PENGEMBANGAN SKALA FORGIVENESS Istiqomah
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember ABSTRAK Forgiveness merupakan salah satu karakter yang dapat mengarahkan manusia pada pencapian subjective well-being, terutama dalam aspek interaksi manusia dengan lingkungannya. Oleh karenanya, pengembangan alat ukur terkait forgiveness perlu dilakukan. Pengembangan skala forgiveness ini dilakukan berdasarkan tahapan dari Cohen & Swerdlik yang terdiri dari: test conceptualization, test construction, test tryout, item analysis, test revision. Uji validitas dari skala dilakukan untuk mengetahui koefisien korelasi pada masingmasing butir aitem dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Karl Pearson. Sedangkan untuk perhitungan reliabilitas pada skala dilakukan mempergunakan teknik Alpha (α) dari Cronbach. Selanjutnya hasil perhitungan dari uji validitas skala diperoleh koefisien Validitas r mulai dari 0.008 sampai 0.692, yang artinya validitas dengan nilai terkecil adalah 0.008 sedangkan terbesar adalah 0.692. Sementara hasil perhitungan pada skala forgiveness, nilai alpha Cronbach yang dicapai sebesar 0.734, sehingga dapat dikatakan skala forgiveness ini memiliki reliabilitas yang baik. Kata Kunci: Pengembangan skala, Forgiveness. A. Pendahuluan World Federation for Mental Health (WHO) (1948), mendefinisikan kesehatan mental sebagai suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dan aspek emosional yang cukup mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak mudah terguncang oleh situasi yang berubah dilingkungannya, tidak sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya. Konsep sehal mental ini muncul dalam bentuk ciri-ciri sehat mental sebagai berikut: kematangan emosional, kemampuan menerima realitas, hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain, dan memiliki filsafat atau pandangan hidup (Wiramihardja, 2004). Pada kondisi sosial yang semakin dinamis seperti saat ini, mencapai kondisi subjective well-being merupakan suatu proses yang menantang dan harus 1
dihadapi oleh setiap individu. Kematangan emosi, kebijaksanaan berpikir maupun keluwesan dalam interaksi sosial akan mempermudah proses pencapaian subjective well-being tersebut. Partisipasi aktif individu dalam kehidupan bermasyarakat dipandang sangat menentukan kualitas kesehatan mental mereka. Dimana elemen-elemen individu (kematangan emosi) sangat menentukan pola interaksi individu dengan lingkungannya (Wiramihardja, 2004). Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berupaya bergerak memperluas interaksinya. Interaksi yang berhasil akan mendatangkan kepuasan bagi individu tersebut. Sebaliknya interaksi sosial yang mengalami hambatan, cenderung akan mendatangkan ketidaknyamanan pada individu. Bahkan apabila ketidaknyamanan ini berlanjut, dapat mengakibatkan hambatan dalam pencapaian kematangan emosinya. Jadi adalah penting untuk dengan tepat menyelesaikan setiap konflik yang terjadi antara individu dengan lingkungannya, sehingga diharapkan individu selalu mengarah pada suasana emosi yang positif. Salah satu kekuatan karakter yang dimiliki manusia dalam memperdalan interaksinya dengan lingkungan adalah forgiveness. Forgiveness merupakan salah satu karakter yang dapat mengarahkan manusia pada pencapian subjective wellbeing, terutama dalam aspek interaksi manusia dengan lingkungannya. Mengutip pendapat dari Adam Smith, dalam Lopez & Snyder (2007) tentang pentingnya mengembangkan
sikap-sikap
kebaikan
dalam
meningkatkan
moralitas
masyarakat. Secara lengkap Adam Smith menjelaskan “………gratitude and related construct such as altruism and forgiveness are absolutely crucial in establishing a moral society. As such, gratitude is a moral imperative in that it promotes stable social interactions that are based on mutual reciprocity and respect…….” Berdasarkan gambaran situasi diatas, perlu kiranya setiap individu untuk mengenali dan mengembangkan kekuatan forgiveness dalam dirinya. Oleh karena itu, pengembangan alat ukur terkait forgiveness dalam perspektif budaya kita (bangsa Indonesia) perlu dilakukan. Hal ini akan memperjelas langkah kita dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan karakter positif individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, salah satunya adalah forgiveness.
2
B. Pengertian Forgiveness Forgiveness merupakan sebuah ide tentang perubahan motivasi yang terjadi secara sadar untuk mengurangi hasrat untuk membalas dendam maupun menghindari kontak dengan orang maupun situasi yang telah melakukan kesalahan padanya, suatu proses yang terkadang digambarkan sebagai kemampuan altruistik (Enright, Freedman, & Rique dalam Fincham & Kashdan). Dalam Lopez & Snyder (2007), dijelaskan pengertian forgiveness dari beberapa tokoh. Forgiveness merupakan keadaan terbebas dari hubungan yang negatif dengan sumber yang melawan individu (Thompson, dkk). Forgiveness merefleksikan peningkatan dalam motivasi dalam sikap prososial terhadap orang lain seperti; (1) berkurangnya hasrat untuk menghindari orang yang telah menyerangnya dan berkurangnya keinginan untuk balas dendam terhadap orang tersebut, dan (2) meningkatnya keinginan untuk bertindak secara positif terhadap orang yang telah melakukan tindakan yang menyakitkan (McCullough, dkk). Forgiveness dapat dilihat sebagai “keinginan untuk mengurangi kemarahan, judgement negatif, dan perilaku yang kurang baik terhadap orang yang telah melukai kita, sambil mengembangkan sikap yang mengandung kualitas belas kasihan, kebebasan, bahkan menyanyangi mereka yang menyakiti kita (Enright, dkk). Forgiveness merefleksikan (1) perubahan secara kogintif-afektif yang menyertai suatu keadaan tidak menyenangkan, dimana (2) korban melakukan penilaian secara realistis terhadap bahaya yang diakibatkan dan menerima kebenaran itu sebagai suatu tanggung jawab, tetapi (3) memiliki kebebasan untuk “menghentikan perasaan tak berdaya,” menghilangkan keinginan untuk balas dendam atau menghukum dan setiap keinginan untuk ganti rugi. Kondisi menghilangkan perasaan tidak berdaya ini melibatkan (4) “menghilangkan emosiemosi negatif” yang secara langsung berhubungan dengan situasi yang tidak menguntungkan. Secara khusus, memaafkan, berarti korban mengembalikan perasaan sedih dan kemarahannya dalam bentuk tindakan. Pada akhirnya, dengan memafkan, orang yang tersakiti (5) secara khusus merubah/membangkitkan dirinya dari peran sebagai korban (Tangney, dkk).
3
Sementara Harris, dkk (2007) menyebutkan beberapa aspek dari definisi tentang forgiveness: (a) forgiveness adalah suatu pilihan dan usaha secara sadar yang dilakukan oleh seseorang yang telah menerima perlakuan tidak menyenangkan; (b) forgiveness melibatkan perubahan atau penggambaran ulang terhadap kognisi dan persepsi negatif (seperti “semua ini adalah kesalahannya” atau keinginan untuk balas dendam), state afektif (e.g. kemarahan, ketakutan), dan tingkah laku (menghindari agresi); (c) forgiveness berfokus pada perubahan intraindividual yang berhubungan dengan situasi atau konteks interpersonal; dan (d) forgiveness melibatkan peningkatan dalam hal pemahaman individu (empati) terhadap
situasi-situasi
yang
tidak
menyenangkan
dan
konteks
yang
melingkupinya. C. Komponen Forgiveness Dalam upaya mengembangkan forgiveness perlu diperhatikan komponen dari forgiveness yang dijelaskan dalam Lopez, Snyder (2007) sebagai berikut: 1. Forgiving Another Person Menurut Gordon, dkk, langkah pertama dalam forgivevess yang terkait dengan orang lain adalah mempromosikan hubungan yang tidak terdistorsi dan relistik
diantara
dua
orang.
Langkah
kedua
memfasilitasi
terjadinya
penyatuan,mengurangi emosi negatif terhadap pasangan. Langkah ketiga adalah membantu korban mengurangi keinginannya untuk menghukum lawannya. Sedangkan Worthington menguraikan lima langkah yang disingkat REACH: Recal penyebab dari kesakitan yang dialami; mempromosikan Empati pada kedua belah pihak; secara Altruistik memberikan forgiveness antar pasangan; Commit secara verbal untuk memaafkan pasangannya, dan Hold pada proses forgiveness satu sama lain. 2. Forgiving Oneself Self-forgiveness dapat didefinisikan sebagai “suatu proses memunculkan perasaan marah terhadap diri sendiri setelah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Intervensi dilakukan untuk mengurangi kritik yang kurang produktif terhadap diri sendiri dengan tujuan membantu individu
4
bertanggungjawab terhadap perilaku buruk sehingga dia dapat melanjutkan tugastugas hidup berikutnya dalam hidup. 3. Forgiveness of a Situation Memaafkan situasi/lingkungan merupakan tujuan terluas dari perlakuan mengajarkan pada seseorang untuk menyadari kegetiran yang dirasakannya tentang kejadian-kejadian buruk yang menimpa hidupnya selama ini. Untuk beberapa klien, bagian penting dari perlakuan adalah mengajarkan untuk berhenti berpikir tentang kejadian-kejadian negatif dalam hidupnya, sehingga mereka dapat menjalani hidup selanjutnya. D. Dinamika Psikologis Forgiveness dalam Interaksi Individu dengan Lingkungan Forgiveness pada satu pihak berupaya untuk mengembangkan kemampuan kita untuk bertanggungjawab menyelesaikan permasalahan terkait timbulnya perasaan-perasaan negatif dalam diri kita, yang biasanya ditandai dengan adanya kerenggangan relasi interpersonal dengan orang lain. Hal ini terlihat dalam komponen dari forgiveness itu sendiri yaitu forgiving another person, forgiving oneself, dan forgiveness of a situation. Secara lebih luas, dalam memahami dinamika psikologis dari forgiveness, kita dapat melihatnya dalam konteks individu maupun relasi sosial. 1. Dinamika Psikologis Pada Individu Individu yang memunculkan forgiveness pada orang/situasi yang melawannya, menghasilkan sikap yang positif pula terhadap orang disekitarnya yang notabene tidak berhubungan dalam konfrontasi tersebut, yang pada akhirnya akan mengarah pada kestabilan dalam relasi sosial. Secara singkat, forgiveness menampakkan suatu proses yang dapat secara adaptif dan menguntungkan dalam membantu pengembangan struktur sosial (Lopez & Snyder, 2007). Newberg (2000) menggambarkan aspek neurophysiology dari proses forgiveness. Pertama, dengan memperhatikan forgiveness mengarahkan individu pada menyadari tentang dirinya, sebab hal itu sebenarnya yang dilemahkan selama proses tersakiti oleh orang lain. Kepeakaan terhadap diri sendiri terletak pada area
5
frontal, pariental, dan temporal lobes, yang menerima input dari sensory system dan hippocampus. Kedua, rasa sakit yang dialami oleh self dikirim melalui sensorimotor input, dan input ini dimediasi oleh limbic system, symphatetic nervous system, dan hypothalamus. Ketiga, proses rekonsiliasi oleh individu tersebut mengaktifkan kerja temporal, parietal, dan frontal lobes, berhubungan dengan limbic system input. Pada akhirnya, aktualisasi dari forgiveness melalui limbic system dan hal tersebut diasosiasikan dengan emosi positif (Lopez & Snyder, 2007). 2. Dinamika Psikologis Dalam Relasi Sosial Individu Pada akhirnya emosi positif yang telah tumbuh dalam konteks individual, ditengarai akan meluas dalam konteks relasi sosial mereka. Berdasarkan pemikiran yang dikembangkan oleh Adam Smith, sosiolog George Simmel (1950) berargumen kebutuhannya
bahwa untuk
sikap-sikap
yang
berdekatan
dan
baik,
mengingatkan
kebutuhan
untuk
orang
pada
mengambangkan
interrelationships dengan orang lain. Sikap yang baik maupun konsep-konsep altruism dan forgiveness memfasilitasi masyarakat dengan kepekaan sosial dan kemampuan untuk meneruskan fungsinya ketika kebaikan dan keburukan berkembang dalam suatu masyarakat. (Lopez & Sneyder, 2007). E. Pengukuran Forgiveness Penyusunan alat ukur forgiveness telah banyak dilakukan, salah satunya adalah skala the Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory (TRIM), McCullough, dkk (1998) mengembangkan the Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory (TRIM). TRIM mengukur aspek revenge dan avoidance. Revisi selanjutnya dilakukan terhadap TRIM dengan menambahkan aspek motivasi prososial (McCullough, Root, & Cohen, in press). Alat ukur yang lebih baru diberi nama The Heartland Forgiveness Scale, The Tendency to Forgive Scale dan Marital Functioning Scale. Pengembangan juga dilakukan untuk mengukur indikasi forgiveness secara implisit. Pada pengembangan alat ukur forgiveness kali ini, dilakukan dalam konteks untuk pengembangan pada kalangan dewasa awal (mahasiswa).
6
F. Pengembangan Alat Ukur Forgiveness Cohen & Swerdlik (2005) menjelaskan lima tahapan dalam proses pengembangan tes/alat ukur: 1. Test conceptualization Pertanyaan utama yang perlu dicermati dalam penegmbangan tes adalah: a. Alat ukur dikembangkan untuk mengukur apa? b. Apakan objek dari pengembangan alat ukur tersebut? c. Adakah kondisi-kondisi khusus untuk penggunaan alat ukur ini? Siapa yang akan menggunakan alat ukur ? d. Siapa yang dapat dikenai alat ukur ini? e. Apa sajakah aspek yang akan diungkap dalam alat ukur ini? f. Bagaimana prosedur penggunaan alat ukur ini? g. Apakah kondisi ideal yang diharapkan dicapai dalam pengembangan alat ukur ini? h. Adakah latihan khusus untuk mempergunakan alat ukur ini? i. Respon seperti apa yang diharapkan muncul dari penambil data dengan alat ukur tersebut? j. Siapa yang mendapat keuntungan dari penggunaan alat ukur ini? k. Apakah ada potensi kecelakaan dari penggunaan alat ukur yang dikembangkan? l. How will meaning be attributed to scores on this test? 2. Test construction a. Skala Likert Skala Likert merupakan model pengukuran sikap yang mempergunakan metode rating yang dijumlahkan (Method of Summated Ratings). Model ini merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2005). Prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan didasari oleh dua asumsi, yaitu (Azwar, 2005):
7
• Setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorabel atau pernyataan yang tak favorabel. • Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif. Untuk melakukan penskalaan dengan metode ini, sejumlah pernyataan sikap telah ditulis berdasarkan kaidah penulisan pernyataan didasarkan pada rancangan skala yang telah dtetapkan. Responden akan diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap isi pernyataan dalam lima macam kategori jawaban, dalam pengembangan skala forgiveness ini terdiri dari: “selalu” (S) “tidak selalu” (TS), “tidak tahu” (T), “jarang” (J), dan “tidak pernah” (TP) (Azwar, 2005). b. Blue Print Skala forgiveness ini dikembangkan berdasarkan
komponen dari
forgiveness yang dijelaskan dalam Lopez, Snyder (2007) yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: forgiving another person, forgiving oneself, dan forgiveness of a situation. Secara rinci tergambar dalam blue print berikut: Indikator Forgiving Another Person
Forgiving Oneself
Forgiveness of a Situation
Pengertian Memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang lain, mengurangi emosi negatif yang dirasakan akibat perlakukan orang lain, serta mengurangi keinginan untuk menghukum orang lain. Mengurangi kritik yang tidak produktif terhadap diri sendiri setelah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Menghilangkan emosi negatif terkait peristiwa atau musibah yang dialami, menyadari kegetiran yang dirasakan tentang kejadian-kejadian buruk yang menimpa. TOTAL
Nomer Item
Jumlah
Ket
1, 7, 13, 19, 23, 25
Favourabel
6
4, 10, 16, 21, 24, 26
Unfavourabel
6
2, 8, 14
Favourabel
3
5, 11, 17
Unfavourabel
3
3, 9, 15, 20,
Favourabel
4
6, 12, 18, 22,
Unfavourabel
4 26
c. Menentukan Nilai Skala Penentuan nilai skala dengan memberikan bobot dalam satuan deviasi normal bagi setiap kategori jawaban merupakan cara yang cermat dan akan menghasilkan interval nilai yang tepat dalam meletakkan masing-masing kategori 8
pada suatu kontinum psikologis. Namun, apabila skala sikap yang disusun tidak untuk digunakan sebagai suatu instrument pengukuran yang menyangkut pengambilan keputusan yang penting sekali, seperti pada penelitian pendahuluan atau studi kelompok secara kecil-kecilan, kadang-kadang demi kepraktisan penyusun skala sikap dapat menempuh cara sederhana untuk menentukan nilai skala pernyataan-pernyataan sikap yang ditulisnya (Azwar, 2005). Dengan cara sederhana, untuk suatu pernyataan yang bersifat favorable jawaban TP diberi nilai 0), jawaban J diberi nilai 1, jawaban T diberi nilai 2, jawaban TS diberi nilai 3, dan jawaban S diberi nilai 4. Sebaliknya, bagi pernyataan yang tak-favorabel, respons TP diberi nilai 4, J diberi nilai 3, T diberi nilai 2, TS diberi nilai 1, dan respons S diberi nilai 0. Cara penentuan nilai ini diberlakukan bagi semua pernyataan sikap yang ada (Azwar, 2005). d. Aitem/Pernyataan Skala Forgiveness Berikut
contoh
dari
beberapa
aitem
yang
akan
diukur
dalam
pengembangan skala forginess ini: 1. Ketika ada seseorang mengecewakan saya, saya dapat memaafkannya 2. Ketika merasa bersalah karena melakukan kesalahan, dengan berlalunya waktu saya dapat memaafkan diri saya. 3. Saya berupaya berpikir positif ketika musibah menimpa saya 4. Berat rasanya untuk memaafkan orang yang telah menyakiti saya 5. Saya tidak bisa memaafkan diri saya karena kesalahan yang pernah saya lakukan. 6. Ketika musibah menimpa, saya terpaku dalam pikiran negatif tentang hal tersebut 7. Dengan berlalunya waktu, saya memahami mengapa orang lain melakukan kesalahan terhadap saya 8. Belajar dari kesalahan yang pernah saya buat, membantu saya untuk mengurangi perasaan bersalah saya 9. Seiring berjalannya waktu, saya dapat memengurangi rasa sedih atas kejadian buruk yang menimpa saya
9
10. Jika orang lain berbuat salah terhadap saya, saya terus berfikir negatif terhadap mereka 11. Sangat sulit bagi saya untuk memaafkan diri saya setelah saya melakukan kesalahan 3. Test tryout Try-out dilakukan dalam rangka mendapatkan skala/alat ukur yang valid dan reliabel. Validitas dan reliabilitas ini didapat dari pernyataan/aitem yang baik. Menurut Azwar (2005), dari keseluruhan pernyataan yang telah dihitung nilai skala kategori responsnya masing-masing, biasanya dipilih sekitar 20 sampai 25 pernyataan terbaik saja untuk diikutsertakan dalam skala sikap. Pernyataan terbaik, dalam hal ini, maksudnya adalah pernyataan yang mempunyai daya beda yang tinggi untuk memisahkan antara mereka yang termasuk dalam kelompok responden yang mempunyai sikap positif dan mereka yang termasuk dalam kelompok responden yang mempunyai sikap negatif. Suatu pernyataan dikatakan mempunyai daya beda tinggi apabila mampu memberikan indikasi apakah seseorang mempunyai sikap positif atau tidak. Dengan kata lain, suatu pernyataan yang berdaya beda tinggi tentu akan memberikan skor yang rendah bagi responden yang sikapnya tak-favorabel dan memberikan skor yang tinggi kepada responden yang sikapnya favorable. Pengertian ini sama dengan pengertian konsistensi aitem-total yang sering dijumpai dalam analisis aitem skala-skala psikologis (Azwar, 2005). Responden (subjek) dalam uji coba pengembangan skala ini adalah mahasiswa D3 Keperawatan, laki-laki dan perempuan, sebanyak 30 mahasiswa. 4. Analisis Aitem Pada metode penskalaan model Likert digunakan semacam prosedur analisis aitem. Terdapat dua prosedur analisis aitem yang disarankan, yaitu penggunaan t-test dan penggunaan koefisien korelasi Pearson (Azwar, 2005). Dengan penggunaan t-test kita akan menguji apakah rata-rata (mean) skor pada suatu aitem atau pernyataan berbeda bagi kelompok responden yang sikapnya positif dan bagi kelompok responden yang sikapnya negatif. Suatu aitem
10
yang baik, yaitu yang memiliki daya beda tinggi, tentu akan menghasilkan harga rata-rata skor lebih tinggi bagi responden yang bersikap positif daripada rata-rata skor dari kelompok responden yang sikapnya negative. Suatu pernyataan yang menghasilkan rata-rata skor yang tidak berbeda bagi kedua kelompok termaksud merupakan pernyataan yang tidak mampu membedakan dan karenanya tidak ada gunanya dalam pengungkapan sikap (Azwar, 2005). Penghitungan harga t bukanlah satu-satunya cara untuk memilih pernyataan terbaik. Konsistensi antara skor pernyataan dengan skor skala sikap secara keseluruhan dapat pula dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara setiap skor pernyataan yang bersangkutan dengan skor total skala. Koefisien korelasi inilah yang digunakan oleh Likert dalam analisis aitemnya dan dikenal dengan nama criterion of internal consistency (Azwar, 2005). Formula korelasi yang digunakan dalam pengembangan skala ini adalah formula korelasi productmoment dari Karl Pearson. Pada pengembangan penyusunan skala forgiveness ini, analisis aitem dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows versi 12.0. Biasanya dalam pengembangan dan penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan 0.30. Dengan demikian, semua pernyataan yang memiliki korelasi dengan skor skala kurang daripada 0.30 dapat kita sisihkan dan pernyataan-pernyataan yang diikutkan dalam skala sikap diambil dari aitem-aitem yang memiliki korelasi 0.30 keatas dengan pengertian semakin tinggi koefisien korelasi itu mendekati angka 1.00 maka semakin baik pula konsistensinya (Azwar, 2005). Selanjutnya aitem analisis dalam pengembangan skala forgiveness ini, dilakukan dengan dua tahapan yaitu: •
Uji Validitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan
dan
kecermatan
suatu
alat
ukur
dalam
melakukan
fungsi
pengukurannya. Suatu alat ukur dapat dikatakan valid apabila alat tersebut dapat memberikan hasil pengukurann yang sesuai dengan maksud dan tujuan diadakannnya pengukuran (Azwar, 2001).
11
Untuk menguji validitas dari skala tersebut ssehingga diketahui koefisien korelasi pada masing-masing butir aitem, maka digunakan rumus korelasi Product Moment dari Karl Pearson. Selanjutnya hasil perhitungan dari uji validitas skala diperoleh koefisien Validitas r mulai dari 0.008 sampai 0.692, yang artinya validitas dengan nilai terkecil adalah 0.008 sedangkan terbesar adalah 0.692, juga terdapat beberapa aitem yang dinyatakan gugur bila pernyataannya memiliki harga koefisien korelasi kurang dari 0,30, maka skala sikap diambil dari aitem-aitem yang memiliki korelasi minimal sama dengan 0,30 atau diatasnya (Azwar, 2003). Jumlah aitem yang dinyatakan valid sebanyak 24 aitem, sedangkan jumlah aitem yang tidak valid adalah 2 aitem yaitu aitem nomor 13 dan 14. •
Uji Reliabilitas Konsep pokok dari reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran
dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama dapat diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2001). Sedangkan untuk perhitungan reliabilitas pada skala dilakukan mempergunakan teknik Alpha (α) dari Cronbach. Setelah dilakukan perhitungan dan sesuai dengan indeks reliabilitas yang telah didapatkan akan dinyatakan reliable jika harga r-nya yang diperoleh tersebut paling tidak mencapai 0,60 (Nurgiyantoro, Gunawan & Marzuki, 2000). Hasil perhitungan pada skala forgiveness adalah nilai alpha Cronbach yang dicapai sebesar 0.734, sehingga dapat dikatakan skala forgiveness ini memiliki reliabilitas yang baik. 5. Test revision Test revision akan dilakukan setelah dilakukan analisis aitem. Revisi akan dilakukan pada aitem-aitem dengan nilai validitas yang rendah. Revisi dilakukan sebagai rangkaian dari mendapatkan pernyataan terbaik untuk mencapai skala validitas dan reliabilitas yang baik. Revisi skala forgiveness ini dilakukan pada aitem nomor 13 (r = 0.008) dan aitem nomor 14 (r=0.135). Revisi akan dilakukan pada kalimat/pernyataan
12
aitem nomor 13 dan nomor 14. Ditengarai pernyataan pada aitem-aitem tersebut, memiliki dua makna. Berikut bentuk revisi yang akan dilakukan: a. Aitem nomor 13: Pernyataan awal = Lambat laun, saya dapat menghilangkan perasaan ingin menghukum orang yang telah menyakiti saya. Revisi = Saya terus berusaha menghilangkan perasaan ingin menhukum orang yang telah menyakiti saya. b. Aitem nomor 14: Pernyataan awal = Pada akhirnya, saya dapat memahami dan menerima alasan saya melakukan sebuah kesalahan. Revisi = Pada akhirnya, saya dapat menerima alasan saya melakukan sebuah kesalahan. G. Penutup Sebagai penutup, pengembangan skala forgiveness ini merupakan langkah awal yang penting dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap dinamika forgiveness
itu
sendiri,
Selanjutnya,
dapat
kita
pahami
disini
bahwa
pengembangan forgiveness dapat dilakukan melalui pengenalan secara tepat terhadap kekuatan forgiveness kita. Pemahaman yang tepat didapat dengan suatu alat ukur yang standar, sehingga pengembangan akan lebih terarah dan terukur serta terbuka terhadap eveluasi. Pada pengembangan skala forgiveness selanjutnya, diharapkan dapat dilakukan pada subjek dalam beberapa setting, seperti setting pendidikan, klinis, maupun perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2005). Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2001). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Nurgiyantoro, B.G., Marzuki. (2000). Statistik terapan untuk penelitian ilmu-ilmu sosial. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
13
Harris, A.HS., Thoresen, C.E., Lopez, S.J. (2007). Integrating positive psychology into counseling: Why and (When appropiate) How. Journal of Counseling and Development. Volume 85 p.3-13. Lopez, S.J, Snyder, C.R. (2007). Positive psychology. The scientific and practical explorations of human strenghts. California. Sage Publications, Inc. Wiramihardja, S.A. (2004). Aditama.
Pengantar psikologi klinis.
Bandung.
Refika
14