SKRIPSI
PENGENDALIAN KOROSI PADA BAJA LUNAK DALAM MEDIA PETROLEUM BUATAN DAN HCl 1M MENGGUNAKAN KITOSAN LARUT AIR DARI LIMBAH CANGKANG UDANG
CLARISSA WELNY SALEH NRP. 1413100092
Dosen Pembimbing I Dra. Harmami, MS Dosen Pembimbing II Dra. Ita Ulfin, M.Si
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
ii
SCRIPT
CORROSION CONTROL ON MILD STEEL IN ARTIFICIAL PETROLEUM AND 1M HCl MEDIA USING WATER-SOLUBLE CHITOSAN FROM SHRIMP SHELLS WASTE
CLARISSA WELNY SALEH NRP. 1413 100 092
Advisor Lecturer I Dra. Harmami, MS Advisor Lecturer II Dra. Ita Ulfin, M.Si
DEPARTEMENT OF CHEMISTRY FACULTY OF MATHEMATICS AND NATURALSCIENCES INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
iii
PENGENDALIAN KOROSI PADA BAJA LUNAK DALAM MEDIA PETROLEUM BUATAN DAN HCl 1M MENGGUNAKAN KITOSAN LARUT AIR DARI LIMBAH CANGKANG UDANG
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi S-1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Oleh:
CLARISSA WELNY SALEH NRP 1413 100 092
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017 iv
PENGENDALIAN KOROSI PADA BAJA LUNAK DALAM MEDIA PETROLEUM BUATAN DAN HCl 1M MENGGUNAKAN KITOSAN LARUT AIR DARI LIMBAH CANGKANG UDANG
TUGAS AKHIR Oleh: CLARISSA WELNY SALEH NRP 1413 100 092 Surabaya, 26 Januari 2017 Disetujui Oleh, Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Harmami, MS NIP. 19611216 198803 2 002
Dra. Ita Ulfin, M.Si NIP. 19650426 198903 2 002
Mengetahui : Ketua Jurusan Kimia,
Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc NIP. 19710616 199703 1 002 v
PENGENDALIAN KOROSI PADA BAJA LUNAK DALAM MEDIA PETROLEUM BAUTAN DAN HCl 1M MENGGUNAKAN KITOSAN LARUT AIR DARI LIMBAH CANGKANG UDANG Nama NRP Jurusan Pembimbing
: Clarissa Welny Saleh : 1413100092 : Kimia FMIPA : Dra. Harmami, MS, Dra. Ita Ulfin, M.Si
Abstrak Kitosan larut air (water soluble chitosan, WSC) telah berhasil disintesis dari limbah cangkang udang dan dimanfaatkan sebagai inhibitor korosi. Kitin cangkang udang diperoleh dari reaksi demineralisasi dan deproteinisasi cangkang udang sedangkan WSC diperoleh dari reaksi deasetilasi kitin dan pemotongan rantai kitosan kasar dengan H2O2. WSC dikarakterisasi menggunakan FT-IR dan ditentukan derajat deasetilasinya dengan titrasi asam basa. Kinerja WSC dalam menghambat korosi baja lunak pada media petroleum buatan dan HCl 1M telah dipelajari dengan metode polarisasi potensiodinamik. Studi efisiensi inhibisi WSC dilakukan pada variasi konsentrasi 25-175 ppm dalam media korosif pada kondisi stagnan dan dengan pengadukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan efisiensi inhibisi WSC meningkat terhadap konsentrasi dan mencapai maksimum pada konsentrasi 100 ppm. Efisiensi maksimum WSC pada media petroleum buatan stagnan dan dengan pengadukan diperoleh sebesar 84,94% dan 92,16%, secara berturut-turut. Sedangkan, dalam media HCl 1M diperoleh sebesar 73,19% untuk stagnan dan 64,99% dengan pengadukan. Intepretasi hasil pengukuran dengan polarisasi potensiodinamik menunjukkan bahwa WSC merupakan inhibitor tipe campuran. Adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak dalam media petroleum buatan mengikuti isotermal adsorpsi Langmuir dan Frumkin sedangkan dalam HCl 1M mengikuti model isotermal adsorpsi Freundlich. Kata kunci : inhibitor, kitosan larut air, korosi, cangkang udang, polarisasi potensiodinamik vi
CORROSION CONTROL ON MILD STEEL IN ARTIFICIAL PETROLEUM AND 1M HCl MEDIA USING WATER SOLUBLE CHITOSAN FROM SHRIMP SHELLS WASTE Name Student Number Departement Advisor Lectrurer
: Clarissa Welny Saleh : 1413100092 : Chemistry, FMIPA : Dra. Harmami, MS, Dra. Ita Ulfin, M.Si
Abstract Water soluble chitosan (WSC) from shrimp shells waste was succesfully synthesised and used as corrosion. Chitin extracted from shrimp shell waste using demineralized and deproteinization reaction. WSC obtained from deacetylation and shortening polymer chain of crude chitosan using H 2O2. WSC obtained was characterised using FT-IR and its deacetylation degree determined using acid-base titration. Performance of WSC as corrosion inhibitor for mild steel in artificial petroleum and 1M HCl was studied using potentiodynamic polarization method. Inhibiton efficiency studied using various concentration of inhibitor from 25 ppm to 75 ppm with stirring and stagnant condition. The inhibiton efficiency increased with the increase in concentration and reached a maximum at 100 ppm as the inhibiton efficiencies are 84,94% in stagnant, 92,16% in stirring condition of artificial petroleum and 73,19% in stagnant, 64,99% in stirring condition of 1M HCl. Polarization studies revealed that WSC acts as mixed type inhibitor. Adsorption of water soluble chitosan on mild steel surface obey Langmuir and Frumkin isotherm in artificial petroleum media and obey Freundlich in 1M HCl. Keywords:
Corrosion, inhibitor, potentiodynamic polarization, shrimp shell, water soluble chitosan
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanallah Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga naskah tugas akhir berjudul ―Pengendalian Korosi pada Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dan HCl 1M Menggunakan Kitosan Larut Air dari Limbah Cangkang Udang‖ dapat diselesaikan dengan baik. Tulisan ini tidak akan terwujud dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada: 1. Dra. Harmami, MS dan Dra. Ita Ulfin, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penyusunan naskah tugas akhir ini. 2. Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Kimia atas fasilitas yang telah diberikan hingga naskah tugas akhir ini dapat terselesaikan. 3. Bapak dan Ibu dan adik-adik yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa. 4. Dr. rer. nat. Fredy Kurniawan, selaku ketua Laboratorium Instrumen dan Sains Analitik atas izin dan dukungannya selama penelitian. 5. Kartika A. Madurani, S.Si, M.Si., selaku kakak tingkat yang selalu mendukung dan membantu dalam proses penelitian 6. Dosen dan teman-teman Anorthite serta teman-teman kelompok Laboratorium Instrumentasi dan Sains Analitik yang membantu dan memberikan semangat dalam pengerjaan tugas akhir ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan naskah tugas akhir ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun. Semoga tugas akhir ini memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Surabaya, 26 Januari 2017 Penulis viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................... i ABSTRAK ................................................................................ vi ABSTRACT .............................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ................................................................. xi DAFTAR TABEL .................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ xiii DAFTAR SINGKATAN ......................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................. 1 1.2 Permasalahan ................................................................. 3 1.3 Batasan Masalah ............................................................ 4 1.4 Tujuan ........................................................................... 4 1.5 Manfaat ......................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 5 2.1 Baja Lunak .................................................................... 5 2.2 Korosi ........................................................................... 6 2.3 Inhibitor Korosi ........................................................... 10 2.4 Kitosan ........................................................................ 12 2.5 Isotermal Adsorpsi ....................................................... 14 2.5.1 Isotermal Adsorpsi Langmuir ............................ 14 2.5.3 Isotermal Adsorpsi Freundlich ........................... 15 2.5.3 Isotermal Adsorpsi Frumkin .............................. 16 2.6 Metode Polarisasi Potensiodinamik .............................. 16 2.7 Spektrofotometer Inframerah Fourier Transform (Fourier Transform Infra-Red) ................................................. 19
ix
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN .................................. 21 3.1 Peralatan dan Bahan .................................................... 21 3.1.1 Peralatan ........................................................... 21 3.1.2 Bahan ................................................................ 21 3.2 Prosedur Kerja ............................................................. 22 3.2.1 Ekstraksi Kitin Cangkang Udang ....................... 22 3.2.2 Sintesis Kitosan Larut Air.................................. 22 3.2.3 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air 23 3.2.4 Pembuatan Media Petroleum Buatan dan Larutan Inhibitor dalam Media Petroleum Buatan.......... 23 3.2.5 Pembuatan Media Korosif HCl 1M dan Larutan Inhibitor dalam HCl 1M ................................... 24 3.2.6 Penentuan Efisiensi Inhibisi dengan Metode Polarisasi Potensiodinamik ............................... 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................... 27 4.1 Sintesis Kitosan Larut Air ............................................ 27 4.2 Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air ........................... 31 4.3 Efisiensi Inhibisi Kitosan Larut Air .............................. 32 4.4 Isotermal Adsorpsi dan Termodinamika Korosi ........... 44 4.4 Mekanisme Penghambatan Korosi WSC ...................... 47 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................... 49 5.1 Kesimpulan ................................................................. 49 5.2 Saran ........................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 51 BIODATA PENULIS ............................................................. 127
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Skema jenis-jenis korosi (Davis, 2000).................... 8 Gambar 2. 2 Struktur kitin dan kitosan (El-Fattah dkk., 2006). .. 12 Gambar 2. 3 Grafik ekstrapolasi tafel (Zhang, 2015) ................. 17 Gambar 4.1 Reaksi sintesis kitosan larut air…………………....27 Gambar4.2 a) Hasil ekstraksi kitin cangkang udang b) hasil sintesis WSC dari cangkang udang. ....................... 28 Gambar 4.3 Spektra IR kitin dan WSC cangkang udang ............ 29 Gambar 4.4 Grafik tafel baja lunak dalam media petroleum buatan stagnan dengan variasi konsentrasi inhibitor WSC. 32 Gambar 4.5 Grafik tafel baja lunak dalam media petroleum buatan dengan pengadukan dan variasi konsentrasi inhibitor WSC. .................................................................... 33 Gambar 4.6 Grafik tafel baja lunak dalam media HCl 1M stagnan dengan variasi konsentrasi inhibitor WSC. ............ 33 Gambar 4.7 Grafik tafel baja lunak dalam media HCl 1M dengan pengadukan dan variasi konsentrasi inhibitor WSC. ............................................................................. 34 Gambar 4.8 Grafik isotermal adsorpsi a) frumkin untuk WSC dalam media petroleum buatan stagnan, b) Langmuir untuk WSC dalam petroleum buatan dengan pengadukan dan Freundlich untuk c) HCl 1M stagnan d) HCl 1M dengan pengadukan................. 45 Gambar 4. 9 Mekanisme protonasi WSC dalam larutan HCl 1M 47 Gambar 4.10 Perkiraan interaksi elektrostatik antara WSC dengan permukaan baja lunak............................................ 48
xi
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Data bobot dan perolehan kembali kitin dan WSC .... 28 Tabel 4.2 Perbandingan puncak spektra IR kitin dan kitosan sampel dan pembanding (Brugnerotto dkk., 2001) ... 30 Tabel 4.3 Hasil penentuan derajat deasetilasi WSC .................. 31 Tabel 4.4 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media petroleum buatan stagnan .................................................................... 34 Tabel 4.5 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media petroleum buatan dengan pengadukan ................................................. 36 Tabel 4.6 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media HCl 1M stagnan ....... 38 Tabel 4.7 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam HCl 1M dengan pengadukan39 Tabel 4.8 Nilai rata-rata Icorr dan Efisiensi Inhibisi WSC dalam Media Petroleum Buatan ......................................... 42 Tabel 4.9 Nilai rata-rata Icorr dan Efisiensi Inhibisi WSC dalam Media HCl 1M ........................................................ 42 Tabel 4.10 Perbandingan Linieritas Berbagai Model Adsorpsi Isoterm WSC pada Baja Lunak ................................ 44 Tabel 4.11 Parameter termodinamik untuk WSC pada baja lunak dalam berbagai kondisi ............................................ 46
xii
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A SKEMA KERJA .............................................. 61 LAMPIRAN B PERHITUNGAN ............................................. 63 B.1 Perhitungan Perolehan Kembali Kitin dan Kitosan Larut Air ............................................................................. 63 B.2 Standarisasi NaOH 0,1N ............................................. 64 B.3 Standarisasi HCl 0,1N ................................................. 65 B.4 Standarisasi HCl 1 M .................................................. 66 B.5 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air ......... 67 B.6 Penentuan Efisiensi Inhibisi Kitosan Larut Air ............ 68 B.7 Penentuan Parameter Termodinamika Korosi ............. 73 LAMPIRAN C HASIL KARAKTERISASI KITIN DAN WSC 75 C.1 Spektra FT-IR Kitin Cangkang Udang ......................... 75 C.2 Spektra FT-IR Kitosan Larut Air ................................. 76 C.3 Spektra FT-IR Kitin Pembanding (Brugnerotto dkk., 2010) ......................................................................... 77 C.3 Spektra FT-IR Kitosan Pembanding (Brugnerotto dkk., 2010) ......................................................................... 78 LAMPIRAN D EKSTRAPOLASI GRAFIK TAFEL ................ 79 D.1 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi Stagnan ......................................................... 79 D.2 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi dengan Pengadukan....................................... 91 D.3 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Stagnan .................................................................... 103 D.4 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Pengadukan.............................................................. 115
xiii
DAFTAR SINGKATAN
βa
Konstanta tafel anodik
βc
Konstanta tafel katodik
DD
Derajat deasetilasi
Ecorr
Potensial korosi
∆Gᵒads
Energi bebas Gibbs adsorpsi
FT-IR
Fourier Transform-Infra Red
Icorr
Densitas arus korosi
Kads
Konstanta adsorpsi
θ
Cakupan luas permukaan adsorpsi
WSC
Water Soluble Chitosan
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paduan logam (alloy) memiliki aplikasi yang sangat luas di industri baik industri farmasi, makanan, minuman, bahan kimia serta industri lainnya. Salah satu alloy yang banyak digunakan di dunia industri adalah baja lunak. Baja lunak (mild steel) merupakan alloy karbon dan besi dengan kandungan karbon sebesar 0,05 – 0,30%. Baja lunak digunakan di dunia industri karena harga yang murah dan sifatnya yang ulet, mudah ditempa dan memiliki kuat tarik yang rendah (Knowles, 1987). Baja lunak di industri kilang minyak digunakan sebagai material konstruksi dan perpipaan. Interaksi antara baja lunak dengan minyak mentah, asam dan ion klorida menyebabkan terjadinya korosi pada pipa baja lunak (Brondel dkk., 1994). Korosi merupakan reaksi elektrokimia (reduksi-oksidasi) terlokalisasi yang terjadi pada permukaan logam atau paduan logam yang berinteraksi dengan lingkungan korosif. Selama korosi terjadi, logam berubah menjadi ion logam, hidroksida logam atau oksida logam yang lebih stabil (Marcus, 2011). Korosi menyebabkan kerugian yang sangat besar bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, kerugian yang diakibatkan oleh korosi khususnya di industri kilang minyak mencapai US$ 170 juta per tahun (Koch dkk, 2001). Pengendalian korosi pada baja lunak telah dikembangkan dengan pertimbangan ilmiah, ekonomi dan lingkungan, seperti perlindungan anodik menggunakan anoda tumbal yaitu logam seng (Zn), perlindungan katodik menggunakan epoksi sebagai bahan pelapis baja lunak dan penggunaan inhibitor korosi (Brondel dkk., 1994). 1
Metode pencegahan korosi menggunakan inhibitor korosi memiliki keunggulan yaitu mampu memperpanjang umur penggunaan material lebih lama dibandingkan dengan metode pencegahan korosi yang lainnya (Oguzie dkk., 2009). Senyawa organik yang mengandung gugus karbonil, amino, nitril dan ikatan rangkap terkonjugasi cukup efisien dalam mencegah korosi pada logam sehingga dapat digunakan sebagai inhibitor korosi (Dean Jr., dkk., 1981). Penelitian dan pengembangan inhibitor ramah lingkungan telah dilakukan dengan menggunakan ekstrak tanaman, minyak nabati, sari buah dan limbah sebagai bahan baku green inhibitor. Biopolimer menjadi salah satu green inhibitor yang lebih disukai karena sifatnya yang baik dalam perlindungan korosi pada beberapa lokasi adsorpsi. Beberapa contoh biopolimer yang digunakan sebagai green inhibitor diantaranya adalah lignin, asam polikafeat, asam poliaspartat, hidroksil propil selulosa, karboksi metil selulosa, kitosan, karboksi metil kitosan dan asetil thiourea kitosan (Sangeetha dkk., 2015). Kitosan merupakan produk hasil N-deasetilasi dari kitin. Kitin sebagai bahan baku kitosan merupakan polisakarida asetilamina yang banyak ditemukan pada cangkang udang, kerang dan kepiting, jaringan kutikula serangga dan dinding sel jamur. Baik kitin maupun kitosan bersifat biodegradable dan tidak beracun. Beberapa penelitian terdahulu memanfaatkan turunan kitosan sebagai inhibitor korosi dan pelapis untuk baja lunak. Surfaktan kitosan sebagai inhibitor korosi untuk baja lunak dalam larutan HCl 1M dilaporkan memiliki efisiensi pada rentang 67,56% - 93,23% dengan konsentrasi inhibitor sebesar 250 ppm (Alsabagh dkk., 2014). Penggunaan pelapis kitosan/nanopratikel ZnO dilaporkan memiliki efisiensi sebesar 73,8% dalam mencegah korosi baja lunak dalam media HCl 0.1M (John dkk., 2015). Karboksimetil kitosan sebagai inhibitor korosi untuk baja
2
lunak dalam media HCl 1M memiliki efisiensi maksimum 93% pada konsentrasi 200 mg/L (Cheng dkk., 2007). Inhibitor kitosang-PEG/Nanopartikel Ag dengan konsentrasi 0,001M memiliki efisiensi inhibisi korosi baja lunak dalam media HCl 1M sebesar 92,75% (Hefni dkk, 2016). Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dilakukan penelitian untuk mencari alternatif kitosan lain yang mudah disintesis dengan proses singkat dan dapat digunakan sebagai inhibitor korosi yang efisien, ramah lingkungan dan tidak beracun serta mudah diaplikasikan. Maka, pada penelitian ini digunakan kitosan larut air dari limbah cangkang udang yang dimanfaatkan sebagai green inhibitor. 1.2 Permasalahan Menurut Zainal dkk. (2009), Kitosan memiliki gugus hidroksil (-OH) dan gugus amina (-NH2) yang dapat berikatan secara elektrostatik maupun secara kovalen koordinasi dengan Fe pada baja lunak. Kitosan dan turunan kitosan lain yang digunakan sebagai inhibitor korosi untuk baja lunak dalam penelitian terdahulu memiliki kekurangan diantaranya inhibitor tidak larut air, efisiensi inhibisi rendah dan menggunakan bahan baku sintesis inhibitor yang mahal. Pada penelitian ini digunakan kitosan larut air yang diperoleh dari kitin ekstrak cangkang udang. Kitosan larut air merupakan hasil pemotongan rantai polimer kitosan sehingga berat molekulnya menjadi lebih rendah dibandingkan kitosan. Kitosan larut air diduga memiliki efisiensi inhibisi yang lebih baik dibandingkan kitosan murni karena adanya gugus hidroksil yang lebih banyak. Konsentrasi inhibitor yang ditambahkan ke dalam media berpengaruh pula terhadap efisiensi inhibisi korosi pada baja lunak (Dean Jr., dkk., 1981). Oleh karena itu, pada penelitian ini diamati pengaruh variasi konsentrasi inhibitor terhadap 3
efisiensi inhibisi korosi kitosan larut air untuk baja lunak dalam media korosif yang berbeda yaitu media petroleum buatan dan HCl 1M. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini menggunakan kitosan larut air sebagai inhibitor korosi baja lunak dengan variasi media korosif, konsentrasi inhibitor dan pengaruh pengadukan. 1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kinerja kitosan larut air sebagai inhibitor korosi pada baja lunak dalam media petroleum buatan dan HCl 1M yaitu efisiensi penghambatan korosi, tipe penghambatan, tipe adsorpsi kitosan larut air pada baja lunak dan mekanisme penghambatan kitosan larut air pada baja lunak dalam media petroleum buatan dan HCl 1M. 1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk berupa inhibitor korosi kitosan larut air untuk baja lunak yang dapat diaplikasikan untuk mencegah korosi pada sistem perpipaan di industri kilang minyak.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baja Lunak Baja lunak (mild steel) digunakan sebagai bahan baku dan material konstruksi untuk berbagai macam industri seperti farmasi, elektrokimia dan kilang minyak. Baja lunak merupakan paduan (alloy) besi dan karbon dengan kandungan karbon sebesar 0,05 – 0,30% dan sedikit paduan logam lainnya untuk menambahkan sifat tertentu (Brady dkk., 1997). Baja lunak memiliki kandungan besi sebesar 98,8 – 99,3% dan karbon sebesar 0,05 – 0,30%, selain itu terdapat pula unsur lain yang jumlahnya kurang dari 2%. Fosfor dan sulfur yang terdapat dalam baja lunak merupakan residu hasil pengolahan baja lunak yang dijaga kadarnya di bawah 0,04%. Unsur lain yang terdapat dalam baja lunak adalah Mangan (Mn) yang ditambahkan pada proses pembuatan baja lunak dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan baja lunak dan elastisitasnya sehingga meningkatkan kuat tarik baja sedangkan Krom (Cr) ditambahkan dengan tujuan untuk menambah kekerasan dan ketangguhan baja lunak. Karburasi dilakukan pada permukaan baja lunak untuk menambah ketahanan dan kekerasan baja lunak. Pada proses karburasi, permukaan baja lunak dilapisi dengan karbon hingga 0,9% pada suhu 850°-900°C. Baja lunak yang telah dikarburasi akan lebih tahan aus (Degarmo dkk., 2003). Baja lunak memiliki sifat kekerasan dan kekuatan mekanis yang tinggi selain itu keunggulan lain dari baja lunak yaitu harga yang murah dan mudah didapatkan. Sifat dan keunggulan baja lunak tersebut membuat penggunaan baja lunak 5
sangat luas dalam bidang industri, namun baja lunak memiliki kelemahan yaitu sangat mudah terkorosi (Smith dkk., 2006). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa baja lunak mengalami korosi dengan lingkungan yang beragam yaitu udara terbuka, air, air laut, tanah, lumpur dan beberapa asam encer. Interaksi baja lunak dengan oksigen di udara maupun oksigen terlarut dalam air dapat menyebabkan oksidasi Fe dalam baja lunak yang merupakan proses korosi baja lunak. Bakteri penghasil H2S dalam lumpur dan tanah umumnya yang paling berpengaruh dalam korosi baja lunak dengan media tanah (Chuka dkk., 2014). Korosi baja lunak dalam berbagai asam encer telah dilaporkan diantaranya dalam HCl 1M, H2SO4 0,5M, HClO4 1M dan HNO3 1M. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baja lunak akan sangat mudah terkorosi dengan adanya asam dan ion klorida (Cl-) yang mampu menyebabkan korosi sumuran yang tidak terkendali (Osarolube dkk., 2008). 2.2 Korosi Korosi merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh logam yang dimurnikan menjadi bentuk logam yang lebih stabil yaitu oksida logam, hidroksida logam atau ion logam yang larut dimana proses ini terjadi akibat interaksi logam dengan lingkungannya secara elektrokimia. Korosi terjadi secara spontan menurut termodinamika karena logam akan berubah bentuk dari yang memiliki energi tinggi menuju energi yang lebih rendah. Korosi tidak hanya terjadi pada logam murni tetapi juga terjadi pada paduan logam (Davis, 2000). Terjadinya korosi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban udara, elektrolit, zat terlarut yang menghasilkan asam, adanya oksigen dan jenis logam itu sendiri (Jones, 1996). Korosi dapat menyebabkan kerugian besar mulai dari kehilangan 6
jam kerja, kerugian material akibat kerusakan alat, polusi hingga kehilangan nyawa manusia (Koch dkk., 2001). Korosi yang terjadi dapat diamati berdasarkan pengamatan visual pada logam baik dengan pengamatan langsung maupun dengan menggunakan bantuan alat pembesar. Menurut Jones (1996), terdapat delapan jenis korosi yang terjadi pada logam atau paduan logam beserta skema terjadinya korosi (Gambar 2.1) yaitu: a. Korosi merata (uniform or general corrosion), merupakan tipe korosi yang dapat diprediksi dan terjadi pada permukaan yang mengandung komposisi logam yang sama secara metalurgi pada bagian permukaannya. b. Korosi sumuran (pitting corrosion), merupakan salah satu jenis korosi yang paling sering terjadi pada baja. Korosi ini terjadi akibat adanya serangan intensif di tempat yang terlokalisasi sehingga terjadi sumuran atau lubang dan pada umumnya reaksi ini bersifat autokatalitik. c. Korosi celah (crevice corrosion), merupakan korosi yang terjadi akibat adanya perbedaan asam atau oksigen (O 2) pada celah yang sudah terbentuk. d. Korosi galvanik (galvanic corrosion), merupakan korosi yang terjadi akibat adanya perbedaan galvanik contohnya saat dua buah logam yang memiliki potensial korosi (Ecorr) yang berbeda didekatkan satu sama lain e. Korosi Erosi (erosion-corrosion) termasuk korosi kavitasi, merupakan korosi yang terjadi akibat gesekan dengan aliran fluida yang cukup tinggi atau aliran fluida tersebut bersifat korosif. f. Korosi batas butir (intergranular corrosion) termasuk di dalamnya adalah eksfoliasi, merupakan jenis korosi yang terjadi pada batas butir antara logam satu dengan yang 7
lainnya atau logam dengan pengotornya sehingga pada batas butir tesebut bersifat lebih tidak tahan korosi. g. Korosi selektif (selective corrosion) termasuk dealloying, dezinkfikasi dan korosi grafitik. h. Korosi tegang (stress corrosion) termasuk kerusakan akibat hidrogen (H2). Korosi ini terjadi akibat adanya gabungan antara lingkungan yang korosif dan tegangan statis.
Gambar 2. 1 Skema jenis-jenis korosi (Davis, 2000) Beberapa metode umum pengendalian korosi dilakukan untuk mencegah bahaya dan kerugian yang ditimbulkan akibat korosi diantaranya adalah: a. Pemilihan material. Tiap logam dan alloy memiliki sifat terhadap korosi tersendiri mulai dari tahan terhadap korosi hingga logam mulia yang inert seperti emas. Pemilihan material logam sebagai pengganti atau pembentuk alloy dengan kemampuan tahan terhadap korosi lebih tinggi menjadi pertimbangan paling awal dan sederhana dalam pengendalian korosi.
8
b. Pelapisan (coatings). Pelapisan dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu pelapisan organik dan pelapisan anorganik. Pelapisan organik bertujuan untuk mengisolasi logam dari lingkungan yang bersifat korosif sedangkan pelapisan anorganik terdapat dua jenis yaitu pelapisan metalik dengan melapisi logam substrat dengan logam lain yang lebih inert atau logam lain yang lebih reaktif sehingga dikorbankan untuk lebih dahulu terkorosi atau membentuk lapisan terpasivasi atau dengan pelapisan anorganik menggunakan porselain enamel, silikat, dan semen. c. Perlindungan katodik. Perlindungan katodik dilakukan dengan membanjiri anoda dengan elektron. Perlindungan katodik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menerapkan anoda tumbal (sacrificial anode) atau dengan arus tanding (Impressed Current). d. Rancangan. Pengendalian korosi dilakukan sejak dini sebelum logam atau alloy diaplikasikan dimana rancangan dibuat serasional mungkin untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya korosi mulai dari mempertimbangkan kemungkinan jenis korosi yang terjadi pada logam atau alloy yang akan digunakan hingga analisis interaksi logam dan lingkungan sekitar logam atau alloy tersebut. e. Inhibitor Korosi. Penggunaan inhibitor korosi bertujuan untuk menurunkan laju korosi. Inhibitor korosi yang umum digunakan adalah kromat, silikat dan senyawa amina organik. Pengendalian korosi dengan menggunakan inhibitor korosi merupakan salah satu pengendalian korosi dengan perkembangan paling pesat. Inhibitor korosi dianggap lebih efektif dalam 9
mengendalikan korosi dibandingkan metode pengendalian korosi yang lainnya (Langill, 2006). 2.3 Inhibitor Korosi Inhibitor korosi merupakan senyawa kimia baik organik maupun anorganik yang ditambahkan pada lingkungan atau media yang bersifat korosif dengan tujuan untuk menurunkan laju korosi logam atau alloy (Finsgarand dkk., 2010). Berdasarkan bahan dasarnya, inhibitor korosi dibagi menjadi dua jenis yaitu: a. Inhibitor Organik Inhibitor organik umumnya merupakan suatu senyawa organik yang mengandung gugus amina, gugus karboksilat, ikatan rangkap, cincin aromatik, atom nitrogen, atom oksigen, atom sulfur dan/atau atom fosfor. Inhibitor organik akan teradsorpsi sesuai dengan muatan ion pada inhibitor dan muatan pada permukaan logam atau alloy oleh karena itu temperatur dan tekanan sangat menentukan adsorpsi inhibitor organik pada logam atau alloy. Inhibitor organik dapat berupa bahan buatan maupun bahan yang diekstrak dari bahan alam seperti tumbuh-tumbuhan. Inhibitor organik yang diekstrak dari bahan alam kemudian disebut green inhibitor yang merupakan suatu pengembangan inhibitor korosi yang sangat menjanjikan karena inhibitor jenis ini menawarkan efektifitas yang tinggi dan ramah lingkungan (Camila dkk., 2014). b. Inhibitor Anorganik Inhibitor anorganik merupakan inhibitor yang diperoleh dari mineral-mineral yang tidak mengandung unsur karbon dan senyawaan organik. Umumnya inhibitor anorganik merupakan senyawaan yang mengandung ion 10
fosfat, nitrit, nitrat, molibdat, kromat, silikat dan tungstat (Dean Jr., dkk., 1981). Berdasarkan reaksi digolongkan menjadi:
yang
dihambat,
inhibitor
a. Inhibitor Katodik Inhibitor katodik bekerja menurunkan laju korosi dengan menghambat salah satu tahap pada proses katodik. Contoh inhibitor katodik adalah senyawaan sulfit dan bisulfit yang bereaksi dengan oksigen (O 2) pada permukaan katoda sehingga menghasilkan ion sulfat. Inhibitor katodik lainnya bereaksi dengan ion hidroksil membentuk endapan yang melapisi permukaan katoda sehingga mencegah oksigen masuk pada permukaan katoda. Inhibitor katodik memiliki efektifitas yang rendah sehingga tidak banyak yang menggunakan inhibitor jenis ini (Agarwal dkk., 1998). b. Inhibitor Anodik Inhibitor anodik bekerja dengan cara menghambat transfer ion-ion ke dalam larutan yang bersifat korosif karena berkurangnya anoda akibat terjadi gejala pasivasi. Pada anoda akan terbentuk lapisan pasif sehingga terlindung dari media yang korosif. Inhibitor anodik yang saat ini umum digunakan merupakan inhibitor anorganikseperti senyawaan nitrat, kromat dan tungstat (Roberge, 2012). Mekanisme inhibitor dalam penghambatan korosi pada logam atau alloy umumnya melalui satu atau lebih dari tiga cara di bawah ini yaitu: a. Inhibitor diadsorpsi secara kimia pada permukaan logam atau alloy dan membentuk lapisan film tipis yang melindungi dari media korosif 11
b. Inhibitor membentuk lapisan film dengan membentuk oksida dari logam yang dilindungi c. Inhibitor bereaksi dengan komponen yang korosif dalam media berair dan membentuk kompleks yang stabil. Mekanisme inhibisi inhibitor untuk inhibitor anorganik yaitu dapat bertindak sebagai inhibitor anodik atau inhibitor katodik sedangkan inhibitor organik umumnya adalah adsorpsi (Camila dkk., 2014). 2.4 Kitosan Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memiliki struktur yang mirip dengan selulosa. Kitosan adalah polisakarida linier yang tersusun oleh D-glukosamina dan N-asetil-Dglukosamina yang terdistribusi acak dengan ikatan β-(1,4). Kitosan umumnya diperoleh dari ekstraksi kitin dari cangkang hewan crustacean dan proses deasetilasi menggunakan natrium hidroksida. Struktur kitin dan kitosan ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Struktur kitin dan kitosan (El-Fattah dkk., 2006). 12
Kelarutan kitosan, biodegradibilitas, reaktivitas dan adsorpsi pada subtrat tertentu bergantung pada jumlah gugus amino terprotonasi atau nilai derajat deasetilasi (DD) yang mana DD ini menyatakan proporsi D-glukosamina dan N-asetil-Dglukosamina pada kitosan. Kitosan tidak larut dalam air, pelarut organik dan larutan basa. Kitosan larut asam asetat encer dengan bantuan pengadukan (El-Fattah dkk., 2006). Kitosan sekarang ini memiliki aplikasi yang cukup luas di bidang farmasi, industri makanan dan minuman serta industri kosmetik. Kitosan memiliki gugus amina, gugus hidroksil dan gugus karboksil yang cukup potensial untuk dijadikan inhibitor korosi jenis green inhibitor (Du dkk., 2009). Terdapat beberapa penelitian mengenai green inhibitor dengan memanfaatkan kitosan dan turunannya seperti surfaktan kitosan sebagai inhibitor korosi untuk baja lunak dalam larutan HCl 1M dilaporkan memiliki efisiensi pada rentang 67,56% - 93,23% dengan konsentrasi inhibitor sebesar 250 ppm (Alsabagh dkk., 2014). Penggunaan pelapis kitosan/nanopratikel ZnO dilaporkan memiliki efisiensi sebesar 73,8% dalam mencegah korosi baja lunak dalam media HCl 0,1M (John dkk., 2015). Karboksimetil kitosan sebagai inhibitor korosi untuk baja lunak dalam media HCl 1M memiliki efisiensi maksimum 93% pada konsentrasi 200 mg/L (Cheng dkk., 2007). Inhibitor kitosang-PEG/Nanopartikel Ag dengan konsentrasi 0,001M memiliki efisiensi inhibisi korosi baja lunak dalam media HCl 1M sebesar 92,75% (Hefni dkk., 2016).
13
2.5 Isotermal Adsorpsi Isotermal adsorpsi menggambarkan kesetimbangan adsorpsi suatu senyawa pada permukaan material tertentu pada temperatur tetap. Isotermal adsorpsi didasarkan pada tiga asumsi yaitu: a. Adsorpsi tidak dapat dilanjutkan hingga di luar cakupan lapisan tunggal b. Semua lokasi pada material yang mengadsorpsi adalah ekuivalen dan permukaannya adalah seragam c. Kemampuan molekul untuk teradsorpsi pada lokasi tertentu adalah independen, tidak bergantung pada lokasi tetangga. Isotermal adsorpsi sangat berguna dalam studi mengenai suatu inhibitor korosi. Jenis adsorpsi yang terjadi pada material diperoleh dengan menggunakan analisis regresi untuk data yang didapatkan (Atkins dkk., 2010). Terdapat beberapa jenis persamaan pola isotermal adsorpsi yang sering digunakan atau sering ditemukan sebagai pola adsorpsi inhibitor korosi yaitu persamaan adsorpsi Langmuir, Freundlich, Frumkin, Temkin dan Flory-Huggins (Volkova-Gugehashvili dkk., 2006). 2.5.1 Isotermal Adsorpsi Langmuir Model isotermal adsoprsi Langmuir menjelaskan tentang adsorpsi suatu zat dengan asumsi bahwa adsorbat tersebut bertindak seperti gas ideal pada kondisi isotermal. Pada model isotermal adsorpsi Langmuir, kapasitas adsorpsi maksimum terjadi karena adanya lapisan tunggal adsorbat pada permukaan adsorben. Persamaan isotermal adsorpsi Langmuir adalah sebagai berikut, θ=
14
κc 1+κc
(2.1)
Dimana pada persamaan 2.1, κ adalah konstanta kesetimbangan, c adalah konsentrasi adsorbat atau inhibitor dan θ adalah fraksi yang terisi oleh adsorbat pada lokasi adsorpsi atau dengan kata lain, θ merupakan cakupan luas permukaan yang terisi oleh inhibitor. Dengan mengubah persamaan 2.1 ke dalam bentuk lain sehingga didapatkan persamaan 2.2 yaitu: c 1 = +c θ κ Dengan memplot data
𝑐 𝜃
(2.2)
vs c maka akan didapakan nilai κ
dari perhitungan slope. Nilai κ yang tinggi menunjukkan bahwa inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam dalam jumlah cukup banyak (Atkins dkk., 2010).
2.5.3 Isotermal Adsorpsi Freundlich Isotermal adsorpsi Freundlich menyatakan hubungan empiris antara konsentrasi solut, (dalam hal ini inhibitor) pada permukaan adsorben dan konsentrasi solut dalam larutan dimana terjadi kontak. Isotermal adsorpsi Freundlich mungkin terjadi pada permukaan yang tidak seragam atau adanya interaksi antara molekul solut dalam larutan dengan molekul solut yang sudah melekat pada lokasi adsorpsi tertentu sehingga terjadi penyimpangan. Isotermal adsorpsi Freundlich dianggap merupakan adsorpsi yang tidak ideal. Persamaan isotermal adsorpsi Freundlich dinyatakan dalam Persamaan 2.3. Log θ = Log K+n Log C
(2.3)
Pada persamaan 2.3, C adalah konsentrasi adsorbat atau inhibitor dan θ adalah cakupan luas permukaan yang terisi oleh 15
inhibitor. Menurut Freundlich, rasio jumlah zat terlarut yang teradsorpsi pada suatu adsorben dengan konsentrasi zat terlarut tidak konstan pada konsentrasi yang berbeda (Atkins dkk., 2010). 2.5.3 Isotermal Adsorpsi Frumkin Isotermal Adsorpsi Frumkin menyatakan kesetimbangan adsorpsi inhibitor pada permukaan material atau elektroda yang tidak homogen. Model isotermal adsorpsi Frumkin memperhitungkan adanya interaksi antara molekul inhibitor dan permukaan material serta antara molekul inhibitor yang teradsorpsi dengan molekul inhibitor yang berada di larutan. Interaksi ini dapat berupa gaya elektrostatik tolak-menolak atau tarik-menarik. Model isotermal adsorpsi Frumkin dinyatakan secara matematis dalam Persamaan 2.4. Log
θ (1-θ)C
= Log K+2aθ
(2.4)
Pada persamaan 2.4, C adalah konsentrasi adsorbat atau inhibitor dan θ adalah cakupan luas permukaan yang terisi oleh inhibitor serta a adalah konstanta parameter interaksi. Nilai parameter interaksi positif (a > 0) menandakan adanya interaksi tarik-menarik antar molekul inhibitor atau inhibitor dan material sedangkan parameter interaksi negatif (a < 0) menandakan adanya interaksi tolak-menolak (Paul dkk., 2012). 2.6 Metode Polarisasi Potensiodinamik Metode polarisasi potensiodinamik merupakan suatu metode pengukuran kuantitatif terhadap sifat korosi suatu bahan yang digunakan pada perilaku aktif-pasif suatu logam. Metode polarisasi potensiodinamik dilakukan dengan mengubah potensial dari elektroda kerja dan memantau arus yang dihasilkan sebagai 16
fungsi potensial. Logam yang kontak dengan media korosif memiliki potensial korosi, ECORR yaitu potensial saat laju oksidasi sama dengan laju reduksi logam tersebut. Logam pada ECORR memiliki arus anodik dan katodik pada permukaannya, hal inilah yang dimanfaatkan dalam pengukuran polarisasi potensiodinamik dengan menggunakan tiga elektroda yaitu elektroda kerja, elektroda bantu dan elektroda pembanding (reference electrode) (Stern dkk., 1957). Penentuan laju korosi dilakukan dengan membuat grafik ekstrapolasi Tafel dari data potensial dan arus yang didapatkan selama eksperimen. Ekstrapolasi Tafel atau Tafel Plot dilakukan pada sampel logam yang dipolarisasikan pada 300mV secara anodik dan katodik dari ECORR logam tersebut sehingga menghasilkan nilai arus yang kemudian diplotkan pada grafik ekstrapolasi seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2. 3 Grafik ekstrapolasi tafel (Zhang, 2015)
17
Densitas arus korosi, iCORR didapatkan dari ekstrapolasi kurva seperti yang terlihat pada Gambar 2.3, selain itu dapat dilakukan dengan perhitungan menggunakan persamaan 2.5 dan Persamaan 2.6. i
ηA = βA log
iCORR
ηC = βC log
iCORR
i
(Anodik)
(2.5)
(Katodik)
(2.6)
Pada persamaan 2.5 dan persamaan 2.6, ηA adalah potensial lebih atau selisih antara potensial anodik dan potensial korosi sedangkan ηC adalah selisih antara potensial katodik dan potensial korosi sedangkan βA dan βC merupakan konstanta tafel anodik dan katodik. Laju korosi kemudian dihitung menggunakan data iCORR dengan persamaan 2.7. Laju korosi =
0,13 iCORR (E.W) ρ
(2.7)
Pada persamaan 2.7, laju korosi dinyatakan dalam satuan mil per tahun (mpy) dan E.W merupakan bobot ekuivalen logam yang terkorosi dalam satuan gram. Untuk menentukan efisiensi penghambatan (Inhibition Efficiency, IE) maka digunakan pula data iCORR dengan menerapkan nilainya pada Persamaan 2.8. % IE =
iCORR -i'CORR iCORR
x 100%
(2.8)
Pada persamaan 2.8, iCORR merupakan nilai densitas arus korosi tanpa inhibitor sedangkan i’CORR merupakan nilai densitas arus korosi dengan inhibitor. Pengukuran dengan metode polarisasi potensiodinamik sangat cocok untuk mengidentifikasi kinerja inhibitor, kombinasi material dan lingkungan yang bagus untuk mencegah korosi serta memprediksi keadaan material saat kontak dengan lingkungan tertentu (Roberge, 2012).
18
2.7 Spektrofoto meter Inframerah Fourier Transform (Fourier Transform Infra-Red) Spektrofotometer Inframerah Fourier-Transform atau disingkat FT-IR merupakan suatu instrumen yang memanfaatkan sinar inframerah sebagai energi untuk mendeteksi adanya gugus tertentu pada suatu senyawa atau zat yang diperiksa. Sistem optik FT-IR menggunakan prinsip interferogram yaitu sistem yang menggunakan cermin yang bergerak tegak lurus, cermin diam dan cermin pembagi serta detektor. Hasil dari pengukuran menggunakan FT-IR adalah berupa spektrum puncak-puncak yang mewakili gugus-gugus fungsi tertentu pada suatu senyawa dan bersifat khas. Data FT-IR berupa data kualitatif untuk identifikasi ikatan yang terjadi pada suatu reaksi dengan mengetahui gugus-gugus fungsi yang terbentuk (Skoog dkk., 2007).
19
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
20
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Peralatan dan Bahan 3.1.1 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas amplas grit 500, 800 dan 1000, peralatan gelas, neraca analitik digital Ohaus PA512 (maksimum 510g ± 0.01g), kertas saring halus, pengayak 40 mesh, kertas pH universal Merck, oven Thermoscientific FREAS 650, sonikator ultrasonic cleaner PS-20, pengaduk magnetik, pompa vakum, instrument analisis elektrokimia Autolab PGSTAT128N dengan software Nova 1.11 dan spektrometer inframerah Shimadzu FT-IR 8400S. 3.1.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cangkang udang dari pasar tempurejo Surabaya, baja lunak karbon rendah (dengan persentase komposisi C = 0,26; Mn = 0,75; S = 0,014; P = 0,013; Cu = 0,20; Fe = 98,763), cat pelapis tahan air, aquademin, aseton (Merck, 99,9%), HCl (Merck, 37%), etanol (Merck, 99,9%), etanol (SAP chemicals, 96%), NaOH (Merck, 99,9%), CH3COOH glasial (Merck, 100%), H2O2 (Merck, 30%), NaCl (Merck, 99,9%), MgCl2. 6H2O (Merck, 100%), CaCl2.2H2O (Merck, 100%), kerosin dan CO2 padat.
21
3.2 Prosedur Kerja 3.2.1 Ekstraksi Kitin Cangkang Udang Limbah cangkang udang yang diperoleh dari pasar tempurejo Surabaya dibersihkan dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 3 hari. Cangkang udang kering dihaluskan dengan mesin pelumat dan diayak dengan pengayak ukuran 40 mesh. Serbuk cangkang udang halus sebanyak 50g direndam dalam 500mL HCl 7% selama 24 jam kemudian residu disaring. Residu cangkang udang kemudian direndam dengan 500mL NaOH 10% selama 24 jam pada suhu 60ᵒC. Residu hasil demineralisasi dan deproteinisasi dibilas dengan 125mL etanol absolut dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50ᵒC selama 8-10 jam. Kitin hasil ekstraksi kemudian dikarakterisasi dengan spektrofotometer FT-IR untuk mengetahui gugus fungsi dalam senyawa hasil ekstraksi (Du dkk., 2009). 3.2.2 Sintesis Kitosan Larut Air Ekstrak kitin direndam dalam NaOH 50% (perbandingan bobot kitin: volume NaOH, 1:2) selama 8 jam pada suhu 60ᵒC. Residu yang berupa kitosan kasar disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ᵒC selama 10 jam. Kitosan kasar kering dilarutkan dalam asam asetat 2% dengan perbandingan bobot kitosan kasar: volume asam asetat, 1:20). H2O2 30% ditambahkan (bobot kitosan kasar: volume H2O2 30%, 1:4) ke dalam larutan kitosan dan direaksikan pada suhu 40ᵒC. Larutan kitosan larut air kemudian disaring. Pada filtrat ditambahkan etanol 96% sebanyak 2 kali volume filtrat. Etanol kemudian diuapkan dalam oven suhu 50ᵒC (Du dkk., 2009). Padatan kitosan larut air yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dengan spektrofotometer FT-IR untuk mengetahui gugus fungsi dalam kitosan larut air. Persen perolehan 22
kembali (%recovery) kitosan larut air terhadap serbuk udang kering dihitung berdasarkan persamaan 3.1 Recovery % =
Massa kitosan larut air (g) x 100% Massa serbuk udang (g)
(3.1)
3.2.3 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air Penentuan derajat deasetilasi kitosan larut air dilakukan dengan menimbang 0,125g kitosan larut air dan dilarutkan dalam 25mL HCl 0,1M. Larutan tersebut ditambahkan indikator fenolftalin (PP) dan dititrasi dengan NaOH 0,1M (CzechowskaBiskup dkk., 2012). Derajat deasetilasi (DD) kitosan larut air dihitung berdasarkan persamaan 3.2 DD % =
(C1 V1 -C2 V2 ) x 0,016 x 100% W x 0,094
(3.2)
Pada persamaan 3.2, C1 dan V1 merupakan normalitas dan volume HCl (mL) yang digunakan, C2 dan V2 merupakan normalitas dan volume NaOH (mL) serta W merupakan bobot kitosan dalam gram.
3.2.4
Pembuatan Media Petroleum Buatan dan Larutan Inhibitor dalam Media Petroleum Buatan
Air laut buatan dibuat dengan cara melarutkan 4,5g CaCl2.2H2O, 2,06g MgCl2.6H2O dan 0,11g NaCl dalam 1000mL aquademin dan dihomogenkan. Air laut buatan digunakan sebagai pelarut inhibitor kitosan larut air. Larutan stok inhibitor kitosan larut air 500ppm dipipet 2,5mL ke dalam labu ukur 50mL, 23
ditambahkan 5mL kerosin kemudian diencerkan hingga tanda batas dengan air laut buatan sehingga diperoleh media petroleum sintentik dengan konsentrasi inhibitor 25ppm. Hal serupa dilakukan untuk membuat media petroleum buatan dengan variasi konsentrasi inhibitor 50, 75, 100, 125, 150 dan 175ppm serta larutan blanko tanpa inhibitor. Media petroleum buatan blanko dan dengan inhibitor dialiri gas CO2 selama 30menit dalam sel tertutup sebelum dilakukan pengujian efisiensi inhibisi dengan metode polarisasi potensiodinamik (NACE, 1996). 3.2.5 Pembuatan Media Korosif HCl 1M dan Larutan Inhibitor dalam HCl 1M Larutan stok inhibitor kitosan larut air 500 ppm dalam HCl 1M dipipet sebanyak 2,5mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50mL dan diencerkan hingga tanda batas dengan HCl 1M sehingga diperoleh media korosif HCl 1M dengan konsentrasi inhibitor 25ppm. Hal serupa dilakukan untuk membuat media korosif HCl 1M dengan variasi konsentrasi inhibitor 50, 75, 100, 125, 150 dan 175ppm serta larutan blanko tanpa inhibitor. 3.2.6 Penentuan Efisiensi Inhibisi dengan Metode Polarisasi Potensiodinamik Pengujian dengan elektrokimia menggunakan tiga elektroda yang dirangkaikan pada temperatur kamar. Elektroda baja lunak dengan luas permukaan kontak yaitu 1 cm2 digunakan sebagai elektroda kerja. Kawat platinum digunakan sebagai elektroda bantu dan elektroda Ag/AgCl (KCl 3M) sebagai elektroda pembanding. Spesimen baja lunak direndam selama 15 menit dalam media korosif (petroleum buatan dan HCl 1M) blanko dan dengan variasi konsentrasi inhibitor. Pengujian dilakukan dengan menggunakan potensial sebesar -300mV hingga +300mV dan laju
24
1 mVs-1 pada potensial rangkaian terbuka. Pengukuran dilakukan dengan pengadukan dan kondisi stagnan pada larutan media korosif. Dilakukan ekstrapolasi Tafel kurva anodik dan katodik untuk mendapatkan potensial korosi (Ecorr) yang kemudian didapatkan pula densitas arus korosi (Icorr), konstanta Tafel anodik dan katodik (βa dan βc). Data Icorr kemudian digunakan untuk menghitung efisiensi penghambatan (% EI) dengan persamaan 2.8 (Sangeetha dkk., 2016).
25
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sintesis Kitosan Larut Air Pada penelitian ini digunakan kitosan larut air (Water Soluble Chitosan, WSC) sebagai inhibitor untuk baja lunak dalam media petroleum buatan dan HCl 1M. Prosedur sintesis WSC didasarkan pada penelitian Du dkk., (2009), dimana kitin dalam cangkang udang diekstraksi melalui tahapan demineralisasi dan deproteinisasi kemudian kitin direaksikan dengan NaOH untuk menghasilkan kitosan kasar (tahap deasetilasi). Kitosan kasar yang diperoleh kemudian direaksikan dengan H 2O2 untuk menghasilkan WSC. Reaksi yang berlangsung seperti pada Gambar 4.1.
CH3 O
1) NaOH, 60oC
NH HO *
* O
O
O
NH2 HO
2) H2O2, 40oC *
O
O OH
OH
Kitin
* O
Kitosan Larut Air
Gambar 4. 1 Reaksi sintesis kitosan larut air Menurut Du dkk., (2009), bobot molekul rata-rata kitosan yang tinggi menyebabkan rendahnya kelarutan kitosan dalam air. Menurunkan bobot molekul kitosan dengan cara memotong rantai 27
polimer kitosan menjadi lebih pendek dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam air. Berdasarkan hasil sintesis WSC, diperoleh padatan putih halus yang larut dalam air. Kitin dan WSC yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar 4.2.
a)
b)
Gambar 4. 2 a) Hasil ekstraksi kitin cangkang udang b) hasil sintesis WSC dari cangkang udang. Persen perolehan kembali (%recovery) kitin dan WSC terhadap serbuk cangkang udang kering dihitung berdasarkan persamaan 3.1. Data penimbangan serbuk udang, kitin dan WSC serta persen perolehan kembali kitin dan WSC disajikan dalam Tabel 4.1. Tabel 4. 1 Data bobot dan perolehan kembali kitin dan WSC Replikasi
Bobot cangkang udang (g)
Bobot Kitin (g)
Bobot WSC (g)
1 2 3
50,04 50,00 50,08
19,46 19,10 18,16
14,21 13,83 14,47 Rata-rata
Recovery Kitin (%)
Recovery WSC (%)
38,89 38,20 26,26 34,45
28,40 27,66 28,89 28,32
Hasil karakterisasi kitin dan WSC dengan spektrofotometer FT-IR menghasilkan spektra IR yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.
28
Gambar 4. 3 Spektra IR kitin dan WSC cangkang udang Pada spektra kitin terlihat puncak-puncak spesifik yang menunjukkan gugus fungsi pada kitin yaitu pada 3449cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur –OH. Puncak pada 2924 cm-1 menunujukkan vibrasi C – H sp3. Menurut Brugnerotto dkk., (2001) puncak pada 1658 cm-1 menunjukkan vibrasi C=O amida sedangkan puncak pada 1553 cm-1 dan 1381cm-1 menunjukkan vibrasi N-H amida. Puncak pada 1074cm-1 dan 1026 cm-1 menunjukkan vibrasi ikatan C-O-C. Pada spektra WSC terlihat puncak-puncak spesifik yang mirip dengan puncak yang muncul pada spektra kitin yaitu puncak pada 3416 cm-1 menunjukkan vibrasi O-H, puncak pada 1631 cm-1 menunjukkan vibrasi amina primer dan puncak pada 1070cm-1 b) 29
dan 1031 cm-1 menujukkan vibrasi C-O-C. Berbeda dengan spektra IR kitin, pada spektra IR WSC tidak terdapat serapan pada 3263; 3103; 1658; 1553 dan 1381 cm-1 karena gugus amida yang telah hilang akibat reaksi deasetilasi selain itu, puncak pada 1408cm-1 muncul yang merupakan puncak formasi vibrasi N-H primer. Perbandingan antara spektra IR kitin dan WSC membuktikan bahwa reaksi deasetilasi kitin berhasil dan menghasilkan kitosan (WSC). Spektra IR kitin dan WSC pada penelitian ini sebagai sampel kitin dan kitosan dengan pembanding spektra IR dari penelitian Brugnerotto dkk., (2001) dibandingkan untuk memvalidasi bahwa senyawa yang diperoleh adalah kitin dan kitosan. Perbandingan bilangan gelombang puncak-puncak signifikan pada spektra IR kitin dan kitosan ditunjukkan pada Tabel 4.2. Tabel 4. 2 Perbandingan puncak spektra IR kitin dan kitosan sampel dan pembanding (Brugnerotto dkk., 2001) Vibrasi -OH C-H sp3 C=O amida N-H amida N-H primer C-O-C
30
Sampel 3449 2924 1658 1553 1381 1074 1026
Bilangan Gelombang (cm-1) Kitin Kitosan Pembanding Sampel Pembanding 3436 3416 3450 2925 2941 2877 1661 1558 1315 1408 1420 1074 1070 1072 1029 1031 1023
Berdasarkan data perbandingan yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 diketahui bahwa senyawa yang diperoleh merupakan kitin dan kitosan. Hal ini memvalidasi bahwa ekstraksi kitin dari cangkang udang dan proses deasetilasi kitin menjadi kitosan telah berhasil. 4.2 Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air Derajat deasetilasi (DD) WSC dilakukan dengan metode titrasi asam basa. Prinsip dari penetapan derajat deasetilasi pada WSC adalah bahwa WSC mengandung gugus amina yang bersifat basa dan dapat bereaksi dengan asam membentuk garam. Penentuan DD didasarkan pada penelitian Czechowska-Biskup dkk., (2012) yang menggunakan HCl 0,1N dan larutan penitar NaOH 0,1N. Penentuan derajat deasetilasi WSC menggunakan larutan penitar yang telah distandarisasi yaitu HCl 0,1045N dan NaOH 0,113N. Data dan hasil penentuan derajat deasetilasi WSC ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4. 3 Hasil penentuan derajat deasetilasi WSC Replikasi
Bobot WSC (g)
Volume NaOH 0,113N (mL)
% DD
1
0,1253
19,30
58,63
2
0,1251
19,30
58,72
3
0,1250
19,40
57,23
Rata-rata
58,20
Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa WSC hasil sintesis memiliki DD sebesar 58,20% yang berarti bahwa reaksi deasetilasi kitin mengubah gugus amida menjadi gugus amina primer sebanyak 58,20%. Nilai DD menunjukkan jumlah gugus 31
amina primer dalam WSC yang mana gugus amina merupakan salah satu gugus pada WSC yang berperan penting dalam proses inhibisi korosi pada baja lunak (El-Fattah dkk., 2016). 4.3 Efisiensi Inhibisi Kitosan Larut Air Pengukuran polarisasi potensiodinamik dilakukan untuk menentukan efisiensi inhibisi dan sifat proteksi WSC di permukaan baja lunak dengan media korosif petroleum buatan dan HCl 1,0M. Pengukuran dilakukan dengan adanya pengadukan untuk mendekati kondisi hidrodinamik dan tanpa pengadukan untuk kondisi stagnan. Hasil pengukuran polarisasi potensiodinamik berupa grafik Tafel untuk baja lunak dalam media korosif petroleum buatan dan HCl 1M dengan pengadukan 50rpm dan stagnan ditunjukkan pada Gambar 4.4, Gambar 4.5, Gambar 4.6 dan Gambar 4.7.
-2.5 -3.0 -3.5
2
Log I (A/cm )
-4.0 -4.5
Blanko 25ppm 50ppm 75ppm 100ppm 125ppm 150ppm 175ppm
-5.0 -5.5 -6.0 -6.5 -7.0 -7.5 -8.0 -1.0
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
E vs Ag/AgCl (V)
Gambar 4. 4 Grafik tafel baja lunak dalam media petroleum buatan stagnan dengan variasi konsentrasi inhibitor WSC.
32
-2.0 -2.5 -3.0
2
Log I (A/cm )
-3.5 -4.0
Blanko 25ppm 50ppm 75ppm 100ppm 125ppm 150ppm 175ppm
-4.5 -5.0 -5.5 -6.0 -6.5 -7.0 -1.0
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
E vs Ag/AgCl (V)
Gambar 4. 5 Grafik tafel baja lunak dalam media petroleum buatan dengan pengadukan dan variasi konsentrasi inhibitor WSC.
-1.0 -1.5 -2.0
2
Log I (A/cm )
-2.5 -3.0 -3.5
Blanko 25ppm 50ppm 75ppm 100ppm 125ppm 150ppm 175ppm
-4.0 -4.5 -5.0 -5.5 -6.0 -6.5 -7.0 -0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
E vs Ag/AgCl (V)
Gambar 4. 6 Grafik tafel baja lunak dalam media HCl 1M stagnan dengan variasi konsentrasi inhibitor WSC.
33
-1.0 -1.5
2
Log I (A/cm )
-2.0 -2.5 -3.0
Blanko 25ppm 50ppm 75ppm 100ppm 125ppm 150ppm 175ppm
-3.5 -4.0 -4.5 -5.0 -5.5 -6.0 -0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
E vs Ag/AgCl (V)
Gambar 4. 7 Grafik tafel baja lunak dalam media HCl 1M dengan pengadukan dan variasi konsentrasi inhibitor WSC. Ekstrapolasi Tafel dilakukan pada masing-masing kurva polarisasi sehingga didapatkan data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC yang dihitung dengan persamaan 2.8. Hasil ekstrapolasi Tafel serta perhitungan efisiensi inhibisi WSC ditampilkan dalam Tabel 4.4, Tabel 4.5, Tabel 4.6 dan Tabel 4.7. Tabel 4. 4 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media petroleum buatan stagnan Efisiensi Inhibisi (%)
Konsentrasi
βa
βc
Ecorr
Icorr
WSC (ppm)
(mV/dec)
(mV/dec)
(mV)
(μA/cm2)
Blanko
-311,27
148,69
-600,02
55,931
-
-689,90
142,02
-608,43
50,174
-
-374,16
121,94
-609,22
50,949
-
Rata-rata
52,351
-
34
Tabel 4. 4 (lanjutan) Konsentrasi
βa
βc
Ecorr
Icorr
WSC (ppm)
(mV/dec)
(mV/dec)
(mV)
(μA/cm2)
Efisiensi Inhibisi (%)
25
-405,52
132,42
-599,96
40,434
22,76
-649,85
155,35
-567,84
41,375
20,97
-517,06
155,81
-605,49
45,338
13,40
Rata-rata
42,382
19,04
50
75
100
125
1,06
91,04
-617,29
22,231
57,54
1,04
91,15
-617,24
20,372
61,09
-665,12
103,84
-619,09
26,911
48,60
Rata-rata
23,171
55,74
65,45
40,15
-680,79
9,450
81,95
89,40
45,21
-680,29
11,053
78,89
58,27
47,45
-695,19
10,594
79,76
Rata-rata
10,366
80,20
1,64
112,53
-537,14
8,490
83,78
1,39
113,50
-563,85
7,880
84,95
1,88
117,55
-577,87
7,281
86,09
Rata-rata
7,884
84,94
272,71
61,93
-488,21
11,766
77,52
436,85
87,68
-528,52
14,172
72,93
202,24
77,22
-548,22
11,278
78,46
Rata-rata
12,405
76,30
35
Tabel 4. 4 (lanjutan) Konsentrasi
βa
βc
Ecorr
Icorr
WSC (ppm)
(mV/dec)
(mV/dec)
(mV)
(μA/cm2)
Efisiensi Inhibisi (%)
150
204,35
44,87
-678,20
10,802
79,37
194,97
51,27
-685,52
8,899
83,00
485,80
60,50
-699,69
17,819
65,96
Rata-rata
12,507
76,11
175
-1,37
77,57
-668,20
47,531
9,21
609,68
63,09
-667,99
43,735
16,46
-762,10
137,86
-713,75
49,615
5,23
Rata-rata
46,960
10,30
Tabel 4. 5 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media petroleum buatan dengan pengadukan Konsentrasi
βa
βc
Ecorr
Icorr
WSC (ppm)
(mV/dec)
(mV/dec)
(mV)
(μA/cm2)
Efisiensi Inhibisi (%)
-1,58
240,51
-528,93
306,390
-
-1,12
226,84
-503,24
252,470
-
-1,11
187,98
-509,86
229,010
-
Rata-rata
262,623
-
Blanko
25
36
-408,00
151,48
-578,15
105,290
59,91
1,65
165,73
-576,53
94,928
63,85
474,22
167,49
-568,81
92,769
64,68
Rata-rata
97,662
62,81
Tabel 4. 5 (lanjutan) Konsentrasi WSC (ppm)
βa (mV/dec)
βc (mV/dec)
50
661,63
100,18
-504,34
60,670
Efisiensi Inhibisi (%) 76,90
709,42
112,17
-519,35
59,372
77,39
724,87
164,32
-501,33
56,473
78,50
Rata-rata
58,838
77,60
75
100
125
150
175
Ecorr (mV)
Icorr (μA/cm2)
293,26
90,64
-474,27
47,465
81,93
190,29
78,58
-464,19
34,461
86,88
241,73
108,10
-540,31
32,407
87,66
Rata-rata
38,111
85,49
217,60
77,26
-468,90
19,580
92,54
297,28
93,57
-419,99
20,935
92,03
211,41
105,37
-401,16
21,262
91,90
Rata-rata
20,592
92,16
304,88
107,72
-396,76
63,369
75,87
166,31
162,84
-396,23
67,068
74,46
133,62
117,47
-453,36
62,518
76,19
Rata-rata
64,318
75,51
468,11
92,77
-471,79
75,790
71,14
1,07
153,09
-414,89
70,905
73,00
938,07
115,79
-490,69
86,349
67,12
Rata-rata
77,681
70,42
-401,65
119,98
-610,56
118,510
54,87
-416,58
109,85
-589,13
116,220
55,75
-1,48
115,96
-589,27
113,980
56,60
Rata-rata
116.237
55,74 37
Tabel 4. 6 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media HCl 1M stagnan Konsentrasi WSC (ppm)
βa (mV/dec)
βc (mV/dec)
Blanko
169,77 158,54 170,77
25
50
75
100
125
38
Efisiensi Inhibisi (%) -
Ecorr (mV)
Icorr (μA/cm2)
160,28 140,56 147,46
-421,97 -420,36 -421,28 Rata-rata
700,110 672,180 715,480 695,923
131,23 150,78
136,29 154,20
-410,67 -414,97
502,030 512,390
27,86 26,86
124,25
145,47
143,70
158,68
-401,36 Rata-rata -410,69
501,580 505,333 431,630
26,37 27,39 37,98
142,09 138,01
156,93 152,26
123,73
127,41
-412,50 -413,50 Rata-rata -408,88
428,800 444,990 435,140 394,500
38,38 36,06 37,47 43,31
120,87 144,45
143,11 130,50
168,84
106,04
-392,24 -404,57 Rata-rata -413,89
388,370 378,940 387,270 184,430
44,19 45,55 44,35 73,50
163,04
96,36
-413,41
181,730
73,89
165,27
117,47
105,70 115,53
137,67 117,56
-419,98 Rata-rata -403,55 -401,42
193,530 186,563 332,840 341,710
72,19 73,19 52,17 50,90
162,98
107,02
-413,66 Rata-rata
340,940 338,497
51,01 51,36
-
Tabel 4. 6 (Lanjutan) Icorr (μA/cm2)
Efisiensi Inhibisi (%)
-403,12
413,360
40,60
139,47
-401,93
401,150
42,36
145,47
-401,36
417,983
39,94
Rata-rata
410,831
40,97
Konsentrasi WSC (ppm)
βa (mV/dec)
βc (mV/dec)
150
148,95
147,12
110,51 124,25 175
Ecorr (mV)
134,02
159,99
-403,48
477,590
31,37
113,96
143,10
-405,45
456,220
34,44
119,48
134,91
-407,18
464,820
33,21
Rata-rata
466,210
33,01
Tabel 4. 7 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam HCl 1M dengan pengadukan Icorr (μA/cm2)
Efisiensi Inhibisi (%)
-391,40
611,690
-
105,60
-383,03
684,730
-
123,05
-381,42
792,620
-
Rata-rata
696,347
-
Konsentrasi WSC (ppm)
βa (mV/dec)
βc (mV/dec)
Blanko
204,85
114,92
241,96 262,22 25
Ecorr (mV)
275,76
90,18
-365,69
581,480
16,50
180,26
104,64
-356,87
583,280
16,24
49,59
139,01
-331,01
569,640
18,20
Rata-rata
578,133
16,98
39
Tabel 4. 7 (Lanjutan) βa (mV/dec)
βc (mV/dec)
163,30
58,64
-349,85
469,170
Efisiensi Inhibisi (%) 32,62
135,49 123,82
47,40 81,31
-331,33 -352,23
477,270 455,660
31,46 34,56
115,06 127,72
59,36 58,29
Rata-rata -352,36 -344,00
467,367 377,160 386,500
32,88 45,84 44,50
97,52
52,29
-343,74 Rata-rata
351,430 371,697
49,53 46,62
100
189,25 154,02 220,39
101,96 104,49 112,45
-402,44 -396,99 -393,03 Rata-rata
234,730 248,750 247,830 243,770
66,29 64,28 64,41 64,99
125
125,70 178,82 83,88
91,59 99,31 75,99
-380,54 -378,64 -395,68 Rata-rata
322,330 324,240 322,950 323,173
53,71 53,44 53,62 53,59
150
120,28 139,75
88,03 77,51
-365,09 -376,32
353,100 347,170
49,29 50,14
130,92
86,09
-383,34 Rata-rata
338,230 346,167
51,43 50,29
120,40 128,74
133,36 101,15
-403,25 -396,77
412,250 410,050
40,80 41,11
139,86
96,19
-386,58
419,409
39,77
Rata-rata
413,903
40,56
Konsentrasi WSC (ppm) 50
75
175
40
Ecorr (mV)
Icorr (μA/cm2)
Pada grafik Tafel yang ditunjukkan pada Gambar 4.4, Gambar 4.5, Gambar 4.6 dan Gambar 4.7, kurva polarisasi katodik menunjukkan bahwa WSC bekerja menghambat korosi dengan menutup atau memblokir seluruh sisi aktif baja lunak tanpa memodifikasi reaksi katodik (reduksi ion H +). Penentuan tipe proteksi anodik atau katodik dari suatu inhibitor korosi dapat dilihat dari nilai Ecorr pengukuran jika terjadi perubahan Ecorr lebih dari 85mV dari nilai Ecorr blanko (tanpa penggunaan inhibitor) ke arah potensial anodik atau katodik. Dari keseluruhan data yang diperoleh dapat dilihat bahwa perubahan nilai Ecorr dengan menggunakan inhibitor berubah terhadap nilai Ecorr tanpa inhibitor dengan perubahan rata-rata berada di bawah 85mV maka dapat diketahui bahwa tipe proteksi WSC pada baja lunak adalah proteksi campuran anodik dan katodik baik dalam media petroleum buatan maupun HCl 1M (Yan dkk., 2008). Nilai βa berhubungan dengan disolusi logam Fe pada permukaan baja lunak pada potensial anodik dan βc berhubungan dengan pembentukan gas hidrogen (H2) pada potensial katodik. Data βa dan βc dengan adanya inhibitor WSC mengalami perubahan terhadap blanko. Pola perubahan nilai βa dan βc tidak berpengaruh terhadap konsentrasi WSC. Perubahan nilai βa dan βc menunjukkan bahwa WSC melindungi di bagian anoda maupun katoda pada permukaan baja lunak (Kurniawan dkk., 2015). Data Icorr dan efisiensi inhibisi rata-rata WSC dalam media petroleum buatan dan HCl 1M dalam berbagai kondisi disajikan dalam Tabel 4.8 Dan Tabel 4.9.
41
Tabel 4. 8 Nilai rata-rata Icorr dan Efisiensi Inhibisi WSC dalam Media Petroleum Buatan Konsentrasi
Stagnan
WSC (ppm)
Icorr (μA/cm2)
Blanko
52,351
25
42,382
50
Pengadukan EI (%)
-
Icorr (μA/cm2)
EI (%)
262,623
-
19,04
97,662
62,81
23,171
55,74
58,838
77,60
75
10,366
80,20
38,111
85,49
100
7,884
84,94
20,592
92,16
125
12,405
76,30
64,318
75,51
150
12,507
76,11
77,681
70,42
175
46,960
10,30
116,090
55,80
Tabel 4. 9 Nilai rata-rata Icorr dan Efisiensi Inhibisi WSC dalam Media HCl 1M Konsentrasi
Stagnan
Pengadukan
WSC (ppm)
Icorr (μA/cm2)
Blanko
695,923
-
696,347
-
25
505,333
27,39
578,133
16,98
50
435,140
37,47
467,367
32,88
75
387,270
44,35
371,697
46,62
100
186,563
73,19
243,770
64,99
125
338,497
51,36
323,173
53,59
150
410,831
40,97
338,093
51.45
175
466,210
33,01
413,903
40,56
42
EI (%)
Icorr (μA/cm2)
EI (%)
Data Icorr menunjukkan adanya penurunan seiring naiknya konsentrasi inhibitor hingga pada konsentrasi 100ppm. Icorr mengalami kenaikan setelah konsentrasi 100ppm, hal ini diakibatkan oleh adanya aktivitas inhibisi oleh WSC pada baja lunak melalui mekanisme adsorpsi fisik WSC pada permukaan baja lunak. Adsorpsi fisik yang terjadi merupakan ikatan yang lemah antara inhibitor dan Fe dalam baja lunak (Sangeetha dkk., 2016). Hal ini menyebabkan pada konsentrasi tinggi ( >100ppm) inhibitor lepas dan berdifusi ke larutan. Kecenderungan efisiensi inhibisi WSC menunjukkan kenaikan seiring naiknya konsentrasi inhibitor hingga 100ppm. Efisiensi inhibisi mengalami penurunan setelah konsentrasi 100ppm, hal ini terjadi untuk seluruh kondisi baik dalam media petroleum buatan maupun HCl, baik dengan pengadukan maupun stagnan. Pengaruh pengadukan dipelajari dengan melihat efisiensi inhibisi WSC pada baja lunak. Efisiensi inhibisi WSC pada baja lunak dalam media petroleum buatan dengan pengadukan lebih besar dibandingkan efisiensi inhibisi stagnan. Hal ini terjadi karena adanya efek sinergisitas antara WSC dan kerosin pada media petroleum buatan. Adanya pengadukan menyebabkan kerosin tercampur dengan media korosif sehingga mudah untuk mencapai lokasi adsorpsi pada baja lunak sedangkan tanpa pengadukan membuat kerosin berada pada bagian atas larutan dan tidak dapat menjangkau lokasi adsorpsi (Ituen dkk., 2016). Pada media HCl 1M, adanya pengadukan menyebabkan efisiensi inhibisi WSC pada baja lunak menurun. Hal ini diakibatkan adanya gabungan antara korosi sumuran dan korosi erosi pada baja lunak. Pengadukan menyebabkan fluida yang bersifat korosif bergerak dan bergesekan dengan permukaan baja lunak (Vakili dkk., 2012)
43
4.4 Isotermal Adsorpsi dan Termodinamika Korosi Mekanisme penghambatan korosi oleh WSC dapat dipelajari dengan mengetahui model isotermal adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak. Beberapa model isotermal adsorpsi dan nilai regresi yang dihasilkan disajikan dalam Tabel 4.10. Tabel 4. 10 Perbandingan Linieritas Berbagai Model Isotermal Adsorpsi WSC pada Baja Lunak. Model Isotermal Adsorpsi Langmuir Freundlich Temkin Frumkin
Petroleum Buatan Stagnan 0,057 0,941 0,232 0,997
Koefisien Regresi (R2) Petroleum HCl 1M Buatan Stagnan Pengadukan 0,998 0,482 0,996 0,884 0,997 0,230 0,655 0,569
HCl 1M Pengadukan 0,429 0,998 0,386 0,955
Berdasarkan nilai koefisien regresi paling tinggi (R2≈1), maka adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak dalam media petroleum buatan stagnan mengikuti model isotermal adsorpsi Frumkin dan petroleum buatan dengan pengadukan mengikuti model isotermal adsorpsi Langmuir. Adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak HCl 1M baik stagnan dan dengan pengadukan mengikuti model isotermal adsorpsi Freundlich (Tabel 4.10). Grafik hubungan konsentrasi inhibitor (Cinh) dan cakupan permukaan (θ) WSC pada baja lunak dalam berbagai kondisi ditunjukkan oleh Gambar 4.8.
44
Gambar 4. 8 Grafik isotermal adsorpsi a) frumkin untuk WSC dalam media petroleum buatan stagnan, b) Langmuir untuk WSC dalam petroleum buatan dengan pengadukan dan Freundlich untuk c) HCl 1M stagnan d) HCl 1M dengan pengadukan. Isotermal adsorpsi WSC mengikuti model isotermal adosrpsi Langmuir, Frumkin dan Freundlich. Intepretasi data isotermal adsorpsi menunjukkan adanya adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak dengan pembentukan lapisan tunggal (monolayer) pada permukaan baja lunak. Adsorpsi WSC yang mengikuti model isotermal adsorpsi Frumkin dan Freundlich menunjukkan adanya interaksi antara molekul inhibitor dan besi dalam baja lunak. Hal ini menunjukkan pula adanya interaksi antara molekul inhibitor yang teradsorpsi dan molekul inhibitor 45
yang berada di larutan. Oleh karena itu, efisiensi inhibisi korosi WSC pada baja lunak turun setelah konsentrasi optimum. Penurunan efisiensi inhibisi ini disebabkan adanya difusi inhibitor ke larutan. Nilai K dalam persamaan isotermal adsorpsi merupakan konstanta adsorpsi-desorpsi (Kads) yang diperoleh dari perhitungan nilai intersep pada persamaan linier grafik isotermal adsorpsi. Nilai energi bebas Gibbs adsorpsi ΔG°ads berhubungan dengan nilai Kads yang diperoleh dari persamaan linier isotermal adsorpsi dan dapat dihitung dengan persamaan 4.1. 1
Kads = 1000 exp
−∆G °ads
(4.1)
RT
Pada persamaan 4.1, R merupakan konstanta gas, T merupakan temperatur absolut dan nilai 1000 merupakan konsentrasi air dalam satuan g.L-1. Data Kads dan ΔG°ads yang diukur pada temperatur 25ᵒC disajikan pada Tabel 4.11. .
Tabel 4. 11 Parameter termodinamik untuk WSC pada baja lunak dalam berbagai kondisi. K ads
ΔGᵒads (kJ/mol)
Petroleum Buatan Stagnan
0,0055
─1,83
Petroleum Buatan Pengadukan
0,0563
─4,34
HCl 1M Stagnan
0,0324
─3,75
HCl 1M 50rpm
0,0078
─2,22
Media
46
Pada Tabel 4.11, terlihat bahwa ΔG°ads bernilai negatif yang mengindikasikan bahwa adsorpsi inhibitor pada permukaan baja lunak adalah reaksi yang spontan. Menurut Atkins dan de Paula (2009), nilai ΔG°ads yang berkisar -20 kJ/mol merupakan indikasi adanya interaksi elektrostatik antara molekul inhibitor yang bermuatan dengan logam bermuatan (Interaksi Van der Waals) atau dengan kata lain inhibitor WSC bekerja secara fisisorpsi pada permukaan baja lunak. Hal ini menguatkan hasil sebelumnya bahwa antara WSC dan permukaan baja lunak terjadi interaksi Van der Waals. 4.4 Mekanisme Penghambatan Korosi WSC Berdasarkan seluruh intepretasi data pengukuran, isotermal adsorpsi dan parameter termodinamika dapat disimpulkan mekanisme penghambatan oleh inhibitor WSC. Inhibitor WSC dalam media petroleum buatan dan HCl 1M mengalami protonasi pada gugus fungsi yang berperan penting dalam penghambatan korosi pada baja lunak. Perkiraan mekanisme protonasi WSC ditunjukkan pada Gambar 4.9.
Gambar 4. 9 Mekanisme protonasi WSC dalam larutan HCl 1M
47
Molekul WSC yang terprotonasi ini kemudian berkompetisi dengan ion hidrogen (H+) untuk teradsorpsi pada situs katodik di permukaan logam sehingga pembentukan gas Hidrogen (H 2) menjadi berkurang. Ion klorida (Cl-) dalam media petroleum buatan dan HCl 1M bereaksi dengan bagian logam yang bermuatan positif di permukaan baja lunak dan membuat ion negatif lainnya berkumpul pada bagian antar muka antara elektroda dan media korosif, sehingga molekul WSC menjadi mudah untuk teradsorpsi pada situs anodik baja lunak. Mekanisme adsorpsi WSC terprotonasi pada permukaan baja lunak ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Gambar 4. 10 Perkiraan interaksi elektrostatik antara WSC dengan permukaan baja lunak Molekul netral diadsorpsi oleh baja lunak dengan mekanisme penggantian molekul air pada permukaan baja lunak (Sangeetha dkk., 2015).
48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kitosan larut air (water soluble chitosan, WSC) merupakan inhibitor ramah lingkungan yang baik dan cukup efisien untuk baja lunak dalam media petroleum buatan dan HCl 1M. Derajat deasetilasi WSC yang diperoleh adalah 58,20%. Evaluasi kinerja WSC dalam menghambat korosi pada baja lunak menunjukkan efisiensi inhibisi WSC meningkat terhadap konsentrasi dan mencapai efisensi maksimum pada konsentrasi 100 ppm. Efisiensi maksimum WSC pada media petrolium buatan stagnan dan dengan pengadukan diperoleh sebesar 84,94% dan 92,16%, secara berturut-turut. Sedangkan, dalam media HCl 1M diperoleh sebesar 73,19% untuk kondisi stagnan dan 64,99% dengan pengadukan. Intepretasi hasil pengukuran dengan polarisasi potensiodinamik menunjukkan bahwa WSC merupakan inhibitor tipe campuran. Adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak dalam media petroleum buatan mengikuti isotermal adsorpsi Langmuir dan Frumkin. Adsorpsi WSC pada permukaan baja lunak dalam HCl 1M mengikuti model isotermal adsorpsi Freundlich. 5.2 Saran Penelitian kinerja WSC sebagai inhibitor korosi untuk baja lunak perlu dilanjutkan dengan pengaruh suhu studi efisiensi WSC dalam media petroleum hasil kilang minyak. Hasil penelitian lanjutan dapat memperkuat dan memperinci mekanisme inhibisi korosi WSC pada baja lunak.
49
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
50
DAFTAR PUSTAKA Agarwal, P., & Landolt, D., (1998), "Protection of Steel by Aromatic Carboxylic Acid Corrosion Inhibitor", Corrosion Science, 260, 673–691. Ahmed, R. A., Farghali, R. A., Fekry, A. M., (2012), "Study for the stability and corrosion inhibition of electrophoretic deposited chitosan on mild steel alloy in acidic medium", Int J Electrochem Sci, 7, 7270–7282. Alsabagh, A. M., Elsabee, M. Z., Moustafa, Y. M., Elfky, A., Morsi, R. E., (2014), "Corrosion inhibition efficiency of some hydrophobically modified chitosan surfactants in relation to their surface active properties", Egyptian Journal of Petroleum, 23(4), 349–359. Atkins, P., de Paula, J., (2010), Atkin’s Physical Chemistry (Ninth), Oxford, NY; Oxford University Press. Atta, A. M., El-Mahdy, G. A., Al-Lohedan, H. A., Ezzat, A.-R. O, (2015), "Synthesis of nonionic amphiphilic chitosan nanoparticles for active corrosion protection of steel", Journal of Molecular Liquids, 211, 315–323. Badawy, M. E., Narayana, B., Jama, C., (2005), "Adsorption Behaviour and Inhibition Corrosion Effect of Sodium Carboxymethyl Cellulose on Mild Steel in Acid Medium", Acta Physico-Chimica Sinica, 12, 2236–2243. Brady, G. S., Clauser, H. R., Vaccari, J., (1997), Materials Handbook (Fourteenth), New York; McGraw-Hill.
51
Brondel, D., Edwards, R., Hayman, A., Hill, D., Mehta, S., Semerad, T., (1994), "Corrosion in the Oil Industry", Oilfield Review, 6, 4–18. Brugnerotto, J., Lizardi, J., Goycoolea, F. M., Arguelles-Monal, W., Desbrieres, J., Rinaudo, M., (2001), "An infrared investigation in relation with chitin and chitosan characterization", Polymer, 42(8), 3569–3580. Camila, G., & Alexandre, F., (2014), "Corrosion Inhibitors – Principles, Mechanisms and Applications", Developments in Corrosion Protection, InTech. Cheng, S., Chen, S., Liu, T., Chang, X., Yin, Y., (2007), "Carboxymenthylchitosan as an ecofriendly inhibitor for mild steel in 1 M HCl", Materials Letters, 61 (14–15), 3276–3280. Choi, Y.-S., Nesic, S., (2009), Corrosion Behavior of Carbon Steel in Supercritical CO 2- Water Environments, Houston TX: National Association of Corrosion. Chuka, C. E., Odio, B. O., Chukwuneke, J. L., Sinebe, J. E., (2014), "Investigation Of The Effect Of Corrosion on Mild Steel In Five Different Environments", International Journal of Technology Enhancements and Emerging Engineering Research, 3 (7), 306–310. Czechowska-Biskup, R., Jarosińska, D., Rokita, B., Ulański, P., Rosiak, J. M., (2012), "Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan- Comparison of Methods", Progress on Chemistry and Application of Chitin, XVII, 5–20.
52
Davis, J. R., (2000), Corrosion: Understanding the Basics. Ohio; ASM International. de Moraes, F., Shadley, J. R., Chen, J., Rybicki, E. F., (2000), Characterization of CO2 Corrosion Product Scales Related to Environmental Conditions, Houston TX; NACE International. Dean Jr., S. W., Derby, R., Vondembussche, G. T., (1981), "Inhibitor Types", Material Performance, 20, 47. Degarmo, E. P., Black, J. T., Kohser, R. A., (2003), Materials and Processes in Manufacturing (Ninth edition), New Jersey; Willey & Sons Inc. Donahue, F. M., Nobe, K., (1965), "Theory of Organic Corrosion Inhibitors: Adsorption and Linier Free Energy Relationships", Journal of the Electrochemical Society, 112(9), 886–891. Du, Y., Zhao, Y., Dai, S., Yang, B., (2009), "Preparation of water-soluble chitosan from shrimp shell and its antibacterial activity", Innovative Food Science & Emerging Technologies, 10(1), 103–107. El Hamdani, N., Fdil, R., Tourabi, M., Jama, C., Bentiss, F., (2015), "Alkaloids extract of Retama monosperma (L.) Boiss. seeds used as novel eco-friendly inhibitor for carbon steel corrosion in 1M HCl solution: Electrochemical and surface studies", Applied Surface Science, 357, 1294–1305.
53
El-Fattah, M. A., El Saeed, A. M., Azzam, A. M., Abdul-Raheim, A.-R. M., Hefni, H. H., (2016), "Improvement of corrosion resistance, antimicrobial activity, mechanical and chemical properties of epoxy coating by loading chitosan as a natural renewable resource", Progress in Organic Coatings, 101, 288–296. Fekry, A. M., Mohamed, R. R., (2010), "Acetyl thiourea chitosan as an eco-friendly inhibitor for mild steel in sulphuric acid medium", Electrochimica Acta, 55(6), 1933–1939. Finšgarand, M., Milošev, I., (2010), "Inhibition of copper corrosion by 1,2,3-benzotriazole: A review", Corrosion Science, 52, 2737–2749. Garverick, L., (1994), Corrosion in the Petrochemical Industry, ASM International. Gopal, J., Anjum, S., Sundaram, S., Prakash, R., (2015), "Musa paradisica Peel Extract as Green Corrosion Inhibitor for Mild Steel in HCl Solution", Corrosion Science, 90, 107– 117. Hefni, H. H. H., Azzam, E. M., Badr, E. A., Hussein, M., Tawfik, S. M., (2016), "Synthesis, characterization and anticorrosion potentials of chitosan-g-PEG assembled on silver nanoparticles", International Journal of Biological Macromolecules, 83, 297–305. Ituen, E., Akaranta, O., James, A., (2016), "Green anticorrosive oilfield chemicals from 5-hydroxytryptophan and synergistic additives for X80 steel surface protection in acidic well treatment fluids", Journal of Molecular Liquids, 224, Part A, 408–419. 54
Jeyaprabha, C., Sathiyanarayanan, S., Venkatachari, G., (2006), "Polyaniline as corrosion inhibitor for iron in acid solutions", Journal of Applied Polymer Science, 101(4), 2144–2153. John, S., Joseph, A., Jose, A. J., Narayana, B., (2015), "Enhancement of corrosion protection of mild steel by chitosan/ZnO nanoparticle composite membranes", Progress in Organic Coatings, 84, 28–34. Jones, D. A., (1996), Principles and Prevention of Corrosion (Second), New Jersey; Prentice Hall. Kermani, M. B., & Morshed, A., (2003), "Carbon Dioxide Corrosion in Oil and Gas Production—A Compendium", Corrosion, 59(8), 659–683. Knowles, P. R., (1987), Design of Structural Steelwork (Second), Glasgow; Surrey University Press. Koch, G. H., Brongers, M. P. H., Thompson, N. G., Virmani, Y. P., Payer, J. H., (2001), Corrosion Cost and Preventive Startegies in the United States. Houston TX; NACE International. Kurniawan, Fredy, Madurani, K.A., (2015), "Electrochemical and optical microscopy study of red pepper seed oil corrosion inhibitor by self-assembled monolayers (SAM) on 304 SS", Progress in Organic Coatings, 88 (2015), 256-262 Langill, T. J., (2006), Corrosion Protection: Basic Corrosion Theory and Protection Methods, Iowa; American Galvanizers Associations.
55
Majed, R., Alzuhairi, M., Abdullah, H., (2013), "Sweet Clover Leaves as Green Inhibitor in Petroleum Medium", Journal of King Abdulaziz University-Science, 25(2), 33– 51. Manahan, S. E., (1994), Enviromental Chemistry (Sixth), Boca Raton; CRC Press. Marcus, P., (2011), Corrosion Mechanisms in Theory and Practice Third Edition, CRC Press. Mathabatha, M. H., Popoola, A. P. I., Oladijo, O. P., (2016), "Residual stresses and corrosion performance of plasma sprayed zinc-based alloy coating on mild steel substrate", Surface and Coatings Technology. 8, 122-126. McCafferty, E., (2010), Introduction to Corrosion Science, Alexandria; Springer Science and Bussiness Media. Montemor, M. F., (2014), "Functional and smart coatings for corrosion protection: A review of recent advances", Surface and Coatings Technology, 258, 17–37. NACE, (1996), Laboratory Test Methods for Evaluating Oilfield Corrosion Inhibitors, Houston TX; NACE. Negm, N. A., Kandile, N. G., Aiad, I. A., Mohammad, M. A., (2011), "New Eco-Friendly Cationic Surfactants: Synthesis, Characterization and Applicability as Corrosion Inhibitors for Carbon Steel in 1 N HCl", Colloids Surface A Physicochem, 391, 224. Obi-Egbedi, N. O., Obot, I. B., (2011), "Inhibitive Properties, Thermodynamics and Quantum Chemical Studies of Alloxazine on Mild Steel Corrosion in H2SO4", Corrosion Science, 53(1), 263–275. 56
Oguzie, E. E., Wang, S. G., Wang, F. H., (2009), "Influence of Iron Microstructure on Corrosion Inhibitor Performance in Acidic Media", Journal of Physical Chemistry, 19, 8420. Osarolube, E., Owate, I. O., Oforka, N. C., (2008), "Corrosion behaviour of mild and high carbon steels in various acidic media", Scientific Research and Essay, 3(6), 224–228. Papavinasam, S., (2011), "Corrosion Inhibitors", dalam R. W. Revie (Ed.), Uhlig’s Corrosion Handbook (Hal. 1021– 1032), John Wiley & Sons, Inc. Paul, S., Kar, B., (2012), "Mitigation of Mild Steel Corrosion in Acid by Green Inhibitors: Yeast, Pepper, Garlic and Coffee", International Scholarly Research Network Corrosion, 2012, 1-8 Popoola, A. P. I., Aigbodion, V. S., Fayomi, O. S. I., (2016), "Anti-corrosion coating of mild steel using ternary ZnZnO-Y2O3 electro-depositon", Surface and Coatings Technology, 306, 448–454. Roberge, P., (2012), Handbook of Corrosion Engineering, New York; McGraw-Hill Professional. Sangeetha, Y., Meenakshi, S., SairamSundaram, C., (2015), "Corrosion mitigation of N-(2-hydroxy-3-trimethyl ammonium)propyl chitosan chloride as inhibitor on mild steel", International Journal of Biological Macromolecules, 72, 1244–1249.
57
Sangeetha, Y., Meenakshi, S., Sundaram, C. S., (2016), "Interactions at the mild steel acid solution interface in the presence of O-fumaryl-chitosan: Electrochemical and surface studies", Carbohydrate Polymers, 136, 38–45. Skoog, D. A., Holler, E. J., Crouch, S. R., (2007), Principles of Instrumental Analysis (Sixth). Belmont, USA; Thomson Brooks/Cole. Smith, W. F., Hashemi, J., (2006), Foundations of Materials Science and Engineering (Fourth), New York; McGrawHill. Srinivasan, S., Kane, R. D., (2003), "Critical Issues in the Application and Evaluation of a Corrosion Prediction Model for Oil and Gas Systems", Houston TX; NACE International. Retrieved from Stern, M., Geary, A. L., (1957), "Electrochemical Polarization. I. A. Theoretical Analysis of the Shape of Polarization Curves", Journal of the Electrochemical Society, 104, 33–36. Tiu, B. D. B., Advincula, R. C., (2015), "Polymeric corrosion inhibitors for the oil and gas industry: Design principles and mechanism", Reactive and Functional Polymers, 95, 25–45. Vakili Azghandi, M., Davoodi, A., Farzi, G. A., Kosari, A., (2012), "Water-base acrylic terpolymer as a corrosion inhibitor for SAE1018 in simulated sour petroleum solution in stagnant and hydrodynamic conditions", Corrosion Science, 64, 44–54.
58
Verma, C., Singh, A., Pallikonda, G., Chakravarty, M., Quraishi, M. A., Bahadur, I., Ebenso, E. E., (2015), Aryl sulfonamidomethylphosphonates as new class of green corrosion inhibitors for mild steel in 1M HCl: Electrochemical, surface and quantum chemical investigation", Journal of Molecular Liquids, 209, 306– 319. Volkova-Gugeshashvili, M. I., Volkov, A. G., Markin, V. S., (2006), "Adsorption at liquid interfaces: The generalized Frumkin isotherm and interfacial structure", Russian Journal of Electrochemistry, 42(10), 1073–1078. Wang, L., Zhang, C., Xie, H., Sun, W., Chen, X., Wang, X., Liu, G., (2015), "Calcium alginate gel capsules loaded with inhibitor for corrosion protection of downhole tube in oilfields", Corrosion Science, 90, 296–304. Yan, Y., Li W., Cai, L. Hou, B., (2008), "Electrochemical and quantum chemical study of purines as corrosion inhibitors for mild steel in 1M HCl solution", Electrochimica Acta, 53(20), 5953-5960 Zainal, Z., Hu, L. K., Hussein, M. Z., Abdullah, A. H., (2009), "Characterization of TiO 2-chitosan/glass photocatalyst for the removal of a monoazodye via photodegradationadsorption process", Journal of Hazardous Materials, 164(1), 138-145 Zhang, X., (2015), "Influence of processing time on the phase, microstructure and electrochemical properties of hopeite coating on stainless steel by chemical conversion method", New Journal of Chemistry, 39, 5813–5822. 59
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”
60
LAMPIRAN A SKEMA KERJA Limbah Cangkang udang `````` - Demineralisasi (HCl 7%) - Deproteinisasi (NaOH 10%, 60ᵒC) Kitin ekstrak udang - Deasetilasi (NaOH 50%) - Pemotongan rantai polimer (H2O2 30%) Kitosan Larut Air (WSC) Karakterisasi Data Spektra IR Inhibitor Korosi Derajat Deasetilasi - Dilarutkan dalam media petroleum buatan
WSC dalam Media Petroleum Buatan
- Dilarutkan dalam media HCl 1M
Media HCl 1M - Pengujian efisiensi inhibisi dengan spesimen baja lunak (metode polarisasi potensiodinamik) Grafik Tafel
Data Efisiensi Inhibisi WSC 61
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”
62
LAMPIRAN B PERHITUNGAN
B.1 Perhitungan Perolehan Kembali Kitin dan Kitosan Larut Air Persen perolehan kembali (%recovery) kitosan larut air terhadap serbuk udang kering dihitung berdasarkan persamaan 1 Recovery % =
Massa kitin/kitosan larut air (g) x 100% Massa serbuk udang (g)
Contoh perhitungan untuk replikasi 1: Diketahui : Massa kitin Massa serbuk udang
(1)
= 19,46g = 50,04g
Dengan perhitungan: Recovery % =
19,46g x 100% =38,89% 50,04g
Data perhitungan replikasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 1 Tabel 1 Data Massa dan Perolehan Kembali Kitin dan WSC Replikasi
Bobot cangkang udang (g)
Bobot Kitin (g)
Bobot WSC (g)
Recovery Recovery Kitin WSC (%) (%)
1
50,04
19,46
14,21
38,89
28,40
2
50,00
19,10
13,83
38,20
27,66
3
50,08
18,16
14,47
26,26
28,89
63
B.2 Standarisasi NaOH 0,1N Standarisasi NaOH 0,1N dilakukan untuk menentukan normalitas NaoH yang kemudian akan digunakan sebagai larutan baku penitar dalam standarisasi HCl 1N dan HCl 01,N serta penentuan derajat deasetilasi kitosan larut air. Standarisasi NaOH mengggunakan standar baku preimer Kalium Hidrogen Phtalat (KHP) adapun data yang diperoleh adalah bobot KHP dan volume NaOH. Data tersebut kemudian dihitung dengan persamaan 2. N NaOH=
mg sampel V NaOH x Bst Kalium Hidrogen phtalat (KHP)
Contoh perhitungan untuk replikasi 1: Diketahui : Massa sampel Volume NaOH Bobot ekivalen KHP
(2)
= 51,1 mg = 2,30 mL = 204,23g ek
Dengan perhitungan: N NaOH=
51,1 mg = 0,1088N 2,30 mL x 204,23
Data perhitungan replikasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 2 Tabel 2 Perhitungan Normalitas NaOH Replikasi Bobot Volume Normalitas KHP (g) NaOH (mL) NaOH (N) 1 0,0511 2,30 0,1088 2 0,0509 2,20 0,1133 3 0,0503 2,20 0,1120 Normalitas Rata-rata 0,1113 Berdasarkan perhitungan maka NaOH yang digunakan memiliki konsentrasi dalam normalitas adalah 0,1113N. 64
B.3 Standarisasi HCl 0,1N Standarisasi HCl 0,1N dilakukan untuk menentukan normalitas HCl yang digunakan dalam penentuan derajat deasetilasi kitosan larut air. Standarisasi HCl menggunakan larutan NaOH yang telah terstandarisasi adapun data yang diperoleh adalah volume HCl dan volume NaOH penitar. Data tersebut kemudian dihitung dengan persamaan 3. V1 x N1 = V2 x N2
(3)
Contoh perhitungan untuk replikasi 1 : Diketahui :
VNaOH (1) NNaOH (1) VHCl (2)
= 10,65 mL = 0,113 N = 10 mL
Dengan perhitungan: N2 =
V1 x N1 10mL x 0,113N = = 0,1045N V2 10,65 mL
Data perhitungan replikasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 3 Tabel 3 Data Perhitungan Standarisasi HCl 0,1N Replikasi 1 2 3
Volume Volume NaOH HCl (mL) 0.113N (mL) 10 9,35 10 9,35 10 9.45 Normalitas Rata-rata
Normalitas HCl (N) 0,1041 0,1041 0,1046 0,1045
Berdasarkan perhitungan maka HCl yang digunakan memiliki konsentrasi dalam normalitas adalah 0,1045N.
65
B.4 Standarisasi HCl 1 M Standarisasi HCl 1 M dilakukan untuk menentukan molaritas HCl yang digunakan sebagai media korosif. Standarisasi HCl menggunakan larutan NaOH yang telah terstandarisasi adapun data yang diperoleh adalah volume HCl dan volume NaOH penitar. Data tersebut kemudian dihitung dengan persamaan 3. Contoh perhitungan untuk replikasi 1 : Diketahui :
VNaOH (1) NNaOH (1) VHCl (2)
= 10,65 mL = 0,113 N = 10 mL
Dengan perhitungan: N2 =
V1 x N1 22,90mL x 0,113N = = 1,0210N V2 2,5 mL
Data perhitungan replikasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 4 Tabel 4 Data Perhitungan Standarisasi HCl 1M Replikasi 1 2 3
Volume Volume NaOH HCl (mL) 0.113N (mL) 2,5 22,90 2,5 23,00 2,5 23,90 Normalitas Rata-rata
Normalitas HCl (N) 1,0195 1,0240 1,0195 1,0210
Berdasarkan perhitungan maka HCl yang digunakan memiliki normalitas 1,0210N, karena ekivalen HCl adalah sama dengan satu maka normalitas HCl dengan molaritas HCl yaitu 1,0210M.
66
B.5 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan Larut Air Derajat deasetilasi (DD) kitosan larut air dihitung berdasarkan persamaan 4 1.
DD % =
(C1 V1 -C2 V2 ) x 0,016 x 100% W x 0,094
(4)
Pada persamaan 4, C1 dan V1 merupakan konsentrasi (M) dan volume HCl (mL) yang digunakan, C2 dan V2 merupakan konsentrasi NaOH (M) dan volume NaOH (mL) serta W merupakan bobot kitosan dalam gram. Contoh perhitungan untuk replikasi 1 : Diketahui :
Bobot WSC MNaOH VNaOH MHCl VNaOH
= 0,1253 g = 0,113 = 19,30 mL = 0,1045 M = 25,0 mL
Dengan perhitungan:
DD % =
(0,1045M . 25mL . 0,1113M. 19,30mL) x 0,016 x 100% = 58,63% 0,1253g x 0,094
Data perhitungan replikasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 5
67
Tabel 5 Data Perhitungan Derajat Deasetilasi WSC Replikasi 1 2 3
Bobot WSC (g) 0,1253 0,1251 0,1250
Volume NaOH (mL) 19,30 19,30 19,40 Rata-rata
% DD 58,63 58,72 57,23 58,20
Berdasarkan perhitungan maka kitosan larut air memiliki derajat deasetilasi yaitu 58,20%. B.6 Penentuan Efisiensi Inhibisi Kitosan Larut Air Penentuan efisiensi inhibisi (EI) WSC digunakan data icorr dengan menerapkan nilai icorr pada persamaan 5 %EI=
iCORR -i'CORR iCORR
X 100%
(5)
Pada persamaan 5, iCORR merupakan nilai densitas arus korosi tanpa inhibitor sedangkan i’CORR merupakan nilai densitas arus korosi dengan inhibitor. Contoh perhitungan untuk replikasi 1 media petroleum WSC 25ppm stagnan : Diketahui :
Icorr Icorr’
= 52,351µA/cm2 = 40,434 µA/cm2
Dengan perhitungan: 52,931 μA.cm-2 -40,434 μA.cm-2 %EI= x 100% = 22,76% 52,931 μA.cm-2 Data perhitungan replikasi dan variasi konsnetrasi lainnya ditunjukkan dalam Tabel 6 dan Tabel 7. 68
Tabel 6 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam media petroleum buatan Konsentrasi WSC (ppm)
Stagnan Icorr
Pengadukan EI (%)
(μA/cm2)
Blanko
Icorr
EI (%)
(μA/cm2)
55,931
-
306,390
-
50,174
-
252,470
-
50,949
-
229,010
-
Rata-rata
52,351
-
262,623
-
25
40,434
22,76
105,290
59,91
41,375
20,97
94,928
63,85
45,338
13,40
92,769
64,68
Rata-rata
42,382
19,04
97,662
62,81
50
22,231
57,54
60,670
76,90
20,372
61,09
59,372
77,39
26,911
48,60
56,473
78,50
Rata-rata
23,171
55,74
58,838
77,60
75
9,450
81,95
47,465
81,93
11,053
78,89
34,461
86,93
10,594
79,76
32,407
87,66
10,366
80,20
38,111
85,49
Rata-rata
69
Tabel 6 (lanjutan) Konsentrasi WSC (ppm)
Stagnan Icorr
Pengadukan
EI (%) 2
EI (%) 2
(μA/cm )
(μA/cm )
8,490
83,78
19,580
92,54
7,880
84,95
20,935
92,03
7,281
86,09
21,262
91,90
Rata-rata
7,884
84,94
20,592
92,16
125
11,766
77,52
63,369
75,87
14,172
72,93
67,068
74,46
11,278
78,46
62,518
76,19
Rata-rata
12,405
76,30
64,318
75,51
150
10,802
79,37
75,790
71,14
8,899
83,00
70,905
73,00
17,819
65,96
86,349
67,12
Rata-rata
12,507
76,11
77,681
70,42
175
47,531
9,21
118,070
55,04
43,735
16,46
116,220
55,75
49,615
5,23
113,980
56,60
46,960
10,30
116.090
55,80
100
Rata-rata
70
Icorr
Tabel 7 Data parameter polarisasi dan efisiensi inhibisi WSC untuk baja lunak dalam HCl 1M Konsentrasi WSC (ppm)
Stagnan Icorr
Pengadukan EI (%)
(μA/cm2)
Icorr
EI (%)
(μA/cm2)
700,110
-
611,690
-
672,180
-
684,730
-
715,480
-
792,620
-
Rata-rata
695,923
-
696,347
-
25
502,030
27,86
581,480
16,50
512,390
26,86
583,280
16,24
501,580
26,37
569,640
18,20
Rata-rata
505,333
27,39
578,133
16,98
50
431,630
37,98
469,170
32,62
428,800
38,38
477,270
31,46
444,990
36,06
455,660
34,56
Rata-rata
435,140
37,47
467,367
32,88
75
394,500
43,31
377,160
45,84
388,370
44,19
386,500
44,50
378,940
45,55
351,430
49,53
387,270
44,35
371,697
46,62
Blanko
Rata-rata
71
Tabel 7 (lanjutan) Konsentrasi WSC (ppm)
Stagnan Icorr
Pengadukan EI (%)
2
EI (%) 2
(μA/cm )
184,430
73,50
(μA/cm ) 234,730
181,730
73,89
248,750
64,28
193,530
72,19
247,830
64,41
Rata-rata
186,563
73,19
243,770
64,99
125
332,840
52,17
322,330
53,71
341,710
50,90
324,240
53,44
340,940
51,01
322,950
53,62
Rata-rata
338,497
51,36
323,173
53,59
150
413,360
40,60
353,100
49,29
401,150
42,36
347,170
50,14
417.983
39,94
338,230
51,43
Rata-rata
410,831
40,97
338,093
51.45
175
477,590
31,37
412,250
40,80
456,220
34,44
410,050
41,11
464,820
33,21
419,409
39,77
466,210
33,01
413,903
40,56
100
Rata-rata
72
Icorr
66,29
B.7 Penentuan Parameter Termodinamika Korosi Penentuan Nilai K dalam persamaan isotermal adsorpsi yang merupakan konstanta adsorpsi-desorpsi (Kads) didapatkan dari perhitungan nilai intersep. Untuk K ads dari persamaan isotermal adsorpsi Langmuir dihitung dengan persamaan 6 1 Kads = 6 intersep Untuk Kads dari persamaan isotermal adsorpsi Frumkin dan Freundlich dihitung dengan persamaan 7 Kads =10intersep
7
Nilai energi bebas Gibbs adsorpsi ΔG°ads dihitung dengan persamaan berikut Kads =
1 1000
exp
−∆G °ads RT
(8)
Pada persamaan 8, R merupakan konstanta gas, T merupakan temperatur absolut dan nilai 1000 merupakan konsentrasi air dalam satuan g.L-1. Contoh perhitungan untuk data media petroleum stagnan : Diketahui :
intersep
= -2,26
Dengan perhitungan: Kads =10-2,26 = 0,0055 ∆G0ads = RT ln(1000 x Kads ) ∆G0ads = 8,8314 JK-1 mol-1 x 298,15K ln 1000x 0,0055= -1834,33J/mol
73
Data perhitungan lainnya ditunjukkan dalam Tabel 8 Tabel 8 Parameter Termodinamik untuk WSC pada Baja Lunak dalam Berbagai Kondisi Media
Intresep
K ads (kJ/mol)
ΔGᵒ ads (kJ/mol)
Petroleum Buatan Stagnan
-2,26
0,0055
-1,8343
Petroleum Buatan 50rpm
17,76
0,0563
-4,3393
HCl 1M Stagnan
-1,49
0,0324
-3,7455
HCl 1M 50rpm
-2,11
0,0078
-2,2161
74
LAMPIRAN C HASIL KARAKTERISASI KITIN DAN WSC
C.1 Spektra FT-IR Kitin Cangkang Udang
Gambar 1 Dokumen Spektra FT-IR Hasil Pengukuran Kitin 75
C.2 Spektra FT-IR Kitosan Larut Air
Gambar 2 Dokumen Spektra FT-IR Kitosan Larut Air
76
C.3 Spektra FT-IR Kitin Pembanding (Brugnerotto dkk, 2010)
Gambar 3 Spektra FT-IR Kitin Pembanding (Brugnerotto dkk, 2010)
77
C.3 Spektra FT-IR Kitosan Pembanding (Brugnerotto dkk, 2010)
Gambar 4 Spektra FT-IR Kitosan Pembanding (Brugnerotto dkk, 2010)
78
LAMPIRAN D EKSTRAPOLASI GRAFIK TAFEL
D.1 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi Stagnan
Gambar 5 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 6 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi Stagnan Replikasi 2
79
Gambar 7 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 8 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
80
Gambar 9 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 10 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
81
Gambar 11 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 12 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
82
Gambar 13 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 14 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
83
Gambar 15 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 16 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
84
Gambar 17 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 18 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
85
Gambar 19 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 20 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
86
Gambar 21 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 22 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
87
Gambar 23 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 24 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
88
Gambar 25 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 26 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
89
Gambar 27 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 28 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
90
D.2 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi dengan Pengadukan
Gambar 29 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi dengan Pengadukan Replikasi 1
Gambar 30 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi dengan Pengadukan Replikasi 2 91
Gambar 31 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan Kondisi dengan Pengadukan Replikasi 3
Gambar 32 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
92
Gambar 33 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 34 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
93
Gambar 35 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 36 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
94
Gambar 37 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 38 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
95
Gambar 39 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 40 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
96
Gambar 41 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 42 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
97
Gambar 43 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 44 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
98
Gambar 45 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 46 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
99
Gambar 47 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 48 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
100
Gambar 49 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 50 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
101
Gambar 51 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 52 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media Petroleum Buatan dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
102
D.3 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Stagnan
Gambar 53 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 54 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Stagnan Replikasi 2 103
Gambar 55 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 56 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1 104
Gambar 57 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 58 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3 105
Gambar 59 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 60 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2 106
Gambar 61 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 62 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1 107
Gambar 63 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 64 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3 108
Gambar 65 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 66 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2 109
Gambar 67 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 68 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1 110
Gambar 69 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 70 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3 111
Gambar 71 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1
Gambar 72 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2 112
Gambar 73 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3
Gambar 74 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 1 113
Gambar 75 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 2
Gambar 76 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Stagnan Replikasi 3 114
D.4 Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M Kondisi Pengadukan
Gambar 77 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 78 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan Kondisi Pengadukan Replikasi 2 115
Gambar 79 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 80 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1 116
Gambar 81 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 82 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 25ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3 117
Gambar 83 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 84 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2 118
Gambar 85 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 50ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 86 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1 119
Gambar 87 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 88 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 75ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3 120
Gambar 89 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 90 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
121
Gambar 91 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 100ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 92 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1 122
Gambar 93 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 94 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 125ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3 123
Gambar 95 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1
Gambar 96 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2 124
Gambar 97 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 150ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3
Gambar 98 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 1 125
Gambar 99 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 2
Gambar 100 Ekstrapolasi Grafik Tafel Baja Lunak dalam Media HCl 1M dengan WSC 175ppm dan Kondisi Pengadukan Replikasi 3 126
BIODATA PENULIS Penulis bernama Clarissa Welny Saleh. Penulis yang dilahirkan di Ambon, 4 April 1994 ini merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Jumai Saleh dan Ibu Vinolia. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu TK Mulia Bhakti Makassar (1998-1999), SDN Nanggewer 01 Bogor (1999-2005), SMPN 2 Sukaraja Bogor (2005-2008) dan SMK Analis Kimia Bogor (SMAKBO) (2008-2012). Penulis pernah bekerja sebagai analis kimia di Analytical Devolepment untuk Research and Development PT. Kalbe Farma, Tbk (2012-2013). Penulis melanjutkan jenjang pendidikan S1 di Jurusan Kimia FMIPA melalui jalur SBMPTN dan terdaftar dengan Nomor Registrasi Pokok (NRP) 1413100092. Pada tahun kedua penulis pernah menjadi ketua divisi kontrol untuk Dewan Perwakilan Mahasiswa BEM FMIPA ITS periode 2014-2015 dan sekertaris divisi pengembangan sumber daya anggota Klub Keilmiahan BEM ITS periode 20152016. Penulis menyelesaikan program Sarjana dengan mengambil tugas akhir di bidang Kimia Fisik di bawah bimbingan Dra. Harmami, MS dan Dra. Ita Ulfin, M.Si. Penulis dapat dihubungi melalui
[email protected] dan LinkedIn Clarissa Welny Saleh.
127