Predisposing : 1. Pengetahuan 2. Agama/Kepercayaan 3. Nilai-nilai 4. Sikap 5. Kemampuan 6. Kapasitas
Genetika
Faktor Enabling : 1. Ketersediaan sumber daya kesehatan 2. Kemudahan untuk mencapai sumber daya kesehatan 3. Hukum, prioritas dan komitmen pemerintah/masyarakat terhadap kesehatan 4. Keterampilan terkait dengan kesehatan
Perilaku spesifik individu atau organisasi
Faktor Reinforcing : 2. Keluarga 3. Panutan 4. Guru 5. Pekerja 6. Pelaksana kesehatan 7. Tokoh masyarakat 8. Pembuat keputusan
Lingkungan (kondisi tempat tinggal
Kesehatan
(Sumber : Green Lawrence W & Keuter Marshall W, 2004) Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor pendukung (presdisfosing) adalah faktor – faktor yang meliputi pengetahuan, agama atau kepercayaan, nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, sikap, tingkat pendidikan, tingkat social masyarakat, kemampuan dan kapasitas seseorang atau kelompok masyarakat untuk berperilaku tertentu, atau dalam hal ini perilaku kesehatan. Selain itu juga ada faktor pemungkin (enabling) adalah
Universitas Sumatera Utara
faktor yang meliputi ketersediaan sumber daya kesehatan, kemudahan untuk mencapai
sumber
daya
kesehatan,
komitmen
pemerintah/masyarakat
dan
keterampilan terkait dengan kesehatan. Sedangkan faktor yang ke tiga adalah faktor penguat (reinforcing) yang antara lain meliputi faktor pengaruh keluarga, panutan, guru, pekerjaan, pelaksana kesehatan, tokoh masyarakat dan pembuat keputusan, (Green Lawrence W & Keuter Marshall W, 2004).
2.10 Kerangka Konsep Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas serta kerangka teori yang ada, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Independent
Dependent
Faktor Predisposing : -
Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Sikap
Keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom
Faktor Reinforcing : - Petugas kesehatan - LSM - Petugas KPA Kecamatan
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara