PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM MULTI ECHELON MULTI DEMAND CLASSES PRODUCT DENGAN MEMPERTIMBANGKAN LOST SALES DAN BACKORDER Ratna Puspita Sari ; Suparno Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah mengenai pengendalian inventory single product dengan sistem distribusi multi eselon serta terdapat beberapa kelas permintaan. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tingginya biaya inventory karena adanya tingkat persediaan yang tinggi untuk melayani permintaan dari beberapa kelas dengan target fillrate yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan di PT. Gold Coin Indonesia yang bergerak di bidang produksi pakan ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh alternatif kebijakan inventory dalam pemenuhan order yang meminimumkan inventory cost dengan mempertimbangkan lost sales dan backorder. Kebijakan yang digunakan adalah rationing policy dengan mempertimbangkan demand end customer yang terjadi di retailer serta demand masing-masing retailer di warehouse. Selanjutnya akan dilakukan simulasi untuk mengetahui biaya inventory serta fillrate masing-masing retailer untuk dibandingkan dengan aturan first come first served yang selama ini digunakan perusahaan amatan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4 batch dan untuk kelas 2 sebesar 18 batch serta nilai reorder point sebesar 22 batch. Dari hasil simulasi yang dilakukan diketahui bahwa kebijakan rationing policy memiliki total cost yang lebih baik. Kata kunci : Inventory, rationing policy, simulasi
ABSTRACT The focus of this research is about single product inventory control with multi echelon distribution system and multi demand classes. One of the problems is high inventory cost that is caused by high inventory level to fulfill demand at different class and targeted fillrate. Order fulfillment process with demand classes study case for this research is conducted at PT. Gold Coin Indonesia. The objective of this research is a better policy of order fulfillment process with shortage behavior consideration and minimized total inventory cost. The policy proposed is rationing policy with end customer’s demand at retailer and retailer’s demand at warehouse consideration. Then simulation is used to compare total inventory cost and fillrate of each retailer between rationing policy and first come first served regulation. Based on the calculation reserve stock for each class are known, 4 batches for class 1 and 18 batches for class 2 with reorder point of 22 batches. Based on this result rationing policy is better than first come first served regulation since it able to have lower total inventory cost. Keywords
1.
: inventory, rationing policy, simulation
Pendahuluan Semakin berkembangnya dunia industri menuntut industri-industri yang ada baik yang bergerak di bidang manufaktur maupun jasa berlomba lomba untuk tetap bertahan dan bisa bersaing dengan industri sejenis. Semakin ketatnya persaingan industri tersebut menuntut semua pelaku industri untuk melakukan strategi jitu guna meningkatkan performansinya. Untuk bisa bersaing dengan industri sejenis bisa dilakukan dengan meningkatkan service atau pelayanan terhadap konsumen. Peningkatan pelayanan tersebut bisa dicapai dengan ketersediaan barang atau produk jadi sehingga perusahaan bisa selalu memenuhi kebutuhan konsumen .
Ketersediaan barang erat kaitannya dengan pengendalian inventory. Pengendalian inventory adalah hal yang penting untuk diperhatikan karena investasi untuk inventory memerlukan biaya yang sangat besar. Proses pengendalian inventory baik raw material, WIP, ataupun produk jadi yang tepat akan mempengaruhi service level perusahaan dalam melayani customer. Service level yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan produk atau barang saat dibutuhkan konsumen. Perusahaan dengan sistem distribusi yang multi eselon seharusnya memiliki sistem inventory yang tepat dan sesuai sehingga bisa meminimumkan biaya inventori. Tujuan utama dari pengendalian
inventory sendiri adalah untuk mendapatkan jumlah atau kuantitas material yang tepat d tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan dengan biaya yang minimum (Tersine,1994). Pengendalian inventory dapat dilakukan dengan strategi yang bermacam macam dan harus sesuai dengan kondisi perusahaan serta produk yang dihasilkan. Pengendalian inventory tersebut akan semakin rumit jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dengan sistem distribusi multi eselon serta harus memenuhi demand dengan kelas yang berbeda sehingga service levelnya juga harus berbeda sesuai dengan kelas masing masing. PT. Gold Coin Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak dalam produksi pakan ternak. Perusahaan ini terletak di Kawasan Industri Tandes - Surabaya . Produk utama adalah pakan ternak ayam sedangkan sebagai produk pendukung adalah pakan ternak babi, itik, burung dan ikan. PT. Gold Coin Surabaya sampai saat ini hanya memiliki satu gudang saja dan melayani penjualan ke agen agen besar ataupun retailer. Jalur distribusi perusahaan adalah dari pabrik menuju ke gudang dan kemudian ke berbagai agen atau retailer yang meliputi daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan area Indonesia Timur lainnya. Dalam proses operasionalnya perusahaan ini memenuhi demand dengan metode Pull system demand. Pull system demand adalah sistem pemenuhan demand dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan / eksternal atau dengan kata lain demand ditentukan oleh konsumen sendiri. Hal ini menyebabkan demand yang harus dipenuhi selalu naik turun atau mengalami fluktuasi setiap periodenya. Karena demand yang tidak pasti tersebut akan menyebabkan terjadinya kesulitan dalam menentukan kebijakan inventory. Selama ini perusahaan tidak memperhatikan demand dari end customer yang terjadi di retailer. Demand yang diperhitungkan dalam sistem pengendalian inventory perusahaan hanyalah demand dari retailer. Permintaan dari retailer-retailer tersebut juga tak menentu jumlahnya, kadang sangat tinggi kadang juga sangat rendah atau bahkan tidak ada. Berapapun yang diminta retailer perusahaan selalu berusaha memenuhinya. Padahal untuk perusahaan dengan sistem distribusi multi eselon, selain memperhitungkan demand dari eselon di bawahnya perusahaan juga harus
memperhitungkan demand dari end customer (Ballou,2004). Selain itu perusahaan memenuhi demand dari retailer secara FCFS (First Come First Served) tanpa memperhatikan kelas dari masing masing demand. Padahal perusahaan sebenarnya secara tidak langsung telah menentukan kelas dari retailernya dengan memiliki prioritas retailer mana yang didahulukan untuk dipenuhi demandnya saat order datang secara bersamaan. Selain itu target fill rate untuk masing masing kelas juga sudah ditentukan seiring dengan adanya skala prioritas tersebut. Namun karena sistem pemenuhan yang berjalan selama ini maka pembagian kelas dan target fill rate tidak begitu diperhatikan. Hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk tetap bisa memenuhi demand adalah dengan menimbun inventory sebanyak-banyaknya. Namun penimbunan inventory tersebut akan meningkatkan inventory cost perusahaan meskipun dengan timbunan inventory tersebut bisa mengurangi terjadinya lost sales dan backorder. Usaha yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menggunakan pendekatan METRICApproximation pada Two echelon Inventory Model with Lost sales (Andersson, 2000) untuk mengetahui demand dari retailer dengan mempertimbangkan lost sales. Setelah itu untuk memenuhi demand dari retailer tersebut dilakukan pendekatan rationing policy with multiple demand (Arslan,2005). Konsep yang digunakan rationing policy adalah bagaimana inventory yang dimiliki dapat memenuhi demand yang berasal dari kelas yang berbedabeda dimana tiap kelas tersebut memiliki fillrate dan backorder cost yang berbeda-beda pula. Pertanyaan yang harus terjawab adalah berapa banyak inventory yang harus disediakan untuk konsumen kelas tertentu atau sampai level inventory berapakah konsumen tersebut akan tetap dilayani. Dengan menggunakan dua pendekatan tersebut diharapakan perusahaan bisa memperoleh kebijakan inventory yang lebih tepat sehingga bisa meminimumkan inventory cost dengan mempertimbangkan lost sales yang terjadi di retailer serta backorder yang terjadi di warehouse. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Produk yang diamati adalah produk pakan ternak ayam petelur dalam bentuk konsentrat 801 M-ss 2. Konsumen (dalam hal ini retailer) adalah sebanyak 4 untuk area pelayanan yang berbeda yang terbagi dalam 2 (dua) kelas 3. Objek yang diteliti adalah gudang di Surabaya 4. Data yang digunakan adalah data permintaan selama tahun 2009. Sedangkan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Shortage treatment yang terjadi di retailer adalah lost sales, sedangkan di warehouse adalah backorder (Andersson,2000) 2. Besarnya order replenishment di warehouse adalah tetap yaitu sebesar Q unit 3. Harga produk adalah sama untuk semua kelas dan selama penelitian dianggap tetap 4. Tidak ada diskon untuk pembelian dalam jumlah tertentu. 2.
Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan beberapa metode sebagai berikut: 2.1
Identifikasi Awal Tahapan awal yang dilakukan peneliti setelah mendapatkan topik yang ingin diteliti adalah melakukan identifikasi awal terhadap objek penelitian. Identifikasi awal bertujuan untuk mengenal secara umum objek penelitian seperti profil perusahaan, produk yang dihasilkan, kapasitas produksi dan lainnya, sehingga peneliti dapat menetapkan tujuan, permasalahan dan batasan dalam penelitian tugas akhir. Objek penelitian dalam hal ini adalah PT. Gold Coin Indonesia, Surabaya. Penetapan tujuan, permasalahan dan batasan penelitian akan sangat membantu peneliti untuk fokus pada masalah dan pemecahannya.
penelitian. Beberapa teori tdalam penelitian ini antara lain biaya inventory, klasifikasi inventory, shortage treatment, kebijakan replenishment, EOQ, dan lainnya. Studi lapangan digunakan sebagai tahapan sebelum melakukan pendekatan rationing policy sebagai solusi yang sesuai dengan kondisi di lapangan dengan studi literatur yang dilakukan terkait dengan rationing policy dan pengendalian inventory untuk perusahaan multi eselon. Studi lapangan ini bertujuan untuk memahami kondisi aktual dan proses bisnis terkait dengan kebijakan pemenuhan pesanan yang terjadi di obyek penelitian. 2.3
Menentukan Kebijakan Inventory Berdasarkan Sistem Eksisting Perusahaan Pada tahap ini yang dilakukan adalah menirukan kebijakan inventory untuk warehouse sesuai dengan sistem eksisting yang berjalan di perusahaan. Pertama tama yang dilakukan adalah menghitung quantity order (Q) untuk warehouse. Selain itu juga menentukan safety stock untuk warehouse dan juga reorder point. Setelah itu baru dilakukan simulasi untuk dapat menghitung total cost inventory sehingga bisa dibandingkan dengan kebijakan inventory yang menggunakan konsep rationing policy. 2.4
Menentukan Demand Rate End Customer yang Terjadi di Retailer Pada tahap ini yang dilakukan adalah menentukan probabilitas terjadinya lost sales pada retailer dengan menggunakan pendekatan METRIC-Approximation. Setelah probabilitas lost sales diketahui maka langkah selanjutnya adalah menghitung demand yang dapat terpenuhi di retailer . Demand inilah yang nantinya digunakan sebagai inputan untuk menentukan reserve stock untuk masing-masing kelas permintaa. 2.5
2.2
Studi Pustaka dan Studi Lapangan Pada tahap ini dilakukan perumusan kerangka teori melalui studi pustaka yang menunjang terhadap penelitian ini baik dari buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber lainnya. Studi pustaka sebagai landasan acuan dan batasan dalam melakukan penyelesaian serta mempermudah dalam melakukan pendekatan dalam pemecahan masalah
Menentukan Reserve Rtock dan Reorder Point untuk Masing-Masing Kelas di Warehouse Pada tahap ini sudah masuk tahap rationing policy yaitu menetukan reserve stock yang harus disediakan untuk masing masing kelas. Inputan yang dibutuhkan pada metode ini antara lain demand rate, target fillrate, jumlah kelas, lead time, dan EOQ. Demand rate disini diperoleh dari perhitungan demand
yang terpenuhi di retailer dengan menggunakan pendekatan METRIC Approximation. Untuk ROP akan dihitung setelah reserve stock untuk masing masing kelas diketahui karena ROP dapat diperoleh dengan penjumlahan reserve stock untuk semua kelas permintaan. Selain itu critical level untuk masing masing kelas juga dapat diketahui setelah reserve stock didapatkan. Untuk menentukan reserve stock dan ROP digunakan algoritma Arslan (2005). Setelah itu dilakukan simulasi untuk mengevaluasi kebijakan inventory yang diperoleh. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui performansi dari parameterparameter yang dihasilkan dalam situasi yang hampir sama dengan kondisi eksisting. Dari simulasi tersebut dapat diketahui total inventory cost dengan mempertimbangkan backorder yang terjadi di warehouse serta lost sales di retailer. Dalam simulasi inventory ini yang digunakan sebagai inputan demand adalah demand masing-masing retailer yang terjadi di gudang. 2.6
Perbandingan Cost dan Parameter Inventory Setelah dilakukan perhitungan maupun simulasi baik dengan menggunakan rationing policy ataupun pada kondisi eksisting perusahaan maka akan dilakukan perbandingan untuk total cost dan parameter inventory seperti ketersediaan barang dan pemenuhan pesanan dari masing masing pelanggan. Dari perbandingan kedua metode tersebut akan diketahui mengenai jumlah total inventory yang lebih tepat untuk gudang. 2.7
Analisa dan Interpretasi Data Analisa yang dilakukan adalah analisa terhadap hasil perhitungan demand yang terjadi di retailer dengan menggunakan model METRIC-Approximation yang dikembangkan Andersson (2000). Selanjutnya adalah menganalisa hasil perhitungan reserve stock dan biaya yang terjadi di warehouse dengan menggunakan konsep Rationing policy dengan menggunakan algoritma Arslan (2005). Setelah itu menganalisa hasil perbandingan yang telah dilakukan melalui simulasi antara kebijakan inventory menggunakan rationing policy dengan mempertimbangkan lost sales yang terjadi di retailer serta backorder yang terjadi di warehouse terhadap kebijakan inventory eksisting di perusahaan amatan.
2.8
Kesimpulan dan Saran Setelah analisa dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian mengenai inventory management ini, dan juga diajukan beberapa saran atau rekomendasi perbaikan untuk perusahaan amatan dalam menentukan kebijakan inventory. 3.
Pengumpulan dan Pengolahan Data Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai data-data yang dperlukan dalam melakukan penelitian tugas akhir ini dan bagaimana datadata tersebut diolah untuk memenuhi tujuan dari penelitian. 3.1
Gambaran Umum Perusahaan GOLD COIN merupakan perusahaan termaju dalam bidang pakan ternak di kawasan Asia Tenggara sejak tahun 1954 dengan standard internasional yang didukung oleh management modern. Dalam rangka menunjang kebutuhan para peternak di kawasan Asia Tenggara akan apakn ternak yang berkualitas tinggi, Gold Coin telah memperluas cakrawala pemasarannya dengan membangun pabrik-pabrik pakan ternak dan pembibitan unggas di berbagai negara antara lain : Singapura, Malaysia, Hongkong, RRC, dan Indonesia. Di Indonesia, Gold Coin pada tahun 1979 telah merintis pembangunan pabrikpabrik pakan ternak dan pembibitan unggas di Bekasi (Jawa Barat), di medan (Sumatera Utara), dan di Surabaya (Jawa Timur) di bawah manajemen Gold Coin Indonesia. Pada tahun 1981, mulailah beroperasi pabrik yang terletak di Bekasi yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas mutakhir seperti computer, laboratorium, silo, dan sebagainya. Pada tahun 1982, pabrik yang terletak di Medan mulai beroperasi untuk melayani peternak di wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya. Pada bulan Mei 1985, pabrik di Surabaya telah beroperasi untuk melayani para peternak di wilayah Jawa Tengah, Jawa timur, Bali, dan area Indonesia Timur lainnya. Pada dasarnya PT.Gold Coin Indonesia memproduksi dua jenis pakan ternak, yaitu pakan ternak komplit dan pakan ternak konsentrat. Masing masing jenis tersebut dibagi lagi menjadi beberapa macam yaitu pakan ternak ayam, itik, ikan, babi, dan burung. Dari macam pakan ternak tersebut dibedakan lagi ke dalam beberapa kode. Kode kode tersebut membedakan kandungan yang
ada dalam pakan ternak. Pada penelitian ini, yang menjadi objek amatan adalah pakan ternak ayam petelur dalam bentuk konsentrat dengan kode 801 Mss. Di mana jenis pakan ternak ini adalah pakan ternak yang paling banyak diminati oleh konsumen. Permintaan akan apakn ternak 801 Mss ini selalu meningkat dari tahun ke tahun. 3.2
dengan 4 retailer. Simulasi ini akan dilakukan selama 1 tahun di mana dalam satu tahun terdiri dari 313 periode dan akan dilakukan replikasi sebanyak 5 kali. Komponen yang digunakan dalam simulasi ini antara lain demand per periode, shortage cost, holding cost, EOQ, dan nilai ROP yang diasumsikan sebagai inventory awal. Demand diperoleh dengan cara generate random berdasarkan distribusi normal. Hal ini didasarkan dari hasil fitting distribusi untuk data permintaan masing-masing retailer dengan menggunakan software Input Analyzer pada Arena 5.0. Dari hasil fitting distribusi tersebut diketahui bahwa data permintaan retailer berdistribusi normal. Demand rate untuk masing-masing retailer disajikan pada tabel 4.1.
Pengumpulan Data Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan beberapa data yang dibutuhkan dan berhubungan dengan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain pengumpulan data sekunder, brainstorming, dan juga wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian. Beberapa data yang dikumpulkan untuk penelitian ini antara lain data permintaan untuk masing masing retailer serta data permintaan end customer yang terjadi di masing masing retailer, lead time baik dari pabrik ke gudang maupun dari gudang ke masing-masing retailer, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, shortage cost, target fillrate, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, retailer yang dipakai adalah retailer yang berada dalam area pelayanan Jawa Timur 1 yaitu yang meliputi wilayah Surabaya, Malang, dan Bojonegoro.
Kemudian nantinya akan dihitung biaya inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan, biaya penyimpanan, biaya backorder, serta biaya totalnya, serta fillrate untuk masingmasing retailer. Simulasi yang digunakan ialah simulasi sistem persediaan dengan menggunakan metode continous review (s, Q).
3.3
3.5
Kebijakan Eksisting Perusahaan (Menggunakan Aturan First Come First Served) Pada kebijakan ini, permintaan yang datang akan terus dilayani tanpa membedakan asal kelasnya dan selama persediaan di gudang masih ada. Pada sub bab ini dilakukan perhitungan nilai EOQ dan ROP di gudang. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan demand masing-masing retailer yang terjadi di gudang. Besar EOQ dan Reorder point dari semua kelas akan dijadikan satu sehingga didapatkan nilai secara keseluruhan. 3.4
Simulasi Sistem Inventory Menggunakan Aturan First Come First Served Proses simulasi ini dilakukan menggunakan pemrograman Visual Basic Excel. Pada simulasi ini, proses pemenuhan demand dilakukan secara terus menerus selama masih ada inventory tanpa memperhatikan kelas permintaan. Permintaan yang terjadi berasal dari 2 kelas permintaan
Tabel 4.1 Demand rate masing-masing Retailer No. 1 2 3 4
Retailer Asia Cahaya Baru Eggindo Murah Jaya
Mean (batch/hari) 5 5 4 6
StdDev (batch/hari) 7 6 4 9
Rationing Policy Pada bagian ini akan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan kebijakan Rationing Policy. Dimana dalam kebijakan ini akan dihitung besarnya reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan dan reorder point. Langkah pertama yang harus dilakukan ialah menghitung besarnya ukuran pemesanan, dimana dalam penelitian ini digunakan rumus Economic Order Quantity (EOQ). 3.5.1 Penentuan demand rate yang terjadi di masing-masing retailer Perhitungan demand rate yang terjadi di retailer ini menggunakan Erlang’s loss formula yang terdapat pada METRICApproximation. Inputan data yang dibutuhkan dalam perhitungan ini antara lain demand rate end customer yang terjadi di masing-masing retailer, lead time dari gudang ke masingmasing retailer, serta level inventory per periode pada masing-masing retailer. Dari perhitungan ini nantinya akan diperoleh
demand rate end customer pada masingmasing retailer yang lost sales maupun yang dapat dipenuhi. Selanjutnya demand rate end customer yang dapat dipenuhi tersebut akan digunakan sebagai inputan untuk mencari reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan pada kebijakan rationing policy. Demand rate end customer pada masing-masing retailer diperoleh dengan cara melakukan fitting distribusi data permintaan end customer pada masing-masing retailer menggunakan software input analyzer Arena 5.0. Dari hasil fitting distribusi tersebut diketahui bahwa demand end customer berdistribusi poisson dengan rata-rata demand per hari pada retailer Asia, Cahaya Baru, Eggindo, Murah Jaya secara urut sebesar 5, 5, 3, dan 5 dalam satuan batch per hari. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perhitungan dilakukan dengan menggunakan Erlang’s Loss Formula dimana dari perhitungan ini nantinya bisa diperoleh probabilitas jumlah demand yang lost sales sehingga bisa diketahui probabilitas jumlah demand yang terpenuhi. Jumlah demand yang terpenuhi tersebut nantinya akan dipakai sebagai inputan dalam kebijakan rationing policy. Data-data yang dibutuhkan untuk menentukan demand rate end customer pada masing-masing retailer dengan mempertimbangkan lost sales disajikan pada tabel 4.2.
masing kelas permintaan dengan menjumlahkan demand rate end customer dari retailer yang termasuk dalam kelas permintaan yang sama. Sehingga dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.2 Data untuk Perhitungan Demand rate dengan mempertimbangkan lost sales
Dengan i = N-1 2. Menentukan reserve stock dan fillrate untuk stage i : a. Jika
Retailer
Demand Rate (batch) /hari
Lead time (hari)
Base stock level (batch )
Asia PS Cahaya Baru PS Eggindo PS Murah Jaya PS
5 5 3 5
1 1 1 1
6 6 4 7
Dari hasil perhitungan dapat diketahui demand rate end customer yang dapat terpenuhi pada masing-masing retailer. Hasil perhitungan menggunakan Erlang’s Loss Formula untuk menentukan demand rate end customer yang terpenuhi pada masing-masing retailer disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Demand rate end customer yang dapat Terpenuhi di masing-masing Retailer Retailer Asia PS Cahaya Baru PS Eggindo PS Murah Jaya PS
Demand Rate (batch) /hari 5 5 3 5
probabilitas Lost sales yang diharapkan (batch/hari) 0,181900148 0,159767459 0,085951041 0,258971618
Demand yang dapat terpenuhi (batch/hari ) 3,98 3,84 2,92 3,91
Dari hasil perhitungan di atas maka dapat diketahui demand rate untuk masing-
Tabel 4.4 Demand rate masing-masing Kelas Permintaan Kelas Permintaan 1 2
Demand Rate (batch) /hari 8 7
Berdasarkan tabel 4.6 maka dapat diketahui demand rate untuk masing-masing kelas permintaan. Kemudian demand rate tersebut akan digunakan sebagai inputan untuk menentukan reserve stock masing-masing kelas permintaan pada kebijakan Rationing Policy. 3.5.2 Penentuan reserve stock dan reorder point Reserve stock untuk tiap-tiap kelas permintaan akan ditentukan dengan menggunakan Algoritma Arslan (2005). Reserve stock ini digunakan untuk memenuhi permintaan selama lead time dimana reserve stock untuk kelas tertentu sudah mempertimbangkan permintaan dari kelas di atasnya. Adapun algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Menentukan reserve stock dan fillrate untuk stage N :
b. Jika
3. Stop jika i:=1. Sebaliknya gunakan i:=i-1 dan ulangi Step 2 Input data yang dibutuhkan dalam perhitungan reserve stock ini antara lain jumlah kelas permintaan (N), Lead time (L), demand rate masing masing kelas (λN), fillrate target masing-masing kelas permintaan (βN), order quantity (Q), dan yang terakhir adalah jumlah loop yang digunakan. Setelah mengetahui besarnya nilai inputan, maka berdasarkan algoritma Arslan (2005) dapat diketahui besarnya reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan. Berikut ini adalah hasil perhitungan reserve
stock untuk masing-masing kelas permintaan
Tabel 4.5 Demand rate masing-masing Retailer
( ):
No.
= 4 = 18 Setelah diperoleh nilai reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan, maka dapat diketahui nilai critical level untuk masing-masing kelas. nilai critical level sendiri merupakan batas pemenuhan permintaan dari masing-masing kelas. Berikut ini adalah nilai critical level dari hasil perhitungan : C1 = 4 C2 = 22 Dari nilai critical level tersebut dapat diketahui bahwa kelas 2 akan dilayani jika nilai inventory level > 4, sedangkan kelas 1 akan terus dilayani sampai inventory level = 0. Setelah diketahui nilai reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan maka dapat dihitung nilai ROP yaitu :
= 4 + 18 = 22 batch 3.6
Simulasi Sistem Inventory Menggunakan Kebijakan Rationing Policy Proses simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan rationing policy ini dilakukan dengan menggunakan pemrograman Visual Basic Excel sama dengan simulasi sistem inventory menggunakan aturan first come first served. Simulasi ini akan dilakukan selama 1 tahun atau 313 periode dengan 5 kali replikasi. Komponen yang digunakan dalam simulasi ini antara lain demand per periode, shortage cost, holding cost, EOQ, nilai batas pemenuhan demand atau critical level, dan nilai ROP yang diasumsikan sebagai inventory awal. Demand diperoleh dengan cara generate random berdasarkan distribusi normal. Hal ini didasarkan dari hasil fitting distribusi untuk data permintaan masing-masing retailer dengan menggunakan software Input Analyzer pada Arena 5.0. Berikut ini adalah tabel demand rate masing-masing retailer yang digunakan pada simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan Rationing Policy :
1 2 3 4
Retailer Asia Cahaya Baru Eggindo Murah Jaya
Mean (batch/hari) 5 5 4 6
StdDev (batch/hari) 7 6 4 9
Perbedaan antara simulasi sistem inventory menggunakan aturan first come first served dengan simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan rationing policy ini antara lain terletak pada nilai ROP dan cara pemenuhan demandnya. Pada rationing policy, proses pemenuhan demand tetap didasarkan pada urutan kedatangan namun dengan memperhatikan batas pemenuhan demand tiap kelasnya atau critical level. Sebelum memenuhi demand dilakukan pengecekan terlebih dahulu pada on hand inventory. Jika on hand inventory masih di atas batas pemenuhan demand pada kelas tersebut maka demand akan langsung dipenuhi. Namun jika on hand inventory berada di bawah batas pemenuhan demand maka permintaan tersebut akan dibackorder. Kemudian nantinya akan dihitung biaya inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan, biaya penyimpanan, biaya backorder, biaya total, serta fill rate untuk masing-masing retailer. Simulasi yang digunakan ialah simulasi sistem persediaan dengan menggunakan metode continous review (s, Q). 3.7
Perbandingan Hasil Running Simulasi Pada sub bab ini akan dibandingkan hasil running simulasi inventory antara skenario first come first served dan rationing policy. Parameter inventory yang dibandingkan antara lain total order cost, total holding cost, total backorder cost, dan grand total cost dari masing-masing retailer pada setiap replikasinya. Selain itu juga akan dibandingkan parameter fillrate untuk masingmasing retailer pada setiap replikasi. Perbandingan total order cost masing-masing retailer pada simulasi inventory baik untuk skenario first come first served maupun rationing policy disajikan pada tabel 4.6 dan gambar 4.1.
Tabel 4.6 Perbandingan Total Order Cost untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Total Order Cost FCFS Rationing Policy 26100000 24600000 24150000 24750000 25350000 24450000 25350000 24000000 25650000 23850000 25320000 24330000
masing-masing skenario. Backorder cost sendiri merupakan biaya yang harus dikeluarkan saat gudang tidak mampu memenuhi demand dari retailer. Perbandingan total backorder cost untuk masing-masing skenario disajikan pada tabel 4.8 dan gambar 4.3. Tabel 4.8 Perbandingan Total Backorder Cost untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Total Backorder Cost FCFS Rationing Policy 124000 8147000 0 9352000 655000 9135000 427000 5797000 72000 7684000 255600 8023000
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Total Order Cost untuk masing-masing Kebijakan
Perbandingan berikutnya adalah perbandingan antara total holding cost untuk masing-masing skenario. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa total holding cost diperoleh dari perkalian antara jumlah inventory akhir dengan biaya penyimpanan per item per peiodenya. Perabandingan total holding cost untuk masing-masing skenario disajikan pada tabel 4.7 dan gambar 4.2. Tabel 4.7 Perbandingan Total Holding Cost untuk masing-masing Kebijakan No. 1 2 3 4 5
Replikasi 1 2 3 4 5 Rata-rata
Total Holding Cost FCFS Rationing Policy 36887040 24600000 36967680 24750000 36011520 24450000 35763840 24000000 35236800 23850000 36173376 24330000
Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Total Holding Cost untuk masing-masing Kebijakan
Kemudian dilakukan perbandingan grand total cost untuk masing-masing skenario. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa nilai grand total cost merupakan penjumlahan dari total order cost, total holding cost, serta total backorder cost. Grand total cost menunjukkan total biaya inventory yang harus dikeluarkan perusahaan tiap periodenya. Perbandingan grand total cost untuk masing-masing skenario disajikan pada tabel 4.9 dan gambar 4.4. Tabel 4.9 Perbandingan Grand Total Cost untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Total Holding Cost untuk masing-masing Kebijakan
Selanjutnya adalah melakukan perbandingan total backorder cost untuk
1 2 3 4 5 Rata-rata
Grand Total Cost FCFS Rationing Policy 63111040 52463482 61117680 53786804 62016520 53413806 61540840 40198128 60958800 51935930 61748976 50359630
Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Grand Total Cost untuk masing-masing Kebijakan
Untuk perbandingan fill rate masingmasing retailer pada kedua kebijakan baik FIFS maupun Rationing Policy disajikan pada tabel 4.10, 4.11, 4.12, dan 4.13 sedangkan grafik perbandingannya disajikan pada gambar 4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Tabel 4.10 Perbandingan Fillrate Retailer Asia untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Fillrate untuk Retailer Asia (Kelas 1) FCFS Rationing Policy 1 0,945686901 1 0,942492013 0,999357533 0,952076677 0,996805112 0,974440895 0,996805112 0,971246006 0,998593551 0,957188498
Gambar 4.6 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer Cahaya Baru untuk masing-masing Kebijakan Tabel 4.12 Perbandingan Fill rate Retailer Eggindo untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Fill rate untuk Retailer Eggindo (Kelas 2) FCFS Rationing Policy 0,996805112 0,932907348 1 0,926517572 0,999357533 0,948881789 1 0,952076677 1 0,932907348 0,999232529 0,938658147
Gambar 4.7 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer Eggindo untuk masing-masing Kebijakan Gambar 4.5 Grafik Perbandingan Fillrate Retailer Asia untuk masing-masing Kebijakan
Tabel 4.13 Perbandingan Fill rate Retailer Murah Jaya untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi
Tabel 4.11 Perbandingan Fillrate Retailer Cahaya Baru untuk masing-masing Kebijakan No. Replikasi 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Fill rate untuk Retailer Cahay Baru (Kelas 2) FCFS Rationing Policy 1 0,916932907 1 0,932907348 0,999678766 0,932907348 0,996805112 0,96485623 1 0,936102236 0,999296776 0,936741214
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 Rata-rata
Fill rate untuk Retailer Murah Jaya (Kelas 1) FCFS Rationing Policy 1 0,987220447 1 0,993610224 1 0,996805112 1 1 1 0,993610224 1 0,994249201
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer Murah Jaya untuk masing-masing Kebijakan
4.1
Analisis Sistem Inventory Menggunakan Aturan First Come First served Pada sistem inventory menggunakan aturan First come first served demand per periode dipenuhi berdasarkan urutan kedatangan. Proses pemenuhan demand dilakukan terus menerus selama on hand inventory masih ada tanpa membedakan asal kelas permintaan. Gudang Surabaya sebagai objek amatan melayani 4 retailer yang terbagi menjadi 2 kelas permintaan. Yang termasuk dalam kelas 1 adalah retailer Asia dan Murah Jaya sedangkan retailer Cahaya Baru dan Eggindo termasuk dalam kelas 2. Pembagian kelas tersebut didasarkan pada target fillrate yang telah ditentukan oleh perusahaan. Selain itu tiap kelas permintaan juga memiliki penalty cost yang berbeda. Dari perhitungan EOQ yaitu untuk memperoleh ukuran pemesanan yang ekonomis diperoleh nilai sebesar 822 unit atau sama dengan 41 batch di mana tiap batch terdiri dari 20 unit. Selain itu juga dilakukan perhitungan ROP yaitu sebesar 845 unit atau 42 batch. Nilai ROP ini dipengaruhi oleh nilai safety stock dan demand selama lead time. Dari hasil perhitungan tersebut selanjutnya dilakukan simulasi sistem inventory. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui biaya inventory yang dihasilkan serta fillrate terhadap masing-masing retailer sehingga bisa dilakukan perbandingan dengan hasil simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan rationing policy. Pada simulasi sistem inventory menggunakan aturan First come first served terdapat mekanisme pemesanan sebesar 41 batch ketika on hand inventory kurang dari atau sama dengan 42 unit. Running simulasi dilakukan selama 1 tahun atau 313 periode. Demand akan dipenuhi terus menerus sesuai urutan kedatangan selama on hand inventory
masih ada. Jika demand melebihi on hand inventory maka permintaan akan dibackorder. Dari running simulasi sistem inventory menggunakan aturan First come first served dapat diketahui total biaya inventory serta fillrate masing-masing retailer. Sehingga bisa dilakukan perbandingan dengan total biaya inventory yang dihasilkan serta fillrate masing-masing retailer pada simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan rationing policy. 4.2
Analisis Sistem Inventory Menggunakan Kebijakan Rationing policy Perbedaan antara sistem inventory menggunakan aturan First come first served dengan kebijakan rationing policy adalah sistem pemenuhan demandnya. Pada kebijakan rationing policy selain berdasarkan urutan kedatangan permintaan pemenuhan demand juga didasarkan pada kelas permintaan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat 2 kelas permintaan di mana setiap kelas memiliki target fillrate dan penalty cost yang berbeda. Dalam kebijakan rationing policy juga dilakukan perhitungan EOQ sama seperti aturan First Come First served. Dari perhitungan EOQ diperoleh ukuran ekonomis pemesanan sebesar 822 unit atau 41 batch. Kemudian dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai reserve stock. Reserve stock merupakan persediaan yang dialokasikan untuk masing-masing kelas selama lead time. Sebelum menentukan reserve stock untuk masing-masing kelas dilakukan perhitungan untuk mengetahui demand rate end customer yang terjadi di masing-masing retailer dengan mempertimbangkan lost sales. Perhitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan Erlang’s Loss formula pada METRIC Approximation. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh probabilitas lost sales di masing-masing retailer sehingga dapat diketahui demand rate end customer yang dapat terpenuhi di masing-masing retailer. Demand rate tersebut kemudian dijadikan inputan dalam menentukan reserve stock untuk masing-masing kelas permintaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa reserve stock untuk kelas N dapat digunakan untuk kelas N sendiri dan kelas di atasnya. Berdasar algoritma Arslan,dkk (2005) yang digunakan untuk menentukan besarnya reserve stock didapatkan
hasil untuk reserve stock kelas 1 sebesar 4 dan kelas 2 sebesar 18. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa reserve stock untuk kelas 2 digunakan untuk memenuhi permintaan dari kelas 2 sendiri dan permintaan dari kelas 1 sedangkan reserve stock kelas 1 digunakan hanya untuk memenuhi permintaan dari kelas 1 saja. Dari nilai reserve stock tersebut dapat ditentukan batas pemenuhan kelas atau critical level. Batasan pemenuhan ini berupa suatu level inventory tertentu dimana apabila inventory level sudah mencapai batas ini, maka permintaan dari kelas yang memiliki batas pemenuhan tersebut akan di-backorder sedangkan sisa inventory akan digunakan untuk memenuhi permintaan dari kelas permintaan yang lebih tinggi. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh bahwa critical level untuk kelas 2 adalah sebesar 4 batch. Hal ini berarti customer kelas 2 yaitu retailer Cahaya Baru dan Egindo akan dipenuhi sampai level inventory mencapai 4 batch, jika permintaan datang saat level inventory kurang dari 4 batch maka permintaan akan di-backorder. Sedangkan untuk customer kelas 1 yaitu retailer Asia dan Murah Jaya akan terus dilayani sampai level inventory mencapai 0. Dari nilai reserve stock yang telah diperoleh dapat ditentukan nilai ROP. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai ROP sebesar 22 batch. Nilai ini diperoleh dari penjumlahan reserve stock 1 dan 2. Hal ini berarti gudang akan memesan sebanyak 41 batch jika on hand inventory kurang dari atau sama dengan 22 batch. Nilai ROP pada kebijakan rationing policy ini lebih kecil dibandingkan pada aturan First Come First served. Hal ini memungkinkan gudang untuk meminimalkan persediaan sehingga bisa mencapai minimum inventory cost. Pada kebijakan rationing policy juga dilakukan simulasi sistem inventory selama 1 tahun atau 313 periode. Dari running simulasi sistem inventory menggunakan kebijakan rationing policy dapat diketahui total biaya inventory serta fillrate masing-masing retailer. Sehingga bisa dilakukan perbandingan dengan total biaya inventory yang dihasilkan serta fillrate masing-masing retailer pada simulasi sistem inventory menggunakan aturan First Come First served.
4.3
Analisis Perbandingan Hasil Running Simulasi 4.3.1 Analisis Perbandingan Total Order Cost Total order cost merupakan total biaya pemesanan yang dilakukan gudang selama 1 tahun. Nilai ini dipengaruhi oleh frekuensi pemesanan. Berdasarkan hasil running simulasi yang telah dilakukan diketahui nilai total order cost selama 1 tahun baik untuk aturan First come first served maupun untuk kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.6 dan gambar 4.1 dapat dilihat perbandingan total order cost dari masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa aturan First come first served memiliki ratarata total order cost sebesar Rp 25.320.000,00 sedangkan untuk kebijakan rationing policy memiliki rata-rata total order sebesar Rp 24.330.000,00. Kebijakan rationing policy memiliki rata-rata total order cost yang lebih rendah dibandingkan rata-rata total order cost pada aturan First Come First served. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan nilai ROP. Nilai ROP dari kebijakan Rationing policy lebih kecil dibandingkan nilai ROP dari aturan First come first served sehingga frekuensi pemesanan pada kebijakan rationing policy akan lebih sedikit karena titik pemesanan kembali yang lebih rendah. Nilai ROP yang rendah memungkinkan gudang untuk mengurangi frekuensi pemesanan sehingga berakibat pada total order cost yang lebih rendah. 4.3.2 Analisis Perbandingan Total Holding Cost Total holding cost merupakan total biaya yang terjadi karena adanya penyimpanan inventory. Nilai ini dipengaruhi jumlah inventory di akhir periode. Berdasarkan hasil running simulasi yang telah dilakukan diketahui nilai total holding cost selama 1 tahun baik untuk aturan First come first served maupun kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.7 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan total holding cost pada masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa aturan First come first served memiliki rata-rata total holding cost sebesar Rp 36.173.376,00 sedangkan untuk kebijakan rationing policy memiliki rata-rata total holding cost sebesar Rp 24.330.000,00.
Kebijakan rationing policy memiliki rata-rata total holding cost yang lebih rendah dibandingkan rata-rata total holding cost pada aturan First Come First served. Hal ini juga bisa disebabkan karena perbedaan nilai ROP. Nilai ROP dari kebijakan rationing policy yang lebih rendah menyebabkan jumlah inventory akhir yang disimpan tiap akhir periodenya menjadi lebih rendah pula. Hal ini sesuai dengan tujuan dari kebijakan rationing policy sendiri yaitu untuk meminimumkan jumlah inventory sehingga bisa meminimumkan total cost. 4.3.3 Analisis Perbandingan Total Backorder Cost Total backorder cost merupakan total biaya yang terjadi akibat ketidakmampuan dalam memenuhi permintaan. Nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya shortage yang terjadi selama periode simulasi. Dari hasil running simulasi yang telah dilakukan dapat diketahui total biaya backorder selama 1 tahun baik untuk aturan First come first served maupun untuk kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.8 dan gambar 4.3 dapat dilihat perbandingan total backorder cost pada masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa rata-rata total backorder cost untuk aturan First come first served adalah sebesar Rp 255.600,00 sedangkan rata-rata total backorder cost pada kebijakan rationing policy adalah sebesar Rp 8.023.000,00. Kebijakan rationing policy memiliki rata-rata total backorder cost yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata total backorder cost pada aturan First Come First served. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah inventory yang disediakan pada kebijakan rationing policy lebih sedikit dibandingkan pada aturan First Come First served. Hal ini menyebabkan kebijakan rationing policy memiliki kecenderungan mengalamai shortage yang lebih besar. Selain itu adanya batas pemenuhan demand serta urutan kedatangan juga bisa berpengaruh pada biaya shortage yang terjadi. Adanya batas pemenuhan demand menyebabkan shortage pada permintaan kelas 2 lebih banyak karena apabila level inventory sudah mencapai batas pemenuhan tersebut maka permintaan dari kelas 2 akan di backorder walaupun urutan kedatangannya lebih awal dibandingkan customer kelas 1. Pada simulasi ini juga
terdapat kondisi di mana kedua customer dari kelas yang sama misalnya kelas 2, hanya salah satu customer saja yang bisa terpenuhi yaitu yang datang lebih awal karena level inventory saat itu sudah mencapai batas pemenuhan demand. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan rationing policy mengalami shortage yang lebih banyak dibandingkan pada aturan First Come First served. 4.3.4 Analisis Perbandingan Grand Total Cost Grand total cost merupakan biaya total yang terjadi akibat adanya penanganan inventory. Nilai ini dipengaruhi oleh biayabiaya yang terjadi dalam penanganan inventory yang terdiri dari biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya backorder. Dari hasil running simulasi yang telah dilakukan dapat diketahui biaya total selama 1 tahun baik untuk aturan First come first served maupun untuk kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.9 dan gambar 4.4 dapat dilihat perbandingan biaya total pada masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa rata-rata biaya total pada aturan First come first served adalah sebesar Rp 61.748.976,00 sedangkan biaya total pada kebijakan rationing policy adalah sebesar Rp 52.439.854,00. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata biaya total pada kebijakan rationing policy lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata biaya total pada aturan First Come First served. Hal ini disebabkan karena biaya penyimpanan dan biaya order pada kebijakan rationing policy lebih rendah dibandingkan pada aturan First Come First served. Biaya penyimpanan yang lebih rendah disebabkan karena jumlah inventory yang lebih sedikit sedangkan biaya order yang lebih rendah disebabkan karena frekuensi pemesanan yang lebih sedikit. Hal ini merupakan salah satu kelebihn dari kebijakan rationing policy di mana pada kebijakan ini meminimumkan jumlah inventory sehingga bisa meminimumkan total cost. Sedangkan pada aturan First come first served lebih cenderung untuk menghindari shortage sehingga biaya backorder yang terjadi lebih rendah. Jumlah inventory yang lebih banyak mengakibatkan biaya penyimpanan yang lebih besar walaupun bisa meminimumkan biaya backorder. Dari hasil perbandingan tersebut
diketahui bahwa kebijakan rationing policy dapat menghemat biaya persediaan sebesar 14,35% dari aturan First Come First served. Sehingga dari segi biaya dapat dikatakan bahwa kebijakan rationing policy lebih baik dibandingkan aturan first come first served. 4.3.5 Analisis Perbandingan Fillrate Masingmasing Retailer Dari hasil running simulasi diperoleh perbandingan fillrate pada masing-masing retailer untuk aturan first come first served maupun kebijakan rationing policy dapat dilihat pada tabel 4.10, 4.11, 4.12, 4.13 serta pada gambar 4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Nilai fillrate ini dipengaruhi oleh jumlah shortage yang terjadi pada masing-masing retailer. Pada tabel 4. 10 dan gambar 4.5 dapat dilihat perbandingan fillrate untuk retailer Asia baik pada aturan first come first served maupun pada kebijakan rationing policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Asia pada aturan first come first served adalah sebesar 0,9985 atau 99,85% sedangkan pada kebijakan rationing policy adalah sebesar 0,9572 atau 95,72%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Asia pada aturan first come first served lebih tinggi jika dibandingkan pada kebijakan rationing policy. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah shortage pada kebijakan rationing policy yang lebih banyak dibandingkan pada aturan first come first served. Hasil ini juga menunjukkan bahwa nilai fillrate untuk retailer Asia pada kebijakan rationing policy lebih rendah dibandingkan target fillrate yang telah ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.99 atau 99%. Pada tabel 4.11 dan gambar 4.6 dapat dilihat perbandingan fillrate untuk retailer Cahaya Baru baik pada aturan first come first served maupun pada kebijakan rationing policy. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Cahaya Baru pada aturan first come first served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92% sedangkan pada kebijakan rationing policy adalah sebesar 0,9367 atau 93,67%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Cahaya Baru pada aturan first come first served lebih tinggi jika dibandingkan pada kebijakan rationing policy. Nilai fillrate retailer Cahaya Baru pada kebijakan rationing policy juga lebih rendah
jika dibandingkan target fillrate yang ditetapkan perusahaan yaitu 0,97 atau 97%. Hal ini bisa disebabkan karena adanya mekanisme pemenuhan demand yang memperhatikan batas pemenuhan demand untuk kelas 2 sehingga kemungkinan terjadinya backorder untuk kelas 2 lebih besar. Pada tabel 4. 12 dan gambar 4.7 dapat dilihat perbandingan fillrate untuk retailer Eggindo baik pada aturan first come first served maupun pada kebijakan rationing policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Asia pada aturan first come first served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92% sedangkan pada kebijakan rationing policy adalah sebesar 0,9386 atau 93,86%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Eggindo pada aturan first come first served lebih tinggi jika dibandingkan pada kebijakan rationing policy. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah shortage pada kebijakan rationing policy yang lebih banyak dibandingkan pada aturan first come first served. Hasil ini juga menunjukkan bahwa nilai fillrate untuk retailer Eggindo pada kebijakan rationing policy lebih rendah dibandingkan target fillrate yang telah ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.97 atau 97%. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa adanya batasan pemenuhan demand untuk kelas 2 menyebabkan kemungkinan terjadinya backorder untuk kelas 2 lebih besar. Pada tabel 4. 13 dan gambar 4.8 dapat dilihat perbandingan fillrate untuk retailer Murah Jaya baik pada aturan first come first served maupun pada kebijakan rationing policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Murah Jaya pada aturan first come first served adalah sebesar 1 atau 100% sedangkan pada kebijakan rationing policy adalah sebesar 0,9942 atau 99,42%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Murah Jaya pada aturan first come first served lebih tinggi jika dibandingkan pada kebijakan rationing policy. Namun nilai fillrate untuk retailer Murah jaya ini masih sesuai dengan target fillrate yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 0,99 atau 99%. Berdasarka hasil perhitungan fillrate yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk masing-masing retailer pada aturan first come first served selalu lebih
baik dibandingkan fillrate pada kebijakan rationing policy. Hal ini bisa disebabkan karena adanya batas pemenuhan demand yang diterapkan pada kebijakan rationing policy. Selain itu adanya pertimbangan untuk memperhitungkan demand end customer yang terjadi di retailer dengan mempertimbangkan lost sales juga bisa berpengaruh pada hasil fillrate. Demand end customer yang dijadikan inputan pada penentuan reserve stock merupakan demand end customer yang telah mempertimbangkan lost sales sehingga demand tersebut menjadi lebih kecil nilainya jika dibandingkan demand yang dijadikan inputan pada simulasi. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebijakan rationing policy dapat meminimumkan biaya tetapi di sisi lain apabila menggunakan kebijakan ini target fillrate tidak dapat tercapai. Sedangkan pada aturan first come first served target fillrate dapat tercapai namun biaya total yang dihasilkan lebih besar. Rendahnya nilai fillrate juga memiliki dampak tersendiri nantinya bagi perusahaan. Nilai fillrate yang rendah tentunya akan menurunkan tingkat kepuasan customer. Jika fillrate yang dihasilkan terus menerus rendah maka selain menyebabkan meningkatnya backorder cost, fillrate tersebut juga dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan customer sehingga akan berdampak pada berpindahnya customer ke perusahaan kompetitor. 5.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kebijakan rationing policy yang sesuai dengan kondisi perusahaan adalah : a. Reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4 batch dan kelas 2 sebesar 18 batch. Hal ini berarti bahwa kelas 2 akan dilayani sampai level inventory mencapi 4 batch dan kelas 1 akan dilayani sampai level inventory sama dengan 0. b. Berdasarkan reserve stock tersebut didapatkan nilai reorder point sebesar 22 batch. 2. Untuk hasil perbandingan inventory cost pada aturan first come first served dan
kebijakan rationing policy adalah sebagai berikut : a. Total order cost pada rationing policy yaitu sebesar Rp 24.330.000,00. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan total order cost pada aturan first come first served yaitu sebesar Rp 25.320.000,00. b. Total holding cost pada rationing policy yaitu sebesar Rp 18.006.624,00. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan total holding cost pada aturan first come first served yaitu sebesar Rp 36.173.376,00. c. Total backorder cost pada aturan first come first served yaitu sebesar Rp 255.600,00. Nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan total backorder cost pada rationing policy yaitu sebesar Rp 8.023.000,00. Hal ini dikarenakan adanya batasan pemenuhan demand yang diterapkan pada rationing. d. Rationing Policy mampu menghasilkan total biaya inventory yang lebih rendah yaitu Rp. 50.359.630,00 jika dibandingkan pada aturan first come first served yaitu sebesar Rp. 61.748.976,00. e. Fillrate yang dihasilkan oleh kebijakan first come first served selalu lebih besar jika dibandingkan dengan fillrate yang dihasilkan pada rationing policy. Fillrate yang dihasilkan rationing policy juga tidak bisa mencapai target fillrate. Pada rationing policy hanya nilai fillrate untuk retailer Murah Jaya yang dapat mencapai target fillrate. 3. Masing-masing kebijakan memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, dimana kebijakan first come first served memiliki nilai backorder cost lebih rendah serta fillrate yang lebih tinggi. Menurut teori, rationing policy seharusnya mampu memberikan rekomendasi yang lebih baik karena bisa menunjukan total biaya inventory yang lebih rendah serta tetap bisa mencapai target fillrate. Namun pada penelitian ini fillrate yang dihasilkan pada rationing policy tidak dapat mencapai target fillrate yang ditentukan, hanya fillrate untuk retailer Murah Jaya saja yang dapat mencapai target fillrate.
Adapun saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya antara lain : Mengembangkan penelitian mengenai rationing policy untuk multi product Mengembangkan penelitian rationing policy untuk multi echelon inventory system dengan mempertimbangkan backorder serta lost sales 6. Daftar Pustaka Andersson, Jonas; Melchiors,Phillip. 2000. “A Two Echelon Inventory Model with Lost Sales”. International Journal of Production Economics, University of Lund. Arslan, Hasan; Graves, Stephen C; Roemer, Thomas. 2005. “A Single Product Inventory Model for Multiple Demand Classes”. Working Paper, Suffolk University. Aryanto, Setyo. 2008. Penentuan Kebijakan untuk Single Item Multiple Demand Classes dengan Menggunakan Pendekatan Rationing Policy. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Ballou, Ronald. H. 2004. Business Logistic Management. Prentice hall, Inc. USA Chopra, Sunil; Meindl, Peter. (2004). Supply Chain Management : Strategy, planning, and operation. Prentice Hall, Inc. USA. Evany, Savira. 2010. Rationing Policy dengan Mempertimbangkan lost sales dan Backorder untuk Single Item Product dengan Multi Demand Classes. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Kelton, W. David; Sadhowski, Randall P.; Sturrock, David T. 2003. Simulation With Arena. United State, McGrawHill. Pujawan, I Nyoman. 2005. Supply Chain Management. Guna Widya. Surabaya. Tersine, Richard. J. 1994. Principles of Inventory and Materials Management. PTR Prentice Hall. New Jersey. --- (2007). Service Level. URL:http://meidii.multiply.com/journal
--- (2010). Manajemen Rantai Pasok. URL:http://blog.its.ac.id/maayahatakes agita/category/for-mrp/