PENGEMBANGAN SUMBER DAYA INSANI (SDI) INSTITUSI BERBASIS SYARI’AH PERSPEKTIF VIRTUAL CAPITAL Kuat Ismanto ∗
Abstrak: Lembaga-lembaga ekonomi berbasis syari’ah di Indonesia masih memerlukan perbaikan terus-menerus sehingga secara maksimal sesuai (compatible) dengan ajaran Islam, terutama terkait dengan Sumber Daya Insani-nya (SDI). Salah satu instrumen yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kualitas SDI-nya adalah membuka dan menerima perkembangan ilmu dan teknologi modern, seperti konsep virtual capital dalam disiplin ilmu manajemen modern. Virtual capital adalah modal maya perusahaan yang tidak didasarkan pada modal fisik, semisal Sumber Daya Alam (SDA). Pada saat ini, virtual capital dirujuk sebagai faktor penyebab kesuksesan yang penting dan karenanya diperlukan pengelolaan yang baik. Wujud virtual capital dalam pengelolaan institusi berbasis syariah adalah intellectual capital, social capital, dan moral capital. Intellectual capital terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia terhadap teknologi yang digunakan. Social capital diartikan sebagai jaringan kerjasama yang didasarkan pada rasa saling percaya (trust). Social capital dalam perspektif Islam dikembangkan melalui jalinan ‘Ukhuwah Islamiyyah’, dan berfungsi mengembangkan institusi dalam pemahamannya terhadap jaringan sosial umat Islam. Moral capital adalah modal yang dimiliki SDI institusi syariah yang didasarkan pada ‘ahlak’,
∗
Prodi Ekonomi Syari’ah Jurusan Kusumabangsa No. 9 Pekalongan.
Syari’ah
STAIN
Pekalongan,
Jl.
298 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318 yang berwujud prinsip dan etika bisnis (muamalah) dalam Islam. The existence of shari’a-based economic institutions in Indonesia is unavoidable. These institution, however, still need betterment continually so that they are maximally compatible with the teaching of Islam, particularly their human resources. One of instruments that can be developed to improve their human resources quality is to open and accept the development of modern science and technology, like the concept of virtual capital in modern management discipline. Virtual capital is virtual capital of a company that cannot be based on physical capital, like natural resources. At present, virtual capital refers to the main cause factor of success. Therefore, it must be managed well. The manifestation of virtual capital in managing the shari’abased economic institution is intellectual, social, and moral capital. Intellectual capital refers to intangible on invisible asset. It relates to human knowledge and experience in technology they use. Social capital in Islamic perspective is developed through “Ukhuwah Islamiyyah” braided. It has strategic function in developing institution as a social network of Moslem community. Moral capital is moral owned by human resources of shari’a-based economic institution that is based on “akhlaq”, manifesting principles and ethics of business in Islam. Kata Kunci: virtual capital, intellectual capital, social capital, moral capital
PENDAHULUAN Perkembangan bisnis yang kompetitif di era milenium ini diindikasikan oleh adanya globalisasi bisnis dan kompetisi internasional, makin kritisnya tuntutan konsumen akan produk dengan kualitas tinggi dan waktu tunggu yang rendah, ketatnya persaingan bisnis, peningkatan kapabilitas teknologi, dan kualitas pelayanan. Jika dalam perekonomian masa lampau (past economies), kegiatan perekonomian sangat tergantung pada sumber daya seperti tanah, sumber daya alam, peralatan, dan modal untuk menciptakan nilai, maka dalam era milenium perekonomian sangat bergantung pada pengetahuan (knowledge) yang memiliki nilai lebih dari pada
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 299
aset fisik bagi organisasi (Anatan dan Ellitan, 2005: 217). Pengetahuan tersebut dikelola dengan baik, sehingga mampu meningkatkan daya saing perekonomian. Perkembangan pemikiran manusia dalam ilmu tata-kelola (management) perusahaan merupakan warisan besar (al-hadzarah) dan berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan umat manusia. Manajemen sebagai sebuah disiplin ilmu, lahir pada awal dekade kedua atau akhir dekade pertama abad kedua puluh. Dalam perkembangannya sampai saat ini, banyak pendekatan dan konsep manajemen yang ditawarkan oleh pakar manajemen. Hal yang sangat menarik dalam perkembangan tersebut adalah adanya perubahan cara pendekatan dalam manajemen. Selama 60 tahun pertama (1910-1970) pemikiran dalam manajemen sangat didominasi oleh pendekatan yang bersifat rasional-saintifik. Namun demikian seiring perjalanan waktu, sejak tahun 1970 sampai kini pemikiran dalam bidang manajemen mulai memberi tekanan pada pendekatan kualitatif-humanistik. Pendekatan ini menempatkan naturalisme dan humanisme sebagai logika dasarnya. Pada era rasional-saintifik ini, dua puluh lima tahun pertama (1910-1935) dipakai untuk menentukan atau menemukan struktur organisasi atau struktur kerja yang efisien. Era ini dimotori oleh Frederick Taylor dan Henry Fayol. Dua puluh tahun berikutnya (1935-1955) para pemikir dan praktisi manajemen mencoba menerapkan model-model matematik atau cara-cara analisis kuantitatif untuk meningkatkan produktivitas di tempat kerja. Ini adalah masa tumbuhnya model-model optimasi dalam bidang operation research (Raka, 2003: 4). Lima belas tahun berikutnya (1955-1970) mereka mencoba menerapkan cara berfikir sistem dalam bidang manajemen. Pada saat itu, berpikir sistem atau pendekatan sistem adalah topik pembicaraan yang hangat diantara orang-orang manajemen. Era kualitatifhumanistik dimulai dengan diperkenalkannya pendekatan berpikir strategik dalam manajemen. Strategi korporat, strategi bisnis, perencanaan strategik, dan analisis SWOT. Tema-tema di atas, antara tahun 1970-1980 adalah topik pembicaraan yang dianggap mutakhir. Sesudah itu para pemikir manajemen masuk ke dalam bidang yang lebih ‘lunak’ lagi yaitu budaya perusahaan. Pakar manajemen berbicara dan meneliti
300 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
tentang pentingnya tata-nilai yang menjadi inti budaya perusahaan dalam menentukan kinerja perusahaan. Sesudah itu, pada tahun 1980-1985, mereka memasukkan manajemen inovasi sebagai salah satu bagian dari disiplin manajemen. Menjelang tahun 2000 pembicaraanya adalah tentang organisasi belajar, manajemen pengetahuan, manajemen perubahan, dan modal-maya (virtualcapital) (Raka, 2003: 5). Modal maya kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi tumpuan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuantemuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasiorganisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (Rupidara, 2008: 2). Dalam kerangka virtual capital ini penulis memperkenalkannya dalam manajemen perbankan dan keuangan syari’ah, terutama dalam pengembangan Sumber Daya Insani (SDI). Jadi, meskipun keuangan syari’ah merupakan organisasi perusahaan yang baru, tidak ada salahnya jika mengadopsi perkembangan ilmu manajemen modern. Hal ini menjadi penting dengan alasan, pertama karakter utama transaksi keuangan syar’ah berada pada kemampuan (kompetensi, pengetahuan) manusia itu sendiri dalam menjalankan transaksi. Kedua, kajian manajemen keuangan konvensional telah sampai pada taraf virtual capital, sehingga percepatan industri berbasis syari’ah dapat dicapai melalui pendekatan manajemen seperti ini. PEMBAHASAN A. Perubahan Paradigma Manajemen Institusi Berbasis Syari’ah Penulis berasumsi bahwa keberhasilan pengembangan keuangan syari’ah sangat dipengaruhi oleh manusia yang terlibat di dalamnya. Para pakar keuangan mengingatkan bahwa akhir-akhir ini, banyak sekali praktisi dan ahli manajemen yang menekankan pentingnya peran manusia dalam menentukan keberhasilan sebuah institusi, baik institusi di sektor swasta maupun di sektor publik (Raka, 2003: 6). Peringatan ini juga layak untuk dicermati bagi para pelaku keuangan syari’ah.
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 301
Kenichi Ohmae, sebagaimana dikutip oleh Raka menyatakan bahwa ‘sama halnya dengan perusahaan-perusahaan, kesejahteraan negara-negara bergantung kepada kemampuannya untuk menciptakan nilai dengan bertumpu pada orang-orangnya, bukan melalui pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) maupun teknologi’. Hal ini menyiratkan bahwa para pelaku keuangan syari’ah hendaknya juga mampu memahami kondisi ini. Sumber Daya Insani (SDI) yang terlibat hendaknya memiliki kompetensi yang disyaratkan oleh keuangan syari’ah. Walter Bruckart, ketika ditanya tentang lima faktor utama yang menentukan keberhasilan sebuah perusahaan dalam proses transformasinya dari perusahaan yang buruk menjadi perusahaan yang hebat, menjawab bahwa faktor pertama adalah manusia, faktor kedua adalah manusia, faktor ketiga adalah manusia, faktor keempat adalah manusia dan faktor kelima juga manusia. Jawaban ini secara jelas menyatakan bahwa manusia adalah faktor penting dalam pengembangan industri keuangan syari’ah. Beberapa pakar berpendapat bahwa industri keuangan syari’ah kekurangan SDI. Kekurangan tersebut tidak hanya pada tataran akademis-konseptualis, namun juga pada tataran praktis (lapangan). Pada tataran akademis-konseptualis justru para pengembang keuangan syari’ah tidak muncul (dengan tidak menafikan secara keseluruhan) dari perguruan tinggi yang notabene berlandaskan Islam seperti Universitas Islam Negeri UIN, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau bahkan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) di daerah-daerah. Justru pegiat kuangan syari’ah seringkali muncul dari perguruan tinggi umum atau bahkan beragama non-Muslim. Pada tataran praktis di lapangan, banyak para pegawai keuangan syari’ah, baik di Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, dan sebagainya yang sejenis, semula berasal dari lembaga konvesional. Mereka (manajer, karyawan, dkk) dicetak dan dididik secara instan alias cepat saji. Hanya melalui short course, pelatihan yang diadakan oleh lembaga internal, mereka dijadikan SDI yang mengelola lembaga keuangan syari’ah yang secara prinsipil berbeda dengan karakter lembaga sebelumnya. Sekali lagi para pelaku keuangan syari’ah sekarang sebagian besar tidak berasal dari outcome perguruan tinggi yang secara
302 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
khusus mengajarkan tentang ekonomi Islam dan keuangan syari’ah. Mereka bukanlah pelaku keuangan syari’ah yang asli (indegeneous) memahami fiqh mu’amalah sebagai landasan dasar operasional. Namun demikian, seiring perjalanan waktu, diharapkan lembaga keuangan syari’ah mampu menyerap tenaga dan karyawan yang berasal dari lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan tentang ekonomi keuangan syari’ah. B. Globalisasi dan Virtual Capital SDI Keuangan Syari’ah Dewasa ini kita sering mendengar sebuah istilah ’globalisasi’ yang bagi sebagian orang memiliki tendensi negatif, namun tak sedikit juga diantara kita yang masih memiliki anggapan positif terhadapnya. Pada hakikatnya, globalisasi belum menemukan makna yang cukup mapan kecuali sebagai definisi proses (process definitions). Sebagian orang mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah proses sejarah (historical process) yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Beberapa orang juga berpendapat, bahwa globalisasi merupakan sebuah proses sosial yang terjadi secara perlahan yang menyebabkan sekat antar negara menjadi putus-putus, sehingga terwujudnya sebuah sistem yang universal di muka bumi. Secara garis besar kita bisa menarik satu benang merah, bahwa globalisasi merupakan sebuah proses dimana interaksi manusia dengan domain manusia yang lain menjadi meningkat dan meluas, baik dalam interaksi bisnis, sosial, ataupun ilmu pengetahuan, seiiring dengan berjalannya waktu. Sehingga merujuk benang merah tersebut, kita pun bisa mempersempit makna globalisasi untuk globalisasi ekonomi, yakni sebuah proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan sedikit atau bahkan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globlisasi berdampak pada suatu kondisi baru, dimana kehidupan suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Kemampuan suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh modal fisik sebagaimana kita pahami bersama, melainkan untuk mencapai kesejahteraan di era global bagi suatu
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 303
bangsa/umat yang diperlukan adalah virtual capital (Zamroni, 2007: 178). Dalam ranah bahasa Indonesia konsep ini sering disebut dengan “modal maya”. Istilah modal maya atau virtual capital ini pertama kali dilontarkan di Indonesia oleh Frans Mardi Hartanto, Guru Besar di Departemen Teknik Industri ITB pada tahun 1997. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Charlenecroft (2008) “Creating A Methodological Framework For Measuring Virtual Capital” dipaparkan pengertian virtual capital sebagai “A concept which tries to capture the collective social, cultural, and identity capital resources that an indivdual draws on and exchanges in their navigation of and participation in the Social Web”. Virtual capital dalam konsepnya memiliki tiga bentuk, yaitu Intellectual Capital, Social Capital, dan Moral Capital. Bentuk yang pertama merupakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah Bill Gate selaku bos Microsft yang mampu membangun kerajaan bisnis yang tidak mengandalkan SDA, namun menggunakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebagian orang, fenomena ini dianggap sebagai pergeseran paradigma tentang kekayaan kemakmuran yang tidak lagi didasarkan pada penguasaan SDA, tetapi lebih didasarkan pada ilmu pengetahuan (knowledge). Lembaga keuangan syari’ah sebagai institusi baru dalam industri keuangan merupakan hasil perdebatan panjang di Indonesia. Kemunculannya merupakan konsep ideologis yang bersumber dari ajaran agama Islam. Umurnya yang masih belia memerlukan sentuhan berbagai pihak, seperti pemerintah, akademisi bahkan pelaksana di lapangan itu sendiri. Disamping itu juga memerlukan perbaikan secara terus-menerus sehinggan betul-betul sesuai dengan ajaran islam sebagaimana dicita-citakan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah melakukan ‘manajemen pengetahuan’ (knowledge management) di lingkungan lembaga keuangan syari’ah. Konsep ini berarati suatu rangkaian kegiatan yang digunakan oleh organisasi untuk mengidentifikasi, menciptakan, menjelaskan, dan mendistribusikan pengetahuan untuk digunakan kembali, diketahui, dan dipelajari di dalam organisasi. Kegiatan ini biasanya terkait dengan objektif organisasi dan ditujukan untuk mencapai suatu hasil tertentu seperti pengetahuan
304 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
bersama, peningkatan kinerja, keunggulan kompetitif, atau tingkat inovasi yang lebih tinggi. Selain itu, lembaga keuangan syari’ah juga bisa melakukan transfer pengetahuan (salah satu aspek dari manajemen pengetahuan) dalam berbagai bentuk, telah sejak lama dilakukan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat ’domain’. Domain adalah system cluster sektor ekonomi tertentu dan khas. Domain tidak terbatas pada garis teritorial dan geografis suatu Negara, tetapi mampu melampaui batas-batasnya, misalnya domain ekonomi. Mengutip pendapat Alghifari (2007) berikut. “Domain ekonomi adalah sebuah kenyataan riil sekarang yang tidak bisa kita pungkiri. Sebuah negara tidak bisa sangat berpengaruh terhadap segmen peristiwa globalisasi ini dengan membuat regulasi ekonomi dan seolah-olah menciptakan perekonomian. Bukanlah negara yang menciptakan perekonomian, melainkan warga yang berada di dalamnya. Kewajiban pemerintah seharusnya menciptakan sebuah kondisi yang kondusif dimana pertumbuhan domain dan optimalisasi domain ekonomi bisa tumbuh subur di negara tersebut. Hal lain lagi yang perlu diperhatikan adalah, yang kita saksikan selama ini dalam percaturan ekonomi dunia bukanlah globalisasi negara-negara, melainkan globalisasi aktivitas ekonomi. Kita tidak sedang berbicara tentang kondisi perpolitikan dunia di tahun 1970-an tentang perusahaan multinasional tentang pengambilalihan dunia, namun tentang pergeseran aktivitas ekonomi dalam berbagai bidang yang telah mengambil alih dunia, menggantikan aktivitas geopolitik. Seorang akuntan publik memiliki domainnya sendiri tanpa dia harus peduli terhadap batas-batas negara. Seorang engineer tidak akan mempedulikan sekat-sekat bangsa jika ternyata aktivitas tekniknya mengharuskan ia meloncat dari satu negara dan negara yang lain. Yang terjadi adalah loncatan dari satu negara ke negara yang lain, bukan dari satu domain ke domain yang lain. Semakin tidak jelasnya batas-batas suatu negara dalam aktivitas ekonomi ini bukan berarti lantas akan menuju ke sebuah pemerintahan dunia dalam waktu yang singkat dan meleburkan nasionalisme dan budaya yang telah mendarah daging dalam suatu negara seperti Indonesia. Namun dengan globalisasi ekonomi, dimana semakin terjadi kesaling-tergantungan dalam hal ekonomi, justru akan terjadi keinginan akan sebuah penguatan identitas dan semakin memperkental serta mendorong aktivitas warga negara
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 305
menjadi semakin spesifik, berorientasi pada kekhasan budaya dan kondisi geografis negara”.
Menyimak uraian di atas, tentu menarik pula menyimak firman Allah SWT berikut. ”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An-Nur: 55).
Sayyid Quthb (dalam Alghifari, 2007), beliau pernah mengutip pernyataan dari seorang sosialis barat, Bernard Shaw, sebagai berikut: “Sesungguhnya dunia Barat kini sudah mulai bergeser dan sedang mendekati Islam. Telah diramalkan bahwa agama Muhammad kelak di kemudian hari akan diterima oleh bangsa Eropa, dan kini gejala itu sudah mulai terlihat. Para tokoh gereja abad pertengahan sengaja memberi gambaran yang kelam tentang ajaran Islam. Hal itu disebabkan karena kebodohan dan fanatisme yang ketat. Padahal kenyataannya mereka sesungguhnya tidak mau bersikap jujur dengan membenci Muhammad dan agama Beliau serta menganggapnya sebagai musuh bagi Al-Masih (Kristus). Adapun saya sendiri, maka saya wajib mengatakan bahwa Muhammadlah penyelamat kemanusiaan. Saya yakin sepenuhnya, bahwa bila orang seperti dia ini memimpin dunia modern saat ini pasti dapat memecahkan segala kemusykilannya dan dapat menciptakan perdamaian bagi alam semesta.”
Uraian di atas menjadi mendasar ketika kita tarik pada persoalan keuangan syari’ah. Keuangan syari’ah bisa menjadi domainnya sendiri yang tidak terbatas pada suatu negara tetapi mampu melampaui batas suatu negara. Globalisasi ekonomi dengan domainnya telah menjadikan sistem perekonomian dunia menjadi datar dan selalu mencari pemain terbaik di setiap domainnya.
306 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
Globalisasi ekonomi ini akan membuat runtuhnya sistem monopolistik dan ekonomi-geopolitik seperti kondisi dunia pada tahun 1970-an. Kondisi yang ada menjadikan setiap insan manusia bisa berlomba-lomba menjadi pemain terbaik dalam domain tertentu, atau bahkan menciptakan domainnya sendiri. Maka, strategi permainan kita saat ini bukan dengan menghantam, tapi dengan memasuki domain-domain itu atau membuat domain sendiri. Tedak terkecuali domain keuangan syari’ah yang mampu jaya di belahan dunia manapun. Uraian di atas menyimpulkan bahwa keberhasilan manajemen perusahaan di jaman ini akan berhasil bila para manajemer mampu mengoptimalkan sumber daya manusia secara baik. Kesejahteraan manusia tidak lagi didasarkan pada kekayaan SDA tetapi telah mengarah pada kekayaan intelektual, kekayaan sosial, serta kekayaan moral yang terdapat dalam diri manusia. C. Intelectual Capital Pelaku Keuangan Syari’ah Sebagai sebuah konsep, modal intelektual merujuk pada modal-modal non fisik atau yang tidak berwujud (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible). Ia terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan. Modal intelektual memiliki potensi memajukan organisasi dan masyarakat (Lonnqvist dan Mettanen, dalam Rupidara, 2008: 6). Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Berbagai perusahaan yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah perusahaan yang terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya. Lebih jauh Anatan dan Elitan mengatakan bahwa dalam komunitas perekonomian global yang ditandai dengan implementasi teknologi, perusahaan dihadapkan pada tantangan perubahan teknologi yang cepat. Untuk beradaptasi dalam perubahan lingkungan yang dinamis, perlu SDM yang kompeten, yaitu berbasi pengetahuan (knowledge based worker) dan yang menguasai lebih dari satu keterampilan (multiskill worker). Oleh karena itu diperlukan pengelolaan aset intelaktual untuk meningkatkan daya saing perusahaan. (Anatan dan Elitan, 2008: 217)
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 307
Akhir-akhir ini banyak pihak menonjolkan pentingnya kompetensi. Di perusahaan-perusahaan atau di beberapa organisasi di sektor publik orang berbicara tentang competence-based pay, competence-based performance appraisal, competence-based people development. Bahkan dalam bidang pendidikan di Indonesia sekarang diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) meskipun sekarang telah berganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penonjolan seperti ini menimbulkan kesan bahwa dimensi kompetensi yang dimiliki sesorang menjadi faktor yang berkontribusi paling besar terhadap keberhasilan sebuah institusi. Di samping itu, kemajuan teknologi telah memungkinkan sebagian besar pekerjaan-pekerjaan rutin diganti dengan teknologi. Dengan demikian sebagian terbesar pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang sifatnya non-rutin yang memerlukan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi untuk dapat melaksanakannya. Untuk mengerjakan pekerjaan yang berhubungan pun diperlukan orang yang memahami teknologi atau memiliki kompetensi. Keuangan syari’ah yang memiliki ciri khusus, yang berbeda dengan lembaga konvensional sudah barang tentu butuh sentuhan dari orang-orang yang memahami konsep keuangan syari’ah. Lebih jauh lagi, perubahan lingkungan yang sangat cepat menuntut penyesuaian yang lebih sering pada cara kerja, jenis pekerjaan dan kompetensi yang diperlukan. Hal ini telah menyebabkan orang-orang yang bekerja harus siap menghadapi pekerjaan-pekerjaan baru yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan sebelumnya. Orang-orang yang bekerja dituntut untuk makin sering belajar hal-hal baru dan mempunyai semangat dan kapasitas belajar yang lebih tinggi. Dalam perjalananya, sekarang ini tempat bekerja sekaligus telah menjadi tempat belajar yang sangat intensif, bekerja sama dengan belajar. Tempat belajar tidak lagi terbatas hanya pada sekolah-sekolah formal dan universitas. Tempat kerja sebagai tempat pembelajaran dibahas dalam bab lainnya. Berbeda dengan pekerja terdahulu yang tingkat pendidikannya relatif lebih rendah yang menerima begitu saja dirinya dikendalikan orang lain, pekerja-berpengetahuan menginginkan kendali yang lebih besar ditangannya sendiri. Mereka lebih menyukai lingkungan kerja dan pekerjaan yang memberikan
308 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
mereka kebebasan yang lebih besar dalam mengendalikan atau mengarahkan apa yang mereka lakukan. Di masa lalu pengendalian dilakukan dengan memperbanyak hirakhi dan peraturan. Sekarang, untuk memberi ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri dan pengarahan-diri, institusi perlu memperjelas dan membangun visi dan nilai-nilai bersama. Dengan mengacu kepada visi dan nilai-nilai bersama ini pengendalian-diri dan pengarahan-diri menjadi ekspresi kebebasan yang bertanggung jawab. Pekerja-berpengetahuan (knowledge worker) punya kecenderungan yang lebih besar untuk memandang pekerjaan yang mereka lakukan tidak hanya sekedar sebagai kegiatan untuk mencari makan tetapi sebagai kesempatan untuk melakukan sesuatu yang mulia, yang penting dalam hidup ini, yang bermakna. Mereka mencoba mencari atau menemukan tujuan-tujuan yang lebih besar dan lebih luhur dalam melakukan tugasnya dan ingin melihat dan merasakan hasil kerja mereka memberi sumbangan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat luas atau kemanusiaan, tidak hanya bagi kemajuan dirinya dan organisasi tempat dia bekerja. Bagi mereka sebuah institusi tidak boleh sekedar menjadi tempat dan kumpulan aktivitas transaksi jual beli antara orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan pemilik atau orang-orang yang mengelolanya, tidak peduli apakah yang diperjual belikan itu tenaga, barang atau pengetahuan. Oleh karena modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Banyak orang yang tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi tetapi dia seorang pemikir yang menghasilkan gagasan yang berkualitas. Dalam sejarah tercatat bahwa yang menemukan gagasan tentang elevator di luar gedung pada gedung tinggi hanyalah seorang janitor atau cleaning service. Ceritanya bermula dari keinginan para insinyur untuk membuat elevator dalam sebuah hotel karena kamar di lantai tiga dan di lantai empat tidak laku dijual. Gagasan awal adalah menjebol lantai untuk membuat elevator di dalam bangunan hotel. Tapi gagasan itu ditolak bagian cleaning service karena mereka akan bekerja lebih banyak membersihkan debu yang berterbangan ke seluruh lantai. Untuk menghindari hal tersebut pegawai cleaning service menyarankan
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 309
agar elevator di buat di luar gedung. Itulah awalnya gagasan adanya lift capsule yang turun naik di luar dinding gedung. Islam sangat menghargai bagi orang-orang yang menggunakan akal pikirannya atau intelektualitasnya dalam meraih kesejahteraan hidup. Al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat ke-11 menjelaskan tentang orang-orang yang memiliki ilmu akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah SWT.
ﻭﺍﺸﺰ �ﻭِﺇﺫَﺍ ﻗِﻴ َﻞ ﺍ ﻢ ﻪ َﻟ ُﻜ ﺴﺢِ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ْﻔ ﻮﺍﺴﺤ ﺠﺎﻟِﺲِ ﻓَﺎْﻓ ﻤ ﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍْﻟﺴﺤ ﻢ َﺗ َﻔ ﻮﺍ ِﺇﺫَﺍ ﻗِﻴ َﻞ َﻟ ُﻜﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎَﺃﻳ :ﺎﺩﻟﺔﲑ )ﺍ ِﺧﺒ ﻥ ﻤﻠُﻮ ﻌ ﺎ َﺗﻪ ِﺑﻤ ﻭﺍﻟﱠﻠ ٍﺎﺕﺭﺟ ﺩ ﻢ ﻦ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍْﻟﻌِْﻠ ﻭﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻢ ﻨ ُﻜﻮﺍ ِﻣﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺮﻓَﻊ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﻭﺍﺸﺰ �َﻓﺎ ٍﻡﻚ ﻵﻳﺎﺕٍ ﻟِ َﻘﻮ ِ ﻓِﻲ َﺫﻟﻪ ِﺇﻥ ﻨﺎ ِﻣﺟﻤِﻴﻌ ِﺽﺎ ﻓِﻲ ﺍ َﻷﺭﻭﻣ ﺕ ِ ﺍﺎﻭﻤﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﻢ ﻣ ﺮ َﻟ ُﻜ ﺨ ﺳﱠ ﻭ .(11 .(13 :ﻥ )ﺍﳉﺎﺛﻴﺔ ﻭﻳَﺘ َﻔ ﱠﻜﺮ .(14 :ﻥ )ﺍﳉﺎﺛﻴﺔ ﻮﻳ ْﻜﺴِﺒ ﺎ َﻛﺎ�ُﻮﺍﺎ ِﺑﻤﻮﻣ ﻱ َﻗ ِﺠﺰ ﻴِﻡ ﺍﻟﱠﻠﻪِ ﻟﺎﻥ َﺃﻳ ﻮﺮﺟ ﻳ ﻦ َﻻ ﻭﺍ ﻟِﱠﻠﺬِﻳﻳ ْﻐﻔِﺮ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ُﻗ ْﻞ ﻟِﱠﻠﺬِﻳ Dalam Hadist dijelaskan tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu dalam meraih kebahagian dunia dan kebahagiaan akhirat. Jadi tidak diragukan lagi bahwa Islam menghargai orangorang memiliki ilmu dan menggunakan akalnya untuk kesejahteraan (falah) manusia. Intelectual Capital yang dibutuhkan keuangan syari’ah adalah pemahamannya tetang konsep keuangan syari’ah yang terangkum dalam kompetensi pelaku keuangan syari’ah. Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work”. Dari pengertian dapat ditarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap
310 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
(attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. D. Social Capital Pelaku Keuangan Syari’ah Social capital diartikan sebagai jaringan kerjasama yang amat padu yang didasarkan pada rasa saling percaya (trust) diantara sesama. Teori social capital memiliki fungsi strategis dalam pemahaman terhadap kondisi sosial suatu komunitas. Nahapiet (1998) mendefinisikan social capital sebagai berikut. “Social capital is an imprecise social construct that has emerged from a rather murky swamp of terminology, but it is still useful for exploring culture, society and social networks. The notion of social capital originated from studies of conventional or temporal communities. Social capital highlights the central importance of networks of strong personal relationships that develop over a period of time. Such relationships, it is argued, provide a basis for trust, cooperation, and collective action”.
Pengembangan social capital di keuangan syari’ah dikembangkan melalui konsep “Ukhuwah Islamiyah”, jalinan silaturahmi. Pembangunan networking dilakukan dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan keuangan syari’ah. Misalnya perguruan tinggi yang mengkaji keuangan syari’ah, ulama yang memiliki kepeduliam dengan keuangan syari’ah. Ukhuwah islamiyah, sesuai sabda Rasulullah saw. Yanga artinya: "Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia yang mereka itu bukan para nabi dan bukan pula orangorang yang mati syahid, namun posisi mereka pada hari kiamat membuat Nabi dan syuhada' menjadi iri. Sahabat bertanya, 'beritahukan kepada kami, siapa mereka itu? Rasulullah menjawab, 'mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah meskipun diantara mereka tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak pula ada motivasi duniawi. Demi Allah wajah mereka bercahaya dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut tatkala manusia takut, dan mereka tidak bersedih hati" (HR. Abu Daud).
Lembaga keuangan syari’ah secara intensif membangun kerjasama dengan pihak untuk mendapatkan kepercayaan (trust).
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 311
Proses marketing dapat dikembangkan melalui konsep silaturahmi sebagai bentuk sosialisasi. Pendekatan kepada kelompok-kelompok tertentu menjadi penting sebab adakalanya organisasi yang berbasis Islam tidak percaya dengan konsep keuangan syari’ah. Social capital dalam Islam terbentuk melalui silaturahim antara sesama umat Islam atau bahkan non Islam.
ﻭ َﻻ ﻭﺍـﺪﺎﺳ َﻻ َﺗﺤ: ﻋﻠﻴـﻪ ﻭﺳـﻠﻢِ ﺻـﻠﻰ ﺍﻮ ُﻝ ﺍ ـﺭﺳ ﻗَـﺎ َﻝ:ﻪ ﻗَـﺎ َﻝ ـﻋﻨ ُ ﻲﺍ ﺭﺿِـ ﺓﺮ ﻳﺮ ﻫ ﻦ َﺃﺑِﻲ ﻋ .ﻮﺍ� ـ ًﺎ ﺧ ِِ ﺇﺩ ﺍ ﺒــﺎِﻮُ�ــﻮﺍ ﻋ ﻭ ُﻛ ٍ ـﺾﺑﻌ ِ ـﻊﺑﻴ ﻋَﻠــﻰ ﻢ ﻀ ـ ُﻜ ُ ﻌ ﺑ ﻊ ﻳِﺒ ـ ﻭ َﻻ ﻭﺍﺑﺮﺍﻭ َﻻ َﺗ ـﺪ ﻀــﻮﺍ ُ ﺎ َﻏﻭ َﻻ َﺗﺒ ــﻮﺍﺟﺸ ﺎَﺗﻨ ِﺭِﻩـﺪﺮ ﺇِﻟَﻰ ﺻ ﻴﺸ ِ ﻳﻭ – ﺎﻬﻨﻫ ﻯ ﺍﻟﱠﺘ ْﻘﻮ.ﻩﺮ ﺤ ِﻘ ﻳ ﻭ َﻻ ﻪ ﺑﻳ ْﻜ ِﺬ ﻭ َﻻ ﻪ ﺨﺬُﻟ ْ ﻳ ﻭ َﻻ ﻪ ﻤ ﻳ ْﻈِﻠ ﻠِﻢِ َﻻﺴﻮ ﺍْﻟﻤﻢ َﺃﺧ ﺴِﻠ ﻤ ﺍْﻟ ﻡﺍـﺮـﻠِﻢِ ﺣﺴﻋﻠَـﻰ ﺍْﻟﻤ ِـﻠِﻢﺴ ﻛُـ ﱡﻞ ﺍْﻟﻤ،ـِﻠﻢﻤﺴ ﻩ ﺍْﻟـﺎﺮ َﺃﺧ ﺤﻘِـ ﻳ ﻥ ﺮ َﺃ ـﻦ ﺍﻟﺸ ِﺮِﺉٍ ﻣﺴﺐِ ﺍﻣ ﺤ ِﺍﺕٍ – ﺑﻣﺮ ﺙ ﻼ َﺛ [ﻪ ]ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﺿ ُ ﺮ ﻭ ِﻋ ﻪ ﻣﺎُﻟ ﻭ ﻪ ﻣ ﺩ Artinya: ”Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali-). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya dan kehormatannya “. (HR. Muslim).
Petikan hadist di atas secara jelas menyatakan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saudara. Oleh karena itu tidak boleh berbuat aniaya atau dzalim satu sama lain. Yang harus dibangun adalah kebersamaan dalam memakmurkan bumi. E. Moral Capital Pelaku Keuangan Syari’ah Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan sangat tergantung pada sejauhmana perusahaan berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik perusahaan memiliki
312 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral yang maengharamkan perilaku yang melanggar etik. Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron (perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Demikian pula dengan kasus krisis keungan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) adalah disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis (Ancok, 2009). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang berpegang pada prinsip etika memiliki citra perusahaan yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk dan jasa perusahaan tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa meningkat secara signifikan. Selain itu perusahaan yang berperilaku etikal juga akan menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau sebuah perusahaan melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya.
ِ ﺻﻠﻰ ﺍﻮ ُﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﺎﺪَﺛﻨ ﺣ :ﻪ ﻗَﺎ َﻝ ﻨﻋ ُﻲﺍ ِﺭﺿ ﻮ ٍﺩ ﻌ ﺴ ﻣ ِِ ﺑﻦﺪِ ﺍﻋﺒ ﻤ ِﻦ ﺣ ﺪِ ﺍﻟﺮﻋﺒ ﻦ َﺃﺑِﻲ ﻋ ﻢ ُﺛ،ًﻣ ًﺎ ُ� ْﻄ َﻔﺔﻳﻮ ﻦ ﻴِﺑﻌﺭ ﻣﻪِ َﺃﺑ ْﻄﻦِ ُﺃ ﻪ ﻓِﻲ ﺧْﻠ ُﻘ ﻊ ﻤ ﺠ ﻳ ﻢ ﺪ ُﻛ ﺣ َﺃ ِﺇﻥ:ﻭ ُﻕ ﺪ ﺼ ﻤ ﺎ ِﺩ ُﻕ ﺍْﻟﻮ ﺍﻟﺼ ﻫ ﻭ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺮ ﻣ ﺆ ﻳﻭ ،ﻭﺡ ﺮ ﻪِ ﺍﻟﺦ ﻓِﻴ ﻨ ُﻔﻴﻚ َﻓ ﻤَﻠ ﻪِ ﺍْﻟﺳ ُﻞ ﺇَِﻟﻴ ﺮ ﻳ ﻢ ُﺛ،ﻀ َﻐ ًﺔ ﻣِْﺜ َﻞ َﺫﻟِﻚ ْ ﻣ ﻥ ﻮ ﻳ ُﻜ ﻢ ُﺛ،ﻋَﻠ َﻘ ًﺔ ﻣِْﺜ َﻞ َﺫﻟِﻚ ﻥ ﻮ ﻳ ُﻜ ﻢ ﺪ ُﻛ ﺣ َﺃﻩ ِﺇﻥﺮ ﻴﻪ َﻏ ِ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﻻ ﺇَِﻟﻮ ﺍ َﻓ.ﺪ ﻴِﺳﻌ ﻭ ﻲ َﺃ ِﺷﻘ ﻭ ِﻤﻠِﻪ ﻋ ﻭ ِﺟﻠِﻪ ﻭَﺃ ِ ﺑِ َﻜْﺘﺐِ ﺭِ ْﺯﻗِﻪ:ٍﺎﺕﺑﻊِ َﻛﻠِﻤﺑِ َﺄﺭ ِﻞﻤﻞِ َﺃﻫ ﻌ ِﻤ ُﻞ ﺑ ﻌ ﻴﺏ َﻓ ﻪِ ﺍْﻟ ِﻜﺘَﺎﻋَﻠﻴ ﻖ ﺴِﺒ ﻴﻉ َﻓ ﺍﺎ ِﺇ ﱠﻻ ﺫِﺭﻨﻬﻴﺑﻭ ﻪ ﻨﻴﺑ ﻥ ﻮ ﻳ ُﻜ ﺎﺣﺘﱠﻰ ﻣ ِﻨﺔﺠ ﻞِ ﺍْﻟﻤﻞِ َﺃﻫ ﻌ ِﻤ ُﻞ ﺑ ﻌ ﻴَﻟ ﻖ ﺴِﺒ ﻴﻉ َﻓ ﺍﺎ ِﺇ ﱠﻻ ﺫِﺭﻨﻬﻴﺑﻭ ﻪ ﻨﻴﺑ ﻥ ﻮ ﻳ ُﻜ ﺎﺣﺘﱠﻰ ﻣ ِﺎﺭﻞِ ﺍﻟﻨﻤﻞِ َﺃﻫ ﻌ ِﻤ ُﻞ ﺑ ﻌ ﻴﻢ َﻟ ﺪ ُﻛ ﺣ َﺃﻭِﺇﻥ ،ﺎﺧُﻠﻬ ﺪ ﻴﺎﺭِ َﻓﺍﻟﻨ [ ]ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ.ﺎﺧُﻠﻬ ﺪ ﻴﻨﺔِ َﻓﺠ ﻞِ ﺍْﻟﻤﻞِ َﺃﻫ ﻌ ِﻤ ُﻞ ﺑ ﻌ ﻴﺏ َﻓ ﻪِ ﺍْﻟ ِﻜﺘَﺎﻋَﻠﻴ Artinya: “Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata: Rasulullah menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 313
setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada ilah selain-Nya, sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli syurga hingga jarak antara dirinya dan syurga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli syurga maka masuklah dia ke dalam syurga”. (HR. Bukhari-Muslim).
Modal moral akhir-akhir ini banyak dibicarakan oleh para pakar. Salah satu buku yang membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence: Enhancing Business Performance and Leadership Success yang ditulis oleh Doug Lennick & Fred Kiel (2005). Kedua pakar ini menyusun alat pengukur Moral Competency Inventory (Inventori untuk mengukur kompetensi moral). Ada empat komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yakni: 1. Integritas (integrity) Integritas adalah kemauan untuk mengintegrasikan nilainilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal. Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku dalam bekerja yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat dirinya bersalah jika hal itu dilakukan. 2. Bertanggung-jawab (responsibility) Artinya bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orang-orang yang mau bertanggung-jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.
314 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
3. Penyayang (compassionate) Penyayang adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah orang yang tidak memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat perbuatannya yang melanggar hak orang lain. 4. Pemaaf (forgiveness) Pemaaf adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula. Sama halnya dengan modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan intelektual maka modal moral dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis pada empat kompetensi moral di atas. Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan Intelectual Quotion (IQ) tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu modal moral ini juga memberikan perasaan hidup yang komplit (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow dengan ‘Peak Experience’, perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan istilah modal spiritual (Sinetar, 2000). Stephen R. Covey (1986) memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian kegiatan manusia yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia yang efektif. Bentuk moral capital keuangan syari’ah terwujud dalam bentuk ‘ahlaq’ (etika). Perlu diingat bahwa sesungguhnya Islam terdiri dari komponen utama, yaitu aqidah, syari’ah, dan ahlaq. Jadi jelas bahwa ahlaq adalah salah satu unsur kesempurnaan Islam
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 315
sesorang. Ahlaq menjadi hal yang sangat sensitif bagi para pelaku keuangan syari’ah sebab disana ada unsur kejujuran, keterbukaan, penipuan, dan lain-lain. Unsur-unsur etika ini menjadi pertaruhan keuangan syari’ah dalam membawa nama besar Islam. Bentuk moral capital keuangan syari’ah dalam keuangan dan perdagangan terumus dalam bentuk etika bisnis Islam. KESIMPULAN Perkembangan lingkungan bisnis dalam millennium ini diindikasikan oleh adanya globalisasi bisnis dan kompetisi internasional, makin kritisnya tuntutan konsumen akan produk dengan kualitas tinggi dan waktu tunggu yang rendah, ketatnya persaingan bisnis, peningkatan kapabilitas teknologi, dan kualitas pelayanan. Jika dalam perekonomian masa lampau (past economies), sangat tergantung pada sumber daya seperti tanah, sumber daya alam, peralatan, dan modal untuk menciptakan nilai, maka dalam era millennium perekonomian sangat tergantung pada pengetahuan (knowledge) yang memiliki nilai lebih dari pada asset fisik bagi organisasi. Sumber Daya Manusia (SDA) yang terlibat dalam setiap aktivitas perusahaan akan lebih sedikit melakukan pekerjaanpekerjaan fisik dan makin banyak melakukan pekerjaan dengan menggunakan modal otak, yang dikenal dengan modal maya (virtual capital). Dalam perkembangan dunia perekonomian modern dan global yang ditandai dengan implementasi teknologi tingkat tinggi dan cepat, industri syariah dihadapkan pada tantangan global yang kompetitif. Untuk itu institusi ekonomi berbasis syariah harus beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis ini, perlu SDI yang kompeten yaitu SDI yang berbasis pengetahuan (knowledge based worker) yang menguasai lebih dari satu keterampilan (multiskill worker) serta harus memiliki keterampilan etika. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan virtual capital (modal maya) yang berupa intellectual capital, social capital, dan moral capital, untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Wujud virtual capital dalam pengelolaan institusi berbasis syariah adalah intellectual capital, social capital, dan moral capital. Intellectual capital merujuk pada modal non-fisik (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible). Ia terkait dengan pengetahuan dan
316 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 297-318
pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan. Social capital diartikan sebagai jaringan kerjasama yang amat padu yang didasarkan pada rasa saling percaya (trust) diantara sesama. Social capital dalam perspektif Islam dikembangkan melalui jalinan ‘Ukhuwah Islamiyyah’. Teori social capital memiliki fungsi strategis dalam pemahaman terhadap kondisi sosial umat Islam. Moral capital adalah modal yang dimiliki SDI institusi syariah yang didasarkan pada ‘ahlak’, yang berwujud prinsip dan etika bisnis (muamalah) dalam Islam. DAFTAR PUSTAKA Alghifari, Army. 2007. “Globalisasi Ekonomi dan Kemenangan Islam. Sebuah Tinjauan tentang Globalisasi dalam Perspektif Harapan Kejayaan Islam di Masa Mendatang”. Anatan, Trifena Lina dan Lena Ellitan. 2005. “Strategi Inovasi dan Kinerja Operasional Perusahaan: Sebuah Review Aplikasi Intelektual Capital Management dalam Era Baru Manufaktur. Proceeding. Seminar Nasional PESAT. Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta 23-24 Agustus 2005. Ancok, Djamaludin. 2009. Konsep Modal Manusia. Diakses 27 September 2010. Charlenecroft. 2008. “Creating a Methodological Framework for Measuring Virtual Capital”. Filed in Economy, Identity, Internet, Knowledge Society, Social Web, Sociology, Technology, Theory, Virtual Capital, Virtual Identity, Web 2.0, Research. Daniel, Ben, Richard A. Schwier, Gordon McCalla. 2003. Social Capital in Virtual Learning Communities and Distributed Communities of Practice. Canadian Journal of Learning and Technology. Volume 29 (3) Fall/automne. Kanter, Rossabeth Moss. 2001. e.Volve: Succeeding in The Digital Culture of Tomorrow. US: Harvard Business School Press. Lennick, Doug dan Fred Kiel. 2005. Moral Intelligence: Enhancing Business Performance and Leadership Success. New York: Dobleday.
Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) ... (Kuat Ismanto) 317
Lonnqvist, Antti dan Paul Mettane. Tt. Criteri of Sound Intelectual Capital Measures. Finland: Institute of Industrial Management. Tampere University of Technology. Nahapiet, Janine dan Smantra Ghoshal. 1998. “Social capital, Intelectual Capital, and The Organizational Advantage. Academy of Management Review. Vol. 23 No. 2. Hlm. 242266. Raka, Gede. 2003. ”Menggaris-Bawahi Peran Idealisme, Karakter dan Komunitas dalam Transformasi Institusi”. Risalah ini disampaikan sebagai Pidato Ilmiah pada Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke 44. Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 2003 di Kampus Institut Teknologi Bandung. Rupidara, Neil. 2008. “Modal Intelektual dan Strategi Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia”. Disampaiakan dalam dialog di Ruang Rapat Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia. Universitas Kristen Satya Wacana tanggal 21 Februari 2008. Zamroni. 2007. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.