PENGENDALIAN TINGKAH LAKU ANAK DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN GIGI
Oleh: Soesilo Soeparmin
ABSTRAK Anak-anak memiliki berbagai macam sifat yang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan praktek dokter gigi. Perilaku anak tersebut ada kalanya dapat memudahkan atau menyulitkan dokter gigi dalam melakukan perawatan. Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan klinis dan ketrampilan dokter gigi, sebagian juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerjasama selama perawatan. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui strategi pengendalian tingkah laku anak dalam praktek kedokteran gigi. Perawatan terhadap anak-anak adalah hubungan antara dokter gigi - pasien anak - orang tua/ orang yang mendampingi anak tersebut (one to two relationship). Dasar dari menerapkan perilaku kedokteran gigi terhadap anak-anak adalah dengan membentuk kemampuan untuk dapat mengarahkan mereka melalui pengalaman perawatan gigi mereka. Yang terpenting dalam perawatan pasien anak adalah hubungan yang dinamis diantara pasien anak, keluarga dan dokter gigi. Strategi pengendalian tingkah laku anak yang dapat diterapkan dalam praktek kedokteran gigi adalah strategi modeling, desensitisasi dan kombinasinya. Untuk melengkapi strategi ini, dapat digunakan metode Tell-Show-Do dan reinforcement, sedangkan Hand Over Mouth Exercise jangan dilakukan pada anak yang mengalami rasa takut. Kata Kunci : Strategi Pengendalian, Tingkah Laku
CONTROL OF BEHAVIOUR CHILD IN DENTIST PRACTICE Soesilo Soeparmin ABSTRACT Children have a wide range of properties that are influenced by the family environment, society and the environment dental practice. The child's behavior can sometimes facilitate or complicate the dentist to perform maintenance. The key to success in addition to dental care in children is determined by the clinical knowledge and skills of the dentist, is also partly determined by the child's ability to cooperate during treatment. This research aims to determine the control strategy of the child's behavior in the practice of dentistry. Treatment of children is the relationship between the dentist - pediatric patients the parents / persons accompanying the child (one-to-two relationship). The basis of applying behavior towards children dentistry is to establish the ability to be able to steer them through their dental experience. Most important in the treatment of pediatric patients is a dynamic relationship among pediatric patients, families and dentists. Child behavior control strategies that can be applied in dental practice is a strategy modeling, desensitization, and combinations thereof. To complement this strategy, the method can be used Tell-Show-Do and reinforcement, while Hand Over Mouth Exercise should not be performed on children who experience fear. Keywords : Control Strategy, Behavior
Korespondensi : Sosilo Soeparmin, drg., M.S., Bagian Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, Fax. (0361) 261278, email :
[email protected] PENDAHULUAN Dalam melakukan perawatan terhadap pasien anak-anak yang harus diperhatikan adalah bagaimana sikap (perilaku) anak menerima suatu perawatan yang diberikan oleh dokter gigi. Anakanak memiliki berbagai macam sifat yang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan praktek dokter gigi. Perilaku anak tersebut ada kalanya dapat memudahkan atau menyulitkan dokter gigi dalam melakukan perawatan. Dalam hal ini ada banyak cara yang bisa dilakukan sehingga penting untuk seorang dokter gigi mengetahui perilaku anak dan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak sehingga perawatan yang dilakukan menjadi lebih mudah. Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan klinis dan ketrampilan dokter gigi, sebagian juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerjasama selama perawatan. Hal tersebut menyebabkan dokter gigi yang merawat pasien anak harus mampu melakukan pengelolaan perilaku agar pasien bersikap kooperatif. Pada umumnya, anak yang datang ke praktik dokter gigi berperilaku kooperatif dan dapat menerima perawatan gigi dengan baik apabila diperlakukan dengan benar sesuai dengan dasar-dasar pengelolaan perilaku. Namun, sebagian anak berperilaku non kooperatif serta bersikap negatif pada perawatan gigi.1 Dalam melakukan perawatan gigi anak, terdapat tiga komponen yang harus bekerja sama, agar perawatan dapat berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut digambarkan dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi anak. Pada segitiga tersebut, bagian sudut-sudutnya ditempati oleh dokter gigi, keluarga (terutama ibu) dan anak sebagai pasien terletak pada puncak segitiga. Segitiga tersebut saling berhubungan secara dinamik.2 Masalah yang dihadapi oleh dokter gigi, pertama adalah anak dengan berbagai tingkah lakunya sesuai dengan perkembangan yang sedang berlangsung. Masalah kedua, yang terletak disudut lain adalah keluarga (terutama ibu) yang diharapkan memberi dukungan kepada dokter gigi dalam pelaksanaan perawatan gigi anaknya yang terkadang memerlukan perhatian khusus sebelum perawatan anak dimulai. Rasa takut dan cemas pada anak merupakan suatu pengalaman pada perawatan gigi yang tidak menyenangkan. Ketakutan dan kecemasan mempengaruhi tingkah laku anak dan lebih jauh lagi menentukan keberhasilan perawatan gigi. Kecemasan merupakan suatu ciri kepribadian dan ketakutan terhadap antisipasi bahaya dari sumber yang tidak dikenal, sedangkan takut merupakan respon emosional terhadap sesuatu yang dikenal berupa ancaman eksternal.1 Strategi pengelolaan rasa takut pada anak adalah dasar untuk memulai perawatan dengan tujuan untuk mengembangkan sikap anak yang mau menjalankan perawatan sehingga dicapai kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan rasa takut. Selain itu, komunikasi merupakan dasar dari setiap perawatan yang akan dilakukan. Efektivitas komunikasi dokter gigi-pasien dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepuasan serta kenyamanan pasien. Strategi pengelolaan perilaku dibagi menjadi enam kategori dasar yaitu : pendidikan, dukungan, kognitif-perilaku, paksaan, pembatasan dan farmakologi.3 Walaupun rasa takut terhadap perawatan gigi yang dilakukan dokter gigi bukan masalah yang serius, tetapi merupakan hambatan bagi para dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi di masyarakat. Maka dari itu penanggulangan adanya rasa takut terhadap perawatan gigi perlu dicarikan
1
jalan keluarnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin membahas mengenai strategi pengendalian tingkah laku anak dalam praktek kedokteran gigi.
KLASIFIKASI PERILAKU ANAK Menurut Wright, perilaku anak diklasifikasikan menjadi: 1. Kooperatif Anak-anak yang kooperatif terlihat santai dan rileks. Mereka sangat antusias menerima perawatan dari dokter gigi. Mereka dapat dirawat dengan sederhana dan mudah tanpa mengalami kesulitan, pendekatan tingkah laku (perilaku).4 2. Kurang kooperatif Pasien ini termasuk anak-anak yang sangat muda di mana komunikasinya belum baik dan tidak dapat memahami komunikasi dengan baik. Karena umur mereka, mereka tergolong ke dalam pasien yang kurang kooperatif. Kelompok lain yang termasuk ke dalam pasien yang kurang kooperatif adalah pasien yang memiliki keterbatasan yang spesifik. Untuk anak-anak golongan ini, suatu waktu tekhnik manajemen perilaku secara khusus diperlukan. Ketika perawatan dilakukan, perubahan perilaku secara imediat yang positif tidak dapat diperkirakan.4 3. Potensial kooperatif Secara karakteristik, yang termasuk ke dalam kooperatif potensial adalah permasalahan perilaku. Tipe ini berbeda dengan anak-anak yang kooperatif karena anak-anak ini mempunyai kemampuan untuk menjadi kooperatif. Ini merupakan perbedaan yang penting. Ketika memiliki cirri khas sebagai pasien yang kooperatif potensial, perilaku anak tersebut bisa diubah menjadi kooperatif.4 Menurut Frankl, perilaku anak dibagi menjadi: 1. Sangat negative: menolak perawatan, menangis dengan keras, ketakutan atau adanya bukti penolakan secara terang-terangan.4 2. Negative: enggan menerima perawatan, tidak kooperatif, perilaku negative tetapi tidak diucapkan (hanya muram dan tidak ramah).4 3. Positif: menerima perawatan, kadang-kadang sangat hati-hati, ikhlas mematuhi perintah dokter gigi, kadang-kadang timbul keraguan, tetapi pasien mengikuti perintah dokter gigi dengan kooperatif. 4 4. Sangat positif: sangat bagus sikap terhadap dokter gigi, tertarik dengan prosedur dokter gigi, tertawa dan menikmati perawatan yang dilakukan dokter gigi. 4
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak a. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkembangan anak meliputi fisik, intelektual dan aspek emosional dari pertumbuhan. Aspekaspek ini menunjukkan perubahan yang konstan pada ukuran dan besarnya. Pada umur intelektual tiga tahun terlihat progress perkembangan yang menandakan suatu kesiapan untuk menerima perawatan
2
dental. Anak-anak yang terlihat normal secara fisik tetapi menunjukkan perilaku atau masalah sosiologis, tipe pasien seperti ini dapat dinamai “unnanageable”, dengan realisasi kecil yang menunjukkan anak yang behaviour problem bisa mengesankan beberapa bentuk dari kerusakan otak.4 b. Pengalaman Medis dan Pengalaman Perawatan Gigi Keterlibatan emosional yang dibuat atau diciptakan dari pengalaman medis terdahulu dan sikap buruk anak terhadap kunjungan ke praktek medis, dapat membentuk dan mempengaruhi perilaku yang tidak menyenangkan pada anak. Potensial perilaku yang tidak kooperatif bisa dihubungkan dengan ketakutan pada pengalaman dental. 4 c. Pengaruh Keluarga dan Teman Sebaya Faktor psikososial adalah faktor yang sangat mempengaruhi perilaku manusia, khususnya didalam unit keluarga. Faktor teman sebaya dan instutisional juga membentuk perilaku individu, tetapi dalam derajat yang lebih kecil. Sikap orang tua yang membentuk perilaku anak secara langsung pada periode awal perkembangan, dipengaruhi oleh faktor-faktor posisi social ekonomi, perkembangan kultural dan latar belakang etnik. Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah cenderung takut dan kurang kooperatif. Masalah internal keluarga akan mempengaruhi perilaku anak, dari dalam rumah yang ditimpa perselisihan anak dapat merasakan ketidakharmonisan dengan menjadi emosional dan frustasi. Oleh karena itu, lebih memungkinkan manajemen problem di praktek dental. 4 d. Lingkungan Praktek Dokter Gigi Dokter gigi dan staf harus memberi pengaruh positif dengan praktek dental. Secara tidak langsung, dental team dapat menganjurkan sikap positif terhadap kunjungan dental. Perilaku negatif, yang disebabkan oleh pengalaman medis dan pengalaman dental yang buruk dapat dipengaruhi secara positif oleh cara bijaksana keluarga dan prosedur perilaku yang dilakukan kembali oleh dental team. 4
RASA TAKUT Rasa takut terhadap perawatan gigi dapat dijumpai pada anak-anak di berbagai unit pelayanan kesehatan gigi misalnya di praktek dokter gigi, di rumah sakit ataupun di puskesmas. Rasa takut adalah emosi pertama yang diperoleh bayi setelah lahir yang merupakan suatu mekanisme protektif untuk melindungi diri dari gabungan faktor-faktor lain yang tidak menyenangkan yang dapat mempengaruhi aktifitas susunan saraf otonom. Apabila terjadi reaksi rasa takut yang kuat akan diikuti dengan debar jantung yang keras disertai tanda-tanda emosi yang lain seperti perubahan tingkah laku yaitu gelisah, gemetar, serta berusaha menghindar diri dari pihak lain yang menyerangnya.4 Rasa takut merupakan salah satu dari sekian banyak emosi yang biasa diperlihatkan anak pada perawatan gigi. Kebanyakan diperoleh pada masa anak dan remaja. Rasa takut menghantarkan anakanak pada prosedur yang mungkin tidak menyenangkan dan selanjutnya memperbesar rasa takut terhadap prosedur perawatan gigi. Rasa takut mempengaruhi tingkah laku dan keberhasilan pada perawatan gigi.3 Anak usia sekolah umumnya mempunyai rasa takut terhadap orang yang masih asing seperti dokter, ataupun dokter gigi, rumah sakit, dan rasa takut ini merupakan suatu hal yang normal.
3
Sebagaimana diketahui bahwa peralatan yang digunakan ataupun tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan gigi terlihat di depan mata, di samping bunyi bur yang mengilukan merupakan factor penyebab timbulnya rasa takut. 3 Rasa takut biasanya lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Anak yang takut lebih besar kemungkinannya untuk mendapatkan pengalaman perawatan gigi yang tidak menyenangkan dibandingkan dengan anak yang kurang takut. Orang tua tidak boleh menggunakan perawatan gigi sebagai ancaman dan membawa anak ke dokter gigi sebagai hukuman. Anak harus diajarkan bahwa praktek dokter gigi bukan merupakan tempat untuk ditakuti. 3 Penyebab Rasa Takut Rasa takut terhadap perawatan gigi hingga saat ini masih merupakan masalah yang penting dan merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat dan hal tersebut dapat memberi pengaruh buruk terhadap pelaksanaan prosedur pengobatannya. Rasa takut akan mempengaruhi tingkah laku anak dan menentukan keberhasilan kunjungan ke dokter gigi.Faktorfaktor yang menyebabkan rasa takut terhadap perawatan gigi dan mulut yaitu rasa takut dari diri sendiri, rasa takut dari orang tua atau keluarga, dan dokter gigi. 3 Rasa Takut dari Diri Sendiri Rasa takut pada anak terhadap perawatan gigi salah satunya timbul dari dalam diri anak itu sendiri. Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya rasa takut dalam diri anak adalah usia, pengalaman buruk, mempunyai masalah kesehatan, dan rasa sakit.3 Rasa Takut dari Orangtua atau Keluarga Peranan orang tua terhadap keberhasilan perawatan gigi anaknya, sangat besar. Sikap orang tua akan berpengaruh terhadap perilaku anak selama menjalani perawatan. Pada umumnya seorang ibu dengan tingkat kecemasan yang tinggi, ketika anaknya dirawat akan menunjukkan sikap yang tidak menguntungkan yang dapat mempengaruhi keberhasilan perawatan. Orang tua yang takut terhadap perawatan gigi akan mempengaruhi anaknya ketika dilakukan perawatan gigi. 3 Dokter Gigi Rasa takut pada anak dapat disebabkan oleh pengelolaan yang kurang tepat oleh dokter gigi. Sikap dokter gigi yang kaku atau keras, kurang sabar, kurang menunjukkan kehangatan dan perhatian dapat menyebabkan anak bersikap negatif. Dokter gigi harus bersikap lembut ketika merawat pasien anak, mempunyai wibawa serta dapat menjelaskan perawatan yang akan dilakukan dengan cara yang tidak membuat anak merasa takut. Selain itu, ruangan praktek yang dianggap asing oleh anak dapat dibuat menjadi lebih aman. Misalnya ruang tunggu yang dilengkapi beberapa mainan, gambar maupun buku yang berhubungan dengan anak.3 Tipe Rasa Takut Rasa takut adalah respons emosional dan merupakan suatu mekanisme protektif untuk melindungi seseorang dari ancaman atau bahaya dari luar. Rasa takut tidak diwariskan tetapi diperoleh setelah lahir. Rasa takut anak diperoleh secara objektif atau subjektif. 5 Rasa Takut Objektif Rasa takut objektif merupakan respons dari stimulus yang dirasakan, dilihat, didengar, dicium dan merupakan hal atau keadaan yang tidak enak atau tidak menyenangkan. Rasa takut objektif ditimbulkan oleh rangsangan langsung yang diterima organ perasa dan secara umum bukan bersumber
4
dari orang lain. Rasa takut objektif dapat disebabkan karena perasaan yang tidak menyenangkan terhadap perawatan gigi. 5
Rasa Takut Subjektif Rasa takut subjektif merupakan rasa takut yang didapat dari orang lain dan anak tersebut tidak mengalaminya sendiri. Anak kecil sangat mudah dipengaruhi, sehingga anak kecil yang tidak berpengalaman ketika mendengar pengalaman yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan rasa sakit yang dialami oleh orang tua mereka, dengan segera akan menimbulkan rasa takut pada dirinya. Hal-hal yang dapat menimbulkan rasa takut akan disimpan dalam ingatannya, dengan segala imajinasi yang dimilikinya, dan rasa takut menjadi bertambah hebat.5 PENGENDALIAN TINGKAH LAKU ANAK Pengendalian tingkah laku pada pasien anak bertujuan untuk memodifikasi tingkah laku pasien kearah yang ideal melalui suatu seri langkah-langkah pada jalur menuju tingkah laku yang diinginkan. Tingkah laku yang ideal ditunjukkan oleh pasien yang menjaga kebersihan mulutnya dengan sangat baik dan santai serta kooperatif selama perawatan gigi.2 Pada perawatan gigi operatif, pembentukan tingkah laku didasarkan pada prosedur rencana perawatan pendahuluaan yang diinginkan, sehingga anak perlahan-lahan dilatih untuk menerima perawatan dalam keadaan santai dan kooperatif. Langkah-langkah yang dapat merupakan perawatan pendahuluaan pada rata-rata anak usia sekolah adalah pemeriksaan dan profilaksis, fissure sealant dan pemberian flour topical, restorasi oklusal yang kecil pada gigi susu tanpa anastesi local, dan bloc pada saraf gigi bawah dan restorasi.1 Pendekatan bertahap dalam pembentukan tingkah laku ini dapat menunda kemajuan perawatan, tetapi apabila kerjasama yang penuh dari anak dapat diperoleh, penundaan tentu lebih bermanfaat karena waktu yang dilewatkan tersebut dianggap sebagai investasi yang nyata. 1 Beberapa metode pendekatan dalam pengendalian tingkah laku anak selama perawatan gigi antara lain : 1) Tell Show Do Caranya melalui TSD, yaitu: TELL yaitu menerangkan perawatan yang akan dilakukan pada anak dan bagaimana anak tersebut harus bersikap. SHOW yaitu menunjukkan atau mendemostrasikan pada anak apa saja yang akan dilakukan terhadap dirinya. DO yaitu anak, dilakukan perawatan gigi sesuai dengan hal yang diuraikan atau didemostrasikan.6 2) Penguatan (reinforcement) Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku yang akan meningkatkan kemungkinan tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Hampir semua benda menjadi penguat dokter gigi sehingga dapat meningkatkan hubungan social dengan cara memberikan perhatian, doa, senyum, dan pelukan. Benda penguat yang dapat diberikan misalnya sticker, pensil, dan lain-lain. 6 3) Desensitisasi
5
Tujuan: untuk mengurangi rasa takut dan cemas seorang anak dengan jalan memberikan rangsangan yang menghilangkan cemas sedikit demi sedikit yang disebut dengan istilah “systemic desentisization” karena ada tiga tahap yaitu: Latih pasien untuk santai dan rileks. Susun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas dan takut (dari yang paling menakutkan sampai yang tidak menakutkan). Rangsangan ditingkatkan sedikit demi sedikit.6’7 4) Modeling Tujuan: untuk mengurangi dan menghilangkan rasa takut dan rasa cemas yang tinggi. Modeling dan imitasi adalah suatu proses sosialisasi yang terjadi baik secara lagsung dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. Ada empat komponen dalam proses belajar: Memperhatikan Mengancam Memproduksikan gerak dengan cepat Ulangan penguasaan dan motivasi proses meniru akan berhasil dengan baik6’7 5) Hand Over Mouth Exercise (HOME) HOME digunakan apabila beberapa cara lain dalam menciptakan komunikasi yang baik mengalami kegagalan sehingga tingkah laku anak tidak terkendali. HOME dilakukan pada anak sejak kunjungan pertama menunjukkan sikap tidak kooperatif, tidak mengerti dengan penjelasan atau bujukan, keras kepala, menolak perawatan, menangis meronta-ronta. Tindakan ini dilakukan pada anak sehat berumur 3-6 tahun. 6’8 6) Sedasi (Farmakologi) Teknik ini efektif digunakan pada anak-anak yang kurang kooperatif dan tidak mau dilakukan perawatan. Obat-obatan yang bersifat sedative dapat digunakan dalam beberapa cara yaitu secara oral, intravena, intramuscular, dan inhalasi. (andlaw). Banyak obat-obatan dan kombinasinya telah digunakan untuk sedasi anak yang cemas, misalnya barbiturate, kloral hidrat, hydroxyzine, neprobamate, dan diazepam. 6’8 PEMBAHASAN Perbedaan antara perawatan yang dilakukan pada anak-anak dan perawatan pada orang dewasa terletak pada hubungan dokter gigi dan pasien. Perawatan untuk orang dewasa meliputi hubungan antara dokter-pasien (one to one relationship), sedangkan perawatan terhadap anak-anak adalah hubungan antara dokter gigi – pasien anak – orang tua/ orang yang mendampingi anak tersebut (one to two relationship). Hal ini disebut segitiga perawatan anak. Pasien anak, keluarga, dokter gigi dan lingkungan.Terlihat pada skema ini bahwa anak terletak pada puncak segitiga dan mempunyai focus perhatian dari keluarga dan dokter gigi. Peran keluaga yang dapat mengubah dan lingkungan keluarga harus dipertimbangkan. Tanda panah pada segitiga tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara ketiga unsur tersebut, pasien anak, keluarga, dan dokter gigi yang bersifat timbal balik. Strategi pengendalian tingkah laku anak yang dapat diterapkan dalam praktek kedokteran gigi adalah strategi modeling, desensitisasi dan kombinasinya. Strategi ini cocok diterapkan pada anak yang tidak kooperatif karena anak dirangsang untuk menghilangkan rasa cemasnya sedikit demi sedikit, ditunjang dengan proses sosialisasi yang baik antara dokter gigi, anak, dan orang tua. Untuk melengkapi strategi ini, dapat digunakan metode Tell-Show-Do dan reinforcement, sedangkan Hand
6
Over Mouth Exercise jangan dilakukan pada anak yang mengalami rasa takut berlebihan dan tidak kooperatif. Dasar dari menerapkan perilaku dentistry terhadap anak-anak adalah dengan membentuk kemampuan untuk dapat mengarahkan mereka melalui pengalaman dental mereka. Pada jangka pendek kemampuan tersebut adalah prasyarat untuk menghasilkan kebutuhan perawatan dental bagi mereka dalam waktu segera mungkin pada jangka panjang efek keuntungan dapat diperoleh ketika bibit-bibit untuk kesehatan gigi kedepannya ditanam mulai dari kecil.4 Yang terpenting dalam perawatan pasien anak adalah hubungan yang dinamis diantara ketiga sudut segitiga yaitu pasien anak, keluarga dan dokter gigi. Dokter harus meyakinkan adanya kooperatif orang tua, mendiskusikan kebiasaan seperti menghisap ibu jari dan lain-lain. Dengan tujuan memotivasi pasien untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut. Dokter gigi dapat mmberikan contoh dengan menggunakan study medis yang akan mendemonstrasikan antara gigi yang protusi dibandingkan dengan gigi normal. 6
Peran Orang Tua Terhadap Perawatan Gigi Anak Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan perawatan gigi anak. Beberapa tahun terakhir, sudah menjadi tradisi bahwa ibu lebih sering dibandingkan ayah untuk menemani anak-anak ke dokter gigi. Karena alasan ini, efek cemasnya ibu dapat mempengaruhi perilaku anak-anak apabila erkunjung ke dokter gigi (maternal anxiety). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara peran ibu terhadap kooperatif anak-anak pada saat datang ke dokter gigi pertama kali. Apabila rasa cemas ibu terlalu berlebihan maka dapat mempengaruhi perilaku anak-anak ke arah negative. Semua anak-anak akan sangat berpengaruh terutama pada usia di bawah 4 tahun. Hal ini bisa diantisipasi karena kedekatan orang tua dengan anak dimulai semenjak bayi dan seiring bertambahnya usia akan berangsur-angsur menghilang (berkurang).4 Tekhnik Komunikasi Dokter Gigi Terhadap Anak Ada beberapa teknik komukasi yang efektif terhadap anak, diantaranya yakni: 1.
2.
3.
Menciptakan komunikasi Yakni mengikutsertakan anak dalam percakapan, diperlukan selain agar dokter gigi dapat memahami pasien, juga sekaligus membuat anak jadi lebih rileks. Banyak cara untuk menciptakan komunikasi verbal, dan keefektivan dari komunikasi ini tergantung dari usia anak. Tahap awal yang sangat baik untuk memulainya ialah dengan memberikan komentarkomentar yang bersifat pujian dan diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang timbulnya jawaban dari anak, selain kata “ya” atau “tidak”. 4 Melalui Komunikator Biasanya, asisten dental yang berbicara dengan anak selama perjalanan pasien dari ruang resepsionis sampai ke ruang operator dan juga selama proses preparasi di dental unit. 4 Kejelasan pasien Komunikasi ialah sesuatu yang kompleks dan multisensoris. Didalamnya mencakup penyampai pesan (dokter gigi), media (kata-kata yang diucapkan), dan penerima pesan (pasien). Pesan yang disampaikan harus dapat dimengerti dengan satu pemikiran yang sama antara penyampai pesan dan penerima pesan. Sangat sering digunakan eufimisme (pengganti
7
4.
5.
6.
7.
8.
kata) untuk lebih dimengerti dalam menjelaskan prosedur terhadap pasien muda. 4 Berikut contohnya: Terminologi dental = Kata ganti alginate = puding crown = gigi robot bur = sikat kecil radiograf = gambar gigi anestesi = obat penidur untuk gigi karies = kutu / cacing pada gigi Kontrol suara Dokter gigi sebaiknya mengeluarkan kata-kata yang tegas tetapi lembut, agar dapat menarik perhatian anak atan memberhentikan si anak dari segala aktivitas yang sedang dikerjakannya. 4 Komunikasi multisensory Komunikasi verbal fokus pada apa yang diucapkan dan bagaimana kata-kata itu diucapkan. Komunikasi non-verbal juga dapat disampaikan melalui kontak tubuh.4 Contohnya, dokter gigi meletakkan tangannya pada pundak anak saat duduk di dental chair agar merasakan kehangatan dan lebih merasa bersahabat. Kontak mata juga penting. Dokter gigi sebaiknya menatap anak dengan tatapan lembut dan tidak melotot. Masalah kepemilikan Pada suatu masa, adakalanya dokter gigi lupa dengan siapa dia berhadapan. Mereka memanggil “kamu” kepada anak tersebut. Panggillan si anak dengan panggilan di rumahnya karena kata “kamu” lebih mengimplikasikan bahwa anak tersebut salah. 4 Aktif mendengarkan Mendengarkan juga penting dalam merawat anak. Aktif mendengarkan ialah tahap kedua terbaik yang diungkapkan Wepman dan Sonnenberg dalam teknik berkomunikasi. Sehingga pasien terstimulasi untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. 4 Respon yang tepat Dokter gigi juga harus memberikan respon yang positif terhadap apa-apa yang diungkapkan anak. 4
Pengaruh Riwayat Medik dan Dental Terhadap Perilaku Anak Pengalaman medis sebelumnya dan pengalaman dental yang pernah dirasakan anak dalam beberapa hal menggambarkan kunjungan yang tidak nyaman atau memuaskan yang menghasilkan masalah management. Emosional termasuk rasa gelisah dari pengalaman medis sebelumnya dan sikap kurang baik anak-anak pada kunjungan medis pasti terbentuk dan mempengaruhi perilaku yang tidak menyenangkan. Kemungkinan besar perilaku yang tidak kooperatif dihubungkan dengan rasa takut yang terus menerus karena masa lalu, yaitu pengalaman dental yang tidak menyenangkan. Penanganan anak yang tidak selayaknya pada ruangan dental, menghasilkan sikap yang tidak baik pada pasien anak. Anak-anak yang sudah melewati perawatan dental sebelumnya yang tidak menyenangkan akan merasakan takut dan gelisah bila dihadapkan pada keadaan yang sama atau melakukan kunjungan dental lagi. Sedangkan anak-anak yang belum pernah mendapatkan pengalaman dental tidak akan menimbulkan perilaku tidak kooperatif pada anak tersebut. 8
8
KESIMPULAN Dalam merawat pasien anak-anak dibutuhkan komunikasi atau pendekatan khusus terhadap anak-anak, khususnya anak-anak yang memiliki masalah dengan kooperatif atau tidaknya mereka. Perilaku anak-anak di tempat praktek dokter gigi dipengaruhi oleh hubungan antara dokter gigi – pasien anak – orang tua/ orang yang mendampingi anak tersebut (one to two relationship). Selain itu juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi perilaku anak yaitu pertumbuhan dan perkembangan, sosial budaya, keluarga, pengalaman medis dan dental sebelumnya, tempat praktek dokter gigi, persiapan sebelum perawatan dan sumber tingkah laku yang tidak kooperatif dalam keluarga. Strategi pengendalian tingkah laku anak yang dapat diterapkan dalam praktek kedokteran gigi adalah strategi modeling, desensitisasi dan kombinasinya. Metode Tell-Show-Do dan reinforcement dapat digunakan untuk melengkapi strategi diatas. Sedangkan Hand Over Mouth Exercise jangan dilakukan pada anak yang mengalami rasa takut.
SARAN Dalam pengendalian tingkah laku anak dibutuhkan komunikasi yang baik antara dokter gigi – pasien anak – orang tua/orang yang mendampingi anak tersebut. Selain itu, dokter gigi juga harus mengetahui teknik-teknik dalam pengendalian tingkah laku anak sehingga dapat mengendalikan tingkah laku anak yang tidak kooperatif saat perawatan gigi dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7.
8. 9.
Masitahapsari BN. Supartinah Al Lukito. E. 2009. Pengelolaan rasa cemas dengan metode modeling pada pencabutan gigi anak perempuan menggunakan anastesi topical. J Ked Gi. 1: 79-86. Finn SB. 1973. Clinical pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company. Andlaw RJ. Rock WP. 1992. Perawatan gigi anak. Jakarta: Widya Medika. Strategi pengelolaan rasa takut anak pada perawatan gigi, 2011. http://dentosca.wordpress.com/2011/04/30/strategi-pengelolaan-rasa-takut-anak-padaperawatan-gigi/ Koch M. Poulsen R. 1991. Pedodontics: a clinical approach. Copenhagen: Munksgaard. Manajement perilaku pediatric dentistry, 2011. Narwaty L. 2008. Penatalaksanaan perilaku anak pra sekolah pada perawatan gigi dengan modeling dan desensitisasi, Medan: USU e-repository. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23642/3/Chapter%20II.pdf Taqwin A. 2010. Pengelolaan rasa takut anak pada perawatan gigi. http://www.slideshare.net/dentistalit/contoh-makalah-pedodonsia Berge MT. Veerkamp J. Hoogstraten J, 1999. Dentist behavior in response to child dental fear. J Dent Child. 66 (1): 36-40. http://email-dentin.blogspot.com/2011/10/manajemen-perilaku-pediatric-dentistry.html
9
10