PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Venol Ferdiansyah CO3400001
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE
Oleh:
Venol Ferdiansyah C03400001
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul
: PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE
Nama mahasiswa : Venol Ferdiansyah NRP
: C03400001
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir.Sri Purwaningsih, M.Si. NIP. 131 878 935
Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 131 476 638
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 131 805 031
Tanggal lulus : 14 Oktober 2005
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat kesehatan dan kesempatan yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Doa keselamatan penulis panjatkan pula pada pembawa risalah kebenaran, nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga, sahabat dan seluruh manusia yang mengikuti ajarannya sampai akhir jaman. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan studi tentang “Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang sebagai Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease” Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Ibu Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulisan skripsi.
2.
Ibu Tati Nurhayati, S.Pi, MS yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penelitian serta ibu Dra. Ella Salamah, M.Si atas segala kritikan dan saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.
3.
Papa, Mama, Bang Fanda, adik-adikku tercinta Harry, Arief, Fajrin, Danu dan seluruh keluarga besarku di Padang atas doa, nasehat, kasih sayang, semangat dan inspirasi kepada penulis.
4.
Pak Gandhi dan Ibu Emma selaku staf laboratorium biokimia dan mikrobiologi Departemen Teknologi Hasil Perairan serta Mbak Lina staf laboratorium Pengembangbiakan ikan dan Rekayasa genetika atas kemudahan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang berarti bagi dunia pendidikan. Bogor, Oktober 2005 Venol Ferdiansyah
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Venol Ferdiansyah. Dilahirkan di Meulaboh pada tanggal 16 Januari 1982. Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Asli, M dan Ibu Nurbaity, M. Anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 10 Tapaktuan pada tahun 1994, kemudian di kota yang sama pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan lanjutan pada SLTP Negeri 2 Tapaktuan dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Tapaktuan dan lulus pada tahun 2000. Penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2000 dan diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa pendidikan di IPB, penulis pernah aktif menjadi asisten mata kuliah Toksikologi dan Kimia Industri 2004-2005, menjadi Ketua Departemen Humas Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan (HIMASILKAN) 2001-2002 dan aktif sebagai panitia maupun peserta berbagai kegiatan seminar dan pelatihan. Tahun 2005 penulis meraih prestasi poster terbaik dalam Lomba Program Kreatifitas Mahasiswa bidang penelitian pada Pekan Ilmiah Nasional ke XVIII di Padang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang sebagai Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease di bawah bimbingan Ibu Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA.
RINGKASAN Venol Ferdiansyah. C03400001. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang Sebagai Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan PIPIH SUPTIJAH. Udang sebagai salah satu komoditas andalan sektor perikanan, setiap tahunnya mengalami peningkatan produksi. Proses pembekuan udang untuk ekspor, menghasilkan limbah sekitar 6070%. Limbah cangkang udang tersebut dapat diolah menjadi kitosan. Kitosan dijadikan sebagai alternatif pilihan pengganti matriks penyangga pada imobilisasi enzim karena kitosan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan matriks sintetik lainnya. Keunggulan kitosan yaitu, bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan, manik-manik berpori, gel, fiber, membran), biodegradasi, murah, mudah penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein dan non toksik Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan dan mengetahui kemampuan kitosan sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim protease. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan berupa pembuatan kitosan dan mengukur mutu kitosan yang dihasilkan, meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, viskositas dan derajat deasetilasi. Penelitian utama yaitu imobilisasi enzim protease menggunakan metode Stanley et al. (1975) dengan berbagai perlakuan kitosan (0 g; 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g; 0,6 g; 0,7 g; 0,8 g; 0,9 g dan 1 g) dan dilanjutkan dengan uji kualitatif untuk mengukur aktivitas enzim dan aktivitas spesifik enzim imobil. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Kitosan yang dihasilkan pada penelitian telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh PROTAN Jepang. Parameter mutu kitosan meliputi, kadar abu sebesar 0%, kadar air 7%, kadar nitrogen 4,93%, derajat deasetilasi 95,3% dan viskositas sebesar 39,5%. Hasil analisis data terhadap aktivitas enzim papain imobil, diperoleh ada satu perlakuan kitosan yang memberi pengaruh berbeda nyata terhadap aktivitas enzim imobil yaitu perlakuan 1 g kitosan, sedangkan pada enzim bromelin imobil tidak ada perlakuan kitosan yang memberikan pengaruh berbeda nyata. Aktivitas enzim papain imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,6 g kitosan yaitu sebesar 0,0113 U/ml/menit dan aktivitas tertinggi sebesar 0,0190 U/ml/menit pada perlakuan 1 g kitosan. Aktivitas enzim bromelin imobil tertinggi juga diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan yaitu 0,0108 U/ml/menit, sedangkan aktivitas terkecilnya diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0011 U/ml/menit. Aktivitas spesifik enzim papain imobil tertinggi yaitu sebesar 0,1432 U/mg protein enzim diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan, sedangkan aktivitas spesifik enzim terendah diperoleh pada perlakuan 0,7 g kitosan dengan aktivitas spesifik 0,0940 U/mg protein enzim. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0036 U/mg protein enzim, sedangkan aktivitas spesifik enzim imobil tertinggi yang dihasilkan sebesar 0,0733 U/mg protein enzim diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. ix 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...............................................................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian ...........................................................................................................
3
1.3. Waktu dan Tempat ........................................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitosan ......................................................................................................................... 2.1.1. 2.1.2. 2.1.3. 2.1.4.
Sumber kitin dan kitosan ................................................................................ Sifat fisiko kimia kitosan................................................................................ Ekstraksi kitosan............................................................................................. Pemanfaatan kitosan.......................................................................................
4 4 4 6 8
2.2. Enzim............................................................................................................................. 10 2.3. Enzim Proteolitik .......................................................................................................... 11 2.3.1. 2.3.2.
Enzim papain ................................................................................................. 12 Enzim bromelin .............................................................................................. 15
2.4. Imobilisasi Enzim .......................................................................................................... 18 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3.
Definisi, sejarah dan metode ......................................................................... 18 Imobilisasi enzim dengan metode pengikatan silang ..................................... 19 Kitosan sebagai matriks imobilisasi enzim..................................................... 21
3. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat ............................................................................................................. 23 3.2. Metode Penelitian .......................................................................................................... 23 3.2.1. 3.2.2.
Pembuatan kitosan.......................................................................................... 23 Imobilisasi enzim ........................................................................................... 24
3.3. Metode Analisis............................................................................................................ 27 3.3.1. 3.3.2. 3.3.3. 3.3.4. 3.3.5. 3.3.6. 3.3.7.
Kadar air (AOAC 1995) ................................................................................. Kadar abu (AOAC 1995)................................................................................ Kadar protein (AOAC 1995) .......................................................................... Derajat deasetilasi (diacu dalam Suptijah et al. 1992) ................................... Viskositas (Sophanodora, Benjakula 1993).................................................... Penentuan aktivitas protease (Bergmeyer, Grassl 1983) ................................ Analisis konsentrasi protein protease kasar (Bradford 1976) .........................
27 27 28 28 29 29 31
3.4. Rancangan Percobaan...................................................................................................
31
3.4.1. 3.4.2. 3.4.3.
Perlakuan ........................................................................................................ 31 Rancangan ...................................................................................................... 32 Hipotesis......................................................................................................... 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Mutu Kitosan ................................................................................................................ 33
4.2. Imobilisasi Enzim .......................................................................................................... 37 4.3. Aktivitas Enzim ............................................................................................................. 39 4.3.1. 4.3.2.
Enzim papain.................................................................................................. 39 Enzim bromelin .............................................................................................. 44
4.4. Aktivitas Spesifik Enzim .............................................................................................. 47 4.4.1. 4.4.2.
Enzim papain.................................................................................................. 47 Enzim bromelin .............................................................................................. 49
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................................................... 53 5.2. Saran ............................................................................................................................. 54 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 55 LAMPIRAN ............................................................................................................................... 61
DAFTAR TABEL No 1. 2.
Halaman Syarat-syarat kitosan komersial.......................................................................................
6
Aplikasi kitin, kitosan dan turunannya dalam industri makanan ...................................... 10
3.
Penggolongan enzim secara internasional berdasarkan reaksi yang
dikatalisisnya ..... 11
4.
Kandungan bromelin dalam tanaman nenas.................................................................... 16
5.
Prosedur pengukuran aktivitas protease .......................................................................... 30
6.
Komposisi larutan standar metode Bradford ................................................................... 31
7.
Hasil analisis mutu kitosan.............................................................................................. 33
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Struktur molekul kitin .....................................................................................................
5
2.
Struktur molekul kitosan .................................................................................................
5
3.
Reaksi demineralisasi......................................................................................................
7
4.
Struktur enzim papain ..................................................................................................... 13
5.
Diagram klasifikasi proses imobilisasi enzim ................................................................. 20
6.
Skema proses ekstraksi kitosan ....................................................................................... 25
7.
Skema imobilisasi enzim metode Stanley et al.(1975).................................................... 26
8.
Kitin dan kitosan dari cangkang udang ........................................................................... 37
9.
Enzim papain dan bromelin terimobil ............................................................................. 38
10.
Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim papain imobil ........... 40
11.
Mekanisme pembentukan ikatan silang........................................................................... 41
12.
Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim bromelin imobil ............................................................................................................... 44
13.
Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas spesifik enzim papain imobil .............................................................................................................................. 48
14.
Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas spesifik enzim Bromelin imobil .............................................................................................................................. 51
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1.
Pembuatan Pereaksi untuk Uji Aktivitas Protease........................................................... 61
2.
Pembuatan Larutan Bradford .......................................................................................... 62
3.
Skema Penentuan Konsentrasi Protein............................................................................ 62
4.
Data Pengukuran Aktivitas Protease ............................................................................... 63
5.
Data Pengukuran Protein Enzim ..................................................................................... 65
6.
Kurva Kalibrasi untuk Pengujian Protein........................................................................ 66
7.
Data Analisis Hubungan Perlakuan Kitosan dengan Aktivitas Enzim. ........................... 67
8.
Data Mentah Uji Mutu Kitosan ....................................................................................... 70
9.
Spektrum Kitosan ............................................................................................................ 71
10.
Hasil Pengujian Aktivitas Protease Berbagai Perlakuan ................................................. 72
11.
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas........................................................................... 73
12.
Komposisi Sumber Enzim Protease ................................................................................ 78
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi penting perikanan yang pada saat ini mengalami peningkatan produksi terutama dari hasil budidaya. Udang sebagai komoditas andalan sektor perikanan umumnya diekspor dalam bentuk beku. Produksi udang ini setiap tahunnya mengalami peningkatan. Potensi udang di Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4% per tahun dan sampai pada tahun 2001 produksi udang nasional mencapai 633.681 ton (Prasetyo 2003). Proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah dan jika diasumsikan laju peningkatan produksi udang Indonesia per tahun tetap, maka pada tahun 2005 potensi udang diperkirakan sebesar 821.250 ton dan dari produksi ini diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 533.812 ton. Limbah tersebut berupa cangkang yang mudah sekali busuk sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Limbah udang ini juga
bersifat bulky atau menyita ruangan, sehingga memerlukan tempat yang cukup luas dan tertutup penampungannya.
Permasalahan limbah cangkang udang ini perlu mendapat perhatian yang
serius, sehingga diharapkan tidak sampai menimbulkan dampak yang negatif bagi lingkungan (Prasetyo 2003). Pemanfaatan limbah cangkang udang saat ini hanya terbatas untuk pakan ternak saja. Salah satu cara pemanfaatan cangkang udang bernilai ekonomis adalah mengubah cangkang udang menjadi zat kitin-kitosan.
Cangkang udang mengandung zat kitin sebesar 40-60% (Angka,
Suhartono 2000). Kitin dan kitosan ini mempunyai struktur kimia yang unik sehingga telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang. Kitin dan kitosan telah diaplikasikan pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi, industri pangan, pertanian, tekstil, membran, bioteknologi, kosmetik dan industri kertas. Kitosan merupakan polimer polikationik turunan dari kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi dengan menggunakan alkali kuat. Knorr (1982) menyatakan bahwa kitosan adalah polimer dari 2-deoksi 2-amino glukosa yaitu kitin yang terdeasetilasi. Kitosan memiliki gugus asetil yang sangat rendah bila dibandingkan dengan kitin. Gugus asetil yang rendah ini akan semakin meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan. Menurut Shahidi et al. (1999) kitosan juga memiliki 3 (tiga) tipe gugus fungsi yang reaktif, yaitu sebuah gugus amino, gugus hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3 dan C-6 secara berurutan. Salah satu bidang yang selalu menarik untuk diteliti adalah aplikasi kitosan pada bidang bioteknologi.
Anonim (2004) menyatakan bahwa kitosan telah digunakan dalam pemisahan
protein, kromatografi, pelindung sel, imobilisasi enzim dan sel, serta elektroda glukosa. Penggunaan kitin sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim telah banyak dikaji oleh kalangan ilmuwan dibandingkan dengan kitosan. Imobilisasi enzim dilakukan untuk mempermudah pemisahan antara enzim dan produk yang dihasilkan. Keuntungan penggunaan enzim terimobil adalah meningkatnya stabilitas enzim,
enzim dapat digunakan secara berkesinambungan, reaksi dapat dikendalikan serta nilai ekonomis yang dapat diperoleh (Frense et al. 1996 diacu dalam Pereira 2003). Berbagai macam metode imobilisasi enzim dapat digunakan, tergantung perbedaan sudut komplesitas dan efisiensi (Malcata et al. 1990 diacu dalam Pereira 2003) Salah satu metode imobilisasi enzim adalah dengan pengikatan silang (crosslinked) menggunakan matriks penyangga. Matriks yang digunakan selama ini seperti silika dan polimer sintetik mempunyai harga yang mahal, oleh karena itu banyak dicari alternatif pengganti matriks yang murah seperti CaCO3, kitin dan kitosan. Alternatif matriks pengganti yang banyak dipilih oleh para ilmuwan dan pengusaha adalah kitin dan kitosan, hal ini karena kitin jumlahnya lebih melimpah
dan
keberadaannya
terbesar
kedua
di
alam
setelah
selulosa
(Krajewska 1991 diacu dalam Pereira 2003 ). Kitin dan kitosan memiliki beberapa keunggulan jika digunakan sebagai matriks imobil, antara lain: bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan, manikmanik berpori, gel, fiber, membran), biodegradasi, murah, mudah penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein dan non toksik (Felse, Panda 1999 diacu dalam Pereira 2003). Stanley et al. (1975) menambahkan bahwa kitin dan kitosan mempunyai struktur yang keras, inert, dan densitas kamba (bulky) yang rendah. Kelebihan kitosan inilah yang dapat digunakan sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim. Kitosan diharapkan dapat mengikat enzim bebas dan mampu menjaga stabilitas aktivitas katalitik enzim dengan lebih baik. Enzim protease merupakan salah satu enzim yang telah banyak diaplikasikan dalam industri pangan sebagai katalisator. Proses imobilisasi enzim ini diharapkan memberikan beberapa keuntungan penggunaan enzim terimobil dibandingkan dengan enzim bebasnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemanfaatan kitosan dari cangkang udang sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis limbah dan mampu menghasilkan enzim terimobilisasi dengan karakteristik yang lebih baik. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memanfaatkan dan mengetahui kemampuan kitosan sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim protease melalui metode pengikatan silang (cross-linking). 1.3. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September 2004 sampai bulan April 2005 bertempat di laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, serta laboratorium Pengembangbiakan Ikan dan Rekayasa Genetika, Departemen Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitosan Kitosan adalah poliglukosamin yang dihasilkan dari kitin dengan proses deasetilasi
menggunakan
suhu
tinggi
dan
alkali
berkonsentrasi
tinggi
(Ockerman 1992). Kitosan yang disebut juga dengan ß-1,4-2 amino-2-dioksi-Dglukosa merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi (Bough 1975). 2.1.1. Sumber kitin dan kitosan Kitin dan kitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dihasilkan dari limbah laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam dan kerang (Angka, Suhartono 2000).
Kitin adalah substan organik kedua yang paling
banyak ditemukan di alam setelah selulosa, terdapat dalam berbagai spesies binatang (Suptijah et al. 1992). Menurut Knorr (1982), kitin merupakan komponen organik penting penyusun kerangka krustacea, insekta dan moluska serta penyusun dinding sel mikroba. Knorr (1984) menyebutkan bahwa kitin dapat ditemukan pada limbah udang dan rajungan masing-masing sebesar 14-27% dan 13-15% (berat kering) tergantung dari jenis spesies dan faktor lain.
Penelitian lain menyatakan,
kandungan
rajungan
kitin
pada
limbah
udang
dan
sebesar
20-30%
(Johnson, Peniston 1982). Menurut Knorr (1984), bahwa dari sekian banyak sumber kitosan hanya kulit udang dan rajungan yang sudah dimanfaatkan secara komersial. Purwatiningsih (1992) menyatakan bahwa kulit udang lebih mudah didapatkan dibanding sumber kitin yang lain dan tersedia dalam jumlah yang besar sebagai hasil industri pengolahan udang yang banyak terdapat di Indonesia. 2.1.2. Sifat fisiko kimia kitosan Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat. Menurut Knorr (1982), kitosan adalah polimer dari 2-deoksi-2-amino glukosa yaitu kitin yang terdeasetilasi yang mempunyai ikatan (1-4)â. Besarnya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin akan semakin memperkuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan. Struktur molekul kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
CH2OH
CH2OH O
H
O
H
H
H
OH
O OH
OH
OH H
H
H
H H
NH2COCH3
H
NH2COCH3
Gambar 1. Struktur molekul kitin (Sandford, Hutchings 1987) CH2OH
CH2OH O
H
O
H
H
H
OH
O OH
OH
OH H
H
H
NH2
H H
H
NH2
Gambar 2. Struktur molekul kitosan (Sandford, Hutchings 1987) Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya.
Gugus amino ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang
berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992).
Kitosan merupakan
polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral (Sandford 1989). Shahidi et al.(1999) menyatakan kitosan memiliki 3 (tiga) tipe gugus fungsi yang reaktif, yaitu sebuah gugus amino, gugus hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3 dan C-6 secara berurutan. Menurut Knorr (1982) bobot molekul kitosan sekitar 1,036 x 105 Dalton. Berat molekul kitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatan kitosan.
Kumar (2000) menambahkan bahwa sifat dan kelarutan
kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi yang beragam tergantung dari sumber dan metode isolasinya.
Kitosan dapat larut dalam beberapa larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat dan larutan yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan dapat larut dalam asam hidroklorat dan asam nitrat pada konsentrasi 0,15-1,1% dan tidak larut pada konsentrasi asam 10%. Kitosan juga tidak larut dalam asam sulfur tetapi larut sebagian pada asam ortofosfat dengan konsentrasi 0,5% (Ornum 1992). Menurut Knorr (1982) pelarut kitosan yang umum digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2%. Mutu kitosan yang diperdagangkan secara komersial tergantung pada penggunaannya, misalnya pada penanganan limbah diperlukan kitosan dengan kemurnian yang rendah, sedangkan jika untuk obat-obatan diperlukan kitosan dengan kemurnian yang tinggi. Mutu kitosan tersebut dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, derajat deastilasi, viskositas dan bobot molekul (Bastaman 1989 diacu dalam Suptijah et al. 1992). Karakteristik kitosan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan Protan Laboratories dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat- syarat kitosan komersial Parameter Ukuran partikel Kadar air Kadar abu Warna larutan Derajat deasetilasi Viskositas (Cp) 1. rendah 2. sedang 3. tinggi 4. ekstra tinggi
Nilai Serpihan sampai serbuk < 10 % <2% jernih > 70% < 200 cps 200 - 799 cps 800 - 2000 cps > 2000 cps
Sumber : Protan Laboratories diacu dalam Suptijah et al. (1992)
2.1.3.
Ekstraksi kitosan Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Ekstraksi kitin dari
kulit udang dilakukan dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral (demineralisasi) dan pemisahan protein (deproteinasi) yang dilanjutkan dengan pemutihan (Suptijah et al. 1992).
a. Proses demineralisasi Demineralisasi yaitu penghilangan mineral yang terdapat dalam bahan yang mengandung kitin. Penghilangkan mineral tersebut terutama kandungan kalsiumnya dilakukan dengan penambahan asam seperti asam klorida (HCl), asam sulfat (H2SO4), dan asam sulfit (H2SO3) (Karmas 1982). Proses demineralisasi berdasarkan pada metode Suptijah et al. (1992) adalah dengan menggunakan HCl 1,5 N dengan perbandingan 1:7 (b/v) untuk bahan dan larutan HCl dengan pemanasan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa organik yang ada pada limbah tersebut. Besarnya kandungan mineral yang dihilangkan, maka akan menghasilkan kitin yang semakin baik. Kulit udang umumnya mengandung 30-50 % mineral (Angka, Suhartono 2000). Mineral utama yang terdapat pada udang yaitu kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2. Senyawa kalsium akan bereaksi dengan HCl menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut dalam air pada saat demineralisasi. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 3. CaCO3 + 2 HCl H2CO3
CaCl2 + H2CO3 H2O + CO2
CaCO3 + 2 HCl
CaCl2 + H2O+ CO2
Ca3(PO4)2 + 6 HCl
3 CaCl2 + 2 H3PO4
Gambar 3. Reaksi demineralisasi (Bastaman 1989) Proses demineralisasi menyebabkan terjadinya reaksi kimia antara asam klorida (HCl) dengan kalsium (CaCO3 dan Ca3(PO4)2), menghasilkan kalsium klorida yang akan mengendap apabila pH ditingkatkan dan mudah dipisahkan dengan proses penyaringan. Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan, dengan pengadukan yang konstan diharapkan dapat menciptakan
panas yang homogen sehingga asam yang digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan (Karmas 1982). b. Proses deproteinasi Proses deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah udang tersebut. Protein ini dapat mencapai 30-40% berat bahan organik kulit udang (Angka, Suhartono 2000). Keefektifan proses tersebut bergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Penggunaan larutan NaOH 3,5% dengan pemanasan 90 oC selama 1 jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi dengan perbandingan limbah udang yang kering dan larutan sebesar 1:10 (Suptijah et al. 1992). Selama proses, larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein. Purwatiningsih (1992) menyatakan bahwa Ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH karena terjadi pengendapan natrium. Produk akhir dari proses demineralisasi dan deproteinasi tersebut adalah kitin. c. Proses deasetilasi Pembuatan kitosan yaitu dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) (deasetilasi) dari kitin yang dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat (50%) dengan perbandingan 1:20 selama 1 jam pada suhu 120-140
o
C
(Suptijah et al. 1992). Suhu yang tinggi (140 oC) dan konsentrasi NaOH yang tinggi (50%) berkaitan dengan ikatan kuat antara atom nitrogen pada gugus amin dengan gugus asetil. Banyaknya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka akan semakin meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Ornum 1992). Terjadi reaksi antara NaOH dengan gugus N-asetil pada kitin (rantai C-2) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil dengan gugus amina (-NH2) selama berlangsungnya proses ini. 2.1.4. Pemanfaatan kitosan Menurut Knorr (1982), kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Karakteristik kitosan sebagai polielektrolit dapat digunakan untuk bahan pengkoagulasi dalam sistem pengolahan limbah secara fisik-kimia (Bough 1975).
Kitin dan kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal (Suptijah et al. 1992). Kitosan digunakan sebagai pelapis benih yang akan ditanam sehingga terhindar dari jamur tanah pada bidang pertanian. Kitosan juga diaplikasikan pada bidang peternakan sebagai pemisah (separation) spermatozoa yang mobil (bergerak) dan non mobil (tidak bergerak) dari babi jantan dan lembu jantan serta dapat digunakan sebagai bahan tambahan ransum bagi ayam petelur dan dapat meningkatkan produksi sampai 8,8% (Brzeski 1987). Kitosan dalam bidang pangan dapat digunakan sebagai pengental atau pembentuk gel yang baik, pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur karena adanya kandungan senyawa komplek Microcrystalin Chitin (MCC). Kitosan juga digunakan sebagai bahan penyaring yang efektif terhadap zat yang tidak diinginkan seperti tanin pada kopi (Brzeski 1987) dan menurut Knorr (1984) kitosan juga dapat digunakan untuk memurnikan anggur, bir dan juice. Kitosan juga telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang kesehatan antara lain sebagai bahan anti kolesterol, bahan pembungkus kapsul karena memiliki kemampuan untuk melepas obat ke dalam tubuh secara terkontrol dan sebagai bahan anti tumor karena kitosan mempunyai sifat antibakterial dan antikoagulan dalam darah serta dapat menggumpalkan sel-sel leukemia. Kitosan juga dapat digunakan sebagai pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah (baik arteri maupun vena) serta untuk bahan pembuat membran ginjal buatan (Brzeski 1987). Hasil penelitian Anonim (2003) melaporkan bahwa kitosan telah diaplikasikan sebagai benang operasi. Menurut Begin dan Marie (1999), kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Aplikasi kitin dan kitosan dalam bidang pangan, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan dan turunannya dalam industri makanan Aplikasi Antimikroba
Contoh Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian. Industri Edible Film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, menahan pelepasan zat-zat antioksidan, menahan pelepasan zat-zat nutrisi, flavor dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, mengontrol pernafasan, pengatur suhu; menahan kegiatan browning enzimatis pada buah, dan mengembalikan tekanan osmosis membran. Bahan Aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol pengemulsi, food nimetic, bahan pengental, stabilizer dan penstabil warna. Sifat Nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan antigrastitis (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi. Pengolahan Limbah Flokulan dan pemecah agar. Makanan Padat Pemurnian Air Memisahkan ion-ion logam, pestisida dan penjernihan. Sumber : Shahidi et al. (1999)
2.2. Enzim Kata enzim diperkenalkan oleh Kuhne pada tahun 1878 untuk suatu zat yang bekerja pada suatu substrat. Kata enzim berasal dari bahasa Yunani yang berarti di dalam sel. Kuhne menjelaskan bahwa enzim bukan suatu sel tetapi terdapat di dalam sel.
Enzim sulit didefinisikan secara tepat, definisi yang
dikemukakan adalah enzim merupakan protein yang mempunyai daya katalistik karena aktivitas spesifiknya (Dixon, Webb 1979). Enzim secara biokimia merupakan suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Tugasnya sebagai katalisator di dalam sel dan bersifat khas. Kerja enzim pada umumnya mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi (Lehninger 1993). Klasifikasi enzim didasarkan pada jenis reaksi yang dikatalisnya, seperti direkomendasikan oleh Commision on Enzyme of the International Union of Biochemistry (CEIUB). Menurut sistem ini, enzim dibagi lagi menjadi beberapa sub golongan.
Penamaan enzim diawali dengan nama substrat, diikuti oleh
macam reaksi yang dikatalis dan akhiran -ase (Muchtadi et al. 1992). Adapun keenam golongan enzim tersebut dan reaksi yang dikatalisisnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penggolongan enzim secara internasional berdasarkan reaksi yang dikatalisisnya No 1. 2. 3.
Kelas utama Oksidoreduktase Transferase Hidrolase
4. 5.
Liase Isomerase
6.
Ligase
Jenis reaksi yang dikatalisis Pemindahan elektron Reaksi pemindahan gugus fungsional Reaksi hidrolisis (pemindahan gugus fungsional ke air) Penambahan gugus ke ikatan ganda atau sebaliknya Pemindahan gugus di dalam molekul menghasilkan isomer Pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP
Sumber: Lehninger (1993)
2.3. Enzim Proteolitik Enzim proteolitik adalah enzim yang dapat menguraikan atau memecahkan protein. Protease termasuk ke dalam kelas utama enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi-reaksi hidrolisis (Dixon, Webb 1979) Enzim proteolitik atau protease mempunyai dua pengertian, yaitu proteinase yang mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen yang lebih sederhana, dan peptidase yang menghidrolisis fragmen polipeptida menjadi asam amino. Enzim proteolitik yang berasal dari mikroorganisme adalah protease yang mengandung proteinase dan peptidase (Frazier, Westhoff 1983). Berdasarkan sumbernya, enzim proteolitik diklasifikasikan kedalam enzim yang berasal dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (Suhartono 1989). Enzim proteolitik berdasarkan sisi aktifnya diklasifikasikan menjadi empat golongan (Hartley 1960 diacu dalam Winarno 1995) yaitu: 1) Proteolitik serin, mempunyai residu pada sisi aktifnya dan secara spesifik dihambat oleh DIFP (diisopropilfosfofluridat) dan turunan organofosforis lainnya. Enzim ini semuanya bersifat endopeptidase. Enzim yang termasuk golongan ini adalah trypsin, kimotripsin, elastase dan subtilin.
2) Proteolitik thiol atau disebut proteolitik sulfhidril, keaktifannya tergantung pada residu SH pada sisi aktifnya.
Enzim ini dihambat oleh senyawa
oksidator dan logam berat. Enzim yang termasuk golongan ini adalah papain, bromelin dan fisin. 3) Proteolitik metal, yaitu enzim yang keaktifannya tergantung pada adanya metal, biasanya terdapat hubungan stokiometrik, yaitu 1 mol metal per mol enzim. Metal tersebut dapat terdiri dari Mg, Zn, Co, Fe, Hg, Ni dan lain sebagainya. Enzim ini dihambat oleh Ethylene Diamini Tetra Acetic Acid (EDTA) yang dapat mengkelat logam sehingga keaktifan enzim akan berkurang.
Contoh
enzim
yang
termasuk
golongan
ini
adalah
karboksipeptidase A dan beberapa aminopeptidase. 4) Proteolitik asam, yaitu enzim yang pada lokasi aktifnya terdapat dua gugus karboksil. Keaktifannya dapat dihambat oleh p-bromofenasilibromida. Enzim yang termasuk golongan ini adalah pepsin, renin dan protease kapang. Enzim ini hanya aktif pada pH rendah. 2.3.1. Enzim papain Papain (EC.3.4.22.2) merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari penyadapan getah buah pepaya (Carica papaya L.). Getah pepaya mengandung sebanyak
10%
papain,
45%
kimopapain
dan
lisozim
sebesar
20%
(Winarno 1995). Berdasarkan sifat-sifat kimianya, papain digolongkan sebagai protease sulfhidril (Muchtadi et al. 1992). Papain tersusun atas 212 residu asam amino dengan sistein-25 tempat gugus aktif thiol (-SH) essensial, yang membentuk sebuah rantai peptida tunggal dengan bobot molekul 21.000 - 23.000 g/mol. Rantai ikatan tersebut tersusun atas arginin, lisin, leusin, dan glisin (Harrison et al. 1997). Sisi aktif yang terdapat di dalam molekul papain terdiri atas gugus histidin dan sistein yang selama katalisis berlangsung, sisi aktif tersebut berfungsi sebagai ion zwitter (Wong 1989 diacu dalam Budiman 2003). Struktur enzim papain dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan klasifikasi the international union of biochemistry, papain termasuk enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat dengan pertolongan molekul air. Aktivitas katalisis papain dilakukan melalui
hidrolisis yang berlangsung pada sisi-sisi aktif papain. Pemisahan gugus-gugus amida yang terdapat di dalam protein tersebut berlangsung melalui pemutusan ikatan peptida (Wong 1989 diacu dalam Budiman 2003). Enzim ini mempunyai aktivitas katalitik sebagai proteinase dan sanggup menghidrolisis peptida. Berdasarkan sifat-sifat kimia dari lokasi aktif, papain termasuk protease sulfhidril, karena bagian aktif papain adalah gugus –SH (Reed 1975). O Cys C2525
CH2
S
C
R
H
N
R’
H His159
CH2
N
N H
Gambar 4. Struktur enzim papain (Anonim 2003) Aktivitas enzim papain cukup spesifik karena papain hanya dapat mengkatalisis proses hidrolisis dengan baik pada kondisi pH serta suhu dalam kisaran waktu tertentu. Papain mempunyai pH optimum 7,2 pada substrat BAEE (benzoil arginil etil ester), pH 6,5 pada substrat kasein, pH 7,0 pada albumin dan pH 5,0 pada gelatin (Muchtadi et al. 1992). Suhu optimal papain sendiri adalah 50-60 oC. Papain relatif tahan terhadap suhu, bila dibandingkan dengan enzim proteolitik lainnya seperti bromelin dan lisin (Winarno 1995). Papain biasanya aktif pada nilai pH antara 5,0 hingga 7,0 dengan titik isoelektrik 8,75. Keaktifan papain berkurang hingga 20% apabila dipanaskan pada suhu 75 oC selama 30 menit dan 50% pada pemanasan menggunakan suhu 76 oC hingga 85 oC selama 56 menit pada pH 7,0. Papain akan cepat menjadi inaktif pada suhu tinggi dengan pH asam (<4) dan pada pH yang sangat asam (<2) inaktivasi terjadi sangat cepat walaupun suhu 25 oC. Aktivitas papain masih dapat dipertahankan apabila enzim tersebut distabilkan dalam bentuk kristal melalui penambahan
senyawa EDTA, sistein dan dimerkaptopropanol dengan kondisi penyimpanan pada suhu 5 oC selama 6 - 12 bulan (EDC 1999 diacu dalam Budiman 2003) Papain mengandung 212 asam amino dalam suatu rantai polipeptida dan berikatan silang dengan tiga jembatan disulfida (Kalk 1975). Berbagai jenis asam amino ikut menyusun struktur protein papain kecuali metionin. Tidak terdapatnya metionin dalam rantai polipeptida diduga karena komponen sulfur sebagian besar berada dalam bentuk asam amino sistein (Glazer, Smith 1971 diacu dalam Muchtadi et al. 1992). Papain memiliki 6 gugus sulfhidril, tetapi hanya dua gugus sulfhidril yang aktif. Gugus suflhidril ini mengandung unsur sulfur sekitar 1,2%. Papain biasanya diperdagangkan dalam bentuk kristal kasar, amorf dan granula, berwarna putih sampai coklat muda, ada juga yang putih keabuan dan bersifat higroskopis.
Kristal yang masih baru berbentuk jarum dan setelah
disimpan beberapa bulan pada suhu rendah akan berbentuk hexagonal. Penyimpanan harus dilindungi dari udara lembab dan disimpan pada tempat yang dingin (Arief 1975 diacu dalam Ary 2002). Papain kasar mempunyai sifat yang agak sukar larut dalam air, mudah terurai dan tidak larut dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol, aseton, eter dan beberapa pelarut lemak lainnya (Daryono, Muhidin 1974). Papain sebagai enzim proteolitik dapat digunakan untuk menghasilkan beberapa produk. Papain banyak digunakan di dalam industri pangan sebagai pengempuk daging, konsentrat protein dan hidrolisat protein. Papain juga dapat digunakan untuk menurunkan viskositas bahan.
Anonim (2003) menyatakan
papain dimanfaatkan untuk mencegah deformasi luka pada kornea mata dan pembersih lensa mata dalam bidang kesehatan.
Papain berfungsi juga untuk
menggumpalkan susu didalam industri pembuatan keju, membuang sisa-sisa serat kain pada industri detergen serta bahan aktif dalam pembuatan krim pembersih kulit (Suhartono 1991). Keefektifan enzim papain ini dipengaruhi oleh : 1)
Konsentrasi enzim Enzim papain mempunyai kemampuan untuk melunakkan daging dan
menghidrolisis ikatan peptida dari protein. Tingginya konsentrasi enzim yang digunakan akan mempengaruhi banyaknya substrat yang dapat ditransformasi
(Girindra 1993). Konsentrasi enzim yang berlebihan akan menyebabkan proses tersebut menjadi tidak efisien. Derajat kemurnian enzim papain yang tinggi, mempunyai hubungan linear dengan jumlah enzim dan taraf aktivitas (Lehninger 1993). 2)
Suhu Reaksi yang dikatalisis oleh enzim sangat peka terhadap suhu.
Enzim
sebagai protein akan mengalami denaturasi pada suhu yang tinggi sehingga mengakibatkan daya kerja enzim tersebut menurun (Girindra 1993). Enzim akan semakin aktif apabila suhu dinaikkan (sampai suhu optimumnya), tetapi bila suhu tersebut terus dinaikkan maka laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalisis enzim sehingga menyebabkan reaksi tidak efisien (Winarno 1987). 3)
pH Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada suatu kisaran pH yang
disebut pH optimum (Winarno 1995). Setiap enzim memiliki selang pH tertentu untuk dapat melakukan aktivitasnya.
Enzim akan mengalami denaturasi dan
mengakibatkan kehilangan aktivitasnya apabila enzim bekerja di bawah atau di atas selang pH tersebut. Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. pH ini juga menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim menjadi berubah (Lehninger 1993). 4)
Pengaruh Inhibitor (faktor penghambat) Inhibitor adalah suatu senyawa atau gugus senyawa yang menghambat
aktivtas enzim. Enzim sangat peka terhadap senyawa atau gugus senyawa yang diikatnya (Girindra 1993). Enzim papain sangat sensitif terhadap logam. Adanya logam akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan gugus katalitik enzim papain. Keaktifan enzim papain akan hilang bila direaksikan dengan oksidator. 2.3.2. Enzim bromelin Enzim bromelin (EC.3.4.22.4) merupakan enzim yang diperoleh dari tanaman famili Bromeliceae. Enzim bromelin banyak digunakan dalam proses chield proofing bir, selain itu juga banyak digunakan untuk mengekstrak minyak kelapa, menggumpalkan susu dan mengempukan daging.
Kandungan bromelin dalam tanaman nanas terletak pada buah, tangkai, kulit, daun dan batang (hati), dengan jumlah yang berbeda-beda pada setiap tempatnya, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan bromelin dalam tanaman nanas No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bagian buah Buah utuh masak Daging buah masak Kulit buah Tangkai Batang Buah utuh mentah Daging buah mentah
Persentase 0,060 – 0,080 0,080 – 0,125 0,050 – 0,075 0,040 – 0,060 0,100 – 0,600 0,040 – 0,060 0,050 – 0,070
Sumber: Omar et al. (1978) diacu dalam Pohan (2002)
Enzim bromelin dapat diektraksi dari batang nanas yang disebut stem nanas atau dapat pula diekstraksi dari buah yang disebut bromelin bras (Fruit bromelin) dengan nomor klasifikasi EC.3.42.4 dan EC.3.42.5. Kedua enzim ini diperoleh dengan cara mengekstraksi buah nanas (Indrawati et al. 1983). Bromelin batang dapat dipisahkan atas lima komponen proteolitik aktif yang berbeda dalam komposisi asam aminonya, dimana gugus asam amino ujung adalah valin sedang bagian ujung dari gugus karboksi adalah glysin. Enzim bromelin merupakan protein sederhana yang mempunyai berat molekul 31.000 dengan titik isoelektrik pada pH 4,6 dan pH optimumnya adalah 8 (Indrawati et al. 1983). Bromelin yang terdapat dibatang nenas memiliki bobot molekul
28.000
dengan
titik
isoelektrik
9,6
dan
pH
optimum
5-6
(Suhartono 1991). Bromelin batang termasuk golongan glikoprotein yaitu mengandung satu bagian oligosakarida pada tiap molekul yang berikatan secara kovalen dengan rantai polipeptida enzim tersebut. Konsentrasi dan aktifitas enzim bromelin selama tingkat pertumbuhan dan pematangan buah ternyata berbeda-beda. Buah nanas yang matang hijau ternyata memiliki kadar protease yang lebih kecil daripada yang matang sempurna (Ball et al. diacu dalam Gortner, Singeleton 1965). Buah nanas yang matang, kadar proteasenya lebih rendah daripada buah yang matang sempurna (Indrawati et al. 1983).
Keaktifan bromelin dipengaruhi oleh kematangan buah, pH suhu lingkungan, konsentrasi enzim dan lama proses, aktivitas air (aw) serta adanya inhibitor. Aktivitas bromelin akan menurun bila buah nanas semakin matang. Hal tersebut berhubungan dengan semakin banyaknya asam yang terbentuk sehingga menurunkan pH bahan menjadi 3,0-3,5. Penurunan pH sampai dibawah titik isoelektrik pada buah yang matang akan menyebabkan enzim hilang karena selain adanya denaturasi, pH juga mempengaruhi sifat ionik gugus karboksil dan gugus asam amino. Aktivitas enzim bromelin optimum pada pH 6,5 dimana enzim ini mempunyai konformasi yang mantap dan juga mempunyai aktivitas yang maksimum. Derajat keasaman yang terlalu tinggi atau rendah akan menyebabkan terjadinya denaturasi protein sehingga menurunkan kecepatan katalisisnya. Enzim yang bermuatan negatif (E-) akan terprotonisasi dan muatan negatifnya hilang pada pH rendah.
Reaksi yang terjadi adalah E- + H+
EH.
pH tinggi
menyebabkan gugus fungsional SH+ akan terionisasi dan muatan positifnya hilang, reaksinya adalah SH+ dan
SH+
ini
menyebabkan
S + H+. Rendahnya konsentrasi efektif E+ kecepatan
katalisis
enzim
akan
menurun
(Harper 1973 diacu dalam Indrawati et al.1983). Suhu optimum untuk enzim bromelin adalah 50 oC, di atas dan di bawah suhu tersebut keaktifan enzim menjadi lebih rendah. Energi kinetik molekul substrat dan enzim cukup rendah pada suhu yang berada di bawah optimal, sehingga kemungkinan substrat dan enzim untuk bereaksi kecil serta kecepatan reaksi menjadi rendah (Tokkong 1979 diacu dalam Indrawati et al. 1983). Suhu optimum suatu enzim sangat dipengaruhi oleh kemurnian enzim tersebut (Harrow, Mazur 1971 diacu dalam Heryani 1998). Menurut Susanto (1987) aktivitas enzim bromelin terimobilisasi yang dihasilkan memiliki suhu, pH dan waktu inkubasi yang sama dengan enzim bebas yaitu suhu 55 oC, pH 7,2 dan waktu inkubasi 10 menit. Kecepatan katalisis akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi enzim. Tingginya konsentrasi enzim, akan mempengaruhi banyaknya substrat yang ditransformasi. Lamanya waktu kerja enzim juga mempengaruhi keaktifannya. Kecepatan katalis enzim akan meningkat dengan lamanya waktu
reaksi. Kokro (1987) menyatakan aktivitas enzim akan semakin tinggi dengan semakin tingginya nilai aw. Kerja enzim bromelin juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor seperti senyawa oksidator dan ion logam berat yang akan mengikat grup thiolnya (Muchtadi et al. 1992). 2.4. Imobilisasi Enzim Enzim merupakan biokatalis yang mempunyai aktivitas spesifik dan bekerja secara efisien. Penggunaan enzim lebih menguntungkan dibandingkan dengan sel bebas. Enzim tidak memerlukan media yang kompleks, tidak membutuhkan aerasi dan kondisi steril serta lebih sedikit limbah yang dihasilkan. Enzim juga memiliki beberapa kelemahan seperti sulitnya ekstraksi enzim dan sulitnya pemisahan enzim dari produk. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan teknik imobilisasi enzim. 2.4.1. Definisi, sejarah dan metode Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara
spesifik
ditempatkan dalam suatu ruang tertentu dengan tetap memiliki aktivitas katalitiknya dan dapat digunakan secara berulang atau secara terus-menerus (Chibata 1978). Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim dengan produk selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase mengandung enzim dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi saling kontaminasi antara enzim dan produk (Chaplin, Buckle 1990). Imobilisasi merupakan suatu modifikasi untuk meniru keadaan asalnya di alam yang diyakini berada dalam keadaan terikat pada membran atau partikelpartikel dalam sel. Tujuan utama mengimobilisasi enzim adalah untuk mempekerjakan
enzim
yang
dapat
memberikan
proses
katalitik
yang
berkesinambungan (Zaborsky 1973). Teknik imobilisasi enzim pertama kali dilakukan oleh Nelson dan Griffin pada tahun 1916 (Muchtadi et al. 1992, Chibata 1978) Nelson dan Griffin mengimobilisasi enzim interfase dari khamir dengan cara adsorpsi pada arang aktif (Chibata 1978). Percobaan pertama untuk mengimobilisasi enzim dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat enzim dilakukan oleh Grubhover dan Scheleith pada tahun 1953.
Mereka
mengimobilisasi
karboksipeptidase,
diastase,
pepsin
dan
ribonuklease dengan menggunakan diazotized poliaminopolystirene resin (Chibata 1978). Penggunaan enzim terimobilisasi akan memberikan beberapa keuntungan (Messing 1975 diacu dalam Smith 1990) yaitu: 1) enzim dapat digunakan secara berulang; 2) proses dapat dihentikan secara cepat dengan mengeluarkan enzim dari larutan substrat; 3) kestabilan enzim dapat diperbaiki; 4) larutan hasil proses tidak terkontaminasi oleh enzim; 5) dapat digunakan untuk tujuan analisis yang melibatkan enzim. Imobilisasi enzim dapat dilakukan secara fisik, kimia atau kombinasi keduanya.
Metode imobilisasi terbagi atas tiga kelompok yaitu metode
pengikatan pada penyangga (carrier binding), metode pengikatan silang (crosslinking) dan metode pemerangkapan (entrapping) (Chibata 1978). Klasifikasi
imobilisasi
berdasarkan
proses
disajikan
pada
Gambar
5
(Gemeiner 1992). Metode pengikatan pada penyangga mengikat enzim pada matriks tidak larut dalam air. Imobilisasi enzim dengan cara ini harus memperhatikan matriks yang digunakan serta metode pengikatannya seperti adsorpsi fisik, gaya elektrostatik serta ikatan kovalen. Metode pengikatan silang didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler/kovalen antar molekul enzim dengan menggunakan pereaksi multi atau bifungsional sehingga menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang stabil dan tidak larut dalam air. Metode pemerangkapan didasarkan pada penempatan enzim dalam kisi dari suatu polimer atau dalam membran semi permiabel seperti mikrokapsul (Chibata 1978). 2.4.2. Imobilisasi enzim dengan metode pengikatan silang Metode pengikatan silang didasarkan pada pembentukan ikatan kovalen antara molekul-molekul enzim oleh pereaksi bi- atau multifungsional sehingga menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang stabil dan tidak larut dalam air. Gugus fungsional yang ikut dalam reaksi ini adalah á-amino pada asam amino terminal, gugus º-amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin, gugus sulfhidril dari sistein serta imidazol dari histidin (Chibata 1978).
Metode Imobilisasi Enzim
Metode Enzim Larut
Metode Enzim Tak Larut
Membran Ultrafiltrasi
Pemerangkapan
Pengikatan
Pengikatan silang
Penyerapan secara fisik
Hollow Fiber Devices
Pengikatan penyangga
Pemerangkapan dengan gel
Pengikatan ionik
Pengikatan logam
Pemerangkapan dengan serat
Mikroenkapsulasi
Pengikatan kovalen
Gambar 5. Diagram klasifikasi proses imobilisasi enzim (Gemeiner 1992) Pereaksi yang digunakan dalam metode ini harus mempunyai dua gugus fungsional yang sama atau dua atau lebih gugus fungsional yang berbeda (pereaksi heterobi- atau heteromultifungsional) (Kennedy 1985). Pereaksi bifungsional yang telah banyak digunakan untuk mengimobilisasi enzim adalah glutaraldehid (Chibata 1978).
Pereaksi glutaraldehid pada mulanya digunakan sebagai intermolekuler ’crosslingking agent’ untuk menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang stabil dan bersifat tidak larut air. Glutaraldehid lebih banyak digunakan sebagai pereaksi
bifungsional
untuk
mengimobilisasi
enzim
pada
saat
ini
(Goldstein, Mannecke 1976). Glutaraldehid dapat bereaksi dengan polimer yang mengandung gugus amino primer menghasilkan matriks yang mempunyai gugus fungsi aldehid (Goldstein, Manecke 1976). Glutaraldehid bereaksi dengan gugus amino dari protein
matriks
kitin
sehingga
terjadi
ikatan
diantara
keduanya
(Finn 1967 diacu dalam Heryani 1998). Konsentrasi glutaraldehid yang digunakan harus dipertimbangkan karena sifat glutaraldehid, seperti pereaksi aldehid lainnya dapat menghambat aktifitas enzim karena dapat bereaksi dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim (Goldstein, Mannecke 1976). Matriks yang sering digunakan adalah kitin atau kitosan karena keduanya mempunyai gugus fungsional sehingga dapat bereaksi dengan glutaraldehid. 2.4.3. Kitosan sebagai matriks imobilisasi enzim Kitin mempunyai struktur yang berpori demikian juga dengan kitosan. Keuntungan dari matriks berpori adalah luasnya permukaan ikatan, serta perlindungan enzim dalam porinya terhadap kerusakan fisik oleh lingkungan (Messing 1975 diacu dalam Smith 1990).
Ukuran pori matriks juga perlu
diperhatikan. Ukuran pori yang kecil dapat menyulitkan masuknya enzim yang berukuran besar serta kemungkinan hambatan difusi substrat makro molekul cukup besar untuk bereaksi dengan enzim, sehingga akan berakibat pada turunnya aktivitas enzim. Kitin dan kitosan memiliki beberapa keunggulan jika digunakan sebagai matriks penyangga yaitu, antara lain: bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan, manik-manik berpori, gel, fiber, membran), biodegradasi, murah, mudah penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein dan non toksik (Felse, Panda 1999 diacu dalam Pereira 2003). Stanley et al. (1975) menambahkan bahwa kitin dan kitosan mempunyai struktur yang keras, inert, dan densitas kamba (bulky) yang rendah.
Kitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi (Johnson, Peniston 1982). Kitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif (Muzzarelli 1985). Menurut Mckay et al. (1987) kitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain kecuali sulfur. Menurut Knorr (1984) kitosan mampu mengikat air dan minyak karena mempunyai gugus polar dan non polar. Jumlah air yang dapat diikat kitosan sekitar 325-440 (w/w). Kemampuan pengikatan tersebut yang membuat kitosan dapat bertindak sebagai penstabil dan pengental.
3. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enzim papain dan enzim bromelin komersial, glutaraldehid (Sigma) serta kulit udang sebagai bahan baku pembuatan kitosan yang diperoleh dari daerah Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan kimia yang digunakan pada pembuatan matriks kitosan adalah NaOH, HCl dan akuades. Bahan kimia yang digunakan untuk uji aktivitas protease antara lain larutan NaOH 1 M, buffer borat (0,01 M) pH 8, kasein (2% b/v), larutan tirosin standar 5 mM, larutan TCA (0,1 M), Na2CO3 (0,4 M), folin ciocalteau. Bahanbahan kimia yang digunakan untuk uji protein protease kasar antara lain Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai standar protein, coomasie brilliant blue G-250, asam fosfat 85% dan etanol 95%. Alat yang digunakan selama penelitian terdiri dari botol film, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas piala, beaker glass, inkubator, spektrofotometer, sentrifuse, pipet mikro, pipet volumetrik, bulp, alumunium foil, timbangan analitik, vortex, autoklaf, refrigerator dan kompor elektrik. 3.2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan dilanjutkan dengan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan membuat matriks kitosan dari cangkang udang dan dilanjutkan dengan mengukur kadar proksimat, derajat deasetilasi dan viskositas dari kitosan yang dihasilkan. Penelitian utama adalah proses imobilisasi enzim protease dengan menggunakan matriks kitosan berdasarkan metode Stanley et al. (1975) yang kemudian dilanjutkan dengan menguji aktivitas protease, uji protein dari enzim bebas dan enzim terimobil. 3.2.1. Pembuatan kitosan Proses pembuatan kitosan secara garis besar terdiri dari tiga tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Pertama-tama limbah udang dicuci, langsung dikeringkan dan kemudian dihancurkan.
Proses berikutnya adalah
demineralisasi dengan melarutkan cangkang udang ke dalam HCl 1 N dengan perbandingan 1:7 pada suhu 90 oC selama 1 jam, kemudian dipisahkan dan dicuci
dengan menggunakan akuades hingga pH netral. Proses deproteinasi dilakukan dengan menambahkan NaOH 3,5 N dengan perbandingan 1:10 pada suhu 90 oC selama 1 jam, kemudian dilakukan pencucian menggunakan akuades dan disaring. Proses ini menghasilkan kitin.
Kitin yang diperoleh, kemudian dideasetilasi
menggunakan NaOH 50 % dengan perbandingan 1:20 pada suhu 140 oC selama 2 jam, kemudian dipisahkan dan dicuci dengan akuades hingga pH netral, selanjutnya dijemur dan akhirnya terbentuklah kitosan dalam bentuk serbuk. Diagram proses pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 6. 3.2.2. Imobilisasi enzim Imobilisasi Enzim dilakukan berdasarkan metode Stanley et al. (1975) dengan modifikasi buffer. Imobilisasi enzim dilakukan dengan menggunakan pereaksi glutaraldehid dan 2 jenis enzim protease serta matriks kitosan dengan berbagai perlakuan. Imobilisasi enzim dilakukan dengan cara mencampurkan 2 ml larutan enzim (b/v) pada berbagai perlakuan kitosan yang telah ditambahkan 2 ml buffer borat pH 8. Campuran diaduk biasa dan disimpan selama 15 menit pada suhu 4-5 oC. Campuran kemudian ditambahkan glutaraldehid konsentrasi 1% hingga total konsentrasi dalam campuran adalah 0,1%. Campuran dibiarkan pada suhu ruang selama 30 menit, untuk selanjutnya disimpan pada refrigerator selama 18 jam. Enzim terimobil selanjutnya dicuci dengan akuades selama 30 menit dan kemudian direndam dalam larutan NaCl 3 M selama 2 jam, selanjutnya dicuci kembali dengan akuades selama 30 menit. Proses pencucian terakhir ini akan menghasilkan enzim terimobil semi basah. Enzim terimobil dapat dikeringkan untuk penyimpanan dengan menggunakan freeze dryer selama 8,5 jam. Skema proses imobilisasi enzim dapat dilihat pada Gambar 7.
Bahan baku
Pencucian
Pengeringan
Penghancuran dengan blender
HCl 1 N 1:7
Demineralisasi
90 oC, 1 jam
Penyaringan dan pencucian
NaOH 3,5% 1:10
Deproteinasi
90 oC, 1 jam
Penyaringan dan pencucian
NaOH 50% 1:20
Deasetilasi (N-asetil-kitin+NaOH)
120-140 oC, 1 jam
Pencucian
Pengeringan
KITOSAN
Gambar 6. Skema proses ekstraksi kitosan (Suptijah et al. 1992)
2 ml larutan enzim + 2 ml larutan buffer borat pH 8 + perlakuan kitosan
Pengadukan biasa sampai rata Penyimpanan dalam refrigerator selama 15 menit Glutaraldehid 1% ditambahkan hingga total konsentrasi dalam campuran 0,1%
Dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit Penyimpanan dalam refrigerator selama 15 jam Pencucian dengan akuades selama 30 menit Perendaman dalam larutan NaCl 3 M selama 2 jam Pencucian dengan akuades selama 30 menit Enzim terimobilisasi semi basah
Pengeringan dengan freeze dryer selama 8, 5 jam Enzim terimobilisasi kering Gambar 7. Skema imobilisasi enzim metode Stanley et al. (1975)
3.3. Metode Analisis Kitosan yang telah dihasilkan pada penelitian pendahuluan diuji mutunya. Uji mutu kitosan ini meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi dan uji viskositas.
Kitosan yang telah diuji mutunya kemudian
diaplikasikan sebagai matriks penyangga proses imobilisasi enzim pada penelitian utama. Enzim terimobil dianalisis secara kualitatif yang meliputi uji aktivitas enzim dan uji protein untuk menentukan aktivitas spesifik enzim terimobil. 3.3.1.
Kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan
sesudah dikeringkan. Cawan porselin kosong dikeringkan pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (A gram).
Cawan yang telah ditimbang tersebut diisi
dengan sampel sebanyak 5 gram dan ditimbang beratnya (B gram). Cawan yang sudah berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan: Kadar air (%) = Keterangan :
(B - A) × 100 % berat contoh
A = berat cawan + contoh kering (g) B = berat cawan + contoh basah (g)
3.3.2.
Kadar abu (AOAC 1995) Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu
o
105 C, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 1 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar diatas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan dalam tanur pengabuan dengan suhu 650 oC selama 5 jam. Cawan didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) =
berat abu × 100 % berat sampel
3.3.3. Kadar protein (AOAC 1995) Sampel 0,5 g dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan kjeltab dan 2,5 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi sampai cairan berwarna hijau bening. Campuran tersebut dibiarkan sampai dingin, kemudian dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldal yang telah digunakan dicuci dengan akuades. Air cucian tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, lalu didestilasi.
Hasil destilasi
ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator metilen blue, lalu dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai berubah menjadi warna pink. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan persamaan di bawah ini: Kadar Nitrogen (%) =
(ml HCl − ml blanko) × N HCl × 14,007 × 100 % mg sampel
3.3.4. Derajat deasetilasi (diacu dalam Suptijah et al. 1992) Kitosan sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 200 ml asam asetat 2%. Larutan tersebut dikeringkan dalam suhu kamar di atas “glass plate”, kemudian ditambahkan sodium hidroksida 1 N untuk menetralkan asam asetat yang telah ditambahkan sebelumnya dan dicuci dengan air bersih. Derajat deasetilasi diukur dengan spektrofotometer inframerah IR-408. Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (Po) dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus: A=
Log Po P
dimana : Po = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-' P=
Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-1
Perbandingan absorbansi pada 1.655 cm-1 dengan absorbansi 3.450 cm-1 digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Pengukuran absorbansi
pada puncak yang berhubungan dengan nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung dengan rumus: A1.655 1 × 100 % % N-deasetilasi = × A3.450 1.33 3.3.5. Viskositas (Sophanodora, Benjakula 1993) Kitosan sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 200 ml asam asetat 2 %. Larutan kitosan ini kemudian diukur nilai viskositasnya dengan menggunakan viskosimeter rotari model BM. Rotari yang digunakan adalah rotari no 2 dengan menggunakan kecepatan putaran 60 rpm. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoise (cps). Viskositas dihitung dangan menggunakan rumus : Viskositas (cP) = Nilai terukur x (Konstanta R-2, V 60 rpm) Nilai konstanta rotari no 2 pada putaran 60 rpm adalah 5. 3.3.6. Penentuan aktivitas protease (Bergmeyer, Grassl 1983) Menurut prosedur pengukuran aktivitas enzim ini, pereaksi trikloroasetat (TCA) digunakan untuk mengendapkan sisa protein substrat yang tidak sempat terurai. Pereaksi folin digunakan untuk memberikan warna yang dapat dipantau dengan spektrofotometer sinar tampak. Prosedur pengukuran aktivitas enzim protease ini secara berurutan terdiri atas tiga tahap. Setiap sampel memerlukan tabung reaksi masing-masing untuk blanko, standar dan sampel. Pembuatan pereaksi yang digunakan pada uji ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Tahap pertama, ke dalam ketiga tabung reaksi masing-masing dimasukkan 0,25 ml buffer borat 0,01 M dengan pH 8, substrat kasein 0,25 ml. 0,05 ml campuran enzim dimasukkan ke dalam tabung sampel, sedangkan pada tabung standar dimasukkan 0,05 ml larutan standar (5mmol/l). Akuades sebanyak 0,05 ml dimasukkan sebagai larutan blanko. Ketiga tabung selanjutnya diinkubasi pada suhu 50 oC (suhu optimum bromelin) atau 55 oC (suhu optimum papain) selama 10 menit. Tahap kedua dilakukan setelah inkubasi pertama. Setiap tabung ditambah dengan 0,5 ml TCA 0,1 M. Tabung blanko dan standar ditambah dengan
campuran enzim sebanyak 0,05 ml, sedangkan pada tabung sampel ditambah akuades 0,05 ml. Keseluruhan tabung reaksi diinkubasi kembali selama 50 oC selama 10 menit yang selanjutnya disentrifuse pada 5000 rpm selama 10 menit. Tahap ketiga dilakukan dengan mengambil 0,375 ml filtrat hasil sentrifuse. Masing-masing ditambah dengan 1,25 ml larutan Na2CO3 (0,4 M) dan folin 0,25 ml. Tabung sampel, standar dan blanko diinkubasi kembali pada 50 oC selama 20 menit, kemudian dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 578 nm. Prosedur dapat dilihat pada Tabel 5. Pengukuran nilai aktivitas enzim protease dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : U=
A sp - A bl A st - A bl
×P×
1 T
Keterangan : U = unit aktivitas dalam IU (Internasional Unit) per menit Asp = nilai absorbansi sampel Abl
= nilai absorbansi blanko
Ast
= nilai absorbansi standar (tirosin)
P
= faktor pengenceran
T
= waktu inkubasi (menit)
Tabel 5. Prosedur pengukuran aktivitas protease No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Sampel Blanko Standar (ml) (ml) (ml) Bufer borat (0,01 M pH 8) 0,25 0,25 0,25 Substrat kasein 2% pH 8 0,25 0,25 0,25 Enzim (2 mmol/l) 0,05 Tirosin standar 0,05 Air suling 0,05 Inkubasi pada suhu 50 oC selama 10 menit TCA (0,2 M) 0,5 0,5 0,5 Air suling 0,05 Enzim (2mmol/l) 0,05 0,05 Inkubasi pada suhu 50 oC selama 10 menit, sentrifuse 10000 rpm Filtrat 0,375 0,375 0,375 Na2CO3 1,25 1,25 1,25 Pereaksi folin (1:2) 0,25 0,25 0,25 Inkubasi pada suhu 50 oC selama 20 menit, baca absorbansi pada panjang gelombang 578 nm Pereaksi
3.3.7. Analisis konsentrasi protein protease kasar (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan melalui metode Bradford (1976) dengan menggunakan Bovine Serum
Albumin sebagai larutan standar protein.
Konsentrasi awal larutan Bovine Serum Albumin adalah 2 mg/ml. Konsentrasi standar protein BSA tersebut kemudian dibuat menjadi 0,01 hingga 0,3 mg/ml. Komposisi serial konsentrasi standar protein dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi larutan standar metode Bradford No. tabung 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Volume larutan BSA (ml) 1,5 1,0 0,6 0,4 0,3 0,2 0,15 0,10 0,06
Sumber : Bradford (1976)
Volume akuades (ml) 8,5 9,0 9,4 9,6 9,7 9,8 9,85 9,9 9,94
Konsentrasi protein (mg/ml) 0,3 0,2 0,1 0,08 0,06 0,04 0,03 0,02 0,01
Masing-masing konsentrasi standar protein diambil sebanyak 60 ì l dan ditempatkan pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 3 ml pereaksi Bradford. Skema pembuatan larutan Bradford dapat dilihat pada Lampiran 2. Campuran dihomogenkan selama 5 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Nilai absorbansi dan konsentrasi protein dari standar BSA diplotkan pada grafik Cartesius dengan konsentrasi sebagai absis (sumbu X) dan absorbansi sebagai ordinat (sumbu Y), kemudian ditentukan persamaan garis regresinya. Kurva tersebut dijadikan sebagai standar untuk menentukan konsentrasi protein sampel. 3.4. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan dua kali ulangan. 3.4.1. Perlakuan Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari 1 perlakuan yaitu perlakuan kitosan. Perlakuan kitosan terdiri dari 11 taraf yaitu K0 (tanpa kitosan), K1 (kitosan 0,1 g), K2 (kitosan 0,2 g), K3 (kitosan 0,3 g), K4 (kitosan 0,4 g),
K5 (kitosan 0,5 g ), K6 (kitosan 0,6 g), K7 (kitosan 0,7 g), K8 (kitosan 0,8 g), K9 (kitosan 0,9 g) dan K10 (kitosan 1 g). 3.4.2. Rancangan Model
yang
digunakan
dari
rancangan
percobaan
adalah
(Steel, Torrie 1991) : yij = µ + λi + εij yij = Hasil pengamatan pada perlakuan kitosan ke i ulangan ke j µ = Pengaruh rata-rata umum λi = Pengaruh perlakuan kitosan ke-i εij = Pengaruh acak dari sisaan satuan percobaan oleh ulangan ke-j pada perlakuan kitosan ke-i Diharapkan dengan rancangan tersebut dapat diketahui pengaruh perlakuan kitosan terhadap besarnya aktivitas enzim terimobil. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap dan selanjutnya untuk mengetahui perlakuan yang memberikan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji beda nyata jujur atau uji Tukey dengan formula (Steel, Torrie 1991) : W = qá (p, ƒe) S• dimana : qá = Taraf nyata yang diperoleh dari tabel wilayah. p = t adalah jumlah perlakuan fe = Derajat bebas galat Sy = (S2/r)1/2 3.4.3. Hipotesis H0 = Perlakuan kitosan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas enzim. H1 = Perlakuan kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas enzim.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Mutu Kitosan Kitosan pada penelitian ini dibuat dari cangkang udang yang berasal dari pabrik pembekuan udang di daerah Muara Baru, Jakarta Utara. Pembuatan kitosan berdasarkan metode Suptijah et al. (1992). Analisis mutu kitosan cangkang udang yang diperoleh pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi dan viskositas disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis mutu kitosan Parameter fisika kimia
Nilai
Kadar abu (%)
0
Kadar air (%)
7
Kadar nitrogen (%)
4,93
Derajat deasetilasi (%)
95,3
Viskositas (Cps)
39,5
Kadar abu merupakan parameter yang penting untuk menentukan mutu kitosan. Kadar abu menunjukan banyaknya kandungan mineral yang masih tersisa dalam suatu bahan.
Tingkat
kemurnian kitosan semakin tinggi dengan semakin rendahnya kadar abu kitosan. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi.
Efektifitas demineralisasi dapat
dilihat dari penurunan kadar abu kitosan yang dihasilkan. Kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian adalah 0%. Nilai kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses penghilangan mineral dari cangkang udang dengan larutan HCl 1 N atau demineralisasi berlangsung dengan sempurna. Reaksi kimia yang terjadi antara asam klorida (HCl) dengan kalsium CaCO3 dan Ca3(PO4)2 pada proses ini, akan menghasilkan kalsium klorida yang mengendap dan mudah dipisahkan dengan produk sedangkan asam karbonat dan asam fosfat larut dalam air. Kadar abu kitosan diduga dipengaruhi oleh proses perendaman cangkang udang selama 20 jam, suhu demineralisasi yang tinggi, konsentrasi HCl yang cukup rendah sebesar 1,5 N, proses pengadukan yang konstan serta proses pencucian cangkang dengan menggunakan air mengalir, sehingga memungkinkan terbuangnya mineral yang mengendap dan terlarut dalam larutan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar abu adalah proses demineralisasi yang cukup lama, suhu, pencucian dan konsentrasi HCl, karena semakin pekat HCL yang digunakan semakin banyak garam mineral yang dapat dihilangkan (Chandrakrachang et al. 1998 diacu dalam Susanto et al. 2002). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan (Karmas 1982). Pengadukan yang konstan diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen sehingga asam yang digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan.
Parameter mutu kitosan lainnya adalah kadar air. Kadar air kitosan yang diperoleh adalah 7%. Kadar air ini dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan kitosan, metode pengeringan, karakteristik kitosan, serta penyimpanan dan pengemasan.
Kitosan yang dihasilkan pada
penelitian dikeringkan dengan metode pengeringan tradisional menggunakan cahaya matahari selama 3 hari dan disimpan dengan kemasan plastik polyetilen pada suhu ruang. Cara pengemasan dan penyimpanan yang baik akan menghasilkan kitosan dengan kadar air yang rendah (Suhardi 1993 diacu dalam Susanto et al. 2002). Pengemasan dan penyimpanan kitosan berkaitan erat dengan karakteristik kitosan.
Menurut Knorr (1984), kitosan mampu
mengikat air dan minyak karena mempunyai gugus polar dan non polar. Jumlah air yang dapat diikat kitosan sekitar 325-440 (w/w). Kadar protein dan kadar mineral yang dihilangkan pada proses demineralisasi dan deproteinasi akan meningkatkan daya ikat kitosan terhadap air, oleh karena itu setelah proses pengeringan kitosan harus disimpan dengan pengemasan yang baik (Hong et al. 1989 diacu dalam Sugihartini 2001). Kadar nitrogen ditentukan oleh proses deproteinasi atau penghilangan protein dengan menggunakan NaOH 3,5 N. Kadar nitrogen kitosan yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 4,93%. Kadar nitrogen yang rendah menunjukkan kandungan total nitrogen yang tersisa pada kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen dari gugus lain. Efektifitas deproteinasi dapat dilihat dari penurunan kadar nitrogen pada kitosan yang dihasilkan.
Keefektifan proses
deproteinasi ini tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu proses. Larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah cangkang udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein pada saat proses deproteinasi. Purwatiningsih (1992) menyatakan bahwa ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH larutan yang menyebabkan terjadinya pengendapan natrium. Penghilangan protein berfungsi untuk menekan proses enzimatik dan degradasi protein pada cangkang udang oleh bakteri sehingga diperoleh kitosan yang baik. Sisa protein berkaitan dengan terdapatnya gugus amino bebas yang dapat mengikat asam yang mengakibatkan mutu kitosan semakin menurun, oleh karena itu kitosan diharapkan mempunyai kadar nitrogen sekecil mungkin. Parameter mutu kitosan berikutnya adalah derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil pada kitosan yang dapat dihilangkan dari kitin sehingga dihasilkan kitosan. Penggunaan derajat deasetilasi sebagai parameter mutu kitosan disebabkan oleh adanya gugus asetil pada kitosan yang dapat menurunkan efektifitas kitosan. Knorr (1982) menjelaskan bahwa derajat deasetilasi kitosan yang tinggi menunjukkan rendahnya gugus asetil yang terdapat pada kitosan, sehingga kitosan yang dihasilkan semakin murni. Konsentrasi gugus asetil yang besar dalam kitosan dapat menyebabkan lemahnya interaksi antar ion dan ikatan hidrogen yang akhirnya mempengaruhi efektifitas kitosan (Ornum 1992). Derajat deasetilasi kitosan hasil penelitian ini adalah sebesar 95,3%.
Tingginya nilai
derajat deasetilasi diduga dipengaruhi oleh penggunaan suhu dan konsentrasi NaOH yang tinggi. Suhu yang digunakan pada saat proses deasetilasi adalah 130 oC selama 1 jam dengan konsentrasi
NaOH 50%. Menurut Fauzan (2001), reaksi kimia yang berlangsung pada saat proses ini adalah antara NaOH dengan gugus N-asetil pada kitin (rantai C-2) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil dengan gugus amina (-NH2). Proses pencucian akhir kitosan dengan menggunakan air panas dan akuades diduga juga dapat mempengaruhi nilai derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan. Air panas yang digunakan pada proses pencucian menyebabkan larutan NaOH terlepas dan tidak terserap kembali oleh cangkang yang sudah menjadi kitosan.
Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini telah
memenuhi syarat untuk diaplikasikan pada bidang farmasi dan bioteknologi, karena nilai derajat deasetilasinya yang cukup tinggi. Parameter berikutnya yang menentukan mutu kitosan adalah viskositas. Nilai viskositas yang tinggi menunjukkan mutu kitosan yang baik, akan tetapi pemilihan tinggi atau rendah nilai viskositas, tergantung pada tujuan penggunaan kitosan. Kitosan dengan viskositas rendah digunakan sebagai absorben logam berat, sedangkan kitosan dengan viskositas tinggi digunakan sebagai emulsifier dan stabilizer (Chandrakrachang et al. 1991 diacu dalam Sugihartini 2001). Subasinghe (1999), menyatakan bahwa di beberapa negara Eropa kitosan dengan spesifikasi viskositas rendah (5-50 cps) telah banyak digunakan pada industri farmasi dan industri bioteknologi. Viskositas kitosan yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 39,5 cps. Kitosan yang dihasilkan termasuk kategori viskositas rendah. Rendahnya nilai viskositas kitosan ini, diduga dipengaruhi oleh karakteristik cangkang udang yang digunakan, lamanya perendaman dalam larutan asam klorida sebelum proses demineralisasi dan suhu proses yang digunakan. Cangkang udang yang digunakan pada penelitian ini agak tipis, selain itu sebelum proses demineralisasi cangkang direndam selama 20 jam dalam larutan HCl 1.5 N, sehingga nilai viskositas kitosan yang dihasilkan rendah. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai viskositas kitosan adalah perbandingan volume basa dengan kitin yang digunakan dalam proses deasetilasi, konsentrasi asam klorida dan lamanya waktu proses demineralisasi (Morjari et al.1975 diacu dalam Sugihartini 2001).
Panas yang
digunakan selama proses deasetilasi juga dapat menyebabkan suatu polimer mengalami depolimerisasi yang selanjutnya menyebabkan terjadinya pemecahan rantai molekul polimer sehingga berat molekul dan viskositas polimer menurun sejalan dengan meningkatnya suhu (Bastaman 1989). Berdasarkan hasil analisis mutu kitosan didapatkan bahwa, kitosan yang dihasilkan dalam penelitian telah ini memenuhi standar mutu kitosan laboratorium PROTAN Jepang dari aspek analisis kadar air • 10%, kadar abu • 2%, kadar nitrogen • 5%, derajat deasetilasi • 70% dan nilai viskositas < 200 cps. Kitin dan kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kitin dan kitosan dari cangkang udang 4.2.
Imobilisasi Enzim Teknologi imobilisasi dimaksudkan agar penggunaan enzim sebagai biokatalis dapat
menjadi lebih efisien. Bahan pengimobil akan menempatkan enzim dalam suatu matriks sehingga diharapkan dapat memudahkan pemisahan enzim dari substrat dan produk, dan enzim dapat digunakan secara berulang. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode imobilisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sifat bahan, reaksi kimia yang terjadi, biaya, stabilitas kimia-fisika dari reaktan dan biokatalis serta hasil dan kemurnian produk yang diinginkan (Chibata 1978). Teknik imobilisasi enzim yang digunakan tergantung perbedaan sudut komplesitas dan efisiensi serta nilai ekonomis (Malcata et al.1990 diacu dalam Pereira 2003). Imobilisasi enzim dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengikatan silang (crosslinking) pada matriks penyangga. Matriks penyangga yang digunakan adalah kitosan dan pereaksi bifungsional glutaraldehid.
Imobilisasi enzim dengan pengikatan silang memiliki beberapa
keuntungan yaitu ikatan kovalen yang terbentuk tidak mudah putus akibat adanya pengaruh pH, kekuatan ion atau substrat, stabilitas enzim imobil yang tinggi, proses pembuatan dan biaya proses yang tidak terlalu mahal, namun ada kemungkinan enzim menjadi tidak aktif sebagian atau seluruhnya akibat reaksi kimia yang terjadi selama pembentukan ikatan kovalen tersebut, atau akibat pengikatan yang terjadi pada pusat aktif enzim (Kennedy 1985 diacu dalam Smith 1990). Enzim papain dan bromelin terimobil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Enzim papain dan bromelin terimobil
Enzim terimobilisasi umumnya mempunyai aktivitas yang lebih rendah dibanding dengan enzim bebasnya.
Terdapat beberapa hambatan yang terjadi jika enzim berada dalam bentuk
imobil. Hambatan yang menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas pada enzim imobil antara lain, pengaruh pembagian (partioning), pengaruh hambatan difusi dan pengaruh hambatan sterik (Klibanov 1983 diacu dalam Said, Muljono 1989). Enzim dalam bentuk imobil, sifat-sifat fisiko kimia fase barunya berbeda dengan fase lama, oleh karena itu semua komponen proses enzimatik seperti substrat, ion-ion hidrogen, produk, penghambat, aktifator, kofaktor dan lainnya dibagi antara fase enzim imobil dan fase cairan luar. Hambatan difusi terbagi menjadi dua bagian yaitu difusi eksternal dan difusi internal. Difusi eksternal disebabkan adanya transpor substrat dari larutan ke permukaan biokatalis melalui lapisan batas ikatan dengan air. Difusi internal disebabkan substrat harus berdifusi masuk ke bagian dalam manik enzim imobil.
Hambatan sterik hanya terjadi jika molekul substrat
mempunyai berat molekul yang tinggi. Adanya hambatan-hambatan tersebut akan mempengaruhi aktivitas enzim, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi enzim (Klibanov 1983 diacu dalam Said, Muljono 1989). Penurunan aktivitas tersebut juga terjadi pada proses imobilisasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan metode pengikatan silang (cross-linking) berdasarkan metode Stanley et al. (1975). Enzim yang terikat oleh matriks penyangga (support) kemungkinan besar aktivitasnya dapat menurun (Chibata 1978), hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti : a)
molekul enzim terimobilisasi berada dalam konfigurasi yang menghalangi substrat masuk ke sisi aktif enzim;
b)
grup reaktif pada sisi aktif enzim mungkin dilibatkan dalam pengikatan dengan penyangga;
c)
molekul enzim selama pengikatan berada dalam konfigurasi inaktif;
d)
kondisi reaksi pengikatan mungkin mengakibatkan denaturasi dan inaktivasi enzim.
4.3. Aktivitas Enzim Aktivitas atau keaktifan suatu enzim dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Menurut metode kualitatif, keaktifan enzim diukur dengan reaksi kimia yaitu dengan menggunakan substrat yang dapat dikatalis oleh enzim tersebut, dan secara kuantitatif aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur laju reaksi tersebut. Berdasarkan cara pengukuran tersebut maka jumlah enzim lebih banyak dinyatakan dalam bentuk keaktifan enzim dan dinyatakan dalam satuan atau unit enzim (Winarno 1995). Keaktifan enzim dalam penelitian ini ditentukan secara kuantitatif yaitu, dengan mengukur aktivitas enzim dan aktivitas spesifik enzim. Aktivitas enzim yang terukur dinyatakan dalam satuan unit (U) atau International Unit (IU). Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menyebabkan pengubahan 1,0 mikromol (µmol = 10-6 mol) substrat per menit pada 25 oC pada keadaan pengukuran optimal (Lehninger 1993). 4.3.1.
Enzim papain
Enzim papain merupakan suatu sulfhidril protease dari getah pepaya (Muchtadi et al. 1992). Enzim ini mempunyai spesifikasi yang luas dan telah banyak digunakan pada berbagai industri. Enzim papain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengempuk daging komersial. Penentuan aktivitas enzim papain terimobil dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan enzim imobil semi basah. Enzim imobil dalam kondisi semi basah dimaksudkan untuk mempermudah penggunaannya dan mudah mengembalikan bahan penyangga kitosan pada bentuk semula, selain itu enzim papain semi basah lebih mudah dipertahankan stabilitasnya selama penyimpanan terhadap pengaruh suhu dan mikroorganisme yang dapat menurunkan aktivitas enzim yang terikat pada matriks. Data hasil imobilisasi yang diperoleh disajikan pada Gambar 10 sebagai rata-rata, sedangkan data mentah hasil pengukuran aktivitas enzim papain terdapat pada
Aktivitas Enzim (U/ml/menit)
Lampiran 4.
0.0190
0.0200 0.0180 0.0160 0.0140 0.0120
0.0143 0.0122 0.0129 0.0128 0.0126 0.0119 0.0120 0.0122 0.0113 0.0108
0.0100 0.0080 0.0060 0.0040 0.0020 0.0000
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Perlakuan (g)
Gambar 10. Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim imobil
papain
Imobilisasi enzim dilakukan dua kali ulangan dengan perlakuan matriks kitosan 0-1 gram. Aktivitas enzim papain yang terukur sangat bervariasi. kitosan) mempunyai aktivitas rata-rata sebesar
Enzim papain tanpa perlakuan (0 g
0,0108 U/ml/menit.
Enzim papain yang
mendapatkan perlakuan kitosan, rata-rata mempunyai aktivitas yang lebih tinggi daripada enzim bebasnya, yaitu berkisar antara 0,0113-0,0190 U/ml/menit. Aktivitas Enzim papain imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,6 g kitosan yaitu sebesar 0,0113 U/ml/menit, enzim papain imobil tertinggi yaitu sebesar
sedangkan aktivitas
0,0190 U/ml/menit diperoleh pada
perlakuan 1 g kitosan. Aktivitas enzim imobil sebesar 0,0190 U/ml/menit termasuk sangat rendah bila dibandingkan dengan aktivitas enzim papain murni yang diproduksi oleh Sigma Chemical Co.USA. Hasan (2000) menyatakan aktivitas enzim papain murni yang diproduksi oleh Sigma Chemical Co.USA yaitu sebesar 32887 ± 0,89 U/ml/menit atau 1068,87 U/g untuk getah pepaya semangka paris hasil dari pemurnian.
Analisis statistik data terhadap hipotesis rancangan percobaan diperoleh kesimpulan tolak H0. Kesimpulan ini diperoleh dari perbandingan besarnya nilai Fhitung terhadap nilai Ftabel. Nilai Fhitung yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% adalah sebesar 9,643 dan nilai Ftabel yang diperoleh adalah 2,854 sehingga, terlihat bahwa Fhitung > Ftabel yang berarti terima hipotesis H1. Hipotesis H1 artinya, ada satu perlakuan kitosan atau lebih yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim imobil. Berdasarkan kesimpulan di atas maka data dianalisis lebih lanjut dengan uji lanjut untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut terhadap aktivitas enzim setelah diberi perlakuan kitosan menjelaskan bahwa, hanya ada satu perlakuan kitosan yang memberikan hasil berbeda nyata dengan semua konsentrasi perlakuan kitosan
(0-0,9 g kitosan) yaitu perlakuan 1 g kitosan.
Nilai aktivitas enzim imobil yang berbeda nyata pada perlakuan 1 g kitosan diduga karena terjadinya konformasi yang tepat pada pembentukan ikatan intramolekul dan intermolekul antara enzim dengan matriks kitosan dan pereaksi glutaraldehid yang ditambahkan. Miao dan Swee (2000) menyatakan bahwa enzim dan kitosan tidak dapat berikatan secara langsung, oleh karena itu diperlukan glutaraldehid sebagai jembatan penghubung.
Gugus amino dari kitosan akan
berikatan dengan gugus aldehid dari glutaraldehid, demikian juga gugus amino dari enzim akan berikatan dengan gugus aldehid sehingga membentuk suatu jalinan gusus amino-pereaksi-molekul enzim. Mekanisme pembentukan ikatan silang (cross-linking) dapat dilihat pada Gambar 11.
O
O
H
H –C –C –H R – NH2
O
R –N= C–C –H
NH2 - Enzim
H H R – N = C – C = N – Enzim
Kitosan Gambar 11. Mekanisme pembentukan ikatan silang (Wang et al. 2005) Proses pembentukan ikatan silang (cross-linking) yang tepat memungkinkan aktivitas enzim imobil yang dihasilkan cukup tinggi. Reaksi pengikatan yang tepat ini dapat terjadi antara gugus –NH2 dari kitosan secara dominan terhadap gugus fungsional –CHO dari glutaraldehid. Juang et al. (2002) menjelaskan bahwa selama proses cross-linking gugus –CHO dari glutaraldehid dapat berikatan dengan –NH2 dari kitosan pada dua perbandingan molar yaitu 2:1 dan 1:1. Pengikatan silang pada rasio 1:1 menyebabkan adanya satu gugus –NH2 bebas dari kitosan yang dapat digunakan pada proses penyerapan sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim. Rasio 1:1 molar artinya satu molekul –CHO dari glutaraldehid hanya berikatan silang dengan satu molekul –NH2 dari kitosan. Menurut Hsien dan Rorrer (1995) gugus aktif pereaksi bifungsional glutaraldehid (–CHO) bereaksi secara simultan dengan dua sisi aktif dari kitosan (–NH2) selama proses pengikatan silang. Jumlah grup amino dari kitosan di alam kira-kira 6,2 × 10-4 mol dan jumlah maksimum dari glutaraldehid yang bereaksi dengan kitosan hanya 4,10 × 10-4 mol.
Fakta inilah yang
menyebabkan terjadinya mekanisme pengikatan silang antara satu molekul gugus –CHO glutaraldehid dengan satu molekul gugus amino kitosan. Hsien dan Rorrer (1995) menambahkan bahwa fenomena crosslinking ini juga dapat terjadi karena adanya polimerasi glutaraladehid yang dipengaruhi pH. Hasil uji lanjut yang tidak menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata dari berbagai perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim yang dihasilkan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Reaksi glutaraldehid atau matriks kitosan dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas enzim.
Faktor
berikutnya yang dapat menurunkan daya katalitik enzim adalah perubahan konformasi protein enzim. Perubahan konformasi terjadi karena modifikasi asam amino baik pada sisi aktif maupun non aktif enzim selama proses imobilisasi. Perubahan konformasi ini terjadi karena reaksi asam amino yang bersangkutan dengan senyawa pengikat atau matrik penyangga yang ditambahkan, selain itu perubahan konformasi ini juga dapat disebabkan oleh perubahan gaya-gaya yang menentukan keseluruhan struktur enzim seperti gaya elektrostatik, gaya vander walls dan interaksi hidrofobik. Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan selama proses imobilisasi dan penambahan molekul polimer penyangga atau senyawa kimia lain yang menginduksi perubahan tersebut (Suhartono 1989). Aktvitas enzim yang tidak berbeda nyata pada berbagai perlakuan kitosan ini diduga juga karena kondisi operasional yang menimbulkan denaturasi protein. Penurunan aktivitas selama proses operasi dipengaruhi oleh kecepatan aliran substrat atau pelarut kimia yang digunakan selain oleh perubahan pH, suhu, kekuatan ion dan kondisi fisik lainnya (Suhartono 1989). Imobilisasi
enzim
dengan
menggunakan
metode
cross-linking
umumnya
akan
menyebabkan enzim mengalami pengikatan silang setelah absorpsi pada zat penyangga atau matriks yang sesuai (Smith 1990).
Adsorpsi awal enzim terhadap matriks kitosan diduga
membentuk suatu ikatan ionik antara enzim dengan gugus amin dari kitosan dan dilanjutkan pengikatan silang dengan bantuan pereaksi glutaraldehid mengakibatkan pembentukan ikatan kovalen antara enzim dengan matriks yang mempunyai gugus fungsi aldehid.
Pembentukan
jaringan ini memungkinkan inhibitor tidak dapat menginaktivasi enzim, selain itu juga memungkinkan gugus aktif dari enzim papain bebas untuk bereaksi dengan substrat sehingga akan mampu meningkatkan daya katalitiknya (Goldstein, Mannecke 1976). Glutaradehid telah digunakan secara intensif dalam imobilisasi enzim. Wirawan (1987) menyatakan, pereaksi glutaraldehid banyak dipakai dalam penelitian imobilisasi enzim karena relatif murah dan metodenya juga mudah. Glutaraldehid telah digunakan juga sebagai pereaksi pengimobilisasian papain pada berbagai matriks. Konsentrasi glutaraldehid yang digunakan pada penelitian ini adalah 1% dengan konsentrasi dalam campuran 0,1% total volume. Konsentrasi yang sama juga telah digunakan untuk mengimobilisasi enzim papain pada matriks kitin kepiting (Finley et al. 1997 diacu dalam Heryani 1998) dan Wirawan (1987) untuk mengimobilisasi papain
pada kitin cangkang udang, sedangkan Mayangsari (1995) menyatakan bahwa penggunaan glutaraldehid
4.3.2.
0,1% adalah baik untuk menentukan protease imobil selanjutnya.
Enzim bromelin Enzim bromelin merupakan salah satu enzim protease yang diperoleh dari tanaman
keluarga Bromeliaceae.
Penelitian ini menggunakan pengempuk
daging komersial sebagai
sumber enzim bromelin. Imobilisasi enzim dilakukan dua kali ulangan dengan perlakuan matriks kitosan 0-1 gram. Aktivitas enzim bromelin yang terukur sangat bervariasi.
Enzim bromelin tanpa perlakuan
(kontrol) mempunyai aktivitas rata-rata sebesar 0,0112 U/ml/menit, sedangkan enzim bromelin dengan perlakuan kitosan,
mempunyai aktivitas yang lebih kecil daripada enzim tanpa
perlakuan, yaitu berkisar antara 0,0011-0,0108 U/ml/menit. Aktivitas Enzim bromelin imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan yaitu sebesar 0,0011 U/ml/menit, sedangkan aktivitas enzim bromelin imobil tertinggi yaitu sebesar
0,0108 U/ml/menit diperoleh
pada perlakuan 1 g kitosan. Histogram data hasil imobilisasi yang diperoleh disajikan pada Gambar 12 sebagai rata-rata, sedangkan data mentah hasil pengukuran aktivitas enzim bromelin
Aktivitas Enzim (U/ml/menit)
terdapat pada Lampiran 4.
0.0120
0.0112
0.0108
0.0100 0.0080
0.0066
0.0060
0.0047 0.0043 0.0028
0.0040
0.0034
0.0041 0.0031
0.0018
0.0020 0.0000
0.0011
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Perlakuan (g)
Gambar 12. Histogram hubungan perlakuan kitosan dengan aktivitas enzim imobil.
bromelin
Hasil analisis statistik terhadap hipotesis rancangan percobaan memberikan kesimpulan terima H0. Kesimpulan ini diperoleh dari perbandingan besarnya nilai Fhitung terhadap nilai Ftabel. Nilai Fhitung yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% yaitu, sebesar 1,896 dan nilai Ftabel yang diperoleh adalah 2,854 sehingga terlihat bahwa Fhitung < Ftabel. Kesimpulan yang diperoleh adalah terima H0, artinya tidak ada perlakuan kitosan yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim imobil.
Perlakuan kitosan berbagai konsentrasi yang tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim bromelin imobil diduga disebabkan oleh perubahan konformasi protein enzim akibat proses imobilisasi. Perubahan konformasi molekul enzim terjadi karena modifikasi asam amino pada sisi aktif maupun sisi non aktif enzim. Perubahan konformasi ini terjadi karena reaksi asam amino yang bersangkutan dengan senyawa pengikat atau matrik penyangga yang ditambahkan selain itu perubahan konformasi ini juga disebabkan oleh perubahan gaya-gaya yang menentukan keseluruhan struktur enzim seperti gaya elektrostatik, gaya vander walls dan interaksi hidrofobik karena pengaruh lingkungan selama proses imobilisasi atau penambahan molekul polimer penyangga dan senyawa kimia lain yang menginduksi perubahan ini (Suhartono 1989). Rendahnya nilai aktivitas enzim bromelin imobil yang diperoleh terutama pada perlakuan 0,1 g dan 0,7 g kitosan dimana besarnya aktivitas enzim yang diperoleh masing-masing 0,0011 U/ml/menit dan 0,0018 U/ml/menit disebabkan oleh terjadinya reaksi antara enzim dengan glutaraldehid yang menyebabkan terdegradasinya enzim. Glutaraldehid mempunyai potensi untuk menghambat aktivitas protease yaitu bereaksi dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim (Goldstein, Manecke 1976). Aktivitas enzim imobil yang rendah dapat juga disebabkan oleh banyaknya sisi aktif enzim yang ikut terlibat dalam pembentukan ikatan silang pada proses imobilisasi, selain itu adanya tahanan pada matriks enzim imobil juga dapat menghambat pertemuan substrat dengan enzim sehingga aktivitas enzim menurun (Chibata 1978). Rendahnya nilai aktivitas enzim bromelin pada kedua perlakuan diduga juga karena terjadinya faktor pembagian (partioning). Kelemahan kitosan sebagai matriks penyangga adalah sifatnya yang porous. Sifat porous ini memungkinkan terjadinya efek partisi akibat adanya ruangruang mikrokopis pada matriks yang terjenuhi oleh substrat dan produk sehingga substrat yang memiliki ukuran molekul yang relatif lebih besar akan sulit kontak dengan sisi aktif enzim (Messing 1975 diacu dalam Smith 1990). Penyebab rendahnya aktivitas enzim bromelin imobil diduga juga karena pengukuran aktivitas enzim terimobil dilakukan pada pH dan suhu optimum enzim bebasnya, sedangkan enzim bromelin imobil akan mengalami perubahan sifat seperti aktivitas spesifik, parameter Km, pH, suhu optimum dan sebagainya (Suhartono 1991). Suhu dan pH optimum enzim terimobilisasi dapat berubah atau tetap tergantung pada sifat enzim dan sifat bahan pengikat tersebut (Suhartono 1989), oleh karena itu nilai aktivitas enzim imobil yang diperoleh tidak maksimal dan cenderung menurun karena diukur berdasarkan kondisi enzim bebasnya (kontrol). Absorpsi awal enzim terhadap matriks kitosan diduga ikut mempengaruhi aktivitas enzim imobil. Absorpsi enzim ini dipengaruhi oleh karakteristik kitosan. Kitosan sebagai polisakarida mempunyai kerangka gula dan sifat yang unik yaitu memiliki gugus amin yang bermuatan positif. Muatan positif ini mengakibatkan gaya tarik menarik yang sangat baik dengan suspensi dalam cairan seperti selulosa dan polimer glikoprotein. Gugus positif kitosan akan berpengaruh kuat pada bahan yang memiliki gugus negatif (protein, anion, polisakarida dan asam nukleat) membentuk ion netral (Sandford, Hucthings 1987). Kekuatan ion juga akan mempengaruhi struktur kitosan. Kekuatan ion akan memberikan pengaruh terhadap sifat kaku matriks kitosan, daya gembung dan
ukuran pori-pori matriks (Rha 1984 diacu dalam Suyanti 2003).
Porositas granular kitosan
berpengaruh terhadap peningkatan kereaktifan grup-grup amino kitosan. Berdasarkan sifat-sifat kitosan tersebut dapat diduga pengaruhnya terhadap aktivitas enzim imobil yang dihasilkan. Proses imobilisasi enzim dengan menggunakan matriks kitosan memungkinkan tidak hanya mengikat enzim, tetapi juga senyawa-senyawa lain yang bermuatan negatif, sehingga matriks kitosan akan terjenuhi oleh senyawa tersebut. Matriks kitosan yang sudah jenuh tidak dapat mengikat protein enzim dengan maksimal sehingga banyak protein enzim yang terlarut ataupun terikat dengan glutraldehid dalam cairan yang terbuang pada proses pencucian. Terbuangnya enzim pada proses pencucian membuat jumlah enzim yang terikat pada matriks sedikit dan aktivitas enzim yang terukur pun sangat rendah pada semua perlakuan kitosan terutama pada perlakuan 0,1 g dan 0,7 g kitosan. 4.4. Aktivitas Spesifik Enzim Aktivitas spesifik adalah jumlah unit enzim per miligram protein. Aktivitas spesifik adalah ukuran kemurnian suatu enzim. Nilai aktivitas enzim akan meningkat selama pemurnian enzim dan akan menjadi maksimum serta konstan jika enzim sudah berada dalam keadaan murni (Lehninger 1993). Aktivitas spesifik umumnya digunakan untuk preparat enzim yang murni, namun dapat juga digunakan untuk preparat enzim yang tidak murni (Winarno 1995). 4.4.1.
Enzim papain Informasi penting yang perlu diperhatikan dalam mengetahui aktivitas spesifik enzim
adalah jumlah protein yang terikat pada enzim imobil. Jumlah protein yang terikat pada perlakuan 0 sampai 1 g kitosan dapat dilihat pada Lampiran 5. Perlakuan kontrol mempunyai jumlah protein tertinggi yaitu 0,215 mg protein bila dibandingkan dengan jumlah protein pada enzim imobil. Jumlah protein tertahan pada enzim imobil yang paling rendah diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan yaitu sebesar 0,092 mg protein, sedangkan jumlah protein tertahan pada enzim imobil papain yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan 0,7 g kitosan. Enzim merupakan protein dimana aktivitas katalitiknya bergantung pada integritas strukturnya sebagai protein. Asam-asam amino yang menyusun enzim sangat mempengaruhi aktivitas katalitiknya sebagai enzim (Lehninger 1993). Aktivitas spesifik enzim papain imobil yang disajikan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa aktivitas enzim dengan perlakuan kitosan mempunyai nilai aktivitas spesifik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai aktivitas spesifik enzim kontrol yaitu 0,0948 U/mg protein enzim, sedangkan nilai aktivitas spesifik enzim imobil berkisar antara 0,0940-0,1432 U/mg protein enzim dengan aktivitas spesifik terendah pada perlakuan 0,7 g kitosan dan aktivitas spesifik tertinggi pada perlakuan 1 g kitosan.
Aktivitas Enzim (U/mg protein)
0.1600 0.1291
0.1400 0.1200
0.1432
0.1305 0.1158 0.1165
0.1198 0.1097 0.0940
0.1033 0.1024
0.1000 0.0800 0.0600
0.0498
0.0400 0.0200 0.0000
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Perlakuan (g)
Gambar 13. Histogram hubungan perlakuan kitosan dengan aktivitas spesifik enzim papain imobil. Aktivitas spesifik enzim kontrol yang rendah dengan konsentrasi protein yang terukur sangat tinggi diduga disebabkan oleh adanya kemungkinan protein enzim papain terinaktivasi oleh lingkungan bercahaya yang menyebabkan terjadinya oksidasi pada gugus aktif enzim (Suhartono 1991). Enzim papain dapat terinaktivasi oleh senyawa pengganggu gugus tiol seperti oksidator, disulfida, iodo asetat, pereaksi aldehid, senyawa pengalkil dan logam berat (Muchtadi et al. 1992). Jumlah protein yang tertahan pada enzim imobil dengan perlakuan 0,7 g kitosan termasuk tinggi, tetapi aktivitas enzim spesifik yang dihasilkan cukup rendah. Rendahnya aktivitas spesifik pada perlakuan ini mungkin disebabkan perubahan konformasi molekul enzim selama proses imobilisasi. Perubahan konformasi ini terjadi karena reaksi asam amino yang bersangkutan dengan senyawa pengikat atau matriks penyangga yang ditambahkan (Suhartono 1989) sehingga asamasam amino penyusun protein enzim papain tersebut memberikan aktivitas katalitik spesifik yang rendah. Jumlah protein tertahan yang tinggi dengan aktivitas spesifik yang rendah diduga dipengaruhi oleh stabilitas operasional. Kondisi operasional yang tidak stabil dapat menyebabkan denaturasi protein enzim dan molekul penyangga karena kecepatan aliran substrat atau pelarut lainnya selain disebabkan oleh perubahan pH, suhu, kekuatan ion dan kondisi fisik lainnya (Suhartono 1989). Jumlah protein tertahan yang rendah dengan aktivitas spesifik enzim yang tinggi diduga disebabkan oleh tidak terjadinya perubahan konformasi dari molekul protein enzim secara signifikan. Hal ini dapat dijelaskan karena enzim berada dalam bentuk ikatan silang yang mantap dan tepat dengan kitosan melalui bantuan pereaksi glutaraldehid. Enzim yang direaksikan dengan bantuan glutaraldehid pada konsentrasi tertentu dengan pH, suhu, kekuatan ion, medium reaksi dan waktu reaksi yang tepat akan membentuk tingkat cross-linking yang diinginkan yang membuat enzim tidak larut (Suhartono 1989). Kitosan yang digunakan sebagai molekul penyangga juga
dapat berperan sebagai pelindung molekul protein enzim dari kondisi fisik yang ekstrim. Kitosan mempunyai struktur berpori sehingga memberikan keuntungan berupa luas permukaan ikatan serta perlindungan protein enzim dalam porinya terhadap kerusakkan fisik oleh lingkungan (Messing 1975 diacu dalam Mayangsari 1995). 4.4.2. Enzim bromelin Berdasarkan data yang dihasilkan pada pengukuran kandungan protein enzim bromelin, diperoleh jumlah protein tertinggi pada enzim tanpa perlakuan (kontrol) yaitu sebesar 0,304 mg protein enzim. Jumlah protein tertahan pada enzim bromelin imobil berkisar antara 0,078-0,234 mg protein enzim dengan kandungan protein yang tertinggi pada perlakuan 1 g kitosan dan jumlah protein tertahan yang paling rendah pada enzim yang diberi perlakuan 0,9 g kitosan. Kandungan protein enzim bromelin yang tertahan pada matriks dipengaruhi oleh karakteristik kitosan. Menurut Shahidi et al. (1999) kitosan memiliki tiga gugus fungsi yang reaktif yaitu sebuah gugus amino, gugus hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3 dan C-6 secara berurutan. Gugus amino yang bermuatan positif memiliki afinitas atau daya tarik menarik yang sangat baik dengan suspensi dalam cairan. Gugus amino ini akan berikatan kuat dengan bahan yang bermuatan negatif seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat membentuk ion netral. Enzim merupakan protein yang memiliki sifat katalitik, oleh karena itu enzim dapat diserap oleh kitosan. Proses penyerapan enzim juga berhubungan dengan gugus hidrofilik di dalam molekul kitosan yang menyebabkan kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan tersuspensi dalam air. Penambahan konsentrasi kitosan yang semakin besar diharapkan memberikan kemungkinan tingginya kandungan protein enzim yang tertahan, namun kandungan protein enzim bromelin tertahan yang terukur pada penelitian ini berbanding terbalik dengan perlakuan kitosan yang diberikan. Kandungan protein enzim yang tertahan semakin kecil dengan bertambah besarnya perlakuan konsentrasi kitosan. Rendahnya kandungan protein enzim yang tertahan diduga berhubungan dengan daya serap atau daya ikat dari matriks kitosan. Kitosan mungkin saja mengikat bahan-bahan yang tersuspensi dalam larutan enzim sepert anion polisakarida, protein non enzim dan senyawa pengotor lainnya terlebih dahulu karena memiliki bobot molekul yang lebih rendah, sedangkan protein dari enzim bromelin dengan bobot molekul 33.000 dalton tidak mampu diserap secara maksimal (Suhartono 1991). Selektifitas pengikatan molekul ini memungkinkan matriks kitosan dengan konsentrasi rendah akan cepat jenuh oleh bahan-bahan tersuspensi yang berbobot molekul rendah dibandingkan dengan kitosan konsentrasi tinggi yang masih dapat mengikat protein enzim secara lebih baik. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa perlakuan 0,1 g kitosan memberikan aktivitas spesifik yang terendah bila dibandingkan dengan semua perlakuan yaitu sebesar 0,0036
U/mg protein enzim. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil tertinggi diperoleh pada perlakuan
Aktivitas Enzim (U/mg protein)
1 g kitosan, dengan aktivitas spesifik sebesar 0,0733 U/mg protein enzim.
0.0800
0.0733
0.0700 0.0600 0.0500 0.0400
0.0494 0.0338 0.0340 0.0285
0.0374
0.0318
0.0300
0.0171
0.0200
0.0132
0.0100 0.0000
0.0303
0.0036
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Perlakuan(g)
Gambar 14. Histogram hubungan perlakuan kitosan dengan aktivitas spesifik bromelin imobil.
enzim
Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil pada perlakuan 0,1 g kitosan sangat rendah bila dibandingkan dengan aktivitas spesifik enzim semua perlakuan (Gambar 14) walaupun jumlah protein enzim yang tertahan sangat tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan (Lampiran 5). Faktor yang mempengaruhi hal ini diduga disebabkan enzim telah mengalami kerusakan selama proses imobilisasi akibat pengaruh pereaksi glutaraldehid ataupun matriks kitosan yang ditambahkan. Penambahan senyawa pengikat atau polimer penyangga dapat menyebabkan perubahan konformasi molekul enzim yang berupa modifikasi asam amino baik pada sisi aktif maupun sisi non aktif (Suhartono 1989). Pembentukan ikatan silang menyebabkan kemungkinan enzim menjadi tidak aktif sebagian atau seluruhnya akibat reaksi kimia selama cross-linking atau akibat pengikatan pada pusat aktif enzim (Smith 1990). Aktivitas spesifik enzim imobil yang tinggi seperti yang diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan dengan jumlah protein terikat yang sangat kecil (Lampiran 5) diduga karena adanya selektifitas dari matriks kitosan. Gugus reaktif kitosan hanya berikatan dengan protein enzim melalui bantuan pereaksi glutaraldehid dalam konformasi yang tepat dengan tidak mengganggu gugus sulfhidril sebagai gugus aktif enzim bromelin, sehingga nilai aktivitas spesifik enzim yang terukur masih mempertahan daya kataliknya. Juang et al. (2002) menyatakan pengikatan satu molekul –CHO dari glutaraldehid dengan hanya satu gugus –NH2 dari kitosan dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas enzim imobil. Konsentrasi kitosan yang ditambahkan juga ikut memberikan pengaruh terhadap nilai aktivitas spesifik enzim imobil yang dihasilkan. Pengikatan silang dapat terjadi dari berbagai sisi reaktif kitosan termasuk –NH2 dan –OH (Monteiro diacu dalam Juang et al. 2002), sehingga
dengan konsentrasi kitosan yang tinggi memberikan kemungkinan lebih besar untuk berikatan dengan molekul protein enzim secara lebih maksimal dan lebih spesifik melalui bantuan glutaraldehid sehingga aktivitas spesifik enzim pada perlakuan ini lebih tinggi. Hal sebaliknya berlaku juga terhadap perlakuan kitosan dengan konsentrasi yang rendah, karena konsentrasi kitosan yang rendah memberikan kemungkinan protein enzim yang terikat lebih kecil sehingga menyebabkan aktivitas spesifik enzim bromelin terimobil yang diperoleh pun menjadi rendah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap beberapa parameter mutu kitosan dari cangkang udang, pada penelitian ini telah dihasilkan kitosan yang sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan laboratorium PROTAN Jepang. Kadar abu yang dihasilkan sebesar 0%, kadar air 7%, kadar nitrogen 4,93%, derajat deasetilasi 95,3% dan viskositas sebesar 39,5 Cps. Aktivitas enzim papain imobil tertinggi diperoleh pada perlakuan 1 gram kitosan yaitu sebesar 0,0190 U/ml/menit, sedangkan aktivitas terendah yaitu sebesar 0,0113 U/ml/menit, diperoleh pada perlakuan 0,6 g kitosan. Aktivitas enzim papain imobil rata-rata yang dihasilkan lebih tinggi daripada tanpa perlakuan kitosan (kontrol). Berdasarkan analisis data, pada penelitian ini hampir semua perlakuan kitosan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan 1 g kitosan. Aktivitas enzim bromelin imobil tertinggi diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan, yaitu sebesar 0,0108 U/ml/menit dan aktivitas enzim bromelin terendah diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0011 U/ml/menit. Aktivitas enzim bromelin imobil rata-rata yang dihasilkan pada penelitian memiliki aktivitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Analisis secara keseluruhan terhadap perlakuan kitosan yang diberikan pada enzim bromelin tidak ada yang memperlihatkan pengaruh berbeda nyata. Aktivitas spesifik enzim papain imobil tertinggi diperoleh pada perlakuan
1 g kitosan
yaitu 0,1432 U/mg protein enzim, sedangkan aktivitas spesifik enzim terendah yaitu 0,0940 UI/mg protein enzim diperoleh pada perlakuan 0,7 g kitosan. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil yang terendah diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0036 U/mg protein enzim. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil yang diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan yaitu sebesar 0,0733 U/mg protein enzim merupakan aktivitas spesifik enzim tertinggi yang dihasilkan dari semua perlakuan kitosan pada enzim bromelin. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa kitosan dapat digunakan sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim protease. Perlakuan kitosan yang tepat digunakan untuk imobilisasi enzim berdasarkan penelitian ini adalah 1 g kitosan/g enzim ekstrak kasar (b/b). 5.2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ini, disarankan untuk melakukan pengujian terhadap karakteristik dari enzim imobil yang telah dihasilkan seperti penentuan pH optimum untuk enzim imobil, kestabilannya terhadap suhu tinggi dan penentuan jangka waktu pemakaian enzim imobil secara berulang. Perlu juga dilakukan imobilisasi enzim menggunakan kitosan dalam bentuk lain seperti membran, gel, fiber dan manik-manik berpori serta mencoba metode lain seperti metode carrier binding (pengikatan secara fisik, ikatan ionik dan ikatan kovalen) dan entraping (pemerangkapan). Disarankan juga untuk menggunakan enzim protease yang murni
agar dapat mengetahui pengaruh perlakuan kitosan secara lebih jelas serta mendapatkan aktivitas enzim imobil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Angka SL, Suhartono MT. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
[Anonim]. 2004. Why chitin. www.meronbiopolymers.com/html/mbio2apln.htm. [Mei 2005]. [Anonim].2003. Papain. http://www.diet-and-health.net/Supplements/Papain.html. [September 2004]
[AOAC] Association of Official Analytical and Chemists. 1995. Official Methods of Analysis the Association of Official Analytical and Chemists 16th ed. Virginia: Inc. Arlington. Ary AA. 2002. Produksi karet berprotein rendah dari lateks karet alam dengan menggunakan papain. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arief H. 1975. Papain. Bulletin Biokimia (1). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bastaman S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan form Prawn Shells (Nephrops norvegicus). Tesis, The Queen’s University of Belfast. Begin A, Marie RVC. 1999. Antimicrobial films produced from chitosan. Journal of Biological Macromolecules 26: 63-67. http://www.elsevier.com/locate/ijbiomac. [5 September 2004] Bergmeyer HV, Grassl. 1983. Methods of Enzymatic Analysis Vol. 2. Florida: Weinheim Deefield. Bough WA. 1975. Treatment of food processing waste with chitosan and nutritional evaluation of coagulated by products. Di dalam: Proceeding of the 1st International Conf. of Chitin Chitosan. Mit Sea Grant Program Cambridge. Mass
Bradford MM. 1976. A Rapid and sensitive methods for the quantitation of microgram quantitites of protein utilising the principle of protein dye binding. Anal Biochem 72:248-254. Brzeski MM. 1987. Chitin abd chitosan pathing waste to good use. Majalah Info fish 5(87). Budiman A. 2003. Kajian terhadap pengaruh etanol sebagai bahan pengendap dan pengaruh air, buffer fosfat serta etanol pada ekstraksi papain [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Chaplin J, Buckle GB. 1990. Enzyme Immobilization Technology. New York: AVI Publishing. Chibata I. 1978. Imobilized Enzyme, Research and Development. New York: John Wiley and Sons Inc. Daryono M, Muhidin D. 1974. Penentuan aktivitas dan produksi papain kasar tiap buah dari beberapa varietas pepaya. Bul Penelitian Hortikultura 6(4). Dixon M, Webb EE. 1979. Enzymes. New York: Academic Press.
[EDC] Enzyme Development Corporation. 1999. Meat Tenderizing, a Brief Disscusion. New York: EDC. Fauzan A. 2001. Pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu proses terhadap derajat deasetilasi kitosan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Frazier WL, Westhhoff DC. 1983. Food Microbiology. New Delhi: Mc.Graw Hill Publishing Company, Ltd. Girindra A. 1993. Biokimia 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Glazer AN, Smith EL. 1971. Papain and other plant sulfhydril proteolitic enzymes. Di dalam: Boyer PD, editor. The Enzymes Vol 3. New York: Academic Press. Gemeiner P. 1992. Enzyme Engineering: Immobilized Biosystem. New York: Ellis Horwood. Goldstein L, Mannecke G. 1976. The chemistry of enzyme immobilization. Di dalam: L.B. Wingard, E. Katchalski, L. Goldstein, editor. Applied Biochemistry and Bioengineering Vol 1. New York: Academic Press. Gotner WA, Singeleton VL. 1965. Chemical and physical development of the pineapple fruit III. nitrogenous and enzymes constituent. Journal Food Science 30:24-29 Harrison MJ, Burton NA, Hillier IH.. 1997. Catalytic mechanism of the enzyme papain. Prediction a hybrid quantum mechanical or molecular mechanical potential. Journal of American Chemical Society Vol 119:12885 – 12291. Hasan ODS. 2000. Pengaruh pemberian enzim papain dalam pakan buatan terhadap pemanfaatan protein dan pertumbuhan benih ikan Gurami [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heryani. 1998. Imobilisasi enzim protease dari limbah udang windu (Penaeus monodon) dengan menggunakan matriks kitin kulit udang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hsien TY, Rorrer GL. 1995. Effects of acylation and crosslinking on the material propertis and cadmium ion adsorption capacity of porous chitosan beads. Sep. sci. Tecnol, 30: 24552475. Indrawati T et al. 1983. Pembuatan Kecap Keong Sawah dengan Menggunakan Enzim Bromelin. Jakarta: D.N Balai Pustaka. Johnson EL, Peniston QP. 1982. Utilization of shellfish waste for chitin and chitosan production. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Westport Connecticut: AVI Publishing Company. hlm. 415-422 Juang RS, Feng CW, Ru LT. 2002. Use of chemically modifed chitosan beads for sorption and enzyme immobilzation. Elsevier 6:171-177 Kalk. 1975. Magnetic Relaxation in Protein Studies of Papain. Gronigen. Karmas E. 1982. Meat Poultry and Seafood Technology Recent Development Of Food. New Jersey: Rutgers University. Park Ridge Kennedy JF. 1985. Principles of Immobilization Enzymes. Di dalam: A. Wiseman, editor. Handbook of Enzyme Biotechnology. England: Ellis Horwood Limited. hlm. 147
Knorr D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science 48:36-41. . 1984. The use of chitinous polymer in food. J. Food Tech 38:85-94. Kokro F. 1987. Pembuatan kecap ikan dengan cara kombinasi hidrolisa dan fermentasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kumar MNVR. 2000. Chitin and chitosan fibres: An overviev on chitin and chitosan applications, reactive & funct. Polym. [April 2003] Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Maggy Thenawijaya. Penerjemah; Jakarta: Erlangga. Mayangsari Y. 1995. Imobilisasi protease Bacilus purnilus y1 menggunakan metoda pengikatan silang [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mckay G, Blair HS, Grant S. 1987. Desorption of copper from chopper-chitosan complex. J. Chem. Tech. Biotechnology 40: 63 Miao Y, Swee NT. 2000. Amperometric hydrogen peroxide biosensor based on immobilization of peroxidase in chitosan matrix crosslinked with glutaraldehide. Analyst 125:1591-1594 Muchtadi DS, NS Palupi dan M Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Muzzarelli RAA. 1985. Chitin in The Polysaccharides 3. Aspinal, editor. Orlando: Academic Press Inc. hlm.147 Ockerman HW. 1992. Fishery by-products. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York: VCH Publisher, Inc. Ornum JV. 1992. Shrimp waste must it be waste?. Info Fish 6: 48-52. Pereira EB. 2003. Immobilization and catalytic properties of lipase on chitosan for hydrolysis and esterification reaction. Braz. J. Chem. Eng. Vol. 20(4). www.scielo.br/scielo.php?pid=S0104663220030402&script=sci_arttext&tln45k [Mei, 2005]. Pohan L. 2002. Ekstraksi minyak kelapa sawit dengan menggunakan enzim bromelin nenas [skripsi]. Bogor: Faklutas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prasetyo KW. 2003. Pemanfaatan limbah cangkang udang sebagai bahan pengawet kayu ramah lingkungan. http://www.dprin.go.id/data/industry/abstech/abs0601.htm. [Mei, 2005] Purwatiningsih. 1992. Isolasi khitin dan senyawaan kimia dari limbah udang windu (Penaeus monodon).Buletin Kimia no 8 th 1992. Bogor: FMIPA IPB. Reed G. 1975. Enzymes in Food Processing. New York: Academic Press. Said EG, Muljono J. 1989. Biokonversi. Bogor: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, DIKTI, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Sandford PA, Hucthings GP. 1987. Chitosan and natural cationic biopolimer, comercial application. Di dalam: M Yalpani, editor. Industrial Polysaccharides. Proceeding of The Symposium on The Application and Modification of Industrial Polysaccarides; New York, 5-7 April 1987. New York: Elseiver Sci. Co. Inc.
Shahidi F, Janak KVA, You JJ. 1999. Food Applications of chitin and chitosan. J. Food Sci and Technology 10:37–51 Smith JE. 1990. Gramedia.
Prinsip Bioteknologi. Sumantri B, Subono A, penerjemah;. Jakarta:
PT.
Sophanodora P, S Benjakula. 1993. Convertion an utilition of from prawn shell. Di dalam: Ole BL, Buchanan A, Fardiaz D, editor. Development of Food Scince and Technology In Southest Asia. Proceeding at The 8th Asia Good Conference 1992; Jakarta, 17-21 Februari 1992. Indonesia. Stanley WL, Walters GG, Chan B, Mercer JM. 1975. Lactase and other enzyme bound to chitin with glutaraldehide. J. Biotech Bioeng 17:315-326. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Subasinghe S. 1999. Chitin from shellfish waste-health benefits over-shadowing industrial uses. Infofish International 3:58-65 Sugihartini L. 2001. Pengaruh asam klorida dan waktu demineralisasi khitin terhadap mutu kitosan dari cangkang rajungan (Portunus pelagicus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suhartono MT . 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
. 1991. Protease. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian
Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Susanto S. 1987. Imobilisasi enzim bromelin (EC. 3.4.22.4) dari hati nanas (annanas comosus (L) Merr) dengan menggunakan alginat sebagai matriks polimer [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Susanto T, Fadjar KH, Rakhmadiono S, Loekito AS. 2002. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tahap deproteinasi menggunakan enzim protease dalam pembuatan kitin dari cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). J. BIOSAIN volume 2(1):68-77. Suyanti DS. 2003. Uji daya absorpsi kitosan terhadap pigmen klorofil [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wang HS, Pan QX, Gui XW. 2005. A biosensor based on immobilization of Horseradish peroxidase in chitosan matrix cross-linked with glyoxal for amperometric determination of hydrogen peroxide. Sensors 5:266-276. Winarno FG. 1987. Biokimia Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Utama.
. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Utama.
Wirawan B. 1987. Imobilisasi papain pada kitin kulit udang dan penggunaannya sebagai pencegah haze pada bir [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zaborsky OR. 1973. Immobilized Enzyme. Cleveland: CRC Press Inc.
Lampiran 1. Pembuatan Pereaksi untuk Uji Aktivitas Protease Pereaksi yang dibutuhkan untuk menganalisa aktivitas protease harus bebas dari enzim proetase dan inhibitor. Pereaksi dibuat berdasarkan metode berikut : a. Natrium hidroksida (1 M) NaOH 4 gram dilarutkan dalam 100 ml air suling. b. Bufer borat 0,01 M pH 8,0 dibuat dengan cara sebagai berikut : 1) 1,9 g H3BO3 dalam 100 ml akuades 2) 2,65 g Na2B4O7 dalam 100 ml akuades kemudian dibuat campuran yang terdiri dari 6 ml (a) dan 4 ml (b). c. Asam klorida (1 M) HCl pekat (minimum 32 %) 9,8 ml diencerkan hingga 72 ml. d. Larutan kasein 2% (b/v) Kasein sebanyak 1 g disuspensikan dengan 5 ml akuades di dalam gelas piala 100 ml. Selanjutnya ditambahkan dengan 4 ml NaOH (a) dan 30 ml akuades dan diaduk hingga seluruh kasein larut. Bufer borat (b) ditambahkan sebanyak 5 ml dan pH-nya ditetapkan menjadi 8,0 dengan penambahan HCl (c).
Larutan terus diaduk agar tidak terjadi endapan
kasein. Volume kemudian ditetapkan menjadi 50 ml. e. Larutan tirosin standar (5 mM) Tirosin sebanyak 45,3 mg dilarutkan dalam 50 ml akuades. Larutan dipanaskan pada suhu 50 °C dan diaduk perlahan supaya larut sempurna. f. Asam trikloroasetat (0,1 M) Sebanyak 16,30 g asam trikloroasetat (TCA) dilarutkan dalam 1000 ml akuades g. Natrium karbonat 0,4 M Na2CO3 sebanyak 49,60 g dilarutkan dalam 1000 ml akuades. h. Pereaksi folin Pelarut folin ciocalteau sebanyak 30 ml dilarutkan kedalam 60 ml akuades. larutan kasein harus disiapkan setiap hari agar pereaksi yang akan digunakan memiliki stabilitas yang baik.
Bufer dan tirosin standar harus
disimpan pada suhu 4 ºC dengan daya tahan hingga 2 minggu. Pereaksi-pereaksi lain dapat disimpan pada suhu kamar.
Lampiran 2. Pembuatan Larutan Bradford Pengukuran konsentrasi protein dilakukan dengan langkah sebagai berikut: membuat stok larutan Bradford, yang terdiri 25 mg coomasie brilliant blue G-250 yang dilarutkan dalam 12.5 ml etanol 95%, lalu ditambah 25 ml asam fosfat 85 % (w/v) dan diencerkan dengan akuades sampai volumenya 250 ml.
Larutan
tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Pada saat larutan stok dipakai, larutan diencerkan 5 kali.
Lampiran 3. Skema Penentuan Konsentrasi Protein
Buat serial konsentrasi standar protein Bovine Serum Albumin (BSA) dari 0,1 hingga 1,0 mg/ml dalam tabung reaksi
Masing-masing konsentrasi standar protein dari sampel diambil sebanyak 100 µ• dan ditempatkan padatabung reaksi
+ 5 ml pereaksi Bradford pada masing-masing tabung
Homogenkan
Inkubasi selama 5 menit pada suhu 37 ºC
Ukur Absorbansinya pada λ = 595 nm
Dibuat Grafik Cartesius larutan standar BSA dengan konsentrasi protein sebagai x dan Nilai Absorban sebagai y
Ditentukan persamaan garis regresi sebagai kurva standar untuk menentukan konsentrasi protein sampel
Lampiran 4. Data Pengukuran Aktivitas Protease 1). Papain Ulangan 1 Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Blanko 0,070 0,115 0,138 0,109 0,104 0,118 0,171 0,163 0,130 0,101 0,268
Standar 0,660 0,784 0,735 0,282 0,422 0,864 0,813 0,824 0,545 0,496 0,394
Ulangan 1 2 0,158 0,115 0,194 0,197 0,210 0,213 0,130 0,131 0,142 0,143 0,210 0,215 0,245 0,245 0,252 0,255 0,183 0,187 0,157 0,167 0,292 0,296
Aktivitas i ii 0,0149 0,0076 0,0118 0,0123 0,0121 0,0126 0,0121 0,0127 0,0119 0,0123 0,0123 0,0130 0,0115 0,0115 0,0135 0,0139 0,0128 0,0137 0,0142 0,0167 0,0190 0,0222
Ratarata 0,0113 0,0120 0,0123 0,0124 0,0121 0,0127 0,0115 0,0137 0,0133 0,0154 0,0206
Standar 0,498 0,324 0,425 0,442 0,436 0,450 0,421 0,415 0,351 0,498 0,476
Ulangan 1 2 0,097 0,094 0,138 0,141 0,165 0,168 0,177 0,179 0,185 0,187 0,187 0,188 0,197 0,199 0,194 0,196 0,139 0,144 0,191 0,187 0,277 0,275
Aktivitas i ii 0,0105 0,0098 0,0110 0,0124 0,0113 0,0123 0,0117 0,0123 0,0119 0,0126 0,0129 0,0132 0,0108 0,0116 0,0116 0,0124 0,0109 0,0130 0,0138 0,0126 0,0178 0,0169
Ratarata 0,0102 0,0117 0,0118 0,0120 0,0123 0,0131 0,0112 0,0120 0,0120 0,0132 0,0174
Ulangan 2 Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Blanko 0,050 0,115 0,132 0,142 0,151 0,148 0,170 0,165 0,113 0,142 0,234
Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Ulangan I II 0,0113 0,0102 0,0120 0,0117 0,0123 0,0118 0,0124 0,0120 0,0121 0,0123 0,0127 0,0131 0,0115 0,0112 0,0137 0,0120 0,0133 0,0120 0,0154 0,0132 0,0206 0,0174
Rataan 0,0108 0,0119 0,0120 0,0122 0,0122 0,0129 0,0113 0,0128 0,0126 0,0143 0,0190
Lanjutan 2). Bromelin Ulangan 1 Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Blanko 0,152 0,081 0,063 0,050 0,054 0,055 0,044 0,065 0,054 0,069 0,077
Standar 0,503 0,305 0,304 0,307 0,307 0,304 0,461 0,429 0,430 0,466 0,441
Ulangan 1 2 0,197 0,196 0,083 0,084 0,073 0,073 0,068 0,069 0,069 0,067 0,079 0,078 0,064 0,063 0,069 0,070 0,073 0,070 0,081 0,105 0,141 0,139
Aktivitas i ii 0,0128 0,0125 0,0009 0,0013 0,0041 0,0046 0,0070 0,0074 0,0059 0,0051 0,0096 0,0092 0,0048 0,0046 0,0011 0,0014 0,0051 0,0043 0,0030 0,0091 0,0176 0,0170
Rata-rata 0,0127 0,0011 0,0044 0,0072 0,0055 0,0094 0,0047 0,0012 0,0047 0,0060 0,0173
Ulangan 2 Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Blanko 0,152 0,051 0,116 0,120 0,105 0,134 0,103 0,116 0,089 0,135 0,133
Standar 0,503 0,436 0,512 0,395 0,439 0,553 0,444 0,552 0,457 0,538 0,394
Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Ulangan 1 2 0,190 0,182 0,054 0,056 0,122 0,120 0,127 0,126 0,115 0,116 0,149 0,150 0,109 0,111 0,127 0,125 0,104 0,109 0,148 0,151 0,145 0,143 Ulangan I 0,0127 0,0011 0,0044 0,0070 0,0055 0,0094 0,0047 0,0012 0,0047 0,0026 0,0173
Aktivitas i 0,0108 0,0008 0,0015 0,0025 0,0030 0,0036 0,0018 0,0025 0,0041 0,0032 0,0046
Rataan II 0,0097 0,0112 0,0010 0,0011 0,0013 0,0028 0,0024 0,0047 0,0031 0,0043 0,0037 0,0066 0,0021 0,0034 0,0023 0,0018 0,0036 0,0041 0,0036 0,0031 0,0042 0,0108
ii 0,0085 0,0013 0,0010 0,0022 0,0033 0,0038 0,0023 0,0021 0,0054 0,0040 0,0038
Rata-rata 0,0097 0,0010 0,0013 0,0024 0,0031 0,0037 0,0021 0,0023 0,0036 0,0036 0,0042
Lampiran 5. Data Pengukuran Protein Enzim 1).
Enzim papain Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
2).
Ulangan Rata-rata i ii 0,214 0,216 0,215 0,099 0,085 0,092 0,120 0,113 0,117 0,108 0,131 0,119 0,125 0,085 0,105 0,091 0,107 0,099 0,112 0,083 0,097 0,163 0,111 0,137 0,127 0,084 0,105 0,144 0,117 0,131 0,113 0,152 0,133
Enzim bromelin Perlakuan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Ulangan Rata-rata i ii 0,310 0,297 0,304 0,256 0,211 0,234 0,253 0,204 0,228 0,184 0,105 0,145 0,163 0,087 0,125 0,192 0,145 0,168 0,148 0,084 0,116 0,126 0,078 0,102 0,164 0,075 0,120 0,110 0,046 0,078 0,081 0,084 0,082
Lampiran 6. Kurva kalibrasi untuk Pengujian Protein 1).
Kurva standar protein enzim papain Standar 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Absorbansi BSA (y) 0,381 0,297 0,258 0,223 0,212 0,202 0,182 0,173 0,133
Konsentrasi protein (x) 0,3 0,2 0,1 0,08 0,06 0,04 0,03 0,02 0,01
Kurva standar protein papain y = 0.7511x + 0.1589 R 2 = 0.9524
Absorbansi 595 nm
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
mmol protein
2).
Kurva standar protein enzim bromelin Standar 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Absorbansi BSA (y) 0,316 0,299 0,267 0,219 0,195 0,174 0,172 0,130 0,129
Konsentrasi protein (x) 0,3 0,2 0,1 0,08 0,06 0,04 0,03 0,02 0,01
kurva standar protein bromelin y = 0.6582x + 0.1498 R2 = 0.8417
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
mmol protein
0.25
0.3
0.35
Lampiran 7. Data Analisis Hubungan Perlakuan Kitosan dengan Aktivitas Enzim. 1).
Enzim papain Count
Jumlah
Average
perlakuan 0
Groups
2
0,0215
0,0108
Variance 6,05E-07
perlakuan 1
2
0,0238
0,0119
4,81731E-08
perlakuan 2
2
0,0241
0,0120
1,44085E-07
perlakuan 3
2
0,0244
0,0122
9.14832E-08
perlakuan 4
2
0,0244
0,0122
1,51004E-08
perlakuan 5
2
0,0257
0,0129
8,48349E-08
perlakuan 6
2
0,0227
0,0113
6,88581E-08
perlakuan 7
2
0,0257
0,0128
1,43038E-06
perlakuan 8
2
0,0252
0,0126
8,16926E-07
perlakuan 9
2
0,0286
0,0143
2,51057E-06
perlakuan 10
2
0,0380
0,0190
5,37772E-06
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
2).
SS
df
0,000098 0,000011 0,000109
10 11 21
MS 9,81192E-06 1,01756E-06
F
P-value
F crit
9,6426
0,0004
2,8536
Enzim bromelin Count
Jumlah
Perlakuan 0
Groups
2
0,0224
Average 0,0112
Variance 4,5E-06
Perlakuan 1
2
0,0022
0,0011
2,97E-09
Perlakuan 2
2
0,0056
0,0028
4,79E-06
Perlakuan 3
2
0,0094
0,0047
1,08E-05
Perlakuan 4
2
0,0087
0,0043
2,86E-06
Perlakuan 5
2
0,0131
0,0066
1,65E-05
Perlakuan 6
2
0,0067
0,0034
3,44E-06
Perlakuan 7
2
0,0035
0,0018
5,59E-07
Perlakuan 8
2
0,0083
0,0041
5,32E-07
Perlakuan 9
2
0,0062
0,0031
4,54E-07
Perlakuan 10
2
0,0215
0,0108
8,57E-05
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 0,00022 0,00013 0,00035
df 10 11 21
MS
F
2,242E-05 1,1825E-05
1,896
P-value 0,154
F crit 2,854
Lanjutan 3).
Data uji lanjut Tukey terhadap enzim papain imobil
(I) KITOSAN
(J) KITOSAN
0
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0,1 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0,1 0,2 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0,1 0,2 0,3 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,6 0,7 0,8 0,9
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Mean Difference Std. Error (I-J) -,001100 -,001300 -,001450 -,001450 -,002150 -,000600 -,002100 -,001900 -,003550 -,008250* ,001100 -,000200 -,000350 -,000350 -,001050 ,000500 -,001000 -,000800 -,002450 -,007150* ,001300 ,000200 -,000150 -,000150 -,000850 ,000700 -,000800 -,000600 -,002250 -,006950* ,001450 ,000350 ,000150 ,000000 -,000700 ,000850 -,000650 -,000450 -,002100 -,006800* ,001450 ,000350 ,000150 ,000000 -,000700 ,000850 -,000650 -,000450 -,002100 -,006800* ,002150 ,001050 ,000850 ,000700 ,000700 ,001550 ,000050 ,000250 -,001400
,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922
Sig. ,982 ,948 ,906 ,906 ,562 1,000 ,589 ,700 ,089 ,000 ,982 1,000 1,000 1,000 ,987 1,000 ,990 ,998 ,406 ,001 ,948 1,000 1,000 1,000 ,997 ,999 ,998 1,000 ,507 ,001 ,906 1,000 1,000 1,000 ,999 ,997 1,000 1,000 ,589 ,001 ,906 1,000 1,000 1,000 ,999 ,997 1,000 1,000 ,589 ,001 ,562 ,987 ,997 ,999 ,999 ,869 1,000 1,000 ,922
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -,005033 -,005233 -,005383 -,005383 -,006083 -,004533 -,006033 -,005833 -,007483 -,012183 -,002833 -,004133 -,004283 -,004283 -,004983 -,003433 -,004933 -,004733 -,006383 -,011083 -,002633 -,003733 -,004083 -,004083 -,004783 -,003233 -,004733 -,004533 -,006183 -,010883 -,002483 -,003583 -,003783 -,003933 -,004633 -,003083 -,004583 -,004383 -,006033 -,010733 -,002483 -,003583 -,003783 -,003933 -,004633 -,003083 -,004583 -,004383 -,006033 -,010733 -,001783 -,002883 -,003083 -,003233 -,003233 -,002383 -,003883 -,003683 -,005333
,002833 ,002633 ,002483 ,002483 ,001783 ,003333 ,001833 ,002033 ,000383 -,004317 ,005033 ,003733 ,003583 ,003583 ,002883 ,004433 ,002933 ,003133 ,001483 -,003217 ,005233 ,004133 ,003783 ,003783 ,003083 ,004633 ,003133 ,003333 ,001683 -,003017 ,005383 ,004283 ,004083 ,003933 ,003233 ,004783 ,003283 ,003483 ,001833 -,002867 ,005383 ,004283 ,004083 ,003933 ,003233 ,004783 ,003283 ,003483 ,001833 -,002867 ,006083 ,004983 ,004783 ,004633 ,004633 ,005483 ,003983 ,004183 ,002533
0,6
0,7
0,8
0,9
1
1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,7 0,8 0,9 1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,9 1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
-,006100* ,000600 -,000500 -,000700 -,000850 -,000850 -,001550 -,001500 -,001300 -,002950 -,007650* ,002100 ,001000 ,000800 ,000650 ,000650 -,000050 ,001500 ,000200 -,001450 -,006150* ,001900 ,000800 ,000600 ,000450 ,000450 -,000250 ,001300 -,000200 -,001650 -,006350* ,003550 ,002450 ,002250 ,002100 ,002100 ,001400 ,002950 ,001450 ,001650 -,004700* ,008250* ,007150* ,006950* ,006800* ,006800* ,006100* ,007650* ,006150* ,006350* ,004700*
,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922 ,0009922
,002 1,000 1,000 ,999 ,997 ,997 ,869 ,889 ,948 ,213 ,000 ,589 ,990 ,998 1,000 1,000 1,000 ,889 1,000 ,906 ,002 ,700 ,998 1,000 1,000 1,000 1,000 ,948 1,000 ,827 ,001 ,089 ,406 ,507 ,589 ,589 ,922 ,213 ,906 ,827 ,016 ,000 ,001 ,001 ,001 ,001 ,002 ,000 ,002 ,001 ,016
-,010033 -,003333 -,004433 -,004633 -,004783 -,004783 -,005483 -,005433 -,005233 -,006883 -,011583 -,001833 -,002933 -,003133 -,003283 -,003283 -,003983 -,002433 -,003733 -,005383 -,010083 -,002033 -,003133 -,003333 -,003483 -,003483 -,004183 -,002633 -,004133 -,005583 -,010283 -,000383 -,001483 -,001683 -,001833 -,001833 -,002533 -,000983 -,002483 -,002283 -,008633 ,004317 ,003217 ,003017 ,002867 ,002867 ,002167 ,003717 ,002217 ,002417 ,000767
* The mean difference is significant at the .05 level.
-,002167 ,004533 ,003433 ,003233 ,003083 ,003083 ,002383 ,002433 ,002633 ,000983 -,003717 ,006033 ,004933 ,004733 ,004583 ,004583 ,003883 ,005433 ,004133 ,002483 -,002217 ,005833 ,004733 ,004533 ,004383 ,004383 ,003683 ,005233 ,003733 ,002283 -,002417 ,007483 ,006383 ,006183 ,006033 ,006033 ,005333 ,006883 ,005383 ,005583 -,000767 ,012183 ,011083 ,010883 ,010733 ,010733 ,010033 ,011583 ,010083 ,010283 ,008633
Lampiran 8. Data Mentah Uji Mutu Kitosan 1. Kadar Air Berat cawan
23,809 10,526
Berat cawan + Sampel basah
Berat Cawan + Sampel kering
Berat cawan + Sampel basah
Berat Cawan + Sampel kering
24,881 11,527
24,821 11,442
2. Kadar Abu Berat cawan
16,407 15,991
17,41 16,992
16,408 15,991
3. Kadar Nitrogen Parameter Normalitas HCl Vol HCL titrasi blanko Vol. HCl titrasi sampel Berat contoh
(N) (ml) (ml) (mg)
I 0,0231 0 16,5 108,4
Ulangan
4. Viskositas Ulangan I Ulangan II
7,9 7,9
Konstanta R-2 dengan kecepatan putaran 60 rpm adalah = 5
II 0,0231 0 15,8 103,5