Pengertian hadits, sunnah, khobar, atsar dan Struktur Hadist 1. Pengertian Hadits Berasal dari basaha Arab : Al Hadist, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan hudstan 2. Penegrtian Sunnah
Sunnah menurut bahasa banyak artinya di antaranya : suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.Di samping istilah hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama‟ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
3. Pengertian Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan = berita. Dari segi istilah muhadditsin khabar identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (baik secara marfu’, mawquf, dan maqthu’) baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat.
4. Pengertian Atsar
Dari segi bahasa atsar diartikan = peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadis itu peninggalan beliau. Atau diartikan = (yang dipindahkan dari Nabi), seperti kalimat : dari kata atsar artinya doa yang disumberkan dari Nabi.
Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar sinonim hadis. Kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf) dan tabi‟in (maqthu’) baik perkataan maupun perbuatan.
5. Struktur Hadits
Secara struktur, hadits terdiri atas tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadits), dan mukhraj (rawi).
A. Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits.
B. Matan
Menurut bahasa, matan artinya sesuatu yang tampak, bagian bumi yang keras dan tinggi. Dalam istilah ilmu hadis, matan adalah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain .
C. Rawi Hadits
Kata Al-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitahukan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada setiap generasi atau thabaqah juga terdiri dari para rawi.
Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama 1. Pengertian Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam sejararah umat Islam (dari dulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang pada al-qur‟an dalam menjalankan ajaran agamanya.
2. Golongan yang Menolak Kehujjahan Al -Hadits
Golongan yang menolak Hadits secara keseluruhan, alasan yang mereka pergunakan dapat disimpulkan sebagai berikut Al-Qur‟an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang sudah tentu digunakan oleh bangsa Arab Al-Qur‟an sendiri telah menyatakan bahwa al -Qur‟an itu telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari Nabi sendiri.
3. Perbendaharaan Al-Hadits Terhadap Al-Quran
Berfungsi menetapkan dan memperkuat hokum -hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam Hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hokum Memberikan perincian dan penafsiran ayat -ayat al-quran yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat -ayat alquran yang masih mutlaq dan memberikan takhshish ayat -ayat alquran yang masih umum Memberikan perincian dan penafsiran ayat -ayat al-quran yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyarata n) ayat-ayat alquran yang masih mutlaq dan memberikan takhshish ayat -ayat alquran yang masih umum.
Sejarah Pertumbuhan Al-Hadits
A. Periwayatan dengan Islam 1. Larangan menulis al-hadits “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain alqur‟an. Barang siapa menuliskan tang ia terima dariku selain al -qur‟an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang ia terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namanku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka .”
2. Perintah menulis Al-Hadits
Abu Syah : “ya Rasulullah! Tulislah untukku!”
Jawab rasul: “tulislah oleh kamu, sekalian untuknya!.”
B. Menulis dan membukukan Al-Hadits secara resmi (abad ke11) •
PERINTIS SEJARAH (MOTIF) MEMBUKUKAN AL HADITS
1) Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan al-hadits seprti waktu yang sudah-sudah 2) Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari hadits-hadits maudlu‟ 3) Alasaan tidak terdewannya al -hadits secara resmi di zaman rasulullah 4) Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir •
CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG DIDEWANKAN PADA ABAD KE-2
•
KITAB-KITAB HADITS YANG MAYSHUR
1) Al-muwaththa 2) Musnadu‟sy Syafi‟iy 3) Mukhtalifu‟l-Hadits
C. Periode penyaringan Al-Hadits dari fatwa-fatwa abad ke-3) Perintisnya Pada permulaan abad ke-III para ahli hadits berusaha menyisihkan al-hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in. Karena adanya kelemahan-kelemaha kitab-kitab hadits, para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits apakah itu shahih atau da‟if. D. Periode menghafal dan mengisnadkan hadits mutaqaddimin (abad ke-4) Abad
ke-V
ini
merupakan
abad
pemisah
antara
Mutaqaddimin dengan ulama Mutaakhirin. Kitab-kitab yang masyhur hasil ulama abad ini antara lain : 1) Mu‟jamu‟l-Kabir. 2) Mu‟jamu‟l-Ausath. 3) Mu‟jamu‟sh-Shagir. 4) Sunan Ad-daruquthy. 5) Shahih Abi „Auwanah. 6) Shahih Ibnu Khudzaimah.
ulama
E. Periode
mengklasifikasi
dan
mensistematiskan
susunan
kitab-kitab hadits (abad ke-5)
Usaha ulama ahli hadits pda abad ke-v dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al -hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat -sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Pada abad ini lahirlah kitab -kitab hadits hukum dan kitab-kitab hadits targhib wat-tarhib.
Cabang-cabang Ilmu Hadits
A. Ilmu Hadits “ Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat “.
B. Pembagian Ilmu Hadits a. Ilmu Hadits Riwayah Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan. b. Ilmu Haits Dirayah Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy)dari segi diterima atau ditolaknya. C. Sejarah Perkembngan Ilmu Hadits Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja belum berwujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
D. Cabang-cabang ilmu Hadits a. Ilmu Rijali‟l Hadits b. Ilmu Tawarihi‟r Ru-wah c. Ilmu Thabaqah d. Ilmu Jarhi Wa‟ta‟dil e. Ilmu Gharibi‟l-Hadits f. Ilmu Asbabi Wurudi‟l-Hadits g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits h. Ilmu Mukhtalifu‟l-Hadits i. Ilmu Ilali‟l-Hadits
Klasifikasi Hadits A. Pembagian Hadits ditinjau dari segi kuan titasnya (jumlsh perowi)
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan.Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian , yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Muwatir Menurut bahasa mutawatir berarti muttabi‟ artinya yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berurut-urut, maksudnya beriring-iringan antara yang satu dengan yang lain. 2. Hadits Ahad Kata Ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka Ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.Khabar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang memberikan pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
B. Pembagian hadis berdasarkan kualitas 1. Hadits Shahih Sahih secara etimologi adalah lawan dari saqim (sakit), sedangkan dalam istilah ilmu hadits berarti hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil , dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat. 2. Hadits Hasan Hadits Hasan menurut bahasa berarti Sesuatu yang disenangi dan di oleh nafsu. Sedangkan hadits Hasan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. 3. Hadits Hadits Dla’if Menurut bahasa Dlaif berarti „Ajiz = yang lemah sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan hadits dha‟if menurut istilah , para ulama‟berbeda-beda dalam susunsn redaksiny, tetapi substansi dari definisi tersebut adalah sama.
Ilmu Jarhi Wa’T-Ta’dil A. Pengertian Lafadz “jarh”, menurut muhadditsiin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati sorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan tau tertolak apa-apa yang diriwayatkannya. Sedangkan rawi yang adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifatsifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifatsifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang dirriwayatkannya dapat diterima disebut dengan menta‟dilkannya. B. Perkembangan ilmu al-Jarh wa Ta’dil Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinikilkan nabi shalallahualaihiwasallam sebagaimana telah di sebutkan tadi. Lalu menjadi banyak dari pada sahabat, tabi‟in dan orang setelah mereka, karena takut terjadi apa yang di peringatkan rasulullah, sebagaimana sabdanya, “ akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang – orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak – bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka “ ( muqaddimah shahih muslim ). Ilmu ini akan tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya perawi dalam islam, karena untuk mengetahui hadist – hadist shahih perlu mengetahui keadaan perawi – perawinya, secara memungkinkan ahli-ilmu menetapkan kebenaran perawi, atau kedustaannya hingga dapatlah mereka membedakan antara yang diterima dan dengan yang di tolak.
C. Jalan-jalan untuk Mengetahui Kecacatan dan Keadilan Seorang Rawi
1. Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu 2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh rawi yang adil, yang pada awalnya rawi yang di ta‟dil itu belum dikenal sebagai orang yang adil. D. Tingkatan – tingkatan al-Jarh wa Ta’dil Para perawi yang meriwayatkan bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan, kedhabitan dan hafalan mereka sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula orang yang sering lupa dan salah padahal mereka adalaha orang yang „adil dan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadist, maka allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulamayang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu para ulama meningkatkan tingkatan jarh dan ta‟dil, dan lafazh lafahz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta‟dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam tingkatan juga. E. Tingkatan tingkatan at-Ta’dil Tingkatan pertama yang menggunakan superlatif dalam penta‟dilan, atau dengan menggunakan wazan “af-fala”, seperti : “ fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”,atau,” fulan orang yang paling tepat periwayatannya dan ucapannya”. Tingkat kedua : dengan menyebutkan sifat menguatkanketsiqahannya, ke‟adilan dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafazh maupun dengan makna seperti : “tsiqah – tsiqah” , “ tsiqah – tsabat “, atau “ tsiqah dan hafish”. Tingkat ketiga : yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan akan hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin. Tingkat keempat : yang menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti : shadug (jujur), ma‟mun ( di pecaya), mahallum ash-shidiq ( ia tempatnya kejujuran ). Tingkat kelima : yang tidak adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti : “ fulan syaikh “ ( fulan seorang syaikh ), “ ruwiya „anhu al-hadist “ ( orang yang meriwayatkan hadist darinya ).
Tingkatan keenam : isyarat yang mendekati pada celaan (jarh), seperti : shahih al-hadist ( hadistnya lumayan ), atau “yaktabu haditsuhu “ ( di tulis hadistnya ). F. Tingkatan – tingkatan al-jarh Tingkatan pertama : yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan), seperti : ( lemah hadistnya ), atau fiihi maqaal ( dirinya dibicarakan). Tingkatan kedua : yang menunjukkan adanya kelemahan terhadapat perawi dan tidak boleh di jadikan sebagai hujjah, seperti : “ fu;an tidak boleh di jadikan sebagai hujjah “, dhaif “ ia mempunyai hadist – hadist yang mungkar. Tingkatan ketiga : yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh di tulis hadistnya, seperti : fulan dha‟if jiddan (dhaif sekali), atau wahin marrah (sangat lemah). Tingkatan keempat : yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadist, seperti : fullan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta), atau “laisa bi tsiqah” ( bukan orang yang terpercaya). Tingkatan kelima : yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini adalah seburuk busurknya tingkatan, seperti “ fulan orang yang paling pembohong” atau “ ia adalah puncak dari kedustaan”. G. Syarat-syarat Orang yang Dapat Mentajrihkan atau Menta’dilkan Seorang Rawi Mentajrih atau menta‟dilkan seorang rawi bukanlah perkara mainmain, melainkan harus benar-benar menetapkan dengan jujur dan adil, serta bersih dari berbagai kepentingan duniawi, karena berkaitan dengan penerimaan atau penolakan terhadap sebuah periwayatan. Bagi orang-orang yang mentajrihkan (jarih) atau menta‟dilkan (mu‟addil) harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1) Berilmu pengetahuan. 2) Takwal. 3) Wara. 4) Jujur. 5) Menjauhi fanatik golongan. 6) Mengetahui sebab-sebab untuk menta‟dilkan dan untuk mentajrihkan. H. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentajrihkan rawi-rawi Dalam masalah ini ada beberapa pendapat : 1) Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. 2) Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. 3) Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah. I. Perlawan Antara Jarh dan Ta’dil Apabila terdapat ta‟arudl antara jarh dan ta‟dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menta‟dilkan dan sebagian ulama mentajrihkan dalam hal ini terdapat 4 pendapat : 1) Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu‟addilnya lebih banyak dari pada jarhya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu‟addil 2) Ta‟dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam mengaibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk menaibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. 3) Bila jumlah mu‟addilnya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta‟dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka. 4) Masih tetap dalam keta‟arudlannya selama belum ditemukan yang merajihkannya. Pengrang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu‟addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu‟addil dan jarihnya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma‟.
J. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dilkan dan mentjrihkan 1. Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk menta‟dilkan rawi-rawi Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu 1) Berbentuk af‟alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af‟alut tafdhil. Contoh : أوث ك ال ناس ( orang yang paling tsiqah ) ( أث بت ال ناس ح فظا وعدال ةorang yang paling mantap hafalan dan keadilanya ) ي ال ث بتإل يه ال م ن تهي ف ( orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya ) 2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja. Contoh: ث بت ث بت ( orang yang teguh dalam pendirianya ) ث قة ث قة ( orang yang tsiqah lagi tsiqah ) ث بة ث قة ( orang yang teguh lagi tsiqah ) ( ضاب ط م ت قهorang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya ) 3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Contoh: ث بت ( orang yang teguh hati dan lidahnya ) م ت قه ( orang yang meyakinkan ilmunya ) ث قة ( orang yang tsiqoh ) حاف ظ ( orang yang kuat hafalanya ) 4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh: صدوق ( orang yang sangat jujur ) ( مأمىنorang yang dapat memegang amanat ) ( ب ه الب أسorang yang tidak cacat ) 5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn Contoh: ( مح له ال صدقorang yang berstatus jujur ) ( ج يد ال حدي ثorang yang baik haditsnya ) ( ح سه ال حدي ثorang yang bagus haditsnya ) 6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifatsifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan . Contoh: صدوق إن شاء هللا ( orang yang jujur, jika Allah menghendaki ) ( ف الن أرجوا ب أن الب أس ب هorang yang diharapkan tsiqah ) ف الن صوي لح ( orang yang shalih ) ف الن م ق بول حدي ثه ( orang yang diterima haditsnya )
Hadits Maudhu A. Pengertian Menurut bahasa: merupakan isim maf'ul (objek) dari kata wadha'a Asy-Syaia, yang berarti menurunkannya. Menurut istilah: hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak. B. Awal muncul hadits Maudhu Perpecahan setelah
kaum
Muslimin
fitnah (masa setelah
menjadi
terbunuhnya
beberapa Utsman
kelompok
bin Affan),
menjadikan setiap kelompok mencari dukungan dari Al Qur'an dan As Sunah. Sebagian kelompok mentakwilkan Al Qur'an bukan pada makna sebenarnnya. Dan membawa As Sunah bukan pada maksudnya. Bila mereka mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Apalagi tentang
keutamaan
para
Imam
mereka.
Dan
kelompok
yang
pertama melakukan hal itu adalah Syi'ah. Hal ini tidak pernah terjadi paada masa Rasulullah n dan tidak pernah dilakukan seorang berselesih
mereka
shahabatpun.
Apabila
diantara
mereka
berijtihad, dengan mengedepankan mencari
kebenaran. C. Ciri-ciri Hadits Maudhu 1. Terdapat Sanad A. Pengakuan dari si pembuat sendiri. B. Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu‟. C. Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya atau adanya inidikasi perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya. 2. Terdapat Matan
Adanya indikasi pada isi hadits, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan indra, berlawanan dengan ketetapan agama atau susunan lafadz lemah dan kacau, serta kemustahilan hadits tersebut bersumber dari Rasulullah. D. Motivasi Melakukan pemalsuan hadits 1. Membela suatu madzhab. 2. Mempertahankan idiologi partainya (golongannya) sendiri dan menyerang partai lawannya. 3. Dalam rangka Taqarrub kepada Allah. 4. Mendekatkan
diri
kepada
penguasa
demi
menuruti
hawa nafsu. 5. Zindiq yang ingin merusak manusia dan agamanya. E. Usaha Para Ulama untuk memberantas pemalsuan hadits 1. Mengisnadkan hadits. 2. Meningkatkan perlawatan mencari hadits. 3. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits. 4. Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya. 5. Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits. 6. Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu.
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah Arti Bahasa Kata inkar “al-sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “inkar” dan “sunnah.” Kata “inkar” berasal dari kata bahasa Arab: َإِ ْن َكارً ا-َيُ ْن ِك َُر- أَ ْن َك ََرyang mempunyai beberapa arti, diantaranya: “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati. B. Sejarah Kemunculan Dan Latar Belakang Inkar Al-Sunnah Dalam berbagai penuturan sejarah disebutkan bahwa sebelum terjadi perang saudara antara shahabat Nabi saw, Umat Islam benar-benar utuh, satu dengan yang lain saling mempercayai. Tetapi setelah terjadi perang saudara, mulai dari terbunuhnya Usman ra, hingga puncaknya pada masa terbunuhnya Ali ra. Kaum muslimin terpecah-pecah karena adanya kepentingan politik, kaum khawarij yang sebenarnya anti perpecahan justru tampil dengan amat kasarnya, mengadakan pembunuhan kepada semua
pihak
yang
terlibat
dalam
perang
saudara.
Kalau sebelumya mereka percaya kepada sahabat-sahabat Nabi saw, tetapi setelah terjadi perang saudara, mereka hanya mempercayai shahabat yang yang tidak terlibat dalam konflik perebutan kekuasaan tersebut. Artinya mereka tidak lagi mempercayai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh shahabat-shahabat Nabi yang terlibat dalam pertikaian politik, seperti usman, Ali, dan mereka yang terlibat dalam perang onta dan tahkim.
C. Argumentasi Inkar Al-Sunnah Dan Bantahan Para Ahli 1. Argumentasi inkar al-sunnah Memang cukup banyak argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar as-sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman al-Syafi‟i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang banyak jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen naqli (ayat Al-Qur‟an dan hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini, pengelompokan kepada dua macam argumen tersebut digunakan. 2. Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah Alasan pengingkar As-Sunnah mendapat bantahan karena meskipun kebenaran Al-Qur‟an sudah diyakini sebagai kalamullah, namun masih ada ayat Al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan karena belum pastinya hukum yang terkandung. Untuk membantah argumen dari kelompok Inkar As-Sunnah maka Abu Al Husain mengatakan, “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharukan untuk menerima hadis-hadis itu”, jadi sebenarnya kita tidak memakai shann (dugaan kuat).