1
Pengembangan Sistem Deteksi Dini dan Diagnosa Kanker Paru Berbasis Adaptive Neuro Fuzzy Inference System Mochamad Yusuf Santoso1) Syamsul Arifin2)
1) Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
[email protected] 2) Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
[email protected] Abstrakβ Kanker adalah penyakit yang berhubungan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang tidak terkontrol. Sampai saat ini, kanker paru masih menjadi penyebab kematian terbanyak. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan sistem deteksi dini dan diagnosa kanker paru berbasis ANFIS dengan substractive clustering. Data yang digunakan berupa data ciri β ciri pasien dan data pengolahan citra. Data yang telah didapatkan diolah untuk merancang modelANFIS terbaik sehingga dapat diterapkan pada software. Software yang telah dirancang divalidasi dengan membandingkan hasil prediksi software dengan keputusan dokter. Parameter yang digunakan dalam menentukan keberhasilan software meliputi RMSE, VAF, dan tingkat kaberhasilan. Untuk data ciri-ciri, diperoleh model terbaik pada nilai ra = 0,4; dengan hasil RMSE training = 0,1193, RMSE testing = 0,2030, VAF training = 93,34%, VAF testing = 82,28%, keberhasilan software training = 96 % dan keberhasilan testing = 96%. Sedangkan untuk data pengolahan citra, diperoleh model terbaik pada nilai ra = 0,4; dengan hasil RMSE training = 0,0185, RMSE testing = 0,1063, VAF training = 99,85%, VAF testing = 94,84%, menghasilkan software keberhasilan training = 95,56 % dan keberhasilan testing = 88,46%. Kata kunciβ ANFIS, ciri-ciri, kanker paru, pengolahan citra, substractive clustering
I. PENDAHULUAN
K
anker adalah penyakit yang berhubungan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang tidak terkontrol. Sampai saat ini, kanker paru masih menjadi penyebab kematian terbanyak dalam kelompok kanker, baik pada pria maupun wanita. Menurut data WHO, setiap tahun ada lebih dari 1,3 juta kasus kanker paru dan bronkitis baru di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai sekitar 1,1 juta (1). Sedangkan di Indonesia, 1 penderita kanker paru baru di antara 1000 penduduk, artinya lebih dari 170.000 penderita baru per tahunnya (2). Pengenalan awal penyakit ini sulit dilakukan bila hanya berdasarkan keluhan saja. Biasanya keluhan ringan terjadi pada mereka yang masih dalam stadium dini yaitu stadium I dan II. Data di Indonesia maupun laporan negara maju menunjukkan bahwa kebanyakan kasus kanker paru terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada stadium lanjut (stadium III dan IV). Sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh (3), tentang sistem kecerdasaran buatan untuk diagnosa penyakit kanker paru. Dalam penelitian ini dihasilkan software yang dapat mendiagnosa penyakit paru berdasarkan data ciri-ciri dan foto rontgen dari pasien. Namun, performansi terbaik dari software tersebut masih sekitar 66,6%. Dengan alasan tersebut, maka dilakukan pengembangan sistem kecerdasan buatan tersebut dengan metode clustering
data yang berbeda, berupa subtractive clustering. Dengan metode ini, diharapkan dapat memperbaiki performansi untuk deteksi dini dan diagnosa kanker paru. Metode subtractive clustering yang digunakan tetap menggunakan kepakaran dokter dalam menentukan keputusan terkait dengan pendekatan medis kanker paru. Sistem ini bekerja untuk membantu diagnosa dokter dalam mengambil keputusan. Perlu diketahui bahwa kepakaran dari seorang dokter tidak dapat digantikan dengan sistem apapun. II. DASAR TEORI A. Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) adalah penggabungan mekanisme fuzzy inference system (FIS) yang digambarkan dalam arsitektur jaringan syaraf. Sistem inferensi fuzzy yang digunakan adalah sistem inferensi fuzzy model Takagi-Sugeno-Kang (TSK) orde satu dengan pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan komputasi (4). 1) Struktur ANFIS Struktur ANFIS terdiri dari lima lapisan yang merepresentasikan arsitektur jaringan syaraf tiruan yang ditunjukkan pada Gbr. 1. Lapisan dengan simpul kotak menyatakan simpul adaptif, artinya nilai parameternya bisa berubah dengan adanya pembelajaran. Sedangkan lapisan dengan simpul lingkaran menyatakan simpul non adaptif yang berarti nilainya tetap. Pada masing-masing lapisan terdapat persamaan matematis yang berbeda-beda.
Gbr. 1. Struktur ANFIS (4)
Lapisan 1 Persamaan matematis pada lapisan ini tergantung pada jenis fungsi keanggotaan yang digunakan. Misal jika fungsi keanggotaannya adalah gaussian: π1,π = ππ΄π π₯ = π
β π₯ βπ 2 2π 2
β π¦ βπ 2 2π 2
π’ππ‘π’π π = 1,2
(1)
π1,π = ππ΅π π¦ = π π’ππ‘π’π π = 1,2 (2) Gbr. 1 mengilustrasikan sebuah ANFIS dengan 2 masukan (x dan y). Keluaran dari lapisan ini (π1,π ) adalah nilai derajat
2 keanggotan dari masukan. Fungsi keanggotaan yang digunakan adalah gaussian dengan parameter Ο dan c. Parameter ini disebut parameter premis dan dapat diketahui nilainya dari hasil pembelajaran ANFIS pada software MATLAB. Lapisan 2 Fungsi dari lapisan 2 adalah mengalikan setiap sinyal masukan yang berasal dari keluaran lapisan 1. Fungsi matematis pada lapisan ini adalah: π2,π = π€π = Β΅π΄π π₯ . Β΅π΅π π₯ , π = 1,2 (3) Simpul pada lapisan 2 merupakan simpul non-adaptif (parameter tetap). Banyaknya simpul pada lapisan ini menunjukkan banyaknya aturan yang dibentuk. Lapisan 3 Setiap simpul pada lapisan 3 merupakan simpul nonadaptif yang menampilkan fungsi derajat pengaktifan ternomalisasi (normalized firing strength), yaitu rasio keluaran simpul ke-i pada lapisan sebelumnya terhadap seluruh keluaran lapisan sebelumnya, dengan bentuk fungsi simpul: π€π π3,π = π€π = , π’ππ‘π’π π = 1,2 (4) π€ 1 +π€ 2
Apabila dibentuk lebih dari dua aturan, fungsi dapat diperluas dengan membagi wi dengan jumlah total w untuk semua aturan. Lapisan 4 Setiap simpul pada lapisan ini adalah simpul adaptif dengan fungsi matematis sebagai berikut : π4,π = π€π ππ = π€π ( ππ π₯ + ππ π¦ + ππ ) (5) Pada simpul 4 ini terdapat derajat pengaktifan ternormalisasi dari lapisan 3 dan parameter p, q, r yang menyatakan parameter konsekuen yang adaptif. Seperti pada parameter premis, parameter konsekuen juga didapatkan dari hasil pembelajaran pada MATLAB. Lapisan 5 Terdapat satu simpul yang berfungsi untuk menjumlahkan semua keluaran dari lapisan 4. Fungsi matematisnya adalah:
π5,π =
π π€π ππ
=
π π€ π ππ
(6)
π€π
Keluaran dari lapisan 5 yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan dari sistem yang disusun (5). 2) Subtractive Clustering Metode subtractive clustering yang ditawarkan oleh (5) menjadikan setiap data berpotensi menjadi pusat cluster. Titik dengan jumlah tetangga paling banyak akan dijadikan pusat cluster. Potensi dari masing-masing titik data dapat diestemiasi dengan persamaan: ππ = ππ=1 π βπΌ πΎ dengan πΌ = 2 ππ
π₯ π βπ₯ π
2
(7)
Pi adalah potensial dari data ke-i sebagai pusat cluster, n adalah jumlah keseluruhan data, xi dan xj adalah titik data, Ξ³ adalah konstanta positif dengan nilai 4, ra adalah konstanta positif yang disebut cluster radius. Setelah menghitung densitas msaing-masing titik, maka titik tertinggi dengan densitas tertinggi akan dipilih sebagai pusat cluster. Misal xc1 adalah titik yang terpilih sebagai pusat cluster, dan Pc1 adalah ukuran potensinya. Kemudain potensi dari semua titik-titik selain pusat cluster akan dihitung kembali dengan persamaan:
β
π’ π βπ’ π1 4 π2 π
ππβ = ππ β ππ1 . π (8) dengan ππ = π. ππ Pi*adalah nilai potensi baru data ke-i, Ξ· adalah squash factor. Subtractive clustering memilik empat parameter, yaitu accept ratio π , reject ratio Ξ΅, cluster radius ra dan squash factor Ξ· (atau rb). Parameter-parameter ini berpengaruh pada jumlah aturan dan error dari perhitungan performansi sistem. Nilai π , dan Ξ΅ yang besar akan mengakibatkan jumlah aturan menjadi sedikit. Begitupun sebaliknya, semakin kecil nilai π dan Ξ΅, maka akan menambah jumlah aturan. Nilai ra yang besar akan menghasilkan jumlah cluster yang sedikit. Nilai ra yang kecil akan menghasilkan jumlah cluster yang besar, bahkan kadang berlebihan bagi sistem. nilai Ξ· dan ra yang disarankan adalah 1.25β€ Ξ· β€ 1.5dan 0.15 β€ ra β€0.30 (5). B. Kanker Paru Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahliahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penangan sesegera mungkin meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan. Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru) (6). Ada pengklasifikasian dari penyakit kanker paru, Ini dilihat dari tingkat penyebarannya baik di jaringan paru itu sendiri maupun terhadap organ tubuh lainnya. Namun pada dasarnya penyakit kanker paru terbagi dalam dua kriteria berdasarkan level penyebarannya: 1) Kanker Paru Primer Memiliki 2 tipe utama, yaitu Small Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dimana memiliki daya pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut "oat cell carcinomas" (karsinoma sel gandum). Tipe ini sangat erat kaitannya dengan perokok. Penanganan cukup berespon baik melalui tindakan chemotherapy and radiation therapy. Sedangkan NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi seringkali menyerang lebih dari satu daerah di paru. Misalnya Adenoma, Hamartoma kondromatous dan Sarkoma.
3 2) Kanker Paru Sekunder Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan kanker usus (perut). Kanker menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena kedekatan organ. Tanda dan gejala kanker paru hanya akan muncul saat perkembangan abnormal sel ini semakin parah ke arah stadium yang lebih lanjut, dan ini memerlukan waktu bertahun-tahun sejak awal perkembangannya. Namun tanda β tanda lain yang sering muncul pada penderita kanker paru antara lain: 1. Batuk-batuk yang lama pada orang merokok 2. Kesulitan bernafas (nafas pendek) 3. Batuk mengeluarkan darah (meskipun jumlah sedikit) 4. Sering mengalami infeksi paru (pneumonia atau bronchitis) 5. Adanya nyeri dada, bahu dan bagian punggung 6. Suara yang berubah dari biasanya 7. Batuk lebih dari 2 minggu pada orang yang tidak merokok 8. Lainnya seperti susah menelan, leher dan wajah tampak membengkak, nafsu makan berkurang, hilangnya berat badan, cepat lelah atau lemah. Ada beberapa kasus penyakit yang memicu terjadinya penyakit kanker paru ini, yaitu penyakit TBC dan Pneumonia. Kedua penyakit ini dapat menimbulkan luka pada jaringan sel organ paru sehingga mendukung terjadinya pertumbuhan sel abnormal di dalam rongga tersebut. Biasanya kanker paru yang berkembang dari kasus ini adalah jenis adenocarcinoma (adenoma) (7). C. Pengolahan Citra Metode Grey Level Co-occurrence Matriks (GLCM) Pengolahan citra dilakukan untuk mengetahui nilai dari suatu gambar. Salah satu metode pengolahan citra adalah Grey Level Co-occurrence Matriks (GLCM). Metode ini menghasilkan beberapa keluaran nilai yang didapatkan dari tekstur sebuah gambar. Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan (regularity) susunan struktural piksel. Tekstur biasa dikenal sebagai kunci untuk memvisualisasikan persepsi atau cara pandang seseorang dan peraturan yang sangat penting pada pekerjaan komputer visi. Tekstur merupakan bawaan dari benda yang terlihat dari muka dan berisi informasi penting tentang struktur rancangan permukaan. Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan pikselpiksel yang bertetangga. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak ada definisi umum untuk tekstur. Hal tersebut tergantung pada aplikasi yang digunakan. Definisi GLCM adalah tabulasi dari seberapa sering kombinasi yang berbeda dari nilai kecerahan piksel (tingkat warna abu-abu) yang terjadi pada sebuah citra (8). Gbr. 2 adalah contoh dari matrik GLCM dari sebuah citra.
Gbr. 2. Contoh matrik GLCM sebuah citra (a) (8)
Setelah matriks intensitas co-occurrence terbentuk, maka tiap elemen matriks p(i1, i2) perlu dinormalisasi dengan membagi tiap elemen dengan bilangan yang merupakan jumlah total dari pasangan piksel. Pengukuran nilai tekstur didasarkan pada persamaan Harralick yang didefenisikan sebagai berikut: 1. Kontras 2 (9) π1 π2 ππ1 ,π2 π1 β π2 2. Homogenitas Menunjukkan kehomogenan variasi intensitas dalam citra. Persamaan Homogenitas: π1
3.
4.
5.
π π 1 ,π 2 π2 1+ π βπ 1 2
(10)
Energi Energi merupakan fitur GLCM yang digunakan untuk mengukur konsentrasi pasangan intensitas pada matriks GLCM, dan didefinisikan sebagai berikut : 2 (11) πΈπππππ¦ = π1 π2 ππ,π Entropy Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk. Persamaan Entropy : (12) π1 π2 ππ1 ,π2 βππππ1 ,π2 Korelasi Korelasi menunjukkan ketergantungan linier derajat keabuan dari piksel-piksel yang saling bertetangga dalam suatu citra abu-abu. Persamaan korelasi disimbolkan sebagai berikut: π1
π2
ππ1 ,π2
π1 βπ π 1 ππ2 1
π2 βπ π 2 ππ2
(12)
2
III. METODE Dalam pengembangan sistem deteksi dini ini, data yang digunakan adalah data ciri pasien dan data pengolahan citra. Data ciri-ciri yang dimaksud adalah data ciri-ciri pasien yang memeriksakan kesehatan parunya. Sedangkan data pengolahan citra didapatkan dari hasil ekstraksi fitur GLCM. Data yang sudah diperoleh, masing-masing dilakukan training untuk pemodelan ANFIS. Training dilakukan dengan metode substractive clustering. Metode ini digunakan agar data dapat membentuk fungsi keanggotaan secara alami. Salah satu dari parameter pada substractive clustering, yaitu ra divariasi untuk mendapatkan beberapa model ANFIS. Pemilihan model ANFIS terbaik didasarkan pada hasil validasinya, yaitu Root Mean Square Error (RMSE) dan Variance Accounted For (VAF) dari validasi model. Model ANFIS terbaik adalah yang memiliki nilai RMSE paling kecil dan VAF paling besar. Model ANFIS terbaik kemudian dijadikan acuan untuk perancangan software deteksi dini dan diagnosa. Hasil perancangan software kemudian divalidasi dengan membandingkan hasil keputusan software dengan keputusan
4 dokter spesialis paru. Hasil dari validasi ini berupa tingkat keberhasilan software dalam mengambil keputusan. IV. HASIL PENELITIAN A. Data Ciri-ciri 1) Model ANFIS Hasil variasi nilai ra dalam perancangan model ANFIS data ciri-ciri ditunjukkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut juga ditampilkan hasil dari validasi model ANFIS untuk data training maupun testing yang berupa nilai RMSE dan VAF. Tabel 1 Hasil Variasi Nilai ra Data Ciri-ciri
ra
Jumlah MF
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
47 42 28 19 15 9 8 6 5 4
RMSE Training Testing 0,1235 0,2033 0,1231 0,2030 0,1241 0,2056 0,1193 0,2030 0,5389 2,2692 0,5374 1,1564 0,3627 1,0305 0,1856 0,2893 0,1908 0,2641 82,39 44,92
VAF (%) Training Testing 93,99 82,46 94,01 82,49 93,30 81,76 94,34 82,28 -15,37 -2107,92 -32,31 -473,01 47,82 -360,36 86,23 64,27 85,43 70,23 82,39 44,92
Berdasarkan Tabel 1 didapatkan bahwa semakin besar nilai ra, maka jumlah fungsi keanggotaan yang dihasilkan akan semakin sedikit. Nilai RMSE training terkecil dan VAF training terbesar dihasilkan untuk nilai ra = 0,4. Untuk data testing, nilai RMSE terkecil dihasilkan pada ra = 0,2 dan 0,4. Sedangkan VAF terbesar dihasilkan dari nilai ra = 0,2. Model ANFIS terbaik yang dipilih adalah yang menggunakan nilai r a = 0,4. Selain memiliki RMSE training terkecil, jumlah fungsi keanggotaan yang dihasilkan lebih sedikit daripada jumlah fungsi keanggotaan yang dihasilkan oleh nilai ra = 0,2. Menurut (5), jumlah parameter yang banyak belum tentu sesuai dengan sistem. Dengan nilai ra = 0,4, dihasilkan jumlah cluster dari data ciri-ciri sebanyak 19. Artinya, untuk masing-masing masukan, terdapat 19 fungsi keanggotaan yang berbentuk gaussian. Model ini kemudian digunakan untuk merancang software ANFIS data ciri-ciri. Tabel 2 Perbandingan VAF dan RMSE Model ANFIS Ciri-ciri
Data
Training Testing
Cluster 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE
2) Software Penyaringan Software penyaringan (data ciri-ciri) yang berhasil dirancang, ditunjukkan pada Gbr. 3. Perbandingan keberhasilan software ciri-ciri ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut, didapatkan bahwa baik penelitian ini maupun penelitian (3) menghasilkan software yang memiliki tingkat keberhasilan lebih dari 90%. Hal ini dikarenakan, perhitungan keberhasilan hanya berdasarkan variabel lingustik saja. Dalam penyusunan kode software pada Visual Basic, terdapat satu nilai yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Pada kedua penelitian yang dibandingkan, belum tentu nilai tersebut besarnya sama.
RMSE 0,49921 0,60747 0,1193 0,415454 0,34802 0,2030
VAF (%) 52,3337 57,3042 94,34 66,60485 54,15432 82,28
Perbandingan hasil perhitungan VAF dan RMSE penelitian ini dan penelitian oleh (3) ditunjukkan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut, didapatkan bahwa hasil penelitian ini lebih baik dari penelitian yang dilakukan oleh (3). Hal ini disebabkan metode subtractive clustering menghasilkan jumlah fungsi keanggotaan secara alami, sehingga lebih sesuai dengan sistem.
Gbr. 3. Software penyaringan Tabel 3 Perbandingan Keberhasilan Software Ciri-ciri
Data
Training Testing
Cluster 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE
Keberhasilan 96% 98% 96% 91,43% 97,15% 95,56%
B. Data Pengolahan Citra 1) Model ANFIS Hasil variasi nilai ra untuk data training pengolahan citra ditunjukkan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut juga ditampilkan hasil dari validasi model ANFIS untuk data training maupun testing yang berupa nilai RMSE dan VAF. Tabel 4 Hasil Variasi Nilai ra Data Pengolahan Citra
ra
Jumlah MF
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
2 5 5 5 4 4 3 3 2 2
RMSE Training Testing 0,1550 0,3229 0,1131 0,0646 0,0210 0,0702 0,0185 0,1063 0,0316 0,1210 0,0572 0,1963 0,1689 0,2233 0,1584 0,2760 0,1546 0,1837 0,1754 0,2012
VAF (%) Training Testing 89,20 52,74 89,20 98,05 99,80 97,75 99,85 94,84 99,55 93,13 98,53 81,95 87,17 77,76 88,71 65,03 89,25 84,73 86,16 81,74
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa variasi nilai ra tidak selalu menghasilkan jumlah fungsi keanggotaan yang berbeda. Tetapi meskipun terdapat jumlah fungsi keanggotaannya yang sama pada beberapa nilai ra, nilai RMSE dan VAF yang dihasilkan oleh nilai ra tersebut selalu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan ra akan menghasilkan perubahan terhadap parameter premis dan consequent dari ANFIS.
5 Dari hasil training, untuk error terkecil dan nilai VAF training terbesar didapatkan untuk nilai ra = 0,4. Sedangkan untuk data testing, error terkecil dan VAF terbesar diperoleh dari nilai ra = 0,2. Oleh karena itu, model ANFIS dengan nilai ra = 0,4 dipilih sebagai model terbaik. Model ini kemudian digunakan untuk merancang software data pengolahan citra. Dengan nilai ra = 0,4 dihasilkan jumlah cluster dari data pengolahan citra sebanyak 5 dan fungsi . Artinya, untuk masing-masing masukan, terdapat 5 fungsi keanggotaan yang berbentuk gaussian. 2) Software Pengolahan Citra Software penyaringan (data ciri-ciri) yang berhasil dirancang, ditunjukkan pada Gbr. 4.
Untuk prediksi ciri β ciri menghasilkan RMSE training = 0,1193, RMSE testing = 0,2030, VAF training = 93,34%, dan VAF testing = 82,28% o Untuk prediksi rontgen (pengolahan citra) menghasilkan RMSE training = 0,0185, RMSE testing = 0,1063, VAF training = 99,85%, dan VAF testing = 94,84% ο· Hasil validasi software berbasis ANFIS menghasilkan tingkat keberhasilan seperti berikut : o Untuk prediksi ciri β ciri keberhasilan training = 96 % dan keberhasilan testing = 96% o Untuk prediksi rontgen (pengolahan citra) menghasilkan keberhasilan training = 95,56 % dan keberhasilan testing = 88,46%. Saran yang dapat diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: ο· Mendesain software yang tidak hanya memberikan keluaran positif atau negatif saja, tetapi juga dapat menentukan stadium dari kanker. ο· Mengaplikasikan software yang sudah dibuat pada sebuah website yang bisa diakses masyarakat
Gbr. 4. Software pengolahan citra
VI. DAFTAR PUSTAKA
Keberhasilan software pengolahan citra dalam pengambilan keputusan, baik untuk data training maupun data testing ditujukkan pada Tabel 5. Hasil pada tabel tersebut menunjukkan bahwa baik penelitian ini maupun penelitian (3), dapat merancang software yang memiliki tingkat keberhasilan lebih dari atau sama dengan 85%. Hal ini bisa terjadi karena nilai pada kode Visual Basic yang digunakan untuk pengambilan keputusan berbeda antara kedua penelitian. Tabel 5 Perbandingan Keberhasilan Software Pengolahan Citra
Data
Training Testing
Cluster 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE 2 MF 3 MF SUBTRACTIVE
Keberhasilan 91,43% 97,15% 95,56% 90% 85% 88,46%
Dari hasil validasi, didapatkan bahwa software yang disusun baik menggunakan ANFIS substractive clustering maupun hasil dari penelitian (3) memberikan hasil yang hampir sama. Jika dilihat dari software ciri-ciri maupun software pengolahan citra, tidak ada yang memiliki keberhasilan 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa kepakaran dari seorang dokter spesialis paru tidak dapat digantikan oleh apa pun. Sehingga kedua software ini dapat digunakan sebagai alat bantu dalam mendeteksi dini kanker paru dan sebagai alat bantu pemebelajaran bagi dokter muda. V. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang bisa diambil adalah sebagai berikut :
ο·
Hasil validasi model menggunakan subtractive clustering menghasilkan performansi sebagai berikut:
o
1. rhd. FAJAR Online. [Online] Maret 3, 2011. [Cited: Oktober 8, 2011.] http://www.fajar.co.id/read20110302235529-merokok-dan-kanker-paruparu. 2. Situasi Beberapa Penyakit Paru di Masyarakat. Aditama, Tjandra Yoga. 1993, Cermin Dunia Kedokteran, hal. 2830. 3. Pengembangan Sistem Kecerdasan Buatan Berbasis Adaptive Neuro Fuzzy Inference System Untuk Diagnosa Penyakit Kanker Paru-paru. Pradanawati, Sylvia Ayu. 2011, ITS Surabaya. 4. ANFIS: Adaptive-Network-Based Fuzzy Inference System. Jang, Roger and Jyh-Shing. 1993, IEEE TRANSACTIONS ON SYSTEMS, MAN, AND CYBERNETICS, VOL. 23, NO. 3, pp. 665-685. 5. A Cluster Estimation Method with Extension to Fuzzy Model Identification. Chiu, S. L. 1994. IEEE Internat. Conf. on Fuzzy Systems. pp. 1240-1245. 6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. KANKER PARU : PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. 2003. 7. Syahruddin, Elisna. kankerparu.org. [Online] Juni 3, 2006. 8. Aplikasi Pemrograman C# untuk Analisis Tekstur Kayu Parquet dengan Menggunakan Metode Grey Level Cooccurrence Matrix (GLCM). Purnomo, Adi and Puspitodjati, Sulistyo. 2009, Fakultas Teknik Industri Universitas Gunadarma. 9. Mesothelioma Health Information. [Online] [Cited: Desember 23, 2011.] http://www.mesotheliomahealth.org/images/normlungX.jpg.
6 BIODATA PENULIS Nama NRP TTL Alamat e-mail
ο· ο· ο· ο·
: Mochamad Yusuf Santoso : 2408100055 : Lumajang / 27 Nopember 1990 : Rungkut Asri RL-5H/ No. 36 Surabaya :
[email protected]
Riwayat Pendidikan:
SDN Tempeh Tengah 04 SMPN 1 Tempeh SMAN Tempeh Lumajang S1 Teknik Fisika ITS
(1996-2002) (2002-2005) (2005-2008) (2008-sekarang)